bab iv persatuan masyarakat poso berdasarkan nilai …

23
75 BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI SINTUWU MAROSO Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama dengan orang lain. Pola dasar keberadaan manusia ialah hubungan antar pribadi. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam artian mampu hidup tanpa orang lain. 1 Sebagai mahluk sosial, setiap orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa tergantung pada orang lain, tidak hanya untuk saling bantu dan tolong menolong, tapi juga membangun komunitas sosial yang saling mendukung dan berkerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kehidupan masyarakat Poso yang berasal dari latar belakang yang beragam; suku, budaya, agama, tradisi, pendidikan, ekonomi dan sebagainya adalah sesuatu yang tidak dapat dielakan oleh setiap individu, namun disitulah keindahan sebuah komunitas sosial bila mampu merekat barbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk saling memahami, tepo seliro dan toleransi, yang akhirnya akan melahirkan persatuan dan saling mencintai. Pada kenyataan, ditengah masyarakat Poso dengan berbagai perbedaan tersebut yang akhirnya menjadi sumbu pemicu terjadinya konflik horisontal berkepanjangan, relasi sosial dan harmoni sosial yang dulunya terbangun dengan indahnya akhirnya terkoyak yang menyebabkan masyarakat hidup terkotak-kotak sesuai dengan kelompok masing-masing sesuai dengan agama dan kelompok mereka. Ketika konflik selesai masyarakat Poso kembali diperhadapakan dengan situasi pasca konflik. Masyarakat hidup 1 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah, Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen ( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2002), 103.

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

75

BAB IV

PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI SINTUWU

MAROSO

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia tidak

hidup sendirian, tetapi bersama dengan orang lain. Pola dasar keberadaan manusia ialah

hubungan antar pribadi. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan

kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia

tidak mandiri dalam artian mampu hidup tanpa orang lain.1 Sebagai mahluk sosial, setiap

orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa tergantung pada orang lain,

tidak hanya untuk saling bantu dan tolong menolong, tapi juga membangun komunitas

sosial yang saling mendukung dan berkerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Kehidupan masyarakat Poso yang berasal dari latar belakang yang beragam; suku,

budaya, agama, tradisi, pendidikan, ekonomi dan sebagainya adalah sesuatu yang tidak

dapat dielakan oleh setiap individu, namun disitulah keindahan sebuah komunitas sosial

bila mampu merekat barbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk

saling memahami, tepo seliro dan toleransi, yang akhirnya akan melahirkan persatuan dan

saling mencintai.

Pada kenyataan, ditengah masyarakat Poso dengan berbagai perbedaan tersebut

yang akhirnya menjadi sumbu pemicu terjadinya konflik horisontal berkepanjangan,

relasi sosial dan harmoni sosial yang dulunya terbangun dengan indahnya akhirnya

terkoyak yang menyebabkan masyarakat hidup terkotak-kotak sesuai dengan kelompok

masing-masing sesuai dengan agama dan kelompok mereka. Ketika konflik selesai

masyarakat Poso kembali diperhadapakan dengan situasi pasca konflik. Masyarakat hidup

1 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah, Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi

Kristen ( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2002), 103.

Page 2: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

76

dengan realitas yang baru, hidup dengan dendam, trauma, ketakutan dan hilangnya rasa

kepercayaan antar komunitas, sehingga diperlukan kembali revitalisasi dalam relasi sosial

dan harmoni sosial yang menuju kepada cita-cita bersama yaitu terciptanya perdamaian

sejati dimana revitalisasi tersebut bersumber dari dalam masyarakat Poso sendiri yaitu

sintuwu maroso.

Sintuwu maroso sebagai kearifan lokal masyarakat Poso dapat menjadi sebuah

sarana untuk menciptakan perdamaian yang mengatasi sumber-sumber konflik dan akar-

akar kekerasan di masyarakan Poso. Pendekatan sintuwu maroso sebagai sarana

perdamaian mengarahkan kepada perdamaian untuk mencapai kesejahteraan,

kemakmuran, melalui pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup

bermasyarakat yang akan mendorong kepada perdamaian berkelanjutan di tanah Poso.

Melihat kenyataan yang ada penulis mencoba menganalisa dan mengupas masalah

tersebut dengan bantuan teori konflik dan perdamaian. Maka ada suatu kenyataan

menarik yang akan diperhatikan secara seksama. Dengan teori konflik memberikan

penjelasan bahwa ada berbagai penyebab konflik dan fungsi konflik baik secara positif

maupun negatifnya. Selain itu, teori konflik juga memberikan bantuan untuk lebih lagi

menajamkan analisa terhadap pencapaian perdamaian. Apabila dihubungkan dengan data

dilapangan, maka ini merupakan suatu kenyataan bahwa beberapa sumber yang

menyebutkan bahwa ada peristiwa-peristiwa konflik masa lalu yang tak terselesaikan.

Masalah yang tak terselesaikan ini menjadi referensi tertentu ketika akan merumuskan

kembali sebuah perdamaian berkelanjutan.

A. Penyebab Konflik Poso

Dengan melihat beberapa analisa terhadap konflik Poso, dapat dikatakan bahwa

penyebab konflik Poso adalah berasal dari dalam sendiri (internal) dan bukanlah pihak

Page 3: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

77

luar. Konflik Poso sangat berkaitan dengan kompetisi elite lokal yang ingin memiliki

kekuasaan. Dengan motivasi mendapatkan kekuasaan para elite lokal bersaing untuk

mendapat jabatan dalam pemerintahan yang dapat mewakili komunitasnya atau agama

tertentu baik itu Kristen maupun Islam, pihak yang kalah tidak menerimanya, sehingga

menimbulkan kekecawaan lebih spesifik lagi, ada kelompok elit agama tertentu karena

tidak puas dalam perebutan jabatan dan kekuasan di Poso sehingga mengaitkan kekalahan

tersebut dengan masalah agama. Di samping itu, telah ada sebelumnya ketimpangan-

ketimpangan yang terjadi di sana. Dari keyataan ini jelas sekali bahwa yang berkonflik di

Poso bukanlah rakyat biasa melainkan elit politik lokal atau struktural yang bermain dan

memperebutkan kekuasaan. Ketika konflik menyentuh tataran agama yang sebagai dasar

keyakinan, maka konflik tidak dapat dikendalikan lagi. Karena hal semacam itu, sangat

mudah memicu konflik yang berkepanjangan. Sehingga, konflik yang terjadi di Poso

tampak seperti konflik antaragama yang menimbulkan dendam antarumat beragama.

Meskipun konflik Poso adalah konflik kriminal, namun esensi konflik di Poso adalah

konflik Politik. Konflik kriminal hanya sebagai pemicu untuk mengawali konflik politik

yang telah diskenariokan. Jadi, dalam konteks ini konflik diciptakan untuk memperoleh

tujuan-tujuan tertentu.

Beberapa penyebab di atas, bisa dianalisa bahwa ada hegemoni atau sikap untuk

mau mendominasi. Hegemoni merupakan istilah lain dari dominasi dan dalam konteks

permasalahan, bisa dikatakan bahwa ada sekelompok elit yang mencoba untuk

mempengaruhi semua sistem dan tatanan dalam masyarakat demi untuk kepentingan

kelompoknya sendiri. Menurut analisa penulis, hegemoni tentunya menciptakan rasa

tidak aman bagi orang lain, oleh karena itu selalu ada tindakan-tindakan yang melawan

hal ini. Inilah penyebab terjadinya permasalah dalam kehidupan bermasyarakat pada

Page 4: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

78

umumnya dan terkhusus pemicu konflik Poso. Ada hegemoni maka, pasti akan ada

resistensi. Ini merupakan realita yang sangat fundamental.

Dengan terjadinya konflik Poso yang melibatkan dua komunitas masyarakat

menyebabkan konstruksi sosial yang dibangun oleh para leluhur sejak dahulu kala hancur.

Konstruksi sosial yang dimaksud adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang diperjuangkan

oleh para leluhur sejak dahulu kala karena pelaksanaan kebiasaan-kebiasaan hidup

bersama dalam kebudayaan dan masyarakat.

B. Kohesi dan Solidaritas Sosial

Konflik Poso merupakan realita yang sulit untuk dihilangkan dan sangat kecil

kemungkinan untuk bisa ditiadakan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal penting yang

perlu di lihat di sini adalah konflik dan fungsi sosialnya. Seperti yang diusulkan oleh

Coser, bahwa konflik dengan lingkungn sekitar akan menguatkan kohesi internal sebuah

kelompok dan meningkatkan sentralisasi.2 Dalam konteks konflik Poso, konflik tersebut

mempererat kohesi dalam satu komunitas. Artinya bahwa, konflik berfungsi untuk

mengeraskan atau mengencangkan suatu kelompok yang tersusun secara longgar. Di

dalam suatu komunitas yang tampak terpecah-pecah, konflik dengan komunitas lain dapat

memulihkan inti pemersatunya.3 Dari proses mengencangkan posisi yang longgar ini,

maka muncul juga atau terciptalah sebuah solidaritas yang baru dalam kelompok masing-

masing. Bisa dikatakan sebelumnya tidak ada solidaritas, maka setelah konflik muncul

solidaritas karena latar belakang kepentingan yang sama.

Dalam pandangan yang seperti itu maka Coser mencoba memetakkan fungsi

konflik sosial yaitu dalam masyarakat A atau B mengalami konflik dan konflik ini

2 Lewis Coser, The Function Of..., 88.

3 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 457.

Page 5: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

79

kemudian menciptakan masyarakat yang menyatu secara penuh atau utuh tanpa ada lagi

pemisahan. Ini berfungsi juga untuk mengantisipasi bahaya lawan yang menyerang dari

masyarakat lain. Bisa dikatakan konflik yang akhirnya merapatkan hubungan masyarakat

yang sebelumnya longgar. Biasanya yang menjadi mediator adalah hal-hal intern beserta

dengan orang dalam masyarakat itu sendiri bukan orang luar. Hal-hal intern seperti

budaya lokal atau kearifan lokal serta tradisi-tradisi yang sudah dikonstruksi oleh

masyarakat sejak dahulu kala dan juga ikatan kekeluargaan, kasus konflik di Poso adalah

kesamaan agama. Ini artinya kohesi yang dimaksud oleh Coser tidak terbatas pada proses

merapatkan hubungan yang longgar antara kelompok masyarakat melainkan lebih dari

pada itu, sub-sub masyarakat pun terbawa gelombang itu. Apabila itu yang dimaksud oleh

Coser, maka pada aras ini yang berpeluang kuat menjadi mediator sudah tentu adalah para

pemimpin komunitas, solidaritas keagamaan, dan kearifan lokal yang ada.

Namun, pada aras ini Coser tidak membayangkan bagaimana proses mediasi yang

terjadi apabila ketiga mediator di atas kemudian menjadi hilang ketika konflik terjadi.

Oleh karena itu, teori konflik Coser tentang kohesi dan Solidaritas masing-masing

kelompok ada betulnya juga. Coser bermaksud mengatakan bahwa konflik akan

membangun solidaritas dalam satu masyarakat secara penuh. Hal ini menjadi berbeda

ketika dalam satu masyarakat terdapat dua kelompok yang terpecah-pecah karena latar

belakang agama yang berbeda. Komunitas Kristen dan Islam berada dalam satu

masyarakat yakni, masyarakat kabupaten Poso. Apabila ada dua komunitas yang dalam

satu masyarakat yang saling berkonflik, maka akan terjadi kohesi dan solidaritas yang

penuh namun hanya penuh dalam komunitas tertentu saja bukanlah ada dalam masyarakat

kabupaten Poso, oleh karena itu, sifat kohesi dan solidaritas ini akan menjadi parsial. Ini

disebut parsial karena solidaritas dan kohesi yang dibangun hanya akan ada dalam sub-

sub kelompok dalam satu masyarakat penuh. Masyarakat di kabupaten Poso yang terbagi

Page 6: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

80

menjadi dua komunitas, akan berada dalam komunitasnya masing-masing, berinteraksi

dan melaksanakan kehidupan gotong royong dengan komunitas mereka sendiri.

Masyarakat kabupaten Poso pada masa sebelum konflik merupakan masyarakat

yang satu. Coser dalam beberapa pandangannya memang tidak mendefinisikan

masyarakat itu seperti definisi-definisi para tokoh sosiolog lainnya, namun menurut dia

konflik disebabkan oleh pencarian sumber daya yang langka oleh beberapa orang yang

memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Oleh karena itu, bisa ditafsirkan yang

dimaksud Coser dengan istilah masyarakat adalah orang-orang dengan tujuan yang sama.

Namun, perlu juga kita melihat bahwa masyarakat di kabupaten Poso itu ada didalamnya

satu kesatuan yang mengikat, sedangkan dalam kedua komunitas masyarakat di atas

sudah tidak ada lagi yang mengikat.

Konflik akan membuat satu komunitas yang sebelumnya tidak saling

berkomunikasi akan saling berkomunikasi dan saling berinteraksi kemudian membuat

konsensus bersama demi mempertahankan dan memproteksi diri dari ancaman komunitas

lain. Bisa dikatakan sikap menutup diri dan saling mencurigai yang ada sebelumnya

hilang seketika dengan munculnya konflik. Dengan demikian konflik bukan saja memiliki

dampak yang negatif, namun konflik bisa menjadi penentu relasi antar anggota-anggota

dalam satu komunitas untuk saling berkomunikasi. Hal ini bisa menjadi tren positif dan

juga tren negatif, disebut tren positif karena konflik membantu perubahan dalam suatu

komunitas dan bahkan menjadi mediator relasi yang akurat bagi anggota-anggota

komunitas yang sebelumnya jarang, sukar bahkan tidak pernah berinteraksi sama sekali.

Akan tetapi dalam tren negatif konflik akan bertahan menjadi lama karena perpecahan

atas keseluruhan masyarakat, bahwa masyarakat ada dalam pertentangan yaitu setiap

Page 7: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

81

komunitas ingin berdiri sendiri karena dengan berdiri sendiri mereka tidak di kuasai oleh

orang lain. Hal inilah yang tidak di singgung oleh Coser.

Berkaitan dengan masyarakat Poso terutama sepintas menyangkut konflik dan

kekhasan umum masyarakat komunal yang terikat ciri khas kekerabatan atau ciri

kolektifitas hubungan yakni sintuwu maroso, maka dapat dikatakan bahwa nilai-nilai

sintuwu maroso merupakan salah satu faktor pemicu bahwa konflik akan bertahan lama,

jika nilai sintuwu maroso tersebut hanya menjadi pengikat satu komunitas saja, sehingga

komunitas tersebut akan mempertahankan dan memproteksi diri dari ancaman komunitas

lain. Tetapi bila nilai sintuwu maroso menjadi perekat antara dua komunitas yang bertikai

tersebut, maka akan tercipta interaksi sosial dan pembentukan struktur sosial yang peka

konflik antar komunitas. Dengan demikian maka konflik akan cepat teratasi dan menuju

kearah perdamaian.

C. Konflik yang realistik dan non realistik di Poso

Melihat latar belakang konflik di Poso, itu merupakan konflik dengan berbagai

kepentingan dan tujuan-tujuan beberapa elit politik. Dari sini bisa dikatakan konflik ini

masih merupakan konflik yang realistik. Setiap konflik sosial dalam masyarakat menurut

Coser bersifat realistik apabila ada kepentingan-kepentingan yang mendasari semua itu.

Ini real karena individu yang berusaha untuk mencari kekuasaan yang menurut Coser

bersifat langka. Meskipun demikian, ini masih konflik yang bersifat realistik karena

adanya pembenaran bahwa konflik sarat dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan-

tujuan. Menurut analisa penulis, obyek ini sudah digenggam oleh beberapa individu

tersebut ketika mereka dipercaya untuk memimpin kelompok masing-masing. Saat

mereka sudah menggenggam kekuasaan dan penghargaan dari anggota kelompoknya, di

sini konflik yang realistik sudah berakhir. Namun, seiring waktu berjalan, individu-

Page 8: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

82

individu yang berkuasa ingin mendominasi malahan memperkeruh keadaan dengan

melibatkan agama. Pada posisi seperti ini, konflik yang dahulunya realistik menjadi non

realistik, karena konflik sudah berubah obyek dan tidak lagi pada obyek asalinya yakni,

perebutan kekuasaan. Hasil dari konflik non realistik ini, semua masyarakat baik itu

masyarakat dalam komunitas Kristen maupun dalam komunitas Islam terus berkonflik

tanpa ada obyek konflik seperti semula.

Konflik ini berubah menjadi konflik yang bersifat non realistik karena konflik

yang berlarut-larut dan mamakan waktu yang panjang tanpa ada tujuan yang dicapai. Ini

menjadi non realistik karena komunitas Kristen hanya ingin berkonflik dengan komunitas

Islam atau pun sebaliknya, tanpa ada obyek konflik yang jelas.

D. Katup Penyelamat Dalam Konflik Poso

Ketika konflik Poso terjadi, luapan permusuhan antara komunitas Kristen dan

komunitas Islam di Poso sangatlah besar sehingga konflik Poso menjadi berkepanjangan

dan telah memakan korban yang sangat banyak baik dari komunitas Kristen maupun

Islam. Untuk mencegah hal tersebut bertambah larut, Coser kemudian menjelaskan suatu

mekanisme penanganan konflik sosial tersebut, yaítu dengan menggunakan katup

penyelamat. Katup penyelaınat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan

permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan

akan semakin tajam. Katup penyelamat mampu mengakomodasi luapan permusuhan

menjadi tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Katup penyelamat ( savety

Valve) secara singkat dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan

permusuhan”, atau dapat disebut sebagai mediator. Dengan adanya katup penyelamat

(mediator) tersebut, kelompok-kelompok yang bertikai dapat mengungkapkan penyebab

dan munculnya konflik tersebut. Katup penyelamat mencakup juga biaya bagi sistem

Page 9: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

83

sosial maupun bagi individu untuk mengurangi tekanan dan menyempurnakan sistem

untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan

dalam diri individu.

Dalam konflik Poso menurut analisa penulis cara-cara penanganan konflik atau

katup penyelamat yang digunakan untuk meredakan konflik baik secara rujuk Sintuwu

Maroso, Deklarasi Malino, Aliansi Kemanusiaan yang diprakarsai oleh Pemerintah baik

daerah maupun pusat belum maksimal.4 Dalam Rujukan Sintuwu Maroso rnengundang

reaksi yang kurang bagus dikalangan masyarakat Poso dan juga masih lemahnya

efektifitas penyelesaian konflik karena tidak dilibatkanya tokoh-tokoh agama, etnis

pendatang yang juga cukup banyak berdomisi di Kabupaten Poso. Keberhasilan

penyelesaian konflik melalui Deklarasi Malino dapat dikatakan belum cukup efektif ini

disebabkan kesepakatan konflik tidak melibatkan masyarakat yang berkonflik dan korban

konflik melainkan hanya para elit saja atau tokoh-tokoh agama. Di samping itu dalam

Deklarasi Malino tidak menyelesaikan akar dari permasalahan konflik hal inilah yang

diungkapkan oleh Pdt. Damanik:

“ Kita di minta untuk saling memaafkan akan tetapi siapa yang harus kita

maafkan? Di sini kita sama-sama korban baik itu dari komunitas Kristen maupun

komunitas Islam.” 5

Penyelesaian konflik dengan Aliansi kemanusiaan juga belum berjalan maksimal.

Pada awalnya Aliansi Kemanusian adalah kebersamaan dua tokoh kharismatik yang

sangat berpengaruh di Poso pada masa konflik, yakni, H. Adnan Arshal dan Pdt. Rinaldy

Damanik yang mewakili komunitas Islam dan Kristen. Kebersamaan dua tokoh ini

sebagai simbol kebersamaan antara komunitas Islam dan Kristen. Akan tetapi Aliansi

Kemanusian ini belum menemukan bentuk yang baku. Kedua komunitas masih terkesan

4 Lihat Bab III.

5 Wawancara dengan Pdt. Damanik pada tanggal 27 Januari 2014.

Page 10: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

84

sangat hati-hati. Bahkan tak jarang terjadi perbedaan persepsi dalam menyingkapi

perkembangan di Poso. Perbedaan itu ditindak lanjuti oleh kelompok Kristen dengan

penyataan pengunduran diri dari Aliansi Kemanusiaan.

Melihat kenyataan ini dapat dikatakan penyelesaian konflik Poso belum berpihak

atau belum tepat sasaran kepada masyarakat yang secara langsung mengalami konflik

tersebut, memang konflik Poso secara langsung telah selesai tetapi pasca konflik upaya

perdamaian yang telah ditempuh masih saja terjadi penembakan misterius, pembunuhan,

mutilasi, bom atau teror bom secara sporadis, ditambah lagi pola penanganan konflik di

Poso lebih banyak mengunakan penanganan hukum semata-mata, sehingga kondisi ini

tidak memberi ruang keadilan pada apa yang dialami oleh masyarakat. Di samping itu

terjadi dugaan korupsi dana kemanusiaan korban konflik Poso, dapat dilihat masih banyak

keluarga-keluarga pengungsi yang belum menerima dana jaminan hidup (JADUP) dan

bekal hidup (BEDUP), dan kalaupun sudah menerima pasti ada pemotongan.

Ketidakberpihakan penyelesaian konflik Poso terhadap masyarakat yang

mengalami konflik secara langsung inilah yang mengakibatkan berbagai masalah ketika

masyarakat masuk dalam kondisi Pasca konflik. Masyarakat Poso harus hidup untuk

mengingat bagian luka-luka serta kepahitan ketika konflik terjadi sehingga kondisi ini

mengharuskan masyarakat Poso memilih untuk mengendapkan ingatan individu mereka

mengenai konflik. Bersamaan dengan hal ini maka secara sistematis tetapi tidak disadari,

masyarakat Poso akan mengidentifikasikan diri mereka dalam komunitasnya. Keadaan ini

mempersulit masyarakat untuk memulihkan diri baik secara fisik maupun psikologis.

Dalam endapan ingatan itu, konflik masih sangat rentan terjadi kembali.

Untuk kembali membangkitkan semangat kebersamaan dalam seluruh lapisan

dalam masyarakat maka katup penyelamat yang sudah dilakukan pada penyelesaian

Page 11: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

85

konflik harus dirumuskan kembali agar katup penyelamat tersebut benar-benar tepat

sasaran kepada seluruh masyarakat sehingga mencapai perdamaian yang menyeluruh bagi

masyarakat Poso. Menurut penulis katup penyelamat tersebut adalah kearifan lokal dari

masyarakat Poso sendiri yaitu sintuwu maroso. Sintuwu maroso sebagai katup

penyelamat adalah sebuah mediator yang datang dari dalam diri masyarakat Poso yang

dipercaya mampu untuk menangani masalah-masalah yang belum teratasi akibat konflik

hal ini dikarenakan nilai-nilai dalam sintuwu maroso adalah sebuah nilai kebersamaan

yang datang dari diri masyarakat Poso sendiri.

E. Sintuwu maroso Pasca Konflik: Menuju Perdamaian Sejati

Mengurai kembali konflik yang pernah terjadi di masyarakat Poso, kecenderungan

mencari model penyelesaian yang datang dari luar. Dalam banyak kasus, model

penyelesaian impor semacam ini cenderung seragam. Diawali dengan penghentian

konflik melalui cara-cara memaksa oleh pihak keamanan kemudian dilanjutkan dengan

penetapan serangkaian aturan termasuk sanksi bagi kedua belah pihak agar tidak

mengulangi konflik. Pola semacam ini biasanya hanya efektif untuk menghentikan

konflik kekerasan dalam waktu singkat tetapi kurang bisa menjamin bahwa konflik tidak

akan muncul lagi di kemudian hari. Proses penyelesaian berlangsung secara ad hoc dan

parsial serta kurang menyentuh akar persoalan konflik yang sebenarnya.

Kelemahan model penyelesaian seperti di atas, selain hanya bersifat sementara

yang kurang dapat menjamin penghentian konflik secara permanen, juga kerap

mengabaikan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Dengan model yang

memaksa, jelas tidak bisa menghilangkan rasa dendam di antara pihak-pihak yang

terlibat. Para elit yang bertugas menjadi penyelesai konflik yang karena berkeinginan

untuk segera mengakhiri konflik cenderung memihak kepada mereka yang kuat. Alih-alih

Page 12: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

86

menjadi mediator yang mesti bertindak netral dan adil, elit kerap terjebak mengikuti

kemauan kelompok mayoritas. Akibatnya, acap terjadi apa yang disebut victimizing

victim (mengorbankan korban). Korban yang hendak mencari keadilan malah digiring

menjadi kelompok yang harus mengalah dan dipaksa mengikuti kehendak kelompok

mainstream.6

Salah satu hal yang penting tetapi luput dari perhatian dalam penanganan konflik

adalah melalui pendekatan “dari dalam” masyarakat sendiri. Masyarakat sebetulnya

memiliki kemampuan dan sensivitas yang disebut “kearifan lokal” dalam menjaga

kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantispasi bahaya yang mengancam

dan menyelesaikan konflik. Memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi

dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik.7

Kearifan lokal, menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan Abdullah,8

“mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah

masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang

mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat”. Setidaknya ada enam

signifikansi dan fungsi kearifan lokal jika dimanfaatkan dalam resolusi konflik dan

pembangunan perdamaian. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua,

elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan. Ketiga

kearifan lokal tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam.

Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas. Kelima,

kemampuan local wisdom dalam mengubah pola fikir dan hubungan timbal balik individu

dan kelompok dan meletakkannya di atas common ground. Keenam, kearifan lokal dapat

6 Wawancara dengan Pdt.damanaik pada tanggal 27 Januari 2014.

7 Irwan Abdullah, dkk. Ed, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), 7. 8 Ibid., 27.

Page 13: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

87

mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir anasir yang merusak

solidaritas dan integrasi komunitas.

Menurut Galtung “Studi perdamaian adalah kerja untuk mengurangi kekerasan

dengan cara damai.” Lebih lanjutnya ia katakan bahwa studi untuk perdamaian dapat

dibagi dalam tiga kategori, yakni studi perdamaian dengan empiris/empirisme

(perbandingan sistematik antara teori dan pengalaman empirik), studi perdamaian

kritis/kritisisme (perbandingan sistematis antara realita empiris/data dengan nilai-nilai

yang ada), dan studi perdamaian konstruktif/konstruktisme (perbandingan sistematis

antara teori dengan nilai, sambil berusaha memadukan antara teori dan nilai-nilai. Jalan

untuk membangun perdamaian harus melewati jalan panjang dan mendaki serta meminta

pengorbanan dari semua pihak sehingga perlu melibatkan sebayak mungkin orang dan

pihak-pihak terkait dalam proses pencapaian perdamaian tersebut. Kehadiran dan

keterlibatan banyak pihak adalah wujud sebuah masyarakat yang terkoyak yang akan

dirajut kembali dengan cara mereka sendiri. Perlu dipahami bahwa perdamaian adalah

sebuah proses. Perdamaian bukanlah sebuah tujuan yang asbrak tetapi ia merupakan

sebuah proses, yang mesti diupayakan. Membangun perdamaian merupakan sebuah

pergerakan yang bersifat organik, yang tumbuh pada semua segmen masyarakat sehingga

proses perdamaian tidak dapat dibangun oleh para elit semata.

Pendekatan kearifan lokal sebagai cara mencapai perdamaian merupakan cara

untuk hidup, berpikir, merasakan, mengatur diri, dan membagi kehidupan bersama. Ini

merupakan faktor yang membuat orang untuk bersama-sama, memiliki pengalaman yang

sama tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, apa yang membuat mereka

menjadi seperti sekarang, dan pemahaman umum tentang kemana arah yang mereka akan

tuju. Biasanya hal ini diterapkan dalam simbol, ritual, gestur dan tradisi.

Page 14: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

88

Penekanan kepada perdamaian yang selama ini terjadi di kabupaten Poso masih

terbatas pada penghentian konflik sehingga perlu dikembangkan kearah pembangunan

perdamaian. Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah

yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian,terutama

dalam konteks pemenuhan hak akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk

mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke

arah perdamaian jangka panjang di Poso. Apakah masyarakat Poso memiliki alternatif

"perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian perdamaian negatif yang

berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan perdamaian positif yang disertai

partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya. Membangun perdamaian

yang positif yang ditandai dengan partisipasi dalam nilai-nilai demokrasi, menghormati

kebutuhan manusia, hak asasi manusia dan keamanan manusia. Tujuan utama dan proses

pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial

yang telah rusak dan lebih jauh lagi, dengan memperhatikan aspek-aspek politik,

ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dalam pembangunan

perdamaian tersebut ada berbagai cara yang harus di tempuh di antaranya adalah dengan

melibatkan sintuwu maroso sebagai kearifan lokal masyarakat Poso yang dikenal terbukti

mampu mempertahankan harmoni sosial. Dengan mempertimbangkan pada norma-norma

yang telah terinternalisir di kalangan masyarakat, maka anggota masyarakat akan

mempertahankan norma yang dimilikinya secara kuat. Betty Reardon menyatakan “Jika

kita benar-benar ingin damai, kita akan mempersiapkan itu dengan mendidik semua

rakyat kita tentang apa itu perdamaian, kendala yang menghambat itu, cara yang mungkin

untuk mencapai itu, apa yang kita perlu pelajari untuk mengejar perdamaian, dan yang

Page 15: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

89

paling penting dari semuanya adalah perubahan yang harus kita bawa dalam diri,

masyarakat dan budaya kita”.9

Sintuwu maroso dilambangkan dengan rumah adat, atau Lobo,10

sesungguhnya

adalah perekat budaya yang paling efektif untuk mempersatukan masyarakat yang berada

di tanah Poso dalam suatu komunitas yang damai. Sangat mungkin banyak dari antara

masyarakat di Poso tidak lagi menganggap masalah adat dan budaya sebagai sesuatu yang

penting untuk merekatkan kehidupan mereka. Sikap eklusif memang tidak dianjurkan

yang dapat membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak namun perlu adanya “sharing”

dalam rangka proses pembelajaran sehingga masyarakat Poso lebih saling memahami satu

dengan yang lainnya. Sosialisasi pemahaman lambang pemersatu sintuwu maroso harus

lebih diintensifkan sehingga masyarakat makin menyadari bahwa bersatu dalam damai

jauh lebih berguna ketimbang hidup dalam keterpisahan yang menderita akibat

kerusuhan.

Sesungguhnya hakekat yang terkandung dalam filsafat Sintuwu telah berurat

berakar dalam komunitas masyarakat Poso bahkan dalam kehidupan sehari-hari dan

sudah merupakan kepribadian masyarakat di daerah ini, saling memberi dan menerima

baik dalam bentuk materi, tenaga, dukungan moril yang semuanya dilakukan secara

spontanitas dan tanpa pamrih serta merupakan suatu kewajiban sosial. Sistem kekerabatan

9 Betty A. Reardon, Education for a Culture of Peace in a Gender Perspective ( France :

UNESCO, 2003). 10

Lobo adalah nama dari sebuah bangunan utama terbesar dalam setiap pusat pemerintahan

zaman purbakala di daerah Pamona, yang multi fungsi. Bangunan yang bertiang dengan ketinggian ± 2-2,5

meter dari permukaan tanah itu sedikitnya seluas 20 x 20 meter. Disanalah pusat pemerintahan, pusat

pemujaan (agama), pusat perkumpulannya rakyat dalam suatu pagelaran kesenian, tempat bermusyawarah

atau pesta dan lain-lain. Segala sesuatu yang diselenggarakan secara bersama akan di pusatkan di Lobo.

Pesta utama yang akan dipusatkan di Lobo ialah Susa mPoleleka yaitu pesta dalam rangka

mengumpulankan tulang-tulang orang yang yang meninggal karena perang, kena penyakit menular dan

lain-lain. Yang kedua adalah pesta penyambutan pahlawan menang perang. Lobo merupakan mempunyai

bentuk persegi empat dan mempunyai tiang penyangga utama di tengah. Bangunan ini sangat berarti bagi

masyarakat pamona purba, karena hampir setiap bagian bangunan tersebut ada nama, berikut

peruntukannya. Masing-masing peruntukan dibagi lagi ke dalam jenis pesta menyangkut pesta apa yang

sedang digelar.

Page 16: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

90

tersebut bukan hanya menjadi milik dari masyarakat asli Poso akan tetapi juga di terima

oleh masyarakat Poso pendatang yang bukan berasal dari suku Pamona. Bahkan kerap

dilakukan secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sintuwu merupakan

suatu keinginan tulus untuk hidup berdampingan memikul suka duka bersama. Pada

dasarnya kesatuan hidup dikalangan masyarakat Poso diikat oleh suatu hubungan sosial

yang dikenal dengan sintuwu maroso tersebut sebagai dasar pijakan dalam hubungan

interaksi antar komunitas masyarakat Poso bahkan juga dasar pijakan dalam hubungan

antar desa. Filosofi tersebut berlaku hingga kini yaitu sesudah terjadinya konflik

horisontal dikabupaten Poso, filosofi tersebut tetap di anut dan tidak pernah pudar.

Bahkan untuk menunjukan kekuatan dari sintuwu maroso dalam situasi dimana karena

konflik terjadi segregasi, dimana masyarakat terpisah, terpencar mengungsi dan tinggal

pada komunitas dengan agama yang sama. Misalnya orang-orang Kristen akan tinggal di

daerah Kristen demikian juga sebaliknya, namun ketika ada upacara perkawinan atau

kematian untuk menunjukan rasa moSintuwu tidak peduli sekalipun berbeda agama dalam

hubungan kekerabatan pastilah akan ikut mengambil bagian untuk moSintuwu. Sekalipun

harus memasuki daerah yang dimana tinggal suatu komunitas yang berbeda. Budaya ini

merupakan warisan turun temurun tidak ada sanksi yang diatur suatu lembaga adat bagi

yang tidak melakukan hal itu yang ada hanyalah sanksi sosial yang harus diterima dari

masyarakat. Tetapi tingginya nilai dari sintuwu maroso sehingga nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya terutama nilai kebersamaan dalam persaudaraan sangat di

junjung tinggi oleh para pendatang dan terutama masyarakat Poso secara umum.

Ungkapan sintuwu maroso di formulasikan oleh oleh almarhum T. Magido pada

tahun 1920-an pada waktu itu beliau sebagai penerjemah Alkitab pertama dalam bahasa

Pamona. Kemudian di populerkan oleh camat Wilson Magido pada tahun 1980-an. Tetapi

pada dasarnya itu sudah menjadi pandangan hidup orang Poso. Sintuwu maroso bukan

Page 17: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

91

slogan juga bukan dokrin, namun wujud dari budaya orang Pamona dalan realitas

kehidupan sehari-hari dan bahkan sudah menjadi kepribadian orang Pamona yang

dikalimatkan dengan ungkapan Sintuwu maroso, Tuwu simagi (solidaritas), Tuwu

malinuwu (hidup bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain).11

Sintuwu maroso tidak hadir sebagai produk budaya yang instan, melainkan ia

tumbuh dan berkembang seirama dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat Poso

itu sendiri. Sehubungan dengan kearifan lokal sintuwu maroso, maka dalam sintuwu

maroso terdapat nilai-nilai yang harus ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat

agar sintuwu maroso dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan

perdamaian. Nilai-nilai yang terdapat dalam kearifan lokal sintuwu maroso dapat dilihat

sebagai berikut: Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu metubunaka yakni menjunjung

tinggi kehidupan untuk saling menghormati dan saling menghargai terutama dalam

kehidupan antar individu, kehidupan kekerabatan, kehidupan antar masyarakat dan

lembaga-lembaga pemerintahan berdasarkan tatakrama dan adat istiadat setempat,

Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu mombepatuwu yakni dalam hidup baik individu

maupun kelompok ada sikap kepedulian terutama didalam menjalankan kesempatan

untuk hidup baik dalam membuka lapangan kerja, membantu yang berkekurangan dan

sebagainya, Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu siwagi merupakan suatu kehidupan yang

dibangun berdasarkan prinsip satu kesatuan persaudaraan antar sesama yang utuh dan

kokoh, Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu simpande raya yakni adanya sikap saling

menerima dan saling mengakui perbedaan dalam keadekaragaman etnis, budaya dan

keyakinan sebagai komunitas masyarakat kabupaten Poso. Sintuwu maroso dalam bentuk

Tuwu sintuwu raya adalah menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik dalam

komunitas maupun di luar komunitasnya, Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu

11

Alpha Amirrachman, Revitalisasi Kearifan Lokal..., 259.

Page 18: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

92

mombepomawo adalah sikap saling menyayangi tanpa melihat latar belakang, dan

Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu Malinuwu adalah kehidupan yang dibangun

berdasarkan prinsip bersatu padu, saling menopang dan saling menghidupi satu dengan

lainnya demi keberlangsungan hidup secara utuh.

Keseluruhan nilai-nilai yang terkandung dalam sintuwu maroso adalah nilai kerja

sama, menghormati, kebersamaan, musyawarah, empati, peduli dan persatuan. Nilai-nilai

yang terkandung tersebut merupakan bukti bahwa kearifan lokal sintuwu maroso mampu

menciptakan perdamaian yang sejati. Melalui sintuwu maroso semua anggota masyarakat

akan membenamkan ego etnis, ego agama, ego ras, dan ego kelompok, dengan

menyatukan mindset-nya menjadi “kita”, dan bukan “saya” atau “mereka”.

F. Tantangan Dalam Pencapaian Perdamaian Sejati

Kabupaten Poso kini memasuki masa pasca konflik setelah tercapainya

kesepakan damai antara dua kominitas yang bertikai. Namun, di tengah situasi membaik

itu pertanyaan muncul sehubungan dengan berbagai masalah dan tantangan masih

dihadapi untuk menuju situasi perdamaian ke depan setelah sekian lama dilanda konflik.

Betulkah masyarakat di daerah pasca konflik ini telah menemukan kehidupannya yang

baru? Apakah masalah-masalah menjadi sumber konflik dan dampak konflik dimasa lalu

telah betul-betul teratasi? Kemana arah dari perkembangan terkini pasca konflik? Apakah

betul-betul menuju konsolidasi perdamaian dan demokrasi ataukah masih menghadapi

masalah-masalah yang mengancam daerah ini sehingga konflik bisa kembali terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan disini untuk memastikan bahwa memang

pemulihan pasca konflik benar masih berlangsung sehingga perdamaian tumbuh dan terus

berkembang di daerah ini.

Page 19: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

93

Memasuki masa pasca konflik sesungguhnya masih menghadapi berbagai

tantangan perdamaian bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalah-masalah

konflik di masa lalu tetapi juga masih rentannya kondisi perdamaian karena masih

lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam

mengatasi berbagai potensi konflik terpendam, ketegangan struktural dan berbagai

hambatan perdamaian dihadapi masyarakat pasca konflik. Membangun kembali

masyarakat pasca konflik umumnya masih dalam kondisi perdamaian yang masih rentan

sehingga konflik mudah kembali muncul ke permukaan. Tantangan dihadapi terutama

bersumber dari masih adanya kesenjangan perdamaian, yaitu kesenjangan antara tujuan

perdamaian ideal diharapkan dan realisasi perdamaian nyata dicapai di masyarakat. Untuk

memastikan perdamaian berlangsung secara berkelanjutan, dengan itu maka penting

untuk dilakukan upaya-upaya mengatasi dan mengisi kesenjangan perdamaian ini, baik

pada level kebijakan maupun dalam praktik pembangunan perdamaian.

Kesenjangan perdamaian ini menurut analisa penulis disebabkan karena

masyarakat belum terbebas dari berbagai kekerasan. Konsep perdamaian dalam definisi

Galtung lebih diartikan sebagai keadaan dimana tidak adanya kekerasan. Dan dapat

diartikan, bahwa perdamaian adalah jarak keadaan dari kekerasan menuju pada ketiadaan

kekerasan. Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural,

kekerasan langsung dan kekerasan kultural. Tiga tipe kekerasan inilah yang akan

digunakan penulis dalam menganalisa tantangan dalam pencapaian perdamaian di tanah

Poso.

1. kekerasan struktural

ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem yang menyebabkan manusia tidak

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan konsep kekerasan struktural.

Page 20: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

94

Kekerasan struktural menyebabkan tertindasnya manusia atau kelompok sosial sehingga

mengalami berbagai kesulitan untuk hidup. Tidak terpenuhinya hak-hak dasar dalam

hidup sebagai masyarakat pasca konflik menyebabkan masyarakat di Poso masih berada

dalam lingkaran kekerasan.

Kemiskinan pada dasarnya merupakan bentuk kekerasan struktural. Kemiskinan

bukan semata masalah ekonomi, sebagai persoalan rendahnya tingkat pendapatan.

Kemiskinan dalam pengertian sangat mendasar merupakan tidak adanya peluang-peluang

dan kebebasan dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, sehingga memungkinkan

masyarakat mendapatkan fasilitas ekonomi dasar, pekerjaan, dan perlindungan keamanan.

Akan tetapi kondisi struktural di kabupaten Poso masih terlihat timpang. Masyarakat

tidak memiliki akses yang sama dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Hanya mereka

yang memiliki peluang-peluang dan kesempatan yang bisa menikmati kesejahteraan,

kebebasan, dan perlindungan keamanan.

Rasa aman merupakan kebutuhan sangat fundamental bagi kehidupan.

Terciptanya rasa aman akan menentukan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat

mengenai kesejahteraan, kebebasan. Rasa aman memungkinkan orang bisa berkerja,

mendapatkan sumber ekonomi, terbebas dari kemiskinan. Rasa aman atau tidak adanya

ancaman kekerasan juga memberikan peluang bagi kebebasan, untuk bebas dari represi

dan dominasi. Dari sudut kebutuhan mengenai keamanan masyarakat merasakan bahwa

keamanan tersebut belum bisa menjamin keberadaan masyarakat Poso hal ini disebabkan

karena masih adanya berbagai teror yang terus membuat masyarakat masih merasakan

kecemasan dan ketakutan. Tidak terpenuhinya kebutuhan keamanan ini memungkinkan

tidak bebasnya orang untuk berkerja untuk meraih kesejahteraan dan menimbulkan

Page 21: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

95

ketidak percayaan kepada pemerintah karena terkesan melakukan pembiaran terhadap

teror-teror yang sering terjadi.

Disisi lain kekerasal struktural yang berlaku ditanah Poso adalah mengenai

masyarakat pengungsi yang sampai sekarang belum dapat kembali ke tempat asal mereka.

Pengungsi belum bisa menikmati kesejahteraan yang layak, seperti masih mendiami tanah

yang bukan milik mereka, masalah pekerjaan yang masih belum jelas dan masih banyak

lagi masalah lainnya. Memang secara umum hal tersebut bisa dinikmati oleh pengungsi

karena mereka berada di dalam komunitas mereka sehingga keamanan menjadi hal utama

walaupun pemenuhan hak-hak lain tidak berjalan dengan baik, bagi masyarakat

pengungsi asalkan bisa tidur dengan nyenyak itu sudah lebih dari cukup. Masih belum

teratasi masalah-masalah mengenai pengungsi membuat pemerintahan tanah Poso

dianggap gagal dalam pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dalam hidup sebagian

masyarakat Poso bukan hanya gagal tetapi juga menciptakan kekerasan yang mengancam

keberlangsungan hidup.

Pemenuhan kebutuhan dasar adalah unsur fundamental dalam menciptakan

perdamaian. Kebutuhan dasar manusia memberi dampak terbentuknya proses sosial

damai dimana setiap anggota masyarakat menjadi mampu membangun relasi sosial

berbasis kerja sama. Proposisi ini tidak lepas dari fakta psikologi bahwa terpenuhinya

kebutuhan dasar, seperti pakan, papan, keamanan dan kesehatan akan menciptakan

perasaan tenang dan tentram. Sebaliknya, kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar

adalah ancaman bagi eksistensi hidup.

2. kekerasan langsung

kekerasan langsung adalah tindakan yang menyerang secara fisik atau psikologis

seseorang secara langsung, dalam arti bahwa kekerasan yang terjadi kontak langsung

Page 22: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

96

antara pelaku yang bertanggung jawab dan korban dan berakibat bagi korban. Kekerasan

langsung mengancam HAM, khususnya hak untuk hidup. Dalam masyarakat pasca

konflik di Poso kekerasan langsung masih sering dijumpai yang dilakukan oleh

sekelompok orang yang mengatas namakan kelompok Santaoso.

Masih adanya aksi dan tindakan terror di Poso secara langsung yang dilakukan

oleh kelompok teroris Poso tersebut membuat kembali pertanyaan apakah Poso memang

sudah aman dan damai ataukah hanya seperti api dalam sekam? kelihatannya diatas sudah

aman dan damai akan tetapi masih ada tindakan-tindakan seporadis yang dilakukan oleh

sekelompok orang. Melihat kenyataan ini maka tidak menutup kemungkinan akan besar

pengaruhnya negatifnya terhadap hubungan dua kominitas yang telah berkonflik

berhubung dengan sikap jenuh bagi masyarakat karena aksi terorisme yang masih saja

berlangsung dan sepertinya kurang dapat diselesaikan. Sikap jenuh masyarakat ini dinilai

sebagai ketidakmampuan negara/pemerintah dalam mengatasi aksi terorisme di Poso.12

3. kekerasan kultural

kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari

keberadaan masyarakat, jadi kekerasan budaya bukanlah hendak menyebutkan

kebudayaan sebagai keseluruhan. Kekerasan budaya tersebut di contohkan dengan agama

dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis dan

matematis) yang kesemuanya bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi

kekerasan struktural dan langsung.

12

Salah satu sikap jenuh ini adalah didapati penulis ketika berada di Tentena. Saat itu terjadi

penembakan terhadap warga tangkura yang dilakukan oleh kelompok Santoso (lihat,

http://news.liputan6.com/read/2162076/kapolda-kejar-teroris-kelompok-santoso-penembak-mati-warga-

Poso), dari kejadian ini penulis mendengar ungkapan seorang bapak yang mengatakan “ternyata masih ada

teroris di Poso ini, ini aparat ini apa kerjanya? Lama-lama kalau begini torang mo buat cara-cara dulu saja

(melakukan aksi pembalasan dendam) ini sedangkan mau pigi kekebun saja orang jadi takut.”

Page 23: BAB IV PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI …

97

Kekerasan budaya sering hadir dalam banyak relasi sosial masyarakat. Pada

masyarakat Poso misalnya bagaimana masyarakat beragama Islam sering kali di cap

dengan ungkapan sebagai teroris. Streotipe-streotipe seperti ini baru terjadi ketika konflik

melanda di wilayah Poso. Hal ini bukan tidak beralasan, Stereotipe muncul akibat masih

adanya kebencian, ketakutan dan kecurigaan. Masih adanya berbagai terror yang

membuat masyarakat Poso secara khusus komunitas kristen merasa bahwa dari komunitas

Islam masih ada pihak yang masih mengiginkan konflik terjadi walaupun hal tersebut

hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Mengenai atribut-atribut muslim seperti

jenggot, gamis, peci/songkok dan sorban yang sering digunakan oleh seorang muslim

menjadi sebuah indikator mengenai keterlibatan mereka terhadap aksi radikal yang

banyak terjadi di Poso. Disisi lain pasca konflik Poso sebagian masyarakat memunculkan

fanatik agama yang sangat kental sehingga ketika berhadapan dengan komunitas yang

beda agama terlihat jelas sikap tidak bersahabat.

Sebagai kawasan pasca konflik wilayah Poso masih merupakan daerah yang

rentan konflik sekalis rentan perdamaian. Bukan hanya hanya karena masih belum

teratasinya akar konflik dan berbagai dampak konflik yang ada, tetapi juga masih lemah

dan tidak efektifnya upaya perdamaian yang ada. Melihat kekerasan yang terjadi pasca

konflik di Poso dapat dikatakan bahwa ketegangan – ketegangan yang terjadi di saat

konflik belum teratasi dengan baik. Sehingga pasca konflik di Poso masih menyisahkan

“Konflik terpendam” sehingga perdamaian yang masih sangat rentan tersebut bisa saja

dalam suatu waktu konflik Terbuka masih besar kemungkinan terjadi. Sintuwu maroso

yang merupakan kearifan lokal masyarakat Poso di yakini dapat menjadi salah satu solusi

dalam memperoleh perdamaian sejati dan memperkecil kemungkinan akan terjadinya

konflik kembali dikarenakan dengan kearifan lokal tersebut masyarakat Poso turut serta

untuk berpartisipasi langsung demi terwujudnya perdamaian.