biografi ilmuwan

24
Biodata Imam Al Ghazali Sejarah Hidup Imam Al Ghazali Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau. Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali). Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji. Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194). Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.” Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.” Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah

Upload: ike-trymas-ayulanda

Post on 05-Aug-2015

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: biografi ilmuwan

Biodata Imam Al Ghazali Sejarah Hidup Imam Al Ghazali Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.Nama, Nasab dan Kelahiran BeliauBeliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut IlmuAyah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Page 2: biografi ilmuwan

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).Polemik Kejiwaan Imam GhazaliKedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.Masa Akhir KehidupannyaAkhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Page 3: biografi ilmuwan

Seri Biografi Tokoh Islam: Al   Khawarizmi

Nama sebenar al-Khawarizmi ialah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu beliau dikenali sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff.  Al-Khawarizmi telah dikanali di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-Ahawizmi, al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi dan beberapa cara ejaan lagi. Beliaulah yang menemukan Al Jabru wal Mukobala. (penjabaran dan penyelesaian). Di nama latinkan menjadi Aljabar.Beliau telah dilahirkan di Bukhara.  Pada tahun 780-850M adalah zaman kegemilangan al-Khawarizmi.  al-Khawarizmi telah wafat antara tahun 220 dan 230M.  Ada yang mengatakan al-Khawarizmi hidup sekitar awal pertengahan abad ke-9M.  Sumber lain menegaskan beliau di Khawarism, Usbekistan pada tahun 194H/780M dan meninggal tahun 266H/850M di Baghdad. 

PENDIDIKAN Dalam pendidikan telah dibuktikan bahawa al-Khawarizmi ialah seorang tokoh Islam yang berpengetahuan luas.  Pengetahuan dan kemahiran beliau bukan sahaja meliputi bidang syariat tapidi dalam bidang falsafah, logik, aritmetik, geometri, muzik, kejuruteraan, sejarah Islam dan kimia. Al-Khawarizmi sebagai guru aljabar di Eropah.  Beliau telah menciptakan pemakaian Secans dan Tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi.  Dalam usia muda beliau bekerja di bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, bekerja di Bayt al-Hikmah di Baghdad. Beliau bekerja dalam sebuah observatory iaitu tempat menekuni belajar matematik dan  astronomi.  Al-Khawarizmi juga dipercayai memimpin perpustakaan khalifah.  Beliau pernah memperkenalkan angka-angka India dan cara-cara perhitunganIndia pada dunia Islam.  Beliau juga merupakan seorang penulis Ensiklopedia Pelbagai Disiplin. Al-Khawarizmi adalah seorang tokoh yang mula-mula memperkenalkan aljabar dan hisab.  Banyak lagi ilmu pengetahuan yang beliau pelajari dalam bidang matematik dan menghasilkan konsep-konsep matematik yang begitu popular sehingga digunakan pada zaman sekarang.PERANAN DAN SUMBANGAN AL-KHAWARIZMI  Gelaran Al-KhawarizmiGelaran Al-Khawarizmi yang dikenali di Barat ialah al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-karismi, al-Goritmi atau al-Gorism.  Nama al-gorism telah dikenali pada abad pertengahan.  Negara Perancis pula al-Gorism  muncul sebagai Augryam atau Angrism.  Negara Inggeris pula ia dikenali sebagai Aurym atau Augrim. Sumbangan Al-Khawarizmi Melalui KaryaSumbangan hasil karya beliau sendiri, antaranya ialah : Al-Jabr wa’l Muqabalah : beliau telah mencipta pemakaian secans dan tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi.Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah : Beliau telah mengajukan contoh-contoh persoalan matematik dan telah mengemukakan 800 buah soalan yang sebahagian daripadanya merupakan persoalan yamng dikemukakan oleh Neo. Babylian dalam bentuk dugaan yang telah dibuktikan kebenarannya oleh al-Khawarizmi.Sistem Nombor : Beliau telah memperkenalkan konsep sifat dan ia penting dalam sistem nombor pada zaman sekarang.Ini adalah contoh-contoh sebahagian beliau yang telah dihasilkan dalam penulisan karya dan ia telah menjadi popular serta dipelajari oleh semua masyarakat yang hidup di dunia ini.  Hasil Karya Al-Khawarizmi Sepertimana yang telah kita ketahui, Al-Khawarizmi dapat menghasilkan karya-karya agong dalam bidang matamatik.  Hasil karya tersebut terkenal pada zaman tamadun Islam dan dikenali di Barat.Antara hasil karya yang telah beliau hasilkan ialah :Sistem Nombor : ia telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin iaitu De Numero Indorum.‘Mufatih al-Ulum’ : yang bermaksud beliau adalah pencinta ilmu dalam pelbagai bidang.Al-Jami wa al-Tafsir bi Hisab al-Hind : Karya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Prince Boniopagri.Al-Mukhtasar Fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah : Pada tahun 820M dan ia mengenai algebra.Al-Amal bi’ Usturlab’Al-TarikhAl-Maqala Fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabilah.  Ketokohan al-Khawarizmi Setiap tokoh mempunyai sifat ketokohannya yang tersendiri.  Ketokohan al-Khawarizmi dapat dilihat dari dua sudut iaitu dari bidang matematik dan astronomi.  Namun bidang matematik akan diperjelaskan secara terperinci berbanding astronomi kerana ia melibatkan kajian yang dikaji. Dalam bidang matematik, al-Khawarizmi telah memperkenalkan aljabar dan hisab.  Beliau banyak menghasilkan karya-karya yang masyhor ketika zaman tamadun Islam.  Antara karya-karya yang  beliau hasilkan ialah ‘Mafatih al-Ulum’.  Sistem nombor adalah salah satu sumbangan dan telah digunakan pada zaman tamadun Islam. Banyak kaedah yang diperkenalkan dalam setiap karya yang dihasilkan.  Antaranya ialah kos, sin dan tan dalam trigonometri penyelesaian persamaan, teorem segitiga sama juga segitiga sama kaki dan mengira luas segitiga, segi empat selari dan bulatan dalam geometri.  Masaalah pecahan dan sifat nombor perdana dan teori nombor juga diperkenalkan.  Banyak lagi konsep dalam matematik yang telah diperkenalkan al-khawarizmi sendiri.  Bidang astronomi juga membuatkan al-Khawarizmi dikenali pada zaman tamadun Islam.  Astronomi dapat ditakrifkan sebagai ilmu falaq [pengetahuan tentang bintang-bintang yang melibatkan kajian tentang kedudukan, pergerakan, dan pemikiran serta tafsiran yang berkaitan dengan bintang]. Seawal kurun ketiga lagi lagi, al-Khawarizmi telah menghasilkan dua buah yang salah satu daripadanyatelah diterjemahkan ke Bahasa Latin dan memberi pengaruh besar ke atas Muslim dan orangSpanyol dan Kristian. Penggunaan

Page 4: biografi ilmuwan

matematik dalam astronomi sebelum tamadun Islam amat sedikit dan terhad.  Ini disebabkan oleh kemunduran pengetahuan matematik yang terhad kepada pengguna aritmetik dan geometri sahaja. Peribadi al-Khawarizmi Keperibadian al-Khawarizmi telah diakui oleh orang Islam dan juga Barat.  Al-Khawarizmi telah dianggap sebagai sarjana matematik yang masyhur oleh orang Islam dan ia diperakui oleh orang Barat.   Ini dapat dibuktikan bahawa G.Sartonmengatakan “pencapaian-pencapaian yang tertinggi telah doperolehi oleh orang-orang Timur….”  Maka temasuklah al-Khawarizmi itu sendiri. Al-Khawarizmi patu disanjungi kerana beliau adalah seorang yang pintar. Menurut Wiedmann pula berkata….’ al-Khawarizmi mempunyai personaliti yang teguh dan seorang yang bergeliga sains’.  Setiap apa yang dinyatakan oleh penulis, ini telah terbukti bahawa al-Khawarizmi mempunyai sifat keperibadian yang tinggi dan sekaligus disanjung oleh orang Islam. Strategi Pengislaman Sains MatematikPengislaman sains matematik seharusnya berlandaskan dengan beberapa perkara iaitu, ia hendaklah berlandaskan tauhid, syariah dan akhlak.  Ini kerana ia perlu bagi tokoh-tokoh yanh beragama Islam supaya melaksanakan setiap pekerjaan atau tugasan yang mengikut undang-undang Islam. TauhidTauhid merupakan landasan falsafah matematik Islam sepertimana dengan ilmu-ilmu Islam yang lain.   Mengikut matlamat  Islam, semuanya Ayyatullah [tanda-tanda Allah iaitu symbol kebesaran, kewujudan dan keEsaan Tuhan.  Ungkapan yang wujud sewajarnya mencorakkan kegiatan matematik.  Setiap falsafah dan epistemology sains matematik kita tidak harus diterima bulat-bulat tanpa syarat. SyariahBerasaskan kepada undang-undang yang mengenali tindak tanduk masyarakat.  Keharmonian dan tanggungjawab kepada umat dan hak diri.  Dari sudut ini, ahli matematik Islam yang cuba menyelesaikan masaalah yang melibatkan perbuatan hukum syariah seperti judi, riba dan mencabar kebenaran hakiki daripada agama samawi untuk memperkukuhkan lagi Institusi.  Oleh itu, matematik Islam hendaklah berkembang selari dengan keperluan manusia dan perkembangan ini juga harus di dalam sudut syariah. AkhlakCiri-ciri akhlak mulia hendaklah disemaikan kedalam matematik dan juga ia perlu dimasukkan kedalam ilmu-ilmu Islam yang lain agar manusia dapat menerapkan nilai murni.  Ilmu yang dipelajari contahnya akhlak yang terdapat dalam bidang matematik ini adalah penemuan aljabar yang melambangkan keadilan.  Ini kerana keadilan itu dituntut oleh agama Islam itu sendiri.  Melalui asas pradigma tauhid dan sya’iyah itu dapat memperkukuhkan lagi pembinaan akhlak. Cabang Matematika Antara cabang yang diperkanalkan oleh al-Khawarizmi seperti geometri, algebra, aritmetik dan lain-lain.   GeometriIa merupakan cabang kedua dalam matematik.  Isi kandungan yang diperbincangkan dalam cabang kedua ini ialah asal-usul geometri dan rujukan utamanya ialah Kitab al-Ustugusat[The Elements] hasil karya Euklid : geometri dari segi bahasa berasal daripada perkataan yunani iaitu ‘geo’ bererti bumi dan ‘metri’ bererti sukatan.  Dari segi ilmunya pula geometri itu adalah ilmu yang mengkaji hal yang berhubung dengan magnitud dan sifat-sifat ruang.  Geometri ini mula dipelajari sejak zaman firaun [2000SM].  Kemudian Thales Miletus memperkenalkan geometri Mesir kepada Grik sebagai satu sains dedukasi dalam kurun ke6SM.  Seterusnya sarjana Islam telah mengemaskanikan kaedah sains dedukasi ini terutamanya pada abad ke9M. Algebra/aljabarIa merupakan nadi untuk matematik algebra.  Al-Khawarizmi telah diterjemahkan oleh Gerhard of Gremano dan Robert of Chaster ke dalam bahasa Eropah pada abad ke-12.  sebelum munculnya karya yang berjudul ‘Hisab al-Jibra wa al Muqabalah yang ditulis oleh al-Khawarizmi pada tahun 820M.  Sebelum ini tak ada istilah aljabar.

Biografi Ibnu katsir Ibnu Katsir (Bahasa Arab : كثير adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Beliau lahir pada tahun ( بن1301 di Busra, Suriah dan wafat pada tahun 1372 di Damaskus, Suriah. Tercatat, guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia Islam.

Ia mendapat arahan dari ahli hadis terkemuka di Suriah, Jamaluddin al-Mizzi, yang di kemudian hari menjadi mertuanya. Tak tanggung-tanggung, ia pun sempat mendengar langsung hadis dari ulama-ulama Hejaz serta memperoleh ijazah dari Al-Wani.

Tidak hanya sebagai guru, ia pun banyak menulis kitab ilmu hadis. Di antaranya yang terkenal adalah :

1. Jami al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan) sebanyak delapan jilid, berisi nama-nama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis;2. Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam) yakni suatu karya hadis;3. At-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal (Pelengkap dalam Mengetahui Perawi-perawi yang Dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal);4. Al-Mukhtasar (Ringkasan) merupakan ringkasan dari Muqaddimmah-nya Ibn Salah; dan5. Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis) atau lebih dikenal dengan nama Al-Ba'its al-Hadits.

Page 5: biografi ilmuwan

Tahun 1366 diangkatlah Ibnu Katsir menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus. Ia memiliki metode sendiri dalam bidang ini, yakni tafsir yang paling benar adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW--menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.

Salah satu karyanya yang terkenal dalam ilmu tafsir adalah yang berjudul :

1. Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya yang begitu besar dalam bidang keagamaan. Di samping itu, ia juga menulis buku2. Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi ringkasan sejarah Alquran.

Bidang ilmu sejarah juga dikuasainya. Beberapa karya Ibn Katsir dalam ilmu sejarah ini antara lain :

1. Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan adn Akhir) sebanyak 14 jilid,2. Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan3. Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii).

Kitab sejarahnya yang dianggap paling penting dan terkenal adalah judul yang pertama. Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut, yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah SAW dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam penulisan sejarah Islam.

Sementara dalam ilmu fikih, tak ada yang meragukan keahliannya. Bahkan, oleh para penguasa, ia kerap dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata pemerintahan dan kemasyarakat yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi tahun 1358 serta upaya rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, beliau menulis buku terkait bidang fikih didasarkan pada Alquran dan hadis. Ulama ini meninggal dunia tidak lama setelah ia menyusun kitab Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari Jihad) dan dikebumikan di samping makam gurunya, Ibnu Taimiyah.

.

Biografi Ibnu Sina - Biografi Ilmuan MuslimSyeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.

Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.

Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.

Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.

Page 6: biografi ilmuwan

Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah.

Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.

Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.

Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.

Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”

Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.

Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.

Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.

Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.

Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.

Sekilas Biografi Ibnu RusydIbnu Rusyd, nama lengkapnya Abû al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, lahir di Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maroko pada 1198 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Averoes. Dia adalah seorang dokter, ahli hukum, dan tokoh filsuf yang paling popular pada periode perkembangan

Page 7: biografi ilmuwan

filsafat Islam (700-1200). Di samping sebagai seorang yang paling otoritatif dalam fungsi sebagai komentator atas karya-karya filsuf Yunani Aristoteles, Ibnu Rusyd juga seorang filsuf muslim yang paling menonjol dalam usahanya mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa al-syarî`âh). Dia berasal dari lingkungan keluarga yang besar sekali perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai qâdlî (hakim) di Sivilla dan sebagai qadlî al-qudlât (hakim agung) di Cordoba. Di samping itu, ia juga sangat aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an, lalu mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Kemudian ia mendalami ilmu matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, wajar jika ia dikenal sebagai ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kebesaran dan kejeniusan Ibnu Rusyd tampak pada karya-karyanya. Dalam berbagai karyanya ia selalu membagi pembahasannya ke dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya terhadap karya-karya filusuf besar terdahulu banyak sekali, antara lain ulasannya terhadap karya-karya Aristoteles. Dalam ulasannya itu ia tidak semata-mata memberi komentar (anotasi) terhadap filsafat Aristoteles, tetapi juga menambahkan pandangan-pandangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh filsuf semasa maupun sebelumnya. Kritik dan komentarnya itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada kalangan ilmuwan Eropa sehingga muncul di sana suatu aliran yang dinisbatkan kepada namanya, Avereroisme. Selain itu, ia juga banyak mengomentari karya-karya filsuf muslim pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Komentar-komentarnya itu banyak diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin dan Ibrani.Karya-Karya Monumental Ibnu RusydIbn Rushd menulis banyak buku yang meonumental. Ia meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan masalah-masalah agama. Namun, sejauh menyangkut peran Ibn Rusyd sebagai model pencerahan yang bisa diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga bukunya Fashl al-Maqâl, al-Kashf `an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut al-Tahâfut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rushd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.1.Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (terjemahan dalam bahasa Indonesia terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, dengan judul Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.2.Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid al-Millah (Menyingkap pelbagai Matode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelasakan secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.3.Tahâfut al-Tahâfut (Kerancauan dalam Kitab Kerancauan karya al-Ghazâlî) yang kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancauan –Filsafat-filsafat– kaum Filosof).4.Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam mazhab.Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syari’ahSalah satu pandangan Ibnu Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishâl baina al-syarî`ah wa al-hikmah). Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama”. Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (at-tâmm al-ma`rifah).Mengenai hal ini dituangkan dalam buku kecilnya yang berjudul Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan filsafat dengan Syariat) ini menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghâyah) (Fasl al-Maqal, 1968: 58).Menurutnya , belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adaya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Qur’an, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Qur’an itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwîl. Takwîl ini lah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini. Yang satunya lagi mengenai masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing).Apa itu takwîl? Takwîl menurut Ibn Rusyd adalah makna yang dimunculkan dari pengetahuan suatu lafal yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riil) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz (metafor) ( Fash al-Maqâl…..: 32). Takwîl yang dimaksudkan Ibn Rusyd adalah pengambilan makna esoterik atau makna substansial yang dikandung oleh teks (lafal), jadi bukan mengambil makna eksoterik atau makna tekstual lafal tersebut.Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Ibn Rusyd, bahwa, “…Capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan tapi bertentangan dengan makna lahir teks-teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada.” Juga pernyataannya, bahwa “…makna lahir apapun juga yang terdapat pada teks syari’at yang secara lahiriah bertentangan dengan susatu makna yang disimpulkan oleh metode burhan kemudian makna lahir syari’at itu diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, pada teks-teks syari’at itu sendiri akan

Page 8: biografi ilmuwan

dapat ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses pentakwilan semacam itu, atau minimal tidak menolak.” Lanjut, Ibnu Rusyd, karena kenyataan inilah –kaum muslimin berijma’—bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami lafal-lafal syari’at kepada makna lahiriah-lahiriah seluruhnya, atau mencerabut semua lafal dari makna tekstualnya. ( Fash al-Maqâl…..: 33)Apa yang menyebabkan syari’at itu sendiri mengandung makna lahir (esoterik) dan batin (eksoterik)? Menurut Ibn Rusyd hal itu disebabkan adanya keanekaragaman (pluralitas) kepasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerima (pembuktian) kebenaran. Sedangkan mengapa syari’at sendiri membawa makna-makna tekstualnya yang tampaknya saling bertentangan itu? Hal itu menurutnya karena dimaksudkan untuk menarik perhatian kaum cerdik pandai yang mendalam ilmunya (al-râsyikhûna fî al-`ilm) agar melakukan pentakwilan yang menggabungkan makna-makna tekstual yang tampaknya bertentangan itu.Lebih lanjut, mengapa disiplin ilmu-ilmu agama, seperti disiplin syari’ah lebih layak untuk dipatuhi prinsip-prinsipnya? Persoalannya lebih karena disiplin tersebut ditujukan untuk mencapai keutamaan-keutamaan dari suatu amal perbuatan, yakni amalan yang baik dan etis, khususnya amalan ibadah. Maka, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama beserta larangan-larangnnya dibangun atas landasan moral keutamaan atau al-fâdlilah.Prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh bentuk penafsiran semacam takwil di atas tentu adalah “maqâshid al-syâri” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuat syariat). Prinsip dasar dalam disiplin agama ini serupa dengan yang berlaku dalam disiplin filsafat, yaitu prinsip “kausalitas”. Dan prinsip “maqâshid al-syâri” tergolong dalam aktegori “al-sabab al-qhâ’î” (sebab akhir, final cause) dalam ungkapan falasifah.Jadi, kalau dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas. Maka demikian pula halnya dengan dimensi rasionalitas dalam agama, yakni dibangun atas dasar prinsip “maqâshid al-syâri”. Oleh karena itu, membangun rumusan penalaran dalam agama, termasuk formulasi rasionalismenya, harus berdasar pada “prinsip-prinsip doktrinal”, yang secara gambalng dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu, ditujukan oleh pembuat syari’at (Allah dan rasul-Nya) kepada kalangan masyarakat awam.Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa proyek yang diangkat Ibn Rusyd, khususnya mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang Pembuat Syari’at, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fâdlilah. Menurut Muhammad Abid al-Jâbirî bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqâshid al-syâri” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di alam ini” (Abid al-Jabiri, 2000: 165-166). Prinsip semacam inilah yang kemudian dirujuk oleh al-Syâthibî dalam rasionalisme agama, dan Ibn Khaldûn dalam rasionalisme sejarah.Kemudian berkenaan dengan kemampuan manusia menanggapi syari’at yang ada dalam kandungan al-Qur’an, Ibn Rusyd membaginya ke dalam tiga kelompok, yaitu awam, pendebat, dan ahli pikr. (Lih. h. 58). Pada kelompok pertama diterapkan metode pembuktian khathâbî ( retorika), pada yang kedua dengan jadalî (dialektik) dan pada kelompok yang ketiga dengan metode burhani (demonstratif). Menurutnya, kepada golongan awam, al-Qur’an tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis, sedangkan kepada golongan pendebat juga sulit untuk disampaikan takwil. Oleh karena itu, takwil harus ditulis hanya dalam buku-buku yang khusus diperuntukkan bagi golongan ahli pikir, agar orang yang bukan ahlinya tidak dapat memahaminya. Ia juga menyetujui pendapat bahwa al-Qur’an mempunyai makna esoterik (bâthin) di samping makna eksoterik (zhâhir) yang umum diketahui. Sebab dalam kenyataannya memang manusia memiliki naluri dan kemampuan yang berbeda-beda. Makna batin hanya dapat diselami oleh ahli pikir dan filsuf, dan tidak dapat dicerna oleh kaum awam (Lih. hlm. 58- dst.).Dalam karyanya, Fash al-Maqâl tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan tambahan penjelasan seputar tiga isu sentral yang menjadi ajang konflik antara para filsuf dengan teolog, atau secara pas, buku ini dijadikan sebagai tambahan jawaban atas karya al-Ghazali yang menyerang dengan mengkafirkan para filsuf terhadap tiga isu sentral ini.(1). Karena mereka menolak kebangkitan jasmani; (2) menolak pengetahuan partikular (juz’iyyât) Tuhan; dan (3) mereka mengklaim bahwa Tuhan lebih dahulu, secara ontologis dan bukan secara kronologis, bukan objek pengetahuan demonstratif. Dalam pandangan Arkoun, para filsuf salah ketika mencoba memperlakukannya sebagai masalah-masalah pengetahuan yang demonstratif, yang sebenarnya bergantung pada kepercayaan. Sementara Ibnu Rusyd menggunakan metodologi ushûl al-fiqh untuk memecahkan persoalan filosofis; bahkan formulasi persoalannya pun pada permulaan fashl, secara khas bersifat yuridis. Ini tak berarti al-Ghazali telah memilih cara yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.Signifikansi Rasionalitas Ibn Rusyd bagi Fiqh EmansipatorisMengenai pandangan Ibn Rusyd tentang pembagian manusia ke dalam 3 kelompok, di mana bagi kalangan awam, tidak tepat diajarkan takwil karena mereka tidak akan mampu memahaminya, hanya mampu sebatas tau apa yang tertulis saja. Menurut penulis, pandangan Ibn Rusyd di atas, dimaksudkan agar suatu penyampaian berita/informasi berupa pemikiran, akan sampai tepat sasaran, tidak menimbulkan kerisauan dan malah membingungkan. Inilah signivikansi maksud pengelompokan tersebut.Pengelompokan ke dalam 3 kalangan di atas, merupakan jalan keluar yang “difatwakan” Ibn Rusyd yang sebetulnya harus dipahami dalam konteks perseteruan antara filsafat dengan dogma agama saat itu. Itulah perang dialektik antara filsafat dan agama –dalam hal ini lebih diwakili oleh fiqih.

Page 9: biografi ilmuwan

Pandangan bahwa level interpretasi terhadap ajaran agama sesuai dengan level intelektual masyarakat menunjukkan ketajaman visi psikologis Ibn Rusyd. Meski ini ditolak oleh kalangan teolog dengan menuduhnya sebagai orang yang sombong. Kebenaran ganda (doble-faced truth), satu untuk kaum ortodok dan satu lagi untuk kaum filsuf, adalah suatu pandangan yang tidak fair. Tetapi apa pun adanya, Ibn Rusyd tidak pernah meragukan kebenaran agamanya. Rosenthal menyatakan, “Ibn Rusyd was a Muslim first and a disciple of Plato. Aristoteles and their commentator second.” (Dikutip dari Ahmad Zainul Hamdi: 2004: 215). Dia hanya ingin mengatakan secara jujur pandangannya bahwa kebenaran yang sama dapat direpresentasikan dalam bentuk yang beragam.Kedalaman visi dan filsafatnya membuatnya mampu menyatukan berbagai doktrin yang terlihat bertentangan dengan cara yang lentur. Interpretasi yang sempit terhadap teori doble-faced truth/twofold truth (kebenaran ganda) secara terang-terangan ditolaknya. Dan teori yang seringkali diatribusikan pada Ibn Rusyd ini sebenarnya tidak semata-mata miliknya, tetapi hampir menjadi prinsip kebenaran para filsuf muslim, atau bahkan setiap muslim terpelajar, dalam arti yang sama dengan statemen, “Berbicaralah pada manusia sesuai dengan tingkat pemahamannya” (kallimû al-nâs bi qadri `uqûlihim).Jadi menurut penulis bukan berarti takwîl tidak boleh disampaian atau diajarkan kepada orang awam. Menurut penulis bahwa apakah dalam konteks kekinian, masalah mengajarkan atau menyampaikan persoalan takwil kepada orang awam bisa dilakukan dan dibenarkan dipandang dari sudut pembelajaran dan pencerahan? Menurut saya, hal itu bisa dilakukan. Sebab manusia punya eksistensi, yang bisa mengalami kondisi menjadi ke yang lainnya (berubah sifat keawamannya) jika terus-menerus ada perlakuan kondisi berproses ke arah menjadi itu. Jadi dalam konteks mensosialisasikan fiqh emansipatoris atau katakanlah fikih transformatif, persoalan takwil seperti di atas bisa disampaikan kepada mereka dalam rangka melakukan perubahan dari proses keberadaan kaum awam menuju proses perubahan ke arah pencerahan (meminjam bahasa Muhammad Syahrûr, dari kondisi al-kainûnah [berada], keberadaan kaum awam, kepada kondisi menjadi [al-shairûrah] melalui suatu kondisi al-sairûrah [berproses intensif]).Dan yang perlu diingat adalah bahwa yang dinamakan pencerahan seperti yang dikatakan oleh Immanuel Khant, tokoh penting pencerahan itu, yaitu: keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990, dikutip dari Kompas, 2 Maret 2005).Dari definisi ini kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan berpikir dan bertindak, tetapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu berarti kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Yang dimaksud “bantuan orang lain” di sini adalah penggunaan otoritas luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang berpikir independen. Inti pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tetapi bagaimana seseorang berani menggunakan akal-pikirannya (sapere aude!).Dan di sinilah urgensi pembelajaran atau pelatihan, salah satu program Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) dalam mengarahkan peserta didik pelatihan ini ke arah pencerahan. Pelatihan dan pembelajaran yang dilakukan JIE merupakan satu usaha (bantuan), namun sekadar sebuah proses belaka, bukan bantuan abadi. Sebab bagaimana seseorang bisa begitu saja mencapai derajat “tercerahkan” menurut Kant, jika tidak melalui proses (al-sairûrah) pembelajaran dan pelatihan intensif.Menurut penulis, filsafat yang dikembangkan Ibn Rusyd bisa mengantarkan kepada sikap kritis ke arah pencerahan, menuju dan menjadi basis perumusan dan pengembangan fiqh emansipatoris. Mengapa? Dan Bagaimana prosedur, atau mekanismenya? Karena dimensi rasionalitasnya, melalui metode burhânî bisa untuk menelorkan sebuah produk hukum, dengan menempatkan nilai-nilai substantif dan tujuan syarî’ (maqâshid al-syâri`ah). Membaca teks tidak sekadar dengan pembacaan simbolik atau arti leterleknya saja (yang ini bisa dikatakan al-lâ qirâ’ah, tidak membaca kritis), namun dengan pembacaan dan penggalian makna terdalamnya. Ini jelas bermanfaat bagi penggalian nilai-nilai yang menggerakkan sikap progresifitas dan emansipatif/emansipatoris bagi kesetaraan sosial. Sebab makna simbolik terbatas dalam konteks tertentu, diselimuti oleh ruang dan waktu yang menjadikan makna lafalnya terbatas dan seringkali dianggap tidak relevan lagi diterapkan dalam konteks kekinian.Dan caranya adalah dengan menerapan takwîl sebagai sebuah pola pemaknaan susbtantif pada teks-teks yang simbolik, secara kritis dengan menekankan pada makna esoterik nilai-nilai universal kemanusiaan; kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (al-musâwah), keadilan (al-`adâlah), dan keadaban. Selain berawal dari teks sangat perlu melihat realitas dan dikaji secara mendalam dengan mengambil atau memetik spirit, nilai-nilai dan pesan-pesan moral keagamaan yang universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan di atas. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan teks-teks dengan takwilan itu atau pengkajian dengan memetik spirit kemanusiaan (antroposentris) itu sebagai sudut pandang/perspektif paradigmatik dan metodologis dan berlajut pada tindakan praksis.Fakhruddin ar-RaziBiografi Fakhruddin ar-RaziFakhruddin ar-Razi lahir pada tanggal 25 Ramadlan di Rayy, sebuah kota kecil di wilayah Persia. Mengenai tahun kelahirannya, para sejarawan berbeda pendapat: apakah 544 H atau 543 H. as-Subki di dalam Thabaqatnya cenderung kepada tahun 543 H, sementara adz-Dzahabi dalam as-Siyar memilih pendapat kedua (544 H). Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha, mualliq kitab al-Mahshul yang diterbitkan Dar al-Kutub al-Ilmiah tahun 1420/1999 menilai pendapat ini lebih kuat.

Page 10: biografi ilmuwan

Begitu pula Thaha Jabir Fayyadl al-Ulwani, muhaqqiq kitab al-Mahshul yang diterbitkan lajnah al-Buhust wa at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr Riyadl tahun 1981. ia berargumen dengan perkataan al-Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya terhadap surat yusuf ketika ia menjelaskan tawakkal, “pengalaman ini telah saya alami sejak usia dini hingga sekarang ini dimana usiaku mencapai 57 tahun.” Sementara, al-Fakhr ar-Razi sendiri mengatakan bahwa ia menyelesaikan penulisan tafsir surat tersebut pada tahun 601. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ia lahir pada tahun 544 H. Fahkruddin ar-Razi sangat beruntung. Ia dilahirkan dari dan dibesarkan dalam keluarga intelektual. Ayahnya, imam Dliyauddin Umar termasuk salah satu ulama besar syafi’iyah, orator dan tokoh intelektual di kota Rayy, ahli fiqh, ushul fiqh dan sastra. Yang ia mempunyai karya dalam bidang fiqh dan kalam. Yang terpenting di antaranya adalah Ghayah al-Maryam fi Ilm al-Kalam, sebuah kitab yang dinilai oleh as-Subki sebagai salah satu kitab yang paling luas dan paling cermat dalam Khazanah Sunni. Al-Fakhr ar-Razi kecil berada dalam bimbingan ayahnya tersebut. Sehingga bagi dia, ayahnya adalah orang tua sekaligus gurunya dalam arti yang sebenar-benarnya. Dia mencukupi kebutuhan intelektual al-Fakhr ar-Razi sehingga tidak perlu belajar dengan orang lain, sampai saat ia dipanggil Tuhan pada tahun 559 H. dari ayahnya itu pula al-Fakhr ar-Razi pertama kali belajar ushul fiqh.Selain dukungan keluarganya, ar-Razi juga dikaruniai daya ingat yang mengagumkan, pikiran yang kritis dan kecerdasan yang luar biasa serta kemauan untuk belajar yang tinggi, yang jarang dimiliki orang lain pada masanya. Karena itu, dia mampu belajar dalam waktu singkat menguasai banyak kitab para pendahulunya, seperti asy-Syamil fi Ilm al-Kalam karya imam al-Haramain, al-Mustashfa karya al-Ghazali dan al-Mu’tamad karya Abu al-Husain al-Bashri al-Mu’tazili. Bahkan kedua kitab induk ushul fiqh ini berhasil dihafal di luar kepala. Fakhruddin ar-Razi hidup pada seluruh paruh kedua abad ke-6 H. dan enam tahun dari paruh pertamanya serta enam tahun pula dari abad ke-7 H. tahun-tahun ini merupakan tahun paling kritis dunia Islam. Ekspansi Kristen-Barat yang telah dimulai pada tahun 494 H. masih terus berlangsung hingga hampir 200 tahun lamanya. Dinasti Abbasiyah saat itu berada dalam periode kedua dimana khalifah hanya sekedar simbol, sementara kekuasaan terpecah-pecah di tangan para sultan di wilayah masing-masing. Kehancuran ummat Islam secara politik ini berpengaruh besar terhadap kondisi sosial ekonomi mereka saat itu. Meskipun begitu, kehidupan intelektual dan kebudayaan tetap hidup dan bersemangat. Perhatian para intelektual dan dukungan para penguasa terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tetap besar. Mereka mendirikan sekolah-sekolah dan membiayai penyelenggaran pendidikan dan penerbitan. Rayy, kota di mana fakhruddin ar-Razi lahir dan tumbuh besar, juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan karakter intelektualnya. Meskipun kecil kota ini menjadi pusat berkumpulnya berbagai pemikiran dan madzhab, sehingga seolah-olah kota ini begitu luas. Di dalamnya terdapat representasi dari hampir setiap pemikiran dan aliran dari berbagai ilmu. Semuanya hidup dalam kota kecil ini dalam bentuk yang mengagumkan. Pendidikan Fakhruddin ar-RaziAl-Fakhr ar-Razi berpendapat bahwa mempelajari ilmu, semua ilmu, hukumnya wajib syar’i. Karena itu, dia mencintai dan menekuni berbagai ilmu tanpa membeda-bedakan, kecuali dari sisi bahwa sebagian lebih utama dari yang lain. Menurutnya, ilmu apapun pasti akan bernilai wajib, atau menjadi penyempurna yang wajib (la yatimmu al-wajib illa bihi), atau diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan, atau perlu dipelajari untuk mengtahui mudlarat atau bahayanya dan selanjutnya, mengajak orang untuk menjauhinya. Karena itu, Fakhruddin ar-Razi mempelajari berbagai cabang ilmu: tafsir, kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawwuf, kedoteran, dan psikologi, sebagaimana tercermin dalam buku-buku yang ditulisnya dan para tokoh yang menjadi gurunya. Setelah belajar dari ayahnya, al-Fakhr ar-Razi melanjutkan pendidikannya dengan sejumlah guru yang merupakan ulama-ulama terkemuka pada masa itu. Dia mengunjungi dan tinggal di beberapa kota, yaitu Khawarizmi, Khurasan dan terakhir, Heart (Afghanistan), untuk belajar dan mengajar. Di antara guru-gurunya adalah : 1. Salman ibn Nasir ibn Imron ibn Muhammad ibn Ismail ibn Ishaq ibn Zaid ibn Ziyad ibn Maimun ibn Mahran, Abu al-Qasim al-Anshari, salah seorang murid imam al-Haramain. 2. Abd al-Malik bin Abdullah ibn Yusuf ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramain Dliyauddin abu al-Ma’ali al-Juwaini.3. Ibrahim ibn Muhammad ibn ibrahim ibn mahran, al-Imam Ruknuddin Abu Ishak al-Isfirayani, seorang pakar teologi dan hukum islam dari Khurasan.4. Abu al-Husain Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn As-Sa’id al-Bahili.5. Ali ibn Ismail ibn Ishaq ibn Salim ibn Ismail ibn Abdullah ibn Musa ibn Bilal ibn Abu Bard ibn Abu Musa, seorang teolog yang terkenal dengan nama as-Syaikh Abu al-Hasan al-Asyari al-Bashri.6. Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Salam Abu Ali al-Jubba’i, seorang tokoh teolog mu’tazilah.7. Al-Hasan ibn Mas’ud ibn Muhammad abu Muhammad al-Baghawi. Dari tokoh ini, Fakhruddin ar-Razi mendalami filsafat, disamping dari guru lainnya, terutama Majduddin al-Jilli.8. Al-Husain ibn Muhammad ibn Ahmad al-Qadli, Abu Ali al-Maruzi.9. Abdullah ibn Ahmad ibn Abdulah al-Maruzi, Abu Bakar al-Qaffal as-Shaghir.10. Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah.11. Ibrahim ibn Ahmad Abu Ishaq al-Maruzi.12. Ahmad ibnu Umar ibn Sari’ al-Qadli Abu al-Abbas al-Baghdadi.13. Usman ibn Said ibn Bashr Abu al-Qasim al-Anmati al-Baghdadi al-Ahwal.14. Ismail ibn Yahya ibn Ismail ibn ‘Amr ibn Ishaq, abu Ibrahim al-Mazni al-Mishri.

Page 11: biografi ilmuwan

15. Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Usman ibn al-Syafi’i ibn as-Sayb ibn Ubaid ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn Abdul Muthallib kakek Rasulullah SAW. Sedangkan nama murid Fakhruddin ar-Razi yang dianggap paling populer adalah :1. Abd al-Hamid ibn Isa ibn Umrawiyah ibn Yusuf ibn Khalil ibn Abdullah, ibn Yusuf. Ia adalah seorang ulama ahli fiqh dan teologi Islam (Mutakallimin). Nama kebesarannya adalah al-‘allamah Syamsuddin atau abu Muhammad Muhammad al-Khasrushahi.2. Zaki ibn al-Hasan ibn Umar, yang terkenal dengan nama Abu Ahmad al-Biliqani. Ia adalah seorang ahli fiqh, teolog, ahli ushul dan muhaqqiq (ahli manuskrip).3. Ibrahim ibn Abdul Wahhab ibn Ali, nama sebutan lainnya adalah Imaduddin, Abu al-Ma’ali atau al-Anshary al-Khuzraji al-Zanjani.4. Ibrahim ibn Muhammad al-Sulami al- Maghrabi adalah seorang hakim yang terkenal diwilayah pinggiran Mesir.5. Ahmad ibn Khalil ibn Sa’adah ibn Ja’far ibn Isa al-Mihlabi. Ia adalah ketua hakim yang terkenal dengan nama Syamsuddin, Abu al-Abbas atau al-Khubi. Karya Fakhruddin ar-Razi Dilihat dari karya yng dihasilkan, Fakhruddin ar-Razi adalah seorang ulama yang sangat produktif dan memiliki wawasan yang cukup luas, tidak hanya terbatas pada bidang hukum dan metodologinya, tetapi juga dalam bidang filsafat, teologi (ilmu kalam), tafsir al-qur’an, tasawwuf, mantiq dan bahasa arab. Diantara karya yang dimaksud adalah :1) Al-Tafsir al-Kabir: Mafatih al-Ghayb2) Tafsir al-Fatinah3) Al-Tafsir al-Shaghir: Asrar al-Tanzil wa anwar al-Ta’wil4) Nihayat al-Uqul5) Al-Mahshul fi Ilm ushul al-Fiqh6) Al-Mabahith al-Mashraqiyah7) Lubab al-Isharat8) Al-Matalib al-Aliyah fi ilm al-Kalam9) Al-Maalim fi ushul al-Fiqh10) Al-Maalim fi ushul al-Din11) Tanbith al-isharah fi al-Ushul12) Al-arbain fi ushul al-Din13) Siraj al-Qulub14) Zubdat al-Afkar wa umdat al-Nazar15) Sharh al-Isharat16) Manaqib al-Imam al-Syafi’i17) Tafsir asmaillah al-Husna18) Asas [ta’sis] al-Taqdis fi ilm al-Kalam19) Al-tariqah fi al-Jadal20) Risalah fi al-su’al21) Muntkhab tanklausha22) Mabahith al-wujud wa al-adam23) Mabahith al-jadal24) Al-nabad25) Al-tariqah al-alaiyyah26) Lawami’ al-bayyinat fi asmaillah ta’ala wa al-sifat27) Ihkam al-Ahkam28) Al-riyad al-muniqah29) Risalah fi al-nafs30) Al-muhassal fi ilm al-kalam31) Tariqh fi al-khilaf32) Al-mahsul fi al-fiqh33) Al-milal wa al-nihal34) Al-ayat al-bayyinat35) Risalah fi al-tanbih ala ba’d asrar al-muda’ah fi ba’d suwar al-Quran al-karim36) Sharh uyun al-hikmah37) Risalah al-jawhar al-fard38) Kitab fi al-raml39) Masail al-tibb40) Al-zubdah fi ilm al-kalam41) Al-firasah wa al-bayan wa al-burhan42) Al-mulakhkhas fi al-falsafah43) Al-mabahith al-amadiyah al-matalib ma’adiyah44) Al-masail al-khamsun fi ushul al-kalam45) Risalah fi al-nubuwwat46) Nihayat al-ijaz fi dirayat al-ijaz fi ulum al-balaghah wa bayan I’jaz al-quran al-syarif47) Al-bayan wa al-burhan fi al-radd ala ahli al-zaygh wa al-tughyan fi ilm al-kalam48) Uyun al-masailal-al-najjariyah49) Tahsil al-haqq

Page 12: biografi ilmuwan

50) Muakhizat ala al-nuhat51) Fadail al-sahabat al-rhasidin52) Al-qada wa al-qadar53) Risalah fi al-hudus54) Al-lataif al-giyasiyah55) Al-khalq wa al-ba’s56) Al-akhlaq57) Al-risalah al-sahabiyah58) Al-risalah al-majdiyah59) Ismat al-anbiya’60) Musadarat iqlidas61) Kitab fi al-handasah62) Nafasat masdur63) Risalah fi zamm al-dunya64) Al-iktiyarat al-alayyah fi al-ta’sirat al-samawiyah65) Tahzhib al-dalail wa al-mulakhkhis fi al-hikmah [tahzhib al-dalail wa uyun al-masail fi ilm al-kalam]66) Irshad al-nazair ila lataif al-asrar fi ilm al-kalam67) Ta’jiz al-falasifah bi al-farisiyah68) Thaqad al-zanad li al-ma’riy69) Ma’alim al-ushul: ilm ushul al-din wa ilm ushul al-fiqh wa ilm ushul al-khilaf wa ilm ushul al-nazar wa al-jadal wa ilm al-fiqh70) Mahsal afkar almutaqaddimin wa al-mutaakhkhirin min al-ulama wa al-hukama wa al-mutakallimin71) Sharh qism al-ilahiyyat min isharat ibn sina72) Kitab fi tauhid73) Dan lain-lain. Kitab fiqh yang ditulis al-Razi dan menjadi bahan telaah ini ditemukan beberapa nama, yaitu al-Mahsul fi Ilm al-Ushul, al-Mahsul fi al-Fiqh, al-Mahsul fi al-Ushul. Kitab ini dalam perkembangan hokum islam mendapat apresiasi yang positif dari para ulama. Terbukti, tidak sedikit ulama yang mencurahkan tenaganya untuk memberikan komentar (Syarh), ringkasan (ikhtisar) dan anotasi (ta’liq) terhadap kitab al-Mahshul. Di antara para ulama yang memberi syarh adalah: (1) Syams al-Din Muhammad ibn Mahmud Ibn Muhammad al-Asbahani (w. 688 H.) dalam kitab al-kashif ‘an al-Mahsul; (2) al-Naqshawani dalam kitab al-talkhis; dan (3) Syihab al-Din, Ahmad ibn Idris al-Qarafi (w. 684 H.) dalam kitab Nafais al-Ushul Fi Syarh al-Mahsul. Latarbelakang Kehidupan Fakhruddin ar-Razi 1. Kondisi Sosial Budaya MasyarakatFakhruddin ar-Razi hidup di tengah kondisi masyarakat yang komplek. Kompletifitas masyarakat tersebut terlihat dari keragaman agama dan aliran agama yang dianut masyarakat. Sebagai seorang ilmuan, kematangan ilmunya terbangun dari sebuah dinamika dan dialektika dengan kondisi yang mengitarinya. Misalnya, terjadi dialog pertama dengan kaum mu’tazilah di Khawarizmi. Di samping itu, pernah pula terjdi dialog dengan para ahli agama lain, terutama dengan seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen pada waktu itu. Rekaman dialog itu dituangkan dalam tulisannya yang berjudul al-Munazarat bayn al-Nasara. Benturan pemikiran tidak hanya terjadi dengan kaum mu’tazilah dan penganut agama non-Islam. Kelompok pengagum pemikiran filsafat Ibnu Sina dikritik habis oleh Fakhruddin ar-Razi. Sementara itu, ketika di Transaksonia, ia harus berhadapan dengan kelompok yang menamakan dirinya sebagai aliran Karamiyah, yang menyebabkan ia harus eksodus ke Ghazna-Afganistan.2. Kondisi Sosial PolitikSecara sosio-politik, sebagai akibat jatuhnya dinasti Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar, terjadi kemunduran semangat intelektualitas Islam, baik dalam aspek politik, agama maupun peradaban secara umum, terutama di daerah yang dikuasai kaum Sunni. Kajian pemikiran filsafat di dunia Islam mengalami keterpurukan sebagai akibat penjajahan. Keadaan semacam inilah yang mendorong Fakhruddin ar-Razi untuk mencoba menghubungkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam. Karena perjuangan itu, Fakhruddin ar-Razi dapat dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam abad ke-6 H, sebagaimana Abu Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun sistem teologi melalui pendekatan filsafat.Peranan Fakhruddin ar-Razi dalam pengembangan keilmuan Islam tidak dapat dilepaskan dari perhatian yang diberikan penguasa paada saat itu, ketika Fakhruddin ar-Razi meninggalkan Khawarizmi menuju Transoksania (Asia tengah), ia disambut hangat penguasa dinasti Guri, Giyatuddin, dan saudaranya, Syihabuddin. Hanya saja, keadaan semacam ini tidak berjalan lama, karena ia mendapat serangan tajam dari golongan Karamiyah. Akibatnya, ia meninggalkan Transoksania dan menuju kota Heart di Ghazna, yang sekarang lebih dikenal dengan Afganistan. Sebagaimana di Trasoksania, penguasa Khawarizmiyah menyambut dengan penuh kehormatan, dan bahkan memfasilitasi dengan mendirikan perguruan tinggi baginya. Di sini, ia menghabiskan waktu untuk pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman sampai meninggal dunia dalam usia 60 tahun.Posisi Intelektual Fakhruddin ar-Razi Al-Fakhr ar-Razi merupakan intelektual ensiklopedis. Sebagai hasil kajiannya atas berbagai cabang ilmu secara tekun, teliti dan mendalam maka ia menjadi seorang ilmuan yang menguasai berbagai cabang ilmu. Dia adalah seorang ushuly terkemuka, faqih zamannya, mutkallim handal, mufassir besar, filosof, ahli

Page 13: biografi ilmuwan

bahsa, penyair, orator dan juga pendidik. Ia menghasilkan satu atau lebih karya dalam setiap cabang ilmu yang ia pelajari.Ia hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain untuk mengembangkan ilmunya. Dari Rayy, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, al-Fakhr ar-Razi hijrah ke Khawarizmi, lalu ke Ma Wara’a an-Nahr, terus ke Khurasan. Di setiap kota tersebut dia dikerumuni para ulama yang ingin belajar dan berdiskusi dengannya. Kota terakhir yang ia kunjungi dan menjadi tempat tinggalnya hingga akhir hayatnya adalah Heart, Afganistan. Di kota inilah al-Fakhr ar-Razi semakin memantapkan dirinya sebagai ulama besar. Kuliah-kuliahnya dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat: dari raja, para menteri, para pejabat lain, para ulama, hingga masyarakat awam dan kalangan fakir miskin. Biasa dikatakan bahwa ke manapun ia pergi, al-Fakhr ar-Razi selalu disambut dengan penghoramatan dan takdim. Masyarakat kota ini memanggilnya dengan sebutan Syaikh al-Islam, sebuah gelar kehormatan yang menunjukkan ketinggian dalam ilmu dan ketakwaan.Kepakaran al-Fakhr ar-Razi ini dapat dilihat pula dari pengakuan dan pujian ulama-ulama besar lainnya. Al-Allamah ibn as-Subki dalam Tabaqatnya, al-Fakhr ar-Razi adalah “seorang pemuka mutakallimin, memiliki kapasitas yang tinggi dalam melakukan kajian kritis terhadap berbagai ilmu, memiliki kemampuan dalam makna-makna terdalam baik manthuq maupun mafhum…” Imam adz-Dzahabi dalam as-Siyarnya mengatakan bahwa al-Fakhr ar-Razi adalah “seorang al-allamah al-kabir, menguasai berbagai cabang ilmu, ahli ushul fiqh, mufassir, pentolan orang-orang pintar dan bijak dan penulis produktif.” Al-Allamah ibn Khallikan menilainya sebagai “faqih syafi’i, tiada duanya di masanya, puncak orang-orang semasanya dalam bidang kalam dan logika, memiliki karya-karya dalam berbagai cabang ilmu, juga pemberi nasehat yang mencerahkan…”Dalam bidang fiqh, al-Fakhr ar-Razi adalah seorang tokoh syafi’iyyah. Karyanya Manaqib al-Imam asy-Syafi’i cukup menjadi bukti kesetiaannya pada madzhab ini. Bahkan ia rela berapologi untuk membela Imam asy-Syafi’i atas kekurangannya dalam merumuskan ushul fiqh dalam kitabnya ar-Risalah. Karena itu, secara umum pendapat-pendapatnya dalam bidang fiqh sejalan dengan pendapat Syafi’iyyah. Tapi sesungguhnya perlu diteliti kemungkinan bahwa al-Fakhr ar-Razi memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dan terlepas dari Syafi’iyyah. Hal ini mengingat kemandiriannya dalam ilmu ushul fiqh. Meskipun banyak mengikuti Syafi’iyyah dan sering menyebut pernyataan Imam Syafi’i dalam masalah-masalah ushul, tetapi dia sering mendiskusikan pendapat-pendapat dari kalangan Syafi’iyyah, seperti Imam al-Juwaini dan al-Ghazali, yang menunjukkan ketidaksepakatan al-Fakhr ar-Razi dengan mereka.Sementara itu, dalam bidang kalam, al-Fakhr ar-Razi dikenal sebagai pembela tangguh madzhab Asy’ari. Penggunaan filsafat dalam pemikiran kalamnya, yang melahirkan tuduhan bahwa dia pendukung Mu’tazilah, tidak cukup untuk menggoyahkan posisinya sebagai eksponen Asy’ariyah. Dengan analisis dan argumen-argumentasinya yang tak terpatahkan, dia berdebat dan mengkritik pemikiran-pemikiran kalam dari kalangan lain, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Batiniah dan Qaramithah, bahkan juga dari kalangan Hanabilah yang menentang ilmu kalam. Kerangka Pemikiran al-Razi: Menelusuri Kandungan Kitab al-MahsulKitab al-Mahsul fi Ushul al-Fiqh, yang ditulis al-Razi, terdiri atas tiga belas tema pembahasan yang dikelompokkan menjadi dua jilid. Jilid pertama membahas enam tema pembicaraan (Kalam), yaitu:1. Tema pertama, pendahuluan (al-Kalam fi al-Muqaddimah)2. Tema kedua tentang bahasa (al-Kalam fi al-Lughah)3. Tema ketiga tentang perintah dan larangan (al-Kalam fi al-Anwar wa al-Nawahi)4. Tema keempat tentang umum dan khusus (al-Kalam fi al-Umum wa al-Khusus)5. Tema kelima tentang perbuatan Rasul (al-Kalam fi al-Af’al)6. Tema keenam tentang Nasikh dan Mansukh (al-Kalam fi al-Nasikh wa al-Mansukh)Sementara itu, jilid kedua membahas tujuh tema pembicaraan (Kalam), yaitu:1. Tema ketujuh tentang ijma’ (al-Kalam fi al-Ijma)2. Tema kedelapan tentang Hadits Nabi (al-Kalam fi al-Akhbar)3. Tema kesembilan tentang qiyas (al-Kalam fi al-Qiyas)4. Tema kesepuluh perbandingan dan tarjih (al-Kalam fial-Ta’adul wa al-Tarjih)5. Tema kesebelas tentang ijtihad (al-Kalam fi al-Ijtihad)6. Tema keduabelas tentang fatwa (al-Kalam fi al-Mufti wa al-Mustafti)7. Tema ketigabelas tentang dalil syar’i yang diperselisihkan kalangan mujtahid (al-Kalam fi ma Ikhtalafa fihi al-Mujtahidun min Adillat al-Syar’i)Untuk mengetahui keseluruhan kandungan kitab al-Mahsul secara umum, dapat dipahami dari kerangka pemikiran Fakhruddin ar-Razi yang dituangkan dalam tema pembahasan pertama, yakni pendahuluan. Pembicaraan dalam pendahuluan ini dapat dipadatkan ke dalam tiga tema sentral, yaitu: 1) Berbicara tentang anatomi ushul fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu; 2) Berbicara tentang asumsi dasar yang dijadikan pijakan dalam mendeskripsikan tema-tema penting dalam ushul fiqh; 3) berbicara tentang logical sequence (urutan logis) dalam merumuskan sistematika pembahasan ushul fiqh.1. Definisi Ushul FiqhUshul fiqh dalam pandangan Fakhruddin ar-Razi dimaknai sebagai, “ibarah ‘an majmu’ turuq a-fiqh ala sabil al-ijmal, wa kayfiyyat al-istidlal biha, wa kayfiyyat hal al-mustadlil biha” (merupakan sekumpulan metode memahami [pen.: cara berpikir yang benar] secara global, bagaimana merumuskan dalil [pen.: persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses perumusan dalil] dan bagaimana kondisi orang yang merumuskannya [pen.: persyaratan yang harus dipenuhi ulama]. 2. Asumsi Dasar

Page 14: biografi ilmuwan

Asumsi yang menjadi pijakan dalam melakukan pembahasan tentang ushul fiqh dalam kitab al-Mahsul, karya Fakhruddin ar-Razi adalah:Hukum Allah adalah firmannya (hukmullah ta’ala huwa qouluhu).Baik dan buruk sesuatu ditentukan oleh syara’, bukan akal manusia. Bersyukur kepada Allah tidak wajib secara akal.Tidak hukum sebelum adanya ketentuan syara’.3. Logical Sequence dalam Sistematika PembahasanMenurut Fakhruddin ar-Razi, ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas sekumpulan metode dalam memahami ajaran Islam (majmu’ turuq al-Fiqh). Ia menegaskan bahwa jalan yang harus dilalui dalam memahami hukum Islam adalah berbentuk al-adillah wa al-amarat.. Dalam pengertian ini, turuq al-fiqh dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu bersifat aqliyah (penalaran) dan sam’iyah (berdasarkan wahyu). Dalam pandangan Fakhruddin ar-Razi, metode ‘aqliyah tidak ada ruang untuk menetapkan hukum, karena tidak ada hukum kecuali atas dasar syara’. Hal ini berbeda dengan mu’tazilah, yang berpendapat bahwa jika akal memandang sesuatu ada manfaatnya, maka hukumnya adalah mubah (al-ibahah), sedang jika akal memandang sesuatu ada mudharatnya, maka hukumnya terlarang (al-hazr, dalam arti mahzur). Selanjutnya, Fakhruddin ar-Razi mengklasifikasikan metode syam’iyah tersebut menjadi dua, yaitu:Al-Dalil al-Mansus (dalil yang didasarkan teks keagamaan)Al-Dalil al-Mansus (dalil yang didasarkan teks keagamaan) adalah dapat berbentuk ucapan dan perbuatan dari pihak yang tidak pernah salah, yaitu Allah, Rasul dan komunitas masyarakat yang berijma’. Menurut Fakhruddin ar-Razi, tingkat kehujjahan ucapan dan perbuatan mereka. Perbuatan tidak akan bermakna apa-apa bila tidak didukung oleh ucapan. Karena itu, dalalah qawliyah (pengertian yang didasarkan dalil fi’liyah). Tampak, kerangka berpikir ushuliyah ini (yakni mendahulukan pembahasan dalalah qawliyah) dijadikan pijakan Fakhruddin ar-Razi dalam menentukan urutan logis (logical sequence) penyusun sistematika kitab al-Mahshul.Karena berpegang pada teks keagamaan hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan perangkat analisa bahasa, maka pembahsan ushul fiqh, menurut al-Razi, harus didahului oleh bab al-lughat (bab tentang bahasa). Dalam bab ini, pembahasan lebih diaksentuasi pada problem semantik, yang terkait dengan ilmu ma’ani dan ilmu bayan, dan implikasinya terhadap penetapan hukum Islam. Tema pembahsan ini, diklasifikasikan ke dalam 9 bab dan masing-masing bab terdiri atas beberapa masalah (sub bab).Pembahasan selanjutnya adalah tentang perintah dan larangan. Alasannya, dalalah qouliyah (pengertian yang didasarkan dalil qouliyah) dapat diketahui dengan mengkaji aspek internal teks, yakni berbentuk perintah dan larangan (al-awamir wa al-nawahi). Kemudian, dilanjutkan dengan membahas konteks cakupan makna teks, yaitu al-umum wa al-khusus dan al-mujmal wa al-mubayyan.Setelah itu, pembahsan baru diarahkan pada persoalan yang terkait dengan dalalah fi’liyah, yang dituangkan dalam bab al-Kalam fi al-Af’al. Issu yang diangkat dalam pembahasan ini adalah invallibitas para nabi (ismat al-Nabiya’), kehujjahan perbuatan Rasulullah SAW., syari’at sebelum Islam dan syari’at sesudah kenabian.Sebagaimana telah diketahui bahwa dalalah qouliyah dan dalalah fi’liyah memiliki implikasi hukum, baik bersifat menetapkan (al-ithbat) maupun menegasikan (al-raf’u). dengan pertimbangan ini, maka pembahasan tentang nasikh wa mansukh menjadi keniscayaan dalam ilmu ushul fiqh. Pembahasan ini lebih didahulukan daripada pembahasan ijma’ dan qiyas, karena kedua tidak mengenal nasikh dan mansukh.Setelah pembahasan nasikh dan mansukh, pembahsan dilanjutkan dengan al-Kalam fi al-Akhbar. Fakhruddin ar-Razi mempunyai asumsi bahwa seluruh ucapan dan perbuatan Nabi harus dijadikan pegangan dalam menciptakan hukum. Hanya saja, persoalannya adalah bagi orang yang tidak menyaksikan Rasulullah SAW secara langsung. Ucapan dan perbuatan Nabi yang dijadikan dalil dapat diperoleh melalui proses tranmisi (penukilan). Ada dua kemungkinan dalam proses ini, yaitu menghasilkan ilmu (yang meyakinkan) atau justru menghasilkan keraguan (al-dzann). Karena itu, pembahsan tentang hadits (al-Kalam fi al-Akhbar) dalam ushul fiqh menjadi penting.Al-Dalil al-MustanbatAl-Dalil al-Mustanbat adalah dalil yang tidak didasarkan secara langsung pada bunyi redaksi teks tertulis, tapi didasarkan pada qiyas yang memiliki sandaran pada bunyi redaksi teks tertulis. Dalam konteks ini, qiyas dipahami sebagai metode memahami (turuq al-fiqh) hukum Islam dalam bentuk al-adillah wa al-amarat. Karena itu, qiyas menjadi bab tersendiri dalam pembahasan ushul fiqh.Adapun cara menjadikan dalil sebagai dalil yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, pembahasan setelah qiyas adalah terkait dengan tarjih. Fokus pembahasan dalam bab ini adalah bagaimana proses tarjih dalam hadits dan qiyas.Termasuk pembahsan tentang Al-Dalil al-Mustanbat yang paling utama adalah terkait dengan keadaan orang yang merumuskan dalil (kayfiyat hal al-mustadlili) yang lebih dikenal dengan sebutan mujtahid. Ijtihad, menurut al-Razi, adalah istifragh al-wus’i fi a-nazar fi ma la yalhaquhu fi hi lawmun ma’a istifragh al-wus’i fihi [mencurahkan tenaga untuk mengkaji sesuatu (dalil-dalil hukum) yang tidak disertai cela (tidak ada cela di dalamnya), jika mencurahkan tenaga di dalamnya]. Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad dengan menekankan pada sifat mujtahid, yakni pada kemampuan merumuskan argumen [malakat tahsil al-hujaj ala al-ahkam al-syar’iyah aw al-wadzaif al-amaliyah, syar’iyah aw amaliyah]. Maksud sesuatu [dalil-dalil hukum] yang tidak ada cela di dalamnya (ma la yalhaquhu fihi lawmun) adalah tidak ada syubhat [kesangsian] di dalamnya. Hukum syar’i yang boleh diijtihadi adalah hukum yang tidak ada dalil nash dan ijma’, dan tidak termasuk dalam wilayah akidah.

Page 15: biografi ilmuwan

Sementara itu, kriteria seorang mujtahid di kalangan ulama diperdebatkan karena perbedaan pendekatan dan orientasi dalam merumuskannya, namun esensinya sama. Menurut al-Razi, syarat mujtahid adalah: (1) Mengetahui konteks bunyi lafadz dan maknanya; (2) Mengetahui konteks yang dibicarakan yang menjadi sasaran yang ditunjukkan oleh dlahirnya lafadz; (3) Mengetahui masing-masing lafadz dan qarinah-nya berdasarkan dalil-dalil syamiyah [al-Qur’an dan sunnah] dan aqliyah [rasional]. Berkaitan dengan penguasaan ayat-ayat hukum, al-Razi tidak menyaratkan seorang mujtahid hafal di luar kepala ayat-ayat tersebut, apalagi seluruh ayat al-Quran. Sebagaimana al-Ghazali dan al-Baidawi, al-Razi membatasi seorang mujtahid cukup mengetahui secara mendalam kurang lebih 500 ayat. Dari sini, tampak bahwa al-Razi tidak membatasi secara ketat dalam melakukan ijtihad.Dalam ushul fiqh, ijtihad adalah menjadi otoritas orang-orang yang dianggap alim dan mumpuni (capable). Komunitas umat islam yang tergolong awam hanya berhak minta fatwa. Karena itu, pembahasan tentang ushul fiqh setelah berbicara tentang ijtihad adalah terkait dengan mufti (dari kalangan ulama) dan mustafti (dari kalangan orang awam). Pembahasan tema ini dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu tentang kedudukan mufti, orang yang minta fatwa (sasaran fatwa) dan hukum yang difatwakan. Pembahasan yang terakhir adalah tentang dalil syar’i yang diperselisihkan kalangan mujtahid (al-Kalam fi ma Ikhtalafa fihi al-Mujtahidun min Adillat al-Syar’i). inti pemikiran Fakhruddin ar-Razi dalam pembahasan tema ini adalah menyangkut epistemologi hukum Islam, sebagai berikut: 1) Istishab al-hal; 2) Ihtihsan; 3) Qawl al-sahabi tidak dapat dijadikan hujjah; 4) Maslahah mursalah. Karakteristik, Orisinalitas dan Posisi al-MahsulKitab yang selesai ditulis pada tahun 576 H. ini merupakan karya terpenting al-Fakhr ar-Razi dalam bidang ushul fiqh. Bisa dikatakan bahwa karya-karyanya sebelumnya dalam bidang ini sudah termuat di dalamnya, dan karya-karya sesudahnya diambil atau merujuk kepada kitab ini. Pada masanya, kitab ini merupakan karya terbaik dan thariqah al-mutakallimin, dari sisi bahwa ia menghimpun empat kitab terpenting sebelumnya, yaitu al-Burhan karya Imam al-Haramain al-Juwaini, al-mustashfa karaya al-Ghazali, al-‘Ahd karya al-Qadli Abdul Jabbar beserta Syarhnya, Al-Umdah, karya abu al-Husain, dan al-Mu’tamad karya al-Hasan al-Bashri.Meskipun secara umum kandungan al-Mahshul hanya himpunan dari empat kitab tersebut, tetapi kitab ini disusun dengan sistematika yang logis sebagaimana dipaparkan di atas, menggunakan bahasa yang mudah dicerna dan pembahsan yang analitis dan kritis. Bahkan dibanding kitab yang lahir sesudahnya, yakni karya al-Amidi (w. 631 H), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, yang juga menghimpun empat kitab induk ushul fiqh di atas, al-Mahsul dinilai lebih jelas bahasanya dan lebih detail pemaparannya. Lebih dari itu, berbeda dengan kitab-kitab ushul fiqh thariqah mutakallimin sebelumnya, pembahasan dalam al-Mahshul menggunakan model perdebatan imajinair, sehingga di satu sisi, dalam setiap persoalan dapat ditunjukkan berbagai kemungkinan pendapat dan argumentasi untuk mendukungnya, dan akan nampak pula sisi kekuatan dan kelemahan masing-masing pendapat tersebut. Namun di sisi lain, model ini membuat al-Mahshul menjadi tidak mudah dipahami karena pembacanya dituntut memiliki logika yang kuat dan ketelitian yang tinggi. Bahkan juga tidak begitu mudah untuk menangkap mana yang merupakan pendapat Fakhruddin ar-Razi. Hal ini didukung oleh tidak konsistennya al-Fakhr ar-Razi dalam mengurutkan perdebatan antara pihak-pihak yang diimajinasikan. Dia sering mengawali perdebatan dengan kata qila,yang kemudian perdebatannya dibantah oleh orang kedua (qulta), kemudian disangga oleh al-Fakhr ar-Razi sendiri (qultu atau qulna). Selain itu, pada akhir perdebatan, jarang sekali dia memberikan kesimpulan yang menegaskan apa yang menjadi pendapatnya. Misalnya dalam persoalan ijma’, meskipun al-Fakhr ar-Razi sependapat dengan para pendahulunya bahwa ijma’ merupakan hujjah, tetapi ia menganalisis secara kritis dalil-dalil kehujjahannya, dan berkesimpulan bahwa dalalah ayat-ayat al-Quran terhadap ijma’, begitu pula dalalah dan wurud tentang hadits-hadits tentang ijma’, hanya bersifat zhanni. Karena itu menurut dia, kehujjahan ijma’ hanya bersifat zhanni, tidak sampai qath’i, dan penilaian bahwa suatu hokum telah disepakati (mujma’ alaih) pun bersifat zhanni. Sebagai konsekuensinya, al-Fakh ar-Razi menolak untuk menilai kafir ataupun fasiq terhadap orang yang mengingkari adanya ijma’ atas suatu persoalan bahkan terhadap keberadaan ijma’ itu sendiri. Dia juga mendiskusikan dan menganalisis kemungkinan terjadinya ijma’ dan berkesimpulan bahwa ijma’ tidak dapat dipastikan terjadi kecuali pada masa sahabat saja. Terlepas dari seberapa besar dari orisinalitas pemikiran-pemikiran nyang terdapat al-Mahshul, kitab ini telah diakui sebagai karya penting para ulama. Ada belasan sejarawan yang menyebut kitab ini beserta penulisnya dalam kitab-kitab sejarah mereka yang otoritatif. Di antara mereka adalah al-Qafthi dalam Akhbar al-Hukama’, Ibn Abi Usyaibi’ dalam Uyun al-Anbiya’, Ibn as-Subki dalam ath-Thabaqat, al-Yafi’i dalam al-Mir’ah, Ibn Katsir dalam al-Bidayah, ash-Shafdi dalam al-Wafi, Ibn al-Imad dalam asy-Syadzarat, Ibn Hajr dalam al-Lisan, Abu Syamah dalam adz-Dzail, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, dan al-Baghdadi dalam I’adiyyah al-Arifin. Catatan Akhir: Kelebihan dan Kekurangan Kitab al-MahshulKelebihan kitab al-Mahshul adalah pembahsannya bersifat problem solving (hall al-mushkilah). Deskripsi pembahsannya berbentuk tanya-jawab, sehingga (1) penekanannya pada pemecahan masalah, dan (2) memberikan gambaran sikap ar-Razi terhadap wacana yang dilontarkan ulama lain yang berkembang di tengah dunia akademik.Sementara itu, kekurangan kitab al-Mahshul adalah sasaran pembacanya bukan untuk pemula, karena pembahsan dalam kitab tersebut menggunakan pendekatan komparatif dan analitis kritis yang lebih bercorak filosofis dalam menguji kebenaran wacana. Wallahu a’lam bi al-sawab!