bank syariah

26
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH DAN PEMBIAYAAN MURABAHAH A. Bank Syariah 1. Sejarah Bank Syariah Secara historis, konsep dan praktek transaksi ekonomi yang sejalan dengan prinsip syariah telah dikembangkan sejak lama, yaitu sejak zaman Nabi Muhammad SAW. sedangkan konsep teoritis tentang bank syariah muncul pada tahun 1940-an, namun belum dapat diwujudkan karena selain kondisi pada saat itu belum memungkinkan juga belum ada pemikiran tentang bank syariah yang meyakinkan. Sedangkan awal dari sejarah perbankan syariah modern relatif baru, yaitu sejak pendirian Myt Ghamr Bank di Mesir oleh Dr. Ahmad El Najjar pada tahun 1963. Dengan perkembangan konsep syariah yang berkembang di Mesir pada saat itu, maka berdirilah 9 bank dengan konsep serupa. Bank – bank tersebut tidak memungut biaya maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha – usaha perdagangan dan industri yang secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. 14 Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri negara – negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Pakistan (1970), Libya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang – sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem . 14 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 177. Universitas Sumatera Utara

Upload: muhammad-erfan

Post on 27-Dec-2015

11 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH DAN

PEMBIAYAAN MURABAHAH

A. Bank Syariah

1. Sejarah Bank Syariah

Secara historis, konsep dan praktek transaksi ekonomi yang sejalan

dengan prinsip syariah telah dikembangkan sejak lama, yaitu sejak zaman Nabi

Muhammad SAW. sedangkan konsep teoritis tentang bank syariah muncul pada

tahun 1940-an, namun belum dapat diwujudkan karena selain kondisi pada saat

itu belum memungkinkan juga belum ada pemikiran tentang bank syariah yang

meyakinkan. Sedangkan awal dari sejarah perbankan syariah modern relatif baru,

yaitu sejak pendirian Myt Ghamr Bank di Mesir oleh Dr. Ahmad El Najjar pada

tahun 1963. Dengan perkembangan konsep syariah yang berkembang di Mesir

pada saat itu, maka berdirilah 9 bank dengan konsep serupa. Bank – bank

tersebut tidak memungut biaya maupun menerima bunga, sebagian besar

berinvestasi pada usaha – usaha perdagangan dan industri yang secara langsung

dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para

penabung.14

Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development

Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri negara –

negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Pakistan (1970), Libya (1973), dan

Jeddah (1975). Dalam sidang – sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem

.

14 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 177.

Universitas Sumatera Utara

keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil.

Berdirinya IDB tekah memotivasi banyak negara – negara Islam untuk

mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir periode 1970-an, dan awal

periode 1980-an, bank – bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara –

negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.

Di Indonesia sendiri umat Islam telah lama mendambakan berdirinya

bank yang berlandaskan prinsip syariah Islam. Pada tahun 1937, K.H. Mas

Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937-1944 memberikan

pendapantnya mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang terpaksa

dilakukan karena umat islam belum mempunyai lembaga keuangan sendiri yang

bebas riba. Keinginan umat islam untuk mendirikan Bank Islam baru dapat

diwujudkan dengan diterbitkannya paket deregulasi di bidang perbankan pada

tanggal 27 Oktober 1988 (Pakto ‘88). Melihat kenyataan bahwa masyarakat

sangat menginginkan berdirinya bank dengan prinsip syariah maka diadakan

lokakarya Bunga Bank dan Perbankan MUI pada tanggal 19-22 Agustus 1990 di

Cisarua Bogor. Hasil lokakarya tersebut kemudian dikukuhkan dalam muktamar

Nasional IV MUI di Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990 dan mengamanatkan

Pengurusan MUI untuk mengupayakan berdirinya bank berlandaskan prinsip –

prinsip syariah Islam.

Akhirnya pada tahun 1992 berdirilah Bank Umum syariah pertama di

Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didukung dengan Undang

– Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun dikatakan

perkembangan bank syariah hingga tahun 1998 boleh dibilang agak lambat. Hal

Universitas Sumatera Utara

ini terjadi karena sebelum terbitnya Undang - Undang Nomor 21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah dan sebelumnya Undang - Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung system operasional

bank syariah kecuali Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992.

Sebelum berlakunya Undang - Undang Nomor. 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah, eksistensi bank Islam secara hukum positif dimungkinkan

pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m tersebut berdasarkan penjelasannya tidak

mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau bank Syariah, melainkan

hanya menyebutkan “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan

prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan

permerintah”. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 itu, Bank

Syariah dipahami sebagai bank dengan prinsip bagi hasil, belum disebut sebagai

bank dengan prinsip syariah. Selebihnya Bank Syariah harus patuh dan tunduk

kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Akibatnya

manajemen bank syariah cenderung mengadopsi produk – produk perbankan

konvensional yang disyariahkan sehingga tidak semua kebutuhan masyarakat

terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk

konvensional.

Dalam Pasal 13 huruf c Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992

menyatakan bahwa salah satu usaha bank perkreditan rakyat menyediakan

pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan

Universitas Sumatera Utara

yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi Pasal tersebut,

pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan PP No. 72 Tahun

1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Hal tersebut secara tegas

ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang berbunyi

sebagai berikut:

1. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata

– mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan

kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil;

2. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak

berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan

berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pada Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan

Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terdapat beberapa

perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar dari pengembangan

perbankan syariah. Dari undang – undang tersebut dapat diperoleh pengertian

bahwa di dalam sistem perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan antara

lain sebagai berikut :15

1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak

menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah

yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana

masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari segmen yang

15 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Op.Cit, hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang

menerapkan sistem bunga.

2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan

prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep diterapkan adalah hubungan

investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara dalam

bank konvensional, konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur

(debtor and creditor relationship).

3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jaaa perbankan yang memiliki

beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga

yang berkesinambungan (perpectual interests effect), membatasi kegiatan

spekulatif yang tidak produktif (unproductive speculation), pembiayaan

ditujukan kepada usaha – usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.

Dengan Undang - Undang Nomor 10 tahun 1998, maka telah ditetapkan

landasan hukum yang kuat serta menjamin adanya kepastian hukum bagi para

pelaku ekonomi serta masyarakat luas untuk kelembagaan dan kegiatan usaha

bank syariah. Hal ini mengisyaratkan pula bahwa dalam hal tersebut mengetai

segi kelembagaan maupun landasan operasionalnya telah cukup jelas dan kuat.

Hal tersebut semakin kokoh lagi setelah didukung Undang - Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia

dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip – prinsip syariah.

Kedua undang – undang tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan

nasional untuk mulai menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking

Universitas Sumatera Utara

system, yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan

secara paralel.16

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008

perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah

dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan

proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Hal ini menegaskan bahwa

segala hal mengenai perbankan syariah baik menyangkut kelembagaan, kegiatan

usaha, maupun prosesnya dilakukan berdasarkan undang – undang yang baru ini.

Ini jelas mengindikasikan bahwa pada undang – undang sebelumnya yang

mengatakan bahwa setiap kegiatan usaha usaha bank berdasarkna prinsip syariah

dikatakan sebagai kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil mulai ditinggalkan,

Pengaturan mengenai perbankan syariah dalam Undang - Undang

Nomor 10 tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik

operasional perbankan syariah, di mana, di sisi lain pertumbuhan dan volume

usaha bank syariah berkembang cukup pesat.

Adanya Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah jelas merupakan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan perlindungan

hukum yang sangat diperlukan sebab Undang – Undang ini menjadi payung

yuridis bagi semua kalangan yang berhubungan dengan bank syariah. Selain itu,

perbankan syariah membutuhkan ketentuan dan pengaturan yang memastikan

bahwa pelaksanaan dan operasional perbankan syariah tetap berjalan secara

konsisten dengan prinsip syariah.

16 Ibid, hal. 31

Universitas Sumatera Utara

sebab dunia perbankan Indonesia sudah mulai mengenal dan mengakui

perbankan syariah dan menerapkan dual banking system, yaitu perbankan

konvensional dan perbankan syariah.

Lahirnya Undang - Undang Nomor 21 tahun 2008 ini memiliki

beberapa kecenderungan utama, antara lain:17

1. Undang – undang ini kental dengan nuansa menyariahkan bank syariah, hal

ini terlihat dari ketentuan tentang jenis dan kegiatan usaha, pelaksanaan

prinsip syariah, komite perbankan syariah dan komisaris syariah, serta dewan

pengawas syariah;

2. Undang – undang ini berorientasi pada stabilitas sistem dengan secara jelas

mengadopsi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Hal

ini terlihat dari ketentuan tentang perizinan, prinsip kehati – hatian,

kewajiban pengelolaan risiko, pembinaan dan pengawasan, serta jarring

pengaman sistem perbankan syariah (usulan DPR).

Dengan kecenderungan itu, Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008

tersebut, Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008 diperkirakan akan memiliki

beberapa dampak positif, antara lain terhadap aspek kepatuhan syariah (syariah

compliance), iklim investasi dan kepastian usaha, serta perlindungan konsumen,

dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan.

Untuk melengkapi inisiatif guna mendorong masuknya pemain baru ke

dalam sistem perbankan syariah, Bank Indonesia sejak bulan Maret 2002 telah

mengeluarkan Peraturan BI No. 4/1/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Bank

17Ibid, hal 40.

Universitas Sumatera Utara

Usaha Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah

dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum

Konvensional tanpa mengurangi prinsip kehati – hatian. Ketentuan ini

mencakup:

a. konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah;

b. pembentukan unit usaha syariah dalam kaitannya dengan

pembukaan kantor pembantu syariah dan koloksi (menumpangkan)

kantor cabang syariah atau kantor cabang pembantu syariah yang

sudah ada. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan sepanjang bank

tersebut telah memiliki paling tidak satu kantor cabang syariah di

wilayah kantor cabang syariah di wilayah kantor Bank Indonesia.

2. Pengertian Bank Syariah

Secara umum, pengertian bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang

pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah

yang diberikan untuk menyebut entitas bank Islam selain istilah bank Islam itu

sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest-free bank), bank tanpa riba (lariba

bank), dan bank syariah (Shari’a Bank). Indonesia sendiri secara teknis yuridis,

penyebutan bank Islam mempergunakan istilah resmi “bank syariah” atau yang

secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah”.18

Menurut Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

bank yang operasinya berdasarkan prinsip syariah tersebut secara teknis yuridis

disebut “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Dengan dikeluarkannya Undang –

Undang Perbankan terbaru, yaitu Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998,

18 Ibid, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

istilah yang dipakai adalah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Karena operasinya

berpedoman pada ketentuan – ketentuan syariah Islam, maka bank Islam disebut

pula “bank syariah”. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1angka 3 Undang- Undang

Nomor 10 Tahun 1998 :

“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya

memberikan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Pengertian dari prinsip syariah sendiri termuat dalam Pasal 1 angka 13,

yaitu :

“ Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak

lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan

lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.”

Sedangkan menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah dalam Pasal 1 angka 7, Bank syariah itu adalah :

“ Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya

berdasarkan prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum

Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah”.

Sedangkan menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan H.M. Syafii

Antonio, Bank Islam atau Bank Syariah adalah Bank yang beroperasi sesuai

dengan prinsip – prinsip syariah dan tata cara beroperasinya mengacu kepada

ketentuan Al-Qur’an dan Hadits.19

19 Karnaen Perwaatmadja dan M. Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT. Dana Bhakta Wakaf, 1997. hal 14

Universitas Sumatera Utara

3. Karakteristik Bank Syariah

Dalam pengertiannya, Bank Syariah berbeda dengan Bank

Konvensional, maka dapat dilihat dari cirri, fungsi dan peran Bank Syariah, serta

tujuannya.

a. Ciri Bank Syariah

Bank Syariah mempunyai ciri – ciri berbeda dengan Bank

Konvensional. Adapun ciri – ciri Bank Syariah adalah sebagai berikut :20

1) Keuntungan, misalnya pada kredit Murabahah dan (Bai’u Bithaman Ajil) dan

beban biaya (misalnya pada pinjaman Al-Qardhul Hassan) yang disepakati

tidak kaku (rigid) dan ditentukan berdasarkan kekayaan tanggungan resiko

dan korbanan masing – masing.

2) Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa

hutan selepas kontrak dilakukan dengan membuat kontrak baru.

3) Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya administrasi

selalu dihindarkan, karena persentasenya mengandung potensi

melipatgandakan.

4) Pada Bank Islam tidak mengenal keuntungan pasti (Fixed Return),

ditentukan kepastian sesudah mendapat untung, bukan sebelumnya.

5) Uang dari jenis yang sama tidak bias diperjualbelikan/disewakan atau

dianggap barang dagangan. Oleh karena itu, Bank Islam pada dasarnya tidak

memberikan pinjaman berupa uang tunai tetapi berupa pembiayaan atau

talangan dana untuk pengadaan barang dan jasa.

20 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Penerbit Bangkit, Jakarta, 1996, hal.8

Universitas Sumatera Utara

b. Fungsi dan Peran Bank Syariah

Bank Syariah memiliki peran dalam dunia perekonomian sebagai

penghimpun dana dan penyalur dana bagi masyarakat seperti halnya bank

konvensional, dalam pembangunan nasional, bank syariah juga memiliki peran

antara lain sebagai berikut :21

1) Sebagai pelengkap dari Bank yang telah ada, dan menyediakan alternatif

cara kerja perbankan yang memuaskan pemakainya.

2) Sebagai suatu sarana untuk meningkatkan partisipasi masyarakat banyak

dalam pembangunan nasional dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi.

3) Menciptakan lapangan kerja baru

4) Sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Adapun Bank Syariah memiliki fungsi antara lain :22

b) Investor, yakni menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah

yang dipercayakan kepadanya.

a) Manajer Investasi, yakni bank syariah sebagai pemilik dana (shahibul maal)

dari dana yang dihimpun (dalam perbankan lazim disebut sebagai deposan atau

penabung), karena besar kecilnya pendapatan yang diterima dari pemilik dana

bergantung pada pendapatan yang diterima oleh bank syariah dalam mengelola

dana secara keahlian, profesionalisme dan kehati – hatian.

c. Tujuan Bank Syariah

Berdirinya sebuah Bank Syariah memiliki tujuan sebagai berikut :23

21Ibid, hal. 11 22 Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, PT. Grasindo,

Jakarta, 2005, hal.5-10. 23 M. Amin Aziz, Op.Cit, hal. 9-11

Universitas Sumatera Utara

1) Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan

kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat banyak.

2) Meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan

terutama di bidang ekonomi keuangan.

3) Berkembangnya lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat

berdasarkan efisiensi dan keadilan akan mampu meningkatkan partisipasi

masyarakat sehingga menggalakkan usaha – usaha ekonomi masyarakat

banyak dengan antara lain memperluas jaringan lembaga – lembaga

keuangan perbankan ke daerah – daerah terpencil.

4) Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomis,

berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.

5) Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan Islam menurut syariah

Islam dapat beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi bank – bank

dengan sistem lain.

Bank syariah didasarkan pada Al – Qur’an dan Hadist sebagai pedoman

hidup umat Islam. Filosofi dan dasar Perbankan Syariah meliputi 3 aspek, yaitu

produktif, adil, dan memiliki akhlak atau moralitas usaha. Produktif berarti harta

yang dipergunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan. Karenanya harta juga

tidak boleh menganggur dan diperkenankan memperoleh laba. Sedangkan adil

berarti dilarangnya riba dan diharuskan melakukan pembagian hasil dan risiko.

Universitas Sumatera Utara

Akhlak dan moralitas usaha meliputi larangan investasi pada usaha maksiat dan

merusak lingkungan serta larangan berspekulasi.24

Surat Ar Ruum ayat 39

Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan

sekaligus, melainkan diturunkan dalam tiga tahap, antara lain :

a) Tahap Pertama

25

Surat An Nisa ayat 161

:

“Dan apa yang kamu berikan sebagai tambahan (riba) untuk menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan yang kamu berikan zakat karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka (yang memberikan zakat itu) melipatgandakan pahalanya.

b) Tahap Kedua

26

Surat Al – Baqarah ayat 275

:

“ Dan karena mengambil (memakan hasil) riba, padahal sesungguhnya

mereka telah dilarang (melakukan) dan karena mereka memakan harta

orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk

orang – orang yang kafir diantara mereka azab yang berat sekali”.

c) Tahap Ketiga

27

“Orang – orang yang memakan harta riba, tidaklah sanggup berdiri

melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syaitan. Demikian itu

:

24 Mewujudkan Kesetaraan dan Keaadilan Perbankan, Peluang Bank Syariah. “Media Indonesia” 28 Mei 2001.

25 Departemen Agama Republik Indonesia, Al – Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, 2008.

26 Ibid 27 Ibid

Universitas Sumatera Utara

karena mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentan Perbankan Syariah

yang menggantikan UU No. 10 Tahun 1998, maka landasan hukum bank syariah

telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaan maupun lembaga

operasionalnya.

4. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan antara Bank Konvensional

dan Bank Syariah (Islam) memliki perbedaan yang sangat besar, antara lain :28

a. Bank Islam mendasarkan perhitungan pada margin keuntungan. sedangkan

bank konvensional memakai perangkat bunga, atau bagi hasil.

b. Bank Islam tidak saja berorientasi pada keuntungan (profit), tetapi juga

pada falah oriented; sedangkan bank konvensional semata – mata profit

oriented.

c. Bank Islam melakukan hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan

kemitraan, sedangkan bank konvensional melakukan hubungan dengan

nasabah dalam bentuk hubungan kreditur dan debitur.

d. Bank Islam melakukan penggunaan dana secara riil (users of real funds),

sedangkan bank konvensional sebagai creator of money supply.

e. Bank Islam melakukan investasi – investasi yang halal saja, sedangkan

bank konvensional melakukan investasi yang halal dan haram.

28 Rachmadi Usman, S.H, Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.15.

Universitas Sumatera Utara

f. Bank Islam dalam melakukan pengerahan dan penyaluran dana harus

sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syariah, sedangkan bank

konvensional tidak terdapat dewan sejenis itu.

Selain itu, dalam hal imbalan yang berupa bunga dan bagi hasil, bank

konvensional dan bank Islam memiliki perbedaan antara lain :29

1) Pada bank konvensional penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa

berpedoman pada untung rugi, sedangkan pada bank Islam penentuan

besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada

kemungkinan rugi;

2) Pada bank konvensional besarnya persentase berdasarkan pada jumlah

uang (modal) yang dipinjamkan, sedangkan pada pada bank Islam

besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh;

3) Pada bank konvensional pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan

tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah

untung atau rugi, sedangkan pada bank Islam, bagi hasil bergantung pada

keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan

keuntungan, maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah

pihak;

4) Pada bank konvensional, jumlah pembayaran bunga tidak mengikat

sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang

“booming”, sedangkan pada bank Islam, jumlah pembagian laba

meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

29 Ibid, hal. 14

Universitas Sumatera Utara

5) Pada bank konvensional eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam)

oleh semua agama, termasuk Islam, sedangkan pada bank Islam tidak ada

yang meragukan keabsahan keuntungan bagi hasil.

B. Tinjauan Umum Pembiayaan Murabahah

1. Pengertian Murabahah

Dalam pengertian Islam, murabahah pada dasarnya berarti penjualan.

Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa

penjual dalam model murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli

berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang

dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa berdasarkan

persentase.30

Murabahah merupakan akad jual beli antara dua belah pihak, dimana

pembeli dan penjual menyepakati harga jual, yang terdiri atas harga beli ditambah

ongkos pembelian dan keuntungan dari penjual. Pemahaman lain murabahah

adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan

(margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( )

yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) Sedangkan dalam definisi para

ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang

diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang

diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang

diketahui keduanya.

31

30 Adrian Sutedi, Perbankan Islam Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Op.Cit, hal. 95. 31 Ibid, hal. 95.

Murabahah dapat dilakukan

Universitas Sumatera Utara

secara tunai, bisa juga secara bayar tangguh atau bayar dengan angsuran.

Pemahaman lain murabahah adalah transaksi jual beli, dimana bank mendapat

sejumlah keuntungan. Dalam hal ini bank menjadi penjual dan nasabah menjadi

pembeli.

Ada tiga pihak A, B, dan C dalam melakukan penjualan murabahah. A

meminta B untuk membeli beberapa barang untuk A. B tidak memiliki barang

tersebut, tetapi berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga (C). B dalam hal

ini adalah seorang perantara, dan perjanjian murabahah antara A dan B. Perjanjian

murabahah ini diartikan sebagai “penjualan komoditas dalam harga yang pada

mulanya penjual (B) membayarnya ditambah sisa untung yang dikenakan kepada

penjual (B) dan pembeli (A)”.32 Karena awalnya dalam hukum Islam, perjanian

murabahah nampak telah diterapkan dalam tujuan perdagangan. Udovitch

menunjukkan bahwa murabahah adalah bentuk penjualan komisi, dimana pembeli

yang biasanya tidak mampu memperoleh komoditas tersebut memerlukan

pengecualian melalui seorang perantara, atau tidak ingin mengalami kesulitan,

karenanya ia mencari jasa perantara tersebut.33

Beli tunai

Skema Pembiayaan Jual-beli (murabahah) adalah sebagai berikut :

Bayar Jual tangguh Klaim Barang

32Jaziri, Fiqh,II,Hal 278-280 dalam Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Op.Cit, hal.136.

33 Ibid, hal. 137

B

A

C

Universitas Sumatera Utara

Namun Qur’an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan

murabahah, walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual,

keuntungan, kerugian dan perdagangan. Demikian juga, nampaknya tidak ada

hadits yang memiliki acuan langsung kepada murabahah. Para ulama awal seperti

Malik dan Syafi’i yang secara khusus menyatakan bahwa penjualan murabahah

berlaku, tidak menyebutkan referensi dari hadist yang jelas. Al Kaff, kritikus

kontemporer terhadap murabahah, mnyimpulkan bahwa murabahah merupakan

“salah satu penjualan yang tidak dikenal sepanjang masa Nabi atau

semacamnya”34. Menurutnya, ulama yang mahsyur mulai mengungkapkan

pandangan mereka mengenai murabahah pada perempat pertama abad kedua

Hijrah, atau lebih35

“ Ada konsensus pendapat di sini (di Madinah) mengenai hukum orang

yang membeli baju di sebuah kota, dan mengambilnya ke kota lain untuk

menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan berdasarkan keuntungan”

. Karena nampaknya tidak ada acuan langsung kepadanya

dalam Al – Qur’an atau Hadist yang diterima umum, para ahli hukum harus

membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung

validitasnya dengan acuan pada praktek orang – orang Madinah:

36

“Jika seorang menunjukkan komoditas kepada seseorang, dan

mengatakan, “kamu beli untukku, aku akan memberimu keuntungan begini,

begini,” kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah”

Syafi’i tanpa bermaksud untuk membela pandangannya oleh teks

syariah, mengatakan:

37

34 Ibid. hal. 137 35 Ibid hal 137. 36 Ibid. hal 5-6

Universitas Sumatera Utara

Ulama Hanafi, Marghinani, membenarkannya berdasarkan “kondisi

penting bagi validitas penjualan di dalamnya, dan juga karena manusia sangat

membutuhkannya. Ulama Syafi’i, Nawawi, secara sederhana mengemukakan

bahwa: Penjualan Murabahah sah menurut hukum tanpa bantahan”38

2. Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah

Tujuan dari murabahah adalah untuk menjembatani antara penyedia

dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang ahli

di bidang usaha.39 Untuk dapat terlaksananya tujuan ini, harus ada hubungan

hukum antara penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah). Dalam

dunia usaha (khususnya dunia perbankan) hubungan hukum ini terjadi karena

adanya suatu kepentingan yang bersifat timbal balik, dimana satu pihak berhak

menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan pihak yang lain itu berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu itu dinamakan

kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi

tuntutan itu dinamakan debitur atau si berhutang.40

Dengan terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah ini,

maka telah terjadi suatu perikatan antara bank dengan nasabah, menurut Prof.

Subekti, SH. Bahwa “ Perikatan adalah suatu hubungan hukum antra dua orang

atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal

dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.”

41

37 Ibid, hal.139 38 Ibid, hal. 140 39 Kamaen A. Perwaatmadja, Muhammad Syafii Antonio, Prinsip Operasional Bank

Syariah, Risalah Masa, Jakarta, 1992, hal.22 40R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hal.1 41 Ibid

Tiap-tiap perikatan ini dapat lahir karena perjanjian semata – mata atau karena

Universitas Sumatera Utara

undang –undang.. Apabila perikatan ini dikaitkan dengan perjanjian maka

kaitannya sangat erat sekali, dimana perjanjian itu menerbitkan perikatan dan

perjanjian adalah sumber perikatan.

Bila dikaitkan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, maka

perjanjian murabahah ini juga merupakan suatau hubungan hukum setara

penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah) yang melahirkan

perikatan. Hubungan hukum ini timbul karena adanya suatu peristiwa hukum,

yaitu kesepakatan antara bank dengan nasabah untuk sama – sama mengikatkan

diri dalam suatu perjanjian.

Perjanjian pembiayaan ini merupakan sebagai landasan bagi para pihak

untuk melakukan suatu prestasi, dimana nasabah sebagai pihak yang menerima

dan mengelola dana pembiayaan, berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi

dan bank sebagai pihak pemberi dana mempunyai hak untuk menuntut prestasi

dari nasabah. Prestasi ini berupa kewajiban nasabah untuk memenuhi dan

melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati bersama dalam perjanjian

pembiayaan murabahah, sedangkan bank telah memberikan dananya mempunyai

hak untuk menuntut nasabah agar melaksanakan dan mematuhi semua prestasi itu

tepat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Perjanjian pembiayaan ini meruakan sebagai landasan bagi para pihak

untuk melakukan suatu prestasi, dimana nasabah sebagai pihak yang menerima

dan mengelola dana pembiayaan, berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi

dan bank sebagai pihak pemberi dana mempunyai hak untuk menuntut prestasi

dari nasabah. Prestasi ini berupa kewajiban nasabah untuk memenuhi dan

Universitas Sumatera Utara

melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati bersama dalam perjanjian

pembiayaan murabahah, sedangkan bank telah memberikan dananaya mempunyai

hak untuk menuntut nasabah agar melaksanakan dan mematuhi semua prestasi itu

tapat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Dengan adanya

perjanjian yang dibuat oleh bank dengan nasabah telah menimbulkan hubungan

hukum yang beraspek hukum perdata.

Di dalam peraturan perundang – undangan, khususnya dalam Undang -

Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, murabahah sendiri

tercakup ke dalam Pasal 19 ayat 1 huruf d, yang menyatakan bahwa kegiatan bank

umum syariah meliputi menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah,

ini berarti murabahah termasuk salah satu produk perbankan bank umum syariah

dan boleh dilaksanakan sebab telah jelas ketentuan yang memperbolehkan

beroperasinya kegiatan tersebut.

Melalui Fatwa MUI, secara khusus pengaturan mengenai pembiayaan

murabahah ditegaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-

MUI/IV/2000, dimana dalam fatwa ini memuat enam bagian yang mengatur

ketentuan bagaimana murabahah yang sah menurut syariat Islam, dimana secara

garis besar bagian itu meliputi,bagian pertama yakni ketentuan umum Murabahah

dalam bank Syariah, kedua: Ketentuan Murabahah kepada nasabah, ketiga:

Jaminan dalam Murabahah, keempat: Utang dalam Murabahah, kelima:

Penundaan Pembayaran dalam Murabahah, keenam: Bangkrut dalam Murabahah.

3. Bentuk dan Sifat Perjanjian Pembiayaan Murabahah

Dalam memberikan kredit (pembiayaan) kepada nasabah, biasanya

bank menyediakan formulir perjanjian kredit tertentu, menurut jenis kredit yang

Universitas Sumatera Utara

diberikan. Bentuk formulir perjanjian kredit ini, isinya / materinya telah

dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak bank. Formulir ini akan disodorkan

kepada pemohon yang mengajukan permohonan kredit dan umumnya mengenai

isinya tidak dibicarakan terlebih dahulu kepada pemohon. Kepada pemohon hanya

dimintai pendapatnya, apakah ia mau menerima syarat – syarat yang telah tertulis

dalam formulir perjanjian standar atau biasa dikenal sebagai perjanjia adhesi.

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan tentang syarat – syarat

sahnya perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Kemudian dalam Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa, “Tiada

sepakat yang sah apabila itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya

dengan paksaan atau penipuan.” Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata

mengandung suatu asas membuat perjanjian yang menganut sistem terbuka,

dimana dalam Pasal 1338 ayat 1 menyatakan bahwa, “Semua persetujuan yang

dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang – undang bagi yang membuatnya.

Perjanjian murabahah, seperti halnya perbuatan hukum lainnya, agar

memiliki daya ikat maka sebuah perjanjian itu harus memenuhi syarat dan

rukunnya. Secara umum murabahah merupakan perjanjian berdasarkan prinsip

jual beli dimana karena itu pula murabahah juga harus mengikuti rukun dan syarat

Universitas Sumatera Utara

seperti halnya jual beli dalam Islam, antara lain meliputi adanya pihak penjual dan

pembeli, adanya uang dan benda, serta adanya lafaz.42

Menurut mayoritas (jumhur) ahli – ahli hukum Islam, rukun yang

membentuk akad murabahah ada empat :

43

a. Adanya penjual (ba’i);

b. Adanya pembeli (musytari);

c. Objek atau barang (mabi’) yang diperjualbelikan;

d. harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan mata uang.

Sementara itu, syarat murabahah, yaitu :

a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;

b. kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan;

c. kontrak harus bebas riba;

d. penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang

sesudah pembelian;

e. penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi disini

terlihat adanya unsur keterbukaan.

Selain tunduk pada rukun dan syarat yang ditentukan menurut hukum

Islam, murabahah harus memiliki akad atau ketentuan – ketentuan perjanjian

yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Istilah akad menurut Kamus Hukum,

adalah perjanjian.44

42Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010, hal..41.

43Adrian Sutedi, Perbankan Syariah dan Tinjauan Beberapa Sisi Hukum, Pasal, hal. 122. 44J.C.T, Simorangkir, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal.6.

Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Universitas Sumatera Utara

sendiri dalam Pasal 1 angka 13, akad adalah kesepakatan tertulis antara bank

syariah atau unit usaha syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan

kewajiban bagi masing – masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Melalui

Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14.DPbS45

1) Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan

barang terkait dengan kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah

sebagai pihak pembeli barang;

tertanggal 17 Maret 2008,

bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam pembiayaan atas dasar Akad

Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :

2) Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas, kuantitas,

kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya;

3) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk

Pembiayaan atas Dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban

nasabah sebagimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai

trasnparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

4) Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar

Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal

berupa analisis atas karakter (character), dan atau aspek usaha antara lain

meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital) dan atau

prospek usaha (condition);

5) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang

yang telah disepakati kualifikasinya;

45Lihat Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14.DPbS, dalam Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Op.Cit, hal. 54-55.

Universitas Sumatera Utara

6) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang

yang dipesan nasabah;

7) Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal

pembiayaan atas dasar murabahah dan tidak berubah selama periode

Pembiayaan;

8) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk

perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah;

9) Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank

ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dengan nasabah.

Di dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

di ikuti dengan Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak diatur masalah

bentuk perjanjian kredit (pembiayaan) bank ini, begitu pula dalam peraturan

pelaksanaannya dan dalam undang – undang perbankan yang lama, yaitu Undang

– Undang Nomor 14 Tahun 1967 hal ini juga tidak diatur serta dalam Undang –

Undang Perbankan Syariah yang baru yaitu Undang –Undang Nomor 21 Tahun

2008 juga tidak diatur model perjanjian yang dibuat, sepenuhnya diserahkan

kepada lembaga perbankan yang bersangkutan, hal ini sesuai dengan Pasal 1338

ayat 1 KUHPerdata perihal kebebasan dalam berkontrak/membuat perjanjian.

Namun pada kenyataannya, pada prakteknya bentuk perjanjian yang demikian itu

berbentuk perjanjian sepihak yang dalam hal ini bank lah sebagai pihak pemberi

dana melakukan kebijakan pemberlakuan kontrak standar.

Universitas Sumatera Utara

Berkaitan dengan permasalahan bentuk perjanjian kredit bank di atas,

maka pada lembaga perbankan Islam hal ini tersebut juga diterapkan, sebab

berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas bank dalam hal menjalankan

mekanisme penyaluran dana bagi masyarakat, namun hal tersebut dilakukan

dengan tidak terlalu baku.

Universitas Sumatera Utara