bahan endemik p1 anet

17
1. Jelaskan mengenai tuberculosis! Berdasarkan poin-poin di bawah ini: (KAPITA SELEKTA) a. Tatalaksana (9, 7) b. Prognosis (2, 9) 3. Jelaskan mengenai tuberculosis ekstra paru! Berdasarkan poin-poin di bawah ini: a. Gambaran klinis (9, 2) (PRINT) 4. Jelaskan mengenai HIV/AIDS pada anak! (2, 9, 8) MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata (milier), TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi TB cukup tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba, akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa HIV. Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat (milier dan meningitis) Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :

Upload: anatrialarissa

Post on 30-Jan-2016

241 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

fdmskldkspfiedwwopioddskckdnjjdk

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan Endemik p1 Anet

1. Jelaskan mengenai tuberculosis! Berdasarkan poin-poin di bawah ini: (KAPITA SELEKTA)a. Tatalaksana (9, 7)b. Prognosis (2, 9)

3. Jelaskan mengenai tuberculosis ekstra paru! Berdasarkan poin-poin di bawah ini: a. Gambaran klinis (9, 2) (PRINT)

4. Jelaskan mengenai HIV/AIDS pada anak! (2, 9, 8)MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK

Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata (milier), TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi TB cukup tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba, akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa HIV.

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat (milier dan meningitis)

Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :

1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak mempunyai kemiripan gejala.

2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah terinfeksi TB.

3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.

Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal, yaitu : 1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2) uji tuberkulin positif (>5 mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya Gibbus) dan 4 ) gambaran sugestif TB pada foto toraks 5) Respons terhadap OAT.

Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 th 2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK ( Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan)

World Health Organization merekomendasikan dilakukan pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada penderita, terutama:

Page 2: Bahan Endemik p1 Anet

a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang (≥3 episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush), parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas, demam yang menetap dan/atau berulang, disfungsi neurologis, herpes zoster (shingles), dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease).

b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitis media kronik, diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.

c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu: PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esofagus, LIP (lymphoid interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.

Skema permintaan HIV ini dinamakan Provider Initiated Testing and Counseling /PITC atau Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan/ KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku. Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin pada pasien HIV diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan positif. Tuberkulosis paru pada bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak memberikan respons terhadap antibiotik standar. TB paru sulit dibedakan dengan LIP yang sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia >2 tahun. Gejala khas LIP antara

lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar parotis, dan jari tabuh. Pengobatan TB HIV pada Anak

Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah INH, Rifampisin, PZA dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan pemberian INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan.

Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB termasuk cotrimoxazole preventive therapy (CPT), antiretroviral therapy (ART) dan suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mg/hari serta pemberian nutrisi. Kategori diagnostik TB pada penderita HIV Fase awal Fase lanjutan TB ringan, TB paru BTA negatif, Limfadenitis TB

2RHZE RH (4-7 bulan)

TB tulang 2RHZE RH (10 bulan) TB milier, TB meningitis 2RHZES RH (10 bulan)

Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi

Page 3: Bahan Endemik p1 Anet

dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat.

Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapatkan pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas. Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim reverse transkriptase nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI) dan pengambat enzim protease (protease inhibitors: PI).

Rifampisin menurunkan konsentrasi PI hingga 80% atau lebih, dan NNRTI hingga 20—60%.

Rekomendasi ART dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin adalah efavirenz (suatu NNRTI) ditambah 2 obat penghambat reverse transcriptase nukleosida (nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI), atau ritonavir (dosis yang dinaikkan) ditambah dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi ini sering mengalami revisi sehingga harus disesuaikan dengan informasi terbaru menurut CDC.

Reaksi simpang (adverse events) yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral, sehingga dokter sulit membedakan ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi. Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI (didanosine, zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan.

Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2-8 minggu

Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan hal-hal berikut:

• apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral, • apakah pemberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT

dimulai, atau • apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian antiretroviral

dimulai. Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB ketika sedang mendapatkan pengobatan

antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral yang digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa rifampisin.

Pemberian steroid untuk TB berat pada anak dengan HIV disesuaikan dengan keadaan imunosupresi penderita. Pemberian ART Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi

HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome) dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.

Page 4: Bahan Endemik p1 Anet

Pemilihan ARV dan pemantauan pengobatannya mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) Beberapa IO (Infeksi Oportunistik) pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dapat

dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.

Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik. Pemberian PPK mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIVKemenkes, 2013, Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB HIV

6. Jelaskan mengenai bronkiektasis! Berdasarkan poin-poin di bawah ini:a. Diagnosis (9, 2)

DiagnosisPenegakan diagnosis bronkiektasis dapat ditempuh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang (terutama bronkografi dan CT scan paru).1

Gejala bronkiektasis termasuk batuk kronis dengan produksi berlebihan sputum purulen,hemoptisis, dan nyeri dada pleuritik. Dispnea dan mengi terjadi pada 75% pasien. Penurunan berat badan, anemia, dan manifestasi sistemik lainnya yang umum. Temuan fisik tidak spesifik, tetapi ronki yang persisten di dasar paru umum ditemukan. Clubbing jarang terjadidalam kasus-kasus ringan tetapi umum pada penyakit yang berat. Sputum purulen, banyak,dan berbau busuk merupakan karakteristiknya. Disfungsi paru obstruktif dengan hipoksemiaterlihat pada penyakit yang sedang atau berat.3

Selain itu juga sering timbul demam berulang.1

Kelainan radiografi meliputi dilatasi dan penebalan bronkus yang mungkin muncul sebagai "rel listrik" atau seperti cincin. Atau menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb appearance). Opasitas tersebar tidak teratur,atelektasis, dan konsolidasi fokal dapat ditemui.1,3

Diagnosis banding bronkiektasis yaitu bronkitis kronik, tuberkulosis paru, abses paru, penyakit paru penyebab hemoptisis (misalnya karsinoma paru dan adenoma paru), dan fistula bronkopleural dengan empiema.1

1.       Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Bronkiektasis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al; editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.3.       Anonymous. Pulmonary Disorders. In: McPhee SJ, Papadakis MA; editors. CurrentMedical Diagnosis & Treatment. New York: McGraw-Hill; 2010.

Page 5: Bahan Endemik p1 Anet

8. Apa penyebab terjadinya keringat pada malam hari? (2, 9)Keringat malam adalah suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada malam hari

yang diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang berlebihan. Suhu tubuh normal manusia memiliki irama sirkadian di mana paling rendah pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1°C dan meningkat menjadi 37.4 °C atau lebih tinggi pada sore hari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant, 1991, Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/ keringat malam mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu tubuh terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten pada setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberkulosis menyebabkan demam pada malam hari.

Ada pendapat keringat malam pada pasien tuberkulosis aktif terjadi sebagai respon salah satu molekul sinyal peptida yaitu tumour necrosis factor alpha (TNF-α) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun di mana mereka bereaksi terhadap bakteri infeksius (M.tuberculosis). Monosit yang merupakan sumber TNF-α akan meninggalkan aliran darah menuju kumpulan kuman M.tuberculosis dan menjadi makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF-α yang dikeluarkan secara berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam, nekrosis, dan penurunan berat badan di mana semua ini merupakan karakteristik dari tuberkulosis (Tramontana et al, 1995). Demam timbul sebagai akibat respon sinyal kimia yang bersirkulasi yang menyebabkan hipotalamus mengatur ulang suhu tubuh ke temperatur yang lebih tinggi untuk sesaat. Selanjutnya suhu tubuh akan kembali normal dan panas yang berlebihan akan dikeluarkan melalui keringat. Untuk lebih jelasnya berikut adalah fase demam. Pertama yaitu fase inisiasi di mana vasokonstriksi kutaneus akan menyebabkan retensi panas dan menggigil untuk menghasilkan panas tambahan. Ketika set point baru tercapai maka menggigil akan berhenti. Dengan menurunnya set point menjadi normal, vasodilatasi kutaneus menyebabkan hilangnya panas ke lingkungan dalam bentuk berkeringat (Young, 1988; Boulant, 1991, Dinarello and Bunn, 1997;

12. Jelaskan mengenai pemeriksaan penunjang pada kasus dan interpretasinya! (6, 4, 9) KAPITA SELEKTA

14. Jelaskan mengenai demam pada anak! (penyebab demam berulang, penyakit apa saja yang mungkin pada usia tersebut dengan disertai gejala demam berulang) (8, 6, 9)

Infeksi berulang pada anak adalah infeksi yang sering dialami oleh seorang anak khususnya infeksi saluran napas akut. Kondisi ini diakibatkan karena rendahnya kerentanan seseorang  terhadap terhadap terkenanya infeksi. Biasanya infeksi berulang ini dialami berbeda dalam kekerapan kekambuhan, berat ringan gejala, jenis penyakit yang timbul dan komplikasi yang diakibatkan. Gangguan ini sering terjadi pada penderita alergi dan pada penderita defisiensi imun, meskipun kasus yang terakhir tersebut relatif  jarang terjadi.Penderita infeksi berulang pada anak sering mengalami komplikasi tonsillitis kronis, otitis media, gagal tumbuh, overtreatment antibiotika, overtreatment tonsilektomi, overdiagnosis tuberkulosis. Gangguan perilaku sering menyertai penderita gangguan ini diantaranya adalah gangguan tidur, gangguan emosi, gangguan konsentrasi dan gangguan belajar. Problem sosial yang dihadapi adalah terjadi peningkatan biaya berobat yang sangat besar dan  mengganggu

Page 6: Bahan Endemik p1 Anet

absensi sekolah. Gangguan ini lebih sering terjadi pada usia anak, sehingga sangat mengganggu tumbuh dan berkembangnya anak.PENGERTIAN INFEKSI BERULANGTampaknya hingga saat ini belum ada definisi baku yang tepat dalam menjelaskan kriteria infeksi berulang pada anak. Dikatakan infeksi berulang pada anak bila infeksi sering dialami oleh seorang anak. Kondisi ini diakibatkan karena rendahnya kerentanan seseorang  terhadap terhadap terkenanya infeksi. Pada infeksi berulang ini terjadi yang berbeda dengan anak yang normal dalam hal kekerapan penyakit, berat ringan gejala, jenis penyakit yang timbul dan komplikasi yang diakibatkan.Kekerapan penyakit adalah frekuensi terjadinya penyakit dalam periode tertentu. Pada infeksi berulang terjadi bila terjadi infeksi lebih dari 8 kali dalam setahun atau bila terjadi infeksi 1-2 kali tiap bulan selama 6 bulan berturut-turut. Penelitian yang telah dilakukan Cleveland Clinic Amerika Serikat, bahwa pada anak normal usia < 1 tahun rata-rata mengalami infeksi 6 kali pertahun, usia 1-5 tahun mengalami 7-8 kali pertahun, anak usia 5-12 tahun mengalami 5-7 kali pertahun dan anak usia 13-16 tahun mengalami 4-5 kali pertahun.Pada infeksi berulang biasanya didapatkan kerentanan dalam timbulnya gejala klinis suatu penyakit, khususnya demam. Bila terjadi demam sering sangat tinggi atau lebih  39oC. Dengan penyakit yang sama anak lain mungkin hanya mengalami demam sekitar 38- 38,5oC. Biasanya penderita lebih beresiko mengalami pnemoni, mastoiditis, spesis, ensefalitis dan meningitis.MEKANISME PERTAHANAN TUBUHSistem kekebalan tubuh manusia diantaranya adalah kekebalan tubuh tidak spesifik. Disebut tidak spesifik karena sistem kekebalan tubuh ini ditujukan untuk menangkal masuknya segala macam zat  dari luar yang asing bagi tubuh dan dapat menimbulkan penyakit, seperti berbagai macam bakteri, virus, parasit atau zat-zat berbahaya bagi tubuh. Sistem kekebalan yang tidak spesifik berupa pertahanan fisik, kimiawi, mekanik dan fagositosis.  Pertahanan fisik berupa kulit dan  selaput lender sedangkan  kimiawi berupa ensim dan keasaman lambung.  Pertahan mekanik adalah gerakan usus, rambut getar dan  selaput lender. Pertahanan  fagositosis adalah penelanan kuman/zat asing oleh sel darah putih dan zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat asing. Kerusakan pada sistem pertahanan ini akan memudahkan masuknya kuman atau zat asing ke dalam tubuh. Misalnya, kulit luka, gangguan keasaman lambung, gangguan gerakan usus atau proses penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih (sel leukosit).Salah satu contoh kekebalan alami adalah mekanisme pemusnahan bakteri atau mikroorganisme lain yang mungkin terbawa masuk saat kita makan. HCl yang ada pada lambung akan mengganggu kerja enzim-enzim penting dalam mikroorganisme. Lisozim merupakan enzim yang sanggup mencerna dinding sel bakteri sehingga bakteri akan kehilangan kemampuannya menimbulkan penyakit dalam tubuh kita. Hilangnya dinding sel ini menyebabkan sel bekteri akan mati. Selain itu juga terdapat senyawa kimia yang dinamakan interferon yang dihasilkan oleh sel sebagai respon adanya serangan virus yang masuk tubuh. Interferon bekerja menghancurkan virus dengan menghambat perbanyakan virus dalam sel tubuh.

Page 7: Bahan Endemik p1 Anet

FAKTOR PENYEBABTerdapat empat penyebab utama dari infeksi berulang pada anak, diantaranya adalah paparan dengan lingkungan, struktur dan anatomi organ tubuh, masalah sistem kekebalan tubuh (mekanisme system imun yang berlebihan (penderita alergi) atau kekurangan)   atau penyakit infeksi yang tidak pernah diobati dengan tuntas. Faktor genetik diduga ikut berperanan dalam gangguan ini. Pada genetik tertentu didapatkan perbedaan pada kerentanan terhadap infeksi. Anak laki-laki lebih sering mengalami gangguan ini.Faktor lingkungan seperti kontak dengan sumber infeksi sangat berpengaruh. Kelompok anak yang mengikuti sekolah prasekolah lebih sering mengalami infeksi 1,5-3 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah. Perokok pasif kemungkinan dua kali lipat untuk terkena infeksi. Jumlah anggota keluarga dirumah meningkatkan terjadinya infeksi. Keluarga dengan jumlah 3 orang hanya didapatkan 4 kali infeksi pertahun sedangkan jumlah keluarga lebih dari 8 didapatkan lebih 8 kali infeksi pertahun.SERING DIALAMI PENDERITA ALERGIInfeksi berulang sering dialami penderita gangguan mekanisme sistem kekebalan tubuh berupa ”overactive” system kekebalan (alergi) dan “underactive” sistem kekebalan (defisiensi imun). Adanya gangguan tersebut mengakibatkan adanya gangguan sistem imun yang berfungsi menghancurkan jamur, virus dan bakteri.Penderita alergi terus meningkat tajam dalam beberapa tahun terahkir ini. Alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita tanpa terkecuali. Berdasarkan mekanisme pertahan tubuh yang dijelaskan sebelumnya tampaknya gangguan saluran cerna dan asma sering mengganggu mekanisme pertahanan tubuh. Alergi makanan tampaknya ikut berperanan penting dalam dalam gangguan ini.Alergi dapat mengganggu semua organ tubuh dan perilaku anak. Tampilan klinis penderita alergi dengan gangguan saluran cerna adalah sering muntah, sariawan, mudah diare, buang air besar sulit, berbau dan berwarna gelap, nyeri perut berulang, mulut berbau, lidah sering putih, berpulau-pulau atau kotor. Gangguan saluran cerna ini kadang diikuti gagal tumbuh atau gangguan kenaikkan berat badan. Gejala lain yang menyertai adalah sering batuk, pilek, asma, gangguan kulit, mimisan.Gangguan perilaku yang menyertai adalah anak sangat aktif, emosi tinggi, gangguan konsentrasi, agresif, gangguan tidur malam, ”ngompol” malam hari atu sering kencing. Gangguan motorik dan koordinasi yang dialami adalah terlambat bolak-balik, duduk dan merangkak, sering terjatuh, terlambat berjalan dan keterlambatan motorik lainnya. Sedangkan keterlambatan motorik mulut  adalah gangguan mengunyah dan menelan, atau keterlambatan dan gangguan bicara.Pemberian ASI ekslusif seharusnya tidak mengalami infeksi pada bayi usia di bawah 6 bulan. Tetapi ternyata masih saja terdapat bayi dengan ASI ekslusif yang mengalami infeksi berulang. Penulis telah mengadakan penelitian terhadap 32 anak dengan ASI ekslusif yang mengalami infeksi berulang saat usia di bawah 6 bulan di Children Allergy Center,, Rumah Sakit Bunda Jakarta. Ternyata sebagian besar penderita mengalami gejala alergi dengan gangguan saluran cerna diantaranya, sering muntah, buang air besar yang sering > 4 kali perhari dan konstipasi atau sulit buang air besar.Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat

Page 8: Bahan Endemik p1 Anet

pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan  eliminasi dan provokasi. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis  dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Allergy Behaviour Clinic Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.Gangguan defisiensi sistem kekebalan juga sering mengalami infeksi berulang, tetapi kasus ini sangat jarang terjadi.  Diantaranya adalah adanya gangguan beberapa tipe defisiensi sistem imun berupa defisiensi myeloperoxidase, Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID), Cystic fibrosis, defisiensi Ig A selektif, defisiensi komplemen C4b dan kelainan autoimun lainnya.KOMPLIKASIAkibat sering sakit seringkali menimbulkan berbagai komplikasi di antaranya adalah Menderita nyeri telinga saat batuk atau pilek, infeksi telinga, atau Otitis media Akut

(bahasa awam penyakit congek telinga) Mengalami pembesaran amandel atau tonsilitis akut atau kronis Dapat terjadi sinusitis Mengalami pembesaran kelenjar di sekitar leher dan kepala bagiamn belakang Mangalami gangguan kenaikkan berat badan anak tampak kurus dan berat badan sulit

naik Mengalami infeksi berat seperti pnemonis, infeksio otak, meningitis dan sebagainya Sering mengalami overdiagnosis TBC padahal tidak mengalami infeksi tersebut Sering mendapatkan overtreatment atau pemberian antibiotika yang berlebihan,

padahala sebagian besar infeksi yang terjadi adalah infeksi virus yang seharusnya tanpa pemberian antibiotika sembuh sendiri

PENCEGAHAN            Untuk mencegah terjadinya infeksi berulang kita harus mengidentifikasi penyebab dan faktor resiko. Bila pada anak kita mengalami gejala alergi mungkin penyebab utamanya adalah faktor alergi. Penanganan alergi yang terpenting adalah penghindaran penyebab alergi khususnya penghindaran makanan tertentu harus dilakukan. Pemberian ASI ekslusif harus memperhatikan pola makan ibu saat pemberian ASI.            Faktor resiko infeksi berulang adalah faktor lingkungan. Lingkungan yang harus diwaspadai adalah kontak terhadap paparan infeksi seperti anggota keluarga yang banyak, anggota keluarga yang juga mengalami infeksi berulang, perokok pasif, kolam renang, bepergian ke tempat umum yang padat pengunjung, sekolah terlalu dini dan  penitipan anak saat ibu bekerja.            Pemberian imunisasi terutama influenza dan imunomudulator tertentu mungkin membantu mengurangi resiko ini. Tetapi pemberian vitamin dengan kandungan bahan dan rasa seperti ikan laut, aroma jeruk atau coklat  mungkin akan memperparah  masalah yang sudah ada. Pemberian imunisasi dan imunomudulator seringkali tidak banyak bermanfaat bila

Page 9: Bahan Endemik p1 Anet

faktor penyebab utama alergi tidak diperbaiki. Karena, banyak kasus meskipun sudah melakukan imunsasi influenza dan minum vitamin rutin tetapi tetap saja sering sakit.Pemberian antibiotika pada infeksi berulang tampaknya tidak harus diberikan karena penyebab yang paling sering adalah karena infeksi virus. Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter  yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri  Sedangkan pemberian antibiotika mungkin diperlukan pada penderita infeksi berulang dengan gangguan defisiensi imun primer, dan kasus ini sangat jarang terjadi.DAFTAR PUSTAKA Wald ER, Guerra N, Byers C. Frequency and severity of infections in day care: three-year

follow-up. J Pediatr 1991;118(4 (Pt 1)):509-14 Nafstad P, Hagen JA, Pie L, Magnus P, Jaakkola JJK. Day care centers and respiratory health.

Pediatrics 1999;103:753-8 Heikkinen T, Ruuskanen O, Ziegler T, Waris M, Puhakka H. Short-term use of amoxicillin

clavulanate during upper respiratory tract infection for prevention of acute otitis media. J Pediatr 1995;126:313-6

Uhari M, Kontiokari T, Koskela M, Niemelä M. Xylitol chewing gum in prevention of acute otitis media: double blind randomised trial. BMJ 1996;313:1180–4

American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases. Recommendations for Influenza Immunization of Children. Pediatrics 2004;113(5):1441-7

Straetemans M, Sanders EAM, Veenhoven RH, Schilder AGM, Damoiseaux RAMJ, Zielhuis GA. Pneumococcal vaccines for preventing otitis media. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(1):CD001480

Palmu AA, Verho J, Jokinen J, Karma P, Kilpi TM. The seven-valent pneumococcal conjugate vaccine reduces tympanostomy tube placement in children. Ped Inf Dis J 2004;23(8):732-8. In: The Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL) 2005, Issue 1.

Fahey T, Stocks N, Thomas T. Systematic review of the treatment of upper respiratory tract infection. Archives of Diseases in Childhood 1998;79:225–230

Judarwanto W. Recurrent Infection in Infant under 6 months old with breastfeeding. Morris P. Antibiotics for persistent nasal discharge (rhinosinusitis) in children. Cochrane

Database Syst Rev. 2002;(3):CD001094 Yang KD, Hill HR. Neutrophil function disorders: pathophysiology, prevention, and therapy.

J Pediatr 1991;119:343-54. Wheeler JG, Steiner D. Evaluation of humoral responsiveness in children. Pediatr Infect Dis J

1992;11:304-10. Fielding JE, Phenow KJ. Health effects of involuntary smoking. N Engl J Med

1988;319:1452-60. Martinez FD, Wright AL, Taussig LM, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ. Asthma and

wheezing in the first six years of life. The Group Health Medical Associates. N Engl J Med 1995;332:133-8.

Page 10: Bahan Endemik p1 Anet

Boyce WT, Chesterman EA, Martin N, Folkman S, Cohen F, Wara D. Immunologic changes occurring at kindergarten entry predict respiratory illnesses after the Loma Prieta earthquake. J Dev Behav Pediatr 1993;14:296-303.

Conley ME, Stiehm ER. Immunodeficiency disorders: general considerations. In: Stiehm ER, ed. Immunologic disorders in infants and children. 4th ed. Philadelphia: Saunders, 1996:201-52.

Moss RB, Carmack MA, Esrig S. Deficiency of IgG4 in children: association of isolated IgG4 deficiency with recurrent respiratory tract infection. J Pediatr 1992;120:16-21

Pemeriksaan Fisik Pada Pasien TB Anak

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata

atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan

menurun.

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada

kasus – kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang

penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena

hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi

dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan

pneumonia biasa.

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai

adanya infiltrasi yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara

nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar dan

nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi

vesikular melemah. Bila erdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara

hipersonor atau timpani.

Perbedaan Gejala Tb Anak dan Dewasa

Perbedaan TB anak dengan TB dewasa, yaitu : 1). TB anak lokasinya pada setiap bagian

paru, sedangkan dewasa di daerah apeks dan infra kavikuler, 2). Terjadi pembesaran kelenjar

regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar limfe regional, 3). Penyembuhan

TB anak dengan perkapuran sedangkan dewasa dengan fibrosis, serta 4). Lebih banyak

penyebaran hematogen, pada dewasa jarang (Karatasasmita, 2009).

Karatasasmita CB. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri. 11 (2). 2009.