book reading - topical steroid

17

Click here to load reader

Upload: yid-bajang

Post on 08-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kortikosteroid topikal fitzpatrick

TRANSCRIPT

Page 1: Book Reading - Topical Steroid

TEXT BOOK READING

“KORTIKOSTEROID TOPIKAL”

Oleh :

Muhyiddin

H1A010002

Pembimbing

dr. Yunita Hapsari, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA SMF KULIT DAN KELAMIN RSUP NTB/ FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM

2015

Page 2: Book Reading - Topical Steroid

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Kortikosteroid topikal merupakan obat yang paling sering diresepkan daripada semua produk obat dermatologi. Obat ini efektif untuk mengurangi gejala peradangan, tetapi tidak mengatasi penyebab penyakit. Penelitian glukokortikoid topikal telah difokuskan pada strategi untuk mengoptimalkan potensi dan meminimalkan efek samping. Molekul-molekul baru memiliki efek anti-inflamasi yang lebih tinggi, dan kepatuhan yang baik dengan penggunaan sekali sehari jarang menyebabkan reaksi silang sensitivitas.

MEKANISME KERJA

Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang terkait dengan mekanisme kerja yang berbeda, termasuk diantaranya adalah anti-inflamasi, imunosupresif, antiproliferatif, dan efek vasokonstriksi. Sebagian besar mekanismenya dimediasi oleh reseptor intraselular yang disebut reseptor glukokortikoid. Reseptor glukokortikoid α-isoform terletak di sitosol, mengikat glukokortikoid, dan menempatkannya ke wilayah inti DNA yang dikenal sebagai elemen responsif kortikosteroid, dimana ia kemudian mampu merangsang atau menghambat transkripsi gen yang berdekatan, sehingga dapat mengatur proses inflamasi. Reseptor glukokortikoid β-isoform tidak mengikat glukokortikoid, tetapi mengikat anti-glukokortikoid / antiprogestin yang mengandung senyawa RU-486 untuk mengatur ekspresi gen.

Efek anti-inflamasi

Kortikosteroid dianggap memberi efek anti-inflamasi yang kuat dengan menghambat pelepasan fosfolipase A2 (enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin), leukotrien, dan turunan lainnya dari jalur asam arakidonat. Kortikosteroid juga menghambat faktor transkripsi, seperti aktivasi protein 1 dan faktor inti κβ, yang terlibat dalam aktivasi gen-gen proinflamasi. Gen-gen yang diketahui diregulasi oleh kortikosteroid dan berperan dalam resolusi inflamasi termasuk lipocortin dan p11 / calpactin-pengikat protein, keduanya berperan dalam pelepasan asam arakidonat. Lipocortin I menghambat fosfolipase A2 sehingga mengurangi pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid. Kortikosteroid juga menurunkan pelepasan interleukin-1α (IL-1α), sitokin proinflamasi penting, dari keratinosit. Mekanisme lain untuk efek anti-inflamasi kortikosteroid meliputi penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran lisosom pada sel-sel fagositosis.

Efek imunosupresif

Efektivitas lain dari kortikosteroid adalah sifat imunosupresif yang dimiliki. Kortikosteroid menekan produksi dan efek dari faktor humoral seperti respon inflamasi, migrasi leukosit, serta mengganggu fungsi dari sel-sel endotel, sel granulasi, sel mast, dan fibroblast. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan jumlah sel mast di kulit. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal dapat menghambat

Page 3: Book Reading - Topical Steroid

kemotaksis neutrophil in vitro, dan munurunkan jumlah sel Langerhans Ia+ in vivo. Kortikosteroid dapat menurunkan eusinofil pada pasien asma. Disamping itu juga dapat menurunkan proliferasi sel T dan merangsang apoptosis sel T. Beberapa sitokin dipengaruhi langsung oleh kortikosteroid, termasuk IL-1, IL-2, IL-8, TNF- α, dan faktor stimulasi granulosit (makrofag). Kemungkinan efek-efek tersebut merupakan hasil dari aksi steroid terhadap APC (antigen presenting cells).

Efek anti-proliferasi

Efek anti-proliferasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh penghambatan sintesis DNA dan mitosis, ini juga menjelaskan mekanisme kerja terapi obat tersebut pada kelainan kulit. Obat ini juga bekerja menurunkan proliferasi dan ukuran keratinosit. Aktivitas fibroblast dan kolagen juga dihambat oleh kortikosteroid topikal.

Efek Vasokontriksi

Mekanisme kerja kortikosteroid dalam merangsang vasokontriksi belum diketahui sepenuhnya. Diduga berhubungan dengan penghambatan hormon vasodilator seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin. Kortikosteroid topikal menyebabkan kontraksi kapiler superfisial dermis sehingga mengurangi tampakn eritema. Kemampuan agen kortikosteroid dalam merangsang vasokontriksi biasanya berhubungan dengan seberapa besar kekuatan anti-inflamasinya tes vasokontriksi sering digunakan untuk mengukur aktivitas klinis agen. Tes ini, dalam kombinasi dengan uji klinis double-blind, digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal menjadi tujuh kelas berdasarkan kekuatannya. Kelas 1 merupakan kelas terkuat dan kelas 7 merupakan kelas terlemah. eTabel 21.6 di edisi online menjelaskan daftar ketersedian kortikosteroid topikal berdasarkan besar kekuatannya. Diketahui beberapa obat yang sama dapat ditemuka dalam kelas yang berbeda, ini tergantung pada gugus fungsi pembawa yang digunakan obat tersebut.

FARMAKOKINETIK

Kortikosteroid memiliki struktur rangka dasar yang terdiri dari 17 atom karbon disusun dalam tiga cincin beranggota enam dan satu cincin beranggota lima. Modifikasi kortisol (Gbr. 1), dengan penambahan atau perubahan gugus fungsi pada posisi tertentu, membentuk senyawa dengan variasi potensi anti-inflamasi dan efek samping.

Penelitian kortikosteroid topikal telah difokuskan pada strategi untuk mengoptimalkan potensi dan meminimalkan efek samping. Salah satu strategi adalah untuk mengembangkan senyawa dengan meningkatkan efek anti-inflamasi, mengurangi efek yang tidak diinginkan, dan menekan Gambar 1. Molekul steroid

Page 4: Book Reading - Topical Steroid

efek adrenal. Dalam hal ini, kemajuan telah dibuat dengan perkembangan molekul glukokortikoid tersebut dengan mempertahankan aktivitas tinggi di kulit, obat tersbut cepat dipecah menjadi metabolit tidak aktif, sehingga mengurangi efek sistemik dan beberapa efek toksik lokal ("soft" glukokortikoid) . Beberapa senyawa ini meliputi diesters 17,21-hidrokortison aceponate dan hydrocortisone 17-butyrate-21 propionate, prednicarbate, mometason furoate, methylprednisolone aceponate, alclometasone dipropionate, dan carbothioates seperti flutikason propionate. Agen terakhir ini diklasifikasikan sebagai kortikosteroid kuat dengan potensi yang lebih rendah menyebabkan atrofi kulit dan supresi adrenal karena lipofilisitasnya yang tinggi, kemampuan pengikatan reseptor glukokortikoid yang tinggi, dan aktivasi serta metabolisme yang cepat di kulit. Hal ini menawarkan keuntungan dari aplikasi sehari sekali dan reaksi alergi lokal jarang terjadi. Mometason furoate juga memiliki efek anti-inflamasi yang tinggi dengan insiden penekanan adrenal yang rendah. Hydrokortisone aceponate, prednicarbate, dan methylprednisolone aceponate memiliki efek anti-inflamasi yang cukup, namun memiliki kemampuan untuk merangsang atrofi kulit yang paling rendah. Oleh karena itu, mereka dapat digunakan untuk mengobati daerah seperti wajah, skrotum, dan area permukaan tubuh yang luas pada anak-anak, dengan efek samping minimal.

Sebelum memilih sediaan glukokortikoid topikal, salah satu yang harus dipertimbangkan adalah hubungan faktor pasien dan faktor obat yang dapat mengakibatkan penyerapan sistemik. Usia pasien, lokasi dan luas dari permukaan tubuh serta adanya peradangan kulit akan sangat mempengaruhi aktivitas agen topikal. Kemampuan penetrasi glukokortikoid bervariasi tergantung lokasi area kulit, yang kemudian berhubungan dengan ketebalan stratum korneum dan pasokan vaskular ke area kulit tersebut. Sebagai contoh, penetrasi steroid topikal melalui kelopak mata dan skrotum adalah 4 kali lebih besar daripada dahi dan 36 kali lebih besar daripada telapak tangan dan telapak kaki. Peradangan, kelembaban, dan kulit yang tidak berambut juga menjadi faktor peningkatan penetrasi. Area tubuh di mana terdapat kulit yang tipis tidak hanya memungkinkan untuk meningkatkan penetrasi obat, tetapi juga lebih rentan terjadi efek samping dibandingkan daerah lain di mana terdapat kulit tebal. Steroid topikal poten (kelas 1 dan 2) harus lebih jarang digunakan di daerah-daerah dengan tingkat tertinggi penetrasi, seperti kelopak mata. Konsentrasi zat terapi yang digunakan, durasi penggunaan, penggunaan dressing oklusive, gugus pembawa, dan karakteristik intrinsik dari molekul yang dipilih, juga dapat mempengaruhi penyerapan dan tingkat efek samping obat. Target area untuk kortikosteroid topikal adalah epidermis atau dermis yang viabel, dan respons klinis terhadap formula berbanding lurus dengan konsentrasi kortikosteroid yang dicapai pada target area. Sebuah studi perbandingan tentang penggunaan kortikosteroid topikal pada kulit dibandingkan dengan pengobatan kortikosteroid oral menunjukkan bahwa kebanyakan kortikosteroid topikal memiliki potensi untuk mencapai tingkat obat yang efektif yang lebih besar di lapisan superfisial kulit daripada yang dicapai dengan dosis standar prednison oral. Ternyata kortikosteroid oral meniliki efek yang lebih baik daripada kortikosteroid topikal, ini diduga akibat kurangnya kepatuhan pasien dalam penggunaan obat topikal.

Kortikosteroid topikal dibuat dalam beberapa formulasi dengan berbagai potensi (kekuatan). Penelitian terbaru telah menekankan pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan dalam pengelolaan kondisi kulit. Dengan demikian, formulasi baru termasuk spray (semprotan), foam (busa), lotion, hidrogel, dan formulasi sampo telah dikembangkan untuk meningkatkan

Page 5: Book Reading - Topical Steroid

penerimaan dan kenyamanan pasien, tanpa mengurangi efektivitas, keamanan dan tolerabilitas formulasi salep dan krim biasa.

Peningkatan hidrasi stratum korneum dapat meningkatkan penyerapan kortikosteroid topikal empat sampai lima kali lebih besar. Penyerapan juga ditingkatkan sampai sepuluh kali lebih besar dengan tambahan oklusi. Sebuah studi retrospektif sediaan basah digunakan dengan kortikosteroid topikal (hidrokortison 1% krim untuk daerah wajah dan lipatan kulit dan triamcinolone 0,1% krim untuk daerah leher ke bawah) untuk orang dewasa dengan penyakit kulit gatal (terus menerus) dari etiologi yang berbeda. Ditemukan penurunan rasa gatal pada 98% pasien. Peningkatan penetrasi kortikosteroid hanya salah satu dari banyak manfaat dari sediaan basah.

INDIKASI

Kortikosteroid topikal direkomendasikan sebagai obat pilihan dalam penyakit kulit karena efek aktivitas antiinflamasinya terhadap penyakit kulit. Obat ini juga digunakan karena anti-mitosisnya dan kemampuannya dalam menurunkan sintesis molekul-molekul jaringan ikat. Beberapa veriabel harus dipertimbangkan ketika akan menggunakan obat kortikosteroid topikal. Sebagai contoh, respon penyakit terhadap berbagai macam kortikosteroid topikal. Atas dasar itu, penyakit dapat dibagi menjadi tiga kategori yang terlihat dalam table 216-1 : 1) respon kuat, 2) respon sedang, 3) respon lemah.

Tabel 216-6

Respon dermatosis terhadap penggunaan kortikosteroid topikalRespon kuat Respon sedang Respon lemahPsoriasis (intertriginosa) Psoriasis Psoriasis palmoplantarDermatitis atopic (anak) Dermatitis atopic (dewasa) Psoariasis kukuDermatitis seboroik Dermatitis nummular Dermatitis dishidrotikintrtrigo Dermatitis primer iritan Lupus eritematosus

Urtikari papular PemphigusParapsoriasis Liken planusLiken simplek kronis Granuloma anular

Nekrobiosis lipodica dibetikorumSarcoidosisDermatitis kontak alergi (fase akut)Gigitan serangga

Page 6: Book Reading - Topical Steroid

Anak

Glukokortikoid topikal sangat efektif, dan beberapa efek samping yang diamati ketika sedian kekuatan lemah digunakan untuk jangka waktu yang singkat pada anak-anak. Namun, anak-anak dan, khususnya, bayi, memiliki resiko peningkatan penyerapan kortikosteroid topikal karena beberapa alasan. Mereka memiliki rasio luas permukaan kulit dan berat badan yang lebih tinggi sehingga berpotensi terjadi efek sistemik yang lebih besar. Bayi juga mungkin kurang mampu memetabolisme glukokortikoid kuat dengan cepat. Bayi prematur sangat beresiko karena kulit mereka lebih tipis dan tingkat penetrasi obat topikal sangat tinggi. Penggunaan steroid topikal di diaper area (area popok) dan terjadi peningkatan penyerapan steroid. Penyerapan glukokortikoid topikal yang berlebih dapat menekan produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian terapi steroid topikal berikutnya, setelah masa pengobatan diperpanjang dapat (meskipun jarang) mengakibatkan krisis addisonian. Kematian akibat krisis addisonian telah dilaporkan dengan penggunaan steroid topikal, dan risiko kejadian ini lebih besar pada anak-anak. Penekanan produksi kortisol yang lama juga dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan. Tingkat kortisol plasma (pada pagi hari) dapat dilakukan untuk menyaring supresi adrenal, meskipun tes stimulasi ACTH dengan cosyntropin lebih akurat. Jika penekanan terjadi, anak harus perlahan-lahan disapih dari steroid untuk mencegah komplikasi ini.

Kortikosteroid telah digunakan dengan sukses untuk dermatitis atopik selama beberapa dekade. Uji coba terkontrol plasebo telah menemukan bahwa kortikosteroid efektif dalam 75% atau lebih pasien dengan dermatitis atopik jika dibandingkan dengan plasebo pada kurang dari 30% pasien. Kortikosteroid memegang peran penting dalam mengelola eritema akut. Seperti kondisi kulit lainnya, memilih kekuatan yang tepat menurut area tubuh, tingkat keterlibatan dan intensitas eritema sangat penting untuk keberhasilan pengobatan. Edukasi pasien dan pengasuhnya sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat. Hasil dari survei skala besar menunjukkan bahwa pasien / pengasuh melebih-lebihkan bahaya risiko kortikosteroid topikal ("fobia steroid") yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam penggunaah obat.

Hemangioma pada bayi menunjukkan respon yang baik pada pengobatan dengan glukokortikoid topikal ultrapotent di 74% bayi. Mayoritas melaporkan penurunan kecepatan pertumbuhan hemangioma. Hemangioma dangkal, terutama di area yang rawan terjadi ulserasi, cacat atau keduanya, dan lesi periocular kecil yang belum menyebabkan gangguan penglihatan yang signifikan adalah kondisi terbaik untuk dilakukan terapi. Mekanisme kerja kortikosteroid dalam mengurangi proliferasi hemangioma masih belum diketahui . Injeksi kortikosteroid intralesi hemangioma sebelum dan setelah pengobatan, telah menunjukkan peningkatan sel mast, penurunan transkripsi di beberapa sitokin dan peningkatan transkripsi gen sitokrom b.

Orang tua

Pasien-pasien tua (geriatri) juga memiliki kulit yang tipis dimana kortiksteroid topikal dapat lebih mudah masuk ke dalam kulit. Kemungkinam besar kulit mereka sebelumnya juga sudah terjadi atrofi kulit akibat dari penuaan dan kebutuhan akan penggunaan popok. Sehingga pengobatan yang diterapkan pada bayi juga dapat diterapkan pada pasien-pasien geriatri.

Page 7: Book Reading - Topical Steroid

Kehamilan

Penelitian pada manusia terkait penggunaan glukokortikoid topikal pada kehamilan tidak pernah dilakukan. Studi pada hewan menunjukkan bahwa steroid topikal diserap secara sistemik dan dapat menyebabkan kelainan janin, terutama bila digunakan dalam jumlah yang berlebihan, di bawah dressing oklusif, untuk jangka waktu yang lama, atau ketika agen lebih kuat digunakan. Kebanyakan steroid topikal dinilai oleh US Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat kategori C, yang berarti bila digunakan dalam kehamilan harus hati-hati. Baru-baru ini Chi dkk mengemukakan tinjauan sistematis tentang keamanan kortikosteroid topikal pada kehamilan yang menunjukkan bahwa data saat ini tidak meyakinkan dan terbatas sehingga tidak dapat mendeteksi hubungan antara kortikosteroid topikal dan kelainan bawaan, kelahiran prematur, cara persalinan atau kelahiran mati. Bukti saat ini tidak menunjukkan efek yang signifikan secara statistik untuk wanita hamil yang menggunakan kortikosteroid topikal dibandingkan dengan wanita yang tidak terpajan. Namun, dalam sebuah penelitian kohort kecil dari pusat rumah bersalin, tampaknya ada hubungan kortikosteroid kuat dengan berat badan lahir rendah. Sebagian besar penelitian sebelumnya hanya dinilai risiko kelainan bawaan atau kejadian sumbing orofasial. Penelitian kohort lebih lanjut dengan ukuran hasil yang komprehensif (termasuk pertumbuhan janin, kelahiran prematur, dan kematian saat kelahiran), pertimbangan potensi kortikosteroid, dosis dan indikasi, serta ukuran sampel yang besar diperlukan untuk mendeteksi risiko kecil. Saat ini diketahui apakah glukokortikoid topikal diekskresikan dalam ASI; Namun, mereka harus digunakan dengan hati-hati pada ibu menyusui dan tidak boleh digunakan pada payudara sebelum menyusui.

DOSIS

Frekuensi penggunaan kortikosteroid topikal dikembangkan secara empiris, dimana sebagian besar buku dan para dokter ahli merekomendasikan penggunaannya dua kali sehari. Untuk kortikosteroid dengan potensi super kuat, dipertimbangkan untuk penggunaan satu kali sehari saja, dimana manfaatnya sama seperti penggunaan dua kali sehari. Demikian juga pada penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuat dan sedang, disarankan penggunaan satu kali sehari. Disamping efeknya sama dengan penggunaan dua kali sehari, juga dapat menurunkan risiko dan efek samping obat, tachyphylaxis, dan biaya terapi, serta meningkatkan kepatuhan pasien. Tachyphylaxis telah dibuktikan dalam studi eksperimental yang ditunjukkan dengan kurangnya vasokonstriksi, rebound dari sintesis DNA, dan pemulihan wheals histamin setelah penerapan steroid topikal pada pasien dengan riwayat penggunaan steroid topikal jangka panjang.

Sebagai aturan dosis pada orang dewasa yaitu tidak lebih dari 45 g / minggu untuk kortikosteroid topikal potensi kuat atau 100 g / minggu untuk kortikosteroid topikal sedang dan lemah.

Page 8: Book Reading - Topical Steroid

TERAPI AWAL

Beberapa prinsip umum harus diingat ketika memulai kortikosteroid topikal; ini diuraikan dalam Kotak 216-1.

Kotak 216-1. Prinsip-prinsip ketika mengawali terapi steroid topikal Memulai potensi terlemah untuk cukup mengontrol penyakit. Penggunaan jangka panjang dari agen potensi cukup kuat harus dihindari. Ketika area permukaan besar yang terlibat, pengobatan dengan potensi lemah-sedang

dianjurkan. Penyakit yang sangat responsif biasanya akan menanggapi sediaan steroid lemah,

sedangkan penyakit kurang responsif membutuhkan sediaan potensi kuat. Potensi lemah, idealnya digunakan pada wajah dan daerah intertriginosa. Kortikosteroid yang sangat kuat, sering di bawah oklusi, biasanya diperlukan untuk

penyakit kulit hiperkeratosis atau likenafikasi dan pada telapak tangan dan telapak kaki. Peningkatan luas permukaan tubuh untuk rasio indeks massa tubuh meningkatkan risiko

penyerapan sistemik, sediaan potensi kuat-sedang, harus dihindari terutama pada bayi dan anak-anak, selain untuk aplikasi jangka pendek.

MONITORING/EVALUASI TERAPI

Penerapan kortikosteroid untuk daerah permukaan kulit luas, oklusi, konsentrasi yang lebih tinggi, atau derivat yang lebih kuat secara langsung meningkatkan risiko penekanan aksis hipotalamus-hipofisis (HPA). Jika pada akhirnya ada yang dicuragai terjadi penekanan HPA , maka diperlukan analisis laboratorium yang mencakup pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, dan tingkat kortisol plasma pagi. Pada pasien dengan penekanan HPA, perlu dilakukan penurunan dosis dan potensi obat serta jumlah steroid topikal secara bertahap dan secara bersamaan memulai pemberian steroid oral.

EFEK SAMPING DAN PENCEGAHANNYA

Efek samping lokal maupun sistemik dari penggunaan kortikosteroid topikal telah didokumentasikan. Dalam kondisi normal, 99% lebih penggunaan kortikosteroid topikal diibersihkan dari kulit, dan hanya 1% yang merupakan terapi aktif. Efek samping kulit dapat terjadi karena penyerapan kortikosteroid secara perkutan atau mungkin juga karena adanya reaksi sementara pada kulit. Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan tachyphylaxis.

Pertimbangan pencegahan efek samping harus dilakukan dalam meresepkan kortikosteroid topikal. (Kotak 216-2).

Page 9: Book Reading - Topical Steroid

Kotak 216-2. Penggunaan steroid topikal Formulasi potensi sangat kuat harus digunakan untuk jangka pendek (2-3 minggu). Setelah pengendalian penyakit dicapai, penggunaan senyawa potensi kurang kuat harus

dimulai. Mengurangi frekuensi penggunaan (misalnya, penggunaan hanya di pagi hari, penggunaan

akhir pekan) setelah pengendalian penyakit dicapai. Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit ulserasi atau atrofi, dan pada infeksi kulit. Penghentian mendadak harus dihindari setelah penggunaan jangka panjang untuk

mencegah fenomena rebound. Pedoman khusus harus diikuti ketika merawat daerah tubuh tertentu (misalnya, daerah

intertriginosa) atau populasi tertentu (misalnya, anak-anak atau orang tua) untuk mencegah terjadinya efek samping lokal atau sistemik.

Tes laboratorium harus dipertimbangkan jika diduga terjadi penyerapan sistemik kortikosteroid.

Gunakan terapi kombinasi ketika ada indikasi klinis (misalnya, penambahan inhibitor kalsineurin topikal, tretinoin atau kalsipotriena)

KOMPLIKASI

Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid topikal yang lebih umum daripada reaksi sistemik. Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh efek antiproliferatif dari obat ini.

Atrofi Kulit

Atrofi kulit adalah efek samping yang paling menonjol, dan melibatkan kedua epidermis dan dermis. Atrofi kulit berkembang dari efek antiproliferatif langsung kortikosteroid topikal pada fibroblast, dengan mengahambat sintesis kolagen dan mukopolisakarida, yang mengakibatkan hilangnya sokongan lapisan dermis. Penurunan sintesis kolagen tipe I dan III setelah penggunaan glukokortikoid topikal telah terbukti dalam berbagai penelitian. Penurunan produksi glikosaminoglikan juga telah dijelaskan. Jumlah Hialuronan, salah satu glikosaminoglikan utama dalam kulit, juga menurun drastis setelah pengobatan glukokortikoid jangka pendek, karena penurunan sintesis Hialuronan. Fragmentasi dan penipisan serat elastis terjadi di lapisan atas, sedangkan serat lebih dalam membentuk jaringan kompak dan padat. Sebagai hasil dari atrofi kulit, maka terjadi dilatasi pembuluh darah, telangiectasias, purpura, mudah memar, pseudoscars stellata (purpura, berbentuk tidak teratur, dan skar atrofi hipopigmentasi), dan ulserasi. Meskipun atrofi dapat reversibel (sampai batas tertentu), namun pembentukan striae (skar linear yang terbentuk di daerah kerusakan kulit) menjadi permanen.

Reaksi Acneiform

Timbulnya dermatosis pada kulit wajah, termasuk rosasea steroid, jerawat, dan dermatitis perioral, adalah efek samping dari kortikosteroid topikal. Meskipun steroid awalnya mengarah pada penekanan reaksi inflamasi papula dan pustula, namun pasien menjadi kecanduan karena

Page 10: Book Reading - Topical Steroid

mereka melihat lesi eritema hilang saat pengobatan. Ini sering mengarah pada penggunaan terus kortikosteroid topikal dengan potensi kuat. Karena alasan ini, penggunaan steroid pada pengobatan rosasea dan dermatitis perioral dan periocular harus dihindari. Pengobatan kortikosteroid berkepanjangan juga dapat mengakibatkan "jerawat steroid," yang ditandai dengan peradangan pustul-pustul yang memiliki stadium perkembangan yang sama. Lesi ini terjadi pada wajah, dada, dan punggung. Pasien dengan psoriasis juga rentan terhadap eritema papulopustular setelah lepas dari penggunaan kortikosteroid topikal potensi kuatpada area permukaan yang luas dalam jangka waktu lama.

Hipertrikosis

Hipertrikosis jarang terjadi pada wanita dan anak-anak yang menggunakan kortikosteroid potensi kuat pada wajah. Mekanismenya masih belum diketahui.

Perubahan Pigmen

Penurunan pigmentasi adalah efek samping yang umum dari penggunaan steroid topikal. Pigmen umumnya kembali setelah penghentian terapi.

Perkembangan Infeksi

Kortikosteroid topikal bertanggung jawab atas timbulnya penyakit infeksi pada kulit. Insidensi infeksi kulit selama terapi kortikosteroid bervariasi tetapi mungkin antara 16%-43% .Tinea versicolor, penyebaran infeksi Alternaria, dan dermatofitosis, termasuk tinea incognito, dapat timbul. Granuloma gluteale infantum yang ditandai dengan lesi granulomatosa merah keunguan pada area popok, merupakan komplikasi dari dermatitis popok yang diobati dengan kortikosteroid. Candida albicansis umumnya sembuh pada pasien ini. Kortikosteroid topikal juga berpengaruh pada perburukan herpes simpleks, moluskum kontagiosum, dan skabies.

Reaksi Alergi

Dermatitis kontak alergi akibat steroid harus dicurigai jika penggunaannya memperburuk dermatitis tersebut atau tidak terlihat peningkatan atau perubahan pola klinis penyakit. Hal ini terjadi lebih sering pada pasien dengan gangguan fungsi sawar kulit, seperti pasien dengan dermatitis stasis, ulkus kaki dan dermatitis atopik. Prevalensi sensitisasi kortikosteroid topikal berkisar antara 0,2%-6,0%, yang meningkat dengan kontak yang terlalu lama dan pemilihan obat. Pada penelitian retrospektif yang dilakukan selama 6 tahun, ditemukan 127 dari 1.188 pasien (10,7%) yang dilakukan test patch dengan kortikosteroid topikal menunjukkan reaksi positif terhadap setidaknya satu agen, dengan 56 pasien bereaksi terhadap beberapa kortikosteroid topikal. Sebuah klasifikasi dibuat untuk menentukan reaktivitas silang antara berbagai sedian yang tersedia. Klasifikasi ini memiliki empat kelompok berdasarkan struktur dan pola reaktivitas silangnya (Tabel 216-2). Setiap kelas diwakili oleh agen kortikosteroid. Kelas A diwakili oleh jenis hidrokortison, kelas B dengan steroid asetonid, kelas C oleh jenis betametason dan kelas D, dibagi menjadi dua kelompok, D1 diwakili oleh betametason dipropionat dan D2 oleh methylprednisolone aceponate. Reaksi tes patch untuk steroid kelas A yang paling umum terjadi, sedangkan reaksi tes patch untuk kelas C steroid paling jarang terjadi.

Page 11: Book Reading - Topical Steroid

Ketika alergi terhadap kortikosteroid topikal sangat dicurigai dan tes patch tidak tersedia, dokter harus meresepkan steroid kelas C tanpa bahan pembawa. Salep desoximethasone 0,25% dan gel 0,05% adalah dua produk yang memenuhi kriteria tersebut. Bahan pembawa atau pengawet juga bisa bertanggung jawab atas terjadinya alergi pada sediaan kortikosteroid. Para penulis menemukan tujuh bahan pembawa yang biasa digunakan dalam sediaan kortikosteroid topikal sebagai allergen yang terkenal: (1) propilen glikol, (2) sesquioleate sorbitan, (3) formaldehida-releasing pengawet (imidazolidinylurea dan diazolidinylurea), (4) paraben , (5) methylchloroisothiazolinone / methylisothiazolinone, (6) lanolin, dan (7) pengharum. Dari 166 kortikosteroid topikal, 128 (termasuk semua krim) memiliki setidaknya satu komponen pembawa. Produk generic bebas lebih banyak mengandung allergen daripada produk bermerek. Sedian solusio dan salep merupakan sediaan dengan alergen pembawa yang paling sedikit. Alergen kuat yang paling sering ditemukan adalah propilen glikol dan sesquioleate sorbitan.

Efek Samping Sistemik

Efek pada mata. Dijelaskan dapat terjadi glaukoma karena penggunaan kortikosteroid topikal. Penggunaan kortikosteroid berkepanjangan juga dapat menyebabkan kebutaan.

Penekanan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Penekanan aksis HPA telah dijelaskan dengan penggunaan kortikosteroid topikal kuat. Sindrom Cushing iatrogenik dan krisis Addison terkait penggunaan kortikosteroid telah dijelaskan setelah penggunaan jangka panjang sediaan kortikosteroid topikal kuat. Clobetasol propionat dosis 14 g/minggu atau betametason dipropionat 49 g/minggu cukup untuk menekan kadar kortisol plasma. Secara umum diasumsikan bahwa efek sistemik yang lebih sering terjadi dengan kortikosteroid topikal potensi sangat kuat. Namun, baru-baru ini dilaprkan kasus pasien anak dengan sindrom Netherton yang berkebang menjadi sindrom Cushing akibat penyerapan perkutan dari hidrokortison 1%, (agen kortikosteroid potensi lemah). Studi cross-sectional telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan dermatitis atopik telah mengalami gangguan pertumbuhan, sementara yang lain telah menemukan bahwa perubahan kadar kortisol sementara tidak mempengaruhi tinggi orang dewasa. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa tinggi anak dengan dermatitis atopik yang diobati dengan kortikosteroid topikal tidak terpengaruh.

Efek samping metabolik. Peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa meinduksi terjadinya hiperglikemia dan dapat menyebabkan diabetes mellitus.