bagian iii peraturan dalam pengelolaan...

12
Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8 Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.1 BAGIAN III PERATURAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 1 UMUM Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 % dari limbah B3 yang dikelola berasal dari kegiatan industri dan 70 % diantaranya berasal dari industri kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkatagori berbahaya, terutama karena sifat korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous liquid waste. Walaupun limbah itu berasal dari kegiatan industri, namun tidak semua berkatagori Limbah B3. Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk mengkaji kelayakan pusat pengolah limbah B3 di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah berbahaya di daerah Jakarta-Bogor- Tangerang-Bekasi (Jabotabek) pada tahun 1990 sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Selain itu, survai limbah B3 yang berasal dari industri-industri di Otorita Batam menyimpulkan bahwa : Karakteristik limbah cair industri adalah : mudah terbakar (11,52 %), beracun (2,50 %), korosif (8,44 %) dan non B3 (77,54 %) Karakteristik limbah padat industri adalah : mudah terbakar (0 %), beracun (0,90 %), korosif (1,52 %) dan non B3 (97,58 %) Limbah B3 (cair dan padat) dari industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah industri yang dihasilkan. Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan perudang-undangan, khususnya Undang- undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara spesifik pengelolaan limbah B3 telah diatur dalam: Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP18/1999) Peraturan Pemerintah No 85 tahun 1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 (PP85/1999) PP 18/99 jo PP 85/99 merupakan pengganti PP 19/94 jo PP12/95. Peraturan-peraturan lain yang mengatur masalah limbah B3 adalah Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dari No. 01/Bapedal/09/1995 sampai No. 05/Bapedal/09/1995 yang merupakan pengaturan lebih lanjut PP19/1994 dan PP12/1995, dan tetap masih berlaku sebagai pengaturan lebih lanjut dari PP 18/99 jo PP 85/99. Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka, Indonesia sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar pula di Indonesia, maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan-peraturan yang langsung menangani lintas batas limbah adalah: Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor limbah B3 dan plastik Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur tata niaga impornya Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor limbah Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali dibutuhkan untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan daur-ulang limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3 yang dapat

Upload: vantram

Post on 05-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.1

BAGIAN III PERATURAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3

1 UMUM Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 % dari limbah B3 yang dikelola berasal dari kegiatan industri dan 70 % diantaranya berasal dari industri kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkatagori berbahaya, terutama karena sifat korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous liquid waste. Walaupun limbah itu berasal dari kegiatan industri, namun tidak semua berkatagori Limbah B3. Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk mengkaji kelayakan pusat pengolah limbah B3 di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah berbahaya di daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) pada tahun 1990 sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Selain itu, survai limbah B3 yang berasal dari industri-industri di Otorita Batam menyimpulkan bahwa : − Karakteristik limbah cair industri

adalah : mudah terbakar (11,52 %), beracun (2,50 %), korosif (8,44 %) dan non B3 (77,54 %)

− Karakteristik limbah padat industri adalah : mudah terbakar (0 %), beracun (0,90 %), korosif (1,52 %) dan non B3 (97,58 %)

− Limbah B3 (cair dan padat) dari industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah industri yang dihasilkan.

Pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan perudang-undangan, khususnya Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara spesifik pengelolaan limbah B3 telah diatur dalam: − Peraturan Pemerintah No 18 tahun

1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP18/1999)

− Peraturan Pemerintah No 85 tahun 1999 tentang Perubahan Peraturan

Pemerintah No. 18 tahun 1999 (PP85/1999)

PP 18/99 jo PP 85/99 merupakan pengganti PP 19/94 jo PP12/95. Peraturan-peraturan lain yang mengatur masalah limbah B3 adalah Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dari No. 01/Bapedal/09/1995 sampai No. 05/Bapedal/09/1995 yang merupakan pengaturan lebih lanjut PP19/1994 dan PP12/1995, dan tetap masih berlaku sebagai pengaturan lebih lanjut dari PP 18/99 jo PP 85/99. Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka, Indonesia sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar pula di Indonesia, maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan-peraturan yang langsung menangani lintas batas limbah adalah:

• Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal,

• Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor limbah B3 dan plastik

• Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur tata niaga impornya

• Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor limbah

Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali dibutuhkan untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan daur-ulang limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3 yang dapat

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.2

diimpor adalah skrap timah hitam (aki bekas), sampai jangka waktu terbatas. Sebagai negara industri yang dapat dikatakan relatif paling maju, maka tidaklah berlebihan bila dalam diktat ini dibahas juga pengertian dan pengembangan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan limbah B3 di Amerika Serikat, khususnya konsep cradle-to-grave yang menjadi rujukan dalam peraturan tentang limbah berbahaya di Indonesia. Dapat dikatakan, sampai tahun 1960-an pengelolaan limbah industri di Amerika Serikat masih belum memadai, misalnya hanya dibuang ke lahan landfill yang belum dilapis secara kedap. Timbulnya gerakan lingkungan tahun 1960-an, memaksa Kongres Amerika untuk memperhatikan masalah limbah industri ini lebih serius. 2 PENGELOLAAN LIMBAH B3: PP 18/1999 JUNCTO PP 85/1999 Hal yang Diatur: PP 18/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun terdiri dari 8 bab yang dibagi lagi menjadi 42 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah : − Bab I (Ps1 s/d Ps5): Ketentuan umum, − Bab II (Ps6 /d Ps8): Identifikasi limbah

B3 − Bab III (Ps9 s/d Ps26): Pelaku

pengelolaan, − Bab IV (Ps27 s/d Ps39): Kegiatan

pengelolaan , − Bab V (Ps40 s/d Ps61): Tata laksana, − Bab VI (Ps62 s/d Ps63): Sanksi, − Bab VII (Ps64 s/d Ps65): Ketentuan

peralihan, − Bab VIII (Ps66): Ketentuan penutup. Sedang PP 85/1999 yang merupakan perubahan dari PP 18/1999 hanya terdiri dari 2 (dua) pasal. Pasal I berisi pasal-pasal dalam PP 18/1999 yang mengalami perubahan, dan Pasal II (Penutup). Dalam pasal I dijelaskan pasal-pasal dalam PP18/1999 yang mengalami perubahan, yaitu sebanyak 3 pasal, yaitu: pasal 6, pasal 7, dan pasal 8.

Sumber, Karakteristk dan Proses Penentuan Limbah B3: Pengertian pengelolaan limbah B3 adalah '..... rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah dan penimbunan limbah B3' (Ps1-3). Sedangkan tujuan pengelolaan tersebut adalah : '...... untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali ' (Ps2). Sebelumnya PP 19/1994 mendefinisikan bahwa penghasil limbah B3 tidak hanya mereka yang bergerak dalam kegiatan yang bersifat komersial tetapi termasuk juga perorangan yang menyimpan limbahnya dalam lokasi kegiatannya sebelum limbah tersebut ditangani lebih lanjut sesuai dengan peraturan yang ada. Kemudian PP 12/1995 membatasi, bahwa yang terkena definisi tersebut adalah badan usaha yang menghasilkan limbah B3. PP18/99 mendefisikan bahwa penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 seperti di tegaskan dalam Ps1(5). Pengertian ‘orang’ yang sering muncul dalam PP18/99 seperti dijelaskan dalam Ps1(18) adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang dan atau badan hukum. Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga, seperti batere bekas, serta kegiatan skala kecil tidak terkena peraturan ini, karena pengaturannya akan ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggungan jawab, seperti ditegaskan dalam Ps9(6). Bila batasan penghasil limbah B3 diterapkan juga pada kelompok tersebut, akan menimbulkan permasalahan, karena izin pengelolaan limbah B3 membutuhkan prosedur administrasi yang tidak sederhana, yang hanya bisa dilaksanakan oleh sebuah usaha komersial. Pasal 1 angka 2 mendefinisikan limbah berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya yang dapat diidentifikasikan

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.3

menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan atau uji toksikologi (PP85/99 Ps 6). Sebuah limbah dinyatakan sebagai limbah B3, melalui beberapa langkah, yaitu: • Langkah 1: mengidentifikasi limbah

yang dihasilkan, dengan daftar limbah (Lampiran 1 Tabel 1 dan 3) atau daftar kegiatan (Lampiran 1 Tabel 2) yang tercantum dalam PP85/99, seperti diatur dalam Ps 7(1). Bila terdapat dalam daftar, maka secara formal limbah tersebut adalah limbah B3. Bila tidak terdapat dalam daftar tersebut, maka identifikasi harus dilanjutkan dengan Langkah berikutnya

• Langkah 2: melakukan uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam Ps 7(3) PP85/99 seperti diuraikan berikut ini.

Ps 7 (1) PP85/99 menyebutkan bahwa jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi:

a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik (Lampiran I Tabel 1)

b. Limbah B3 dari sumber spesifik (Lampiran I Tabel 2)

c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Lampiran I Tabel 3)

Rincian dari masing-masing jenis kelompok tersebut terdapat pada Lampiran I PP85/99, yaitu Tabel 1 (Sumber tidak spesifik), Tabel 2 (Sumber spesifik) dan Tabel 3 (limbah kimia kadaluarsa). Ps 7(3) PP85/99 selanjutnya mendefinisikan uji karakteristik limbah B3 sebagai berikut:

a. Mudah meledak b. Mudah terbakar c. Bersiafat reaktif d. Beracun e. Menyebabkan infeksi f. Bersifat korosif g. Pengujian toksikologi untuk

menentukan sifat akut dan atau kronik.

Sumber limbah tidak spesifik adalah sumber limbah yang menghasilkan limbah yang pada umumnya bukan berasal dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian,

pencegahan korosi, pelarutan kerak, pengemasan. Terdapat 43 jenis limbah yang termasuk kelompok ini. Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah. Sumber limbah ini terbagi dalam 51 jenis kegiatan yang termasuk kelompok penghasil limbah B3. Jenis kegiatan yang termasuk kelompok sumber spesifik adalah industri atau kegiatan: pupuk, pestisida, proses kloro-alkali, resin adesif, polimer, petrokimia, pengawetan kayu, peleburan-pengolahan besi dan baja, operasi penyempurnaan baja, peleburan timah hitan (Pb), peleburan-pemurnian tembaga, tinta, tekstil, manufaktur dan perakitan kendaraan-mesin, electroplating dan galvanis, cat, batere sel kering, batere sel basah, komponen elektronik-peralatan elektronik, eksplorasi dan produksi minyak-gas-panas bumi, kilang minyak dan gas bumi, pertambangan, PLTU yang mengunakan bahan bakar batu-bara, penyamakan kulit, zat warna dan pigmen, farmasi, rumah sakit, laboratorium riset dan komersial, fotografi, pengolahan batu-bara dengan pirolisis, daur-ulang minyak pelumas bekas, sabun deterjen-produk pembersih desinfektan-kosmetik, pengolahan lemak hewan/nabati dan derivatnya, allumunium thermal metallurgy-allumunium chemical conversion coating, peleburan dan penyempurnaan seng, prosers logam non-ferro, metal hardening, metal-plastic shaping, laundry dan dry cleaning, IPAL industri, pengoperasian insinerator limbah, daur-ulang pelarut bekas, gas industri, gelas keramik/enamel, seal-gasket-packing, produk kertas, chemical-industrial cleaning, foto-kopi, semua jenis industri yang menghasilkan dan menggunakan listrik (untuk limbah PCB), semua jenis industri konstruksi (untuk limbah asbestos), bengkel pemeliharaan kendaraan. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buanagn produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan lagi. Terdapat 178 jenis

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.4

bahan kimia yang termasuk kelompok limbah B3. Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya (bandingkan dengan uraian pada PP74/2001) Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang memunyai salah satu sifat: • Berupa cairan yang mengandung

alkohol kurang dari 24%-volume, dan atau pada titik nyala ≤ 60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg.

• Bukan berupa cairan yang pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran terus menerus.

• Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar

• Merupakan limbah pengoksidasi Limbah yang bersifat reaktif pada air adalah limbah-limbah dengan salah satu sifat: • Limbah yang pada keadaan normal

tidak stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan

• Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air

• Limbah yang bila bercampur dengan air (termasuk uap air) menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan

• Limbah sianida, sulfida atau amoniak yang pada pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan gas, uap, atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan

• Limbah yang dengan mudah dapat meledak atau bereaksi pada suhu dan tekanan standar

• Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi

Limbah yang beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat racun bagi manusia dan lignkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit dan mulut. Indikator sifat racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity Characteristics Leaching Procedure), seperti tercantum dalam lampiran II PP85/99, yang merupakan batas ambang yang digunakan untuk indikasi B3. Pada dasarnya sebetulnya, uji TCLP adalah uji yang dikembangkan oleh US-EPA, yang merupakan simulasi terburuk kondisi landfill, yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada air tanah, yang airnya digunakan secara rutin. Simulasi transportasi pencemar ini, menghasilkan batas aman yang memperhitungkan probabilitas terjadinya toksisitas kronik non-kanker maupun kanker. Namun dalam versi Indonesia, bila ambang batas TCLP tidak terlampaui, penghasil limbah masih tetap diharuskan melakukan uji toksisitas akut maupun kronis Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera, yang ditularkan pada pekerja, pembersih jalan dan masyarakat lain di sekitar lokasi pembuangan limbah. Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat o Menyebabkan iritasi (terbakar) pada

kulit o Menyebabkan proses pengkaratan

pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.5

o Mempunyai pH ≤ 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH ≥ 12,5 untuk B3 bersifat basa.

Pengelolaan limbah radioaktif tidak termasuk dalam peraturan ini (Ps 5 PP18/99), dan kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sesuai dengan UU no. 31 tahun 1994 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Limbah yang Dapat Dikeluarkan dari Daftar Lampiran I: Menurut PP85/99, daftar limbah yang dapat dikecualikan adalah seperti terdapat pada Lampiran I – Tabel 2, dengan kode:

• D220: limbah dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, gas dan panas bumi. Asal limbahnya adalah slop minyak, drilling mud bekas, sludge minyak, karbon aktif dan absorban bekas, sludge dari IPAL, cutting pemboran, residu dasar tanki.

• D221: limbah dari kegiatan kilang minyak dan gas bumi. Asal limbahnya adalah sludge minyak, katalis bekas, karbon aktif bekas, sludge dari IPAL, filter bekas, residu dasar tanki, limbah laboratorium, limbah PCB

• D223: PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara. Asal limbahnya adalah fly ash, bottom ash, limbah PCB

Limbah tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan atau uji toksikologi. Namun pada kenyataannya di lapangan, semua jenis limbah tersebut oleh yang berwenang dinyatakan sebagai limbah B3, tanpa menunggu pembuktian terlebih dahulu. Selanjutnya Ps 8 mengatur bahwa limbah B3 yang tercantum dalam Lampiran I Tabel 2 PP85/99 dapat dikeluarkan dari daftar setelah dapat dibuktikan bukan limbah B3 berdasarkan prosedur pembuktian secara ilmiah, yaitu:

• Uji karakteristik limbah B3 • Uji toksikologi • Hasil studi yang menyimpulkan

bahwa limbah yang dihasilkan tidak

menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan mahluk hidup lainnya.

Kegiatan dan Pelaku Pengelolaan: Berbeda dengan PP19/94 jo PP12/95, maka PP 18/99 jo PP85/99 mengarahkan penanganan limbah B3 yang lebih berbasiskan pada cleaner production, artinya mengutamakan upaya reduksi di sumber. Ps 9 (1) PP18/99 menegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi baik bahan maupun limbahnya, dan melakukan pengolahan, dan/atau penimbunan bagi limbahnya. Bila kegiatan reduksi tersebut masih menghasilkan limbah, dan masih limbahnya dapat dimanfaatkan, maka limbah B3 tersebut dapat dimanfaatkan, baik dilakukan sendiri atau menggunakan jasa fihak lain. Ps 27 (1) PP tersebut mengarahkan bahwa reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya: o Penyempurnaan penyimpanan bahan

baku dalam proses house keeping, o Substitusi bahan o Modivikasi proses o Serta upaya reduksi lainnya Secara teknis operasional, maka pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/99 jo PP85/99 merupakan suatu rangkaian kegiatan (Ps 1.3) dari terbentuknya limbah oleh penghasil, kemudian upaya reduksi limbah (sebelum terbentuk) seperti diuraikan di atas. Rangkaian mata rantai berikutnya adalah: − Pemanfaatan limbah oleh pemanfaat, − Pengumpulan limbah oleh pengumpul, − Pengangkutan limbah oleh pengangkut,

dan − Pengolahan dan penimbunan limbah

oleh pengolah Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan limbah B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan pengaturan. Oleh karenanya, PP tersebut mengatur masalah perizinan bagi mereka yang akan terlibat dalam bisnis kegiatan operasional tersebut. Aspek pengawasan dan sanksi juga diatur dalam kedua PP

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.6

tersebut. Badan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi pengelolaan limbah B3 tersebut di Indonesia adalah sebuah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sebelum dibubarkan beberapa tahun lalu, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, yang dikenal sebagai BAPEDAL, bertanggung jawab akan hal itu. Dengan penyatuan institusi Bapedal dalam Kementerian Lingkungan Hidup, maka instansi yang bertanggung sepertinya berada pada Kementerian ini. Dengan adanya kedua PP tersebut, maka setiap penghasil limbah B3, tanpa kecuali, dilarang membuang limbahnya secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu (Ps3). Disamping itu, penanganan limbah B3 dengan jalan pengenceran sehingga konsentrasinya menjadi turun tidak diperbolehkan dilakukan (Ps4), karena kegiatan ini tidak akan menurunkan beban limbah yang dihasilkan. Setiap kegiatan yang menghasilkan limbah B3, wajib mengolah limbahnya sesuai dengan teknologi yang ada, dan bila tidak mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke negara yang mempunyai teknologi pengolahan yang sesuai (Ps9-3). Pengaturan lintas batas limbah B3 dari dan keluar Indonesia diatur dalam Ps53. Bagi mereka yang tidak mampu untuk menangani limbahnya sesuai peraturan yang ada, maka penghasil limbah tersebut diperbolehkan menyerahkan penanganan limbahnya kepada pemanfaat limbah (Ps9-2) atau pengolah atau penimbun limbah B3 (Ps9-4) yang mempunyai kewenangan untuk itu. Namun penghasil limbah B3 tetap bertanggung jawab atas limbah yang diolah tersebut, walaupun telah diserahkan penanganannya pada fihak lain. Demikian juga upaya kegiatan pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 menuju lokasi pemerosesan berikutnya, dapat diserahkan kepada fihak lain, sebagaimana diatur dalam Ps12 dan Ps15 PP18/99. Batas waktu bagi penghasil limbah, atau pemanfaat limbah atau pengolah/penimbun limbah untuk menyimpan limbahnya sebelum dikelola

lebih lanjut tidak lebih dari 90 hari (Ps10, Ps18 dan Ps23). Dengan demikian, penghasil limbah tidak harus menyerahkan limbahnya setiap saat kepada pengumpul atau pengangkut atau pengolah limbah. PP ini juga mengatur penghasil limbah yang dikatagorikan sedikit menghasilkan limbah B3, yang dikenal sebagai Small Quantity Generator (SQG). Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 kg/hari, maka penghasil limbah tersebut dapat menyimpan limbahnya lebih dari 90 hari, dengan syarat mendapat persetujuan instansi yang bertanggung jawab (Ps10). Selama penyimpanan tersebut, maka penghasil limbah dikenai kewajiban untuk mematuhi tata cara penyimpanan bagi limbah B3 (Ps29), pemberian symbol dan label untuk setiap kemasan yang digunakan yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3 tersebut (Ps28). Kewajiban penghasil limbah adalah mendata limbahnya secara baik, yang mencakup (Ps11-1): o Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu,

baik pada saat limbah dihasilkan, maupun pada saat limbah tersebut diserahkan kepada pengelola berikutnya

o Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul, pemanfaat atau pengolah/penimbun limbah B3

Catatan tersebut wajib dilaporkan sekurang-kurangya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan tembusan kepada instansi lain terkait, serta Bupati/Walikota yang bersangkutan. Informasi data tersebut akan digunakan untuk bahan inventarisasi serta bahan evaluasi guna pengembangan kebijakan pengelolaan limbah B3. Rantai berikutnya dalam pengelolaan ini adalah pengumpulan limbah (Ps12, Ps13 dan Ps14). Pengumpulan ini bersifat sementara, dan limbah tersebut selanjutnya harus diserahkan kepada pemanfaat, atau pengolah-penimbun limbah yang diakui oleh yang berwenang. Sebagaimana pada penghasil limbah, maka limbah boleh disimpan paling lama 90 hari sebelum diserahkan kepada rantai pengelola berikutnya. Demikian pula pengolah limbah B3 dapat menyimpan

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.7

limbah yang diterimanya maksimum 90 hari sebelum dilakukan pengolahan. Kewajiban untuk mendata limbah B3 yang dikelola, serta melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada instansi yang berwenang, merupakan hal yang harus dilaksanakan. Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut, wajib disertai dokumen limbah B3 (Ps16). Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumennya kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengola atau penimbun yang ditunjuk oleh penghasil limbah B3 (Ps17). Sektor pengangkutan merupakan aktivitas yang beresiko tinggi, dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan di jalan serta hal-hal lain yang tidak diinginkan. Usaha ini membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri yang mempunyai kewenangan di bidang perhubungan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Lingkungan Hidup. Disamping itu, alat angkut yang digunakan harus sesuai dengan peraturan tentang angkutan yang ada, yaitu : perkereta-apian (UU 13/1992), angkutan darat (UU 14/1992), penerbangan (UU 15/1992) dan pelayaran (UU 21/1992). Penghasil limbahpun dapat bertindak sebagai pengangkut limbah, dengan aturan- aturan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3. Selama dalam perjalanannya, limbah tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen yang berasal dari penghasil limbah maupun dari pengumpul limbah yang menjelaskan tentang limbah tersebut, dan menyerahkan dokumen tersebut kepada pengolah limbah bila limbah tersebut telah sampai di tujuan. Rantai akhir dari sistem ini adalah pengolahan dan penyingkiran (disposal) limbah. Pada dasarnya, pengolahan limbah bersasaran untuk merubah karak-teristik dan komposisi limbah tersebut agar menjadi tidak berbahaya lagi. Disamping itu, pengolahan limbah bersasaran agar limbah tersebut dapat terdaur-ulang atau terdaur-pakai. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sesuai, seperti secara termal, stabilisasi dan solidifikas, pengolahan secara fisika, kimia dan biologi (Ps34). Bila teknologi tersebut tidak dapat diterapkan, maka dibutuhkan teknologi lain yang terbaik dan tersedia. Rantai

pengeolaan yang paling akhir adalah penimbunan imbah B3 dalam sebuah landfill limbah B3 dengan system pelapis dasar. Mekanisme Cradle-to-Grave: Dokumen limbah akan memegang peranan penting dalam pemantauan perjalanan limbah B3 dari penghasil sampai ke pengolah limbah. Dokumen tersebut antara lain berisi: o Nama dan alamat penghasil limbah

atau pengumpul yang menyerahkan limbah

o Tanggal peneyerahan limbah o Nama dan alamat pengangkut limbah o Tujuan pengangkutan o Jenis, jumlah, komposisi, dan

karakteristik limbah yang diserahkan. Dokumen tersebut dibuat dalam rangkap 7 apabila pengangkutan hanya satu kali. Apabila pengengkutan lebih dari satu kali (antar moda), maka dibutuhkan dokumen 11 rangkap, yang akan merupakan sarana permantauan yang serupa dengan konsep cradle-to-grave yang diterapkan di Amerika Serikat. Berdasarkan uraian dalam Penjelasan atas PP 18/99, rincian distribusi dokumen limbah tersebut adalah sebagai berikut: − Lembar ke 1 (asli): disimpan

pengangkut setelah ditandatangani oleh pengirim limbah

− Lembar ke 2: setelah ditandatangai oleh pengangkut limbah, kemudian dikirimkan kepada instansi yang bertanggung jawab oleh pengirim limbah.

− Lembar ke 3: disimpan oleh penghasil setelah ditandatangani oleh pengangkut

− Lembar ke 4: setelah ditanda tangani oleh pengirim limbah, kemudian oleh pengangkut diserahkan kepada penerima limbah

− Lembar ke 5: dikirimkan oleh penerima kepada instansi yang bertanggung jawab setelah diterima oleh penerima limbah B3

− Lembar ke 6: dikirimkan oleh pengangkut kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan pengirim, setelah ditandatangani pleh penerima limbah

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.8

− Lembar ke 7: setelah ditandatangani oleh penerima, maka oleh pengangkut dikirimkan kepada pengirim limbah.

− Lembar ke 8 sampai ke 11 dikirim oleh pengangkut kepada pengirim limbah setelah ditandatangani oleh pengangkut

terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya (antar moda).

Mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya adalah seperti tercantum dalam Skema 3.1.

kopi

Walikota/Bupati BAPEDAL Penghasil limbah

(lembar 3)

Pengangkut limbah

(lembar 1)

Pengolah limbah

(lembar 4)

lembar 5lembar 6

lembar 2

Skema 3.1 : Mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya Pengelolaan limbah B3 memungkin badan swasta untuk terlibat di dalamnya, baik sebagai penyimpan, pemanfaat, pengumpul, pengangkut maupun sebagai pengolah limbah tersebut. Untuk itu dibutuhkan izin operasi (Ps40), yaitu : − dari Kepala instansi yang bertanggung

jawab untuk kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfataan, dan pengolahan-penimbunan,

− dari Menteri Perhubungan untuk kegiatan pengangkutan limbah B3, setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab,

Disamping mempunyai legalitas badan usaha, persyaratan lain untuk memperoleh izin tersebut adalah adanya informasi yang menyangkut tentang: − nama dan alamat yang jelas dari badan

usaha tersebut, − nama dan alamat penanggung jawab, − lokasi tempat kegiatan, − bentuk kegiatan yang akan dilakukan, − bahan baku dan proses yang akan

digunakan, − spesifikasi alat pengolah limbah, − jumlah dan karakteristik limbah yang

akan ditangani, − tata letak sarana dan prasarana, − alat pencegahan pencemaran yang

digunakan

Yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin lokasi pengolahan adalah kepala kantor pertanahan kabupaten/kota (pasal 42) sesuai dengan rencana tata ruang berdasarkan rekomendasi Kepala instansi yang bertanggung jawab. Disamping itu, untuk melengkapi perizinan kegiatan pengolahan limbah tersebut, dibutuhkan analisis dampak lingkungan terlebih dahulu, disertai dokumen-dokumen yang biasa menyertainya. Dalam hal penghasil limbah bertindak pula sebagai pengolah limbah dan kegiatan tersebut dilakukan pada lokasi yang sama, maka analisis dampak lingkungannya dibuat teritegrasi dengan kegiatan utamanya dengan persyaratan yang berlaku. Untuk itu, hanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi berwenang yang diajukan kepada Instansi yang bertanggung jawab bersama persyaratan lainnya. PP18/99 tersebut juga mengatur perpindahan lintas batas limbah B3 dari dan ke luar Indonesia (Ps53). Guna mencegah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah B3, maka limbah B3 dilarang masuk ke wilayah Indonesia. Dalam hal pengangkutan limbah B3 antara negara yang melalui wilayah Indonesia, maka dibutuhkan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.9

kepada pemerintah Republik Indonesia. Pengiriman limbah B3 ke luar Indonesia membutuhkan persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan izin tertulis dari pemerintah Indonesia. Pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab meliputi pematauan penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh fihak-fihak yang mengelola limbah B3. Pengawasan tersebut mempunyai kewenangan untuk: − memasuki area lokasi kegiatan, − mengambil contoh limbah untuk

dianalisa di laboratorium, − meminta keterangan tentang

pelaksanaan pengelolaan limbah, − melakukan pemotretan untuk

kelengkapan pengawan tersebut. Kewajiban penghasil, pengumpul, pengangkut dan atau pengolah limbah adalah membantu sepenuhnya aktivitas pengawasan yang dilakukan di daerah tanggung jawabnya. Hal lain yang mendapat perhatian dalam kedua PP tersebut adalah kesehatan dan keselamatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan ini serta tanggung jawab pengelola bila terjadi kecelakaan serta pencemaran. Pemeriksaan kesehatan pekerja oleh instansi yang berwenang di bidang kesehatan tenaga kerja dilakukan secara berkala agar sejak dini dapat diketahui terjadinya kontaminasi oleh zat-zat berbahaya. Upaya ini merupakan kewajiban fihak pengelola untuk melaksanakannya. Bila terjadi kecelakaan atau pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan tersebut, maka fihak pengelola bertanggung jawab atas hal ini, dan fihak pengelola diwajibkan untuk segera menaggulanginya. Bila fihak pengelola tidak dapat menanggulanginya secara baik, maka Instansi yang bertanggung jawab akan melakukan upaya penanggulangan, dan biaya kegiatan tersebut dibebankan pada fihak pengelola. 3 KONSEP CRADLE-TO-GRAVE AMERIKA SERIKAT Sebagai negara industri, Amerika Serikat relatif banyak mengalami banyak masalah

dengan limbah, khususnya limbah industri. Kontrol yang aktif dari masyarakatnya banyak menelorkan peraturan-peraturan guna mengatur masalah ini. Beberapa peraturan-peraturan Federal yang berkaitan dengan masalah lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pengelolaan limbah B3 antara lain adalah : − Atomic Energy Act (1954) : merupakan

revisi Atomic Energy Act tahun 1946, yang mengatur permasalahan penggunaan energi nuklir.

− Federal Insecticide, Fungicide and Rodenticide Act (FIFRA-1972) : mengatur penyimpanan dan disposal pestisida.

− Solid Waste Disposal Act (1965) dan Resource Recovery Act (1970) : pengaturan tentang pengolahan dan pendaur-ulangan buangan padat.

− Toxic Substances Control Act (TSCA - 1976) : pengaturan penggunaan bahan kimia berbahaya yang baru dihasilkan.

− Resource Conservation and Recovery Act (RCRA - 1976) : pengaturan pengelolaan limbah berbahaya

− Hazardous and Solid Waste Amandements Act (HSWA - 1984) : tentang perlindungan terhadap air tanah dari limbah berbahaya

− Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liabilities Act (CERCLA - 1980) dan Superfund Amendement and Reautorization Act (SARA - 1986) yaitu tentang pengaturan dan pendanaan bagi pembersihan site disposal berbahaya yang sudah tidak beroperasi.

− Pollution Prevention Act (1990) : strategi penanganan pencemaran limbah dengan memberikan priporitas pada minimasi limbah

Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka yang sangat berkaitan erat dengan masalah limbah berbahaya adalah TSCA (1976), RCRA (1976), HSWA (1980), CERCLA (1980) dan SARA (1986). Toxic Substances Control Act (TSCA) memberi kewenangan pada USEPA untuk mengidentifikasi dan memantau bahan-bahan kimia berbahaya di lingkungan ; disamping itu USEPA mempunyai kewenangan untuk mendapatkan informasi

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.10

tentang bahan berbahaya ini di sumbernya (pabrik). Efek toksik dari bahan yang baru dihasilkan, harus diuji dulu sebelum bahan tersebut diproduksi untuk dipasarkan. Bahan-bahan kimia yang diproduksi sebelum TSCA juga terkena peraturan ini. Katagori produk yang tidak termasuk dalam kontrol TSCA adalah tembakau, pestisida, bahan nuklir, senjata api/amunisi, makanan, aditif untuk makanan, obat-obatan dan kosmetika. Produk ini telah diatur oleh peraturan-peraturan sebelumnya. Dengan adanya peraturan tersebut maka tidak satupun bahan kimia yang boleh diimport atau dieksport tanpa kontrol dan persetujuan USEPA. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah penggunaan polychlorinated biphenyl (PCB). PCB telah diproduksi di Amerika Serikat sejak tahun 1929, dan merupakan bahan cair dengan sifat-sifat yang menguntungkan yaitu mempunyai stabilitas panas serta sifat-sifat transfer panas yang ideal, sehingga digunakan sebagai media transfer panas pada transformator dan kapasitor. Namun uji coba pada hewan akhirnya menunjukkan bahwa PCB dapat menyebabkan kanker dan sebagainya, serta terkonsentrasi pada jaringan lemak. Melalui TSCA, produk PCB di Amerika Serikat telah dihentikan (1977), namun sejumlah besar alat listrik masih menggunakan bahan ini. Diperkirakan sekitar 77.000 transformator dengan PCB telah diproduksi. Direncanakan, transformator tersebut akan ditarik dari peredaran oleh USEPA. Proses pemusnahan yang paling cocok adalah dengan insinerasi pada temperatur 1200 ± 100°C selama 2 detik dengan 3% kelebihan oksigen di cerobong, atau 1600 ± 100°C selama 1,5 detik dengan 2 % kelebihan oksigen. DRE (Destruction and Removal Efficiency) yang dipersyaratkan paling tidak adalah sebesar 99,9999 %. Solid Waste Disposal Act pada dasarnya mengatur tata cara disposal (penyingkiran) limbah kota dan industri, agar tidak mengganggu terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, serta bagaimana mengurangi timbulan limbah tersebut. Perkembangan lebih lanjut ternyata dibutuhkan aturan-aturan lebih jauh agar

limbah tersebut, khususnya limbah B3, dikelola dengan baik. Berdasarkan hal ini keluarlah RCRA, yang terdiri dari berbagai Subtitle. RCRA dianggap merupakan produk legislatif yang paling penting dalam pengaturan limbah B3, dan telah mengalami beberapa kali amandemen sejak dikeluarkannya pada tahun 1976. Dalam pengelolaan limbah berbahaya, versi RCRA yang paling penting adalah aturan-aturan yang termasuk dalam Subtitle-C dengan program utamanya adalah Cradle-to-grave , yaitu dari mulai identifikasi limbah berbahaya, persyaratan- persyaratan mulai dari sumber (timbulan), transportasi, pengolahan, penyimpanan, sampai penyingkiran/pemusnahan (disposal) limbah berbahaya. RCRA dalam hal ini menugaskan USEPA untuk melaksanakan aturan-aturan yang ada. Dalam peraturan tersebut, dicantumkan aturan-aturan administratif dan tehnis untuk tiga katagori pelaku utama, yaitu : − Penghasil (generator), − Pengangkut (transporter), dan − Pemilik/operator fasilitas

pengolah(treatment), penyimpan (storage) dan pemusnah/penyingkir (disposal) atau TSD.

Aturan RCRA selanjutnya dikodifikasi dalam Code of Federal Regulation (CFR) dengan sebutan Title 40 CFR, antara lain berisi : − Identifikasi limbah B3 − Penghasil limbah B3 − Pengangkut limbah B3 − Pemilik/operator fasilitas pengolah,

penyimpan, pembuang limbah B3 − Daur ulang limbah B3 − Land disposal limbah B3 − Izin fasilitas TSD Generator adalah penghasil (creator) limbah berbahaya yang harus menganalisis limbah padatnya sesuai aturan RCRA Subtitle-C. Bila Generator skala kecil diharuskan mengikuti aturan tersebut, USEPA menyadari akan sulit menerapkannya. Perusahaan kecil dibatasi kemampuan finansial dan kapasitasnya untuk melaksanakan aturan RCRA secara ketat. Oleh karenanya, EPA pada tahun 1980 lebih lanjut mendefinisikan Small

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.11

Quantity Generator (SQG) sebagai penghasil limbah berbahaya kurang dari 1000 kg per bulan, dan pada tahun 1984 plafon SQG ini diturunkan lagi menjadi 100 kg limbah B3 per bulan. Dengan pengecualian ini, sebagian besar jenis limbah dari SQG dikeluarkan dari Subtitle-C, walaupun pengusaha tetap diwajibkan untuk menganalisis limbahnya. Generator limbah B3 harus mendapatkan nomor identifikasi dari USEPA, yang memungkinkan untuk pemanfaatkan dan

pelacakan limbah berbahaya tersebut dalam mata rantai pengelolaan. USEPA juga mengadopsi aturan-aturan yang telah lama digunakan oleh US Departement of Transportation (DOT), yaitu aturan-aturan pengangkutan bahan berbahaya dan beracun mulai dari pengemasan, selama pengangkutan sampai di tujuan. Guna memungkinkan pelacakan dan pengelolaan sesuai dengan konsep Cradle-to-grave, maka diciptakan mekanisme seperti Skema 3.2 :

USEPA Penghasil limbah

(lembar 6)

Pengangkut limbah

(lembar 4)

Pengolah limbah

(TSD)

(lembar 3)

lembar 2

lembar 5

Skema 3.2 : Konsep cradle-to-grave Amerika Serikat

− Setiap generator mengisi format standar

dalam 6 kopi. − Generator menyimpan kopi-6 dan

mengirim kopi-5 ke USEPA serta memberikan copy yang lain ke transporter

− Transporter selanjutnya menyimpan kopi-4, dan menyerahkan copy yang lain pada perusahaan TSD (Treatment, Storage & Disposal)

− TSD kemudian mengirimkan kopi-1 kembali ke generator, kopi-2 ke USEPA dan TSD menyimpan kopi-3.

Dengan demikian, EPA dan generator dapat melacak perjalanan limbah B3 tersebut dari penimbul atau generator (cradle) ke titik penyingkiran/pemusnahan final (grave). Setiap manifes isian tersebut berisi antara lain : − Pernyataan bahwa generator telah

menggunakan cara-cara terbaik guna mengurangi volume dan toksisitas limbah B3 nya,

− Pernyataan bahwa sarana TSD yang dipilih oleh generator adalah yang terbaik dalam meminimkan resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Generator harus sudah menerima kopi-1 dalam kurun waktu 35 hari sejak limbah tersebut diterima oleh perusahaan pengangkut (transporter); kalau tidak, generator harus menghubungi transporter atau TSD untuk menentukan status dari limbah tersebut. Disamping itu generator harus melaporkan pada USEPA dengan menunjukkan tempat (lokasi) dimana limbah itu berada. Transporter merupakan masa rantai yang sangat penting dalam sistem ini. Karena DOT sudah lama menangani transportasi bahan berbahaya, maka USEPA bekerja erat dengan DOT. Transporter harus memiliki nomor-identifikasi USEPA, dan tidak menerima limbah dari generator yang tanpa nomor tersebut. Transporter harus mengangkut limbah tersebut sesuai

Diktat Pengeloaan B3 – Versi 2008 Bagian 3/8

Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 3.12

dengan jumlah yang tercantum dalam manifes. Transporter harus menyimpan kopi-4 dari manifes selama 3 tahun setelah limbah tersebut diterima oleh TSD. Rantai akhir dari sistem ini adalah TSD, yang melibatkan 3 kegiatan fungsional, yaitu : − Treatment (pengolahan) : setiap proses

yang merubah karakteristik atau komposisi limbah berbahaya sehingga menjadi tidak berbahaya atau sedikit berbahaya, atau setiap proses yang mampu melakukan pengurangan volume atau mampu memanfaatkan kembali limbah tersebut.

− Storage (penyimpanan) : penyimpanan sementara limbah berbahaya sebelum diolah atau dimusnahkan atau didaur-ulang.

− Disposal (pemusnahan/penyingkiran) : penyimpanan limbah berbahaya dengan cara yang dianggap aman dengan penimbunan dalam tanah.

Pengusaha yang ingin berkecimpung dalam usaha ini harus memasukkan permohonan yang mencakup rancangan sarananya, termasuk juga cara analisis limbah B3 dan sebagainya. Bila usulan tersebut disetujui (bisa memakan waktu sampai 3 tahun), maka aktifitas tersebut dikomunikasikan pada masyarakat selama 45 hari. Sebelum adanya Comprehensive Enviromental Respons, Compensation and Liabilites Act (CERCLA), maka EPA hanya mampu mengatur pengelolaan limbah berbahaya yang masih aktif dan baru ditutup. Sarana yang sudah ditutup sebelum peraturan ini keluar, tidak terjangkau oleh EPA. Oleh karenanya,

CERCLA adalah berfungsi menangani "dosa masa lalu", terutama pada landfill limbah B3 yang tidak terkontrol. CERCLA diperkuat oleh SARA yang mengatur pengumpulan dana melalui pajak khusus untuk menjamin terlaksananya pembersihan lingkungan. Dengan CERCLA, maka USEPA mempunyai kewenangan untuk bertindak terutama bila berkaitan dengan pengaruh limbah B3 terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, misalnya karena terjadinya kebocoran, ledakan, kontaminasi terhadap rantai makanan atau pencemaran terhadap sumber-sumber air minum. Salah satu isu penting terhadap lahan pengurugan (landfilling) yang tidak terkontrol secara baik adalah bagaimana mengidentifikasikan dan mengkuantifikasi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Terdapat dua jenis tindakan dari USEPA, yaitu : a) Penyingkiran (pengangkutan kembali)

substansi berbahaya dan pembersihan segera bagian-bagian lahan, atau kegiatan-kegiatan stabilisasi sementara lainnya, sampai pemecahan final yang permanen diterapkan pada lahan tersebut ; kegiatan ini bersifat program jangka pendek.

b) Kegiatan yang bersifat penyembuhan (remedial), yang merupakan pemecahan yang permanen dari masalah yang timbul. Dalam kegiatan yang bersifat jangka panjang ini, termasuk pula penentuan kontribusi penanggung jawab atas masalah ini, serta proporsi beban dana yang dipikulkan pada masing-masing pelaku, yaitu generator, transporter, pemilik/pengoperasi sarana TSD.

Referensi Utama: o Peraturan Pemerintah Nomor 18/1999: Pengelolaan Limbah B3 o Peraturan Pemerintah Nomor 85/1999: Amandemen PP18/99 o Wagner, T.P.: Hazardous waste identification and classification manual, Van Nostrand

Reinhold, 1990 o Wentz, C.A.: Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989