bank syariah
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH DAN
PEMBIAYAAN MURABAHAH
A. Bank Syariah
1. Sejarah Bank Syariah
Secara historis, konsep dan praktek transaksi ekonomi yang sejalan
dengan prinsip syariah telah dikembangkan sejak lama, yaitu sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. sedangkan konsep teoritis tentang bank syariah muncul pada
tahun 1940-an, namun belum dapat diwujudkan karena selain kondisi pada saat
itu belum memungkinkan juga belum ada pemikiran tentang bank syariah yang
meyakinkan. Sedangkan awal dari sejarah perbankan syariah modern relatif baru,
yaitu sejak pendirian Myt Ghamr Bank di Mesir oleh Dr. Ahmad El Najjar pada
tahun 1963. Dengan perkembangan konsep syariah yang berkembang di Mesir
pada saat itu, maka berdirilah 9 bank dengan konsep serupa. Bank – bank
tersebut tidak memungut biaya maupun menerima bunga, sebagian besar
berinvestasi pada usaha – usaha perdagangan dan industri yang secara langsung
dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para
penabung.14
Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development
Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri negara –
negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Pakistan (1970), Libya (1973), dan
Jeddah (1975). Dalam sidang – sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem
.
14 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 177.
Universitas Sumatera Utara
keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil.
Berdirinya IDB tekah memotivasi banyak negara – negara Islam untuk
mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir periode 1970-an, dan awal
periode 1980-an, bank – bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara –
negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.
Di Indonesia sendiri umat Islam telah lama mendambakan berdirinya
bank yang berlandaskan prinsip syariah Islam. Pada tahun 1937, K.H. Mas
Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937-1944 memberikan
pendapantnya mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang terpaksa
dilakukan karena umat islam belum mempunyai lembaga keuangan sendiri yang
bebas riba. Keinginan umat islam untuk mendirikan Bank Islam baru dapat
diwujudkan dengan diterbitkannya paket deregulasi di bidang perbankan pada
tanggal 27 Oktober 1988 (Pakto ‘88). Melihat kenyataan bahwa masyarakat
sangat menginginkan berdirinya bank dengan prinsip syariah maka diadakan
lokakarya Bunga Bank dan Perbankan MUI pada tanggal 19-22 Agustus 1990 di
Cisarua Bogor. Hasil lokakarya tersebut kemudian dikukuhkan dalam muktamar
Nasional IV MUI di Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990 dan mengamanatkan
Pengurusan MUI untuk mengupayakan berdirinya bank berlandaskan prinsip –
prinsip syariah Islam.
Akhirnya pada tahun 1992 berdirilah Bank Umum syariah pertama di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didukung dengan Undang
– Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun dikatakan
perkembangan bank syariah hingga tahun 1998 boleh dibilang agak lambat. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini terjadi karena sebelum terbitnya Undang - Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah dan sebelumnya Undang - Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung system operasional
bank syariah kecuali Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Sebelum berlakunya Undang - Undang Nomor. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, eksistensi bank Islam secara hukum positif dimungkinkan
pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m tersebut berdasarkan penjelasannya tidak
mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau bank Syariah, melainkan
hanya menyebutkan “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
permerintah”. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 itu, Bank
Syariah dipahami sebagai bank dengan prinsip bagi hasil, belum disebut sebagai
bank dengan prinsip syariah. Selebihnya Bank Syariah harus patuh dan tunduk
kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Akibatnya
manajemen bank syariah cenderung mengadopsi produk – produk perbankan
konvensional yang disyariahkan sehingga tidak semua kebutuhan masyarakat
terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk
konvensional.
Dalam Pasal 13 huruf c Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992
menyatakan bahwa salah satu usaha bank perkreditan rakyat menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi Pasal tersebut,
pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan PP No. 72 Tahun
1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Hal tersebut secara tegas
ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata
– mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil;
2. Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pada Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terdapat beberapa
perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar dari pengembangan
perbankan syariah. Dari undang – undang tersebut dapat diperoleh pengertian
bahwa di dalam sistem perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan antara
lain sebagai berikut :15
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah
yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana
masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari segmen yang
15 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Op.Cit, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang
menerapkan sistem bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan
prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep diterapkan adalah hubungan
investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara dalam
bank konvensional, konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur
(debtor and creditor relationship).
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jaaa perbankan yang memiliki
beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga
yang berkesinambungan (perpectual interests effect), membatasi kegiatan
spekulatif yang tidak produktif (unproductive speculation), pembiayaan
ditujukan kepada usaha – usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.
Dengan Undang - Undang Nomor 10 tahun 1998, maka telah ditetapkan
landasan hukum yang kuat serta menjamin adanya kepastian hukum bagi para
pelaku ekonomi serta masyarakat luas untuk kelembagaan dan kegiatan usaha
bank syariah. Hal ini mengisyaratkan pula bahwa dalam hal tersebut mengetai
segi kelembagaan maupun landasan operasionalnya telah cukup jelas dan kuat.
Hal tersebut semakin kokoh lagi setelah didukung Undang - Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia
dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip – prinsip syariah.
Kedua undang – undang tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan
nasional untuk mulai menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking
Universitas Sumatera Utara
system, yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan
secara paralel.16
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008
perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Hal ini menegaskan bahwa
segala hal mengenai perbankan syariah baik menyangkut kelembagaan, kegiatan
usaha, maupun prosesnya dilakukan berdasarkan undang – undang yang baru ini.
Ini jelas mengindikasikan bahwa pada undang – undang sebelumnya yang
mengatakan bahwa setiap kegiatan usaha usaha bank berdasarkna prinsip syariah
dikatakan sebagai kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil mulai ditinggalkan,
Pengaturan mengenai perbankan syariah dalam Undang - Undang
Nomor 10 tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik
operasional perbankan syariah, di mana, di sisi lain pertumbuhan dan volume
usaha bank syariah berkembang cukup pesat.
Adanya Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah jelas merupakan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan perlindungan
hukum yang sangat diperlukan sebab Undang – Undang ini menjadi payung
yuridis bagi semua kalangan yang berhubungan dengan bank syariah. Selain itu,
perbankan syariah membutuhkan ketentuan dan pengaturan yang memastikan
bahwa pelaksanaan dan operasional perbankan syariah tetap berjalan secara
konsisten dengan prinsip syariah.
16 Ibid, hal. 31
Universitas Sumatera Utara
sebab dunia perbankan Indonesia sudah mulai mengenal dan mengakui
perbankan syariah dan menerapkan dual banking system, yaitu perbankan
konvensional dan perbankan syariah.
Lahirnya Undang - Undang Nomor 21 tahun 2008 ini memiliki
beberapa kecenderungan utama, antara lain:17
1. Undang – undang ini kental dengan nuansa menyariahkan bank syariah, hal
ini terlihat dari ketentuan tentang jenis dan kegiatan usaha, pelaksanaan
prinsip syariah, komite perbankan syariah dan komisaris syariah, serta dewan
pengawas syariah;
2. Undang – undang ini berorientasi pada stabilitas sistem dengan secara jelas
mengadopsi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Hal
ini terlihat dari ketentuan tentang perizinan, prinsip kehati – hatian,
kewajiban pengelolaan risiko, pembinaan dan pengawasan, serta jarring
pengaman sistem perbankan syariah (usulan DPR).
Dengan kecenderungan itu, Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008
tersebut, Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2008 diperkirakan akan memiliki
beberapa dampak positif, antara lain terhadap aspek kepatuhan syariah (syariah
compliance), iklim investasi dan kepastian usaha, serta perlindungan konsumen,
dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan.
Untuk melengkapi inisiatif guna mendorong masuknya pemain baru ke
dalam sistem perbankan syariah, Bank Indonesia sejak bulan Maret 2002 telah
mengeluarkan Peraturan BI No. 4/1/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Bank
17Ibid, hal 40.
Universitas Sumatera Utara
Usaha Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional tanpa mengurangi prinsip kehati – hatian. Ketentuan ini
mencakup:
a. konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah;
b. pembentukan unit usaha syariah dalam kaitannya dengan
pembukaan kantor pembantu syariah dan koloksi (menumpangkan)
kantor cabang syariah atau kantor cabang pembantu syariah yang
sudah ada. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan sepanjang bank
tersebut telah memiliki paling tidak satu kantor cabang syariah di
wilayah kantor cabang syariah di wilayah kantor Bank Indonesia.
2. Pengertian Bank Syariah
Secara umum, pengertian bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah
yang diberikan untuk menyebut entitas bank Islam selain istilah bank Islam itu
sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest-free bank), bank tanpa riba (lariba
bank), dan bank syariah (Shari’a Bank). Indonesia sendiri secara teknis yuridis,
penyebutan bank Islam mempergunakan istilah resmi “bank syariah” atau yang
secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah”.18
Menurut Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
bank yang operasinya berdasarkan prinsip syariah tersebut secara teknis yuridis
disebut “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Dengan dikeluarkannya Undang –
Undang Perbankan terbaru, yaitu Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998,
18 Ibid, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
istilah yang dipakai adalah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Karena operasinya
berpedoman pada ketentuan – ketentuan syariah Islam, maka bank Islam disebut
pula “bank syariah”. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1angka 3 Undang- Undang
Nomor 10 Tahun 1998 :
“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
Pengertian dari prinsip syariah sendiri termuat dalam Pasal 1 angka 13,
yaitu :
“ Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.”
Sedangkan menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dalam Pasal 1 angka 7, Bank syariah itu adalah :
“ Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah”.
Sedangkan menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan H.M. Syafii
Antonio, Bank Islam atau Bank Syariah adalah Bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip – prinsip syariah dan tata cara beroperasinya mengacu kepada
ketentuan Al-Qur’an dan Hadits.19
19 Karnaen Perwaatmadja dan M. Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT. Dana Bhakta Wakaf, 1997. hal 14
Universitas Sumatera Utara
3. Karakteristik Bank Syariah
Dalam pengertiannya, Bank Syariah berbeda dengan Bank
Konvensional, maka dapat dilihat dari cirri, fungsi dan peran Bank Syariah, serta
tujuannya.
a. Ciri Bank Syariah
Bank Syariah mempunyai ciri – ciri berbeda dengan Bank
Konvensional. Adapun ciri – ciri Bank Syariah adalah sebagai berikut :20
1) Keuntungan, misalnya pada kredit Murabahah dan (Bai’u Bithaman Ajil) dan
beban biaya (misalnya pada pinjaman Al-Qardhul Hassan) yang disepakati
tidak kaku (rigid) dan ditentukan berdasarkan kekayaan tanggungan resiko
dan korbanan masing – masing.
2) Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa
hutan selepas kontrak dilakukan dengan membuat kontrak baru.
3) Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya administrasi
selalu dihindarkan, karena persentasenya mengandung potensi
melipatgandakan.
4) Pada Bank Islam tidak mengenal keuntungan pasti (Fixed Return),
ditentukan kepastian sesudah mendapat untung, bukan sebelumnya.
5) Uang dari jenis yang sama tidak bias diperjualbelikan/disewakan atau
dianggap barang dagangan. Oleh karena itu, Bank Islam pada dasarnya tidak
memberikan pinjaman berupa uang tunai tetapi berupa pembiayaan atau
talangan dana untuk pengadaan barang dan jasa.
20 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Penerbit Bangkit, Jakarta, 1996, hal.8
Universitas Sumatera Utara
b. Fungsi dan Peran Bank Syariah
Bank Syariah memiliki peran dalam dunia perekonomian sebagai
penghimpun dana dan penyalur dana bagi masyarakat seperti halnya bank
konvensional, dalam pembangunan nasional, bank syariah juga memiliki peran
antara lain sebagai berikut :21
1) Sebagai pelengkap dari Bank yang telah ada, dan menyediakan alternatif
cara kerja perbankan yang memuaskan pemakainya.
2) Sebagai suatu sarana untuk meningkatkan partisipasi masyarakat banyak
dalam pembangunan nasional dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi.
3) Menciptakan lapangan kerja baru
4) Sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
Adapun Bank Syariah memiliki fungsi antara lain :22
b) Investor, yakni menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah
yang dipercayakan kepadanya.
a) Manajer Investasi, yakni bank syariah sebagai pemilik dana (shahibul maal)
dari dana yang dihimpun (dalam perbankan lazim disebut sebagai deposan atau
penabung), karena besar kecilnya pendapatan yang diterima dari pemilik dana
bergantung pada pendapatan yang diterima oleh bank syariah dalam mengelola
dana secara keahlian, profesionalisme dan kehati – hatian.
c. Tujuan Bank Syariah
Berdirinya sebuah Bank Syariah memiliki tujuan sebagai berikut :23
21Ibid, hal. 11 22 Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, PT. Grasindo,
Jakarta, 2005, hal.5-10. 23 M. Amin Aziz, Op.Cit, hal. 9-11
Universitas Sumatera Utara
1) Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan
kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat banyak.
2) Meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan
terutama di bidang ekonomi keuangan.
3) Berkembangnya lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat
berdasarkan efisiensi dan keadilan akan mampu meningkatkan partisipasi
masyarakat sehingga menggalakkan usaha – usaha ekonomi masyarakat
banyak dengan antara lain memperluas jaringan lembaga – lembaga
keuangan perbankan ke daerah – daerah terpencil.
4) Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomis,
berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
5) Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan Islam menurut syariah
Islam dapat beroperasi, tumbuh dan berkembang melebihi bank – bank
dengan sistem lain.
Bank syariah didasarkan pada Al – Qur’an dan Hadist sebagai pedoman
hidup umat Islam. Filosofi dan dasar Perbankan Syariah meliputi 3 aspek, yaitu
produktif, adil, dan memiliki akhlak atau moralitas usaha. Produktif berarti harta
yang dipergunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan. Karenanya harta juga
tidak boleh menganggur dan diperkenankan memperoleh laba. Sedangkan adil
berarti dilarangnya riba dan diharuskan melakukan pembagian hasil dan risiko.
Universitas Sumatera Utara
Akhlak dan moralitas usaha meliputi larangan investasi pada usaha maksiat dan
merusak lingkungan serta larangan berspekulasi.24
Surat Ar Ruum ayat 39
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus, melainkan diturunkan dalam tiga tahap, antara lain :
a) Tahap Pertama
25
Surat An Nisa ayat 161
:
“Dan apa yang kamu berikan sebagai tambahan (riba) untuk menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan yang kamu berikan zakat karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka (yang memberikan zakat itu) melipatgandakan pahalanya.
b) Tahap Kedua
26
Surat Al – Baqarah ayat 275
:
“ Dan karena mengambil (memakan hasil) riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang (melakukan) dan karena mereka memakan harta
orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang – orang yang kafir diantara mereka azab yang berat sekali”.
c) Tahap Ketiga
27
“Orang – orang yang memakan harta riba, tidaklah sanggup berdiri
melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syaitan. Demikian itu
:
24 Mewujudkan Kesetaraan dan Keaadilan Perbankan, Peluang Bank Syariah. “Media Indonesia” 28 Mei 2001.
25 Departemen Agama Republik Indonesia, Al – Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, 2008.
26 Ibid 27 Ibid
Universitas Sumatera Utara
karena mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentan Perbankan Syariah
yang menggantikan UU No. 10 Tahun 1998, maka landasan hukum bank syariah
telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaan maupun lembaga
operasionalnya.
4. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan antara Bank Konvensional
dan Bank Syariah (Islam) memliki perbedaan yang sangat besar, antara lain :28
a. Bank Islam mendasarkan perhitungan pada margin keuntungan. sedangkan
bank konvensional memakai perangkat bunga, atau bagi hasil.
b. Bank Islam tidak saja berorientasi pada keuntungan (profit), tetapi juga
pada falah oriented; sedangkan bank konvensional semata – mata profit
oriented.
c. Bank Islam melakukan hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan
kemitraan, sedangkan bank konvensional melakukan hubungan dengan
nasabah dalam bentuk hubungan kreditur dan debitur.
d. Bank Islam melakukan penggunaan dana secara riil (users of real funds),
sedangkan bank konvensional sebagai creator of money supply.
e. Bank Islam melakukan investasi – investasi yang halal saja, sedangkan
bank konvensional melakukan investasi yang halal dan haram.
28 Rachmadi Usman, S.H, Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.15.
Universitas Sumatera Utara
f. Bank Islam dalam melakukan pengerahan dan penyaluran dana harus
sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syariah, sedangkan bank
konvensional tidak terdapat dewan sejenis itu.
Selain itu, dalam hal imbalan yang berupa bunga dan bagi hasil, bank
konvensional dan bank Islam memiliki perbedaan antara lain :29
1) Pada bank konvensional penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa
berpedoman pada untung rugi, sedangkan pada bank Islam penentuan
besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan rugi;
2) Pada bank konvensional besarnya persentase berdasarkan pada jumlah
uang (modal) yang dipinjamkan, sedangkan pada pada bank Islam
besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh;
3) Pada bank konvensional pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan
tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah
untung atau rugi, sedangkan pada bank Islam, bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan
keuntungan, maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak;
4) Pada bank konvensional, jumlah pembayaran bunga tidak mengikat
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang
“booming”, sedangkan pada bank Islam, jumlah pembagian laba
meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
29 Ibid, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
5) Pada bank konvensional eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam)
oleh semua agama, termasuk Islam, sedangkan pada bank Islam tidak ada
yang meragukan keabsahan keuntungan bagi hasil.
B. Tinjauan Umum Pembiayaan Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Dalam pengertian Islam, murabahah pada dasarnya berarti penjualan.
Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa
penjual dalam model murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli
berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang
dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa berdasarkan
persentase.30
Murabahah merupakan akad jual beli antara dua belah pihak, dimana
pembeli dan penjual menyepakati harga jual, yang terdiri atas harga beli ditambah
ongkos pembelian dan keuntungan dari penjual. Pemahaman lain murabahah
adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
(margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( )
yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) Sedangkan dalam definisi para
ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang
diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang
diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang
diketahui keduanya.
31
30 Adrian Sutedi, Perbankan Islam Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Op.Cit, hal. 95. 31 Ibid, hal. 95.
Murabahah dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
secara tunai, bisa juga secara bayar tangguh atau bayar dengan angsuran.
Pemahaman lain murabahah adalah transaksi jual beli, dimana bank mendapat
sejumlah keuntungan. Dalam hal ini bank menjadi penjual dan nasabah menjadi
pembeli.
Ada tiga pihak A, B, dan C dalam melakukan penjualan murabahah. A
meminta B untuk membeli beberapa barang untuk A. B tidak memiliki barang
tersebut, tetapi berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga (C). B dalam hal
ini adalah seorang perantara, dan perjanjian murabahah antara A dan B. Perjanjian
murabahah ini diartikan sebagai “penjualan komoditas dalam harga yang pada
mulanya penjual (B) membayarnya ditambah sisa untung yang dikenakan kepada
penjual (B) dan pembeli (A)”.32 Karena awalnya dalam hukum Islam, perjanian
murabahah nampak telah diterapkan dalam tujuan perdagangan. Udovitch
menunjukkan bahwa murabahah adalah bentuk penjualan komisi, dimana pembeli
yang biasanya tidak mampu memperoleh komoditas tersebut memerlukan
pengecualian melalui seorang perantara, atau tidak ingin mengalami kesulitan,
karenanya ia mencari jasa perantara tersebut.33
Beli tunai
Skema Pembiayaan Jual-beli (murabahah) adalah sebagai berikut :
Bayar Jual tangguh Klaim Barang
32Jaziri, Fiqh,II,Hal 278-280 dalam Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Op.Cit, hal.136.
33 Ibid, hal. 137
B
A
C
Universitas Sumatera Utara
Namun Qur’an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan
murabahah, walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual,
keuntungan, kerugian dan perdagangan. Demikian juga, nampaknya tidak ada
hadits yang memiliki acuan langsung kepada murabahah. Para ulama awal seperti
Malik dan Syafi’i yang secara khusus menyatakan bahwa penjualan murabahah
berlaku, tidak menyebutkan referensi dari hadist yang jelas. Al Kaff, kritikus
kontemporer terhadap murabahah, mnyimpulkan bahwa murabahah merupakan
“salah satu penjualan yang tidak dikenal sepanjang masa Nabi atau
semacamnya”34. Menurutnya, ulama yang mahsyur mulai mengungkapkan
pandangan mereka mengenai murabahah pada perempat pertama abad kedua
Hijrah, atau lebih35
“ Ada konsensus pendapat di sini (di Madinah) mengenai hukum orang
yang membeli baju di sebuah kota, dan mengambilnya ke kota lain untuk
menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan berdasarkan keuntungan”
. Karena nampaknya tidak ada acuan langsung kepadanya
dalam Al – Qur’an atau Hadist yang diterima umum, para ahli hukum harus
membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung
validitasnya dengan acuan pada praktek orang – orang Madinah:
36
“Jika seorang menunjukkan komoditas kepada seseorang, dan
mengatakan, “kamu beli untukku, aku akan memberimu keuntungan begini,
begini,” kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah”
Syafi’i tanpa bermaksud untuk membela pandangannya oleh teks
syariah, mengatakan:
37
34 Ibid. hal. 137 35 Ibid hal 137. 36 Ibid. hal 5-6
Universitas Sumatera Utara
Ulama Hanafi, Marghinani, membenarkannya berdasarkan “kondisi
penting bagi validitas penjualan di dalamnya, dan juga karena manusia sangat
membutuhkannya. Ulama Syafi’i, Nawawi, secara sederhana mengemukakan
bahwa: Penjualan Murabahah sah menurut hukum tanpa bantahan”38
2. Aspek Hukum Pembiayaan Murabahah
Tujuan dari murabahah adalah untuk menjembatani antara penyedia
dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang ahli
di bidang usaha.39 Untuk dapat terlaksananya tujuan ini, harus ada hubungan
hukum antara penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah). Dalam
dunia usaha (khususnya dunia perbankan) hubungan hukum ini terjadi karena
adanya suatu kepentingan yang bersifat timbal balik, dimana satu pihak berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan pihak yang lain itu berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu itu dinamakan
kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi
tuntutan itu dinamakan debitur atau si berhutang.40
Dengan terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah ini,
maka telah terjadi suatu perikatan antara bank dengan nasabah, menurut Prof.
Subekti, SH. Bahwa “ Perikatan adalah suatu hubungan hukum antra dua orang
atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.”
41
37 Ibid, hal.139 38 Ibid, hal. 140 39 Kamaen A. Perwaatmadja, Muhammad Syafii Antonio, Prinsip Operasional Bank
Syariah, Risalah Masa, Jakarta, 1992, hal.22 40R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hal.1 41 Ibid
Tiap-tiap perikatan ini dapat lahir karena perjanjian semata – mata atau karena
Universitas Sumatera Utara
undang –undang.. Apabila perikatan ini dikaitkan dengan perjanjian maka
kaitannya sangat erat sekali, dimana perjanjian itu menerbitkan perikatan dan
perjanjian adalah sumber perikatan.
Bila dikaitkan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, maka
perjanjian murabahah ini juga merupakan suatau hubungan hukum setara
penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah) yang melahirkan
perikatan. Hubungan hukum ini timbul karena adanya suatu peristiwa hukum,
yaitu kesepakatan antara bank dengan nasabah untuk sama – sama mengikatkan
diri dalam suatu perjanjian.
Perjanjian pembiayaan ini merupakan sebagai landasan bagi para pihak
untuk melakukan suatu prestasi, dimana nasabah sebagai pihak yang menerima
dan mengelola dana pembiayaan, berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi
dan bank sebagai pihak pemberi dana mempunyai hak untuk menuntut prestasi
dari nasabah. Prestasi ini berupa kewajiban nasabah untuk memenuhi dan
melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati bersama dalam perjanjian
pembiayaan murabahah, sedangkan bank telah memberikan dananya mempunyai
hak untuk menuntut nasabah agar melaksanakan dan mematuhi semua prestasi itu
tepat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Perjanjian pembiayaan ini meruakan sebagai landasan bagi para pihak
untuk melakukan suatu prestasi, dimana nasabah sebagai pihak yang menerima
dan mengelola dana pembiayaan, berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi
dan bank sebagai pihak pemberi dana mempunyai hak untuk menuntut prestasi
dari nasabah. Prestasi ini berupa kewajiban nasabah untuk memenuhi dan
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati bersama dalam perjanjian
pembiayaan murabahah, sedangkan bank telah memberikan dananaya mempunyai
hak untuk menuntut nasabah agar melaksanakan dan mematuhi semua prestasi itu
tapat pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Dengan adanya
perjanjian yang dibuat oleh bank dengan nasabah telah menimbulkan hubungan
hukum yang beraspek hukum perdata.
Di dalam peraturan perundang – undangan, khususnya dalam Undang -
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, murabahah sendiri
tercakup ke dalam Pasal 19 ayat 1 huruf d, yang menyatakan bahwa kegiatan bank
umum syariah meliputi menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah,
ini berarti murabahah termasuk salah satu produk perbankan bank umum syariah
dan boleh dilaksanakan sebab telah jelas ketentuan yang memperbolehkan
beroperasinya kegiatan tersebut.
Melalui Fatwa MUI, secara khusus pengaturan mengenai pembiayaan
murabahah ditegaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-
MUI/IV/2000, dimana dalam fatwa ini memuat enam bagian yang mengatur
ketentuan bagaimana murabahah yang sah menurut syariat Islam, dimana secara
garis besar bagian itu meliputi,bagian pertama yakni ketentuan umum Murabahah
dalam bank Syariah, kedua: Ketentuan Murabahah kepada nasabah, ketiga:
Jaminan dalam Murabahah, keempat: Utang dalam Murabahah, kelima:
Penundaan Pembayaran dalam Murabahah, keenam: Bangkrut dalam Murabahah.
3. Bentuk dan Sifat Perjanjian Pembiayaan Murabahah
Dalam memberikan kredit (pembiayaan) kepada nasabah, biasanya
bank menyediakan formulir perjanjian kredit tertentu, menurut jenis kredit yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan. Bentuk formulir perjanjian kredit ini, isinya / materinya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak bank. Formulir ini akan disodorkan
kepada pemohon yang mengajukan permohonan kredit dan umumnya mengenai
isinya tidak dibicarakan terlebih dahulu kepada pemohon. Kepada pemohon hanya
dimintai pendapatnya, apakah ia mau menerima syarat – syarat yang telah tertulis
dalam formulir perjanjian standar atau biasa dikenal sebagai perjanjia adhesi.
Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan tentang syarat – syarat
sahnya perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kemudian dalam Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa, “Tiada
sepakat yang sah apabila itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan.” Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata
mengandung suatu asas membuat perjanjian yang menganut sistem terbuka,
dimana dalam Pasal 1338 ayat 1 menyatakan bahwa, “Semua persetujuan yang
dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang – undang bagi yang membuatnya.
Perjanjian murabahah, seperti halnya perbuatan hukum lainnya, agar
memiliki daya ikat maka sebuah perjanjian itu harus memenuhi syarat dan
rukunnya. Secara umum murabahah merupakan perjanjian berdasarkan prinsip
jual beli dimana karena itu pula murabahah juga harus mengikuti rukun dan syarat
Universitas Sumatera Utara
seperti halnya jual beli dalam Islam, antara lain meliputi adanya pihak penjual dan
pembeli, adanya uang dan benda, serta adanya lafaz.42
Menurut mayoritas (jumhur) ahli – ahli hukum Islam, rukun yang
membentuk akad murabahah ada empat :
43
a. Adanya penjual (ba’i);
b. Adanya pembeli (musytari);
c. Objek atau barang (mabi’) yang diperjualbelikan;
d. harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan mata uang.
Sementara itu, syarat murabahah, yaitu :
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
b. kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan;
c. kontrak harus bebas riba;
d. penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian;
e. penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi disini
terlihat adanya unsur keterbukaan.
Selain tunduk pada rukun dan syarat yang ditentukan menurut hukum
Islam, murabahah harus memiliki akad atau ketentuan – ketentuan perjanjian
yang harus dipatuhi kedua belah pihak. Istilah akad menurut Kamus Hukum,
adalah perjanjian.44
42Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010, hal..41.
43Adrian Sutedi, Perbankan Syariah dan Tinjauan Beberapa Sisi Hukum, Pasal, hal. 122. 44J.C.T, Simorangkir, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal.6.
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Universitas Sumatera Utara
sendiri dalam Pasal 1 angka 13, akad adalah kesepakatan tertulis antara bank
syariah atau unit usaha syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing – masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Melalui
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14.DPbS45
1) Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan
barang terkait dengan kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah
sebagai pihak pembeli barang;
tertanggal 17 Maret 2008,
bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam pembiayaan atas dasar Akad
Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
2) Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas, kuantitas,
kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya;
3) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
Pembiayaan atas Dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban
nasabah sebagimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
trasnparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
4) Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar
Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal
berupa analisis atas karakter (character), dan atau aspek usaha antara lain
meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital) dan atau
prospek usaha (condition);
5) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya;
45Lihat Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14.DPbS, dalam Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Op.Cit, hal. 54-55.
Universitas Sumatera Utara
6) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang
yang dipesan nasabah;
7) Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal
pembiayaan atas dasar murabahah dan tidak berubah selama periode
Pembiayaan;
8) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah;
9) Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank
ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dengan nasabah.
Di dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
di ikuti dengan Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak diatur masalah
bentuk perjanjian kredit (pembiayaan) bank ini, begitu pula dalam peraturan
pelaksanaannya dan dalam undang – undang perbankan yang lama, yaitu Undang
– Undang Nomor 14 Tahun 1967 hal ini juga tidak diatur serta dalam Undang –
Undang Perbankan Syariah yang baru yaitu Undang –Undang Nomor 21 Tahun
2008 juga tidak diatur model perjanjian yang dibuat, sepenuhnya diserahkan
kepada lembaga perbankan yang bersangkutan, hal ini sesuai dengan Pasal 1338
ayat 1 KUHPerdata perihal kebebasan dalam berkontrak/membuat perjanjian.
Namun pada kenyataannya, pada prakteknya bentuk perjanjian yang demikian itu
berbentuk perjanjian sepihak yang dalam hal ini bank lah sebagai pihak pemberi
dana melakukan kebijakan pemberlakuan kontrak standar.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan permasalahan bentuk perjanjian kredit bank di atas,
maka pada lembaga perbankan Islam hal ini tersebut juga diterapkan, sebab
berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas bank dalam hal menjalankan
mekanisme penyaluran dana bagi masyarakat, namun hal tersebut dilakukan
dengan tidak terlalu baku.
Universitas Sumatera Utara