bab vii petunjuk penyusunan laporan keuangan fiskal - pertemuan i-a.docx

42
Bab VII Petunjuk Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal, Perhitungan dan Pengisian SPT Tahunan PPh WP Badan dan WP Orang Pribadi Orang bijak taat pajak I. PENGANTAR Pada dasarnya penghasilan dipajakai secara periodik setahun sekali berdasarkan stelsel riil, sehingga pemajakan yang dilakukan setiap bulan selama tahun berjalan hanya bersifat sementara untuk membayar uang muka PPh. Pada setiap akhir tahun pajak semua penghasilan yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (Orang Pribadi dan Badan serta Warisan yang belum terbagi) serta Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap selama satu tahun pajak (dari awal tahun sampai akhir tahun pajak) harus dihitung ulang berdasarkan keadaan yang sesungguhnya, dan pajak yang telah dibayar selama tahun berjalan (setiap bulan atau setiap masa) seperti PPh Pasal 21, PPh 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25 bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak. Khusus atas penghasilan yang dikenai PPH yang bersifat final selama tahun berjalan, pada akhir tahun pajak tidak lagi dihitung ulang atau tidak lagi digabungkan sebagai penghasilan lain untuk dihitung ulang, dan PPh finalnya yang telah dibayar selama tahun berjalan tidak bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak. Walaupun demikian, jumlah penghasilan yang dikenai PPh bersifat final dan PPh Finalnya beserta penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh yang diterima atau diperoleh selama satu tahun tetap harus dilaporkan dalam lampiran tersendiri di SPT Tahunan. Pph yang harus dihitung ulang pada akhir tahun pajak adalah: 1. PPh pasal 21 Tahunan: yakni kewajiban untuk menghitung ulang yang dilakukan oleh Pemotong PPh pasal 21 melalui sistem pemotongan. 2. PPh Tahunan WP Orang Pribadi Dalam Negeri; yaitu kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP Orang Pribadi itu sendiri. 3. PPh Tahunan WP Badan Dalam Negeri; yakni kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP Badan itu sendiri. 4. PPH Tahunan WP BUT (Bentuk Usaha Tetap); yaitu kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP BUT itu sendiri. 1

Upload: yoga

Post on 12-Dec-2015

267 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Bab VII Petunjuk Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal, Perhitungan dan Pengisian SPT Tahunan PPh WP Badan dan WP Orang PribadiOrang bijak taat pajakI. PENGANTARPada dasarnya penghasilan dipajakai secara periodik setahun sekali berdasarkan stelsel riil, sehingga pemajakan yang dilakukan setiap bulan selama tahun berjalan hanya bersifat sementara untuk membayar uang muka PPh. Pada setiap akhir tahun pajak semua penghasilan yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (Orang Pribadi dan Badan serta Warisan yang belum terbagi) serta Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap selama satu tahun pajak (dari awal tahun sampai akhir tahun pajak) harus dihitung ulang berdasarkan keadaan yang sesungguhnya, dan pajak yang telah dibayar selama tahun berjalan (setiap bulan atau setiap masa) seperti PPh Pasal 21, PPh 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25 bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak.Khusus atas penghasilan yang dikenai PPH yang bersifat final selama tahun berjalan, pada akhir tahun pajak tidak lagi dihitung ulang atau tidak lagi digabungkan sebagai penghasilan lain untuk dihitung ulang, dan PPh finalnya yang telah dibayar selama tahun berjalan tidak bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak. Walaupun demikian, jumlah penghasilan yang dikenai PPh bersifat final dan PPh Finalnya beserta penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh yang diterima atau diperoleh selama satu tahun tetap harus dilaporkan dalam lampiran tersendiri di SPT Tahunan.Pph yang harus dihitung ulang pada akhir tahun pajak adalah:1. PPh pasal 21 Tahunan: yakni kewajiban untuk menghitung ulang yang dilakukan oleh Pemotong PPh pasal 21 melalui sistem pemotongan.2. PPh Tahunan WP Orang Pribadi Dalam Negeri; yaitu kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP Orang Pribadi itu sendiri.3. PPh Tahunan WP Badan Dalam Negeri; yakni kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP Badan itu sendiri.4. PPH Tahunan WP BUT (Bentuk Usaha Tetap); yaitu kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh WP BUT itu sendiri.5. PPH Tahunan WP Warisan yang Belum Terbagi, yakni kewajiban untuk menghitung ulang dilakukan oleh kuasa dari Warisan yang Belum Terbagi tersebut.Bahasan mengenai perhitungan PPH Pasal 21 Tahunan dan pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 telah disajikan pada bab terdahulu. Bab ini membahas perhitungan PPh Tahunan dan pengisian SPT Tahunan PPH WP Orang Pribadi, WP Badan, WP BUT, dan WP Warisan yang belum terbagi.Dengan perhitungan ulang PPH Tahunan pada akhir tahun dapat diketahui apakah pengenaan PPh atas semua penghasilan yang diterima/diperoleh selama satu tahun pajak masih terdapat PPH yang kurang dibayar atau terdapat PPh yang lebih dibayar, karena selama tahun berjalan WP telah melakukan pembayaran di muka PPh berupa PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, Pph pasal 24, atau PPh pasal 25.Rumus umum untuk menghitung PPh tahunan pada akhir tahun pajak sama seperti rumus untuk menghitung pajak-pajak lainnya, termasuk rumus menghitung PPh pasal 21 sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV dan VI, yaitu:DPP PPhx/x tarif pasal 17=/= PPh Tahunan terutangPda akhir tahun pajak rumus untuk menghitung PPh kurang/lebih dibayar adalah sebagai berikut:DPP PPh x/x tarif pasal 17=/= PPh tahunan terutang-/- Kredit PajakPph tahunan kurang/lebih dibayarJadi dalam menghitung PPH Tahunan yang kurang/lebih dibayar pada akhir tahun pajak perlu diketahui terlebih dahulu tiga unsur, yaitu tarif pajak, kredit Pajak PPH, dan DPP PPh. Tarif pasal 17 sudah ditentukan dalam pasal 17 UU PPh, yaitu 5%, 10%, 15%, 25% dan 35% untuk WP Orang Pribadi serta 10%, 15% dan 30% untuk Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak BUT (sayangnya UU PPH 2000 tidak menentukan tarif pasal 17 untuk WP Warisan yang belum terbagi). Kredit pajak adalah PPh yang telah dibayar/dilunasi/disetor selama tahun berjalan, yaitu PPh pasal 21, Pph pasal 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25, dan dalam kasus tertentu PPh pasal 26, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab V dan VI. Wajib Pajak tinggal mengumpulkan seluruh Bukti Pemotongan/Pemungutan atau Bukti Setoran (SSP) dari uang muka PPh tersebut untuk dikreditkan dengan PPh tahunan terutang (lihat pedoman pengkreditan PPH pada akhir tahun pajak yang disajikan pada Bab IV). DPP PPh aau Dasar Pengenaan Pajak PPH sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III mengenai definisi penghasilan sebagai Objek Pajak PPh adalah penghasilan neto. Besarnya penghasilan neto tidak ditentukan langsung dalam UU PPh, tetapi harus dihitung sendiri oleh WP. Untuk menghitung penghasilan neto pasal 6 sampai dengan pasal 16 UU PPh memberikan pedoman umum, yaitu penghasilan neto sama dengan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Cara perhitungan ini mirip seperi cara menghitung penghasilan neto dalam akuntansi, yang berbeda dalah pengertian atau definisi dari biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Oleh karena itu, penjelasan mengenai penghitungan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak akan bertitik tolak dari perhitungan penghasilan neto menurut prinsip akuntansi yang kemudian akan dilakukan rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal terhadap perhitungan neto tersebut, supaya penghitungan penghasilan neto menurut akuntansi sesuai dengan ketentuan UU PPh.Penghitungan PPh Tahunan terutang dan/atau PPh yang kurang/lebih dibayar pada akhir tahun pajak dibedakan atas empat cara sebagai berikut:1. Cara menghitung PPh tahunan bagi WP Badan dan WP BUT, dan WP Warisan yang belum Teragi (wajib pembukuan);2. Cara menghitung PPH tahunan khusus bagi WP BUT tertentu yang beroperasi secara internasional3. Cara menghitung PPh tahunan bagi WP orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pembukuan;4. Cara menghitung PPH Tahunan bagi WP Orang Pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan (tetapi wajib membuat pencatatan).Berikut ini disajikan rumus umum untuk menghitung PPH Tahunan pada akhir tahun beserta contoh penerapannya. Berturut-turut dibahas cara menghitung PPH tahunan kurang/lebih dibayar pada akhir tahun bagi WP Badan, WP warisan yang belum terbagi, WP BUT yang memang harus wajib menyelenggarakan pembukuan. Kemudian dibahas cara menghitung PPH Tahunan kurang/lebih dibayar pada akhir tahun bagi WP BUT tertentu yang beroperasi secara internasional. Dan terakhir dibahas cara menghitung PPH Tahunan kurang/lebih dibayar pada akhir tahun bagi WP Orang Pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, tetapi hanya wajib membuat pencatatan, serta perhitungan PPH Tahunan bagi WP Orang Pribadi yang wajib menyelenggarakan pembukuan, tetapi dalam kenyataan tidak menyelenggarakan pembukuan. Cara menghitung PPH tahunan kurang/lebih bayar pada akhri tahun bagi WP Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, akan dijelaskan sesudahnya. Khusus penghitungan PPH Tahunan kurang/lebih dibayar tahunan bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan akan dijelaskan perbedaan-perbedaan menyangkut prinsip mengakui penghasilan dan biaya antara akuntansi dan UU PPh. Bagian terakhri disajikan teknik menyusun Laporan Keuangan Fiskal melalui teknik koreksi fiskal atau rekonsiliasi fiskal terhadap laporan keuangan akuntansi/komersial disertai contohnya.2. Petunjuk Perhitungan PPh Tahunan bagi WP Badan, WP BUT, dan WP Warisan yang Belum TerbagiSebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV mengenai pembukuan, bahwa bagi WP Badan Dalam Negeri, WP BUT, WP Warisan yang Belum Terbagi, dan WP Orang Pribadi yang omzet setahunnya Rp 600.000.000,00 atau lebih, wajib menyelenggarakan pembukuan, supaya penghitungan PPh Tahunan Terutang lebih gampang, dan bagi fiskus bisa melakukan cross check. Penghitungan PPh tahunan bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan, dimulai dengan menghitung penghasilan neto untuk mendapatkan dasar pengenaan pajaknya. Bagi WP Orang Pribadi sesudah didapat penghasilan neto dikurangi lagi dengan PTKP: baru diterapkan tarif pasal 17. Sedangkan bagi WP Badan, WP BUT, dan WP Warisan yang Belum Terbagi (selanjutnya dalam buku nini hanya disebut WP Badan yang mewakili WP BUT dan WP Warisan yang Belum Terbagi), sesudah didapat penghasilan neto langsung diterapkan tarif pasal 17. Cara menghitung penghasilan neto ini mirip dengan cara menghitung penghasilan neto dalam akuntansi. Perhatikan rumus menghitung PPH tahunan kurang/lebih bayar pada akhir tahun bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan berikut ini.Rumus menghitung PPh Tahunan yang kurang/(lebih) dibayar pada akhir tahun bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan:Penghasilan bruto usaha yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat tidak final dari Indonesia dan dari luar Indonesia-/-Harga pokok penjualan yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductible costs)s=/= Laba bruto usaha-/- Biaya operasi yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductible expenses)=/= Laba (rugi) neto/bersih dari operasi+/+ Penghasilan luar usaha yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat tidak final dari Indonesia dan luar Indonesia-/- Biaya luar usaha yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductible other expenses)=/= Laba/(rugi) neto/bersih tahun berjalan sebelum kompensasi kerugian-/- Kompensasi kerugian fiskal yang diderita dalam 5 tahun terakhir hanya dari Indonesia=/= Penghasilan Kena Pjaak setahunx/x Tarif pasal 17=/= PPh Tahunan yang terutang-/- Kredit pajak (pph pasal 22, pph pasal 23, pph pasal 24, pph pasal 25)=/= PPh Tahunan yang kurang/(lebih) dibayarTerlihat bahwa cara perhitungan Penghasilan Kena Pajak di dalam UU PPh mirip dengan cara penghitungan laba neto yang dikenal di dalam akuntansi. Walaupun pola perhitungan PKP dalam pajak/fiskal mirip dengan pola perhitungan laba neto dalam akuntansi, itu tidak berarti bahwa seratus persen sama.Yang berbeda adalah;1. Definisi penghasilan menurut UU PPH berbeda dengan definisi penghasilan menurut akuntansi2. Di dalam UU PPh penghasilan dibedakan atas:a. Penghasilan yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat tidak final;b. Penghasilan yang Objek Pajak yang dikenai PPh bersifat final;c. Penghasilan yang bukan Objek Pajak.Di dalam akuntansi tidak dikenal pembedaan tersebut.3. Di dalam UU PPh biaya dibedakan atas:a. Biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan (deductibele expenses/costs);b. Biaya yang tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan (non deductible expenses/costs).Di dalam akuntansi semua biaya boleh sebagai pengurang penghasilan.Selain perbedaan-perbedaan tersebut, masih ada lagi beberapa perbedaan antara prinsip akuntansi dan prinsip UU PPh. Perbedaan termaksud adalah sebagai berikut:1. Di dalam UU PPh saat pengakuan penghasilan dan biaya tidak selalu sama dengan saat pengakuan penghasilan dan biaya di dalam akuntansi (lihat kembali penjelasan mengenai perbedaan saat pengakuan penghasilan antara pajak dan akuntansi dalam Bab III).2. Di dalam UU PPh prinsip penghitungan untung rugi penjualan harta (capital gains/loss) berbeda dengan prinsip penghitungan untuk rugi penjualan harta di dalam akuntansi.3. Di dalam UU PPh pencatatan besarnya penghasilan dan biaya harus berdasarkan adat kebiasaan pedagang yang baik, yaitu sesuai harga pasar yang wajar. Artinya, UU PPh tidak mengizinkan jika ada WP yang melakukan rekayasa pencatatan penghasilan dan biaya, misalnya dengan cara mark up atau mark down atau melakukan transfer pricing dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam rangka untuk memperkecil PPH yang harus dibayar. Jika ditemukan hal demikian, berdasarkan kuasa dari pasal 18 ayat (3) UU PPh, Dirjen Pajak berwenang untuk melakukan koreksi atasnya supaya sesuai dengan harga pasar yang wajar sebagaimana adat kebiasaan pedagang yang baik (dalam praktek terdapat perbedaan penilaian antara fiskus dan Wajib Pajak mengenai apakah penghasilan dan biaya sudah dicatat sesuai adat kebiasaan pedagang yang baik atau belum, sehingga menimbulkan kontroversi yang tidak habis-habisnya.4. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, pengertian kerugian usaha antara UU PPh dan akuntansi juga berbeda.Berdasarkan perbedaan yang bisa diidentifikasikan tersebut, biasanya WP dalam menghitung PPh Tahunan bertitik tolak dari laporan keuangan yang dibuat menurut prinsip akuntansi (SAK). Berdasarkan laporan keuangan tersebut baru dilakukan koreksi-koreksi sesuai ketentuan UU PPh, jika dalam laporan keuangan akutansi/komersial terdapat perbedaan pencatatannya untuk mendapatkan Laporan Keuangan Fiskal. Jika tidak ada yang berbeda, koreksi-koreksi tidak perlu dilakukan.2.1. Beda Tetap (Permanen Difference), Beda Waktu (Timing Difference)Menurut Willard J. Graham perbedaan-perbedaan antara prinsip akuntansi dan prinsip pajak dalam laporan keuangan bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok sebagai berikut:1. Perbedaan tetap (permanent difference)2. Perbedaan waktu (timing difference)Perbedaan tetap atau yang biasa disebut beda tetap adalah perbedaan yang bersifat tetap yang disebabkan oleh, menurut prinsip akuntansi (generally accepted accounting principles), suatu penerimaan diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran diakui sebagai penghasilan dan/atau suatu pengeluaran diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan komersial, sedangkan menurut prinsip pajak sesuatu penerimaan tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran tidak pernah diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan fiskal. Atau sebaliknya, menurut prinsip akuntansi sesuatu penerimaan tidak pernah diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran tidak pernah diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan komersial, sedangkan menurut prinsip pajak sesuatu penerimaan diakui sebagai penghasilan dan/atau sesuatu pengeluaran diakui sebagai biaya atau kerugian yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan fiskal.Perbedaan waktu atau yang biasa disebut beda waktu adalah perbedaan saat mengakui/melaporkan penghasilan dan/atau biaya antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal dalam suatu tahun pajak. Dalam hal ini, baik menurut akuntansi maupun menurut pajak sama-sama mengakui bahwa sesuatu penerimaan merupakan penghasilan, atau sesuatu pengeluaran merupakan biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan. Yang berbeda adalah menurut ketentuan UU PPh seseuatu penerimaan (seluruh atau sebagian) harus diakui sebagai penghasilan dan seluruh pengeluaran (seluruh atau sebagian) diakui sebagai biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan pada suatu tahun pajak. Sedangkan menurut akuntansi sesuatu penerimaan diakui sebagai penghasilan atau sesuatu pengeluaran harus diakui sebagai biaya pada tahun pajak yang berlainan. Perbedaan waktu ini disebabkan pertama, karena saat realisasi dan/atau istilah basis kas atau basis akrual berbeda antara akuntansi dan UU PPh, sebagaimana dijelaskan pada bab III tentang penghasilan, dan kedua, karena metode pembebanan yang digunakan, seperti metode pembebanan biaya penyusutan dan amortisasi berbeda antara akuntansi dan UU PPh.Nilai uang dari waktu ke waktu berubah (time-value of money), maka dalam jangka pendek perbedaan waktu ini mempunyai arti yang penting bagi Wajib Pajak. Wajib Pajak akan lebih suka membayar satu juta rupiah di masa yang akan datang, daripada membayarnya sekarang.Perbedaan waktu ini bisa dibedakan atas empat variasi sebagai berikut1. penghasilan diakui oleh pajak pada tahun sebelum penghasilan itu diakui oleh akuntansi;2. penghasilan diakui oleh pajak pada tahun sesudah penghasilan itu diakui oleh akuntansi;3. biaya atau kerugian diakui sebagai pengurang penghasilan oleh pajak pada tahun sebelum biaya atau kerugian tiu diakui oleh akuntansi;4. biaya atau kerugian diakui sebagai pengurang penghasilan oleh pajak pada tahun sesudah biaya atau kerugian itu diakui oleh akuntansi.2.2. Koreksi FiskalDalam akuntansi dikenal istilah rekonsiliasi bank, yaitu usaha mencocokkan perbedaan saldo bank menurut pencatatan bank dan menurut pencatatan perusahaan. Yang berkaitan dengan pajak juga dikenal istilah rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah usaha mencocokkan perbedaan penghasilan neto yang terdapat dalam laporan keuangan komersial penghasilan neto (yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi) dengan perbedaan penghasilan neto yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal (yang disusun berdasarkan prinsip fiskal). Rekonsiliasi fiskal biasanya dilakukan oleh fiskus pada waktu pemeriksaan pajak, karena laporan keuangan yang disampaikan oleh WP ke Kantor pelayanan Pajak adalah laporan keuangan fiskal, atau dilakukan oleh Akuntan dalam rangka menghitung PPh Tahunan terutang.Sekurang-kurangnya ada dua cara WP menyusun laporan keuangan fiskal yang tidak melanggar ketentuan pidana. Cara pertama adalah segala transaksi atau informasi yang ada dibukukan berdasarkan prinsip pajak atau tepatnya prinsip UU PPh demi kepentingan penghitungan PPh Tahun Terutang, yang dikenal dengan sebutan akuntansi perpajakan. Di samping itu, informasi yang sama tersebut dibukukan berdasarkan prinsip akuntansi untuk keperluan komersial. Cara ini (Separated Approach) memakan banyak biaya dan tenaga yang tidak perlu.Oleh karena itu, pada umumnya WP menempuh cara kedua, (Extra-Compatible Approach) yaitu semua transaksi atau informasi yang ada hanya dibukukan berdasarkan prinsip akuntansi. Kemudian pada akhir tahun dalam rangka untuk menghitung berapa besarnya utang PPh tahunan, dia melakukan koreksi terhadap laporan keuangan komersial tersebut supaya sesuai dengan prinsip UU PPh. Koreksi tersebut dinamakan koreksi fiskal, yaitu koreksi terhadap laporan keuangan akuntansi/komersial yang dibuat menurut prinsip akuntansi (SAK) yang berbeda dengan prinsip UU PPh supaya sesuai dengan UU PPh, sehingga menjadi sesuai dengan prinsip UU PPh. Jika laporan keuangan tersebut sudah sesuai dengan prinsip UU PPh, dinamakan Laporan Keuangan Fiskal. Laporan Keuangan Fiskal tersebut dipakai untuk menghitung PPh Tahunan Terutang. Dalam buku ini Penulis memakai cara yang kedua.Dilihat dari segi akibat yang ditimbulkan pada Penghasilan Kena Pajak, koreksi fiskal ada dua macam, yaitu:1. Koreksi fiskal positif atau koreksi positif yaitu koreksi atas laporan keuangan komersial supaya sesuai dengan prinsip UU PPh, sehingga menyebabkan jumlah PKP (Penghasilan Kena Pajak) membesar.2. Koreksi fiskal negatif atau koreksi negatif, yaitu koreksi atas laporan keuangan komersial supaya sesuai prinsip UU PPh, sehingga menyebabkan jumlah PKP mengecil.Berikut ini adalah penjelasan mengenai penghasilan dan biaya-biaya serta beberapa akun yang terdapat di neraca menurut prinsip UU PPH yang berbeda dengan prinsip akuntansi, baik yang bersifat tetap maupun temporer, dan cara melakukan koreksi fiskal. Prinsip yang sudah sama sekali tidak dijelaskan, karena tidak perlu dikoreksi fiskal.2.3. Perbedaan Konsep Penghasilan, Biaya, Untung Rugi Penjualan Harta (Capital Gains/Loss), Serta Kerugian Usaha Antara Akuntansi dan UU PPH2.3.1. Perbedaan Konsep Penghasilan antara UU PPh dan AkuntansiPenghasilan usaha maupun luar usaha menurut UU PPh haruslah dalam arti sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan telah dijelaskan pada Bab III. Dengan demikian, seandainya menurut akuntansi sesuatu penerimaan dianggap sebagai penghasilan tetapi jika menurut UU PPh penerimaan tersebut bukanlah penghasilan,a tau sebaliknya, menurut akuntansi sesuatu penerimaan dianggap sebagai bukan penghasilan, tetapi menurut UU PPh penerimaan tersebut pada hakikatnya merupakan penghasilan, maka dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak perbedaan tersebut harus dikoreksi beda tetap dari laporan keuangan akuntansi supaya sesuai dengan prinsip UU PPh. Sebagai contoh, karena krisis moneter perusahaan terancam bangkrut. Untuk menghindari kebangkrutan, pemegang saham mendanai perusahaan sebesar Rp 1 milyar. Supaya pendanaan dari pemegang saham tidak dianggap sebagai penghasilan, maka perusahaan mencatatnya sebagai pinjaman sub-ordinasi tanpa bunga, tanpa mengubah akte pendirian. Dalam kasus demikian, maka menurut UU PPh pada hakikatnya pencatatan penerimaan uang sebagai pinjaman sub-ordinasi merupakan penghasilan yang harus dikenai pajak.Walaupun, baik menurut akuntansi maupun menurut UU PPh sesuatu penerimaan sama-sama diakui sebagai penghasilan, tetapi dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan itu harus dibeddakan atas penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak (pasal 4 ayat 3), penghasilan objek pajak yang dikenakan PPh bersifat final (pasal 4 ayat (2), dan penghasilan objek pajak yang dikenakan PPh bersifat tidak final. Jadi, jika dalam objek pajak, ada penghasilan yang dikenakan PPh Final, ada perbedaan saat pengakuan penghasilan, ada pencatatan penghasilan yang tidak sesuai harga pasar awajar, maka semua perbedaan itu harus dikeluarkan atau dikoreksi dari laporan keuangan akuntansi supaya sesuai dengan ketentuan UU PPh.Teknik melakukan koreksi terhadap penghasilan tersebut, dinamakan koreksi fiskal.Misalnya, WP PT A membuat laporan laba rugi sesuai akuntansi selama tahun xxxx sebagai berikut:Penghasilan menjual rumahRp 100.000.000,00

Penghasilan sewa rumahRp 80.000.000,00

Penghasilan bunga pinjamanRp 40.000.000,00

Penghasilan dividen dari PT BRp 20.000.000,00

Total penghasilanRp 240.000.000,00

Biaya operasi(Rp 30.000.000,00)

Penghasilan netoRp 210.000.000,00

Supaya laporan laba rugi menurut akuntansi itu bisa dipakai untuk kepentingan penghitungan PPh Tahunan Terutang, terhadap laporan keuangan akuntansi itu dilakukan koreksi fiskal dengan cara sebagai berikut: buatlah kolom tambahan sebelah kanannya sebanyak tiga kolom yang masing-masing klom tambahan tersebut diberi judul koreksi fiskal beda tetap, koreksi fiskal beda waktu, dan fiskal. Kemudian buatlah koreksi fiskal, sehingga terlihat sebagai berikut:AkunAkuntansi/Komersial RpKoreksi Fiskal RpKoreksi Fiskal RpFiskal Rp (2+3+4)

Beda tetap(mengoreksi penghasilan yang bukan objek PPh, yang dikenai final, biaya yang non deductible, yang dicatat tidak sesuai harga pasar wajar)Beda waktu(mengoreksi penghasilan dan biaya yang diakui pada tahun pajak berbeda)

(1)(2)(3)(4)(5)

Penghasilan menjual rumah100.000.000,00100.000.000,00

Penghasilan sewa rumah80.000.000,00(80.000.000,00)0

Penghasilan bunga40.000.000,00(15.000.000,00)25.000.000,00

Penghasilan dividen dari PT B20.000.000,00(20.000.000,00)0,00

Total penghasilan240.000.000,00(100.000.000,00)(15.000.000,00)125.000.000,00

Biaya operasi(30.000.000,00)(30.000.000,00)

Total penghasilan neto210.000.000,00(100.000.000,00)(15.000.000,00)95.000.000,00

Penghasilan menjual rumah yang dilaporkan dalam laporan laba rugi akuntansi/komersial (kolom akuntansi/komersial) tidak dikoreksi fiskal (kolom koreksi fiskal beda tetap dan beda waktu nol). Karena, seperti yang dijelaskan pada Bab V mengenai PPH Final atas penghasilan dari menjual rumah yang diterima oleh PT A merupakan penghasilan yang Objek Pajak, dan dikenai PPH tidak bersifat final, sehingga menurut fiskal (kolom fiskal) penghasilan menjual rumah dicatat juga sebesar Rp 100.000.000,00 (saat pengakuan penghasilan diasumsikan tidak berbeda, dan pencatatan harga penjualannya diasumsikan sesuai dengan harga pasar wajar). Berbeda halnya dengan penghasilan menyewakan rumah. Menurut UU PPh (lihat Bab V) penghasilan menyewakan rumah adalah penghasilan objek PPH yang dikenai PPH bersifat final, sehingga pada perhitungan akhir tahun penghasilan jenis ini tidak diperhitungkan lagi dalam menghitung penghasilan neto atau menghitung PPh Tahunan Terutang. Oleh karena itu, karena kita menggunakan laporan laba rugi akuntansi sebagai titik tolak menghitung penghasilan neto dan/atau PPh Tahunan Terutang pada akhir tahun, maka penghasilan menyewakan rumah itu dalam laporan akuntansi tersebut harus dikeluarkan (dikoreksi fiskal negatif) dari laporan laba rugi akuntansi untuk kepentingan fiskal dengan cara mengisi jumlah yang dikoreksi tersebut dalam kolom koreksi fiskal beda tetap sebesar yang dikoreksi (Rp 80.000.000,00), sehingga kolom fiskal menjadi nol. Penghasilan bunga pinjaman untuk usaha yang dicatat/dilaporkan akuntansi adalah, misalnya, penghasilan bunga pinjaman yang sudah di-accrued sebesar Rp 15.000.000,000 , dan penghasilan bunga pinjaman yagn sudah jatuh tempo sebesar Rp 25.000.000,00. Menurut UU PPh, sebagaimana dijelaskan di Bab III, bunga yang di-accrued belum diakui sebagai penghasilan. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan waktu pengakuan penghasilan. Oleh karena itu, untuk kepentingan penghitungan PPh Tahunan, bunga yang di-accrued tersebut dikoreksi negatif beda waktu dengan mengisinya dalam kolom beda waktu, sehingga yang diakui fiskal hanyalah penghasilan bunga yang sudah jatuh tempo sebesar Rp 25.000.000,00. Demikian juga dengan penghasilan dividen dari PT yang dilaporkan oelh akuntansi dikoreksi fiskal negatif beda tetap, karena dividen yang diterima dari PT oleh PT sesuai pasal 4 ayat (3) huruf f dikecualikan sebagai objek Ph, sehingga dividen tersebut dikoreksi dengan mengisinya dalam kolom beda tetap. Akibatnya, secara fiskal jumlah dividen menjadi nol atau tidak dikenai pajak. Dengan demikian, berdasarkan asumsi biaya operasi tidak dikoreksi, karena semuanya deductible, maka angka-angka yang tertera dalam kolom fiskal sudah sesuai dengan ketentuan UU PPh untuk dikenai PPh pada akhir tahun. Dengan cara demikian, didapatlah laporan laba rugi neto fiskal sebagaimana dikehendaki oleh UU PPh. Terhadap laba tersebut ditetapkan tarif pasal 17 sehingga didapat PPH Tahunan terutang.

2.3.2. Perbedaan Konsep Biaya Antara UU PPh dan AkuntansiDi dalam akuntansi (Generally Accepted Accounting Principles) semua biaya boleh sebagai pengurang penghasilan, sedangkan di dalam UU PPh biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran, baik biaya rutin maupun biaya modal dibedakan atas: 1. Biaya yang boleh diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible costs/expenses) sebagaimana disebutkan di pasal 6;2. Biaya yang tidak diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto (nondeductible costs/expenses) sebagaimana disebutkan di pasal 9 dan pasal 18 UU PPh, serta pasal 1 sampai pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Selama Tahun Berjalan.Biaya yang nondeductible tersebut dikoreksi fiskal beda tetap. Dan karena sifatnya mengurangi biaya fiskal sehingga PKP membesar, maka sifat koreksi tersebut koreksi fiskal positif, atau nama lengkapnya koreksi fiskal positif beda tetap.Yang dimaksud dengan biaya-biaya yang boleh diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk mendapatkan penghasilan neto adalah biaya-biaya yang dinamakan oleh UU PPh sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai pajak tidak final dan beberapa pengurangan yang diperbolehkan sesuai ketentuan pasal 6 UU PPh.Biaya untuk mendapatkan penghasilan, misalnya, biaya pembelian bahan yang bisa berupa bahan baku, bahan pembantu, bahan atau barang lain untuk proses produksi, seperti pembelian/sewa mesin pabrik, gedung pabrik, dan lain-lain, jika tanpa pengeluaran untuk membeli barang atau bahan baku yang nantinya diproses menjadi produk tidak mungkin akan memberikan laba neto atau penghasilan neto. Dalam akuntansi biaya pembelian bahan itu disebut harga pokok penjualan.Biaya untuk menagih penghasilan, misalnya, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti gaji, upah, honorarium, bonus, gratifikasi, tunjangan, dan lain-lain yagn diberikan dalam bentuk uang kepada pegawai/karyawan yagn ditugaskan untuk membuat dan menyampaikan tagihan-tagihan perusahaan untuk memperoleh pernghasilan. Jika diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan (fasilitas), biaya termaksud tidak boleh sebagai pengurang penghasilan.Berikut ini terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai biaya-biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, lalu diikuti dengan penjelasan mengenai biaya-biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan, demi memperjelas pengertiannya. Dan yang terakhir penjelasan mengenai biaya-biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan tetapi saat pengakuannya berbeda antara akuntansi dan UU PPh.2.3.2.1. Biaya yang tidak boleh Sebagai Pengurang Penghasilan (Non Deductible Costs/Expense)Berdasarkan pasal 9 dan pasal 18 UU PPh, serta pasal 1 sampai pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pjaak Penghasilan Selama Tahun Berjalan.Adanya biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan bruto, dus bukan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh tidak final, sehingga dikoreksi fiskal positif beda tetap, yang disebabkan karena hal-hal berikut:1. Biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan karena UU PPh mau memberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak tertentu dengan menggunakan metode taxability deductibility nontaxability nondeductibility (pasal 9 ayat (1) huruf e dan g). Biaya-biaya ini terdiri dari:a. Biaya karyawan berupa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atas jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan (definisi imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan (definisi imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan lihat bab III tentang penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek PPh, dan Bab VI tentang imbalan yang dikecualikan sebagai objek PPh pasal 21.Walaupun pada dasarnya biaya karyawan/pegawai boleh sebagai pengurang penghasilan, namun apabila imbalan/balas jasa kepada pegawai tersebut diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, maka pemberi kerja yang berstatus sebagai Wajib Pajak atau pemerintah disyaratkan oleh UU PPh untuk memikul beban pajaknya dengan mengatakan di pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh bahwa imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dikecualikan sebagai Objek PPh bagi yang menerimanya sambil menentukan di pasal 9 ayat (1) huruf e bahwa imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dicatat oleh pihak yang memberikannya sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final, sehingga harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Dalam hal ini UU PPh menggunakan metode non-taxability non-deductibility yang artinya jika bagi penerima bukan merupakan penghasilan yang dikenai PPh, bagi pemberi kerja pengeluaran/biaya tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh-nya.Beberapa contoh imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap adalah fasilitas pengobatan yang ditanggung perusahaan, fasilitas perumahan, biaya perjalanan dalam rangka bukan dinas, pakaian seragam selain untuk keamanan dan keselamatan kerja dan selain karena situasi lingkungan kerja seperti pegawai hotel, bank, penyiar TV, dan lain-lain, fasilitas kendaraan yang diparkir di luar kantor, biaya PPh pasal 21 yang ditanggung perusahaan, dan lain-lain. Yang termasuk dalam pengertian kenikmatan adalah pemberian fasilitas kepada karyawan berupa selisih lebih antara harga pasar dan harga jual barang yang lebih rendah khusus kepada pegawai atau selisih antara tingkat suku bunga pasar dan tingkat suku bunga pinjaman oleh perusahaan kepada karyawan yang lebih rendah (SE-16/PJ.43/1999 tanggal 6 April 1999).UU PPh 2000 memberikan pengecualian dengan membolehkan imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dicatat sebagai pengurang penghasilan (tidak perlu dikoreksi fiskal) dalam kasus-kasus berikut: Biaya karyawan berupa imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa premi pensiun/THT, asuransi kecelakaan, kematian, dan kesehatan yang ditanggung pemberi kerja untuk pegawainya sebagaimana disebutkan di atas; Imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diberikan oleh WP yang berusaha di daerah tertentu (terpencil) sesuai Keputusan Dirjen Pajak kepada karyawannya boleh sebagai pengurang penghasilan. Pengertian daerah tertentu serta jenis-jenis imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut lihat Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Dirjen Pajak tersebut di bawah; Imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya sesuai ketentuan Departemen Tenaga Kerja atau Pemda setempat, termasuk pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja bagi pegawai pemadam kebakaran, projek, pakaian seragam pabarik, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam/Hansip), antar-jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal/pesawat dan yang sejenisnya. Imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berupa penyediaan makanan atau minuman oleh pemberi kerja di tempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama termasuk dewan direksi dan dewan komisaris yang diberikan di tempat kerja. (Ketentuan yang terakhir ini baru muncul di UU PPh 2000).(Penjabaran dari ketentuan-ketentuan tersebut lihat Peraturan pemerintah Nomor 148 Tahun 2000 Tanggal 23 Desember 2000 Tentang Fasilitas Pajak Pengahsilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu. Isi Peraturan Pemerintah tersebut sebagaimana telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 Tanggal 3 November 2000 Tentang Penyediaan Makanan dan Minuman bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu Serta yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 213/PJ/2001 Tanggal 15 Maret 2001 Tentang Perlakukan Perpajakan Atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan dengan Pelaksaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja).Khusus untuk WP Orang Pribadi dan WP Badan yang berbentuk persekutuan (firma, kongsi, CV, dan semacamnya, termasuk perusahaan reksadana berbentuk KIK), gaji/upah dan segala macam tunjangan yang dibayarkan kepada anggota persekutuan atau keluarganya, baik dalam bentuk uang maupun natura atau kenikmatan, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan (pasal 9 ayat 9 (1) huruf j UU PPh) dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan bahwa bagian laba yang diterima anggota persekutuan bukan Objek Pajak (pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh).Pada dasarnya gaji termasuk semua imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh persekutuan, firma, atau CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, termasuk perusahaan reksadana berbentuk KIK kepada anggotanya merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Akan tetapi, karena bentuk usaha berupa persekutuan, firma, atau CV yang modalnya tidak terbagi atas saham merupakan bentuk konsentrasi pribadi dari anggotanya, sehingga antara bentuk usaha itu dan anggotanya merupakan satu kesatuan ekonomis, maka pengenaan pajaknya dilakukan pada tingkat badan usaha tersebut. Gaji dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan kepada anggotanya tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final dari bentuk usaha tersebut, dan terhadap anggota yang menerimanya tidak lagi dikenai PPh.Berikut ini disajikan bagan berbagai jenis imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya yang biasa diberikan oleh Pemberi Kerja (Majikan) yang adalah WP PPh kepada Pegawainya disertai dengan keterangan apakah imbalan termaksud bagi Pemberi Kerja merupakan biaya yang deductible atau non deductible dalam menghitung PPh Tahunan, dan bagi Pegawai merupakan penghasilan atau bukan penghasilan yang dikenai PPh Pasal 21.JENIS NATURA DAN KENIKMATANBAGI PERUSAHAANBAGI PEGAWAI

I. FASILITAS PENGOBATAN

1. Klinik, Dokter, Rumah sakit (dibayar atas nama Majikan)Bukan biayaBukan penghasilan

2. Klinik, Dokter, Rumah sakit (dibayar oleh/atas nama Pekerja dan diklaim ke Majikan)BiayaPenghasilan

3. Penggantian pengobatan (tunai)BiayaPenghasilan

II. PERUMAHAN

(Beban penyusutan, perbaikan, perawatan)

1. Pemberian perumahanBukan biayaBukan penghasilan

2. Mess untuk transitBiayaBukan penghasilan

3. Mess untuk tinggalBukan biayaBukan penghasilan

III. PAKAIAN SERAGAM

1. Perlengkapan keamanan dan keselamatan kerjaBiayaBukan penghasilan

2. Perlengkapan Seragam karena situasi lingkungan (Pegawai hotel, bank, Penyiar TV dll)BiayaBukan penghasilan

3. Perlengkapan seragam lainnyaBukan biayaBukan penghasilan

IV. FASILITAS REKREASI & OLAH RAGA

V. BIAYA PERJALANAN

1. Dalam rangka tugas/dinasBiayaBukan penghasilan

2. Dalam rangka bukan dinasBukan biayaBukan penghasilan

3. Pemulangan karyawan ketempat asalBiayaBukan penghasilan

VI. FASILITAS PELATIHAN & PENDIDIKANBiayaBukan penghasilan

VII. MAKAN-MINUM

1. CafetariaBukan biayaBukan penghasilan

2. Perlengkapan makan-minum (Piring, gelas dsb)Bukan biayaBukan penghasilan

3. Makan-minum karena situasi lingkungan (Pegawai restoran, pegawai lembur dll)BiayaBukan penghasilan

4. Makan-minum bagi seluruh pegawai secara bersama-samaBiayaBukan penghasilan

5. Makan-minum lainnyaBukan biayaBukan penghasilan

VIII. FASILITAS KENDARAAN

(beban penyusutan, perbaikan, perawatan rutin, operasional)

1. Semata-mata untuk dinas (parkir di kantor)BiayaBukan penghasilan

2. Untuk antar jemput pegawaiBiayaBukan penghasilan

3. Untuk keperluan dinas disamping untuk pribadi50% biaya, 50% bukan biayaBukan penghasilan

IX. FASILITAS ALAT TELEKOMUNIKASI

1. telepon seluler, pager & sejenisnya (beban penyusutan kelompok I)50% biaya, 50% bukan biayaBukan penghasilan

2. Biaya langganan, pulsa isi ulang (termasuk ongkos perbaikan)50% biaya, 50% bukan biayaBukan penghasilan

X. IURAN ASURANSI DITANGGUNG MAJIKAN

1. Asuransi Kecelakaan, Kematian, Bea Siswa, Kesehatan, Jiwa, DwigunaBiayaPenghasilan

2. Asuransi Pensiun, THT/JHTBiayaBukan Penghasilan

XI. PPh Pasal 21

1. Ditanggung Pemberi Kerja (hitungan metode biasa)Bukan biayaBukan penghasilan

2. Ditunjang Pemberi Kerja (hitungan metode grossep up)BiayaPenghasilan

XII. NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYABukan biayaBukan Penghasilan

XIII. NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERPENCIL

(Kepmen 466/KMK.04/2000 jo Se-29/PJ.4/1995)

1. Perumahan, makan-minum, kesehatan, pendidikan dan keluarga, olahraga, sepanjang fasilitas di lokasi tersebut tidak tersedia oleh pihak bukan peruashaanBiayaBukan penghasilan

2. golf, boating, pacuan kudaBukan biaya Bukan penghasilan

b. Biaya sumbangan atau bantuan kecuali zakat, harta yang dihibahkan dan warisan yang diberikan pada dasarnya tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, sehingga harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.Biaya sumbangan, bantuan, serta harta yang dihibahkan yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi, sepanjang pemberian sumbangan/bantuan atau hibahan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak bersangkutan, termasuk warisan tidak boleh dicatat oleh pihak yan gmemberinya sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final (pasal 9 ayat (1) huruf g) dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa sumbangan, bantuan, hibahan, atau warisan, jika diterima oleh pihak lain, bagi pihak lain itu merupakan penghasilan. Akan tetapi, karena UU PPh menghendaki supaya penghasilan berupa sumbangan, bantuan, harta hibahan, dan warisan tidak dikenai pada pihak yang menerima, karena mereka itu termasuk golongan kurang mampu (dengan menentukan di pasal 4 ayat (3) huruf a dan b bahwa itu dikecualikan sebagai Objek PPh), tetapi harus dikenai PPh pada pihak yang memberikan, maka untuk mencapai maksud tersebut, UU PPh menegaskan pada pasal 9 ayat (1) huruf g, bahwa pemberian berupa sumbangan, bantuan, harta yang dihibahkan, warisan kecuali zakat tidak boleh dicatat oleh pihak pemberinya sebagai pengurang penghasilan (metode taxability deductibility non-taxability non-deductibility). Jadi, pada dasarnya sumbangan/bantuan, hibah, atau warisan dikenai PPh.Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengertian pemberian sumbangan/bantuan yang tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan di sini adalah pemberian sumbangan yang bermotivasi karitatif. Jika pemberian sumbangan/bantuan itu bermotivasi komersial, seperti pemberian sumbangan/bantuan atau hadiah dalam rangka promosi, maka boleh sebagai pengurang penghasilan, karena bagi yang menerima merupakan penghasilan yang dikenai PPh. Jika yang menerima sumbangan/bantuan itu adalah orang pribadi, maka dikenai pemotongan PPh pasal 21 yang akan diperhitungkan dengan PPh WP Orang Pribadi pada akhir tahun pajak; jika yang menerimanya adalah badan, maka dikenai PPh WP Badan pada akhir tahun pajak.

Perlakuan perpajakan terhadap sumbangan yang bersifat karitatif ini tidak berlaku jika sumbangan itu diberikan kepada GNOTA (Gerakan Nasional Orangtua Asuh). Dlaam kasus jika sumbangan diberikan kepada GNOTA, bagi pihak yang memberikan sumbangan boleh mencatatnya sebagai pengurang penghasilan (tidak perlu melakukan koreksi fiskal) karena pemberian semacam ini ditafsirkan oleh Dirjen Pajak sebagai biaya beasiswa yang menurut pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh boleh sebgai pengurang penghasilan (SE-33/PJ.421/1996 Tanggal 2 September 1996).Khusus untuk pemberian zakat UU PPh 2000 pasal 9 ayat (1) huruf g menegaskan bahwa pemberian zakat boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan pada tahun zakat tersebut dibayarkan (tidak perlu melakukan koreksi fiskal) dengan syarat sebagai berikut: Zakat tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh WP Orang Pribadi pemeluk agama Islam dan atau WP Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; Zakat tersebut berasal dari penghasilan yang Objek PajakKetentuan lebih rinci mengenai itu belum ada.2. Biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan karena bersifat atau bertujuan konsumtif, atau merupakan penggunaan penghasilan.Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III mengenai pengertian penghasilan khususnya frasa ....yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan...., salah satu implikasi normatif dari pengertian frasa penghasilan itu adalah semua pengeluaran yang merupakan penggunaan penghasilan (konsumtif) harus dikenai pajak. Oleh karena itu, pengeluaran-pengeluaran yang bersifat konsumtif atau merupakan penggunaan penghasilan itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan bruto dan harus dikoreksi positif beda tetap.Dalam prakteknya, pengeluaran yang bersifat konsumtif atau merupakan penggunaan penghasilan muncul dalam berbagai bentuk dan nama seperti biaya makan-minum, sewa hotel/vila untuk rekreasi karyawan, pembelian piring-gelas, meja makan, TV, sedan untuk pengurus/staf, premi asuransi, dividen, dan lain-lain. Berikut ini diberikan penjelasan beberapa pengeluaran biaya yang pada hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 9 ayat (1) UU PPh.i) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, seperti pembagian dividen kepada pemilik modal, pengambilan privat oleh pemiliknya, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan burto dari Wajib Pajak yang membagikannya (pasal 9 ayat (1) huruf a). Pembagian laba semacam itu merupakan penggunaan penghasilan, atau laba yang dibagikan itu sendiri merupakan penghasilan Wajib Pajak sehingga yang membagikannya yang harus dikenai PPh. Mungkin ada yang berargumen bahwa laba yang dibagikan dapat dinilai sebagai biaya untuk mendapatkan penghasilan, karena laba yang dibagikan itu pada dasarnya merupakan balas jasa atas penggunaan modal. Tanpa modal penghasilan tidak mungkin dapat diperoleh. Namun demikian, apabila seluruh modal ayng dipergunakan berasal dari pemegang saham dan seluruh laba dibagikan sebagai dividen, maka tidak ada lagi sisa penghasilan yang bisa dikenai pajak pada Wajib Pajak yang membagikan laba itu (separated entity approach antara WP Lihat Bab II). Oleh karena itu, UU PPh secara tegas menyatakan bahwa pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun tidak boleh sebagai pengurang penghasilan bruto.ii) Biaya yang dibebankan aatau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggotanya, seperti biaya listrik untuk rumah, biaya perbaikan rumah, biaya sekolah anak-anak mereka, dan lain-lain (pasal 9 ayat (1) huruf b), termasuk biaya yang dikeluarkan yang jumlahnya melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan (pasal 9 ayat (1) huruf f), dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya (pasal 9 ayat (1) huruf i). Jelas sekali biaya-biaya ini merupakan penggunaan penghasilan, atau dividen terselubung jika dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, di samping mungkin merupakan imbalan yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, atau yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai pajak. Oleh karena itu, biaya-biaya semacam itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan (koreksi positif beda tetap).Contoh: Tuan Ali, direksi sekaligus pemegang saham PT A, menerima gaji Rp 10.000.000,00 sebulan. Sedangkan Tuan Baba juga direksi, tetapi bukan pemegang saham PT A, menerima gaji Rp 7.000.000,00 sebulan. Dalam kasus ini terjadi ketidakwajaran memberikan gaji kepada Tuan Ali. Atas ketidakwajaran memberikan gaji kepada Tuan Ali. Atas jumlah yang melebihi kewajaran sebesar Rp 3.000.000,00 (Rp 10.000.000,00-Rp 7.000.000,00), tidak boleh sebagai pengurang penghasilan.iii) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tertanggung yang adalah dirina sendiri atau keluarganya, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan bruto dari Wajib Pajak Orang Pribadi itu (pasal 9 ayat (1) huruf d) sehingga harus dikoreksi positif beda tetap. Salah satu implikasi normatif dari pengertian penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah bahwa pembayaran premi asuransi merupakan penggunaan penghasilan untuk disimpan di perusahan asuransi yang akan diambil kembali jika kontraknya telah selesai.Berbeda halnya apabila premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa itu dibayar oleh Wajib Pajak, di mana yang menjadi tertanggung bukan diri Wajib pajak itu sendiri atau keluarganya, melainkan pegawainya. Dalam hal ini, pembayaran premi asuransi-asuransi itu pada dasarnya merupakan pembayaran imbalan (dalam bentuk kenikmatan) kepada pegawai dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, pembayaran premi asuransi-asuransi itu dikategorikan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Jadi, premi-premi tersebut, walaupun pembayarannya merupakan pembayaran imbalan dalam bentuk kenikmatan, boleh sebagai pengurang penghasilan, asalkan bagi pegawai yang menerimanya merupakan penghasilan objek PPh pasal 21 (lihat pasal 6 ayat (1) huruf a dan c). Hal yang terakhir ini merupakan penerapan dari asas taxability deductibility non-taxability non-deductibility.iv). Biaya karyawan berupa pembayaran bonus, gratifikasi, jasa produksi, yang berasal dari atau yang dibebankan kepada laba ditahan, tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal beda tetap, karena pembayaran tersebut merupakan penggunaan laba ditahan (penghasilan). Demikian juga dengan pembayaran tantiem juga tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi beda tetap, karena tantiem merupakan bagian keuntungan yang dibagikan kepada Direksi dan komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada persentase/jumlah tertentu dari laba setelah PPh (SE-06/PJ.44/1999 Tgl 17 Februari 1999 tentang Penegasan Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-16/PJ.44/1992 Tanggal 12 Mei 1992 tentang Pembagian Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi dan Tantiem).3. Pengeluaran atau biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan (harus dikoreksi fiskal positif beda tetap) karena negara tidak mau ikut menanggung kesalahan yang dibuat Wajib Pajak di bidang perpajakan.Pengeluaran tersebut adalah pengeluaran untuk membayar segala macam sanksi perpajakan seperti sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan, dan sanksi pidana berupa denda, termasuk PPN Masukan yang tidak boleh dikreditkan karena kesalahan formal yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yaitu Faktur Pajak yang isinya tidak lengkap, dan tidak berbentuk Fakur Pajak Standar.Merupakan sesuatu yang logis dan wajar jika kesalahan Wajib Pajak di bidang perpajakan tidak boleh ditanggung oleh negara dengan cara kesalahan tersebut dibayar dengan penghasilan yang dikenai PPh (mencatatnya sebagai biaya), sehingga hak negara dari penghasilan itu berkurang.Catatan:Imbalan bunga yang diterima oleh WP berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan, atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan objek PPh tidak final. Sedang pengembalian sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda, adalah bukan merupakan objek PPH (SE Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.42/2002 tanggal 2 April 2002).4. Biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan karena tidak berkaitan langsung dengan penghasilan yang dikenai PPh yang terdiri dari:a. Menurut akuntansi segala macam pajak termasuk Pajak Penghasilan merupakan biaya atau pengelauran yang mengurangi hak pemiliknya. Menurut UU PPh pembayaran pajak langsung seperti Pajak Penghasilan tidak ada hubungan dengan kegiatan Wajib Pajak untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan. Oleh karena itu, pengeluaran untuk membayar Pajak Penghasilan ditegaskan sebagai pengeluaran yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.Pajak Penghasilan, termasuk PPh Pasal 21, PPh pasal 22, Pph pasal 23, PPH pasal 24, PPh pasal 26 atas dividen, dan PPh Pasal 26 atas objek lainnya yang ditanggung oleh Pemotong PPh pasal 23/26 yang tidak dihitung dengan metode grossed up, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan. Sedangkan PPh pasal 21 yang ditunjang pemberi kerja (Pemotong PPH pasal 21), dan PPh pasal 26 atas penghasilan lain selain dividen yang dihitung dengan metode grossed up boleh sebagai pengurang penghasilan.PPN Masukan atas biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, juga tidak boleh sebagai pengurang penghasilan. Misalnya, PPN Masukan atas pembelian sedan. Atas sedan tidak boleh dilakukan penyusutan secara fiskal (biaya penyusutannya tidak diakui sebagai pengurang penghasilan), maka PPN masukan atas pembelian sedan tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh yang terutang tahunan.b. Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pph, sebagaimana ditentukan dalam pasal 4 ayat (3) UU PPh, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yagn dikenai PPh dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.Misalnya, sebuah Yayasan Dana Pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan di samping menerima penghasilan dari iuran pensiun dan dari bunga deposito, juga menerima penghasilan dari persewaan kendaraan miliknya. Menurut ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf g dan h, penghasilan dana pensiun yang berasal dari iuran pensiun dan dari modal yang ditanamkan di bidang deposito dikecualikan sebagai objek PPh. Sedangkan penghasilan dari persewaan kendaraan adalah objek PPh yang dikenai PPh bersifat tidak final. Sehubungan dengan itu, maka semua pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh Yayasan Dana Pensiun yang berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dari persewaan kantor yang dikenai PPh tidak final.c. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang telah dikenai pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh dengan tarif pasal 17 dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.Misalnya, PT B yang bergerak di bidang sewa-menyewa gedung kantor mempunyai penghasilan luar usaha seperti penghasilan dari penjualan aktiva selain tanah/bangunan. Karena atas penghasilan dari persewaan gedung kantor dikenai PPh bersifat final, maka segala biaya yang berhubungan dengan persewaan kantor tersebut tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh atas penghasilan dari penjualan aktiva selain tanah/bangunan tersebut yang dikenai PPh dengan tarif pasal 17, atau atas penghasilan lain selain penghasilan dari sewa kantor yang dikenai PPh dengan tarif pasal 17.Berdasarkan ketentuan tersebut, sejak awal tahun WP diharuskan untuk membukukan secara terpisah antara biaya-biaya yng berkaitan langsung dengan penghasilan yang bukan objek PPh, biaya-biaya yang berkaitan langsung dengan penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final, dengan biaya-biaya yang berkaitan langsung dengan penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final. Biaya-biaya tersebut tidak boleh digabungkan atau dicampuradukkan satu sama lain, supaya gampang menghitung penghasilan kena pajak.Seandainya WP menggabungkan biaya-biaya tersebut sehingga sulit dipisahkannya secara tegas, maka untuk memisahkan mana biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh, mana biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang dikenai PPh bersifat final, dan mana biaya yang berkaitan dengan penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final, maka biaya-biaya tersebut dibagi secara proporsional menurut besarnya masing-masing penghasilan.5. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan pasal 15 UU PPh, tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.6. Biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap, karena biaya tersebut tidak memenuhi persyaratan formal atau tidak memiliki bukti pengeluaran eksternal asli berupa bukti yang diberikan oleh pihak luar perusahaan yang menerima pembayaran.Setiap pengeluaran harus bisa dibuktikan secara eksternal. Dari bukti itu bisa ditentukan apakah pengeluaran itu digunakan utnuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau tidak. Tanpa adanya bukti eksternal bahwa sesuatu pengelauran boleh sebagai pengurang penghasilan, maka akan timbul peluang bagi Wajib Pajak untuk menyelundupkan pajak dengan cara menjadikan biaya tanpa bukti eksternal itu sebagai pengurang penghasilan , walaupun sebenarnya dikeluarkan untuk tujuan konsumtif dan semacamnya. Oleh karena itu, bukti-bukti eksternal yang asli penting disimpan sebagai pertanggungjawaban Wajib Pajak di kemudian hari.Namun, dalam praktek sering dijumpai adanya pengeluaran yang bukti eksternalnya tidak bisa diperoleh secara memadai, seperti pengeluaran untuk entertain/representasi pelanggan, pengeluaran untuk transportasi kendaraan umum seperti biaya taksi, bis umum, biaya perjalanan dinas, dan lain-lain.a. Biaya entertain/representasi, jamu tamu dan sejnisnya pada umumnya tidak mempunyai bukti eksternal yang memadai. Hanya karena biaya ini diakui perlu untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, maka ada ruling dari Dirjen Pajak bahwa biaya entertain/representasi boleh sebagai pengurang penghasilan (tidak perlu dikoreksi fiskal), asalkan dibuat daftar nominatifnya yang berisikan tanggal entertain/representasi, tempat, jenis, jumlah entertain/representasi, serta dengan siapa (relasi usaha) entertain atau representasi dilakukan,d ari perusahaan mana dan dalam kedudukan apa orang yang di-entertain. Daftar nominatif itu harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh (SE-27/PJ.22/1986 Tanggal 14 Juni 1986 tentang Biaya Entertainment dan Sejenisnya).b. Demikian juga dengan biaya perjalanan dinas, biaya transportasi yang menggunakan kendaraan umum seperti ongkos taksi, bis umu, kereta api, dan lain-lain. Pada umumnya biaya semacam itu tidak mempunyai bukti pendukung yang memadai dan tidak besar. Tetapi berdasarkan ruling dari Dirjen Pajak pnegeluaran biaya semacam itu boleh sebagai pengurang penghasilan (tidak perlu dikoreksi fiskal). Contoh Daftar Norminatif Biaya Entertain/Representasi dan sejenisnya yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh supaya boleh sebagai pengurang penghasilan lihat halaman berikut.7. Biaya-biaya yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan khusus bagi WP BUT.Sesuai ketentuan pasal 5 ayat (3) huruf b dan c UU PPh, biaya-biaya WP BUT yang tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final dan yang harus dikoreksi fiskal positif beda tetapnya adalah biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran oleh WP BUT kepada kantor pusatnya, seperti pembayaran royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya, pembayaran imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga yang berkaitan dengan usaha perbankan. Sebaliknya, apabila kantor pusat yang membayar pengeluaran-pengeluaran tersebut ke WP BUTnya, maka pembayaran tersebut bukan merupakan penghasilan bagi WP BUT.Sesuai Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995, biaya administrasi kantor pusat yang boleh sebagai pengurang penghasilan WP BUT adalah biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Akan tetapi, besarnya dibatasi yaitu setinggi-tingginya sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Untuk itu, WP BUT wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh. Laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi tersebut harus sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing BUT di negara tempat perusahaan melakukan usaha atau kegiatan.8. Berdasarkan Kep-390/PJ./2002 tanggal 22 Agustus 2002 pembayaran Dana jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa (dana yang berasal dari iuran wajib Pemodal yang dibayarkan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan, untuk tujuan penjaminan penyelesaian transaksi bursa) oleh Pemodal (anggota kliring atau nasabahnya yang melakukan pesanan jual beli surat berharga dalam suatu transaksi) tidak dapat dikurangkan sebagai biaya (non deductible), atau ditambahkan pada harga perolehan surat berharga, atau dikurangkan dari harga jual surat berharga bagi Pemodal ybs. Demikian juga dengan Penggunaan Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa untuk penyelesaian gagal bayar bukan merupakan biaya atau kerugian bagi KPEI, dan bukan merupakan penghasilan bagi Pemodal ybs. Dipihak lain Penerimaan Dana Jaminan Penyelesaian Bursa oleh KPEI bukan merupakan penghasilan KPEI sepanjang tidak dipergunakan untuk menambah kemampuan ekonomis.2.3.2.2. Biaya yang Boleh Sebagai Pengurang Penghasilan (Deductible Costs/Expenses)Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pada dasarnya semua biaya yang dikenal di dalam akuntansi boleh sebagai pengurang penghasilan asalkan biaya itu digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan objek PPh dan dikenai PPh bersifat tidak final sebagaimana ditentukan di pasal 6 UU PPh. Walaupun demikian, harus diperhatikan bahwa semua biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan itu mempunyai batasan-batasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan akan ditegaskan lagi berikut ini.Sama seperti di dalam akuntansi, menurut UU PPh semua pengeluaran atau biaya-biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan bruto yang objek PPh dan yagn dikenai pajak tidak bersifat final bisa dibedakan atas:1. Pengeluaran rutin atau biaya usaha sehari-hari yang terbagi atas: Pengeluaran yang manfaatnya akan dipetik dalam masa satu tahun atau kurang (untuk masa manfaat satu tahun atau kurang). Pengeluaran yang manfaatnya akan dipetik dalam masa lebih dari satu tahun (untuk masa manfaat lebih dari satu tahun).2. pengeluaran modal, yaitu pengeluaran untuk mendapatkan alat-alat perusahaan yang lazimnya mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Pengeluaran rutin untuk masa manfaat satu tahun atau kurang yang boleh sebagai pengurang penghasilan dibebankan sebagai pengurang penghasilan pada tanggal pengeluarannya, persisnya pada tanggal timbulnya kewajiban untuk membayar tau tanggal pembayaran, berdasarkan mana yang terjadi lebih dahulu. Pengeluaran rutin untuk masa manfaat lebih dari satu tahun seperti biaya sewa untuk dua tiga tahun atau lebih yang boleh sebagai pengurang penghasilan dibebankan melalui amortisasi. Perhitungan besarnya biaya amortisasi tersebut setiap tahun mengikuti ketentuan pasal 11A UU PPh (lihat penjelasan biaya modal).

Pengeluaran modal/aktiva tetap yang lazimnya mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibedakan atas pengeluaran untuk mendapatkan aktiva tetap berwujud dan aktiva tetap tidak berwujud. Pengeluaran untuk mendapatkan aktiva tetap tidak berwujud untuk usaha dapat dibebankan melalui amortisasi, jika aktiva tetap tidak berwujud itu dipergunakan sepenuhnya untuk usaha mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Perhitungan besarnya amortisasi tersebut mengikuti ketentuan pasal 11A UU PPh (Lihat penjelasan biaya modal).

Sedangkan pengelauran untuk membeli aktiva tetap berwujud dapat dibebankan melalui penyusutan, jika aktiva tetap berwujud itu dimiliki dan dipergunakan sepenuhnya untuk usaha mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Perhitungan besarnya penyusutan aktiva tetap berwujud setiap tahun mengikuti ketentuan pasal 11 UU PPH (lihat penjelasan biaya modal).

Untuk lebih memperjelaskan mengenai perlakuan perpajakan terhadap biaya-biaya akuntansi tersebut, berikut ini adalah penjelasan mendetail mengenai perbedaan perlakuan UU PPH terhadap biaya-biaya yang dikenal dalam akuntansi.a. Biaya usaha sehari-hari (biaya/pengeluaran rutin):i. Harga Pokok PenjualanUU PPh juga mengakui adanya harga pokok penjualan (HPP) yang boleh sebagai pengurang penghasilan (UU PPh menyebutkan biaya pembelian bahan). Tetapi dengan catatan bahwa baik di dalam akuntansi maupun di dalam UU PPh biaya pembelian bahan tidak selalu dibebankan/dipakai sekaligus pada tahun pembelian, tetapi masih bisa tersisa sebagai persediaan. Mengenai perbedaan perhitungan persediaan antara akuntansi dan UU PPh lihat subbab berikut mengenai perbedaan waktu.

Mengenai biaya upah buruh langsung dan upah buruh tidak langsung lihat penjelasan tentang biaya karyawan pada biaya operasi (biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi di bawah ini).

Besarnya biaya penyusutan mesin dan bangunan pabrik serta biaya amortisasi yang masuk dalam biaya pabrikasi (factory overhead) harus dihitung berdasarkan ketentuan dalam pasal 11 dan 11A UU PPh. Cara menghitung penyusutannya dapat dilihat di bawah ini (paragraf biaya modal).

Biaya overhead pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan, asalkan sesuai dengan ketentuan UU PPh (lihat penjelasan biaya terkait di bawah).

ii). Biaya Operasi (Biaya Penjualan dan Biaya Umum Administrasi):a. Biaya karyawan (gaji/upah) bagian penjualan dan administrasiBiaya gaji dan lain-lain, termasuk segala jenis tunjangan yang diberikan kepada pegawai dalam hubungan kerja untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan (penjelasan ini mencakup juga penjelasan tentang upah buruh langsung dan tidak langsung dalam HPP). Namun, apabila gaji/upah atau imbalan kepada pegawai diberikan dalam bentuk natura (benefit in kind) atau kenikmatan, maka biaya tersebut harus dikeluarkan dari biaya karyawan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak yang bersifat tidak final, karena biaya semacam itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final, dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Pemberi kerja (perusahaan) disyaratkan oleh UU untuk memikul beban pajaknya (lihat juga penjelasan mengenai imbalan dalam bentuk natura yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan).

Khusus untuk WP Orang Pribadi dan WP Badan yang berbentuk persekutuan (firma, kongsi, CV yang tidak terbagi atas saham, dan semacamnya), gaji/upah dan segala macam tunjangan yang dibayarkan kepada anggota persekutuan atau keluarganya tidak boleh sebagai pengurang penghasilan walaupun dibayar dalam bentuk uang secara langsung, karena apa pun yang diterima oleh anggota persekutuan tersebut merupakan bagian laba, atau apa pun yang diambil oleh Orang Pribadi dari hasil usahanya merupakan penggunaan penghasilan. Menurut ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf h, bagian laba yang diterima tersebut bukan Objek Pajak, sehingga bagi pihak yang memberi (dalam hal ini persekutuan) tidak boleh mencatatnya sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP (pasal 9 ayat (1) huruf a dan b). Demikian juga sesuatu yang merupakan penggunaan penghasilan harus dikenai pajak sesuai dengan pengertian material dari penghasilan.

(Dalam praktek biaya gaji/upah yagn tercantum dalam SPT Tahunan PPh WP Badan dan/atau WP Orang Pribadi disertai lampiral laporan keuangan harus sama dengan total jumlah gaji/upah bruto yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pasal 21 oleh WP bersangkutan. Jika biaya gaji/upah dalam SPT Tahunan WP Badan dan/atau WP Orang Pribadi lebih besar daripada biaya gaji/upah yagn terdapat dalam SPT Tahunan PPh pasal 21, atas selisih tersebut fiskus mengoreksinya sebagai biaya yagn tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP kalau perbedaan tersebut tak bisa dijelaskan).

b. Biaya bunga pinjaman.

Pada dasarnya biaya bunga pinjaman untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yagn dikenai PPh tidak final boleh sebagai pengurang penghasilan, tetapi dengan batasan-batasan tertentu sebagai berikut:(1) Menurut pajak, tepatnya menurut Dirjen Pajak (karena banyak Konsultan Pjaak berpendapat tiak sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) UU PPh), pembebanan bunga dalam masa konstruksi merupakan komponen biaya langsung yang menjadi bagian pembentukan harga pokok atau harga perolehan aktiva, seperti rumah atau gedung. Oleh karena itu, pengeluaran bunga pinjaman sampai dengan rumah atau gedung selesai dan siap dibangun atau dipasarkan (rumah/gedung sebagai persediaan) harus dikapitalisasi menjadi komponen harga pokok rumah atau harga perolehan gedung, tidak boleh dibebankan sekaligus sebagai baiay yang boleh sebagai pengurang penghasilan (SE-20/PJ.42/1994). Dlaam akuntansi pada dasarnya yang boleh dikapitalisasi adalah biaya bunga pinjaman untuk membeli aktiva tetap, tidak lazim mengkapitalisasi biaya bunga pinjaman untuk membeli persediaan. Hanya dalam SAK hal yang disebut terakhir dimungkinkan.

2. Dalam hal di neraca terdapat selain utang pinjaman juga terdapat deposito, maka beban bunga atas pinjaman tersebut yang boleh sebagai pengurang penghasilan hanyalah sebesar tingkat suku bunga pinjaman dikalikan dengan rata-rata utang pinjaman setahun dikurangi rata-rata deposito setahun. Jumlah bunga yang dibebankan menurut akuntansi lebih besar daripada perhitungan tersebut harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Hal ini didasarkan pda pertimbangan untuk mencegah jangan sampai uang yang dipinjam oleh WP digunakan untuk ditempatkan sebagai deposito/tabungan, di mana bunga dari deposito/tabungan tersebut dikenai PPh bersifat final, sedangkan bunga dari pinjaman termaksud dicatat sebagai pengurang penghasilan. Contoh penghitungannya lihat SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995.

3. Dalam hal perusahaan meminjam dana dari pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya atau dari anggota persekutuan dengan bunga melebihi kewajaran, maka selisih antara tingkat suku bunga yang wajar menurut harga pasar dan tingkat suku bunga yang melebihi kewajaran itu tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap, karena tingkat suku bunga yang tidak wajar itu pada dasarnya merupakan dividen terselubung (lihat definisi dividen dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh, sebagaimana dijelaskan pada Bab III).

Misalnya, A pemegang saham PT X telah menyetor penuh sebesar 100.000.000,00. Karena PT X kekurangan dana untuk modal kerja, si A meminjamkan dana sebesar Rp 50.000.000,00 ke PT X dengan tingkat suku bunga 25%, padahal tingkat suku bunga di pasar 20%.

Dalam hal ini berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (3) UU PPh Dirjen Pajak berwenang untuk mengoreksi penghasilan atau pengurangan bila besarnya penghasilan atau pengurangan tersebut dipengaruhi hubungan istimewa. Dengan demikian, makaSecara akuntansi biaya bunga25% x Rp 50.000.000,00=Rp 12.500.000,00

Secara fiskal biaya bunga

20% x Rp 50.000.000,00=Rp 10.000.000,00

Selisih=Rp 2.500.000,00

Selisih sebesar Rp 2.500.000,00 menurut fiskal merupakan dividen terselubung yang dikenakan PPh pasal 23 atau pasal 26, karena dibayarkan kepada pemegang saham (ada hubungan istimewa), jadi tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan dikoreksi fiskal positif beda tetap. Biaya bunga yagn diakui fiskal hanya sebesar Rp 10.000.000,00

4. Jika perusahaan meminjam dana dari pemegang saham yang belum menyetor penuh modalnya, menurut UU PPh, peminjaman itu dianggap sebagai setoran modal sampai sejumlah disetor penuh. Karena UU PPh berpendapat bahwa kewajiban dari pemegang saham untuk menyetor penuh modalnya ke perusahaan supaya kekurangan dana yang dialami perusahaan bisa teratasi. Jikapun perusahaan mau meminjam uang, haruslah meminjam kepada pihak lain. Oleh karena itu, bunga yang timbul dari peminjaman kepada pemegang saham itu tidak diakui sebagai pengurang penghasilan perusahaan yang meminjam, dan harus dikoreksi atau dikeluarkan dari komponen biaya (pasal 18 ayat (3) UU PPh). Bahkan bisa dianggap sebagai dividen terselubung.

Contoh:Tuan A adalah salah satu pemegang saham PT B. Berdasarkan akta Tuan A harus menyetor modal sebesar Rp 500.000.000,00, tetapi pada kenyataannya Tuan A baru menyetor Rp 100.000.000,00. Pada suatu tahun PT B membutuhkan dana untuk operasi perusahaan sebesar Rp 700.000.000,00. Untuk itu, PT B meminjam dari Tuan A sebesar Rp 700.000.000,00 dengan bunga 25% p.a.

Secara akuntansi beban bunga PT B yang terutang atau yang harus dibayar kepada Tuan A adalah sebesar Rp 175.000.000,00 per tahun. Tetapi secara pajak, karena melihat Tuan A belum menyetor penuh modalnya ke PT B, dana pinjaman dari Tuan A Rp 700.000.000,00 itu akan diperlakukan sebagai berikut: Rp 400.000.000,00 dijadikan sebagai setoran modal sehingga modal Tuan A menjadi disetor penuh ke PT B, dan sisanya Rp 300.000.000,00 bisa dianggap sebagai pinjaman dengan bunga 25% p.a. Dengan demikian, secara pajak perhitungan beban bunga PT B yang boleh sebagai pengurang penghasilan adalah Rp 75.000.000,00 (25% x Rp 300.000.000,00), sedangkan beban bunga sebesar Rp 100.000.000,00 (25% x Rp 400.000.000,000) tidak diakui sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP. Jadi, harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

5. Jika perusahaan meminjam dana dari pemegang saham tanpa bunga bisa dikoreksi oleh fiskus pada waktu pemeriksaan pajak sebagai pinjaman dengan bunga, kalau tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat berikut:a. Pinjaman tersebut berasal dar idana pemilik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.b. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya.c. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi.d. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.(berdasarkan Surat Dirjen Pajak kepada Ketua Tim Pengendali Pemeriksaan Tingkat Pusat di Jakarta Nomor: S-109/PJ.01/TG/1992 tanggal 21 Maret 1992)

c. Biaya sewa dan royaltiBiaya sewa seperti sewa harta gerak (misalnya sewa mobil, sewa mesin, dan lain-lain), sewa harta tak gerak (misalnya sewa rumah, tanah) dan royalti yang merupakan beban atas pemakaian harta tak berwujud pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan, jika biaya tersebut dikeluarkan untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final. Biaya royalti dan sewa harta yang boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut yang dikeluarkan perusahaan untuk masa kurang dari satu tahun (12 bulan) dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. Tetapi biaya royalti dan/atau sewa harta yagn boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut yang dipakai sepnuhny aoleh perusahaan untuk masa lebih dari satu tahun harus dibebankan melalui amortisasi, tidak boleh dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran (cara perhitungan amortisasi lihat tentang penyusutan dan amortisasi).

Namun, harus diperhatikan bahwa biaya sewa harta baru tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap, apabila sewa atas harta yang digunakan bukan untuk menjalankan usaha (mendapatkan, mendagih dan memelihara penghasilan), tetapi untuk tujuan konsumtif, seperti sewa rumah untuk ditempati oleh karyawan, sewa vila untuk rekreasi karyawan, dan lain semacamnya. Menurut pengertian penghasilan penggunaan penghasilan merupakan penghasilan yang harus dikenai pajak.

Andaikata harta yang disewa itu sebagian dipakai perusahaan untuk menjalankan usaha, dan sebagian lagi dipakai oleh pengurus atau karyawan atau pemegang saham atau komisaris untuk urusan pribadi, seperti sewa mobil yang sebagian waktu dipakai direksi/karyawan dalam rangka dinas dan waktu lain dipakai untuk kepentingan pribadi, maka akan timbul kesulitan dalam penghitungan alokasi biaya mana yang bersifat konsumtif dan mana yang tidak. Dalam kasus demikian, di mana timbul ketidak jelasan, maka Dirjen Pajak menganut prinsip: in dubio pro fisco, yang artinya jika terdapat keragu-raguan atau ketidakjelasan, harus dikenai pajak. Dengan demikian, seluruh biaya sewa harta yagn sebagian dipakai perusahaan, dan sebagian dipakai oleh pengurus atau karyawan semuanya tidak boleh sebagai pengurang penghasilan dan dikoreksi fiskal positif beda tetap.

d. Biaya pajak seperti PPN Masukan yang tidak bisa dikreditkan, PPnBM, bea meterai, PBB, Pajak-pajak daerah, dan pajak tidak langsugn lainnya pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan. Yang tidak boleh sebagai pengurang penghasilan adalah denda pajak (segala jenis pajak), biaya Pjaak Penghasilan, dan PPn Masukan yang tidak bisa dikreditkan karena Faktur Pajak yang isinya tidak lengkap atau karena Faktur Pajak Sederhana, dan Pajak Masukan atas pengeluaran yagn menurut UU PPh tidak boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

Khusus untuk biaya PPh Pasal 21 boleh sebagai pengurang penghasilan jika PPh pasal 21 itu ditunjang oleh perusahaan. Artinya, perhitungan PPh pasal 21 dilakukan dengan cara grossep up. Sedangkan PPh pasal 21 dilakukan dengan cara grossed up. Sedangkan PPh pasal 21 tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, apabila PPh pasal 21 ditanggung oleh perusahaan. Berarti perhitungan PPh pasal 21-nya tidak dilakukan dengan cara grossed up (dihitung dengan cara biasa).

Demikian juga dengan biaya PPh pasal 26 yang ditanggung Pemotong Pajak (selain PPH pasal 26 atas dividen) bisa diakui sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final, jika dalam perhitungannya menggunakan metode grossed up (Pasal 4.d. Peraturan Pemerintah Nomor 138 tahun 2001 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Selama Tahun Berjalan).

Contoh:Sesuai perjanjian kredit PT A tiap bulan harus membayar bunga kepada Lun Wai Ltd. Di Hong Kong sebesar Rp 50.000.000,00 dengan syarat net after tax (artinya, jika atas bunga tersebut dikenai pajak, pajaknya ditanggung PT A, bukan oleh Lun Wai Ltd.).

Menurut UU PPh atas pembayaran bunga kepada WP Luar Negeri dikenai PPH pasal 26, sehingga PT A bisa melakukan perhitungan PPH pasal 26 dengan dua cara sebagai berikut:1. PPh pasal 26 = 20% x Rp 50.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 (cara biasa)

Menurut perjanjian Lun Wai Ltd. Harus menerima Rp 50.000.000,00 bersih tanpa dipotong pajak, sehingga PPh pasal 26 sebesar Rp 10.000.000,00 menjadi beban PT A, tidak dipotong dari Rp 50.000.000,00.

Secara akuntansi PT A mencatat biaya PPh pasal 26 Rp 10.000.000,00, dan biaya bunga Rp 50.000.000,00 tetapi secara fiskal PPh pasal 26 Rp 10.000.000,00 yang ditanggung PT A tidak boleh dicatat sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP, sedangkan bunga Rp 50.000.000,00 boleh sebagai pengurang penghasilan.

Berbeda halnya jika dalam kasus di atas PT A menghitung PPh pasal 26 dengan metode grossep up sebagai mana ilustrasi 2 di bawah ini.

2. PPh pasal 26 = 20% x (Rp 50.000.000,00 : 80%) = Rp 12.500.000,00 (cara grossep up).PPh pasal 26 sebesar Rp 12.500.000,00 yang ditanggung PT A secara akuntansi merupakan biaya bagi PT A, dan secara fiskal biaya PPh pasal 26 sebesar Rp 12.500.000,00 tersebut semuanya boleh sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PKP, karena perhitungannya memakai metode grossep up yang berarti biaya tersebut telah dikenai pajak juga.

e. Pembebanan biaya pra-operasi (biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial) menurut akuntansi baru dilakukan pada saat perusahaan mulai beroperasi melalui amortisasi.

Menurut fiskal hanya biaya pra-operasi yang dikeluarkan tidak untuk mendapatkan, menagih, danmemelihara penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final tidak boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap. Sedangkan biaya pra-operasi yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yagn dikenai PPh bersifat tidak final boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut dan tidak perlu dikoreksi fiskal. Dan biaya pra-operasi yang boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut dibedakan atas:(1) biaya pra-operasi yagn boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final yang masa manfaatnya kurang dari setahun, seperti biaya gaji, biaya administrasi, dan lain-lain. Menurut fiskal biaya praoperasi yang masa manfaatnya kurang dari setahun, yagn boleh sebagai pengurang penghasilan yagn dikenai PPh bersifat tidak final harus dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.(2) biaya pra-operasi yang boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final yagn masa manfaatnya lebih dari setahun, seperti biaya pendirian, biaya sewa untuk masa lebih dari satu tahun, dan biaya modal untuk membeli aktiva tetap perusahaan, dan lain-lain. Jenis biaya ini, jika boleh sebagai pengurang penghasilan, maka harus dibebankan melalui amortisasi atau penyusutan sejak bulan pengeluaran biaya pra-operasi itu, bukan ditunggu sampai perusahaan mulai beroperasi. Cara perhitungan amortisasi atau penyusutan lihat tentang biaya/pengeluaran modal ketentuan pasal 11 dan 11A UU PPh. Khusus untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal usaha yang merupakan salah satu komponen dari biaya pra-operasi, UU PPh memberiakn kebebasan kepada WP untuk membebankan biaya tersebut secara sekaligus pada bulan pengeluaran atau amortisasi (pasal 11A ayat (3) UU PPH).

Dari hasil perhitungan tersebut jika terdapat selisih antara UU PPh dan akuntansi, maka selisih tersebut dikoreksi fiskal beda waktu. Koreksi fiskal tersebut bersifat positif, jika beban amortisasi atau penyusutan menurut UU PPh lebih kecil dari beban penyusutan atau amortisasi menurut akuntansi; dan bersifat negatif, jika beban amortisasi atau penyusutan menurut UU PPh lebih besar daripada beban penyusutan atau amortisasi menurut akuntansi.

f. Iuran/premi THT/pensiun yang dibayarkan pemberi kerja atau perusahaan kepada dana pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan untuk para pegawainya boleh sebagai pengurang penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final (tidak perlu dikoreksi fiskal). Walaupun pada dasarnya iuran/premi THT/pensiun tersebu tmerupakan imbalan dalam bentuk kenikmatan yagn tidak boleh sebagai pengurang penghasilan, tetapi UU PPh menegaskan bahwa demi mendorong usaha menyejahterakan pegawai oleh perusahaan, maka bagi pemberi kerja (perusahaan) biaya iuran/premi THT/pensiun termasuk biaya yang boleh sebagai pengurang penghasilan (pasal 6 ayat (1) huruf c).

g. kerugian dari selisih kurs mata uang asing pada dasarnya boleh sebagai pengurang penghasilan, jika kerugian dari selisih kurs tersebut atas akun yang berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPH bersifat tidak final (tidak perlu dikoreksi fiskal). Sedangkan kerugian dari selisih kurs atas akun yang tidak berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final tidak boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut dan harus dikoreksi fiskal positif beda tetap.

Untuk menghilangkan keragu-raguan apakah kerugian dari selisih kurs mata uang asing yang boleh sebagai pengurang penghasilan tersebut dibebankan pada saat realisasi atau sebelum realisasi, maka UU PPh menegaskan sebagai berikut:Kerugian dari selisih kurs yang disebabkan oleh fluktuasi kurs valas dibebankan sesuai sistem pembukuan yang dianut WP asal taat asas. Apabila WP menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat realisasi atas perkiraan valas tersebut. Apabila WP menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah BI atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah BI atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun pajak (pada umumnya WP membukukan berdasarkan kurs tengah BI).

Kerugian selisih kurs yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah di bidang moneter dibukukan dalam perkiraan sementara neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi valas tersebut.

Sehungan dengan krisis moneter yang melanda Indonesia, Menteri Keuangan melalui Keputusan Nomor 597/KMK.04/1998 tanggal 21 November 1997 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Selisih Kurs Valuta Asing dalam Tahun 1997 jo. SE-16/PJ.43/1997 Tanggal 27 November 1997 sebagaimana telah diubah dengan SE-54/PJ.42/1999 tgl 8 Desember 1999, mengambil kebijakan yang mengatur cara pembebanan kerugian karena selisih kurs untuk tahun pajak 1997 bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan sebagai berikut:1. Wajib Pajak dapat membebankan seluruh kerugian selisih kurs tahun 1997, baik yang telah direalisir maupun yang belum direalisir, ke dalam tahun 1997,atau2. Wajib Pajak dapat mengalokasikan/mengamortisasikan dengan metode garis lurus kerugian selisih kurs tahun 1997 dalam jangka waktu selama-lamanya lima tahun sejak tahun pajak 1997 secara taat asas.3. Jumlah rugi selisih kurs termaksud adalah jumlah rugi yang boleh sebagai pengurang penghasilan.4. kerugian selisih kurs tahun 1997 yang diderita perusahaan yang mau melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha tidak boleh dialihkan kepada badan baru hasil penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha.

Untuk tahun pajak lainnya, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan sesuai ketentuan UU PPh, sebagaimana telah dijelaskan (pasal 6 ayat (1) huruf e).

Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh 2000 mengenai kerugian karena selisih kurs menegaskan bahwa pembebanan kerugian dari selisih kurs menegaskan bahwa pembebanan kerugian dari selisih kurs sebagai biaya perusahaan didasarkan atas jumlah neto setelah memperhitungkan keuntungan dari selisih kurs yang diperoleh dalam tahun pajak yang sama. Kurs yang dipergunakan adalah berdasarkan kurs yang sebenarnya terjadi.

Khusus bagi WP BUT, kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai Rupiah atas utang kepada kantor pusatnya29