babii konsepdasar a. pengertiandigilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-nurhadiwib... ·...
TRANSCRIPT
5
BABII
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2002). Fraktur adalah putusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya, fraktur terjadi
keltika tulang diberikan stress lebih besar dari kemampuannya untuk menahan
(Harnowo, 2001). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Price, 1995).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat
dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Depkes, 1995).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi
(Doenges, 2000).
Trauma akibat fraktur tergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan
arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ketulang yang
disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang
mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang
disebut fraktur dislokasi.
6
Berdasarkan sifat perlukaannya, fraktur dibagi menjadi:
1. Fraktur Terbuka
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar
2. Fraktur Tertutup
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar
Klasifikasi dapat didasarkan pada tipe, luasnya jaringan yang retak,
serta lokasi, berupa:
1. Complete Fraktur
Complete fraktur yaitu patah atau diskontinuitas jaringan tulang
yang luas sehingga tulang terbagi menjadi 2 bagian dan garis patahnya
menyebrang dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga mengenai seluruh
korteks.
2. Incomplete Fraktur
Incomplete fraktur adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang
dengan garis patah tidak menyebrang sehingga tidak mengenai konteks
(masih ada konteks yang utuh) sering terjadi pada anak-anak disebut
greenstick fraktur.
B. AnatomidanFisioloogi
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk
pada tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung
dan melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul, (Pearce,
2004).
7
Osteon merupakan unit fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon terdapat kapiler, disekeliling kapiler tersebut merupakan matrik tulang
yang dinamakan lamela. Di dalam lamela terdapat osteosit yang memperoleh
nutrisi melalui prosesus yang berlanjut ke dalam kanalikuli yang halus (kanal
yang menghubungkan dengan pembuluh darah sejauh > 0,1 mm).
Bagian luar tulang diselimuti oleh membran fibrus padat yang
dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi pada tulang dan
memungkinkannya tumbuh selain sebagai tempat perlekatan tendon dan
ligamen. Periosteum mengandung syaraf, pembuluh darah, dan limfatik.
Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblas yang
merupakan sel pembentuk tulang.
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25 % BB dan
otot menyusun kurang lebih 50 %. Kesehatan dan baiknya fungsi sistem
muskuloskeletal sangat tergantung pada sistem tubuh yang lain. Struktur
tulang memberi perlingdungan terhadap organ vital termasuk otak, jantung,
dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga
struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak.
Matriks tulang menyimpan kalsium, posfor, magnesium, dan fluor. Lebih dari
99 % kalsium tubuh total terdapat dalam tulang. Sumsum tulang merah
terdapat dalam rongga tulang menghasilkan sel darah merah dan putih dalam
proses yang dinamakn hematopoesis. Kontraksi otot menghasilkan suatu
usaha mekanik untuk gerakan maupun produksi panas untuk mempertahankan
temperatur tubuh.
8
Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah
jaringan hidup yang akan suplai saraf dan darah. Tulang banyak mengandung
bahan kristalin anorganik (terutama garam-garam kalsium) yang membuat
tulang keras dan kaku, tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah jaringan
fibrosa yang membuatnya kuat dan elastic
a. Fungsi Tulang
1. Sebagai kerangka tubuh
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk tubuh.
2. Proteksi
Sistem muskuloskeletal melindungi organ-organ penting,
misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan
paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang dibentuk
oleh tulang-tulang kostae (iga)
3. Ambulasi & Mobilisasi
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan
tubuh dan perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system
pengungkit yang digerakan oleh kerja otot-otot yang melekat pada
tulang tersebut; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh
kerja otot-otot yang melekat padanya.
4. Deposit Mineral
Sebagai reservoir kalsium, fosfor, natrium, dan elemen-elemen
lain. Tulang mengandung 99 % kalsium & 90 % fosfor tubuh.
9
5. Hemopoesis
Berperan dalam pembentukan sel darah pada red marrow.
Untuk menghasilkan sel-sel darah merah dan putih dan trombosit
dalam sumsum merah tulang tertentu.
b. Struktur Tulang
Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars
spongiosa (jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa
jaringan padat). Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa
(periosteum); lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga
sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
Gambar 2. 1. Struktur tulang secara umum
Membran periosteum berasal dari perikondrium tulang rawan yang
merupakan pusat osifikasi. Periosteum merupakan selaput luar tulang yang
tipis. Periosteum mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang),
jaringan ikat dan pembuluh darah. Periosteum merupakan tempat
melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang dan berperan dalam
memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.
10
Pars kompakta teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak
memiliki sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium
Phosfat dan Calsium Carbonat) sehingga tulang menjadi padat dan kuat.
Kandungan tulang manusia dewasa lebih banyak mengandung kapur
dibandingkan dengan anak-anak maupun bayi. Bayi dan anak-anak
memiliki tulang yang lebih banyak mengandung serat-serat sehingga lebih
lentur. Tulang kompak paling banyak ditemukan pada tulang kaki dan
tulang tangan.
Pars spongiosa merupakan jaringan tulang yang berongga seperti
spon (busa). Rongga tersebut diisi oleh sumsum merah yang dapat
memproduksi sel-sel darah. Tulang spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis
tulang yang disebut trabekula.
Berdasarkan bentuknya, tulang dibagi menjadi 4 katrgori:
1. Ossa Longa (tulang panjang): tulang yang ukurannya panjang, biasa
ditemukan pada ekstremitas, contohnya os humerus dan os femur.
2. Ossa Brevia (tulang pendek): tulang yang ukurannya pendek, terdapat
pada penrgelangan tangan dan kaki, contoh: ossa carpi.
3. Ossa Plana (tulang gepeng/pipih): tulang yg ukurannya lebar, terdapat
pada tengkorak dan iga, contoh: os scapula
4. Ossa Irregular (tulang tak beraturan), contoh: os vertebrae, tulang
wajah, dan rahang.
5. Ossa Pneumatica (tulang berongga udara), contoh: os maxilla.
11
Gambar 2. 2. Struktur tulang radius
c. Penyusun Tulang
Tulang tersusun atas sel, matriks protein, dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar, yaitu osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
1. Osteoblast
Merupakan sel pembentuk tulang. Memproduksi kolagen tipe I
dan berespon terhadap perubahan PTH. Tulang baru dibentuk oleh
osteoblast yang membentuk osteoid dan mineral pada matriks tulang.
Bila proses ini selesai osteoblast menjadi osteocytes dan terperangkap
dalam matriks tulang yg mengandung mineral.
2. Osteocyte
Berfungsi memelihara kontent mineral dan elemen organik
tulang.
12
3. Osteoclast
Menyerap tulang selama pertumbuhan dan perbaikan
Penyerapan tulang dengan cara mengeluarkan asam laktat dan
kolagenase, menghancurkan mineral dan merusak kolagen.
d. Pertumbuhan Tulang
Tulang mencapai kematangannya setelah pubertas dan pertumbuhan
seimbang hanya sampai usia 35 tahun. Berikutnya mengalami percepatan
reabsorpsi sehingga terjadi penurunan massa tulang sehingga pada usila
menjadi rentan terhadap injury.
Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan
hormone sebagai berikut :
1. Kalsium dan posfor, tulang mengandung 99% kalsium tubuh dan 90%
posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara dalam hubungan
terbalik. Sebagai contoh, apabila kadar kalsium tubuh meningkat maka
kadar posfor akan berkurang.
2. Calcitonin, diproduksi oleh kelenjar typoid memilki aksi dalam
menurunkan kadar kalsium serum jika sekresinya meningkat diatas
normal.
3. Vitamin D, penurunan vitamin D dalam tubuh dapat menyebabkan
osteomalacia pada usia dewasa.
4. Hormon paratiroid (PTH), saat kadar kalsium dalam serum menurun,
sekresi hormone paratiroid akan meningkat dan menstimulasi tulang
untuk meningkatkan aktivitas osteoplastic dan menyalurkan kalsium
kedalam darah.
13
5. Growth hormone (hormone pertumbuhan), bertanggung jawab dalam
peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah matrik tulang yang
dibentuk pada masa sebelum pubertas.
6. Glukokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein.
7. Sex hormone, estrogen menstimulasi aktivitas osteobalstik dan
menghambat peran hormone paratiroid. Ketika kadar estrogen menurun
seperti pada saat menopause, wanita sangat rentan terhadap
menurunnya kadar estrogen dengan konsekuensi langsung terhadap
kehilangan masa tulang (osteoporosis). Androgen, seperti testosteron,
meningkatkan anabolisme dan meningkatkan masa tulang.
e. Fase Penyembuhan Tulang
1. Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama
bila ada cedera di tempat lain dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam
jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat
patah tulang. Terjadi inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap
inflmasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.
2. Proliferasi sel
Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.
14
3. Pembentukan kalus
Perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam
tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tidak
bisa lagi digerakkan.
4. Osifikasi ( penulangan kalus )
Pembentukan kalus dimulai 2-3 minggu setelah fraktur. Mineral
ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada
orang dewasa normal, memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Remodelling
Tahap akhir perbaikan patah tulang. Remodelling memerlukan
waktu berbulan-bulan samapai bertahun-tahun tergantung beratnya
modifikasi tulang yang dibutuhkan.
C. Etiologi
1. Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh adanya suatu proses
penyakit, aeperti: Osteoporosis, kanker tulang.
2. Fraktur akibat trauma, seperti pada kasus membentur lantai atau
kecelakaan lalu lintas.
D. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter, 2002).
Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
15
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa-sisa sel mati dimulai. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang
baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen
(Brunner & Suddarth, 2002).
Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy
konservatif meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi
dengan pemasangan gips dan dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari
reposisi terbuka, fiksasi internal dan reposisi tertutup dengan kontrol radio
logis diikuti fraksasi internal (Smelter, 2002)..
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi dari imobilisasi. antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan,
hilangnya kekuatanotot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian
tubuh diimobilisasi, mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 1999). Pada reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragme-
fragmen tulang dipertahankan dengan pen, sekrup, pelat, paku. Namun
16
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi. Pembedahan itu
sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price, 1995).
E. Manifestasi Klinik
1. Nyeri
2. Deformitas (kelainan bentuk)
3. Krepitasi (suara berderik)
4. Bengkak
5. Peningkatan temperatur local
6. Pergerakan abnormal
7. Echymosis (perdarahan subkutan yang lebar-lebar)
8. Kehilangan fungsi (Smelter, 2002).
F. Penatalaksanaan Klinis
Bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian
tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang cedera harus
dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas
harus disangga di atas dan di bawah tempat patah untuk mecegah gerakan
rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen tulang yang patah dapat
menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan harus dikurangi
dengan cara menghindari gerakan fragmen tulang yang patah dan sendi sekitar
17
fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak akibat fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
memebebat kedua tungkai bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atas,
lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera
digantungkan pada sling. Peredaran darah di distal harus dikaji untuk
menentukan kecukupan perfusi jaringan ferifer.
Pada fraktur terbuka, luka harus ditutup dengan pembalut bersih
(steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-
sekali melakukan reduksi fraktur bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai keterangan sebelumnya.
Prinsip penanganan fraktur meliputi beberapa proses, yaitu:
1. Reduksi
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode yang dipilih
tergantung berdasarkan sifat faktur. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi adanya edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi semakin sulit jika cedera sudah mulai
mngalami penyambuhan.
18
a. Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, bidai, atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat
imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar X harus dilakukan untuk mengetahui
apakah tulang berada dalam kesejajaran yang benar.
Traksi digunakan untuk emndapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar X digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproximasi fragmen tulang. Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang
gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
b. Reduksi terbuka
Pada fraktur tertentu memerluka reduksi terbuka dengan
pendekatan tindakan pembedahan untuk mereduksi fragmen tulang
yang patah. Alat fiksasi interna berupa pin, kawat, sekrup, plat, paku,
dan batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Alat ini dapat dilekatkan disisi tulang atau dipasang melalui fragmen
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang. Alat tersebut dapat
menjaga aproximaksi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
19
2. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi., atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau
eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi,
dan pin. Implant logam dapat digunakan untuk fiksasi fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
3. Mempertahankan dan Mengembalikan Fungsi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan
lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaab,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah orthopedic diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler.
G. Komplikasi
1. Sindrom komparteman
2. Shock karena perdarahan hebat
3. Infeksi
4. Nekrosis vascular
5. Delayed union, non union dan mall union tulang yang patah
20
H. Pengkajian Fokus
Data dasar pengkajian pasien dengan Fraktur yaitu :
1. Identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama).
2. Riwayat penyakit saat ini : perawat perlu menentukan riwayat terjadinya
trauma, lokasi fraktur, serta keterlibatan trauma pada organ vital seperti
limpa, otak, ginjal dan yang lainnya sehingga perlu dilakukan fiksasi local.
3. Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat trauma atau fraktur sebelumnya, serta penyakit-penyakit yang
dapat memicu atau memperberat fraktur, kaji penggunaan obat-obatan
yang dikonsumsi klien karena penggunaan obat-obatan steroid dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan pengeroposan tulang.
4. Kebutuhan dasar
Pengkajian kebutuhan dasar meliputi:
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit
vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan
trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress
multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ;
stimulasi simpatis.
21
c. Makanan dan cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk
hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ;
membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode
puasa pra operasi)
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ;
Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan
penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat
keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat
penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat
mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic,
dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer
dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional.
Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang
mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi
penarikan diri pasca operasi).
22
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rontgen
Untukmengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
serta mengetahui tempat dan type fraktur, biasanya diambil sebelum
dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara
periodik
b. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak di sekitar fraktur.
c. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi )
atau menurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres
normal setelah trauma.
23
I. Pathways Keperawatan
Gambar 2.2. Pathway Keperawatan
Sumber : Smletzer, 2002
J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress,
ansietas
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
Diskontinuitas tulang
Gangguanintegritas kulit
Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis
Fraktur
Pergeseran fragmen tulangyang patah
Perubahan bentuk danfungsi tulang
Merusak jaringansekitar
Deformitas
Gangguan rasanyaman: nyeri
Gangguanmobilitas fisik
Laserasi kulit
Fraktur terbuka
Jalan masukkuman
Kurang informasitentang fraktur
Resiko infeksi
Kurangpengetahuan
24
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit,
insisi pembedahan.
(Doenges, 2000)
K. Fokus Intervensi dan Rasional
Fokus intervensi keperawatan dan rasional merujuk pada Carpenito
(2002) dan Doenges (2000), antara lain:
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress,
ansietas.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam klien
mampu beradaptasi dengan nyeri yuang dialami.
b. Kriteria hasil:. nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
c. Intervensi:
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
2) Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
25
3) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien
tentang nyeri.
4) Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik
berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam pemenuhan
masalah kerusakan kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus,
kemerahan, luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital
dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
c. Intervensi:
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah
dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah
intervensi.
26
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar
luas pada area kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi
parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen
pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan
a. Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas
optimal
b. Kriteria hasil : klien mampu melakukan pergerakkan dan
perpindahan, mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di
27
toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1= memerlukan alat bantu
2= memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan,
dan pengajaran.
3= membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4= ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
c. Intervensi:
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah
karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan
28
a. Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, luka bersih
tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal atau
dapat ditoleransi.
c. Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter,
drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
4) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.
5) R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa
terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
6) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.