bab vi pembahasan umum - repository.ipb.ac.id · pembahasan umum . aktivitas penambangan minyak...

13
BAB VI PEMBAHASAN UMUM Aktivitas penambangan minyak bumi akan menghasilkan limbah minyak bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat toksik terhadap lingkungan disekitarnya seperti tanah, air tanah, dan tanaman. Tanah yang tercemar limbah minyak berat ini memiliki pH yang cukup rendah yaitu 5, kandungan hidrokarbon yang tinggi yaitu 30.32%, dan teksturnya yang liat menyebabkan sulit untuk diolah dengan sistem bioremediasi, dimana bakteri yang yang bekerja sebagai pendegradasi hidrokarbon dalam sistem bioremediasi dapat optimal bekerja pada pH 6-8 dan kandungan hidrokarbon tak lebih dari 15%. Untuk menurunkan kandungan hidrokarbon minimal sampai 15% dilakukan pengenceran dengan air dalam sistem bioslurry dan dengan tanah dalam sistem landfarming. Karena tingginya kandungan hidrokarbon dan teksturnya yang liat maka pencampuran air atau tanah sulit untuk dilakukan, untuk itu dilakukan upaya meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam air dan dalam tanah dengan menambahkan surfaktan. Dispersi minyak bumi ke dalam medium air akan lebih mudah bila ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya. Surfaktan dapat mengikat minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain surfaktan juga dapat mengikat air yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat memudahkan kontak antara mikroba dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik dan nonionik karena surfaktan anionik dan nonionik umumnya bersifat biodegradabel, tidak bersifat toksik terhadap mikroba, dan harganya relatif murah (Kosswig dan Marl 2003) jika dibandingkan dengan surfaktan kationik yang bersifat toksik terhadap mikroba (Tharwat 2005). Surfaktan anionik yang digunakan adalah linear alkilbenzene sulphonate LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS) dan surfaktan non ionik yang digunakan adalah Tween 80 dan Brij 35. Dengan meningkatnya kelarutan limbah minyak

Upload: dinhtruc

Post on 28-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB VI

PEMBAHASAN UMUM

Aktivitas penambangan minyak bumi akan menghasilkan limbah minyak

bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah

limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat

toksik terhadap lingkungan disekitarnya seperti tanah, air tanah, dan tanaman.

Tanah yang tercemar limbah minyak berat ini memiliki pH yang cukup rendah

yaitu 5, kandungan hidrokarbon yang tinggi yaitu 30.32%, dan teksturnya yang

liat menyebabkan sulit untuk diolah dengan sistem bioremediasi, dimana bakteri

yang yang bekerja sebagai pendegradasi hidrokarbon dalam sistem bioremediasi

dapat optimal bekerja pada pH 6-8 dan kandungan hidrokarbon tak lebih dari

15%.

Untuk menurunkan kandungan hidrokarbon minimal sampai 15% dilakukan

pengenceran dengan air dalam sistem bioslurry dan dengan tanah dalam sistem

landfarming. Karena tingginya kandungan hidrokarbon dan teksturnya yang liat

maka pencampuran air atau tanah sulit untuk dilakukan, untuk itu dilakukan upaya

meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam air dan dalam tanah dengan

menambahkan surfaktan. Dispersi minyak bumi ke dalam medium air akan lebih

mudah bila ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang

memiliki gugus polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya.

Surfaktan dapat mengikat minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain

surfaktan juga dapat mengikat air yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat

memudahkan kontak antara mikroba dengan sumber karbon dari minyak bumi

sebagai makanannya. Dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik dan

nonionik karena surfaktan anionik dan nonionik umumnya bersifat biodegradabel,

tidak bersifat toksik terhadap mikroba, dan harganya relatif murah (Kosswig dan

Marl 2003) jika dibandingkan dengan surfaktan kationik yang bersifat toksik

terhadap mikroba (Tharwat 2005).

Surfaktan anionik yang digunakan adalah linear alkilbenzene sulphonate

LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS) dan surfaktan non ionik yang digunakan

adalah Tween 80 dan Brij 35. Dengan meningkatnya kelarutan limbah minyak

berat akan mempengaruhi kinerja bakteri dalam proses biodegradasi limbah

minyak berat. Biodegradasi akan lebih mudah dan cepat terjadi bila minyak dalam

bentuk terdispersi. Hasil penelitian Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa

penggunaan biosurfaktan yang diisolasi dari Pseudomonas sp akan

memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak mentah dibandingkan dengan tanpa

penambahan biosurfaktan. Helmy (2006) juga mengatakan bahwa penambahan

surfaktan (Tween 80) meningkatkan proses biodegradasi sludge minyak bumi oleh

konsorsium bakteri petrofilik. Parameter peningkatan dispersi limbah minyak

berat dilihat dari nilai COD, total petroleum hydrocarbon (TPH) padat dan cair

dalam berbagai laju pengadukan.

Hasil penelitian (Gambar 2.8 dan 2.9) memperlihatkan bahwa semakin

tinggi laju pengadukan, maka nilai TPH fasa padat semakin kecil dan nilai TPH

fasa cair semakin besar. Nilai TPH fasa padat dan fasa cair dari penambahan

surfaktan LAS pada pengadukan 140 rpm adalah 10.20% dan 1.33%, sedangkan

dengan penambahan surfaktan NDS adalah 9.12% dan 1.68%. TPH fasa cair dari

penambahan surfaktan NDS lebih tinggi dibandingkan dengan LAS, hal ini

berkorelasi dengan nilai COD yang dihasilkan (Gambar 2.10). Penambahan NDS

memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS. Nilai COD tertinggi

terjadi pada laju pengadukan 140 rpm, yaitu 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan

35909 mg/L untuk 0.15% NDS. Semakin tinggi laju pengadukan, maka nilai COD

semakin besar pula. Hal ini disebabkan semakin tinggi laju pengadukan, maka

semakin banyak senyawa organik yang terkandung dalam limbah minyak bumi

masuk ke media air. Nilai ini menunjukkan bahwa limbah minyak bumi tersebut

banyak mengandung senyawa organik berupa hidrokarbon aromatik maupun

hidrokarbon alifatik. Sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk

mengoksidasi senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana semakin

tinggi.

Sedangkan untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%)

memberikan nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan

blanko. Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi

minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih

besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar

172

dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35

lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan

semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35. Akan tetapi

kosentrasi yang tinggi dapat menghasilkan busa yang lebih banyak sehingga

mengganggu proses aerasi dan biodegradasi menjadi tidak optimal. Berdasarkan

uji ANOVA (analysis of variance) yang dilakukan pada data perlakuan laju 140

rpm, nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS menghasilkan data

yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2.30). Untuk itu dalam perlakuan selanjutnya

digunakan surfaktan LAS karena pada kosentrasi yang lebih kecil akan

menghasilkan busa yang lebih sedikit sehingga tidak menganggu dalam proses

aerasi. Surfaktan LAS pada konsentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi

limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena karena

stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS,

Tween 80, dan Brij 35. Penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002)

menunjukkan bahwa penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel

penelitian ini mampu meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak

bumi secara berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang

digunakan didalam penelitian ini, semakin besar efek pendispersian minyak bumi

didalam air sehingga akan memperluas kontak permukaan antara limbah minyak

bumi dengan nutrisi, air dan oksigen yang pada akhirnya mikroba di lingkungan

tersebut mampu untuk meningkatkan hasil proses biodegradasi yang terjadi. Akan

tetapi konsentrasi surfaktan yang tinggi akan membuat busa lebih banyak pada

saat pengadukan sehingga menghalangi proses aerasi dalam biodegradasi.

Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan bioremediasi tanah

tercemar limbah mimyak berat dengan teknik bioslurry dan teknik landfarming.

Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah

tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Dengan

menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan

TPH ≈ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan

TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu

dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang

efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin

menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah

minyak berat dan kotoran hewan. Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang

banyak mengandung mikroba. Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran

hewan juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba.

Secara umum, kotoran segar hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6%

nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam bentuk P2O5, 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk

K2

Penelitian ini menggunakan teknik bioremediasi bioslurry dan lanfarming

dengan konsorsium bakteri yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran

hewan. Dalam penelitian ini bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat

menurunkan persentasi TPH sampai mencapai 0.11% dari persentase TPH awal

sebesar 20.71% dalam waktu 1 bulan, berada

O (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Anggraeni (2003) mengisolasi

mikroba pendegradasi minyak bumi dari kotoran hewan dan mengidentifikasi 3

isolat yaitu Pseudomonas pseudomallei, Pseudomonas aeruginosa, dan

Enterobacter agglomerans. Hikmatulloh (2004) dan Zaky (2005) mengujicobakan

isolat pendegradasi tersebut pada minyak diesel. Kotoran sapi dan kuda

merupakan sumber isolat mikroba yang dapat dimaanfaatkan dalam mendegradasi

minyak bumi. Isolat-isolat ini dapat digunakan untuk mendegradasi senyawa

hidrokarbon secara spesifik, baik dalam keadaan tunggal maupun campuran.

jauh dibawah ambang batas yang

ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm

atau 1 %. Artinya dengan teknik bioslurry, selama 1 bulan pengamatan memiliki

persen degradasi sebesar 99.47%. Bioremediasi dengan teknik bioslurry lebih

cepat daripada teknik lanfarming. Banerji (1996) mengatakan bahwa proses

bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor memiliki keuntungan

sebagai berikut: mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair:

kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik;

mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan

berpotensi dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu. Akan tetapi

dengan teknik bioslurry ini dibutuhkan alat yang lebih kompleks, penanganannya

lebih rumit dan biaya operasional yang mahal, sehingga industri perminyakan

lebih memilih teknik landfarming yang membutuhkan alat yang lebih sederhana,

penanganan yang lebih mudah dan biaya operasionalnya jauh lebih murah. Teknik

174

landfarming yang digunakan diberi perlakuan untuk meningkatkan persen

degradasi dengan menambahkan tanah liat dan kompos pada berbagai variasi.

Selama 4 bulan pengamatan didapat persen degradasi dari limbah minyak berat

yang dicampur dengan tanah liat sebesar 33.79%. Ketika dicampur dengan

kompos, persen degradasi meningkat menjadi 53.34% dari konsentrasi TPH awal

sebesar 11.96% turun menjadi 5.58% (Lampiran 3.4). Penambahan kompos dapat

meningkat kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon, selain

memiliki porositas yang cukup tinggi sehingga kelembaban terjaga, bakteri juga

memanfaat kompos yang mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri.

Berdasarkan data kromatogram GCMS dapat dilihat perubahan senyawa

hidrokarbon. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6

sampai C-35, setelah 4 bulan proses bioremediasi hanya teridentifikasi senyawa

hidrokarbon dari C-6 sampai C-12, ada 8 senyawa hidrokarbon yang tidak

terdeteksi lagi. Hilangnya senyawa pada akhir pengukuran dapat dilihat pada

Tabel 3.2. Hilangnya senyawa hidrokarbon tersebut karena terjadi proses

degradasi oleh bakteri menjadi senyawa hidrokarbon rantai pendek atau menjadi

senyawa yang lebih sederhana. Dari proses biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon

yang memiliki rantai panjang dan bobot molekul yang tinggi dipecah menjadi

senyawa hidrokarbon dengan bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini

dihasilkan gas CO2 dan NH3

Bioremediasi dengan konsorsium bakteri menggunakan teknik landfarming

hanya dapat menurunkan TPH sampai 5.58% dalam waktu 4 bulan. Akan tetapi

waktu yang dibutuhkan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan

konsorsium bakteri yang digunakan lebih cepat dibandingkan apabila

menggunakan bakteri indigen saja. Bioremediasi dengan teknik landfarming

menggunakan bakteri indigen (biostimulasi) membutuhkan waktu 8 bulan untuk

menurunkan konsentrasi TPH sampai 4% atau persen degradasi sebesar 11.60%

(Suardana 2002). Dibandingkan dengan teknik landfarming, teknik bioslurry jauh

lebih efektif dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Dengan teknik bioslurry,

persen degradasi TPH selama 1 bulan dapat mencapai 99.46%.

yang merupakan indikasi dari adanya proses

degradasi.

Beberapa hasil penelitian mengenai pemanfaatan teknologi bioremediasi

dalam mendegradasi bahan-bahan berbahaya disajikan pada Tabel 6.1. Dari Tabel

6.1 tampak bahwa dengan memanfaatan slurry bioreaktor proses degradasi dapat

berlangsung cepat dengan persentase bahan terdegradasi lebih tinggi dari

teknologi bioremediasi lainnya. Pada penelitian oleh Yerushalmi et al. (2003)

dengan memanfaatkan slurry bioreaktor tanpa perlakuan tingkat cemaran dalam

tanah dan perlakuan persen padatan TPH terdegradasi sebesar 70% selama 45

hari, sedangkan dengan memperbaiki kondisi tingkat cemaran dalam tanah dan

persen padatan seperti yang dilakukan pada penelitian ini, TPH mampu

terdegradasi hingga 85.29% dalam waktu empat hari.

Tabel 6.1. Beberapa hasil penelitian teknologi bioremediasi Jenis Polutan

Teknologi Bioremediasi Hasil Lamanya

waktu Skala Penelitian Referensi

Bahan peledak

Composting 98% 153 hari 14 kubik yard Craig et al., 1995

Landfarming 32% 235 hari 1 kubik yard Slurry Bioreaktor 99% 53 hari 400 gal

TPH

Bioaugmentasi pada Tanah 49% 60 hari 220 g

Yerushalmi et al., 2003 Slurry

Bioreaktor 70% 45 hari 120 ml volume kerja 45 ml

Jenis Polutan

Teknologi Bioremediasi Hasil Lamanya

waktu Skala Penelitian Referensi

BTEX Bioremediasi in situ 79% 300 hari 500 kubik yard Scalzi et al.,

2001

PAH Slurry Bioreaktor 96% 14 hari Pilot scale U.S. EPA,

2003

PAH Slurry Bioreaktor 30% 4 hari - Brown et al.,

1999

Untuk mengetahui spesies bakteri yang berperan aktif dalam proses

biodegradasi ini maka dilakukan isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri

pendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah

minyak berat.

Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan isolasi, seleksi dan

karakterisasi bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon. Dari hasil isolasi

176

didapatkan 11 isolat yang kemudian diseleksi untuk mendapatkan isolat-isolat

yang memiliki kinerja yang baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik

hidrokarbon alipatik maupun aromatik yang terdapat dalam limbah minyak berat.

Dari 11 isolat yang diseleksi didapatkan 3 isolat yang dapat menurunkan persen

TPH yang paling rendah yaitu isolat dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Pada

tahap seleksi ini isolat MY7 dapat menurunkan persen TPH dari 23.2% TPH awal

menjadi 15.71% TPH akhir, solat MY12 dapat menurunkan persen TPH dari

18.91% TPH awal menjadi 7.90% TPH akhir, dan isolat MYFlr dapat

menurunkan persen TPH dari 17.24% TPH awal menjadi 10.22% TPH akhir.

Semakin rendah persen TPH maka semakin banyak senyawa hidrokarbon yang

terdegradasi oleh isolat bakteri tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana.

Kemampuan untuk menurunkan persen TPH sejalan dengan jumlah koloni yang

dimiliki oleh ketiga isolat ini. Ketiga isolat ini memiliki pertumbuhan bakteri yang

lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya (Gambar 4.8). Ketiga isolat ini

memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa polyromatic hydrocarbon

(PAH) yang terdapat dalam limbah minyak bumi fraksi berat. Dari Uji konfirmasi

diketahui bahwa isolat dengan kode MY7 dapat mendegradasi senyawa

dibenzotiofena dan fenantrena, isolat dengan kode MY12 dapat mendegradasi

senyawa fenantrena, sedangkan isolat dengan kode MYFlr dapat mendegradasi

senyawa fluorena.

Identifikasi dilakukan secara molekular 16S rDNA. Analisis molekuler yang

dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan

sekunsing. Data mentah hasil sekuensing selanjutnya di-trimming dengan program

MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan selanjutnya dikonfersi

dalam bentuk FASTA format. Hasil sekuensing DNA dalam bentuk FASTA

format selanjutnya di-BLAST untuk mencari homologi secara on line di pusat

data base DNA di DDBJ atau di NCBI.

Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S

rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7

mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan

persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai

tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat

kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat

kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat

kesamaan 97%.

Salipiger sp. PR55-4 merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk

batang dan termasuk bakteri aerobik chemoheterotrophic (tidak dapat tumbuh

dalam kondisi anaerob). Bacillus altitudinis merupakan bakteri gram positif yang

berbentuk batang dan Ochrobactrum anthropi adalah bakteri gram negatif yang

bersifat aerobik dan merupakan bakteri oksidase (Yu et al. 2007).

Ochrobactrum sp. mampu memanfaatkan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH)

seperti fenantrena, pyrene dan fluorantena sebagai sumber karbon dan sumber

energi (Yirui et al. 2009).

Kemampuan isolat bakteri dalam mendegradasi senyawa PAH berbeda

satu sama lain, sangat tergantung kepada aktivitas enzim yang dihasilkan oleh

bakteri . Oleh karena itu, bakteri yang berpotensi menghasilkan enzim

pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan

kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Kemampuan degradasi

hidrokarbon oleh mikroorganisme tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti

temperatur, nutrisi, dan oksigen (Eweis et al. 1998). Degradasi suatu senyawa

hidrokarbon berhubungan dengan populasi bakteri (Gambar 5.4). Pada tahap awal,

bakteri beradaptasi di lingkungan minyak, kemudian pada saat pertumbuhan sel

bakteri berada pada fase pertumbuhan logaritmik maka senyawa hidrokarbon yang

ada akan semakin berkurang akibat aktivitas bakteri dan pada saat bakteri tersebut

sudah tidak mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon yang ada maka

pertumbuhannya akan terus menurun dan akhirnya sel bakteri tersebut akan

inaktif atau mati. Faktor yang mendukung proses bioremediasi minyak adalah

faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor fisik-kimia adalah komposisi kimia

minyak, kondisi fisik minyak, konsentrasi minyak, suhu, oksigen, nutrisi,

salinitas, tekanan, air aktivitas, dan pH, sedangkan faktor biologi adalah

kemampuan bakteri itu sendiri. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan uji

kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat

178

dalam limbah minyak berat baik dalam bentuk spesies tunggal maupun

campuran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki

kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang

terdapat dalam limbah minyak berat dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4

dan Ochrobactrum anthropi. Bacillus altitudinis dapat menurunkan persen TPH

sampai 5.8% dari TPH awal 12.69% atau memiliki persen degradasi sebesar

54.26%. Bacillus altitudinis memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan

dengan Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Pengamatan secara

visual pada Gambar 5.3 menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki

kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4 dan

Ochrobactrum anthropi.

Dibandingkan dengan spesies tunggal, campuran spesies bakteri jauh lebih

baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah

minyak berat. Bacillus altitudinis bersinergis dengan Salipiger sp. PR55-4 untuk

mendegradasi senyawa hidrokarbon sehingga dapat menurunkan persen TPH

sampai 4.99% dari TPH awal 12.53% atau memiliki persen degradasi sebesar

60.13%. Akan tetapi Bacillus altitudinis bersinergis lebih baik dengan

Ochrobactrum anthropi untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon, karena

dapat menurunkan persen TPH sampai 4.78% dari TPH awal 12.74% sehingga

memiliki persen degradasi lebih tinggi yaitu sebesar 62.47% (Lampiran 5.2 dan

5.4). Tabel 6.2 menyajikan perbandingan teknik landfarming dan bioslurry, teknik

bioslurry membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik

landfarming.

Tabel 6.2 Perbandingan teknik landfarming dan bioslurry

Teknik Bioremediasi

Bioaugmentasi/ Biostimulasi % Degradasi Waktu

Landfarming Biostimulasi Konsorsium Bakteri

11.60% 53.34%

8 bulan 4 bulan

Bioslurry 1 spesies bakteri 2 spesies bakteri 3 spesies bakteri Konsorsium Bakteri

54.26% 62.47% 81.52% 99.46%

1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan

Campuran 3 spesies bakteri ini memiliki kinerja yang paling tinggi

dibandingkan dengan campuran 2 spesies bakteri dan spesies tunggalnya.

Konsorsium bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis dan

Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi yang lebih tinggi yaitu

sebesar 81.56%. Menurut Loser et al. (1998), bakteri tunggal memiliki

kemampuan yang terbatas dalam mendegradasi fraksi-fraksi dalam hidrokarbon.

Hasil penelitian Ward et al. (2003) juga menunjukkan bahwa konsorsium mikroba

memiliki tingkat degradasi yang tinggi dalam mendegradasi senyawa BTEX

(benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena) yaitu sebesar >90%. Sedangkan

tingkat degradasi bakteri tunggal seperti Rhodococcus sp. dan Pseudomonas sp.

hanya sebesar 45% dan 55%. Hal ini disebabkan kemampuan ketiga bakteri ini

untuk bersinergis dalam mendegradasi senyawa hidrokabon. Dijelaskan oleh Atlas

dan Bartha (1998) bahwa proses biodegradasi senyawa hidrokarbon sampai terurai

sempurna (termineralisasi) tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis bakteri, tetapi

selalu dilakukan oleh suatu konsorsium bakteri secara sinergistik. Banyak bakteri

yang mampu mendegradasi senyawa alifatik maupun aromatik, tetapi tidak dapat

menggunakan hasil degradasinya sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya.

Disinilah peran konsorsium bakteri dimana bakteri yang satu menggunakan hasil

degradasi dari bakteri yang lain sebagai sumber karbon dan begitu seterusnya.

Menurut Yani et al. (2003), limbah minyak bumi yang terdiri atas berbagai

jenis komponen mulai dari C4-C40, didegradasi oleh mikroba menjadi senyawa

sederhana seperti CO2, asam organik sederhana dan biomassa sel. Namun

demikian, selalu terdapat senyawa-senyawa yang tidak dapat didegradasi oleh

180

mikroba. Sekumpulan mikroba tertentu akan mendegradasi komponen minyak

bumi secara berurutan dan berantai.

DAFTAR PUSTAKA

Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroorganisme Pendegradasi Diesel

dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB.

Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th

Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences.

edition. Benjamin Cummings Publishing Company, Inc.

Brown DG, Guha S, Jafee PR. 1999. Surfactant-Enhanced Biodegradation of PAH in Soil Slurry Reactors. Abstract. Bioremediation J., Vol. 3(3): 269-283. www.lehigh.edu/~dgb3/Research/SEB%20Project% 20Summary.pdf. (14 Juli 2005).

Craig HD, Sisk WE, Nelson MD, Dana WH. 1995. Bioremediation of Explosives Contaminated Soils: A Status Review. Proceedings of the 10th Annual Conference on Hazardous Waste Research. www.engg.ksu.edu/HSRC/95Proceed/craig.pdf. (14 Mei 2008).

Eweis JB, Sarina JE, Daniel PYC, Schroeder ED.1998. Bioremediation Principles. Mc Graw-Hill.

Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi Kasus Bioremediasi pada Tumpahan Minyak-Hidrokarbon yang Mencemari Suatu Lokasi Tumpahan Minyak Mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India.

Helmy Q, 2006. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Biodegradasi Sludge Minyak Bumi oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik (Tesis). Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. ITB.

Hikmatuloh YA. 2004. Kajian Kombinasi Bakteri Pada Proses Biodegradasi Minyak Diesel [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah

Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.

Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365.

Scalzi M, Xandra TPE, Eric A. 2001. A Systems’ Approach to In-Situ Bioremediation: Full Scale Application. Sixth Annual In-Situ and On-Site Bioremediation Conference, San Diego, CA. www.environmental-expert.com/articles/article1050/SCALZI%20TURNER%20and%20ANDREWS%20-%20B2001%20-%20Paper.pdf. [14 Mei 2008].

Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.

Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.

Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.

[U.S.EPA]. 2003. Site Technology Profile: Ecova Corporation (Bioslurry Reactor). www.epa.gov/ORD/NRMRL/pubs/540r03501/540R03501c-e.pdf. (14 Mei 2008).

Ward W, Singh A, Van Hamme J. 2003. Accelerated Biodegradation of Petroleum Hydrocarbon Waste. J. Ind. Microbiol. Biotechnol., 30, 260.

Yani M, Fauzi AM, Aribowo F. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi

Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB.

Yerushalmi L, Rocheleau S, Cimpoia R, Sarrazin M, Sunahara G, Peisajovich A, Leclair G, Guiot SR. 2003. Enhanced Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons in Contaminated Soil. Bioremediation J., Vol. 7 (1), 2003. www.uttu.engr.wisc.edu/UT18n3.pdf. (14 Mei 2008).

Yirui WU, He T, Zhong M, Zhang Y, Li E, Huang T, Hu Z. 2009. Isolation of marine benzo[a]pyrene-degrading Ochrobactrum sp. BAP5 and proteins characterization. Journal of Environmental Sciences. 21(10), 1446-1651.

Elsevier.

182

Yu MW, Sohn K, Rhee J, Oh WS, Peck KR, Lee NY, Song J. 2007. Spontaneous Bacterial Peritonitis due to Ochrobactrum anthropi. University School of Medicine, Seoul.

Zaki M. 2005. Produksi dan Karakterisasi Inokulum Serta Aplikasinya dalam

Mendegradasi Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian