bookread1

47
REAKSI PATOLOGI DASAR KULIT Sekilas Pandang Reaksi Patologi Dasar Kulit Kompartemen-kompartemen jaringan yang berbeda saling terkait secara anatomis dan berinteraksi secara fungsional. Kompartemen ini disebut sebagai unit-unit reaktif kulit Unit reaktif superfisial terbagi menjadi epidermis, zona junctional dan badan papilar dengan sistem vaskularnya. Dermis retikuler dengan pleksus vaskular dermal yang lebih dalam adalah unit reaktif kedua. Unit reaktif ketiga adalah jaring subkutan dengan kompartemen septal dan lobularnya. Folikel rambut dan kelenjar-kelenjar adalah unit reaktif keempat yang terkandung dalam ketiga unit lainnya. Proses-proses patologis bisa jadi melibatkan satu atau beberapa unit reaktif secara terpadu Heterogenitas dan interaksi dari tiap kompartemen kulit tersebut menjelaskan mengapa beberapa reaksi patologis dasar mengakibatkan berbagai macam bentuk klinis dan pola-pola reaksi patologis. Kulit terdiri dari kompartemen-kompartemen jaringan yang berbeda yang saling berhubungan secara 1

Upload: edward-yun-jin

Post on 18-Jan-2016

60 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

fitzpatrick's 8th ed

TRANSCRIPT

Page 1: bookread1

REAKSI PATOLOGI DASAR KULIT

Sekilas Pandang Reaksi Patologi Dasar Kulit

Kompartemen-kompartemen jaringan yang berbeda saling terkait secara anatomis dan berinteraksi secara fungsional. Kompartemen ini disebut sebagai unit-unit reaktif kulit

Unit reaktif superfisial terbagi menjadi epidermis, zona junctional dan badan papilar dengan sistem vaskularnya. Dermis retikuler dengan pleksus vaskular dermal yang lebih dalam adalah unit reaktif kedua. Unit reaktif ketiga adalah jaring subkutan dengan kompartemen septal dan lobularnya.

Folikel rambut dan kelenjar-kelenjar adalah unit reaktif keempat yang terkandung dalam ketiga unit lainnya.Proses-proses patologis bisa jadi melibatkan satu atau beberapa unit reaktif secara terpadu

Heterogenitas dan interaksi dari tiap kompartemen kulit tersebut menjelaskan mengapa beberapa reaksi patologis dasar mengakibatkan berbagai macam bentuk klinis dan pola-pola reaksi patologis.

Kulit terdiri dari kompartemen-kompartemen jaringan yang berbeda yang

saling berhubungan secara anatomis dan saling berinteraksi secara fungsional.

Fungsi epidermis sulit untuk tergambarkan tanpa mengetahui sinyal dari dermis

atau passenger leukosit yang bersirkulasi dari dan kedalam kulit. Di sisi lain,

epidermis, dermis dan jaringan subkutan memiliki perjalanan alamiah yang

heterogen dan analisis proses patologis pada kulit harus mempertimbangkan

heterogenitas dan interaksi pada kompartemen kulit pada individu. Setelahnya

barulah dapat dimengerti mengapa beberapa reaksi dasar pada jaringan tersebut

dapat menyebabkan bentuk reaksi yang multipel.

Secara patofisiologis kulit dapat dibagi dalam tiga unit reaktif yang meluas

melewati batasan-batasan anatomis; ketiganya saling tumpang-tindih dan dapat

dibagi lagi kedalam subunit yang akan berespon terhadap stimulasi-stimulasi

1

Page 2: bookread1

patologis, tergantung pada kapasitas reaksinya berbeda dalam sebuah pola

koordinasi.

Unit reaktif superfisial (RSU) terdiri atas subunit epidermis, zona

junctional, jaringan ikat longgar yang terletak dibawahnya pada badan papilar dan

jaringan kapilernya dan pleksus vena superfisial. Lapisan retikuler dermis (DRU)

merupakan unit reaktif kedua, terdiri atas jaringan konektif kasar dan pleksus

vaskuler dermal yang lebih dalam. Unit reaktif ketiga adalah jaringan subkutan

juga secara anatomis dan funsional beragam; kompartemen septal dan lobuler

dapat terlibat maupun berdiri sendiri. Folikel rambut dan kelenjar adalah unit

reaktif keempat terpisah yang tersebar pada ketiga unit reaktif.

UNIT REAKTIF SUPERFISIAL

Epidermis

Keratinosit, yang memiliki kemampuan untuk mensintesis protein keratin

mewakili bagian terbesar epidermis. Epidermis merupakan epitel ektodermal juga

merupakan tempat persinggahan terakhir beberapa populasi sel yang lain seperti

melanosit, sel Langerhans, sel Merkel dan sel migran. Sel basal epidermis akan

mengalami siklus proliferasi yang berperan dalam pembaharuan sel epidermis

yang sejalan dengan bergerak naik ke permukaan kulit, proses diferensiasi yang

menghasilkan keratinisasi. Dengan demikian, permukaan epidermis merupakan

jaringan yang dinamik dimana sel-selnya secara konstan senantiasa berada dalam

suatu replikasi dan berdiferensiasi secara tidak sinkron; Gerakan kinetik

proliferasi, arah dan kecepatan migrasi populasi sel individual berbeda satu sama

lain, oleh karena itu keratinosit tidak saja meninggalkan keratinosit yang lain, tapi

juga meninggalkan melanosit, sel Langerhans saat bergerak naik ke permukaan.

Pada waktu yang sama mereka saling berikatan melalui kekuatan kohesi yang

menjaga kontinuitas epitel. Stabilitas arah pergerakan sel dijaga oleh komplek

membran basal yang menambatkan epidermis pada dermis dan melindungi lapisan

korneum pada bagian luar. Pada saat itu sel yang bermigrasi berhenti sebagai sel

keratinisasi yang berikatan satu sama lain oleh substansi interseluler yg mirip

2

Page 3: bookread1

semen. Kekuatan kohesi hilang sepenuhnya pada permukaan epidermis dimana sel

terkornifikasi mengalami deskuamasi. Perubahan patologis pada epidermis

berhubungan dengan gerakan kinetik dan diferensiasi sel-sel epidermis, migrasi

transepidermal serta kohesi intraepidermal; hal tersebut juga berhubungan dengan

leukosit dan sel langerhans yang bergerak ke dan dari epidermis, adhesi molekul

yang memfasilitasi dan memberi arah pergerakan sel. Contohnya, jika sel

Langerhans tidak mengekspresikan kemokin CCR6, maka tidak dapat bermigrasi

dari dermis ke epidermis. Tanpa ekspresi CCR7, migrasi ke limfonodi tidak

mungkin terjadi. Lebih jauh lagi, beberapa perubahan patologi berhubungan

dengan sitokin, sel Langerhans, melanosit, dan leukosit di perifer. Hal tersebut

berpengaruh terhadap seluruh populasi atau sel-sel individual, yang memiliki

target primer pada keratinosit, atau dapat meliputi populasi sel-sel epidermis yang

lain.

Gangguan Kinetik Sel Epidermis

Kecepatan mitosis sel germinativum, kecepatan deskuamasi korneosit dan

waktu generasi sel epidermis menentukan homeostasis epidermis. Secara

fisiologis, terdapat keseimbangan antara proliferasi,deferensiasi dan deskuamasi.

Peningkatan sel proliferasi diikuti dengan pembesaran sel germinativum dan

peningkatan kecepatan mitosis yang menyebabkan peningkatan populasi sel-sel

epidermis, dengan demikian epidermis menebal (akantosis). Perubahan ratio sel

yang beristirahat dan berproliferasi seperti pada psoriasis menyebabkan

peningkatan turnover epidermis dan peningkatan volume sel germinativum yang

harus diakomodasi pada dermo-epidermal junction.

Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan perubahan pemanjangan rete

ridge yang akan dikompensasi dengan elongasi jaringan konektif papila dermis

yang mengakibatkan pelebaran dan pemanjangan dermal-epidermal interface dan

mengakibatkan peningkatan area permukaan untuk interaksi dermal-epidernal.

3

Page 4: bookread1

Gangguan Diferensiasi Sel Epidermis

Contoh yang sederhana dari gangguan diferensiasi epidermis adalah

parakeratosis dimana kornifikasi yang tidak sempurna dan dipercepat

menyebabkan retensi nukleus piknotik sel epidermis pada permukaan epidermis

yang normalnya tersusun dari sel-sel anuklei yang membentuk suatu pola

arsitektur "basket-weave". Parakeratosis pada lapisan korneum bukan merupakan

struktur yang padat, tapi merupakan struktur yang longgar dengan celah antar sel;

Celah ini menyebabkan kehilangan fungsi barrier epidermis.

Parakeratosis dapat merupakan hasil diferensiasi yang tidak lengkap dari

sel germinativum postmitotik. Sehubungan dengan transit time sel epidermis

postmitotik selama 14 hari, perubahan patologi yang menginduksi terjadinya

parakeratosis pada diferensiasi awal sel membutuhkan waktu hampir 2 minggu

untuk tampak secara histologis pada lapisan korneum. Parakeratosis juga dapat

terjadi karena menurunnya transit time, dimana sel epidermis tidak mengalami

proses diferensiasi secara lengkap. Parakeratosis pada cellophane-stripped

epidermis secara mikrosopis tampak 1 jam setelah trauma; parakeratosis dalam

hal ini tidak mengganggu diferensiasi, hal ini merupakan hasil cedera sel secara

langsung pada epidermis yang viabel, sehingga menghalangi proteksi terhadap

lapisan korneum. Oleh karena itu istilah parakeratosis menandakan adanya

gangguan diferensiasi, maturasi dan injury pada sel secara langsung.

Diskeratosis adalah istilah yang menunjukkan adanya proses keratinisasi

sel individu yang prematur, abnormal atau terganggu pada lapisan epidermis yang

hidup. Diskeratosis juga dapat mengacu pada suatu bentuk presentasi apoptosis

keratinosit. Sel diskeratosis memiliki sitoplasma yang eosinofilik dan nukleus

yang piknotik dan bersama dengan filamen keratin tersusun menjadi agregasi

perinuklear. Sel yang demikian alan bertendensi untuk membulat dan kehilangan

perlekatannya dengan sel-sel disekitarnya. Oleh karena itu diskeratosis sering

berhubungan dengan akantolisis (gangguan kohesi epidermal) tetapi bukan

sebaliknya.

4

Page 5: bookread1

Pada beberapa penyakit, diskeratosis merupakan gangguan keratinisasi

yang terprogram secara genetik seperti pada penyakit Darier. Diskeratosis dapat

terjadi pada aktinik keratosis dan karsinoma sel skuamosa. Diskeratosis juga

disebabkan oleh trauma karena zat kimia maupun fisik. Pada reaksi sunburn,

eosinofilik, sel apoptotik yang disebut sel sunburn, ditemukan 24 jam setelah

irradiasi UVB. Diskeratosis yang terjadi pada apoptosis sel setelah pemberian

terapi sitotoksik dengan dosis tinggi. Sel individu yang mati pada epidermis

merupakan fenomena yang biasa terjadi pada reaksi graft-versus-host pada kulit

dan eritema multiforme.

Gangguan Kohesi Epidermis

Gambar 6-2 A. Akantosis. Tanda yang menunjukkan peningkatan kinetik epidermal ini terilustrasi pada fotomikrografi Psoriasis. B. Parakeratosis, retensi nuklei pada lapisan tanduk

Gambar 6-3 Hubungan antara diskeratosis dan akantolisis terlihat pada perbesaran kuat dari penyakit Darier, dimana terlihat juga pembentukan

5

Page 6: bookread1

celah epidermal yang dihasilkandari fenomena tersebut.

Gangguan Kohesi Epidermis

Kohesi epidermis adalah sebuah hasil ekuilibrium yang dinamis dari

pembentukan dan disosiasi kontak interseluler. Alat-alat spesifik untuk perlekatan

interseluler dan substansi interseluler bertanggung jawab terhadap kohesi

interseluler. Meskipun demikian, kohesi epidermis harus tetap memberi peluang

terjadinya pergerakan sel. Desmosom berdisosiasi dan membentuk kembali

kontak interseluler pada bagian baru sebagai sel yang bermigrasi melalui

epidermis. Kekuatan kohesi interseluler cukup kuat untuk menjaga kontinuitas

epidermis sebagai epitel yang dihalangi, tapi sebaliknya cukup adaptif untuk

pergerakan, permeabilitas ruang interseluler dan interaksi interseluler.

Gangguan kohesi yang paling sering terjadi adalah vesikel intraepidermis,

sebuah ruang kecil yang berisi cairan. Klasifikasi lepuh intraepidermis sesuai letak

anatomi tampak pada tabel 6-1. Tiga bentuk morfologi dasar vesikel

intraepidermal secara klasik adalah sebagai berikut: Spongiosis adalah sebuah

contoh hilangnya kohesi secara sekunder antara sel epidermis dengan masuknya

cairan jaringan ke dalam epidermis. Eksudat serosa meluas dari dermis ke dalam

kompartemen interseluler epidermis; Saat eksudat meluas, sel epidermis tetap

berhubungan satu sama lain pada desmosom, tampak gambaran stelata dan bentuk

seperti spons (Spongiosis). Edema interseluler meningkat, sel individual ruptur

dan lisis, membentuk mikrokavitas (vesikel spongiotik). Mikrokavitas yang

konfluen membentuk lepuh yang besar. Sel epidermis juga dapat dipisahkan oleh

leukosit yang mengganggu perlekatan intraepidermal; dengan demikian migrasi

leukosit ke dalam epidermis dan edema yang spongiotik merupakan fenomena

kombinasi, digambarkan dengan jelas oleh dermatitis kontak akut. Akumulasi dari

leukosit polimorfonuklear pada epidermis, hasil pemisahan sel epidermis dan

kerusakan berikutnya menyebabkan bentuk pustula yang spongiform, merupakan

satu tanda yang patognomik pada histopatologi psoriasis.

Akantolisis adalah hilangnya kohesi primer pada sel epidermal. Hal ini

awalnya digambarkan dengan pemisahan bagian interdesmosomal pada membran

6

Page 7: bookread1

sel keratinosit, dikuti oleh pemisahan dan hilangnya desmosom. Sel tersebut

intake tapi tidak lama melekat; membulat dengan permukaan sekecil mungkin.

Celah interseluler yang tipis dan pindahnya cairan dari dermis membentuk kavitas

yang terbentuk di suprabasal, midepidermal atau subkorneal. Sel akantolitik dapat

dengan mudah tampak pada apusan sitologi dan dalam beberapa kondisi memiliki

diagnosa yang signifikan. Akantolisis dapat terjadi dari beberapa proses patologi

yang berbeda yang tidak memiliki etiologi dan patogenesis yang serupa.

Akantolisis merupakan kejadian primer yang menyebabkan kavitas intraepidermal

(akantolisis primer) atau sebuah fenomena sekunder dimana sel epidermal

meninggalkan dinding lepuh intraepidermal (akantolisis sekunder). Akantolisis

primer patogenesisnya berhubungan dengan faktor genetik pada kelompok

penyakit pemfigus, dimana terjadi dari hasil interaksi autoantibodi dan

determinasi antigenik pada membran keratinosit serta staphylococcal scalded skin

syndrome, yang disebabkan oleh eksotoksin staphylococcus (epidermolysin).

Pemfigus familial benigna terjadi dari kombinasi defek determinasi genetik pada

membran sel keratinosit dan faktor eksogen. Fenomena serupa, terjadi pada

epidermis suprabasal, terjadi pada penyakit Darier, dimana merupakan kombinasi

diskeratosis pada lapisan epidermis bagian atas dan kompensasi proliferasi sel

basal kedalam badan papilar. Akantolisis yang terjadi karena infeksi virus,

biasanya merupakan kombinasi fenomena sel yang lain seperti ballooning giant

cell dan sitolisis.

Hilangnya kohesi epidermal dapat juga merupakan hasil dari disolusi sel

(sitolisis). Pada bentuk epidermolitik dari epidermolisis bulosa, sel basal ruptur

akibat trauma, oleh karena itu celah terbentuk dari lapisan sel basal secara bebas

dari batas anatomis dibawahnya. Fenomena sitolitik pada lapisan granulosum

merupakan ciri-ciri untuk epidermolitik hiperkeratosis, bullous congenital

ichtyosiform erythroderma, ichtyosis hystric dan beberapa bentuk palmoplantar

keratoderma herediter.

7

Page 8: bookread1

Gambar 6-4 Vesikel spongiformis yang terbentuk dari separasi keratinosit yang edematosa (A). Sel-sel tersebut masih melekat secara parsial satu dengan yang lain oleh desmosom dan sehingga menampilkan bentuk stelata yang terlihat pada perbesaran yang lebih besar

Gambar 6-5 Akantolisis. Sel akantolitik tunggal maupun berkelompok terlihat. Bentuk bulat tersebut terbentuk dari hilangnya koneksi intersel. Preparat apusan sitologis dari pemfigus vulgaris.

8

Page 9: bookread1

Gambar 6-6 Pemphigus vulgaris. Sebuah celah intraepidermal suprabasal terlihat yang merupakan akibat dari akantolisis suprabasal, mengandung sel-sel akantolitik dan inflamatorik.

Gambar 6-7 Infeksi Herpes Simpleks. Epidermis menampilkan degenerasi ballooning yang nyata, sitolisis, dan vesikulasi intraepidermal. Sel raksasa epidermal akantolitik dan berinti banyak merupakan petunjuk dari infeksi herpetik

9

Page 10: bookread1

Dermal-Epidermal Junction

Epidermis dan dermis disambungkan oleh rete ridge pada epidermis dan

papila dermis serta mikroproses sitoplasma yang berbentuk seperti kaki (foot-like)

yang berupa lekukan yang sesuai dengan dermis. Perlekatan epidermis dengan

dermis dilakukan oleh hemidesmosom yang mengikat sel basal pada lamina basal;

bersama-sama melekat pada dermis pada anchoring filaments dan mikrofibril.

Lamina basalis bukan struktur yang rigid karena leukosit, sel langerhans, atau sel

migrasi yang melewatinya tanpa menyebabkan pemutusan hubungan yang

permanen pada junction. Setelah dirusak oleh proses patologi, lamina basalis

dibentuk kembali; hal ini menunjukkan fenomena yang penting pada

penyembuhan luka dan perbaikan yang lain. Secara fungsional, lamina basalis

adalah bagian dari sebuah unit yang pada pemeriksaan mikroskopis tampak

dengan pengecatan Periodic Acid Schiff-positive membrana basalis dan mewakili

seluruh bagian zona junctional. Membrana basalis terdiri dari lamina lucida yang

disangga oleh mikrofilamen dan subjacent anchoring fibril, serabut kolagen yang

10

Page 11: bookread1

kecil dan matriks ekstraseluler. Zona junctional memiliki fungsi yang kompleks

dan berpengaruh pada proses patologi.

Gangguan Kohesi Dermal-Epidermal

Kerusakan pada zona junctional atau komponennya biasanya

bermanifestasi pada gangguan kohesi dermal-epidermal dan menyebabkan

terjadinya lepuh. Pada pemeriksaan mikroskopik, lepuh tersebut tampak pada

subepidermal, tapi pada kenyataannya dapat terletak pada bagian anatomis yang

berbeda dan merupakan hasil dari proses patogenetik yang heterogen. Klasifikasi

lepuh pada zona junctional sesuai bagian anatomis, dapat dilihat pada tabel 6-2.

Lepuh subepidermal terjadi pada epidermolisis bulosa atau dapat merupakan hasil

proses inflamasi yang komplek yang melibatkan hampir seluruh zona junctional,

seperti pada lupus eritematosus, eritema multiform atau liken planus; oleh karena

itu dapat merupakan fenomena yang terjadi pada kelompok etiologi dan kondisi

patogenetik yang heterogen. Pada pemfigoid bulosa, celah melewati lamina lucida

pada membrana basalis dan disebabkan oleh autoantibodi yang langsung

meyerang antigen spesifik pada sitomembran sel basal (junctional blistering).

Adanya granula eosinofil yang berisi protein dasar mayor yang toksik terhadap

keratinosit juga menyebabkan injury pada keratinosit. Junctional blistering juga

terjadi pada epidermolisis bulosa tipe junctional, tapi disini tergantung pada

rusaknya atau hilangnya molekul yang penting untuk kohesi epidermal-dermal.

Pada lepuh subepidermal, target psoses patologi terletak dibawah lamina

basalis (lepuh dermolitik). Pengurangan anchoring filament dan meningkatnya

produksi kolagen menyebabkan pemisahan dermal-epidermal pada epidermolisis

bulosa yang resesive; autoantibodi yang bersirkulasi secara langsung melawan

kolagen tipe VII pada anchoring fibril sebagai penyebab lepuh dermolitik pada

acquired epidermolysis bullosa. Mekanisme inflamasi yang dimediasi imunologi

yang lain menyebabkan terjadinya lepuh pada dermatitis herpetiformis. Perubahan

fisik dan kimiawi pada zona junctional dan badan papilar merupakan penyebab

terbentuknya celah dermolitik setelah trauma pada porfiria kutanea tarda.

11

Page 12: bookread1

Gambar 6-8 Pemfigoid bulosa. Pembentukan celah subepidermal (junctional) dan infiltrat limfoeosinofilik interstitial dan perivaskular adalah khas.(A). Spongiosis eosinofilik dapat juga terlihat (B).

Reaksi Patologi pada Seluruh Unit Reaktif Superfisial

Hampir semua reaksi patologi pada kulit bagian superfisial termasuk

subunit pada unit reaktif superfisial dan badan papilar pada dermis dengan pleksus

mikrovaskuler superfisial merupakan kompartemen jaringan reaktif teratas yang

terdiri atas kapiler, pembuluh darah pre dan post kapiler, fibroblast, makrofag, sel

dendrit, limfosit perifer, semuanya melekat pada jaringan ikat longgar dan matriks

ekstraseluler. Keterlibatan yang paling menonjol pada sebuah komponen

dibanding yang lain menyebabkan perkembangan gambaran klinis yang berbeda.

Beberapa contoh reaksi tersebut terdapat dibawah ini:

12

Page 13: bookread1

Dermatitis Kontak

Pada Dermatitis kontak alergi, terdapat reaksi inflamasi pada badan papilar

dan pleksus mikrovaskuler superfisialis; spongiosis pada epidermis dengan tanda

kerusakan sel dan parakeratosis. Infiltrat limfosit epidermis pada proses awal

dengan beragregasi disekitar sel Langerhans, diikuti oleh vesikel spongiotik.

Parakeratosis terjadi karena kerusakan epidermis, inflamasi badan papilar dan

sekitar pleksus venular superfisialis menstimulasi proses mitosis pada epidermis,

kemudian terbentuk akantolisis dan hiperplasia epidermis pada lesi kronik.

Gambar 6-10 Dermatitis Kontak. Vesikel spongiotik intraepidermal dan edema interselular yang jelas tampak pada epidermis. Dermis mengandung agregat limfosit dan histiosit perivaskular yang bercampur dengan eosinofil yang jarang.

Psoriasis

Lesi inisial psoriasis tampak sebagai akumulasi perivaskuler yang terdiri

atas limfosit, elemen monosit pada badan papilar, venula superfisialis dan migrasi

fokal leukosit ke dalam epidermis. Akantosis disebabkan oleh meningkatnya

proliferasi epidermis, papilomatosis dan elemen elongasi papila dermis bersama

dengan vasodilatasi papillary capillary loops dan infiltrat perivaskuler yang lebih

padat yang berkembang hampir secara simultan; gangguan diferensiasi sel

epidermis menghasilkan parakeratosis, dan timbulnya infiltrat neutropil epitel dari

tortuous capillary (squirting capillary) menyebabkan timbulnya pustula yang

spongiform dan pada parakeratosis lapisan korneum membentuk abses Munro.

13

Page 14: bookread1

Stimulus untuk meningkatkan proliferasi epidermis diikuti singnal yang

dilepaskan dari sel T yang ditarik dari epidermis oleh ekspresi molekul adhesi

pada permukaan keratinosit dan dipelihara oleh pelepasan sitokin oleh keratinosit.

Gambaran khas psoriasis merupakan hasil kombinasi patologis dari badan papilar

dengan venula superfisial, epidermis dan sirkulasi sel.

Psoriasis merupakan contoh yang baik untuk spesifisitas bentuk reaksi

histopatologis yang terbatas pada kulit karena gambaran histologi yang

psoriasiform terjadi pada beberapa penyakit yang tidak berhubungan dengan

psoriasis.

Dermatitis Interface

Inflamasi pada dermal-epidermal junction berhubungan dengan

vakuolisasi merupakan karakteristik dermatitis interface. Tipe reaksi ini

menyebabkan papul atau plak pada beberapa penyakit dan bula pada penyakit

yang lain.

Eritema Multiform

Terjadi dua tipe reaksi. Pada keduanya terdapat dermatitis interface

dengan karakteristik adanya limfosit yang tersebar pada vakuol dermal-epidermal

junction.

Lupus Eritematosus

Inflamasi, edema dan infiltrat limfosit pada badan papilar dan pleksus

venula superfisial, seperti pada lapisan dermis yang lebih dalam, merupakan tanda

lupus eritematosus. Target utama adalah dermal-epidermal junction, dimana

tampak limfosit yang tersebar dan deposit imun komplek menyebabkan pelebaran

yang PAS positif pada membrana basalis, disertai degenerasi hidropik dan

destruksi sel basal serta atrofi yang progresif. Cytoid bodies merupakan hasil dari

apoptosis sel individual epidermal yang terinfiltrasi dan ditutupi oleh

imunoglobulin. Perubahan pada zona junctional merefleksikan diferensiasi

epidermis menyebabkan peningkatan ortokeratosis dan parakeratosis. Lupus

14

Page 15: bookread1

eritematosus mengilustrasikan heterogenesitas, seperti sedikitnya spesifisitas

bentuk reaksi kulit: secara histologis dapat dibedakan antara lesi akut dan kronis

tapi tidak antara lupus eritematosus kutan dan sistemik. Pada lesi kronis yang

persisten, perubahan pada zona junctional awalnya berhubungan dengan hasil

atrofi sekunder yang menimbulkan hiperplasia, hiperkeratosis dan peningkatan

interdigitasi antara epidermis dan jaringan konektiktif, dimana pada kasus yang

akut kerusakan lapisan sel basal dapat menyebabkan lepuh sub-epidermal.

Gambar 6-11 Lupus eritematosus. Hiperkeratosis, penipisan epidermis dengan tanpa rete ridges, dan vakuolisasi zona membrana basalis terlihat.

Liken Planus

Penyakit ini juga menunjukan bentuk reaksi junctional primer dengan

akumulasi infiltrat limfosit yang padat pada jaringan subepidermis dan cytoid

bodies pada zona junctional. Limfosit melebihi batas epidermis, merusak sel

basal, tapi tidak menginfiltrasi lapisan suprabasal dan jarang terjadi lepuh.

Perubahan ini bersamaan dengan perubahan diferensiasi epidermis-terdapat

pelebaran lapisan granulosum (hipergranulosis) dan hiperkeratosis. Perubahan

yang identik tampak penyakit graft-versus-host. Pemikiran saat ini menduga

adanya delayed hipersensitivity reaction pada antigen keratinosit namun

perjalanan alamiahnya tidak jelas. Hubungan limfosit CD8+ dalam aposisi pada

keratinosit apoptotik mendukung gambaran ini. Ekspresi fas/fasL juga berperan

dalam apoptosis pada patogenesis lesi ini.

15

Page 16: bookread1

Gambar 6-12 Liken Planus. Terdapat hiperkeratosis, hipergranulosis wedge-shaped, vakuolisasi sel basal, dan infiltrat limfositik pada dermal-epidermal junction. Infiltrat-infiltrat tersebut "memeluk" lapisan sel basal dan berhubungan dengan banyaknya badan sitoid.

Dermatitis Herpetiformis

Kondisi ini biasanya termasuk dermatosis klasik bulosa; penyakit ini

menggambarkan lebih dari satu atau beberapa bentuk reaksi patologis yang

mengaburkan kondisi patologis yang sebenarnya. Deposisi imunoglobulin A dan

komplemen pada bagian fibrilar dan nonfibrilar pada ujung papila dermis, dan

aktivasi jalur alternatif pada cascade komplemen, menyebabkan masuknya

leukosit, membentuk abses kecil pada ujung papila dermis, edema dan inflamasi.

Hal ini menjelaskan mengapa lesi klinis primer pada dermatitis herpetiformis

adalah urticaria atau papul, sebab hanya pada kasus infiltrasi neutrofil yang masif

akan menyebabkan kerusakan jaringan dan membentuk celah dibawah lamina

densa yang menghasilkan gambaran klinis sebagai vesikel.

16

Page 17: bookread1

Gambar 6-13 Dermatitis herpetiformis. Dua papila menunjukkan mikroabses tersusun atas neutrofil-neutrofil. Vakuolisasi dan pembentukan celah awal terlihat pada kedua papila.

DERMIS RETIKULER

Dermis terdiri dari jaringan fibroelastik kuat dengan jaringan kolagen dan

serat elatik yang melekat pada matriks ekstraseluler. Dermis mempunyai kapasitas

mengikat air yang tinggi. Berlawanan dengan komponen serat yang terjalin erat

pada lapisan retikuler dermis, tekstur serat tersebut hilang pada badan papilar,

perifolikuler dan perivaskuler, dan arah serabut kolagen mengikuti struktur yang

dikelilingi.

Dermis terdiri dari jaringan vaskuler yang terletak paralel dengan

permukaan kulit pada tingkat yang bervariasi dihubungkan dengan pembuluh

darah vertikal. Pada upper dermis pembuluh darah tersebut membentuk pleksus

superficial yang memasok papilla dermis. Jaringan vaskular dermis mempunyai

tiga dimensi, terdiri dari pembuluh darah yang berbeda ukuran dan dimensinya.

Gambaran reaksi vaskular kulit sebaliknya tidak tampak terlalu skematik karena

pembuluh darah tidak teratur secara geometris seperti terlihat pada gambaran

skematiknya. Gambaran sistem vaskular mengacu pada modifikasi regional

karena sistem ini juga tergantung pada ketebalan lemak subkutan, yang

bervariasi pada setiap regio.

Jaringan ikat lepas badan kapiler (the loose connective tissue) dengan

pleksus vena superfisial dan kapilernya, merupakan suatu unit fungsional.

17

Page 18: bookread1

Jaringan ikat yang lepas ini bereaksi hampir seluruhnya pada stimulus spektrum

luas, dan pada sebagian besar dermatosis. Jaringan ikat lepas ini ada pada jaringan

target primer. Namun demikian seperti yang disebutkan sebelumnya, hubungan

erat anatomi dan fungsinya dengan epidermis serta zona junctional sering terlibat

dengan sistem vaskular, menjelaskan bagaimana jaringan ini sangat jarang

terpengaruh dalam keadaan terpisah. Prinsipnya, terjadi dua gambaran reaksi:

Proses inflamasi akut dimana epidermis dan zona junctional sering terlibat dengan

sistem vaskular, dan proses inflamasi yang lebih kronis yang sering tersisa pada

bagian perivaskular. Pada konteks ini harus dicatat bahwa komposisi sitologik

dari infiltrat radang dalam kulit tidak selalu merupakan proses inflamasi. Infiltrat

leukosit PMN tidak selalu berarti suatu proses yang akut, dan sebaliknya proses

kronik tidak selalu diwakili oleh infiltrat limfohistiositik.

Radang unit vaskular-jaringan ikat superfisial ditandai oleh dilatasi

vaskular, meningkatnya permeabilitas, edema, aliran darah intravaskular yang

kurang, dan akumulasi sel darah merah dalam kapiler. Terjadi juga infiltrasi sel

pada jaringan perivaskular. Aktivasi sel histiositik perivaskular dan sel jaringan

ikat yang diamati. Tergantung tingkat vasodilatasi, edema dan infiltrasi seluler,

bentuk mikroskopik dari perubahan histologik dapat berupa eritem, urtikarial dan

lesi infiltratif (wheals, redness, papules). Pengeluaran mediator IgE yang dibawa

oleh sel mast pada reaksi imun tipe I, bermanifestasi secara histologik menjadi

vasodilatasi, edema badan kapiler dan sedikit infiltrat elemen histiosit dan leukosit

disekitar venula superfisial. UKK ini biasanya akan segera pulih tanpa

meninggalkan sisa patologik. Reaksi yang lebih berat akan mengakibatkan

infiltrat perivaskular yng lebih padat, edema tidak terlalu menonjol dan infiltrat

limfositik di sekitarnya lebih padat seperti sleece-like fashion, kasus ini terjadi

pada erupsi obat. Gambaran yang lebih parah terjadi bila sistem vaskular itu

sendiri menjadi target proses inflamasi, yang mengakibatkan rusaknya hubungan

vaskular dengan segala akibatnya, sebagai contoh adalah kasus necrotizing

vaskulitis. Perubahan eksudat ini menghasilkan manifestasi klinis palpable

pupura.

18

Page 19: bookread1

Reaksi inflamasi kronik pada sistem vaskular superfisial biasanya tampak

infiltrat limfosit yang erat hubungannya dengan dinding vaskular. Contohnya pada

purpura simplek, kerusakan pembuluh darah dan perdarahan yang masuk ke

jaringan terlihat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan necrotizing vasculitis,

tetapi integritas pembuluh darah juga rusak yang ditunjukkan oleh perdarahan

yang masuk ke jaringan. Limfosit sebagai reaksi sekunder dan elemen histiositik

yang memuat bahan fagositosis, merupakan infiltrat radang.

Pola reaksi yang digambarkan oleh sistem vaskular badan papilar dan

pleksus vena superfisial, dapat juga terjadi pada dermis profunda, tetapi ada

perbedaan morfologik dan fungsi karena adanya keterlibatan pembuluh darah

besar. Infiltrat limfositik disekitar pembuluh darah yang tampak sleeve-like

menyebabkan tanda klinis hanya apabila terdapat dalam jumlah besar, biasanya

lebih banyak infiltrat inflamasi. Secara klinik akan muncul UKK papular dan

nodular. Kasus ini merupakan erupsi obat dan deep-seated infiltrate pada lupus

eritematosus. Kasus necrotizing vaskulitis pada pembuluh darah yang berukuran

sedang dan besar, biasanya terdapat infiltrat inflamasi, secara klinis tampak

sebagai lesi papul dan nodul; perubahanan sekunder yang disebabkan oleh

interupsi aliran vaskular menyebakab terjadinya nekrosis, bula dan ulserasi pada

kasus cutaneuos panarteritis nodosa tipe makroskopik. Sebaliknya varian dari

tipe makroskopik, yaitu poliarteritis nodosa tipe mikroskopik mempengaruhi

pembuluh darah dalam berbagai ukuran termasuk venula dan arteriola, yang

berpengaruh pada paru-paru, ginjal, dan perinuclear neutrophil antibodies

positive. Granulomatous vasculitis juga menyebabkan lesi noduler, dimana

perubahan hialinisasi vaskuler dan oklusi vaskuler pada livedoid vasculitis

menyebabkan nekrosis iskemik.

19

Page 20: bookread1

Gambar 6-15 Urtikaria. Karakteristik reaksi ini adalah infiltrat-infiltrat limfositik perivaskular yang jarang disertai sedikit eosinofil . Perhatikan edema ringan pada dermis dan sekitar venula post-kapiler.

Gambar 6-16 Erupsi obat. A. Pada seluruh dermis tampak lengan-lengan sel mononuklear perivaskular, terutama limfosit pada sekitar venula superfisial dan dalam. Terdapat edema ringan bada badan papilar dan dermatitis interface ringan pada reaksi terhadap nifedipine. B. Infiltrasi yang lebih jelas , bahkan nodular dari sel-sel mononuklear pada sekitar pembuluh darah pada reaksi terhadap blocker.

20

Page 21: bookread1

Gambar 6-17 Necrotizing vasculitis. Infiltrat inflamatorik yang tersusun terutama oleh neutrofi; dan debu nuklear tampak pada sekitar dan di dalam dinding venula dimana fibrin juga terdeposit. (A).Reaksi yang lebih berat dengan destruksi pembuluh darah (B).

Infiltrat Limfositik

Walaupun sebagian besar kasus dermatosis terdapat infiltrasi limfositik,

ada sebagian proses patologik dimana infiltrat ini lebih menonjol dan merupakan

petunjuk histologi. Analisis infiltrat limfositik ini merupakan salah satu bagian

yang sulit pada patologi kulit. Infiltrasi limfositik terbentuk pada proses inflamasi

atau proliferatif dan kemudian dapat muncul pada proses jinak maupun maligna.

Infiltrat ini dapat berbeda gambaran sitologik dan distribusinya, dapat juga

terbatas hanya pada bagian perivaskular dan sistem vaskular (dermatitis

superfisial dan deep perivaskuler), atau dapat terjadi secara difus melewati

jaringan kolagen (dermatitis difus). Infiltrat limfosit terbatas pada papila dermis

(interface dermatitis) dan tersebar pada kompartemen sub-epidermal atau

menunjukkan epidermotropisme. Dapat terjadi secara independen pada pembuluh

darah, tersebar (interstisial dermatitis) atau noduler (noduler dermatitis). Karena

limfosit merupakan sel dengan populasi heterogen, analisisnya tidak hanya

sitomorfologi dan distribusinya saja, tetapi juga histokimia dan tanda

imunologisnya. Analisis dengan menggunakan antibodi monoklonal dan

determinasi klonalitasnya pada dewasa ini merupakan hal penting pada

dermatopatologi.

21

Page 22: bookread1

Di antara kemungkinan reaksi yang ditandai oleh infiltrasi limfositik,

beberapa gambaran khas dapat dibedakan.

1. Infiltrat perivaskuler superfisial sering disertai dengan reaksi sekunder

epidermis. Sel-sel limfoid mengelilingi alur vaskular secara sleeve-like

fashion, tetapi sering meluas secara difus ke epidermis, yang dapat

memunculkan parakeratosis fokal pada area tersebut. Secara klinis,

perubahan ini sering berupa eritem yang palpabel seperti eritema annulare

sentrifugum, namun erupsi obat, polimorphic light eruption atau insect

bite dapat memberikan gambaran histopatologik yang sama.

2. Limfositik yang membelenggu vena tanpa keterlibatan badan papilar dan

epidermis, dapat muncul pada eritema yang figuratif dan juga pada erupsi

obat. Infiltrat pada leukimia limfatik kronik menunjukkan pola distribusi

yang sama tetapi biasanya lebih nyata/jelas.

3. Infiltrat limfositik perivaskular dengan infiltrasi musin pada jaringan ikat

nonperivaskular dapat ditemukan pada infiltrasi limfositik Jessner-Kanof,

musinosis eritema retikularis, atau pada lupus eritematosus dan

dermatomiositis. Selanjutnya akan diikuti oleh perubahan epidermis

seperti telah disebutkan diatas.

4. Infiltrat limfositik noduler yang meluas pada seluruh dermis memunculkan

akumulasi sel histiositik fokal dermis dan kemudian tampak menyerupai

folikel limfoid, merupakan ciri khas limfositoma kutis. Badan-badan

polikrom pada sel histiositik yang terfagositosis (tingible body

macrophages), mitosis pada pusat folikel limfoid, dan pencampuran

eosinofil adalah fitur-fitur khas, dimana fakta bahwa badan papilar

biasanya tidak terlibat sehingga grenz zone yang mencolok ditemukan

diantara infiltrat dan epidermis

5. Infiltrat limfositik nonfolikuler yang tidak melibatkan unit reaksi

superfisial dapat juga muncul pada hiperplasi limfoid benigna. Tapi pada

kasus ini, sangat sulit untuk membedakannya dengan limfoma maligna.

Infiltrat polimorfik yang berupa histiosit, sel plasma dan kadang-kadang

eosinofil, umumnya menunjukkan kasus jinak, dimana kebanyakan

22

Page 23: bookread1

limfoma non-Hodgkin maligna menampilkan gambaran sitologis yang

lebih monomorf.

6. Akumulasi noduler limfosit dengan gabungan sel plasma dan eosinofil

bersamaan dengan hiperplasia vaskular merupakan ciri dari hiperplasia

angiolimfoid, dimana dinding pembuluh darah menebal dan sel endotelial

mengalami proliferasi, membengkak dan membesar, tetapi gambaran

tersebut dapat dikaburkan sebagian oleh infiltrat limfositik yang padat.

Manifestasi klinik juga tergantung dari tipe dan perluasan substrat

histopatologik. Keterlibatan dermis profunda dapat menyebabkan

masuknya jaringan subkutan dalam proses patologik dan bermanifestasi

klinis membengkak menyerupai selulitis. Infiltrat yang sama dan

perubahan vaskular yang terbatas hanya pada dermis superfisial, klinisnya

memberi gambaran nodul dan papul tegas.

7. Infiltrasi limfositik atipikal yang ada pada dermis superfisial maupun

profunda; dan juga secara sitologik ditandai infiltrat seluler dengan

pleomorfisme yang nyata; merupakan ciri dari limfatomatoid papulosis,

salah satu spektrum dari penyakit limfoproliferatif CD30+. Kondisi ini

menunjukkan masalah-masalah yang muncul apabila hanya menggunakan

histopatologi lesi saja untuk menentukan apakah suatu kelainan tersebut

benigna atau maligna. Tanpa pengetahuan gambaran klinis dan kejadian

penyakit, penentuan suatu diagnosis akan sangat sulit.

23

Page 24: bookread1

Gambar 6-18 Musinosis pada lupus eritematosus. Fitur yang terlihat dengan jelas disini adalah musin yang berlimpah pada dermis dan middermis superfisial.

Infiltrat Leukosit Polimorfonuklear

Walaupun neutrofil merupakakan komponen reguler pada hampir semua

inflamasi kulit, dan juga merupakan sel inflamasi klasik pada infeksi bakteri akut,

tetapi ada beberapa penyakit pada gambaran histopatologinya didominasi oleh

neutrofil walaupun bukan disebabkan bakteri. Pada pioderma gangrenosum,

infiltrasi neutrofilik yang masif menyebabkan abses steril, rusaknya jaringan dan

ulserasi. Pada dermatitis herpetiformis, neutrofil berakumulasi pada puncak papila

dermis dan membentuk abses papilar sehingga pada awalnya terjadi bula

dermolitik yang menggambarkan adanya gangguan pada kohesi dermal-

epidermal. Pada erythema elevatum diutinum, neutrofil merupakan sel

predominan yang mengumpul disekitar pembuluh darah superfisial dan mid-

dermal, yang memunculkan homogenisasi fibrinoid pada dindingnya (toxic

hyalin) dan tanda-tanda vaskulitis. Neutrofil juga merupakan sel predominan pada

tahap awal necrotizing vasculitis. Neutrofil juga merepresentasikan mayoritas dari

infiltrat radang yang seringkali masif pada acute febrile neutrophilic dermatosis,

yang disertai dengan edema subepidermal yang nyata

24

Page 25: bookread1

Gambar 6-19 Angiolymphoid hyperplasia. Berbagai alur vaskular terselubungi oleh agregat sel-sel inflamatorik yang terdiri atas limfosit dan eosinofil. Perhatikan penonjolan dari sel endotelial kedalam lamina-lamina pembuluh darah.

Reaksi Granulomatosis

Kulit adalah jaringan ideal untuk pembentukan granuloma dimana histiosit

memainkan peran kunci. Walaupun sel ini terlibat pada proses inflamasi, hanya

proliferasi dan agregasi fokal histiosit yang dapat disebut sebagai suatu

granuloma. Ketika sel-sel tersebut terkumpul erat ,sel-sel tersebut menyerupai

jaringan epitel, sehingga disebut sebagai sel epiteloid. Pembentukan giant cells,

penyimpanan materi fagosit dan bergabungnya sel inflamasi seperti limfosit,

plasma sel, eosinofil, dapat memberikan gambaran histologis reaksi granuloma

menjadi lebih kompleks. Harus ada juga tambahan perubahan vaskular dan

perubahan struktur fibrosa pada jaringan ikat. Granuloma hampir selalu berujung

pada kerusakan/destruksi jaringan yang sebelumnya ada, khususnya serabut

elastik, dan dengan segera mengakibatkan perubahan permanen seperti atrofi,

fibrosis dan skar. Kerusakan atau destruksi jaringan dapat bermanifestasi sebagai

nekrobiosis, fibrinoid, atau nekrosis kaseosa, atau dapat merupakan hasil dari

pencairan/liquefaction atau pembentukan abses atau dari penggantian jaringan

sebelumnya oleh infiltrat fibrohistiositik dan fibrosis.

Granuloma sarkoid secara khas memiliki karakteristik nodul "naked"

berisi sel epiteloid, kadang-kadang sel raksasa langerhans dan hanya sedikit

limfosit. Pada infiltrat yang lebih besar, sering terjadi nekrosis fibrinoid pada

bagian tengahnya, serat elastik dirusak, serta penyembuhan berakhir dengan

atrofi. Granuloma silika, zirkonium dan berilium serta sejumlah granuloma benda

25

Page 26: bookread1

asing dapat mempunyai gambaran histopatologis yang sama. Diagnosis

sarkoidosis sebaiknya tidak hanya dibuat dari gambaran histologik kulit sendiri,

tetapi harus dikombinasi dengan klinis dan histopatologinya, status imunitas

seluler serta gejala lainnya. Granuloma infeksius dapat pula berisi sel epiteloid

yang banyak sekali sehingga berkembang menjadi gambaran sarkoid. Nekrosis

pada pusat granuloma juga muncul sebagai materi perkejuan atau lebih tampak

seperti supurasi. Hal ini terjadi pada tuberkulosis, sifilis, leismaniasis, lepra atau

infeksi jamur. Sering sulit untuk mengklasifikasikan reaksi granuloma kulit hanya

dengan histopatologisnya semata.

Reaksi granuloma kulit terdiri dari spektrum histopatologik yang luas.

Granuloma palisade mengitari area nekrobiotik jaringan ikat dengan histiosit yang

tersusun radial. Granuloma anulare, nekrobiosis lipoidika, nodul rematoid dan

nodul jukstaartikular pada sifilis, masuk dalam kelompok ini. Reaksi ini signifikan

sebagai tanda penyakit sistemik. Contohnya ketika terdapat neutrofil pada bagian

nekrobiotik granuloma anular atau nekrobiosis, dapat dicurigai hubungannya

dengan inflamatory bowel disease. Endokrinopati dapat terjadi pada diabetes

melitus merupakan contoh klasik yang berhubungan dengan nekrobiosis lipoidica.

Nodul rheumatoid dapat berhubungan dengan rheumatoid arthritis tapi dapat juga

terjadi sebagai hasil trauma pada beberapa lokasi kulit. Obat juga dapat

menyebabkan terjadinya reaksi ini.

Granuloma infeksius dengan gambaran sarkoidal, dapat terjadi pada

tuberkulosis, sifilis, leishmaniasis, lepra atau infeksi jamur. Nekrosis juga dapat

berkembang dengan baik dalam granuloma yang sesuai, sebagaimana pada kasus

nekrosis fibrinoid pada sarkoidosis, kaseosa pada tuberkulosis, atau nekrosis yang

berkembang pada granuloma mikotik. Banyak granuloma infeksius berhubungan

dengan hiperplasia epidermal, sering menunjukkan abses intraepidermal dimana

dapat ditemukan organisme penyebab, sering pada multinucleated giant sel. Pada

dermis terdapat bermacam-macam sel, termasuk histiosit, sel epiteloid, eosinofil,

neutrofil dan limfosit.

26

Page 27: bookread1

Sering sulit untuk mengklasifikasikan reaksi granuloma pada kulit dengan

histopatologi saja, kondisi etiologi yang berbeda seperi imunopati dan beberapa

bentuk dari vaskulitis berkembang menjadi granuloma.

Bentuk spesifik terbentuk ketika infiltrat seluler terdiri atas sel granuloma,

histiosit. Sebuah organ sel yaitu tempat untuk menyimpan material fagosit. Pada

bentuk reaksi xanthoma, histiosit menempati dan menyimpan lemak dan berubah

menjadi foam sel. Mereka terdistribusi secara difus, seperti pada kasus diffuse

normolipemic xanthomatosis, atau sebagai agregat infiltrat mirip tumor pada

hiperlipoproteinemia dan xanthelasma.

Gambar 6-20 Sarcoidal granuloma. Pada dermis, sejumlah tuberkel "naked" yang tersusun atas sel epiteloid dan limfosit terlihat. Lapisan epidermis yang mendasari tampak atropik.

Gambar 6-21 Granuloma annulare. Palisading granuloma berbatas tegas terlihat pada dermis. Kolagen nekrobiotik dikelilingi oleh histiosit, limfosit, dan sedikit sel raksasa berinti banyak yang tersebar.

27

Page 28: bookread1

Fibrosa Dermis dan Matriks Ekstraseluler

Proses sklerosis kulit biasanya berubah secara dinamik dari struktur dan

fungsi yang terlibat pada semua bagian organ. Tanda khas skleroderma adalah

homogenisasi, penebalan, serabut kolagen yang tersusun padat, penyempitan celah

interfasikular yang saling merapat dalam retikuler dermis, serta hilangnya batas

dermis dengan badan papilar. Disertai juga penurunan jumlah pembuluh darah

subpapilar dan papilar yang tampak menyempit, dan pada tahap awal, infiltrat

limfositik perivaskuler dan edema jaringan. Penebalan dermis yang luar biasa ini

tidak hanya merupakan hasil dari meningkatnya komponen fibrosa, tapi juga

disebabkan oleh fibrosis lapisan lemak subkutan superfisial yang mengiringi

infiltrasi limfositik dan reaksi histiositik.

Perubahan sklerodermoid ditemukan pada toxic oil syndrome dan I-

tryptophan disease, eosinophilic fasciitis, dan mixed connective tissue disease;

Dapat juga muncul pada pachydermoperiotosis dimana peningkatan fibroblas dan

substansi dasar menyertai perubahan sklerotik; Dan pada porfiria cutanea tarda,

yang menunjukkan hialinisasi pembuluh darah papilar yang khas. Pada lichen

sclerosus terdapat edema masif pada badan papilar dari retikuler dermis dan

infiltrat limfositik padat yang awalnya berikatan erat dengan epidermis, dan lalu

akan memisahkan badan papilar yang edem dari dermis retikuler. Ketika sklerosis

muncul, terjadi juga hilangnya jaringan elastik badan papilar dan keterlibatan

konkomitan epidermis termasuk degenerasi hidropik sel basal, atrofi dan pada saat

yang sama terjadi juga hiperkeratosis. Perubahan zona junctional pada kondisi ini

kadang-kadang menyebabkan terpisahnya epidermis dari dermis dan kemudian

menjadi pembentukan bula.

Kesalahan sintesis atau reaksi silang kolagen menghasilkan sejumlah

penyakit atau sindrom yang dikenal dengan baik namun mengarah pada sedikit

gambaran histopatologis yang tidak khas. Pada beberapa tipe berbeda dari Ehlers-

Danlos syndrome, cacat kolagen tidak dapat dikenali secara histopatologis dan

hanya terjadi peningkatan relatif jaringan elastis yang menunjukkan adanya

28

Page 29: bookread1

sesuatu yang abnormal terjadi pada dermis. Sebaliknya perubahan histopatologik

jaringan elastik dapat dikenali lebih mudah karena serat elastik kehilangan

karakteristiknya atau karena serat elastik ini tampak berbeda dengan tehnik

pewarnaan khusus. Secara umum, elastolisis yaitu fragmentasi serat elastik,

merupakan substrat sitopatologik pada gambaran klinik cutis laxa; dan

fragmentasi perlekukan serta gumpalan serat elastik merupakan diagnosis yang

sama dengan pseudoxanthoma elasticum. Deposisi kalsium dan kadang-kadang

muncul reaksi benda asing yang merupakan gambaran tambahan pada kondisi

selanjutnya. Sebaliknya pada aktinik elastosis, dermatoheliolisis, semua jaringan

ikat superfisial terlibat. Badan papilar dan juga jaringan superfisial retikuler

dermis diisi oleh gumpalan dan perlekukan serat yang bersifat homogen dan

basofilik secara progresif. Kesemuanya diwarnai oleh cairan pewarna yang

mempunyai afinitas untuk jaringan elastik sehingga secara histokimiawi seperti

serat elastik; Perubahan pada struktur dermis tersebut tampak nyata secara klinis:

Jaringan konektif yang rapi dan kuat pada skleroderma merefleksikan sklerotik

tekstur dan homogenisasi berkas kolagen yang tampak secara histologik;

Hilangnya lipatan pada cutis laxa merupakan hasil fragmentasi serabut elastik;

papul mirip cobblestone pada pseudoxanthoma elasticum berhubungan dengan

perubahan patologis dengan agregasi fokal materi elastik; garis kulit yang kasar

dan profil permukaan pada dermatoheliosis merupakan agregasi fokal material

elastik.

Lemak Subkutan

Proses inflamasi pada jaringan adiposa subkutan memiliki rangkaian yang

sedikit berbeda dibanding jaringan konektif pada dermis karena anatomi spesifik

pada subkutan. Inflamasi pada lemak subkutan merefleksikan proses inflamasi

jaringan adiposa atau lobulus lemak yang sesuai atau proses yang berlangsung

pada septa; hal itu dapat termasuk pembuluh darah venula dan kapiler atau

berkembang dari pembuluh darah muskular yang lebih besar. Manifestasi

histopatologi dapat bervariasi. Patologi pembuluh darah kecil biasanya

29

Page 30: bookread1

bermanifestasi lokal, dengan melibatkan lobulus lemak disekitarnya , dimana

kerusakan atau oklusi pembuluh darah yang lebih besar mempengaruhi seluruh

segmen jaringan. Kerusakan lemak, yang terjadi karena trauma atau inflamasi,

menyebabkan pelepasan asam lemak yang merupakan stimulus inflamasi yang

kuat bagi jaringan lemak itu sendiri, menarik neutrofil, histiosit dan makrofag;

fagositosis lemak yang sudah terdestruksi biasanya menyebabkan pembentukan

lipogranuloma.

Proses septal yang mengikuti perubahan inflamasi pembuluh darah

trabekular biasanya disertai edema, infitrasi sel inflamasi dan reaksi histiositik. Ini

merupakan gambaran klasik pada eritema nodusum. Inflamasi septal yang

berulang menyebabkan pelebaran septa interlobuler, fibrosis, akumulasi histiosit

dan giant sel, dan menyebabkan proliferasi vaskular. Sebaliknya, pada vaskulitis

nodular, vaskulitis pada pembuluh darah besar pada area septum bersamaan

dengan nekrosis lemak, diikuti reaksi histiositik, granuloma sel epiteloid dalam

lobulus lemak dan reaksi fibrotik yang menyebabkan sklerosis pada seluruh lemak

subkutan. Di sisi lain, panikulitis lobuler dihasilkan dari nekrosis lobulus lemak

sebagai kejadian primer, seperti juga pada kasus idiopatik nodular pannikulitis,

diikuti akumulasi neutrofil dan leukositoklasia.

Material lipid berasal dari nekrosis adiposit yang terdiri atas kolesterol

bebas dan kolesterol teresterifikasi, lemak netral, sabun dan asam lemak bebas

yang pada gilirannya, mengeluarkan stimulus inflamasi. Sel histiosit bermigrasi

kedalam lemak yang mengalami inflamasi dan fagositosis menyebabkan

terjadinya pembentukan foam cell. Granuloma epiteloid dengan giant cell juga

dapat terjadi dan berkembang menjadi semua tipe fibrosis. Oleh karena itu,

Nekrosis lemak merupakan kejadian primer dan inflamasi terjadi sekunder pada

tipe panikulitis ini.

Kapasitas jaringan adiposa untuk merespon stimulus patologis juga

berlaku untuk kondisi penyakit yang mempengaruhi jaringan subkutan hanya

secara sekunder atau merupakan hasil dari faktor eksogen. Traumatic panniculitis

menyebabkan nekrosis lobulus lemak dan reaksi inflamatorik dan granulomatosa

jaringan yang reaktif. Setelah disuntik minyak atau silikon, dapat terbentuk

30

Page 31: bookread1

kavitas kistik yang besar, dimana sedangkan setelah disuntik pentazocine,

gambaran histopatologis didominasi oleh fibrosis dan sklerosis. Substansi

berminyak dapat menetap di dalam jaringan adiposa untuk waktu yang lama tanpa

menyebabkan reaksi jaringan yang signifikan; Kista minyak berevolusi dikelilingi

beberapa lapisan jaringan konektif resdiual, sehingga jaringan memberikan seperti

gambaran "swiss cheese". Minyak hewani atau nabati sering menyebabkan

granuloma tuberkuloid atau lipofagik dengan reaksi histiosit masif, foam cell dan

fibrosis sekunder.

Panniculitis juga terjadi sebagai hasil agen infeksius (kokus, mikobakteria,

dan bakteri lain dan organisme jamur) atau proses penyakit spesifik. Pada

sarkoidosis, lemak secara bertahap digantikan oleh nodul epiteloid dan pada

limfoma oleh infiltrat limfomatosa spesifik. Pada lupus pannikulitis, infiltrat

limfosit yang padat pada septal atau jaringan lobular menentukan gambaran

histopatologik, juga keterlibatan pembuluh darah yang bermanifestasi sebagai

vaskulitis. Kerusakan lemak, pencairan dan lipogranuloma dapat menjadi sangat

jelas sehingga komponen vaskular dapat menjadi sulit dikenali, dan gambaran

histopatologis dapat menyerupai pannikulitis noduler idiopatik.

Kita masih sangat awam dalam memahami prinsip dasar molekular yang

mendasari berbagai macam pola reaksi pada lapisan subkutis. Sebagian hal

tersebut dikarenakan pemahaman kita tentang fisiologi normal lemak subkutan

baru saja bergerak dari perhatian lampau tentang penyimpanan energi. Kita

sekarang mengetahui bahwa subkutis merupakan sumber potensial dari stem cell

yang memiliki plastisitas diferensiasi yang terlihat jelas, dan sehingga

berimplikasi pada penggunaannya pada pengobatan regeneratif. Lobus lemak itu

sendiri lebih dari sekedar lokasi penyimpanan energi; ia juga menghasilkan

berbagai sitokin proinflamatorik dan trombogenik yang, sama halnya dengan

sitokin yang merupakan derivat dari epidermis, juga kemungkinan besar

memainkan peranan kunci dalam meregulasi berbagai pola reaksi. Lebih lanjut,

karena lokasinya yang lebih dalam dari permukaan dermal-epidermal, lemak

subkutan memiliki kemampuan untuk dijadikan sebagai barometer untuk tahapan

31

Page 32: bookread1

molekular sistemik yang dapat mengindikasikan suatu penyakit yang

tergeneralisir. Akhir kata, gangguan pada lemak memproduksi pola reaksi yang

spesifik yang berasosiasi dengan produksi sitokin berlebih yang dapat

berkontribusi pada kesehatan dan penyakit sistemik, dimana pada saat ini

dispekulasikan sehubungan dengan mediator proinflamasi yang diproduksi di

subkutis yang dapat berkontribusi terhadap evolusi dari beberapa bentuk dari

penyakit kardiovaskuler.

Gambar 6-22 Erythema nodosum. Infiltrat inflamatorik granulomatosa kronis dengan giant cells meluas sepanjang septa yang menebal kedalam lobulus lemak

Gambar 6-23 Nodular vasculitis. Gambaran khas yang tampak adalah vaskulitis berat dengan nekrosis dinding pembuluh darah besar dan oklusi lumen. Nekrosis lobulus lemak nampak juga dengan infiltrat sel inflamatorik akut dan kronis.

32

Page 33: bookread1

33