bahan studi kasus uas

Upload: ridhofauzis

Post on 02-Nov-2015

20 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hukum internasional

TRANSCRIPT

1. Analisis LotusCase

October 30, 2011

HYPERLINK "http://farahfitriani.wordpress.com/author/farahfitriani/" \o "View all posts by Farah Fitriani" Farah Fitriani tugas kuliah hukum 1 Comment

Assalamualaikum wr. wb

berikut adalah analisis terhadap salah satu kasus yang sangat terkenal dalam hukum internasional, Lotus Case.

semoga bermanfaat

LOTUS CASE

FAKTA HUKUM

2 Agustus 1926, terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.

Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.

Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.

Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).

MASALAH HUKUM

Bagaimana PCIJ menyelesaikan perkara tersebut menggunakan kebiasaan internasional?

Apakah ada ketentuan kebiasaan internasional yang mengatur mengenai kasus tersebut?

Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing M.Demons di negaranya).

PUTUSAN PENGADILAN

Prinsip atau pendekatan Lotus, biasanya dianggap sebagai dasar hukum internasional, mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan cara apapun yang mereka inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan eksplisit. Prinsip ini hasil dari kasus Lotus kemudian ditolak oleh pasal 11 dari Tinggi Konvensi Laut 1958. Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan penekanan pada fakta bahwa hanya negara atau bendera negara yang tersangka pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional atas pelaut tentang insiden yang terjadi di laut lepas.

Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:

1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasan atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hukum internasional dan praktek hokum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hukum internasional.3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.

ANALISIS Hukum Internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional.[1] Kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh huku, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. Hukum Kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar kebiasaan internasional dapat dikatakan sebagai hukum harus memenuhi kedua unsur berikut yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Kedua unsur itu dapat dinamakan unsur material dan unsur psikologis.[2]

Unsur pertama yaitu unsur material memerlukan adanya suatu kebiasaan yang merupakan suatu pola tindak yang berlangsung lama. Selain itu kebiasaan yang berlangsung lama itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur kedua yaitu unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan Internasional dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum atau seperti dikatakan dalam bahsa latin Opinio Juris Sive Necessitative .

Tampak dari keputusan Permanenent Court of International Justice dalam Lotus case bahwa Opinio Juris merupakan suatu hal yang merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsur materi dari apa yang dinyatakan kaidah kebiasaan.

PCIJ memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan kapal di laut lepas dari pihak negara bendera kapal berkenaan dengan semua insiden diatas kapal karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan perundang-undangan nasional tidak konsisten keputusan keputusan pengadilan nasional yang saling bertentangan tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari trakta-traktat serta adanya perbedaan pandangan diantara para sarjana.

Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.

Walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

2. ASYLUM CASE

Kasus Suaka Peru dan Kolumbia berawal dari suaka yang diberikan oleh kedutaan besar Kolumbia di Lima pada tanggal 3 Januari 1949 yang diberikan kepada M. Victor Raul Haya de la Torre yang merupakan ketua partai the American Peoples Revolutionary Alliance di Peru. Pada tanggal 3 Okteber 1948, terjadi suatu pemberontakan yang dipelopori oleh M. Victor Raul Haya de la Torre. Ia berusaha mencari kekuasaan di Peru, akan tetapi gagal, dan kedutaan besar Kolumbia menawarkan perlindungan kepada M. Victor Raul Haya de la Torre, yang dianggap sebagai pelanggar politik, untuk meningggalkan Peru. Pemerintah Peru menolak hal tersebut dikarenakan menurut mereka M. Victor Raul Haya de la Torre bukanlah penjahat politik melainkan penjahat criminal dan tidak berhak mendapatkan keuntungan dari suaka perlindungan. Dikarenakan tidak dapat membuat suatu kesepakatan bersama, kedua Negara menyampaikan permasalahan ini kepada pengadilan internasional (International Court of Justice, ICJ), tuntutan ini diajukan oleh Kolumbia dan dituntut balas oleh Peru. Kolumbia menyatakan bahwa, berdasarkan Perjanjian Bolivarian pada tahun 1911 mengenai Extradisi, Konvensi Havana 1928 mengenai suaka, Konvensi Montevideo 1933 mengenai suaka politik, dan berdasarkan hukum internasional Amerika, ia menyatakan bahwa ia telah memenuhi syarat untuk memberikan suaka. Dilihat dari pembelaan pertama Kolumbia yaitu perjanjian Bolivarian 1911mengenai perjanjian extradisi- yang membatasi dirinya pada satu artikel untuk mengakui adanya suaka bersesuaian dengan prinsip hukum internasional. Didalam kasus extradisi, pengungsi berada di dalam wilayah Negara lain, apabila suaka diberikan kepadanya maka keputusan apa pun tidak dapat merubahnya meski dari kedaulatan Negara dimana pelanggaran dilakukan. Akan tetapi, dalam kasus suaka diplomatic, pengungsi berada di dalam Negara dimana pelanggaran terjadi, maka keputusan untuk memberikan suaka dipegang oleh Negara dimana pelanggaran terjadi dan pengambilan keputusan diputuskan oleh badan hukum Negara tersebut. Mengenai konvensi Havana yang dijadikan Kolumbia sebagai dasar hukum perbuatannya, itu tidak mengakui adanya penilaian sepihak baik itu secara ekspisit maupun implicit. Selain itu, pasal dalam Konvensi Havana menyatakan bahwa untuk memberikan suaka kepada pengungsi hanya diperbolehkan apabila Negara asal meminta pemindahan pengungsi tersebut dari wilayahnya ke pengungsian. Pada kenyataannya, Peru tidak meminta hal tersebut sehingga tidak ada alasan untuk diberikannya suaka. Sedangkan yang ketiga, yaitu Konvensi Montevideo tidak diratifikasi oleh Peru, oleh sebab itu konvensi ini tidak dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk menyerang Peru. Dan melihat dari hukum internasional Amerika, Kolumbia tidak dapat membuktikan keeksistensiannya baik itu secara regional maupun local, sebagai badan yang formal dan konstan berdasarkan penillaian sepihak sebagai Negara yang berhak sebagai pelindung dan berkewajiban atas wilayah negaranya. Dalam tuntutan balasan oleh Peru, ia menyatakan bahwa M. Victor Raul Haya de la Torre melakukan kejahatan criminal biasa oleh sebab itu berdasarkan Konvensi Havana, ia tidak berhak menerima suaka. Lalu tuntutan keduanya adalah dikarenakan urgensi maka dibawah Konvensi Havana suaka tidak dapat diberikan. Konvensi Havana pada dasarnya tidak memberikan pembolehan pemberian suaka kepada orang yang sengaja melawan hukum di Negaranya. Suaka hanya dapat mengintervensi melawan tindakan pengadilan apabila terdapat aksi yang sewenang-wenang yang ada di dalam peraturan hukum. Hal ini tidak terdapat di Peru dimana tidak ditemukannya penghapusan jaminan hukum. Selain itu, Konvensi Havana tidak bisa menetapkan seseorang untuk menghindari pengadilan nasionalnya. Seperti yang terdapat dalam hukum kebiasaan tertua di Amerika yaitu tidak adanya intervensi. Dalam keputusannya, pengadilan, dengan hasil empat belas suara berbanding dua, Kolumbia tidak boleh secara sepihak memutuskan dan mengikat Peru sebagai pelanggar, dengan lima belas suara berbanding satu menyatakan bahwa Peru tidak terikat untuk mengirimkan perlindungan sebagai suaka. Di lain pihak, pengadilan menolak, dengan lima belas suara berbanding satu, bahwa M. Victor Raul Haya de la Torre merupakan penjahat criminal biasa, karena pemberontakan militer tidak termasuk kejahatan criminal biasa. Terakhir, dengan sepuluh berbanding satu suara, tanpa mengkritik sikap yang dilakukan oleh duta besar Kolumbia di Lima, menganggap persyaratan yang sesuai untuk adanya suaka berdasarkan perjanjian yang relevan tidak terpenuhi pada saat ia menerima M. Victor Raul Haya de la Torre. Justru, berdasarkan konvensi Havana, suaka tidak boleh menjadi hambatan untuk berlangsungnya proses hukum oleh badan legal di dalam suatu Negara. Keputusan ini diambil pada tanggal 20 November 1950. Kasus antara Peru dan Kolumbia tidak berkahir sampai disitu dan bertambah dengan ikutnya Kuba dalam permasalahan ini. Pada tanggal 13 Desember 1950 mengirimkan berkas mengenai ketidakharusan Kolumbia untuk menyerahkan M. Victor Raul Haya de la Torre kepada Peru. Pemerintah Peru menyatakan bahwa hal ini merupakan intervensi pihak ketiga dan tidak boleh dimasukkan di dalam persidangan. Akan tetapi, dikarenakan pertanyaan yang dibahas dalam hal ini berbeda dengan apa yang sebelumnya dibahas maka pengadilan menyatakan bahwa hal ini bukanlah intervensi karena tidak mengganggu jalannya persidangan sebelumnya. Oleh sebab itu, pengadilan memutuskan bahwa:By a unanimous vote that it is not part of the courts judicial functions to make a choice among the different ways in which the asylum may be brought to an end;By thirteen votes against one, that Columbia is under no obligation to surrender Haya de la Torre to the Peruvian authorities;By unanimous vote that the asylum ought to have cease after the delivery of the judgement of November 20th, 1950, and must be brought to an end.Jadi, kesimpulan dari persidangan ini adalah, Kolumbia tidak berhak memberikan suaka kepada M. Victor Raul Haya de la Torre akan tetapi Kolumbia juga tidak berkewajiban untuk menyerahkan M. Victor Raul Haya de la Torre kepada Peru.3. Corfu ChannelCase

Hai semua, ini aku cuma mau bantu-bantu aja tentang Corfu Channel Case, semoga berguna dan bisa membantu.

Ini aku dapat dari berbagai sumber nah, selamat membaca Ringkasan Kasus :Kasus ini merupakan sengketa antara Albania dan Inggris yang cara pengajuannya melalui pengadilan yaitu ke Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Peristiwanya terjadi pada tanggal 15 Mei 1946 pada saat kapal-kapal Inggris berlayar memasuki selat Chorfu wilayah Albania. Ketika memasuki laut teritorial Albania kapal-kapal tersebut ditembaki dengan meriam-meriam yang ada di pantai Albania. Albania ketika itu sedang dalam keadaan perang dengan Yunani. Tanggal 22 Oktober 1949 sebuah kapal Inggris telah menabrak ranjau yang berada di selat tersebut yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Atas kejadian tersebut Inggris kemudain melakukan pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang ada di selat tersebut tanpa adanya izin dari pemerintah Albania. Kemudian sengketa timbul dan diajukan ke Mahkamah Internasional. Keputusan mahkamah Internasional menyatakan bahwa Albania bertenggungjawab atas kerusakan kapal Inggris dan Inggris telah melanggar kedaulatan Albania karena tindakannya menyapu ranjau. Persoalan ini sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah lingkungan hidup secara langsung. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup internasiona antara Inggris dan Albania didasarkan pada Prinsip 26 Deklarasi Rio 1992. Prosedur dan mekanisme mengenai penyelesaian sengketa secara umum diatur oleh Pasal 33 Piagam PBB. Pasal ini mengidentifikasi beberapa metode atau cara diantaranya negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian pengadilan, upaya badan atau aturan regional, atau pilihan para pihak.

Fakta Hukum- Pihak yang bersengketa adalah Inggris dan Albania.- selat Corfu berada dalam wilayah perairan Albania.- Insiden pertama yaitu pada 15 mei 1946, 2 kapal Inggris, HMS Orion dan HMSSuperb menyeberangi selat Corfu.- Ketika sedang menyeberangi selat, keluar api dari daerah pertahanan yang terletak di pantai Albania.- Meskipun tidak menderita kerugian, Pihak Inggris meminta Albania untuk menyatakan permintaan maaf, namun Albania mengklaim bahwa Pihak Inggrismemasuki wilayah territorial Albania tanpa ijin.- Kemudian, pada 22 Oktober 1946, kapal Inggris, Saumarez dan Volage kembalimelintas di Selat Corfu dan menabrak ranjau-ranjau laut yang tersebar di sepanjangSelat Corfu.- Hal ini menyebabkan kapal Inggris tersebut rusak, 44 orang tewas, 42 orang luka-luka. Antara 42 atau 43 yang tewas adalah awak kapal Saumarez.- Inggris meminta ganti kerugian kepada Albania, namun Albania menghiraukannya.Akhirnya kasus ini dibawa ke ICJ

Permasalahan Hukum1. Apakah Albania bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak Inggris?2. Apakah Albania wajib mengganti kerugian yang diderita pihak Inggris?3. Apakah Inggris bersalah telah melanggar hukum internasional dengan tindakannya padahari terjdinya ledakan pada bulan Oktober dan pada bulan November saat Inggrismembersihkan selat Corfu tersebut dari ranjau.?

Putusan1. Ya, Albania bertanggung jawab terhadap Kerugian yang diderita pihak Inggris.2. Ya, Albania wajib mengganti kerugian yang diderita pihak Inggris. Dan pengadilanmemutuskan Albania wajib membayar ganti rugi atas rusaknya saumarez dan rusaknyakapal Volage, serta atas kematian awak kapal Inggris, dengan total kompensasi sebesar 843,947 .3. Untuk tindakan pada bulan Oktober, Inggris tidak melanggar kedaulatan dari Albania,tetapi untuk tindakan pada Inggris pada bulan November dinyatakan bahwa Inggris bersalah telah melanggar kedaulatan Albania.

Pertimbangan PutusanAlbania dinyatakan bersalah karena telah menyebarkan ranjau-ranjau laut di sepanjang SelatCorfu tanpa memberitahukan pihak Inggris. Hal ini karena Inggris mempunyai hak lintas damai untuk melintasi wilayah territorial Albania..

AnalisisPutusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa Albania bersalah dan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Inggris serta diwajibkan membayar kompensasi kepada pihak Inggris. Dalam putusan kasus Corfu Channel di atas, Mahkamah Internasional menggunakan Teori Kesalahan dalam Tanggung Jawab Negara. Teori Kesalahan ada 2macam yaitu :1. Teori Subyektif.Menurut teori ini, tanggung jawab Negara ditentukan oleh adanya unsure keinginan ataumaksud untuk melakukan suatu perbuatan (kesengajaan atau dolus) atau kelalaian (culpa) pada pejabat atau agen Negara yang bersangkutan.2. Teori ObyektifMenurut teori ini, tanggung jawab Negara adalah selalu mutlak (strict). Manakala suatu pejabat atau agen Negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka Negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakantersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian.

Dalam kasus Corfu Channel, Mahkamah Internasional menggunakan teori Obyektif dalammemutuskan sengketa tersebut karena tidak adanya upaya dari pejabat Albania untuk mencegah kecelakaan terhadap 2 kapal Inggris, Saumarez dan Volage. Seharusnya, Albaniamemberi peringatan akan adanya ranjau terhadap kapal Inggris yang akan melintasi wilayahteritorialnya karena Inggris mempunyai hak lintas damai untuk melewati perairan territorialAlbania.Berdasarkan hukum intenasional suatu negara dapat diminta pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang menyalahgunakan kedaulatannya. Tidak ada satu negara punyang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain.Dalam kasus selat Corfu ini, Albania walaupun memiliki kedulatan atas selat Corfu, namundalam hal ini tetap bertanggung Jawab untuk memastikan bahwa kapal asing yang melintasi perairan teritorialnya dengan damai dapat melintasi perairannya dengan aman.

Karakteristik tanggung jawab negara tergantung dari: Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negaratertentu; Adanya suatu perbuatan melanggar hukum atau kelalaian yang melanggar kewajiban tersebut dan melahirkan tanggung jawab negara; Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan melanggar hukum ataukelalaian

Dalam kasus selat Corfu terdapat kelalaian dari Albania untuk memastikan bahwa perairannya aman untuk dilewati ataupun kelalaian untuk memberi peringatan kepada Inggrismengenai kondisi perairannya sehingga hal ini dapat mengakibatkan timbulnya tanggungJawab dari Albania atas kerusakan dan kerugian yang diderita Inggris atas kapalnya dan ataskematian para awak kapalnya.

4. KASUS PULAU PALMAS(1928)

August 23, 2010 by agisari

Belanda vs Amerika Serikat

Pengadilan Permanen Arbitrasi. Arbitrator Tunggal : Huber.

Akibat perang Spanyol melawan Amerika Serikat tahun 1898, Spanyol menyerahkan Philiphina kepada Amerika Serikat berdasarkan Treaty of Paris. Pada tahun 1906 pejabat Amerika Serikat mengunjungi pulau Palmas (Miangas) yang diyakini Amerika Serikat sebagai wilayah yang diserahkan kepadanya, tetapi Amerika Serikat mendapatkan bendera Belanda berkibar di Pulau Palmas.

Amerika Serikat dan Belanda merasa memiliki hak kedaulatan terhadap Pulau Palmas. Dasar klaim Amerika Serikat adalah cesi, yang ditetapkan dalam Treaty of Paris. Cesi mentransfer semua hak kedaulatan yang dimiliki Spanyol terhadap Pulau Palmas. Amerika Serikat adalah suksesor Spanyol sebagai penemu Pulau Palmas.

Sedangkan Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya terhadap Pulau Palmas pada alas hak okupasi yaitu melalui pelaksanaan kekuasaan negara secara damai serta terus menerus atas Pulau Palmas.

PERTIMBANGAN HAKIM ARBITRASI.Kedaulatan dalam hubungan antar negara merupakan kemerdekaan. Kemerdekaan terhadap sebagian dunia adalah hak untuk melaksanakan fungsi negara dibagian dunia itu dengan mengecualikan negara lain. Perkembangan negara beberapa abad terakhir dan perkembangan Hukum Internasional menetapkan prinsip wewenang eksklusif negara atas wilayahnya, yang merupakan titik tolak hubungan internasional.

Fakta bahwa fungsi negara dapat dilakukan oleh tiap negara dalam suatu wilayah tertentu seperti laut lepas atau daratan tak bertuan, tak berarti bahwa wilayah itu merupakan wilayah negara tersebut. Bila timbul sengketa tentang kedaulatan atas wilayah biasanya diselidiki negara mana yang mempunyai alas hak seperti cesi, penaklukan, pendudukan, yang lebih kuat. Namun, terhadap fakta pelaksanaan kedaulatan secara aktual, tak cukup diajukan alas hak perolehan secara sah pada saat itu. Dasar perolehan hak secara sah itu harus disertai kelanjutan pelaksanaan hak tersebut dan kelanjutan itu ada pada saat yang menentukan bagi penetapan keputusan sengketa. Pelaksanaan hak itu terdiri dari pelaksanaan aktual kegiatan negara (pelaksanaan kegiatan penguasa berdaulat).

Alas hak penerimaan kedaulatan wilayah dalam Hukum Internasional berdasar pada perbuatan penguasaan secara efektif, seperti okupasi atau penaklukan, perbuatan cesi, dimana ada pihak yang punya hak untuk menyerahkan secara efektif wilayah yang bersangkutan. Demikian juga akresi alami, hanya dapat terjadi akresi bila telah ada kedaulatan aktual yang dapat diperluas wilayahnya. Praktek dan doktrin mengakui bahwa pelaksanaan kedaulatan wilayah yang terus menerus dan damai (damai dalam hubungan dengan negara lain) merupakan alas hak yang baik.

Sejak pertengahan abad 18 menuntut bahwa okupasi harus efektif. Seperti sebelum ada Hukum Internasional, batas wilayah negara ditetapkan oleh fakta pelaksanaan kekuasaan negara di wilayah itu. Fakta pelaksaan secara damai dan terus menerus adalah tetap merupakan salah satu pertimbangan yang paling penting dalam menetapkan batas antar negara.

Kedaulatan wilayah mencakup hak eksklusif melaksanakan aktivitas negara. Hak ini terkait dengan kewajiban melindungi hak negara lain diwilayahnya khususnya hak atas integritas dan kekebalan dalam damai perang beserta hak yang dapat diklaim tiap negara bagi warganegaranya diwilayahnya. Tanpa melakukan kedaulatan wilayahnya menurut cara yang sesuai dengan keadaan, negara tak dapat memenuhi kewajiban ini.

Manifestasi kedaulatan teritorial mengasumsikan berbagai bentuk, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat. Meski prinsipnya terus menerus dalam kenyataannya kedaulatan tak dapat dilakukan pada tiap saat dan ditiap titik wilayah. Tergantung keadaan wilayahnya, berpenduduk atau tidak, tertutup atau tidak, mudah dicapai atau tidak. Kedaulatan berlanjut dan damai merupakan kriteria yang sehat dan alami bagi penetapan kedaulatan atas suatu wilayah.

A. Pemeriksaan Bagian Terakhir Argumen AS Title berdasarkan contiguity (hubungan)Tidak ada HI positif yang menetapkan pulau-pulau diluar laut teritorial merupakan terra firma (daratan terdekat atau pulau berbentuk besar). Prinsip ini tidak ada presedennya, tak pasti, dan dipertentangkan tentang keberadaannya.

Pelaksanaan kedaulatan teritorial ada celah waktu dan ruangnya tak berarti tak ada kedaulatan. Penilaian tergantung pada keadaan masing-masing. Mengenai sekelompok pulau mungkin sekelompok itu dianggap kesatuan dan nasib pulau utama mengkait yang lain. Harus dibedakan antara perbuatan pertama pemilikan, yang hampir tak dapat meliputi seluruh wilayah dan pelaksanaan kedaulatan sebagai manifestasi terus menerus dan perpanjangan yang harus meliputi seluruh wilayah. Wilayah yang dibahas sengketa ini adalah pulau terpencil. Ada penduduknya yang tak memungkinkan tanpa pemerintah dalam waktu yang lama.

B. Pemeriksaan Argumen Yang Diajukan Belanda.Belanda mendasarkan klaim kedaulatan pada titel pelaksanaan kekuasaan negara secara damai dan terus menerus atas Pulau Palmas. Dalam Hukum Internasional titel ini mengungguli titel perolehan kedaulatan yang tidak diikuti dengan pelaksanaan aktual kekuasaan negara, perlu dipastikan pertama-tama apakah pernyataan Belanda cukup dibenarkan bukti-bukti dan untuk berapa lama.

Dalam pemikiran Arbitror, Belanda telah berhasil menetapkan fakta berikut :

1. Pulau Palmas merupakan setidaknya sejak tahun 1700 merupakan bagian dua negara pribumi Pulau Sangi (Talaut);

2. Negara pribumi ini sejak 1677 dan seterusnya tergabung dengan VOC, yang dengan demikian Belanda, dengan kontrak suzerainitas, yang memberi kekuasaan membenarkan pendapatnya negara vassal sebagai bagian dari wilayahnya;

3. Perbuatan yang bersifat kekuasaan negara dilakukan oleh negara vassal atau oleh penguasa pada Pulau Palmas telah ada berlaku dalam masa yang berbeda antara tahun 1700 dan 1898 dan juga 1898 dan 1906.

Perbuatan pelaksanaan kedaulatan Belanda atas Palmas langsung atau tidak langsung, terutama pada abad 18 dan 19 tidaklah banyak dan ada celah-celah besar dalam bukti kelangsungannya, tapi kedaulatan atas pulau kecil itu tak harus berlaku surut jauh sebelumnya. Cukup bila pelaksanaan itu ada pada tahun 1898 dan negara-negara lain berkesempatan dapat memastikan adanya keadaan yang tidak bertentangan dengan haknya. Menjelang tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda mengadakan intensifikasi pelaksanaan pemerintahan di Palmas yang menunjukkan bahwa Palmas adalah miliknya.

Sejak Spanyol, dalam menarik diri dari Maluku tahun 1666, menyatakan reservasi mempertahankan hak kedaulatannya, sampai tuntutan AS tahun 1906, tiada bantahan atau aksi apapun atau protes yang diajukan atas pelaksanaan hak teritorial oleh Belanda waktu itu harus diterima. Tak ada bukti pelaksanaan kedaulatan oleh Spanyol atau negara lain yang mengimbangi atau membatalkan pernyataan kedaulatan Belanda.

Mengenai syarat akuisisi kedaulatan dengan pelaksanaan kedaulatan negara secara terus menerus dan damai (disebut preskripsi) perlu diutarakan sebagai berikut :

Pelaksanaan itu dilakukan terbuka dan umum yakni sesuai dengan kebiasaan pelaksanaan kedaulatan atas negara kolonial. Pelaksanaan kekuasaan negara secara klandestin atas wilayah yang berpenduduk selama waktu yang lama tampaknya tidak mungkin.

Syarat akuisisi kedaulatan oleh Belanda karenanya dianggap telah dipenuhi. Amerika Serikat sebagai suksesor dari Spanyol berada dalam posisi mengajukan titel yang kurang kuat dibandingan Belanda. Titel penemuan jika tidak sudah dihapus oleh Treaty of Munster dan Utrecht hanya akan ada sebagai incohate titel sebagai klaim untuk menetapkan kedaulatan melalui okupasi. Titel incohate tak dapat mengungguli titel yang pasti berdasarkan pelaksanaan kedaulatan yang terus menerus dan damai.

Titel continguity, sebagai dasar kedaulatan wilayah, tak ada dasarnya dalam Hukum Internasional. Titel pengakuan dengan Treaty tak berlaku, sebab meski negara-negara Sangi, termasuk Miangas, dianggap dikuasai dan dipunyai Spanyol pada tahun 1648, hak Spanyol didapat dari Treaty of Munster (1648) telah dikalahkan oleh yang diperoleh dari Treaty Utrecht. Bukti pemilikan tahun 1714 tentang Pulau Palmas menguntungkan Belanda. Tetapi bila Treaty Utrecht tak dapat dipertimbangkan, penerimaan diam-diam Spanyol dalam situasi tahun 1677 menghapus kemungkinan menggunakan hak konvensional Spanyol beserta suksesornya sekarang.

Titel kedaulatan Belanda yang diperoleh karena pelaksanaan kekuasaan negara dengan terus menerus dan damai selama mungkin surut sampai sebelum 1700 dengan demikian adalah kuat.

Berdasarkan alasan ini, Arbitror, sesuai dengan Pasal 1 Special Agreement tanggal 23 Januari 1925, memutuskan bahwa Pulau Palmas seluruhnya merupakan bagian wilayah Belanda.

KesimpulanAlas Hak Okupasi ditentukan oleh prinsip effectiveness, efektif berarti memenuhi dua syarat, yakni adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara di wilayah yang diduduki dan adanya pelaksanaan kedaulatan negara yang memadai di wilayah itu. Sedangkan Alas Hak Cesi adalah tambahan kedaulatan wilayah melalui proses peralihan hak yang dapat berupa pemberian, tukar menukar atau paksa. Cesi dapat terjadi dengan sukarela atau dengan paksa. Alas hak yang diperoleh melalui cara okupasi oleh Belanda lebih kuat dibandingkan cara cesi yang dilakukan oleh Amerika Serikat maka dari itu Arbitror memutuskan bahwa Pulau Palmas seluruhnya merupakan bagian wilayah Belanda.

5. NICARAGUA CASEPara Pihak : Republic of Nicaragua v. United State of AmericaINTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (ICJ)I. KASUS POSISI Kasus ini berawal dari penghentian bantuan ekonomi dari AS ke Nicaragua dikarenakan tindakan-tindakan Nicaragua yang melawan El Salvador, yang memiliki hubungan diplomatis yang baik dengan Amerika. Atas respon dari tindakan Nicaragua ini, AS mulai menempatkan fasilitas militernya dan melakukan beberapa tindakan yang diklaim Nicaragua sebagai pelanggaran hukum internasional.

Beberapa tindakan AS di Nicaragua adalah penanaman ranjau di laut wilayah dan pedalaman Nicaragua, yang kemudian mengakibatkan hancurnya kapal-kapal milik Nicaragua dan pihak asing. Selain itu, AS juga melakukan penyerangan dan perusakan terhadap beberapa fasilitas sipil dan militer Nicaragua. AS juga membantu pasukan contras, yaitu kelompok gerilyawan Nicaragua yang memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa kala itu.

Nicaragua Case adalah kasus yang terjadi pada tahun 1986 yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ). Di mana ICJ mendukung Nikaragua yang melawan Amerika Serikat untuk memberikan ganti rugi terhadap Nikaragua. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa AS telah melanggar hukum internasional dengan mendukung gerilyawan dalam pemberontakan mereka melawan pemerintah Nikaragua dan pertambangan di pelabuhan Nikaragua. Amerika Serikat menolak untuk berpartisipasi dalam proses peradilan setelah Mahkamah menolak argumen AS bahwa Mahkamah Internasional tidak memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan kasus ini.

Mahkamah menemukan bahwa Amerika Serikat telah melanggar kewajibannya berdasarkan hukum kebiasaan internasional untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap negara lain, tidak ikut campur dalam urusan negara lain, tidak melanggar kedaulatan negara lain, tidak mengganggu perdagangan maritim secara damai, dan melanggar kewajibannya berdasarkan Pasal XIX Perjanjian Persahabatan, Perdagangan dan Navigasi[1] antara kedua belah pihak yang ditandatangani di Managua pada tanggal 21 Januari 1956.

II. FAKTA HUKUM1. Terjadi penghentian bantuan ekonomi dari AS ke Nicaragua dikarenakan tindakan-tindakan Nicaragua yang melawan El Salvador, yang memiliki hubungan diplomatis yang baik dengan Amerika. Atas respon dari tindakan Nicaragua ini, AS mulai menempatkan fasilitas militernya dan melakukan beberapa tindakan yang diklaim Nicaragua sebagai pelanggaran hukum internasional;

2. Beberapa tindakan AS di Nicaragua adalah penanaman ranjau di laut wilayah dan pedalaman Nicaragua, yang kemudian mengakibatkan hancurnya kapal-kapal milik Nicaragua dan pihak asing. Selain itu, AS juga melakukan penyerangan dan perusakan terhadap beberapa fasilitas sipil dan militer Nicaragua. AS juga membantu pasukan contras, yaitu kelompok gerilyawan Nicaragua yang memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa kala itu;

3. Nicaragua membawa sengketa dengan AS ini ke Mahkamah Internasional pada tanggal 9 April 1984. Gugatan yang diajukan Nicaragua antara lain :

a. AS telah melanggar kewajibannya berdasarkan hukum internasional dengan aktifitas militer dan paramiliternya di Nicaragua (AS harus menarik seluruh fasilitas dan kelengkapan militernya dari Nicaragua untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan larangan penggunaan kekerasan (non-use of force)

b. AS harus memberikan ganti rugi terhadap Nicaragua berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi.

Nicaragua mendasarkan gugatannya ini berdasarkan hukum kebiasaan internasional, dan selain itu Nicaragua juga menggunakan Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation 1956 yang merupakan perjanjian bilateral internasional antara AS dan Nicaragua.

4. Menanggapi gugatan Nicaragua ini, AS menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa ini. AS berpendapat bahwa Nicaragua tidak memenuhi persyaratan yang terdapat pada pasal 36 ayat (2) Statuta ICJ[2]. Selain itu, AS juga menyatakan bahwa pengajuan Nicaragua ini tidak dapat diterima (inadmissible). AS mendasarkan pernyataannya ini berdasarkan beberapa alasan, yang antara lain :

a. Nicaragua tidak membawa serta beberapa pihak-pihak yang kehadiran dan partisipasinya diperlukan untuk melindungi hak-hak para pihak yang bersangkutan;

Pendapat Mahkamah : Berdasarkan pasal 59 Statuta ICJ, Mahkamah hanya memberikan putusan kepada pihak-pihak yang mengajukan penyelesaian suatu sengketa, dan apabila ada pihak-pihak lain yang merasa dirugikan dapat mengajukannya kepada mahkamah dalam pengajuan yang berbeda.

b. Nicaragua mengajukan masalah ini berdasarkan alasan ancaman terhadap kedamaian (threat to peace), yang sebenarnya merupakan wewenang Dewan Keamanan PBB;

Pendapat Mahkamah : Sebagai salah satu organ PBB, Mahkamah tetap memiliki wewenang untuk menangani kasus ini, karena berkaitan erat dengan penerapan pasal 51 Piagam PBB tentang prinsip pembelaan diri (self-defence). Dewan Keamanan tidak boleh menghalangi diajukannya suatu permasalahan kepada ICJ, bahkan Mahkamah menambahkan, karena Dewan Keamanan dan ICJ memiliki fungsinya masing-masing, sebagai badan politik dan badan yudisial dari PBB.

c. Bahwa organ yudisial seperti ICJ tidak dapat menjalankan fungsinya untuk menangani suatu situasi yang berhubungan dengan konflik bersenjata yang sedang berlangsung;

Pendapat Mahkamah : Yang diperlukan dalam suatu proses peradilan di ICJ adalah untuk mendukung dan menetapkan tentang suatu keadaan yang diajukan oleh para pihak berdasarkan bukti-bukti yang relevan.

d. Pengajuan yang dilakukan oleh Nicaragua merupakan sebuah bentuk tindakan non-exhaustion, karena pada dasarnya Nicaragua merupakan salah satu pihak dari proses Contadora yang meliputi negara-negara di Amerika Tengah dalam proses penyelesaian sengketa.

Pendapat Mahkamah : Adanya proses seperti Contadora sekalipun tidak menghalangi Mahkamah untuk menjalankan yurisdiksinya untuk menyelesaikan suatu sengketa. Dengan demikian, Mahkamah pun menyimpulkan bahwa Aplikasi/ pengajuan yang telah diberikan oleh Nicaragua kepada mahkamah dapat diterima (admissible).

III. PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL--- Jurisdiction and Admissibility ---1. Berdasarkan 11 banding 5 suara, ICJ memutuskan bahwa pengajuan Nicaragua berdasarkan pasal 36 (2) & (5) Statuta ICJ diterima.

2. Berdasarkan 14 banding 2 suara, ICJ menerima pengajuan Nicaragua berdasarkan Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation 1956.

3. Berdasarkan 15 banding 1 suara, ICJ menyatakan memiliki yurisdiksi untuk menangani kasus ini

4. Berdasarkan suara mutlak, ICJ menyatakan pengajuan (application) Nicagarua dapat diterima (admissible)

--- Mengenai Pokok Permasalahan ---1. Mahkamah menolak pembenaran AS terhadap segala tindakannya di Nikaragua sebagai upaya pertahanan diri (self-defence);

2. Mahkamah menyatakan bahwa AS telah mengintervensi kepentingan dalam negeri Nikaragua dengan memberikan bantuan pada pasukan Contras;

3. Mahkamah menyatakan bahwa AS telah melanggar prinsip non-use of force (larangan penggunaan kekerasan) yang merupakan sebuah hukum kebiasaan internasional karena serangan-serangan di beberapa daerah seperti Puerto Sandino, Corinto, San Juan del Sur, dan sebagainya.

4. Mahkamah berpendapat bahwa tindakan AS yang melakukan penerbangan militer melintasi wilayah Nikaragua merupakan pelanggaran terhadap prinsip persamaan kedaulatan, yang juga merupakan hukum kebiasaan internasional;

5. Mahkamah menyatakan bahwa tindakan AS menanam ranjau di perairan Nikaragua dan sekitarnya yang merupakan pelanggaran kewajibannya terhadap prinsip non-use of force, non-intervention, dan equal sovereignty;

6. Mahkamah menyatakan bahwa tindakan yang terdapat pada putusan nomor 5 di atas melanggar pasal XIX Treaty of Friendship, Commerce, and Navigation 1956.

Pertimbangan Putusan1. Untuk menemukan yurisdiksi mahkamah pada kasus ini, Nikaragua mendasarkan argumennya pada beberapa ketentuan yang terdapat pada Statuta ICJ dan juga Treaty of Friendship 1956. Berdasarkan pasal 36 (2) Satuta ICJ : Setiap negara berhak menyatakan terikat pada yurisdiksi mahkamah (compulsory jurisdiction) tanpa adanya perjanjian khusus (special agreement) dengan pihak lainnya, asalkan pihak lain tersebut juga turut menyatakan keterikatan yang sama;

2. Nikaragua tidak secara eksplisit membuat sebuah deklarasi langsung terhadap yurisdiksi mengikat ICJ, tetapi negara ini pernah menyatakan terikat pada yurisdiksi Mahkamah Permanen Internasional (PCIJ) pada tanggal 24 September 1929 berdasarkan pasal 36 Statuta PCIJ. Pasal 36 (5) Statuta ICJ menyatakan bahwa Setiap deklarasi yang dibuat berdasarkan Pasal 36 PCIJ Statute tetap berlaku untuk menjalankan yurisdiksi mengikat ICJ;

3. Tetapi, AS menentang bahwa deklarasi yang dibuat oleh Nicaragua itu sudah tidak lagi berlaku berdasarkan interpretasi terhadap pasal 36(5) ICJ Statute. Karena menurut AS, Nicaragua tidak meratifikasi Statuta PCIJ, dan dengan demikian Nicaragua bukanlah pihak daripada Statuta PCIJ. Menanggapi pernyataan AS ini, Mahkamah menyatakan bahwa : Status mengikat deklarasi Nicagarua tahun 1929 itu tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak manapun. Mahkamah pun melanjutkan bahwa dengan diratifikasinya Statuta ICJ oleh Nicaragua, secara tidak langsung Nicaragua telah memastikan peralihan secara efektif dari fungsi PCIJ ke ICJ. Dengan begitu Nicaragua pun memiliki yurisdiksi ICJ;

4. Diluar itu, apabila melihat tindakan para pihak dalam menyikapi status deklarasi Nicaragua dari sejak era PCIJ hingga ICJ, posisi Nicaragua juga diuntungkan. Nicaragua telah menjalankan compulsory jurisdiction dari Mahkamah Internasional selama 38 tahun dengan tanpa adanya protes dari negara manapun, termasuk AS. Mahkamah pun menambahkan prinsip estoppel yang dalam kasus ini terjadi pada Amerika juga turut menguatkan posisi Nicaragua dalam penentuan yurisdiksi;

5. Pembahasan yurisdiksi dilihat dari posisi AS pada kasus ini dapat dilihat berdasarkan deklarasi yang dibuat oleh AS pada tanggal 14 Agustus 1946, di mana AS menyatakan terikat pada yurisdiksi mahkamah berdasarkan pasal 36 (2) Statuta ICJ. Tetapi deklarasi tersebut diikuti dengan sebuah pensyaratan/ reservasi dari AS yang menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa mengenai perjanjian multilateral, kecuali (1) apabila pihak yang terimbas dari keputusan mahkamah merupakan pihak yang turut bersengketa di Mahkamah, dan (2) apabila AS sendiri yang membuat persetujuan khusus terhadap yurisdiksi mahkamah. Tetapi, pada akhirnya mahkamah pun tetap menyatakan bahwa Deklarasi ini tidak menghilangkan yurisdiksi mahkamah untuk menangani kasus ini, karena pada dasarnya walaupun ICJ tak berwenang mengadili berdasarkan perjanjian internasional, ICJ dapat mengadili berdasarkan hukum kebiasaan internasional.

Anglo norwegianYang penting dalam Anglo Norwegia Fisheries case ini adalah bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik (yaitu menurut garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah ineternasional. Jadi, yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base line (garis pangkal) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu kepulauan.