fareks_laporan resmi p1

Upload: bani-adlina-shabrina

Post on 19-Jul-2015

421 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORPSI OBAT

Disusun oleh : 1. Bani Adlina Shabrina 2. Jellsy Da Vallerian 3. Satyarukmi Wening P. (FA/08696) (FA/08693) (FA/08699)

4. Muhammad Syafii N. (FA/08690) Kelas/Golongan/Kel. : A/ I/ 3 Tanggal Praktikum Dosen jaga Asisten Jaga : 12 Maret 2012 : : Bisma dan 0vik

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012

PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORPSI OBAT

I. TUJUAN Mengenal, mempraktikkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.

II. DASAR TEORI Obat ialah suatu zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit serta mengobati atau mencegah penyakit baik pada manusia maupun hewan. Obat dapat diartikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui reaksi kimia. Obat dapat berasal dari hewan, mineral, tanaman, bahan yang disintesis dalam tubuh (misalnya hormon), atau bahan-bahan kimia sintetik yang tidak dapat dibuat di dalam tubuh bisa menimbulkan efek terpeutik yang t yaitu xenobiotik (xenos = orang asingbahasa Yunani) (Katzung, 2001). Obat dapat dikatakan berkhasiat bila obat tersebut dapat menimbulkan efek, baik efek psikologis, fisiologis maupun biokimiawi. Efek adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat. Untuk menghasilkan efek terapi,obat harus mencapai tempat aksinya dalam kadar yang cukup untuk menimbulkan respon. Farmakologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang interaksi obat dengan organisme hidup.. Obat yang diberikan pada pasien akan banyak mengalami proses sebelum tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau fase yaitu: a. Fase farmasetik atau biofarmasetik Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam cairan tubuh. Fase farmasetik ini meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi bentuk sediaan, hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat yang ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk absorsi kedalam tubuh (ketersediaan farmasetik). Fase farmakodinamik Secara singkat, farmakodinamik dapat diartikan sebagai pengaruh obat terhadap sel hidup. Fase ini berperan dalam menetukan seberapa besar efek obat dalam tubuh. Bila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor biasanya protein membrane akan menimbulkan respon biologik. Tujuan pokok dari fase ini adalah optimasi dari efek

b.

biologik (Anief, 2002). Dari bentuk kerja obat yang digambarkan, jelas bahwa ini tidak hanya bergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga tergantung pada: jenis dan tempat pemberian keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi distribusi dalam organisme ikatan dan lokalisasi dalam jaringan biotransformasi keterekskresian dan kecepatan ekskresi c. Fase farmakokinetika Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari tentang absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat atau dapat diartikan sebagai pengaruh tubuh terhadap obat. Fase ini termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi. Invasi adalah prosesproses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat dalam organisme,sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme. Fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus diabsorpsi ke dalam darah yang akan segera didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam tubuh. Dalam darah obat dapat mengikat protein darah dan mengalami metabolisme, terutama dalam melintasi hati (hepar). Dalam fase farmakokinetik, obat mengalami proses ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi) : 1. Absorpsi Absorpsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke sirkulasi darah yang selanjutnya mencapai target aksi obat. Secara klinik yang paling penting adalah bioavailabilitas yang menyatakan jumlah obat dalam persen yang mencapai sirkulasi sistemik dalm bentuk utuh atau aktif Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Sifat fisika kimia obat Bentuk sediaan obat Dosis obat Rute dan cara pemberian Waktu kontak dengan permukaan absorpsi Nilai pH cairan pada tempat absorpsi Integritas membran Aliran darah pada tempat absorpsi Jumlah obat yang diabsorpsi dipengaruhi oleh: a. Luas permukaan absorpsi

Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi makin banyak dan semakin cepat proses absorpsi berlangsung, begitu pula sebaliknya. b. Banyaknya membran barrier yang dilewati Semakin banyak membran barrier yang dilewati, semakin sedikit obat yang diabsorpsi, begitu pula sebaliknya. Banyaknya obat yang terdegradasi Semakin banyak obat yang terdegradasi, semakin sedikit obat yang diabsorpsi (bioavailabilitas berkurang) dan sebaliknya. Jumlah ikatan dengan depot Obat yang diabsorpsi oleh tubuh adalah obat yang berada dalam keadaan bebas dan bukan yang terikat dengan molekul tidak aktif (protein). Oleh karena itu, semakin banyak jumlah ikatan dengan depot, semakin sedikit obat yang terabsorpsi (ketersediaan hayati berkurang) begitu juga sebaliknya. Efek dikatakan cukup apabila kadar obat yang diabsorpsi tidak melewati batas KTM ( Kadar Toksik Minimum). Namun masih berada diatas batas KEM (Kadar Efek Minimum).

c.

d.

Kadar obat dalam darah

KTM

JENDELA TERAPEUTIK

KEM Waktu

2.

Distribusi Merupakan transfer obat antar jaringan dan plasma. Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, obat akan melewati membran sel untuk mencapai tempat aksi. Kebanyakan obat-obatan didistribusikan melalui cairan badan. Distribusi obat dibedakan menjadi dua fase berdasarkan penyebarannya didalam tubuh.

Fase pertama : terjadi segera setelah penyerapan, yaitu kedalam organ yang perfusinya baik, misalnya jantung, hati ginjal dan otak. Fase kedua : terjadi lebih luas, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik jaringan diatas, yang meliputi otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah: - Perfusi darah melalui jaringan - Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul - Partisi ke dalam lemak - Transpor aktif - Sawar darah - Ikatan obat dengan protein plasma 3. Metabolisme dan Ekskresi (Eliminasi) Obat harus melalui proses metabolisme dahulu agar dapat dikeluarkan dari badan. Dimana pada saat inilah badan berusaha merubahnya menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar mudah dikeluarkan melalui sistem ekskresi,missal lewat anus,paru,kulit,dan ginjal. Cara pemberian obat dapat dibagi menjadi dua, yaitu intravaskuler dan ekstravaskuler: Intravaskuler adalah cara pemberian obat yang ditujukan untuk kerja sistemik melalui pembuluh darah. Jadi, saat obat yang masuk dalam tubuh, akan langsung masuk kedalam pembuluh darah. Intravaskuler meliputi intraarterial, intrakardial, intralumblar, intravena dan intrapektal. Ekstravaskular merupakan cara pemberian obat tanpa melalui pembuluh darah, digunakan dalam bentuk yang dapat diabsorbsi terlebih dahulu, baru kemudian masuk kepembuluh darah sehingga dibutuhkan waktu tertentu agar obat dapat menghasilkan efek. Ekstravaskuler meliputi intramuscular, intraperitoneal, epikutan, subkutan, peroral, topikal dan inhalasi. Macam cara pemberian obat, antara lain : 1. Enteral a. Per oral Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailibilitasnya. Bioavailibilitas adalah persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapetiknya. Selain itu, kerugian yang ditimbulkan adalah dapat mengiritasi saluran cerna, memerlikan kooperasi dari penderita (tidak dapat dilakukan bila pasien koma, untuk timbulnya efek dibutuhkan waktu yang lama, obat mengalami first pass metabolism dan kadar obat dalam darah sulit diprediksi. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu absorpsi mudah

terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung (Gan, 1987). Absorpsi obat secara oral dipengaruhi oleh: - tetapan ionisasi - kecepatan aliran darah - bentuk sediaan - integritas fungsional cerna - pengaruh makanan dan obat lain - bagi bentuk padat sangat dipengaruhi oleh kecepatan disolusi dan disintegrasi obat. Sublingual Pemberian dengan sublingual adalah cara pemberian obat melalui mukosa mulut. Keuntungan cara pemberian ini adalah obat lebih cepat diabsorpsi dibandingkan dengan pemberian secara per oral. Nitrogliserin adalah obat yang sangat poten dan larut baik dalam dalam lemak maka pemberian sublingual sudah cukup untuk menimbulkan efek. Selain itu obat terhindar dari metabolisme lintas pertama (first past metabolisme) di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung menuju vena cava superior. Kerugian dari cara pemberian ini adalah tidak dapat digunakan untuk obat-obatan yang rasanya pahit dan tidak enak sehingga jenis obat yang dapat diberikan secara sublingual terbatas (Gan, 1987). Per rectal Per rectal biasanya diberikan pada penderita muntah-muntah, tidak sadar, dan bagi pasien pasca bedah. Umumnya metabolisme lintas pertamanya hanya 59%. Namun per rectal memiliki efek mengiritasi mukosa rectum, absorpsi tidak lengkap dan tidak teratur (Gan, 1987).

b.

c.

2. Pemberian secara suntikan (Parenteral) Parenteral secara garis besar memiliki keuntungan: Efek lebih cepat dan teratur Dapat diberikan pada pasien yang tidak koperatif Berguna pada keadaan darurat Adapun kerugiannya adalah: Cara asepsis, rasa nyeri Bahaya penularan hepatitis serum Sukar dilakukan sendiri, tidak ekonomis Cara suntikan bisa bermacam-macam di antaranya intravena, subcutan, intramuscular, intraperitonial.

a.

Intra vena Injeksi intravena adalah yang paling cepat dari keseluruhan rute pemberian obat. Pemberian lewat intravena tidak mengalami tahap absorpsi, maka memberikan kadar obat yang tinggi dan akan segera mencapai jantung dan paru-paru dan sistem sirkulasi (Rang, 1999). Intra muscular Cara pemberian obat secara intra muskular adalah cara pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada otot pantat dan paha (gluteus maximus), yaitu dipilih tempat yang tidak banyak pembuluh darah dan saraf sehingga relatif aman digunakan. Pada suntikan intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologis misalnya digoksin, fenitoin, diazepam, akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada gluteus maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsopsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat-obat yang terlalu iritatif untuk disuntikkan secara subkutan kadang-kadang dapat diberikan secara intramuskular (Gan, 1987). Keuntungan dari sediaan ini adalah : - Efek obat cepat - Tidak mengiritasi saluran cerna - Dapat membantu pemberian obat pada pasien yang tidak sadar, sulit menelan dan sering muntah Kerugian : - Jika terjadi efek toksik sulit diatasi - Perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat Sub cutan Disuntikkan di bawah kulit ke dalam alveola dan obatnya lambat diabsorpsi jadi intensitas efek sistemik dapat diatur (Anief, 2002). Pemberian dengan cara menginjeksikan obat ke bawah jaringan kulit pada tengkuk mencit. Cara ini termasuk cara parental (di luar saluran pencernaan pemberian obat secara subcutan dapat menghindari first pass effect di lambung dan usus. Daerah subcutan mempunyai suplai yang baik dan kapiler-kapiler dan pembuluh limpa. Keuntungan sediaan sub kutan adalah: - Absorpsinya diperpanjang dan lambat - Efek obat lebih teratur dan lebih cepat dibanding per oral - Efek tahan lama Sedangkan kerugiannya adalah : - Variabel absorpsi tergantung kecepatan aliran darah

b.

c.

d.

- Tidak boleh digunakan untuk obat-obat yang iritatif atau dicampur dengan vasokonstriktor. Intra peritonial Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati, karena dapat mengakibatkan kematian. Suntikan intraperitonial tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar (Gan, 1987). Di dalam rongga perut ini obat diabsorpsi secara cepat karena pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah sehingga absorpsinya cepat dan tidak mengalami first pass metabolism.

III. ALAT DAN BAHAN A. Alat 1. sput injeksi dan jarum ( 1-2ml ) 2. jarum berujung tumpul 3. stopwatch 4. timbangan 5. sarung tangan B. Bahan 1. Natrium pentobarbital 3,5 % 2. 4 ekor mencit (Mus muculus) 3. Alkohol 70 % IV. CARA KERJA Dibagi golongan menjadi empat kelompok

Masing-masing kelompok mendapat empat mencit

Ditimbang mencit dan diperhitungkan volume natrium pentobarbital yang akan diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB

Diberikan pentobarbital pada hewan uji dengan cara pemberian berbeda tiap kelompok

Oral

Subkutan

Intra muscular

Intra peritonial

Diamati dengan cermat, catat waktu hilangnya reflek balik badan (ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk membalikkan badan)

Dihitung onset dan durasi waktu tidur hewan uji dari masing-masing keompok

V. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN Dosis Na-pentobarbital = 35mg/kg BB Dosis pemberian = berat badan mencit (gram) x35 mg 1000 g

Volume pemberian (Vp) = PERHITUNGAN

dosis stok

A. Sub Kutan Konsentrasi larutan stok = 10 mg/ml 1. Mencit I (22,6 g) Dosis = 22,6 g x Vp=35 mg = 0,791 mg 1000 g

0,791 mg = 0,079 ml 10 mg / ml 35 mg = 0,78 mg 1000 g

2. Mencit II (22,3 g) Dosis = 22,3 g x Vp =

0,78 mg = 0,078 ml 10 mg / ml

3. Mencit III (27,5 g) 35 mg Dosis = 27,5 g x = 0,9625 mg 1000 g Vp =0,9625 mg = 0,096 ml 10 mg / ml

4. Mencit IV (24 g)

Dosis = 24 g x Vp =

35 mg = 0,89 mg 1000 g

0,89 mg = 0,089 ml 10 mg / ml

B. Per Oral Konsentrasi larutan stok = 10 mg/ml 1. Mencit I (15,9 g) 35 mg Dosis = 15,9 g x = 0,55 mg 1000 g Vp=0,55 mg = 0,055 ml 10 mg / ml 35 mg = 0,95 mg 1000 g

2. Mencit II (27,4 g) Dosis = 27,4 g x Vp =

0,95 mg = 0,095 ml 10 mg / ml

3. Mencit III (28,7 g) 35 mg Dosis = 28,7 g x = 1,004 mg 1000 g1,004 mg = 0,100 ml 10 mg / ml 4. Mencit IV (26,4 g) 35 mg Dosis = 26,4 g x = 0,92 mg 1000 g

Vp =

Vp =

0,92 mg = 0,092 ml 10 mg / ml

C. Intra Muscular Konsentrasi larutan stok = 50 mg/ml 1. Mencit I (26 g) 35 mg Dosis = 26 g x = 0,91 mg 1000 g Vp=0,91 mg = 0,018 ml 50 mg / ml

2. Mencit II (25,1 g)

Dosis = 25,1 g x Vp =

35 mg = 0,88 mg 1000 g

0,88 mg = 0,018 ml 50 mg / ml

3. Mencit III (23,8g) 35 mg Dosis = 23,8 g x = 0,83 mg 1000 g0,83 mg = 0,017 ml 50 mg / ml 4. Mencit IV (38,5 g) 35 mg Dosis = 38,5 g x = 1,35 mg 1000 g

Vp =

Vp =

1,35 mg = 0,027 ml 50 mg / ml

D. Intra Peritonial Konsentrasi larutan stok = 10 mg/ml 1. Mencit I (21,9 g) 35 mg Dosis = 21,9 x = 0,767 mg 1000 g0,767 mg = 0,077 ml 10 mg / ml 2. Mencit II (23,5 g) 35 mg Dosis = 23,5 g x = 0,823 mg 1000 g

Vp=

Vp =

0,823 mg = 0,082 ml 10 mg / ml

3. Mencit III (22,3 g) 35 mg Dosis = 22,3 g x = 0,780 mg 1000 g Vp =0,780 mg = 0,078 ml 10 mg / ml

4. Mencit IV (22 g) 35 mg Dosis = 22 g x = 0,77 mg 1000 g Vp =0,77 mg = 0,077 ml 10 mg / ml

Tabel Hasil Sub Kutan Mencit keI II III IV Bobot mencit 22,6 gram 22,3 gram 27,5 gram 24 gram Dosis (mg) 0,791 0,78 0,9625 0,89 Vp (ml) 0,079 0,078 0,096 0,089 Onset Durasi

Per Oral Mencit keI II III IV Bobot mencit 15,9 gram 27,4 gram 28,7 gram 26,4 gram Dosis (mg) 0,55 0,95 1,004 0,92 Vp (ml) 0,055 0,095 0,100 0,092 Onset Durasi

Intra Muscular Mencit keI II III IV Bobot mencit 26 gram 25,1 gram 23,8 gram 38,5 gram Dosis (mg) 0,9 0,88 0,83 1,35 Vp (ml) 0,018 0,018 0,017 0,027 Onset Durasi

261 s

133 s

Intra Peritonial

Mencit keI II III IV

Bobot mencit 21,9 gram 23,5 gram 22,3 gram 22 gram

Dosis (mg) 0,767 0,823 0,780 0,770

Vp (ml) 0,077 0,082 0,078 0,077

Onset 103 s 103 s 90 s 100 s

Durasi

III.

PEMBAHASAN Praktikum ini bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolok ukurnya. Dari percobaan yang dilakukan diharapkan dapat diketahui pengaruh cara pemberian obat terhadap daya absorbsi yang selanjutnya berpengaruh terhadap efek farmakologi obat, yakni dengan melihat onset dan durasi. Onset merupakan waktu yang diperlukan obat mulai dari proses pemberian sampai mencapai sirkulasi sistemik dan menimbulkan efek. Sedangkan durasi adalah waktu yang diperlukan saat suatu obat mulai memberikan efek sampai hilangnya efek. Obat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Natrium Pentobarbital. Berikut adalah struktur dari Natrium Pentobarbital:

Struktur Kimia Natrium Pentobarbital (Anonim, 2012) Natrium pentobarbital mempunyai nama 5-Ethyl-5-(1-methylbutyl)2,4,6(1H,3H,5H)-pyrimidinetrione. Rumus molekul natrium pentobarbital adalah C11H18N2O3. Sedangkan BM nya sebesar 226.27. (Anonim, 2012) Indikasi: Gangguan tidur Kondisi terangsang (konvulsi, mania, delirium) Menunjang penyembuhan penghentian morfin Sebagai sedatif Kontra Indikasi: Gangguan jantung, hati, ginjal Porfiria akut Keracunan alkohol, analgetik, dan psikofarmaka Efek samping: Pada dosis hipnotik jarang terjadi efek samping Pusing, sakit kepala Gangguan darah, agranulositosisBatuk bronkospasmus

Farmakokinetik Thiopental: 1. Absorbsi Bentuk nonionic obat biasanya yang diabsorbsi. Untuk itu, lingkungan asam pada obat yng bersifat asam diabsorbsi (A- +H+AH),dimana lingkungan alkalin untuk obat bersifat basa (BH+H+ + B). Obat ini digunakan untuk induksi anestesi umum pada dewasa dan anak-anak. 2. Distribusi Setelah absorbsi,obat diditribusikan oleh darah ke seluruh tubuh. Organ dengan perfusi tinggi(kel. Kaya pembuluh darah)mengambil sejumlah besar obat disbanding organ perfusi kurang(otot,lemak dank el miskin pembuluh darah). Jadi meski total masa kelompok kaya pembuluh darah kecil,tapi banyak uptake obat utama. Albumin sering mengikat obat asam (barbiturate) dimana alfa acid glikoprtein (AAG)mengikat obat-obat basa(local anestesi). Bila protein ini tidak tersedia atau bila tempat ikatan protein terisi (oleh obat lain),sejumlah obat bebas tersedia untuk jaringan meningkat. 3. Biotransformasi Biotrabsformasi adalah keadaan substansi karena proses metabolisme. Liver adalah organ utama biotransformasi. Hasil akhir biotransformasi adalah air dan produk inaktif. Diekskresi lewat ginjal. Biotransformasi barbiturate prinsipnya melibatkan oksidasi hepar menghasilkan metabolit larut air. 4. Ekskresi Ikatan protein tinggi menurunkan filtrasi glomerulus barbiturate,dimana cenderung larut dalam lemak meningkatkan reabsorbsi tubuler renal. (Arroyyana, 2011). Suatu obat sedatif yang efektif dapat mengurangi ansietas dan menimbulkan efek menenangkan dengan sedikit atau tidak ada efek pada fungsi motorik atau mental. Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk, memperlama, dan mempertahankan keadaan tidur yang sedapat mungkin menyerupai keadaan tidur yang alamiah. Dalam Kamus Kedokteran Dorland, sedatif berarti menghilangkan iritabilitas dan kegaduhan atau obat yang bekerja seperti itu, sedangkan hipnotik berarti menimbulkan tidur, juga agen yang menyebabkan hal itu. Istilah sedatif-hipnotik bisanya digunakan untuk mendeskripsikan efek bersama (joint effect) yang ditimbulkan atau medikasi yang menimbulkan efek bersama tersebut. Mekanisme kerja obat sedatif-hipnotik pada umumnya dengan meningkatkan aktivitas GABA (gamma amino butiric acid), sebuah neurotransmitter (suatu zat kimia yang diproduksi dan dilepas oleh saraf sabagai sarana untuk berkomunikasi dengan saraf yang lain) dalam otak. Peningkatan aktivitas GABA dalam otak menghasilkan rasa kantuk dan memfasilitasi tidur atau mempertahankannya (Rahadian, 2009). Hewan uji yang digunakan adalah 4 ekor mencit. Penggunaan mencit didasarkan pada analog system faal mencit dengan sistem faal manusia (Mus musculus), menurut

buku Laboratory Animals: an Introduction for New Experimental halaman 79. Berikut adalah karakteristik yang terdapat dalam mencit. Mencit Karakteristik (Mus musculus) Pubertas 35 hari Masa beranak Sepanjang tahun Bunting/hamil 19-20 hari Jumlah sekali lahir 12 Lama hidup 2-3 tahun Masa tumbuh 6 bulan Masa Laktasi 21 hari Frekuensi 4 Kelahiran/tahun Suhu tubuh 37,9-39,2o C Kecepatan respirasi 136-216/menit Tekanan darah 147/106 S/D Volume darah 7,5% BB Di samping itu harga mencit tergolong murah dibandingkan dengan harga hewan uji lainnya dan alat yang digunakan tidak perlu disterilkan terlebih dahulu melainkan cukup dibersihkan sangat bersih (waktu efisien). Untuk mendapatkan volume yang tepat untuk tiap pemberian, terlebih dahulu kita menimbang mencit yang akan digunakan. Dosis obat yang digunakan adalah 35 mg/kg BB. Kadar stock yang digunakan sebesar 10 mg/ml untuk pemberian per oral, intra peritonial, subkutan, dan intra muskular. Sebelum diberi perlakuan, masing-masing mencit ditimbang erlebih dahulu.. Maka volume pemberian natrium pentobarbital dihitung dengan rumus: Dosis = x Dosis Obat (mg/kg BB)

Volume Pemberian =

Semakin panjang rute penggunaan suatu obat, maka semakin kecil konsentrasi obat yang mencapai sel target, sehingga volume yang diberkan juga berbeda. Mencit yang sudah ditimbang diberi tanda strip (-) yang berbeda-beda pada ekornya dengan tujuan untuk mempermudah dalam pembedaan dan pengamatan cara pemberian. Mencit yang akan diberi perlakuan dalam percobaan harus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam.

Hal ini disebabkan absorbsi dihambat oleh adanya makanan dalam lambung. Oleh karenanya, lambung harus dikosongkan agar absorbsi berlangsung lebih cepat. Cara pemberian obat yang dilakukan pada percobaan kali ini adalah secara peroral (p.o). subkutan (s.c), intra peritoneal (i.p), dan intra muscular (i.m). Masing-masing cara pemberian memiliki keuntungan dan kerugian, yaitu: Cara pemberian Keuntungan Kerugian Per oral mudah diberikan dan timbulnya efek lama (onset lama) bisa dilakukan sendiri tidak sesuai bagi pasien yang oleh pasien muntah, diare, tidak sadar, dan tidak memerlukan tidak kooperatif keahlian khusus serta kurang cocok untuk obat yang tidak memerlukan rasanya tidak enak dan iritatif komplikasi yang mengalami metabolisme lintas berkaitan dengan jarum pertama sebelum benar- benar relatif aman didistribusi ke tempat aksi sehingga praktis kadar zat aktifnya berkurang tidak memerlukan absorbsi bervariasi dan kadar obat sterilitas tinggi dalam darah tidak bisa lebih ekonomis diprediksikan Sub cutan kerja obat terus absorbsi tergantung pada aliran menerus, long time darah release tidak cocok untuk obat yang kecapatan absorbsi obat mengiritasi seragam tidak boleh digunakan untuk obat berguna pada kondisi yang iritatif dan dicampur dengan darurat vasokonstriktor Intra muscular kecepatan absorbsi obat local iritasi di tempat injeksi seragam kecepatan absorbsi tergantung onset pendek kecepatan aliran darah ke otot cocok untuk obat yang perlu keahlian khusus dalam iritatif bila diberikan pemakaian obat secara sub cutan jika ada efek toksik sukar dihindari obat dilepas pelanpelan Intra peritoneal absorbsi paling cepat cara pemberiannya berbahaya dan jika dibandingkan hanya boleh dilakukan pada hewan dengan pemberian i.m, kemungkinan infeksi sangant besar s.c, dan p.o sesuai bagi pasien yang sukar menelan obat

1)

Peroral (p.o) Pemberian obat secara peroral dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan thiopental ke dalam mulut mencit dengan menggunakan jarum berujung tumpul. Jarum ditelusurkan searah tepi langit-langit, tetapi jangan sampai masuk saluran pernapasan. Jika dirasakan pada jarum terdapat denyut, berarti denyut tersebut berasal dari paru-paru dan berarti kita salah memasukkan jarum. Suntikan dilakukan bila jarum masuk sepanjang 3/4nya. Mencit dipegang dengan posisi yang tepat dan penyuntikkan obat dilakukan dengan hati-hati agar obat tidak masuk saluran pernapasan. Masuknya obat dalam saluran pernapasan juga ditandai dengan tersedaknya mencit dan keluarnya busa dari hidung. Secara teoritis pemberian peroral memiliki onset paling lama karena obat harus melewati rute yang panjang dan mengalami berbagai peristiwa sebelum mencapat tempat aksinya, yaitu sistem saraf pusat. Obat akan mengalami first pass metabolism yaitu perubahan obat dalam proses absorpsi sebelum memasuki sirkulasi sistemik. First pass effect ini dapat terjadi di lambung dan usus berupa perusakan oleh enzim-enzim pencernaan. Selain itu metabolisme obat di hati juga dapat mengubah zat aktif menjadi metabolit yang umumnya lebih tidak aktif. Data yang diperoleh adalah mencit I (bobot=15,9 g; dosis= 0,5565 mg; volume=0,05565 ml), mencit II (bobot=274 g; dosis= 0,959 mg; volume=0,0959 ml), mencit III (bobot=28,7 g; dosis= 1,0045 mg; volume=0,10045 ml), dan mencit IV (bobot=26,4 g; dosis= 0,924 mg; volume=0,0924 ml). Sedangkan data onset dan durasi tidak diperoleh karena dosis pentobarbital sebesar 35 m/ kgBB terlalu kecil. Selain itu dari hasil perhitungan, volume yang diberikan masih jauh dari volume maksimal p.o yaitu 1,0 ml. Sehingga mencit yang diberi perlakuan tidak kunjung tidur.

2)

Subkutan (s.c) Pemberian obat dengan sub cutan, diberikan dengan cara disuntukkan melalui bagian bawah kulit, yaitu pada tengkuk mencit, diantara kulit dan otot. Pemberian obat secara injeksi dapat diberikan bila pada saat jarum spuit ditusukkan terasa ada ruang kosong pada kulit mencit. Bila digambarkan, maka masing-masing cara pemberian obat dapat dilihat pada ilustrasi berikut:

epidermis Ujung saraf saraf

dermis

Folikel rambut Kelenjar keringat Lapisan subcutan

Pembuluh darah Jaringan lemak

(Yahya, Harun, 2012) Pada pemberian obat secara sub kutan, obat tidak mengalami first pass metabolism karena tidak melalui saluran pencernaan dan vena porta. Barrier yang menghambat obat memasuki sirkulasi sistemik hanya dinding pembuluh kapiler yang tersusun atas endotelium. Obat dengan karakter fisika kimia yang tepat akan mudah berdifusi melalui jaringan dan dinding pembuluh kapiler untuk kemudian masuk ke sistem sirkulasi sistemik. Oleh karena itu, onset sub kutan kurang dari intraperitonial. Data yang diperoleh adalah mencit I (bobot=22,6 g; dosis= 0,791 mg; volume=0,0791 ml), mencit II (bobot=22,3 g; dosis= 0,78 mg; volume=0,078 ml), mencit III (bobot=27,5 g; dosis= 0,9625 mg; volume=0,096255 ml), dan mencit IV (bobot=24 g; dosis= 0,84 mg; volume=0,084 ml). Sedangkan data onset dan durasi tidak diperoleh karena dosis pentobarbital sebesar 35 m/ kgBB terlalu kecil. Selain itu dari hasil perhitungan, volume yang diberikan masih jauh dari volume maksimal s.c yaitu 0,5 - 1,0 ml. Sehingga mencit yang diberi perlakuan tidak kunjung tidur. Intra muscular (i.m) Cara pemberian intramuskular dilakukan dengan menyuntikkan obat pada otot paha mencit. Sebelum obat diinjeksikan, bagian paha mencit diraba terlebih dahulu untuk menemukan letak otot paha mencit yang ditandai dengan adanya semacam tonjolan melintang yang terasa sedikit kenyal. Penyuntikan dilakukan dengan sudut kira kira 45 derajat dari otot sehingga

3)

masuk dengan sempurna ke dalam serabut otot lurik dan absorpsi akan berlangsung dengan menembus dinding pembuluh darah yang terdapat pada dinding bundel otot yang tidak banyak mengandung lemak. Data yang diperoleh adalah mencit I (bobot=26 g; dosis= 0,91 mg; volume=0,018 ml), mencit II (bobot= 25,1g; dosis= 0,88 mg; volume=0,018 ml), mencit III (bobot=23,8 g; dosis= 0,83 mg; volume=0,017 ml), dan mencit IV (bobot=38,5 g; dosis= 1,35 mg; volume=0,027 ml). Sedangkan data onset dan durasi tidak diperoleh karena dosis pentobarbital sebesar 35 m/ kgBB terlalu kecil. Selain itu dari hasil perhitungan, volume yang diberikan masih jauh dari volume maksimal i.m yaitu 0,05 ml. Sehingga mencit yang diberi perlakuan tidak kunjung tidur. Intra peritoneal (i.p) Cara pemberian intraperitonial yaitu dengan menginjeksikan obat ke dalam rongga perut mencit dengan sudut kontak agak miring terhadap permukaan perut menggunakan spuit berujung runcing. Bagian perut yang diinjeksi adalah bagian yang berada pada tengah garis yang sejajar jika ditarik dari ujung kepala hingga bagian bawah perut mencit. Jarum yang dimasukkan tidak boleh terlalu dalam agar tidak mengakibatkan kebocoran usus hingga mengakibatkan kematian. Untuk memastikan jarum telah masuk ke dalam rongga perut maka jarum diputar sedikit hingga dirasakan ada rongga yang dimasuki jarum kemudian obat diinjeksikan. Di dalam rongga perut, obat diabsorpsi dengan cepat karena pada mesentrium ada banyak pembuluh darah sehingga permukaan absorpsinya menjadi luas. Dengan demikian, absorpsinya lebih cepat dibandingkan dengan cara pemberian lainnya dalam percobaan. Data yang diperoleh adalah mencit I (bobot=21,9 g; dosis= 3,3915 mg; volume=0,3915 ml), mencit II (bobot= 23,5 g; dosis= 3,4475 mg; volume=0,34475 ml), mencit III (bobot=22,3 g; dosis= 3,405 mg; volume=0,3405 ml), dan mencit IV (bobot=22 g; dosis= 3,395 mg; volume=0,3395 ml). Data onset dan durasi tidak diperoleh karena kesalahan praktikan dalam menghitung dosis. Dosis yang digunakan adalah untuk bobot mencit yang belum dikurangi dengan wadah penimbang, sehingga dosisnya terlalu tinggi. Ini mengakibatkan mencit yang diberi perlakuan tidak kunjung sadar. Dosis dan volume yang seharusya adalah mencit I (dosis=0,767 mg; volume= 0,077 ml), mencit II (dosis=0,823 mg; volume= 0,082 ml), mencit III (dosis=0,780 mg; volume= 0,078 ml), dan mencit IV (dosis=0,77 mg; volume= 0,077 ml). Secara teoritis dapat diketahui bahwa nilai onset dipengaruhi oleh cara pemberian. Obat yang diberikan pada tempat aplikasi yang letaknya jauh dari tempat aksi akan memberikan nilai onset yang lebih lama. Semakin cepat onset dari suatu obat

4)

menunjukkan bahwa jarak untuk mencapai tempat aksi lebih cepat, sehingga kadar obat tidak banyak terganggu oleh barier-barier tubuh. Secara teoritis, urutan onset dari yang paling cepat yaitu intra peritoneal > intra muscular > sub kutan > per oral. Sementara itu, durasi juga dipengaruhi oleh cara pemberian yang berbeda. Secara teoritis, urutan durasi dari yang paling cepat adalah: intra peritoneal > intra muscular > sub kutan > per oral. Pada setiap cara pemberian, terdapat molekul obat yang berikatan dengan reseptornya sehingga menimbulkan efek. Waktu durasi juga dipengaruhi oleh jenis dan biotransformasi obat. Kondisi fisiologi mencit akan mempengaruhi biotransformasi obat. Normal tidaknya hepar mencit juga akan mempengaruhi lama tidaknya penghilangan aktivitas obat (metabolisme obat). Pada praktikum kali ini kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi adalah: a. Kesalahan menghitung dosis obat b. Kurang tepat dalam mengambil volume obat yang akan disuntikkan c. Kesalahan letak / lokasi penyuntikan obat Selain itu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hasil percobaan tidak sesuai dengan teori, antara lain : a) Redistribusi Thiopental sangat mudah larut dalam lemak sehingga dengan cepat didistribusikan ke jaringan otak atau sistem saraf pusat yang mengandung banyak jaringan lemak, sehingga kadar dalam jaringan otak lebih besar dibandingkan kadar dalam plasma darah dan terjadi efek anestesi (awal kerja obat cepat). Thiopental yang berada dalam plasma dengan cepat terdistribusikan dan dihimpun dalam depo lemak. Hal ini menyebabkan penurunan kadar obat dalam plasma dan otak secara cepat, sehingga efek anestesi tidak tercapai lagi dan segera berakhir. Setelah 3 jam pemberian, kadar pemberian dalam depo lemak 10 kali lebih besar dibandingkan kadar obat dalam plasma (depo lemak jenuh) dan thiopental perlahan-lahan dilepaskan kembali setelah anestesi berakhir. b) Reabsorbsi Thiopental terdapat dalam bentuk tidak terionisasi 50%, yang mempunyai kelarutan dalam lemak sangat besar. Dalam bentuk tidak terdisosiasi. Thiopental mudah diabsorbsi kembali dalam tubulus ginjal melalui proses difusi pasif (Siswandono MS dan Dr. Bambang Soekardjo, SU.,1995).

VI. KESIMPULAN 1. 2. Natrium pentobarbital memiliki efek sedatif-hipnotik sebagai depresan sistem saraf pusat, yang merupakan turunan barbiturat Dari percobaan yang dilakukan tidak diperoleh data, dikarenakan kesalahan praktikan dalam pemberian dosis obat, dosis 35 mg/kgBB terlalu kecil. Pada pemberian i.p dosisnya terlalu tinggi, sehingga mencit tidur dalam waktu yang terlalu lama. Pada i.m., s.c dan p.o dosis terlalu kecil, sehingga mencit tidak kunjung tertidur. Menurut teori, cara pemberian obat mempengaruhi absorbsi obat. Urutan cara pemberian yang memberikan onset tercepat adalah i.p > i.m > s.c > p.o. Semakin panjang rute yang harus dilalui obat untuk menuju sirkulasi sistemik, semakin lama waktu onsetnya. Bila onset lama, maka durasinya akan lebih cepat. Karena kadar yang diabsorbsi sedikit. Begitu pula sebaliknya.

3. 4. 5.

VII. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.. Anonim, 2012, Pentobarbital, http://en.wikipedia.org/wiki/Pentobarbital, diakses tanggal 31 Maret 2012. Anief, Moh., 2002, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gan, Sulistia, 1987, Farmakologi dan Terapi, Edisi 3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Katzung, Bertram. G., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, Jakarta: Salemba Medika. Yahya, Harun, 2012, Lapisan Kulit, www.harunyahya.com, diakses pada tanggal 3 Maret 2012. Pramusatya, Hegar, 2012, Obat-obatan Sistem Saraf Pusat, http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2& sqi=2&ved=0CCYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fhegarpramastya.files.wo rdpress.com%2F2011%2F07%2Fobat-obatan-sistem-sarafpusat.pptx&ei=MjJ3T5aZKYzMrQfAo62QDQ&usg=AFQjCNE50BFIyoxJdZiGmGzjT_Vm7bz0g, diakses tanggal 31 Maret 2012.

Rahadian, Dhimas Dita, 2009, Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Myristica Fragrans Houtt) Dosis 7,5 Mg/25grbb terhadap Waktu Induksi Tidur dan Lama Waktu Tidur Mencit Balb/C yang Diinduksi Thiopental. Rang, H. et al, 1999, Pharmacology, 4"1 edition Edinburg, Churchill. Siswandono MS & Dr. Bambang Soekardjo, SU, 1995, Kimia Medisinal 1, Surabaya: Airlangga University Press.

Yogyakarta, 31 Maret 2012 Asisten, Praktikan, 1. Bani Adlina Shabrina (FA/08696) 2. Jellsy Da Vallerian (FA/08693)

3. Satyarukmi Wening P. (FA/08699) 4. Muhammad Syafii N. (FA/08690)

JAWABAN PERTANYAAN 1. Apakah faktor- faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dari saluran cerna? Jawab: a. Faktor obat Kemampuan obat melintasi membran sel saluran cerna yang tersusun atas lipid bilayer. Kelarutan obat. Agar dapat diabsorbsi, obat harus dapat larut dan melepaskan zat aktifnya, kecuali bila obat sudah dalam bentuk larutan saat diberikan ke dalam tubuh. Obat yang diberikan dalam bentuk larutan akan lebih cepat diabsorbsi karena tidak perlu melewati fase pelarutan. Obat yang sukar larut dan sukar teion (bentuk molekul) lebih mudah diabsorbsi oleh membran lipid, sesuai prinsip like disolves like. Bentuk sediaan obat. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan pembawa bentuk obat dan juga kelarutan dalam cairan tubuh. Bentuk sediaan berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat yang secara tidak langsung mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Ukuran partikel bentuk sediaan mempengaruhi penyerapan obat. Makin kecil ukuran partikel makin besar luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut sehingga kecepatan larut obat semakin besar. pKa obat atau pKb obat. Kemempuan difusi obat Obat lipofilik akan dapat berdifusi melewati membran sel yang tersusun oleh lipid. Konsentrasi obat Semakin tinggi dosis obat akan lebih cepat diabsorbsi sampai batas dosis maksimal saat seluruh reseptor sudah ditempati oleh molekul. Banyak ikatan dengan depot Semakin banyak ikatan dengan depot, obat yang diabsorbsi target semakin sedikit. b. Faktor penderita Sirkulasi darah pada tempat absorbsi Rute penggunaan obat. Luas area untuk diabsorbsi Umur penderita Kecepatan transit obat di lumbung dan usus Tegangan permukaan Kemampuan obat melewati hepar 2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi obat! Jawab:

Onset adalah waktu yang diperlukan untuk dimulainya efek obat, sejak obat diberikan sampai muncul efek. Durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai terjadinya efek hingga efek itu hilang (lamanya efek). Onset akan ditentukan oleh lamanya absorbsi. Lamanya absorbsi tergantung pada jalur perjalanan obat sampai ke tempat aksinya. Untuk cara pemberian obat yang mempunyai jalur peerjalanan panjang, misalnya per oral maka absorbsi obatnya pun lama dan onset atau timbulnya efek juga lama. Hal ini berkebalikan dengan cara pemberian secara intra vena dimana obat tidak perlu mengalami absorbsi, tetapi langsung masuk ke sirkulasi darah. Cara pemberian obat tidak mempengaruhi durasi obat karena durasi obat tergantung dari jenis obat dan biotransformasi atau metabolisme obat pada hewan uji. 3. Jelaskan keuntungan dan kerugian masing- masing cara pemberian! Jawab: Cara pemberian Keuntungan Kerugian Per oral mudah diberikan dan timbulnya efek lama (onset lama) bisa dilakukan sendiri tidak sesuai bagi pasien yang oleh pasien muntah, diare, tidak sadar, dan tidak memerlukan tidak kooperatif keahlian khusus serta kurang cocok untuk obat yang tidak memerlukan rasanya tidak enak dan iritatif komplikasi yang mengalami metabolisme lintas berkaitan dengan jarum pertama sebelum benar- benar relatif aman didistribusi ke tempat aksi sehingga praktis kadar zat aktifnya berkurang tidak memerlukan absorbsi bervariasi dan kadar obat sterilitas tinggi dalam darah tidak bisa lebih ekonomis diprediksikan Sub cutan kerja obat terus absorbsi tergantung pada aliran menerus, long time darah release tidak cocok untuk obat yang kecapatan absorbsi obat mengiritasi seragam tidak boleh digunakan untuk obat berguna pada kondisi yang iritatif dan dicampur dengan darurat vasokonstriktor Intra muscular kecepatan absorbsi obat local iritasi di tempat injeksi seragam kecepatan absorbsi tergantung onset pendek kecepatan aliran darah ke otot cocok untuk obat yang perlu keahlian khusus dalam iritatif bila diberikan pemakaian obat secara sub cutan jika ada efek toksik sukar dihindari

Intra peritoneal

obat dilepas pelanpelan absorbsi paling cepat cara pemberiannya berbahaya dan jika dibandingkan hanya boleh dilakukan pada hewan dengan pemberian i.m, kemungkinan infeksi sangant besar s.c, dan p.o sesuai bagi pasien yang sukar menelan obat