biasa

4
Perkenalkan, aku Biasa Gala. Sesuai nama yang diberkan kedua orang tuaku, hidupku biasa saja. Aku dilahirkan di tempat yang biasa-biasa saja, di tempat praktik bidan desa yang ruangannya (seperti yang kulihat baru- baru ini tentunya) biasa-biasa saja. Tak ada kasur empuk, pendingin ruangan, pesawat televisi, serta peralatan-peralatan lain layaknya Rumah Sakit berstandar mutu tinggi. Dan mungkin, karena dilahirkan disana, rupaku juga biasa-biasa saja. Entahlah. Tak tampan, juga tak buruk. Biasa saja. Tak seperti artis- artis di sinetron yang tayang sehabis magrib yang rupanya campuran eropa-indo atau amerika-indo atau latin-indo atau apalah itu aku tak tahu. Pokoknya tampan rupawan, membuat penonton perempuan manapun menjadikan standar tampan seorang pria bila sewaktu- waktu ada yang bertanya pria idola mana yang diimpikan menjadi kekasihnya. Ketika Sekolah Dasar hampir setiap Guru yang mengajar menanyakan muridnya ingin menjadi apa kelak. Dan aku, seperti kebanyakan murid lainnya, menjawabnya dengan jawaban yang biasa sekali. Dokter, polisi, insinyur, perawat, dan guru. Kira-kira itulah jawaban yang biasa terucap ketika ditanya sedemikian. Tak terpikir olehku waktu itu jawaban ilmuwan atau astronot atau ketua persatuan bangsa-bangsa atau raja atau apalah yang luar biasa. Aku jadi membayangkan, apa kira-kira jawaban Albert Einstein ketika dia ditanya pertanyaan serupa waktu Sekolah Dasar dulu. Hmmm. Beranjak remaja SMA, tidak mengubahku menjadi luar biasa. Masih biasa saja seperti biasa. Bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat sekolah, pulang sekolah, makan lagi, tidur, dan kadang diselingi menonton sinetron yang dibintangi Anjas Mara atau Primus Sulistiyo yang keduanya luar biasa tampan. Seperti

Upload: diano-ramadhan-fauzan

Post on 23-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Sebuah Fiksi

TRANSCRIPT

Page 1: Biasa

Perkenalkan, aku Biasa Gala. Sesuai nama yang diberkan kedua orang tuaku, hidupku biasa saja. Aku dilahirkan di tempat yang biasa-biasa saja, di tempat praktik bidan desa yang ruangannya (seperti yang kulihat baru-baru ini tentunya) biasa-biasa saja. Tak ada kasur empuk, pendingin ruangan, pesawat televisi, serta peralatan-peralatan lain layaknya Rumah Sakit berstandar mutu tinggi. Dan mungkin, karena dilahirkan disana, rupaku juga biasa-biasa saja. Entahlah. Tak tampan, juga tak buruk. Biasa saja. Tak seperti artis-artis di sinetron yang tayang sehabis magrib yang rupanya campuran eropa-indo atau amerika-indo atau latin-indo atau apalah itu aku tak tahu. Pokoknya tampan rupawan, membuat penonton perempuan manapun menjadikan standar tampan seorang pria bila sewaktu-waktu ada yang bertanya pria idola mana yang diimpikan menjadi kekasihnya.

Ketika Sekolah Dasar hampir setiap Guru yang mengajar menanyakan muridnya ingin menjadi apa kelak. Dan aku, seperti kebanyakan murid lainnya, menjawabnya dengan jawaban yang biasa sekali. Dokter, polisi, insinyur, perawat, dan guru. Kira-kira itulah jawaban yang biasa terucap ketika ditanya sedemikian. Tak terpikir olehku waktu itu jawaban ilmuwan atau astronot atau ketua persatuan bangsa-bangsa atau raja atau apalah yang luar biasa. Aku jadi membayangkan, apa kira-kira jawaban Albert Einstein ketika dia ditanya pertanyaan serupa waktu Sekolah Dasar dulu. Hmmm.

Beranjak remaja SMA, tidak mengubahku menjadi luar biasa. Masih biasa saja seperti biasa. Bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat sekolah, pulang sekolah, makan lagi, tidur, dan kadang diselingi menonton sinetron yang dibintangi Anjas Mara atau Primus Sulistiyo yang keduanya luar biasa tampan. Seperti itulah keseharianku. Biasa saja. Tak seperti Soekarno yang sedari remaja disela-sela waktunya berlatih pidato di kamarnya. Atau seperti Albert Einstein yang merenung entah memikirkan apa (karena memang saat itu tak ada yang mengerti apa yang dia bicarakan, katanya). Atau seperti tukang asongan cilik yang sehabis pulang sekolah membantu orang tuanya berdagang sebelum langit berubah merah api bersama kumandang azan.

Pernah suatu sore aku berkeliling taman kota dengan mengendarai sepeda. Disana berjajar rapih pohon-pohon rindang yang beberapa diantaranya dijadikan burung untuk bersarang. Salah satunya pohon besar tepat ditengah taman. Ketika itu, sepasang kekasih, kira-kira 25 tahunan, sedang asik berduaan. Aku dengan sepedaku yang biasa saja, tak mahal tak murah-tak keren tak jelek, melewati mereka. Ketika pas melewati mereka, si pria berseru

“kampret! Apa ini!”, katanya sambil menyapu dahinya.

Page 2: Biasa

“ihhh, tai burung, yang!”, sahut si perempuan.

Sontak aku yang melihat kejadian itu tertawa terbahak dan hampir menabrak seorang perempuan yang sedang lari sore.

“eh, mas, biasa aja dong! Gapernah liat orang kejatohan beginian?!”, kata si pria tadi. Memang saya biasa saja mas sejak lahir, aku membatin sembari meninggalkan sepasang kekasih itu.

Tak kutang-kurang usaha kedua orang tuaku untuk membuatku jadi luar biasa. Semenjak usia empat tahun, aku dimasukkannya ke Taman Pengajian Anak. Katanya supaya aku pintar mengaji dan rajin ibadah. Umur enam tahun aku disekolahkan di Sekolah Dasar Islam unggulan yang biayanya lebih mahal dan fasilitasnya menunjang untuk perkembangan anak seusiaku. Padahal, dengan gaji PNS golongan IIIa, masuk sekolah tersebut bisa dipastikan sangat membebani keuangan keluarga. Kemudian setelah lulus Sekolah Dasar didaftarkanya aku untuk les Bahasa Inggris. Katanya supaya aku mempunyai kelebihan dibanding yang lain. Menjelang Ujian Nasional SMP, aku didaftarkan bimbingan belajar. Katanya supaya nilai ujianku bagus dan dapat diterima di SMA favorit. Pun begitu ketika menjelang Ujian Nasional SMA. Katanya supaya nilai SPMBku bagus dan diterima di PTN ternama. Dan hasilnya? Aku tetap biasa saja. Yah, mungkin jika usaha mereka tak ada, aku lebih biasa dari ini. Tapi sekarang, ya, tetap, biasa saja.

Penalaranku biasa saja. Tak seperti mereka yang berdialog kenegaraan di acara berita televisi. Tak seperti mereka yang menemukan teknologi canggih. Tak seperti mereka yang mendapat Indeks Prestasi Kumulatif cum laude saat mereka lulus kuliah. Aku biasa saja. Standar. Tak kurang tak lebih. Sekelebat pikiranku terbayang akan masa depan. Ingin jadi apa kelak. Layar televisi menampilkan acara lawak dan aku mendapa ide. Kenapa tidak menjadi pelawak saja? Pelawak ‘kan pekerjaan yang luar biasa. Menghibur orang banyak. Dapat pahala dan gaji besar. Tapi, setelah kupikir ulang, aku tak pandai melawak. Lebih tepatnya, biasa saja. Aku mengganti kanal televisi setelah acara lawak selesai. Pertandingan sepak bola. Ah! Mengapa tak menjadi pemain sepak bola saja! Aku hobi bermain sepak bola. Hobi yang bisa menghasilkan uang. Penonton terhibur, aku terhibur, uang berkucur. Ah, tapi kalau dibandingkan dengan mereka yang aku tonton, kemampuan mengolah bolaku kalah jauh. Lebih kearah biasa saja. Dan banyak profesi lain yang sebenarnya aku gemari namun dalam hal tersebut aku biasa saja. Pelukis, aktor, pemain band, hingga ilmuwan. Dan dibandingkan mereka semua, aku biasa saja.

Page 3: Biasa

Ya, mungkin, untuk orang yang biasa saja sepertiku, pekerjaan dibalik meja adalah yang paling pas. Menunggu perintah dengan prosedur-prosedur ini itu yang biasa saja. Bekerja dari senin sampai jumat dengan dua hari libur untuk beristirahat dan melakukan hal yang biasa saja ketika liburan. Dirumah dan menonton televisi. Atau berkicau di media sosial. Entahlah.