bahan tambahan pangan
DESCRIPTION
reviewTRANSCRIPT
A. Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan atau zat aditif bahan pangan didefiniskan sebagai
suatu zat bukan gizi yang ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan sengaja, yang
pada umumnya dalam jumlah kecil untuk memperbaiki kenampakan, cita rasa,
tekstur, atau sifat-sifat penyimpangannya. Zat yang ditambahkan terutama yang
mempunyai nilai gizi, seperti vitamin dan mineral tidak dimasukkan ke dalam
golongan ini. (Desrosier, 1988)
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi pangan
perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen.
Penyimpangan dalam pengggunaanya akan membahayakan kita bersama, khususnya
generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Kita membutuhkan pangan
yang aman dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan mampu bersaing pada pasar
global. (Cahyadi, 2008).
Kelompok Bahan Tambahan Pangan
Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan
besar yaitu:
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud
penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu
pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang
tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat dengan tidak
sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau banyak akibat perlakuan selama
proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula
merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan
untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus
terbawa dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh residu pestisida,
insektisida, fungisida, antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklis.
Regulasi Bahan Tambahan Pangan
Di Indonesia telah disusun peraturan tentang Bahan Tambahan Pangan yang
diizinkan ditambahkan dan yang dilarang (Bahan Tambahan Kimia) oleh Departemen
Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesi Nomor
722/Menkes/Per/IX/88, terdiri dari golongan BTP yang diizinkan diantaranya sebagai
berikut:
1. Antioksidan (Antioxidant)
2. Antikempal (Anticacking Agent)
3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
4. Pemanis buatan (Artificial Sweetener)
5. Pemutih dan Pematang tepung (Flour Treatment Agent)
6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental (Emulsifier, Stabilizer,Thickener)
7. Pengawet (Preservative)
8. Pengeras (Firming Agent)
9. Pewarna (Colour)
10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (Flavour; Flavour enhancer)
11. Sekuestran (Sequestrant)
1. Zat Pewarna
Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau
memberi warna pada makanan. Zat warna adalah senyawa organik berwarna yang
digunakan untuk memberi warna suatu objek. Penentuan mutu bahan makanan pada
umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor, diantaranya cita rasa, warna,
tekstur dan nilai gizinya. Disamping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis.
Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertmbangkan, secara visual faktor warna tampil
dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan.
Selain sebagai fungsi yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan
sebagai indikator kesegaran atau kematangan, baik tidaknya pencampuran atau cara
pengolahan dapat ditandai adanya warna yang seragam dan merata. Penambahan
bahan pewarna pada pangan dilakukan untuk beberapa tujuan antara lain memberi
kesan menarik, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna, menutupi
perubahan warna selama proses pengolahan, dan mengatasi perubahan warna selama
penyimpanan.
Ada 5 sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan berwarna, yaitu :
1. Pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan, misalnya klorofil
berwarna hijau, karoten berwarna jingga, dan mioglobin menyebabkan warna
merah pada daging.
2. Reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan membentuk warna coklat
pada kembang gula, karamel atau roti yang dibakar.
3. Warna gelap yang timbul karena adanya reaksi Maillard, yaitu antara gugus
amino protein dan gugus karbonil gula pereduksi. Misalnya susu bubuk yang
disimpan lama akan berwarna gelap.
4. Reaksi antara senyawa organik dengan udara akan menghasilkan warna hitam
atau coklat gelap. Reaksi oksidasi ini dipercepat oleh adanya logam serta enzim,
misalnya warna gelap permukaan apel atau kentang yang dipotong.
5. Penambahan zat warna, baik zat warna alami ataupun zat warna sintetik, yang
termasuk golongan bahan aditif makanan.
(http://digilib.unimus.ac.id).
Identifikasi Jenis Pewarna
Kromatografi secara luas digunakan untuk pemisahan pewarna makanan
sintetik. Kromatografi kertas telah digunakan pada tahun 1950. Pada tahun 1970an,
penggunaan KLT lebih disukai oleh banyak laboratorium. Teknik ini masih
digunakan oleh banyak laboratorium karena peralatan yang digunakan sederhana.
Namun telah dikembangkan metode baru yang memberikan keuntungan yang lebih
besar, seperti HPLC dan elektroforesis kapiler (Wirasto, 2008).
1. Kromatografi kertas
Untuk mengetahui jenis zat pewarna umumnya digunakan metode
Kromatografi Kertas. Prinsip kerjanya adalah kromatografi kertas dengan larutan
pengembang (eluen). Setelah zat pewarna diteteskan diujung kertas rembesan (elusi),
air dari bawah akan mampu menyeret zat-zat pewarna yang larut dalam air (zat
pewarna makanan) lebih jauh dibandingkan dengan zat pewarna tekstil.Setelah zat
pewarna yang diidentifikasi telah diketahui, maka dapat disimpulkan jenis zat warna
yang digunakan pada makanan tersebut (http://digilib.unimus.ac.id).
Kromatografi kertas sesuai untuk pemisahan pewarna, tetapi metode ini
memakan banyak waktu. Selain itu, metode ini memberikan resolusi yang jelek dan
kadang-kadang bercak yang terbentuk tidak terdeteksi dengan baik, menunjukkan
terbentuknya ekor yang dapat mempengaruhi harga Rf (Wirasto, 2008).
Berikut ini contoh prosedur analisis zat warna yang terdapat dalam bahan
makanan.
a. Tahap Ekstraksi
Untuk sampel cairan, ambil 25 mL sampel dimasukkan ke dalam polyamida
sepanjang 2 cm sedangkan sampel padatan dilarutkan dalam 25 mL air panas. Zat
pewarna yang terserap dicuci dengan 5 mL aseton sebanyak 5 kali kemudian dengan
5 mL air panas sebanyak 5 mL untuk menghilangkan pengotor seperti gula, asam dan
sebagainya. Untuk melepas zat pewarnanya dielusi dengan 20 mL NaOH-metanolat.
Larutan yang diperoleh diatur pHnya menjadi 5 – 6 dengan menambahkan larutan
asam asetat metanolat. Larutan zat warna metanolat diuapkan dengan Buchi
rotavapor menjadi volume 1 mL sebelum diteteskan pada kertas untuk pemisahan
kromatografi.
b. Analisa Kromatografi
Sampel sebanyak 2 µL diteteskan pada kertas Whatman dengan ukuran 12 x
20 cm. Jarak penetesan 1,5 cm dari batas bawah kertas dan jarak antara penetesan
berikutnya 1,5 cm. Kertas dibiarkan mengering selama 15 menit di udara terbuka dan
kemudian dielusi di dalam bejana yang telah berisi eluen jenuh. Eluen yang
digunakan untuk pemisahan campuran zat warna ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Kode Eluen KomposisiA
B
n-Butanol – Asam asetat – Air
n-Butanol – Etanol – Air – NH4OH
20 : 10 : 50
50 : 25 : 25 : 10
Setelah 45 menit di dalam bejana, kertas diambil dan dikeringkan untuk
selanjutnya di analisa secara kualitatif dan kuantitatif jika eluen dapat memisahkan
zat pewarna dengan baik. Analisa kualitatif dilakukan dengan mengukur harga Rf
sampel dibandingkan dengan zat pewarna standar yang dipakai. Untuk analisa
kuantitatif, noda yang terjadi discan menggunakan TLC-scanner dan luas puncak
yang diperoleh diubah menjadi konsentrasi dengan kalibrasi standar (Tahid et al.,
1987).
2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) telah banyak digunakan pada analisis pewarna
sintetik. KLT merupakan metode pemisahan yang lebih mudah, lebih cepat, dan
memberikan resolusi yang lebih baik dibandingkan kromatografi kertas. KLT tidak
sebaik HPLC untuk pemisahan dan identifikasi, tetapi metode ini relatif sederhana
dan dapat digunakan untuk memisahkan campuran yang kompleks. Meskipun
demikian KLT tidak mahal dan dapat digunakan secara mudah di industri makanan .
Pada hakekatnya KLT melibatkan dua fase: sifat fase diam atau sifat lapisan,
dan sifat fase gerak atau campuran larutan pengembang.
a. Fase diam (larutan penjerap/ adsorben)
Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk suatu pemisahan
merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak. Pada KLT, fase diam
harus mudah didapat . Dua sifat yang penting dari penjerap adalah besar partikel dan
homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada mereka.
Besar partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya
sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu alasan
untuk menaikkan hasil pemisahan adalah menggunakan penjerap yang butirannya
halus.
Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa
dan turunannya, poliamida dan lain-lain . Silika gel merupakan fase diam yang paling
sering digunakan untuk KLT . Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk
kromatografi senyawa netral, asam, dan basa.
b. Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia
bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler.
Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan, sistem
pelarut multikomponen ini harus berupa campuran sesederhana mungkin yang terdiri
atas maksimal tiga komponen.
Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silika gel, alumina dan
fase diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom serapan.
Memang agak sukar untuk menemukan sistem pelarut yang cocok untuk
pengembangan. Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like
dissolves like, tetapi akan lebih cepat dengan mengambil pengalamanan para peneliti,
yaitu dengan dasar pustaka yang sudah ada.
c. Identifikasi dan harga-harga Rf
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik
dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi-reaksi warna. Tetapi lazimnya
untuk identifikasi menggunakan harga Rf.
Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya dinyatakan sebagai faktor
retensi, Rf:
Jarak yang ditempuh pelarut dapat diukur dengan mudah dan jarak tempuh
cuplikan diukur pada pusat bercak itu, atau pada titik kerapatan maksimum .
Angka Rf berjangka antara 0,00 & 1,00 dan hanya dapat ditentukan dengan
dua desimal. Angka hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 100. Harga-harga Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat
dibandingkan dengan harga-harga standard .
3. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Aplikasi pemisahan campuran zat warna dengan KCKT dilakukan ketika
metode konvensional tidak memberikan hasil yang memuaskan. Saat ini kolom fase
terbalik telah secara luas digunakan untuk pemisahan dan kuantifikasi pewarna
sintetik . Ekstraksi dari makanan yang mengandung pewarna harus diupkan untuk
mengeringkan dan melarutkan kembali ke dalam kolom KCKT .
4. Elektroforesis kapiler
Dalam dekade terakhir ini, elektroforesis kapiler secara luas telah digunakan
dan menunjukkan teknik pemisahan yang menjanjikan. Oleh karena itu, elektroforesis
kapiler merupakan teknik yang ideal untuk analisis multikomponen. Keuntungan dari
teknik ini adalah cepat, sederhana, mudah, mudah untuk distel, selektif,
membutuhkan solven yang sedikit, waktu analisis cepat, biaya murah. Akan tetapi
teknik ini memiliki masalah terhadap hasil jika volume injeksi yang digunakan terlalu
kecil (Wirasto, 2008).
2. Zat Pengawet
Bahan pengawet adalah zat kimia yang dapat menghambat kerusakan pada
makanan, karena serangan bakteri, ragi, cendawan. Zat aditif ini dapat mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet adalah bahan yang dapat mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang
disebabkan mikroorganisme. Zat pengawet dimaksudkan untuk memperlambat
oksidasi yang dapat merusak makanan, dimana reaksi-reaksi kimia yang sering harus
dikendalikan adalah reaksi oksidasi, pencoklatan (browning) dan reaksi enzimatis
lainnya. Pengawetan makanan sangat menguntungkan produsen karena dapat
menyimpan kelebihan bahan makanan yang ada dan dapat digunakan kembali saat
musim paceklik tiba. Bahan aditif juga bisa membuat penyakit jika tidak digunakan
sesuai dosis, apalagi bahan aditif buatan atau sintetis.
Identifikasi Zat Pengawet
1. Sampling minuman
Proses sampling minuman ringan berkarbonasi dilakukan berdasarkan merek yang
beredar di pasaran (su-MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 150 permarket di daerah
Jakarta dan Depok). Lima merek minuman ringan berkabonasi dipilih untuk dijadikan
sampel dalam penelitian ini. Pemilihan sampel berdasarkan atas informasi kandungan
bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sampel tersebut.
2. Penetapan panjang gelombang pengukuran
a. Pembuatan larutan baku 10 ppm
Dibuat larutan standar dari masing-masing bahan baku pembanding dengan kadar
sakarin 9,64 ppm, asam benzoat 10,101 ppm, asam sorbat 10,05 ppm, kofeina 10,01
ppm, dan aspartame 10,03 ppm menggunakan pelarut aquabides yang telah disaring.
b. Penetapan panjang gelombang
pengukuran Masing-masing larutan bahan baku pembanding tersebut diukur
serapannya pada panjang gelombang 200-300 nm menggunakan spektrofotometer,
lalu dibuat kurva serapannya. Kemudian ditentukan panjang gelombang untuk
analisis.
3. Mencari kondisi percobaan optimum untuk analisis sakarin, asam benzoat, asam
sorbat, kofeinadan aspartam. Larutan campuran bahan baku pembanding sakarin,
asam benzoat, asam sorbat, kofeina dan aspartam di dalam pelarut aquabides,
disuntikkan sebanyak 20 µl ke dalam kolom menggunakan fase gerak campuran
asetonitril dan dapar asetat dengan berbagai komposisi yaitu :
a. 19:81, pH dapar 4 dan 4,5
b. 10:90, pH dapar 4 ; 4,5 ; dan 5
c. 5:95, pH dapar 4 ; 4,5 ; dan 5
Dipilih komposisi dan pH dapar yang memberikan pemisahan terbaik, berdasarkan
waktu tambat (tR), resolusi (R), HETP, dan jumlah pelat teori (N). Kondisi terpilih
harus digunakan pada analisis sampel.
4. Penentuan limit deteksi dan limit Kuantitatif
Dibuat larutan bahan baku pembanding dalam aquabides yang telah dipasang dengan
konsentrasi sakarin dalam larutan sebesar 1,416 ppm; 0,689 ppm; 0,550 ppm; 0,344
ppm; 0,2 ppm; dan 0,138 ppm, konsentrasi asam benzoat dalam larutan sebesar 1,072
ppm; 0,852 ppm; 0,750 ppm; 0,536 ppm; 0,268 ppm; 0,206 ppm; dan 0,150 ppm,
konsentrasi kofeina dalam larutan sebesar 1,076 ppm; 0,5 ppm; 0,452 ppm; 0,269
ppm; 0,142 ppm; dan 0,086 ppm, konsentrasi asam sorbat dalam larutan sebesar
0,055 ppm; 0,027 ppm, 0,013 ppm, 0,0074 ppm; dan 0,0057 ppm dan konsentrasi
aspartam dalam larutan sebesar 25,2 ppm; 20,64 ppm; 10,32 ppm; 6,5 ppm; dan 5,16
ppm. Larutan bahan baku pembanding tersebut disuntikkan sebanyak 20 µl pada
kolom dengan kondisi analisis terpilih. Limit deteksi dan limit kuantitatif ditentukan
dengan membandingkan tinggi puncak zat dengan tinggi puncak derau. Tinggi
puncak derau adalah tinggi puncak terbesar yang dihasilkan oleh garis dasar pelarut.
Batas minimum limit deteksi adalah tinggi puncak zat 2 dan 3 kali lebih tinggi dari
tinggi puncak derau, sedangkan batas minimum limit kuantitatif adalah tinggi puncak
zat 10 kali lebih tinggi dari tinggi puncak derau.
5. Pembuatan kurva kalibrasi
Dibuat larutan sakarin dalam pelarut aquabides yang telah disaring dengan
konsentrasi 5,66 ppm; 11,32 ppm; 22,64 ppm; 45,28 ppm; dan 56,6 ppm lalu
disuntikkan sebanyak 20 µl ke dalam kolom menggunakan kondisi analisis terpilih.
Catat area yang diperoleh lalu dibuat kurva kalibrasinya. Prosedur di atas diulangi
untuk pembuatan kurva kalibrasi asam benzoat, asam sorbat, kofeina, dan aspartam.
Untuk kurva kalibarsi asam benzoat, dibuat larutan aam benzoate dengan konsentrasi
1,012 ppm; 5,06 ppm; 10,12 ppm; 20,24 ppm; 40,48 ppm; dan 60,72 ppm. Untuk
kurva kalibrasi asam sorbat dibuat larutan asam sorbat dengan konsentrasi 0,0509
ppm; 0,1018 ppm; 0,509 ppm; 1,018 ppm; 2,036 ppm; dan 3,054 ppm. Untuk kurva
kalibrasi kofeina, dibuat larutan dengan konsentrasi 1,01 ppm; 5,05 ppm; 10,1 ppm;
20,2 ppm; dan 40,4 ppm. Sedangkan untuk kurva kalibrasi aspartam, dibuat larutan
aspartam dengan konsentrasi 30,24 ppm; 40,32 ppm; 50,4 ppm; 60,48 ppm; dan
100,8 ppm.
6. Penentuan keterulangan metoda
analisis sakarin, asam benzoat, asam sorbat, kofeina dan aspartame Dibuat larutan
sakarin dalam pelarut aquabides yang telah disaring dengan konsentrasi 21,88 ppm;
dan 28,57 ppm. Masing-masing konsentrasi disuntikkan enam kali ke dalam kolom,
lalu area yang diperoleh dicatat dan dihitung konsentrasinya berdasarkan kurva
kalibrasi yang diperoleh. Tentukan koefisien variasi dari masing-masing konsentrasi
dan variasi rata-rata konsentrasi tersebut. Prosedur yang sama diulang untuk asam
benzoat, asam sorbat, kofeina, dan aspartam. Untuk asam benzoat dibuat dengan
kosentrasi 14,35 ppm; dan 34,01 ppm. Untuk asam sorbat dibuat dengan konsentrasi
0,85 ppm; dan 1,63 ppm. Untuk kofeina dibuat dengan konsentrasi 10,1 ppm; dan
20,2 ppm. Sedangkan untuk aspartam dibuat dengan konsentrasi 40,32 ppm; dan
45,95 ppm.
7. Uji perolehan kembali
Uji perolehan kembali dilakukan dengan menambahkan sejumlah bahan baku
pembanding sakarin, asam benzoat, asam sorbat, kofeina, dan aspartam ke dalam
sampel minuman ringan yang sebelumnya telah ditentukan kadar sakarin, asam
benzoat, asam sorbat, kofein dan aspartamnya. Dihitung perolehan kembalinya.
8. Identifikasi sakarin, asam benzoat, asam sorbat, kofeina, dan aspartam dalam
sampel.
Menggunakan kondisi analisis terpilih dan komposisi fase gerak lain, 20 µl sampel
disuntikkan ke dalam kolom dan dicatat waktu tambat puncak-puncak yang
dihasilkan oleh sampel. Jika puncak-puncak tersebut mempunyai waktu tambat yang
kurang lebih sama dengan waktu tambat puncak bahan baku pembanding sakarin,
asam benzoat, asam sorbat, kofeina, dan aspartam, maka disimpulkan bahwa pada
sampel terdapat zat-zat tersebut. Cara lain untuk memastikan apakah puncak yang
dihasilkan sampel adalah benar puncak sakarin, asam benzoat, asam sorbat, kofeina,
dan aspartam, yaitu dengan menambahkan sejumlah bahan baku zat-zat tersebut ke
dalam sampel, lalu sampel dikromatografi lagi. Apabila puncak yang diduga
meningkat intensitasnya, maka dapat disimpulkan bahwa memang benar puncak
tersebut puncak zat yang diduga.
9. Penetapan kadar
Beberapa minuman ringan yang beredar di pasaran diperiksa kadar sakarin, asam
benzoat, asam sorbat, kofeina dan aspartamnya menggunakan kondisi analisis
terpilih. Sampel diencerkan sebanyak lima kali menggunakan pelarut aquabides, lalu
disuntikkan sebanyak 20 µl ke dalam kolom. Area yang diperoleh dicatat, lalu
dihitung kadarnya menggunakan kurva kalibrasi masing-masing zat.