bab tayyyyyyy
DESCRIPTION
ytyTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga
kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.Jenis kanker
yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak 98%, sedangkan lainnya
yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan sarkoma (0,3%).
1
BAB II
ISI
2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon
transversum, kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum. Mukosa
usus besar terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan
kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan submukosa tidak
mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak
yang disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa
banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica
semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut
pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku
yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia
coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah
pindah atau menghilang.
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri
mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior, membentuk
marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi cabang-cabang vasa
recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri
ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan
arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain
dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan
retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri sigmoidae yang
terdapat didalam mesocolon transversum dan mesosigmoid. Seringkali
arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama dengan arteri colica
media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti
pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan
arteri mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran
limfe mengalir menuju ke nn. ileocolica, nn. colica dextra, nn. colica
2
media, nn. colica sinistra dan nn. mesenterica inferior. Kemudian
mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum
pada fossa iliaca dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal
abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah ventral ren dextra, hanya
bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens ini
retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada
dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum
dan ren dextra. Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic
dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura
coli dextra sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai
hubungan dengan duodenum dan pankreas di sebelah dorsal, sedangkan
bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada
yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam
sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan
facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di
sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica
media. Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media
yang berasal dari arteri mesenterica superior pada 2/3 proksimal,
sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat arterialisasi dari
arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior .
3
Gambar 2.1. Arteri Mesenterica Superior
Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang
memfiksasi colon transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal.
Pangkal mesokolon transversa disebut radix mesokolon transversa, yang
berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli dextra. Lapisan
cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan
disebut ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal
melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi pembuluh
darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari mesokolon transversum
inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat bervariasi,
dan kadangkala mencapai pelvis.6
4
Gambar 2.2. Arteri Mesenterica Inferior
Colon descenden/s panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura
coli sinistra sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum.
Terletak retroperitoneal karena hanya dinding ventral saja yang diliputi
peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan erat
hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-
cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan
cabang dari arteri mesenterica inferior.
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya
intraperi toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix
mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel pada fossa iliaca
sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya
didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam
cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan
5
lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke dorsal lagi.
Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal
pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari
cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior
cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang terpenting adalah
adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan vena
haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara
kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena
haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna.
Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan
vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada
aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu
aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang berbentuk
huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan
arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara
kaki-kaki huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.
2.2 FISIOLOGI
Pertukaran air dan elektrolit
Kolon ialah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran
elektrolit. Sebnyak 90 % kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1-2 L
per hari. Natrium diabsorpsi secara aktif melalui NA-K-ATPase. Kolon
dapat mengabsorpsi sebanyak 400 mEq perhari. Air diserap secara pasif
mengikuti natrium melalui perbedaan osmotik. Kalium secara aktif
disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida
diabsoprsi secara aktif melalui pertukaran klorida-bikarbonat.
Degradasi bakteri dari protein dan urea menghasilkan amonia.
Amonia adalah substansi yang diabsorpsi dan ditransportasikan ke hati.
Absorpsi amonia ini tergantung dari pH intraluminal. Penggunaan
antibiotik akan menyebabkan penurunan bakteri usus dan penuran pH
intraluminal yang akan menyebabkan penurunan absorpsi amonia.
Asam lemak rantai pendek
6
Asam lemak rantai pendek seperti asetat, butirat dan propionat
diproduksi oleh fermentasi bakterial yang berasal dari karbohidrat. Asam
lemak rantai pendek ini berguna sebagai sumber energi bagi mukosa
kolon dan metabolisme usus seperti transportasi natrium. Kekurangan
sumber penghasil Asam lemak rantai pendek atau kolostomi, ileostomi
akan menyebabkan atrofi mukosa.
Mikroflora kolon dan gas intestinal
Sebanyak kurang lebih 30% dari berat feses terdiri dari bakteri.
Mikroorganisme yang terbanyak ialah anaerob dan spesies terbanyak
ialah Bacteroides. Escherichia coli merupakan bakteri aerob terbanyak.
Mikroflora endogen ini penting dalam pemecahan karbohodrat dan protein
di kolon dan berpartisipasi dalam metabolisne bilirubin, asam empedu,
estrogen dan kolesterol. Bakteri ini juga diperlukan dalam produksi
vitamin K dan menghambat pertunbuhan bakteri patogen seperti
Clostridium difficle. Tetapi tingginya jumlah bakteri pada colon dapat
menyebabkan sepsis, abses dan infeksi.
Gas intestinal dihasilkan dari air yang tertelan, difusi dari darah dan
produksi intraluminal. Komponen utama dari gas ini ialah nitrogen,
oksigen, karbon dioksida, hidrogen dan methan. Nitrogen dan oksigen
dihasilkan dari udara yang tertelan. Karbon dioksida diproduksi dengan
reaksi bikarbonat dan ion hidrogen dan perubahan trigliserid menjadi
asam lemak. Hidrogen dan methane diproduksi oleh bakteri kolon. Gas
yang diproduksi sekitar 100-200 mL dan dikeluarkan melalui flatus.
Motilitas
Tidak seperti usus halus, usus besar tidak menampilkan
karaktersistik dari kompleks migrasi motorik. Usus besar memperlihatkan
kontraksi intermiten. Amplitudo rendah, kontraksi durasi pendek akan
meningkatkan waktu transit di kolon, dan meningkatkan absorpsi air dan
perubahan elektrolit. Secara umum, aktivasi kolinergik meningktkan
motilitas kolon.
7
Secara umum, aktivitas fisik seperti postur, cara berjalan berperan
penting dalam stimulus pergerakan isi kolon. Selain itu juga dipengaruhi
oleh keadaan emosi. Waktu transit di kolon dipercepat oleh makan
makanan yang mengandung serat. Serat ialah matrix sel tumbuhan yang
tidak larut dan terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lilgnin. Pergerakan
kolon normal lambat, kompleks dan bervariasi. Pada kebanyakan,
makanan mencapai sekum dalam 4 jam dan 24 pada rektosigmoid. Kolon
transversum merupakan tempat penyimpanan feses.
Pola motilitas kolon dapat mencampur dan mengeliminasi isi usus.
Faktor yang mempengaruhi motilitas ialah keadaan emosional, jumlah
kegiatan dan tidur, jumlah distensi kolon dan variasi hormonal.
Jenis- jenis gerakan :
- Gerakan retrograde. Terutama pada kolon kanan dan gerakan ini
memperpanjang lamanya kontak isi lumen dengan mukosa dan
meningkatkan absorpsi air dan elektrolit
- Kontraksi segmental. Dilakukan secara simultan oleh otot
longitudinal dan sirkular.
- Gerakan massa. Terjadi 3-4 kali sehari dan dikarakteristikkan
dengan kontraksi antegrade dan propulsif.
Defekasi
Defekasi ialah mekanisme yang kompleks dan terkoordinasi
melibatkan pergerakan massa kolon, peningkatan tekanan intra
abdominal dan rektal serta relaksasi bagian pelvis. Rasa ingin defekasi
terbentuk ketika feses memasuki rektum dan menstimulasi reseptor di
dinding rektum atau otot levator. Distensi dari rektum menyebabkan
relaksasi dari sfingter ani yang menyebabkan kontak dengan kanal anal.
Refleks ini menyebabkan epitel memisahkan feses padat dari gas dan
cair.
2.3 EPIDEMOLOGI
8
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling
sering terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara
berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker
kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di
rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian,
47.700 kasus Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal
merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua jenis kanker.
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi
kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health
Organization, 2003). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun
1995-2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker
dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit
yang paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun,
perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini
memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa
dicegah.
Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50
tahun. Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat,
laki – laki memiliki insidensi terbanyak mengidap kanker rektal dibanding
wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.
2.4 ETIOLOGI
Penyebab pasti kanker kolorektal hingga kini tidak diketahui karena
ada banyak faktor yang berperan dalam menimbulkan kanker kolorektal
ini. Tetapi faktor-faktor yang kini dipercaya mengawali munculnya
karsinoma kolon diantaranya adalah efek mutagen dari feses, intake
daging yang berlebihan dan asam empedu yang tinggi dalam kolon.
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan dimana faktor lingkungan multiple bereaksi
terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang
menjadi kanker kolorektal. Kanker kolorektal terjadi sebagai akibat dari
kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol pertumbuhan sel.
Perubahan kolonosit normal menjadi jaringan adenomatosa dan akhirnya
9
karsinoma melibatkan sejumlah mutasi yang mempercepat pertumbuhan
sel.
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan
lingkungan :
Sindroma kanker familial
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan
kolorektal. Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan
oleh faktor ini.
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari
seluruh keganasan kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik
yang dapat diidentifikasi, namun kekerabatan tingkat pertama dari
pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-9 x untuk
dapat terkena kanker.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet
tinggi lemak jenuh meningkatkan resiko. Memperbanyak makan
serat menurunkan resiko ini untuk individu dengan diet tinggi
lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari
negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini.
2.5 FAKTOR RESIKO
2.5.1 Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal.
Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap,
dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan
adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan
invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi
adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif
karsinoma.
10
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor
Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen
menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel
yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena
berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan sel. Gen p53
merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan
integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan
memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan
kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu
oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang.
Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak
berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan
menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal
pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme,
yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih
banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang
tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari
ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya
sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang
tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non
neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk
polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip,
hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.
11
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial
berdegenerasi maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai
tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh
puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular
adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah
5%.
Gambar 2.4 Adenomatous Polip
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam
persen dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5%
didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi
malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat
displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm,
berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma
dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal. Polip
yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya
timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 kali
lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang
mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi
malignansi tergantung beratnya derajat displasia.
12
Gambar 2.5 Polip Neoplastik
Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous
adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma
invasif yang muncul dari sebuah villous adenoma.
2.5.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.5.2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker
kolon, sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis.
Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada
usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan
keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,
8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang
direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker
kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk
menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan
kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan
berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum
terbentuknya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah
13
tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan
pendapat antara para ahli patologi anatomi.
2.5.2.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi
untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan
dengan ulseratif kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s
sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi
dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma
meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari
dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty.
Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma
meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.
2.5.3 Faktor Genetik
2.5.3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan
keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai
kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker
kolorektal pada keluarganya.
2.5.3.2 Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari
normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh
karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi.
Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom
kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat
jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion
dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari
14
5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang
besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya.
Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker
kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous
polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang
berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor
gen dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker
kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP yang telah
berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk
dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat.
Ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic
subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.
Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu
banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan
elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening
untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang
diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi
rata-rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul
pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.
Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.
HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan
II. Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul
pada umur yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker
pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme
mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal
repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite
(mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan
ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi
15
DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut
mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer.
Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous,
carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker
dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus
biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada
HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan
signet-cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers,
yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi
lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul
pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil
dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan
proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10
tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi
dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya
sekitar 1-6 %.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita
kanker kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus
dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota
keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang
berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang
didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun,
dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal
pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik
daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat
dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada
pasien tanpa kelainan ini.
2.5.4 Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet
rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal
pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang
16
tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal.
Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet
dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian
bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan
adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet
yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin
diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak
jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon
untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan
pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut
dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan
lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon
inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim
COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil
dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko
terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b)
agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut,
misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan
pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan
hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
2.5.5 Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai
risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk
yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan
risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.
Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya
risiko kanker kolorektal.
17
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara
aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada
percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah
menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan
aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses
Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa
penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.
2.5.6 Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria
dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia
lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita
berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).
Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.
Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal
1. Berusia > 50 tahun
2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis
dan Peutz jagers sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal
Individu yang memiliki faktor risiko direkomendasikan untuk
dilakukan screening, dengan strategi sebagai berikut:
FOBT (Fecal Occult Blood Test) setahun sekali, jika hasil FOBT
positif, maka harus diikuti dengan pemeriksaan kolonoskopi, atau
fleksibel sigmoidoskopi dan Barium Enema dengan kontras
Fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun
FOBT plus fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun
18
Kolonoskopi setiap 10 tahun
2.6 PATOFISIOLOGI
Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada
lokus yang mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal
menjadi jaringan adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon
menimbulkan sejumlah mutasi yang mempercepat pertumbuhan sel.
Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas genom dan
berujung pada kanker kolorektal yaitu : instabilitas kromosom
(Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit
(Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui
mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak
berimbang kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas
mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh hilangnya perbaikan ketidakcocokan
atau missmatch repair (MMR) dan merupakan terbentuknya kanker pada
sindrom Lynch.
Gambar di bawah ini menunjukkan mutasi genetik yang terjadi pada
perubahan dari adenoma kolon menjadi kanker kolon.
19
Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi
somatik terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC
mengatur kematian sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan
pengobatan proliferasi yang selanjutnya berkembang menjadi adenoma.
Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi pada adenoma kolon
yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel
yang tidak normal.
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari
mutasi gen supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen
p53 akan menghambat proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA,
mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap dapat
melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel dengan kerusakan DNA
yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen
pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of heterizygosity),
hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang lain
seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir
menuju keganasan
Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorektal
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
20
2.7 KLASIFIKASI
Secara makroskopik Karsinoma kolon dibedakan atas 4 tipe yaitu :
1. Nodular
Keganasan ini berupa suatu massa yang keras dan menonjol ke lumen kolon, dengan
permukaan yang bernodul-nodul. Biasanya tak bertangkai dan meluas ke dinding kolon.
Sering juga terjadi ulserasi, dimana dasar ulkus menjadi nekrotik, tepi ulkus naik, dan
mengalami indurasi. Di daerah sekum bentuk tumor mungkin tumbuh menjadi suatu
massa yang besar, tumbuh menjadi fungoid dengan permukaan ulkus mengeluarkan pus
dan darah.
2. Koloid/ mukoid
Bentuk ini tumbuhnya mengalami degenarasi mukoid sehingga menghasilkan banyak
mukus.
3. Scirrhous/ infiltratif
Bentuk ini mempunyai reaksi fibrous yang sangat banyak, sehingga terjadi
pertumbuhan yang keras dan melingkari dinding kolon sehingga terjadi konstriksi kolon
dan membentuk napkin ring.
4. Papillari /polipoid/ cauli flower
Tipe ini merupakan pertumbuhan yang sering berasal dari papiloma simpel atau
adenoma.
21
Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
Menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) system staging
TNM untuk karsinoma kolorektal:
T – Tumor primer
Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai
T0: Tidak ada tumor primer
Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial
T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa
T2: Invasi tumor di lapisan otot propria
22
T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau
masuk ke perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau
perirektal
T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau
peritoneum viseral.
Gambar 2.9 Gambaran kedalaman tumor
N – Kelenjar limfe regional
Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional
N1: Metastase di 1 – 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau
perirektal
N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh
darah dan atau pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli
bedah).
M – Metastase jauh
Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai
M0: Tidak ada metastase jauh
M1: Terdapat metastase jauh
Tabel 2.3. Stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal
Stadium Deskripsi
histopatologi
s
Bertahan 5
tahun (%)Dukes TNM Derajat
23
A T1N0M0 I Kanker
terbatas pada
mukosa/submu
kosa
>90
B1 T2N0M0 I Kanker
mencapai
muskularis
85
B1 T3N0M0 II Kanker
cenderung
masuk atau
melewati
lapisan serosa
70-80
C TxN1M0 III Metastasis 35-65
D TxNxM1 IV 5
2.8 MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis
Pada stadium awal, kanker kolorektal jarang menimbulkan gejala
klinis.13 Gejala kanker kolorektal yang paling sering adalah perubahan pola
defekasi, perdarahan per anus (hematokezia), nyeri, anemia, anoreksia
dan penurunan berat badan. KKR umumya berkembang lamban, keluhan
dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian dari komplikasi.
Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50
tahun dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis
juga buruk. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien adalah
perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematosezia dan
konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan tanda-
tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi.
Perdarahan invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di
kolon transversum, Kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran
lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial
awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total
terjadi akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker
24
kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan
mengalami ulserasi. Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun
hematochesia timbul pada sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih
distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah tumor dalam feses,
tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi besi.
Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran
kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi
bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula
antara kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat
terjadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal.
Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikhterus dan
hipertensi portal.
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi
kanker di dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan
kira-kira enam kali lebih besar daripada daerah sigmoid dan mengandung
aliran fekal yang cair. Tumor yang terletak di usus bagian kanan walaupun
besar cenderung menggantung (fungating) dan lunak, yang tidak tumbuh
mengelilingi usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang
timbul di kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien
dapat mengalami rasa yang tidak enak atau kolik di abdomen yang
samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan kehilangan darah
kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di
daerah kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi
normal dalam daerah ini adalah sebagai penyimpan massa feses yang
keras. Gejala obstruksi akut atau kronis adalah gambaran klinis yang
penting. Di samping itu pasien dapat mengalami perubahan dalam pola
defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber
feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau darah
merah yang melapisi permukaan feses .
Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor.
Sekitar seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon
transversal dan kolon desenden relatif jarang terkena, sehingga
25
kebanyakan tumor terletak pada kolon sigmoid dan rektum. Gejala
berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi:
Gejala dan tanda penyakit ini bervariasi sesuai letak kanker.
Kolon Kanan Kolon Kiri Rektum
Aspek Klinis
Nyeri
Defekasi
Obstruksi
Darah pada
feses
Feses
Dispepsia
Memburukny
a KU
Anemia
Kolitis
Karena
Penyusupan
Diare/diare
berkala
Jarang
Samar
Normal/diare
Sering
Hampir selalu
Hampir selalu
Obstruksi
Karena obstruksi
Konstipasi
progresif
Hampir selalu
Samar &
makroskopis
Normal
Jarang
Lambat
Lambat
Proktitis
Tenesmus
Tenesmus
Tidak jarang
Makroskopis
Perubahan bentuk
Jarang
Lambat
lambat
Tabel 1. Gejala dan tanda penyakit berdasarkan letak kanker.8
Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus
pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih
60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru,
diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat
jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava
inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali
di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena
menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali paling
sering di hepar.
2.9 PEMERIKSAAN
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi
kanker rektal, diantaranya ialah
26
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik
Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat
perdarahan di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai
pemeriksaan skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum
dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan
mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.
Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada Ca
Rekti
Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi
dan adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti
cakram yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin
dan berbatas tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak,
tetapi umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan
ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang
menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling
sering)
d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai
pertumbuhan bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
27
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak
bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian
atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita
perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina
untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut
licin dan dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan
ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian
batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok
dubur.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui
prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya
masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada
lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya
terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan
ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding
posterior vagina atau dinding anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari
mobilitas atau fiksasi lesi.
3) Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon
memberikan hasil normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah
urinalisis, hitung leukosit dan hemoglobin. Pemeriksaan lain yang dapat
diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah protein serum, kalsium,
bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip
besar dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi Fe.
Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan
kolorektal ialah carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein
yang ditemukan pada sel membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC.
Beberapa antigen masuk ke dalam sirkulasi dan dideteksi dengan
radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di berbagai cairan tubuh,
urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik berhubungan
dengan kanker kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan
28
kanker usus besar. CEA tidak dapat digunakan sebagai prosedur
screening tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.
4) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu
mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran
pasase kontras, jenis bagian rektosigmoid sering sulit untuk divisualisasi
meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu,
pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan.
Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi
diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda
merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini
sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup
efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau
dengan pemeriksaan kolonoskopi.
Persiapan dan pemeriksaan barium enema
Persiapan:
Penderita diberi makan bubur kecap 1 hari sebelumnya
10 -12 jam sebelum pemeriksaan penderita diberi Laxans
Segera setelah akan diperiksa diberi Laxans
Kontras yang dipakai yaitu Barium sulfat.
Bubur barium 1:4, 1:5, 1:6.
Gambaran normal:
Pasase lancar (gambaran haustre)
Refluks kontras ke dalam ileum
Post evakuasi: feather like appereance
29
Gambar 2.12. Barium enema normal
Gambaran radiologis karsinoma kolon:
Gangguan pasase kontras
Jenis ekstraluminar: pendorongan lumen
Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect
Karsinoma kolon kiri : filling defek, biasanya 2-6 cm dengan
konfigurasi apple core. Karsinoma kolon kanan : konstriksi atau
massa intrluminal5
Gambar 2.13 karsinoma anular kolon sigmoid
Gambaran radiologis polip:
Khas pada post evakuasi terdapat gambaran radiolusen yang
berbentuk multipel
Gambar 2.14. gambaran polip pada barium enema Gambar 2.15.
peduncaled polyp
Gambaran radiologis karsinoma rektum:
30
Gambaran pasase kontras
Tergantung jenisnya:
- Pendorongan : kelainan bentuk dan anatomis
- Filling defect : mukosa tidak rata
5) Tes darah samar
Pada suatu studi kontrol pada universitas di Minnesota, didapatkan
kesimpulan bahwa tes darah samar sebagai tes penyaring dapat
mengurangi mortalitas CRC sebanyak 33% dan metastasis sebanyak 50%.
Tetapi tes darah samar tidak selalu sensitif dan terlewat sampai 50%
kasus. Spesifitas pemeriksaan ini rendah, 90% pasien dengan tes ini
positif tidak memiliki CRC. Tes ini baru signifikan bila dilakukan
kolonoskopi setelahh tes darah samar positif. Jadi, tes darah samar
dilakukan dan direkomendasikan bagi pasien asimptomatik.
6) Rigid Proctoscopy
Proctoscopy digunakan untuk mengevaluasi kanal anal, rektum dan
kolon sigmoid. Proctoscope pendek, lurus, rigid, dengan pipa metal dan
biasanya terdapat cahaya diatasnya. Panjangnya sekitar 15cm.
Proctoscope dilubrikasi dan dimasukan ke dalam rektum, kemudian
obturator disingkirkan dan terlihat bagian interior dari rektum. Prosedur
ini biasa digunakan untuk menginspeksi hemoroid atau polip rektum.
Studi kasus kontrol memperlihatkan adanya penurunan resiko
kematian pada kanker rektal dengan skrining melalui rigid proctoskopi
walaupun resiko kematian kanker kolon tidak dipengaruhi. Akan tetapi,
dikarenakan adanya limitasi jangkauan,maka proctoskopi ini hanya sedikit
dicantumkan dalam program skrining modern ini.
31
Gambar 2.10 Proctoscopy
7) Flexible Sigmoidoscopy
Skrining dengan fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun
menyebabkan penurunan mortalitas CRC dan mengidentifikasi individu
resiko tinggi dengan adenoma. Pada pasien dengan polip, kanker atau
lainnya pada fleksibek sigmoidoskopi maka memerlukan kolonoskopi.
8) Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan paling
baik digunakan dalam pemeriksaan usus besar. Prosedur ini sangat
sensitif dalam mendeteksi polip kecil sekalipun dan dapat dilakukan
biopsi, polipektomi, mengontrol pendarahan dan dilatasi striktur. Akan
tetapi, pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan menyebabkan
ketidaknyamanan karena memerlukan sedasi. Kolonoskopi dilakukan
dengan bantuan endoskopi. Komplikasi utama setelah kolonoskopi ialah
perforasi dan pendarahan, namun sangat kecil.
32
Gambar 2.11 Kolonoskopi dan sigmoidoskopi
9) CT Colonografi
Kemajuan teknologi sekarang ini menghasilkan sesuatu yang tidak
invasif tetapi akurasi tinggi. CT colonografi mengggunakan teknologi CT
helik dan rekonstruksi 3 dimensi untuk menggabarkan kolon intraluminal.
Pasien membutuhkan persiapan usus. Kolon diisi dengan udara lalu
dilakukan CT. Kolonoskopi tetap dibutuhkan bila terdetteksi lesi.6
CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah “Virtual
Colonography” merupakan pengembangan dari teknologi multipel helical
(multi- slice) CT Scan yang dapat menghasilkan gambaran interior kolon
dalam dua atau tiga dimensi. CTC memiliki radiasi exposure yang rendah
dan tidak invasif, tapi tidak bisa melakukan biopsi dan polipektomi.
Persiapan pemeriksaan CTC hampir sama dengan kolonoskopi yaitu
membersihkan usus besar dengan bahan laksan, ditambah memasukkan
udara ke dalam kolon melalui kateter rektal. Pemeriksaan dilakukan pada
posisi supinasi dan pronasi serta tidak membutuhkan sedasi. Penelitian
meta- analisis mengatakan bahwa CTC memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm, yaitu
88% dan 95%. Penelitian lainnya CTC dengan 4-detector-row scanners
menghasilkan sensitifitas 82%-100% dan spesifisitas 90%-98% untuk
mendeteksi polip ukuran > 10mm. CTC juga memiliki resiko terjadinya
perforasi dan dilaporkan hanya 1/22.000 pemeriksaan.
33
10) Evaluasi histologis
Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang
dominan, yang paling sering adalah adenoma tubular 85%, adenoma
tubulovisum 10% dan adenoma serrata 1%. Temuan sel atipik pada
adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat. Gambaran
atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun belum
menyentuh membran basalis. Bilamana sel ganas menembus membran
basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma
intramukosa. Secara umum displasi bearat atau adenokarsinoma
berhubungan dengan dengan ukuran polip dan dominasi jenis vilosum.
Gambaran histologis kanker kolon bisa dilihat pada gambar di bawah
ini :
(sumber : Abdullah, 2006)
Diagnosis kanker kolon melalui sigmoidoskopi, barium enema atau
kolonoskopi dengan biopsi harus diikuti dengan prosedur penentuan
stadium untuk menentukan luasnya tumor. Pemeriksaan CT scan
abdomen dan radiografi dada harus dilakukan, adanya tumor yang
terloksalisir biasanya mengharuskan pembedahan radikal untuk
mengeksisi tumor secara total dengan tepi minimal 6 cm dan dengan
reseksi en bloc pada semua kelenjar getah bening di akar mesenterium
Deteksi dini pada pasien tanpa gejala
Deteksi dini pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara,
seperti : tes darah samar dari feses, dan sigmoidoskopi. Pilihan lain
34
berdasarkan waktu antara lain: FOBT (Fecal Occult Blood test) setahun
sekali, sigmoidokopi fleksibel setiap 5 tahun, enema barium kontras
ganda setiap 5 tahun dan kolonoskopi setiap 10 tahun (Abdullah, 2006).
Klasifikasi yang dipakai untuk kanker kolorektal dini dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
2.10DIAGNOSA
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon
dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3
tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan
berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk
kemungkinan tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta
hati dan paru untuk metastasis.
35
2.11PENTATALAKSANAAN
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa
adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian
klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain
ialah :
1. Pembedahan
Kanker kolon
Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi
dan drainase regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap
diindikasikan walaupun telah terjadi metastase. Abdomen dibuka dan
dieksplorasi adakah metastase. Tujuan terapi karsinoma kolon ialah
mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Reseksi dari usus
tergantung dari pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut.
Organ atau jaringan penyokong seperti omentum nyga harus direseksi en
blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka
dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan diawali dengan irigasi
usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang diharapkan
sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga
yang kuat terhadap CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko
terhadap karsinoma ( field defect) dan harus dilkukan subtotal atau total
kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker secara
bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah
direseksi sebelumnya) juga diterapi serupa.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat
dilakukan laparotomi, maka tumor primer harus direseksi bila dapat
dilakukan dan aman. Selanjutkan dilakukan anaastomosis. Pada tumor
yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass.
Stage 0 ( Tis, N0,M0)
36
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia
tidak memiliki resiko metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade
dysplasia meningkatkan resiko karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka
polip dieksisi lengkap dan batasnya harus bebas dari displasia.polip
bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada
pasien iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa
polip tidak rekuren dan tidak terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip
tidak dapat diangkat se`luruhnya, maka dilakukan reseksi segmental.
Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)
Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan
metastasis ke kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening
berdasarkan kedalaman invasi polip. Pada invasi limfovaskular, histologi
diferensiasi buruk dapat dilkakukan segmental kolektomi.
Stages I and II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)
Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan
dengan operasi reseksi. Beberapa pasien dengan reseksi komplit stadium
1 dapat berkembang rekurensi lokal atau jauh dan kemoterapi tidak
meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan reseksi
komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini, kemoterapi
ajuvan disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko
tinggi).
Stage III: Lymph Node Metastasis (T any , N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko
yang tinggi terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan
kemoterapi rutin pada pasien ini. Regimen yang digunakan ialah 5-
Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin emngurangi rekurensi dan
meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi yang baru ialah
as capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan
immunotherapy.
Stage IV: Distant Metastasis (T any , N any , M1)
37
Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan penyakit
sistemik, sebanyak 15% akan bermetastase ke hati. Pada stadium ini,
sebanyak 20% potensial reseksi untuk sembuh. Angka survival pada
pasien reseksi ini menignkat bila dibandingkan dengan pasien yang tidak
direseksi. Semua pasien membutuhkan kemoterapi ajuvan. Pasien yang
tidakdioperasi difokuskan untuk paliatif terapi. Terapi paliatif yang
digunakan ialah stenting untuk lesi obstruksi kolon kiri.
Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma
( jinak dan ganas), inflamatori bowel disease dan kasus lain.
Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran
darah pada bagian kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi.
Reseksi kurativ dari CRC dicapai dengan ligasi PD mesenterika
proksimal dan pembersihan kelenjar getah bening mesenterika secara
radikal. Pada reseksi proses benign, tidak diperlukan reseksi
mesenterika dan omentum dapat tetap dipertahankan.
Emergensi reseksi
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan
hemoragi. Pada keadaan ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi
pasien tidak stabil. Pada reseksi kolon kanan atau proksimal
tranversal, anastomsosi oleocolonic dapat dilakukan.
Reseksi laparoskopik
Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik, mengurangi
nyeri post operasi dan pemulihan usus yang lebih cepat. Reseksi usus
besar secara laparoskopik membutuhkan waktu yang lebih lama
dibanding operasi secara terbuka.
38
Gambar 2.16 Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer5
Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang
digunakan dapat berupa handsewn atau stapled.
Jenis anastomosis :
1. End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik
ini terutama dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan
dalam kolostomi atau anastomosis usus kecil.
2. End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya.
Teknik ini dilakukan pada obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian
distalnya.
4. Side to side
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah
atau segmens usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.
39
Gambar 2. 17 Anastomosis
Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi
dibanding dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon.
Defek pada dinding abdomen dibuat dan akhir dari kolon dimobilisasi
melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui dinding
abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai
hartmann’s pouch. Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi. Stoma
didiseksi dari dinding abdomen dan odentifikasi usus distal, kemudian
dilakukan anastomosis end to end.
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi
dikarenakan terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi
kolostomi lebih sedikit beresiko.6
40
End to end End to side
Side to side
Gambar 2.18 Kolostomi
Kanker rektum
Biologis dari adenokarsinoma rekal sama dengan adenokarsinoma
kolon dan prinsip operasi ialah reseksi komplit dari tumor primer, kelenjar
getah bening dan organ apapun yang terkena. Akan tetapi diakrenakan
struktur dari pelvis maka reseksi lebih sulit dan membutuhkan
pendekatan lain. Rekurensi lebih tinggi dibanding dengan kanker kolon
dengan stadium yang sama. Akan tetapi, tumor rektum lebih sensitif
dengan radiasi.
Terapi lokal
Sepanjang 10 cm distal dari rektum dapat dijangkau melalui anus.
Karena itulah, beberapa terapi dilakukan secara lokal. Untuk jenis yang
benign, noncircumferential dan adenoma villous dilakukan dengan baik
dengan eksisi transanal. Akan tetapi rekurensi tinggi walau dengan terapi
kemoradiasi. Transanal endoscopic microsurgery (TEM) dioperasikan
dengan menggunakan proctoscope dan alat-alat serupa dengan
laparoskopi yang membuat eksisi lokal dapat dilakukan pada tempat yang
lebih tinggi yaitu sekitar 15 cm. Lokal eksisi harus diikuti dengan
eksisional biopsi.
Teknik ablasi seperti elektrokauter atau radiasi endocavitary juga
dapat digunakan. Kerugian dari teknik ini ialah tidak dapat diambilnya
41
spesimen patologis untuk diketahui stadiumnya. Teknik ini digunakan
pada individu dengan resiko tinggi yang tidak dapat mentoleransi terapi
radikal lainnya.
Reseksi radikal
Reseksi radikal lebih dipilih dibanding terapi lokal untuk banyak
kasus karsinoma rektal. Reseksi radikal mengangkat segmen yang
terkena bersama dengan limfovaskularnya.
Total mesorektal excision (TME) adalah teknik yang menggunakan
diseksi tajam untuk menghasilkan reseksi total dari mesenterium rektal.
Untuk tumor rektosigmoid, eksisi partial mesorektal paling tidak sepanyak
cm distal dari tumor. TME menurunkan rekurensi dan meningkatakan
survival. Teknik ini hanya sedikit dari yang hilang dibanding dengan
operasi tajam.
Terapi spesifik stadium
Sebelum dilakukan terapi dilakukan ultrasound endorektal untuk
mengetahui T dan N dari kanker rektum. USG ini baik untuk mengetahui
kedalaman tumor namun kurang akurat dalam diagnosis keterlibatan
nodus limfatikus.
Stage 0 (Tis, N0,M0)
Karsinoma in situ ( displasia tingkat tinggi) secara ideal diterapi dengan
eksisi lokal.
Stage I: Localized Rectal Carcinoma (T1-2, N0, M0)
Karsinoma invasif yang berasal dari polip pedunkulated hanya memiliki <
1% resiko metastasis. Terapi yang dapat dilakukan ialah polipektomi.
Terapi lokal dapat dilakukan namun angka rekurensi tinggi. Untuk alasan
ini, maka dilakukan reseksi radikal.
Stage II: Localized Rectal Carcinoma (T3-4, N0, M0)
42
Tumor rektum yang besar sering terjadi lagi. Ada 2 pendapat untuk
mencegah rekurensi yaitu tidak diperlukannya kemoradiasi ajuvan setelah
dilakukan TME untuk stadium 1,2 dan 3. Pendapat lainnya ialah
diperlukannya kemoradiasi. Keuntungan kemoradiasi preoperasi ialah
pengecilan ukuran tumor, mereseksi menjadi lebih mudah. Kerugiannya
ialah overtreatment dari tumor masa awal, penundaan penyembuhan uka
dan fibrosis pelvis.
Stage III: Lymph Node Metastasis (T any , N1, M0)
Banyak pendapat yang menyarankan kemoterapi dan radiasi pre atau
post operasi untuk kanker rektal dengan keterlibatan kelenjar getah
bening. Keuntungan dan kerugian sama seperti yang diungkapkan di atas.
Untuk alasan ini, pasien diterapi dengan neoajuvan terapi diikuti dengan
reseksi radikal.
Stage IV: Distant Metastasis (T any , N any , M1)
Sama seperti stadium 4 karsinoma kolon, angka harapan hidup terbatas
dengan pasien metastasis. Metastasis ke hepar jarang namun bila ada
reseksi dapat menyembuhkan untuk beberapa pasien. Kebanyakan pasien
memerlukan terapi paliatif. Reseksi radikal dapat digunakan untuk
mengontrol nyeri, perdarahan atau tenesmus. Terapi lokal dengan kauter
atau laser digunakan untuk mengontrol perdarahan atau mencegah
obstruksi. Intraluminal stent berguna untuk mencegah obstruksi namun
sering menyebabkan nyeri dan tenesmus. 6
Sistemik kemoterapi
Tulang punggung regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5-
Flourouracil sebagai terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan
pendapat bahwa regimen kombonasi menyediakan peningkatan efikasi
dan angka harapan hidup pasien. Selain 5-Florourasil, terdapat
capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau
kombonasi dengan oxalipatin dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
43
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu,
diberikan sebelum 5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam
infusion sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam
infusion sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Regimen untuk metastasis :
Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)
o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan
2400 mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus
sebelum 5-fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan
2400 mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus
sebelum 5-fluorouracil
44
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1
untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus
sebelum 5-fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari
1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2
IV continuous infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus
sebelum 5-fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu.
Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum
1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated
secara histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
45
2. Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan
III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi
tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah
diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis
jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan
kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan
telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan
angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi
telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya
pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada
pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III).
Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan
dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-
FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen
lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira
15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%.
2.12PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun (5 years survival) bervariasi,
tergantung dari stadium tumor. Berdasarkan klasifikasi Dukes, angka
harapan hidup 5 tahun adalah sebagai berikut:12
46
1.
Dukes’ A 5-yr survival, >80%
2.
Dukes’ B 5-yr survival, 60%
3.
Dukes’ C 5-yr survival, 20%
4.
Dukes’ D 5-yr survival, 3%
Berdasarkan klasifikasi TNM, harapan hidup 5 tahun adalah:
Stage
TNM
classification
5-year
survival
I T1-2, N0, M0 >90%
IIA T3, N0, M0 60%-85%
IIB T4, N0, M0 60%-85%
IIIA T1-2, N1, M0 25%-65%
IIIB T3-4, N1, M0 25%-65%
IIIC T(any), N2, M0 25%-65%
IV T(any), N(any),
M1
5%-7%
Tabel 4. Prognosis berdasarkan klasifikasi TNM.
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan
yang dapat berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya.
Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-30%
pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah operasi. Faktor – faktor
yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli
bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas -
batas negatif tumor.
47
Prognosis pasien kanker kolorektal sangat ditentukan oleh stadium
tumor pada saat didiagnosis, ada tidaknya metastasis, derajat
diferensiasi, dan kepekaan tumor tersebut pada radiasi dan kemoterapi.
48
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian kedua setelah keganasan di
paru-paru di USA. diperkirakan pada tahun 2008 ditemukan 150.000 kasus baru dan 60.000
diantaranya meninggal karena karsinoma kolorektal. Tingginya angka kematian tersebut
menyebabkan berbagai upaya untuk menguranginya, salah satunya dengan kebijakan deteksi
dini atau skrining terhadap kelompok berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari
modalitas skrining yang dimaksud adalah radiologic imaging: Flexible Sigmoidoscopy (FS),
Colonoscopy, Double Contrast Barium Enema dan CT Colonography (CTC). Pemilihan
modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko
dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan operator. Penanganan
karsinoma kolorektal membutuhkan kecermatan pemeriksaan preoperatif untuk dapat
memutuskan modalitas terapi baik pembedahan, kemoterapi maupun radioterapi. Penanganan
postoperatif dan follow-up sangat tergantung pada pemeriksaan dan penanganan yang dapat
dilakukan sebelumnya. Hal ini sangat ditentukan oleh staging karsinoma, yang salah satunya
dapat ditentukan oleh imaging seperti ultrasonografi, CT Scan, maupun MRI. Pada
prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik prognosisnya karena
penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.
49
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American Cancer Society
Inc. Atlanta
Cappel, M. ( 2005) The pathophysiology, clinical presentation, and
diagnosis of colon cancer and adenomatous polyps. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA.p 201
Chapman,S., Richard Nakielny. A Guide to Radiological Procedures, fourth
edition. London: W.B. Saunders, 2001: 67-73
Guyton, Arthur C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi ketujuh. Editor:
Harjanto Effendi. Jakarta: Penerbit Buku EGC, 1994: 106-116
Harjono, Rima, et al. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku
EGC, 1996: 624
Marijata, 2006. Pengantar Dasar Bedah klinis. Unit Pelayanan Kampus, FK
UGM.
McPhee,S. , Papadakis, M. & Tierney, L., Current Medical Diagnosis &
Treatment 2008 47th Edition ( 2008) Oncology Colorectal Cancer.
California: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies.
Sjamsuhidayat.R & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi III. Jakarta :
EGC. 2010. p. 755-762.
50