bab iv pembahasan a. sastra sebagai cermin masyarakat · bab iv pembahasan a. sastra sebagai cermin...
TRANSCRIPT
20
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Kandungan sejarah dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tidak dapat
dipungkiri bahwa novel ini merupakan saksi sejarah pada zaman militeristik setelah
kemerdekaan. Masyarakat Indonesia masih merasa hidupnya tidak tenang setelah
kemerdekaan karena perang masih saja terjadi. Pada novel Lingkar Tanah Lingkar
Air terdapat beberapa permasalahan yaitu berupa fakta sejarah dan persoalan agama.
1. Fakta Sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air
Sekitar tahun 1946 berita mengenai penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang
kepada pemerintah Belanda memicu berbagai reaksi, di kota besar hingga pelosok
desa. Rakyat gelisah, takut dan masih mengingat penderitaan semasa penjajahan
Jepang. Pemerintah Indonesia yang masih dalam masa pemulihan, membentuk
tentara republik yang dipersiapkan menghadapi Belanda.
Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air berisi fakta-fakta sejarah yang
terangkum di dalamnya terdapat pesan-pesan moral. Sebuah perjuangan sekelompok
hizbullah (tentara Allah) yang terlibat perseteruan dengan negara, sehingga mereka
harus melindungi diri dengan bersembunyi di dalam hutan. Namun akhirnya beberapa
orang dari mereka ikut dalam kelompok tentara republik. Sebenarnya apa yang
disebut sebagai kebenaran dan kejahatan, ketika garis batas antara keadilan dan
penegakan hukum justru memakan korban-korban yang tidak bersalah. Berikut
beberapa fakta sejarah yang terdapat pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
20
21
“Tadi malam kami---- aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud berada dalam salah
satu rumah ilalang itu. Kami datang untuk menjenguk Kang Suyud yang
sedang sakit dan kami titipkan kepada salah satu keluarga di sana. Tiba-tiba
datang serbuan” (Tohari, 2015: 10).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa masyarakat Jawa sangat memiliki rasa
persaudaraan yang tinggi kepada sesamanya, pada saat genting pun mereka masih
sempat untuk menjenguk salah satu kerabat yang sakit dan menitipkan kepada salah
satu warga yang berada di daerah sana untuk dapat menjaganya.
“Yang jelas jiwaku amat terpukul ketika melihat kelima keluarga pembuat
balok itu musnah bersama hunian mereka. Terasa ada tagihan yang
mengepung jiwaku: adilkah melibatkan, meskipun tak sengaja, orang-orang
lemah itu ke dalam gerakan kami sehingga mereka harus ikut menanggung
akibat yang tak terperikan? Aku sendiri bisa menjawab dengan mudah: Tidak.
Dan kematian mereka yang sangat mengerikan itu justru menjadi bukti
ketidakadilan itu” (Tohari, 2015: 12).
Ketika pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno-Hatta
sedang membangun sistem politik. Setelah Belanda dan Jepang berhasil diusir,
banyak pejuang kemerdekaan yang sebelumnya punya satu musuh bersama yaitu
penjajah. Sejarah kelam pascakemerdekaan membuat banyak rakyat kecil tidak
berdosa ikut menanggung kepedihan dan ketidakadilan yang dialami oleh negaranya
sendiri. Suasana politik yang tidak stabil membuat mereka yang tidak mengerti
tentang masalah politik, dengan tidak sengaja mereka malah ikut dilibatkan di
dalamnya, sehingga banyak yang menjadi korban pada saat genting tersebut. Saat itu,
ikatan nasionalisme belum terbangun secara kokoh, namun baru sebatas semangat
mengusir penjajah dari Nusantara.
“Kami, para pemuda yang diperbantukan, bergerak hilir-mudik karena
kehilangan acara. Lesu, merasa tak berguna, dan lapar bukan main. Untung
ada orang bicara, entah siapa, bahwa kami boleh pulang. Tetapi, kata orang
itu, kami harus selalu siap memberi bantuan apa saja kepada tentara Republik
22
bila mereka beroperasi di desa kami masing-masing. Bubar. Kiram memungut
sebongkah batu cadas dan membantingnya dengan keras. Pecah” (Tohari,
2015: 31).
Pascakemerdekaan perang masih saja terjadi di wilayah Indonesia. Indonesia
masih saja dijajah oleh Belanda. Peran tentara republik dan hizbullah sangat penting
di sini, karena mereka saling membantu untuk mengusir para penjajah yang telah
membuat hidup rakyat Indonesia menjadi tidak tenang dan sengsara.
“Soal persamaannya kalian sudah tahu,” ujar Kiai Ngumar. “Tentara
Republik dan Hizbullah sama-sama pasukan bersenjata yang berjuang
melawan tentara belanda untuk mempertahankan kemerdekaan kita.”
“Dan perbedaannya?” aku bertanya.
“Bedanya?” ujar Kiai Ngumar. “Begini. Meskipun sama-sama bertempur
melawan belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar antara tentara
Republik dan Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya,
mereka adalah bagian sah Republik. Maka, selama Republik berdiri mereka
mutlak diperlukan kehadirannya. Republik pun wajib memberi mereka gaji,
setidaknya kelak bila negeri sudah normal. Lalu apa Hizbullah?”
Kiai Ngumar memberi jeda, mungkin agar ada kesempatan bagi kami untuk
memahami penjelasan yang telah diucapkannya.
“Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar
niatnya lillahi ta‟ala, ikhlas, tujuannya melaksanakan wajib memerangi kafir
yang membuat kerusakan di negeri ini seperti sudah difatwakan Hadratus
Syaikh. Dan tidak seperti tentara resmi, Hizbullah tidak dibentuk oleh
pemerintah. Mereka lahir karena kesertamertaan para ulama. Karena niatnya
lillahi ta‟ala, anak-anak Hizbullah tidak akan menerima gaji dan ku kira harus
membubarkan diri setelah keadaan aman. Itulah, maka tadi aku bertanya
apakah tidak lebih baik kalian bergabung dengan tentara resmi?” (Tohari,
2015: 43-44).
Pada kutipan di atas dijelaskan, pada tahun 1947 seluruh kesatuan militer
yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditarik mundur, sebagai realisasi atas
persetujuan yang telah disepakati oleh tentara Indonesia dan pihak Belanda pada
tahun itu juga. Namun pasukan hizbullah tetap pada pendiriannya, dan menolak untuk
meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya itu serta bertekad melakukan perang
gerilya. Bukan itu saja, pasukan republik yang tidak menarik diri itu, bahkan berubah
23
nama menjadi Darul Islam (DI) dan menyebut sayap militernya sebagai Tentara Islam
Indonesia (TII).
“Ya. Setelah menyerahkan kepala Mantri Karsun, kami kembali ke basis
kami sendiri. Namun dua hari kemudian kami mendapat perintah dari
kalangan Hizbullah sendiri untuk secepatnya bergerak ke timur, ke
Somalangu di pedalaman Kebumen. Di sana ada konsentrasi kekuatan
Hizbullah dengan pelindung seorang kiai yang sangat berpengaruh. Banyak
anak-anak Hizbullah maupun pemuda-pemuda biasa yang meminta kekuatan
sakti kepada kiai itu. Bedil-bedil, senjata tajam, dan bambu runcing
dimintakan sebul kepada Kiai agar bertuah. Kiram dan Jun juga menyerahkan
senjata masing-masing untuk diberkati dalam antrean yang lumayan panjang.
Tetapi belum selesai disusuk, kami harus mengambil senjata kami kembali.
Ada kabar, Belanda datang dari arah timur. Kami diminta bersiap bersama
pasukan Republik untuk melawan mereka di Kebumen” (Tohari, 2015: 70).
Dari kutipan di atas dijelaskan bahwa pilihan untuk membela tanah air sangat
dipegang erat oleh para hizbullah, di saat keadaan seperti apapun dan dimanapun
mereka berada mereka harus siap untuk membantu pasukan republik untuk melawan
penjajah Belanda.
“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam
orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk
mendirikan negara Islam”
“Sabarlah, Suyud. Aku ingin kembali mengingatkanmu akan kandungan
kitab. Di sana disebutkan hanya ada satu kekuasaan yang sah dalam suatu
negara. Dengan kata lain, bila Republik sudah diakui sebagai kekuasaan yang
sah, lainnya otomatis menjadi tidak sah” (Tohari, 2015: 75).
Nasihat yang keluar dari mulut Kiai Ngumar sepertinya tidak dipedulikan
Suyud. Kiram dan Jun juga tidak memiliki ijazah Sekolah Rakyat maka ia tidak akan
bisa untuk masuk sebagai tentara republik dikarenakan buta huruf. Sejarah
mengatakan, bahwa persyaratan pada saat itu minimal tentara republik harus
memiliki ijazah. Mereka dikatakan sumber daya manusia (SDM) yang siap pakai
untuk pertahanan pemerintahan dan akan menerima gaji setelah keadaan negara
24
kembali normal. Amid yang awalnya ingin bergabung dengan tentara republik punah
juga harapannya ketika kedua temannya geram dengan keputusannya. Kiram yang
memojokkan Amid dengan alasan kalau bukan karenanya memberikan senjata
kepada Amid, sampai saat ini pun ia tetap menjadi anak bawang (pembantu para
tentara). Dengan alasan itu pula Amid meninggalkan Kiai Ngumar dan pergi bersama
Kang Suyud dan temannya. Mulai saat itulah mereka menjadi manusia yang selama
berpuluh-puluh tahun tinggal di hutan karena dianggap sebagai pemberontak oleh
pasukan republik.
Pada awal tahun 1949, sesudah ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh
ke tangan Belanda, pasukan republik kembali ke Jawa Barat dalam keadaan kocar-
kacir, sementara itu mereka menghadapi perlawanan keras dari TII di bawah
komando Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Darul Islam menolak tunduk terhadap
usaha-usaha tentara untuk mengembalikan kekuasaan republik atas daerah Jawa Barat
(yang pernah ditinggalkannya). Sebaliknya mereka memproklamasikan berdirinya
sebuah negara merdeka yang menikmati hak-hak otonomi secara rasional.
Ketika Belanda telah menyerahkan diri dan ketika keadaan aman pada awal
tahun 1960-an, tentara Indonesia berhasil menumpas gerakan Darul Islam, sejak saat
itu Kartosuwiryo beserta orang-orang yang bergabung dalam gerakan melawan
republik, di dalam sejarah kemudian disebut sebagai kelompok pengkhianat dan
pemberontak negara. Pada Lingkar Tanah Lingkar Air, ketika itu pasukan hizbullah
ingin melebur ke dalam tentara republik dan berhimpun di suatu tempat di tepi rel
kereta api. Tetapi tiba-tiba pasukan republik mendapat serangan mendadak.
25
“Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di
sana terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka
yang menyerang kami. Ada yang percaya, pasukan Republik tak mungkin
punya perilaku sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang
oknum-oknum yang berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka
bekerja untuk kepentingan golongan tertentu, mereka adalah pengkhianat
yang mencatut nama pasukan Republik dan tidak suka terhadap masuknya
anak-anak bekas Hizbullah ke pasukan pemerintah. Pendapat ini sebenarnya
gamblang dan mengarah kepada tuduhan terhadap oknum-oknum komunis.
Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu,
terutama setelah terjadi makar Madiun di tahun 1948, belum sempat
dilaksanakan secara intensif” (Tohari, 2015: 81-82).
Jelas pada waktu itu pasukan republiklah yang menyerang hizbullah
dikarenakan mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita
membaca kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya
ingin melebur ke pasukan republik, tetapi saat mereka ingin melebur pasukan
republik sudah lebih dahulu menyerangnya sehingga pasukan hizbullah menyimpan
dendam terhadap pasukan republik.
“Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kita sudah resmi
menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri. Negara
Islam Indonesia”
“Negara Islam Indonesia? Aku teringat Kiai Ngumar. Teringat ketika ia
beraksi bahwa dalam iman yang teguh Kiai Ngumar dengan sadar memilih
Republik Indonesia yang sudah berdiri dengan sah. Aku juga teringat kata-
kata orang tua itu bahwa dalam suatu negara yang sah, di dalamnya tak boleh
ada suatu bentuk Negara terpisah yang sah pula. Aku memercayai kebenaran
pikiran Kiai Ngumar: mestinya hanya ada satu bentuk Negara yang sah, yaitu
Republik. Tetapi aku mau apa jika pasukan Republik jelas-jelas
menganggapku sebagai pemberontak?” (Tohari, 2015: 95).
Gerakan Negara Islam Indonesia atau NII ini bertujuan untuk menjadikan
Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang menerapkan dasar agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini
menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama
26
Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Faktanya, ada yang memfitnah pasukan hizbullah hingga akhirnya mereka sangat
dibenci oleh tentara republik, sehingga hubungan mereka menjadi tidak baik lagi.
Gerakan Siluman (GS), sayap bersenjata partai komunis yang beroperasi di
sekitar hutan jati Cigobang, suka mencatut nama mereka untuk melakukan
perampokan sehingga nama-nama anggota DI/ TII tercemar di mata penduduk
kampung. Terlihat pada kutipan-kutipan di bawah ini.
“Beberapa kali kami bertempur melawan orang-orang GS untuk
memperebutkan suatu wilayah hutan jati. Wilayah tersebut sudah lama
menjadi basis pertahanan kami, tetapi mereka ingin menguasainya
demi pohon-pohon jati yang besar-besar dan tua, yang ingin mereka
tebang” (Tohari, 2015: 98).
“Aku masih diam, benar-benar tak tahu apa yang bisa kukatakan
kepada Kiai Ngumar. Mungkin karena melihat aku bimbang. Kiai
Ngumar bercerita bahwa gerakan Darul Islam sama sekali sudah tak
punya harapan hidup. Bukan hanya karena aparat keamanan akan
menghancurkannya, melainkan juga karena pendapat umum
masyarakat menganggap DI adalah musuh mereka. Kiai Ngumar juga
bilang, sudah lama ada kelompok pengacau yang mencatut nama DI
untuk melakukan perampokan-perampokan” (Tohari, 2015: 106).
Setelah memilih menjadi anggota laskar hizbullah, para anggotanya termasuk
salah satunya adalah Amid sudah terbiasa hidup di hutan dengan penuh kegelapan
ketika malam hari tiba. Hidup dengan segala keterbatasan dan tidak pernah tenang
karena ancaman selalu menghantui hidupnya. Hidup berpindah-pindah tempat ketika
malam hari sangat sering dilakukannya, terlihat pada kutipan dibawah ini.
“Perihal berjalan dalam kegelapan malam, aku sudah berpengalaman
bertahun-tahun sehingga dengan mudah aku menghindar dari
pengawasan para peronda. Aku menerobos pagar berlapis di tempat
kemarin aku masuk. Keluar dari batas kampung aku harus menempuh
kebun singkong yang luas. Langit gelap sempurna, malah gerimis
27
mulai jatuh. Ketika langit menjadi sehitam jelaga, kilat tampak sebagai
garis-garis patah yang berpijar sesaat dan amat menyilaukan mata. Di
tengah tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil
yang merayap tanpa daya dalam kegelapan yang sungguh pekat.
Namun demikian aku terus berjalan” (Tohari, 2015: 111).
“Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah
hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Toyib,
rekan itu, telah menempuh perjalanan berbahaya untuk memberi kabar
tentang sesuatu yang amat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo,
khalifah Darul Islam tertangkap pasukan Republik. Toyib juga
membawa sehelai selebaran yang ditandatangani oleh khalifah, berisi
seruan agar semua anggota DI/TII meletakkan senjata dan
menyerahkan diri kepada aparat keamanan dengan jaminan
pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia” (Tohari, 2015: 143-144).
Dari berita di atas, dalam Lingkar Tanah Lingkar Air semua pasukan DI/ TII
diharapkan meletakkan senjata dengan jaminan pengampunan dari tentara republik.
Akhirnya semua pasukan republik meletakkan senjata. Ada beberapa dari mereka
yang ikut bertempur melawan pasukan GS (Gerakan Siluman).
Cerita Kiram tentang orang-orang GS memang sudah lama menjadi kesadaran
umum di kalangan anggota DI. Banyak perangkat pamong di desa-desa pinggiran
hutan atau perkebunan karet diam-diam atau terang-terangan menjadi anggota
gerakan rahasia ini. Mereka jelas-jelas komunis, dan celakanya mereka sangat mudah
memperoleh senjata karena mereka juga merekrut banyak oknum organisasi pembela
rakyat (OPR), organisasi yang resmi dipersenjatai dan dibangun sebagai barisan
pertahanan sipil. Selain mempunyai kekuatan bersenjata, mereka mempunyai
kekuatan jalur usaha perekonomian, yakni perdagangan kayu jati secara gelap.
Mereka mengorganisasikan banyak sekali pencuri kayu jati sehingga beberapa
28
pemimpin mereka, yang kami kenal menjadi pamong desa, adalah orang-orang yang
sangat kaya.
Pertempuran itu hanya terdapat dua hal pada pasukan GS, yaitu menembak
atau ditembak. Sebelum mereka ditembak, mereka juga ingin menembak pasukan
republik. Dari pertempuran itu, pasukan republik banyak menewaskan pasukan GS.
Ternyata selama berpuluh tahun telah terjadi kekeliruan terhadap pandangan pasukan
republik dengan pasukan hizbullah, dan sampai sekarang, pasukan republiklah yang
berkuasa.
“Tepat jam satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas.
Aku, Jun, dan Kiram ada di antara mereka. Terasa aneh, tiga bekas laskar DI
berada dalam satu pasukan dengan tentara pemerintah, bekas seteru besarnya.
Entahlah Kiram dan Jun, tetapi aku sendiri merasakan keharuan yang terus
mengembang dan menyesakkan dada. Tenggorokanku terasa pepat. Dan aku
merasa air mataku jatuh. Untung, dalam kegelapan malam tak mungkin ada
orang melihat roman mukaku” (Tohari, 2015: 161).
“Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang
lain, sangat lain. Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang
pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. Tetapi kini semuanya akan
menjadi kenyataan, dan aku bersama Kiram dan Jun, meski hanya sementara,
menjadi bagian tentara Republik. Ya, tak pernah kuduga, akhirnya aku
mendapat peluang bertempur atas nama Negara. Keharuan kembali merebak
dan air mataku jatuh lagi” (Tohari, 2015: 162).
Pada kutipan-kutipan di atas dijelaskan bahwa akhirnya Amid, Kiram, dan Jun
dimintai informasi oleh pemerintah republik mengenai GS. Pemerintah republik dan
tentara republik tidak hanya meminta mereka untuk memberikan informasi saja tetapi
mereka juga diminta untuk menjadi penunjuk jalan, namun Amid, Kiram, dan Jun
tidak mau jika hanya menjadi penunjuk jalan, melainkan juga ingin ikut bertempur
melawan pasukan komunis itu. Amid dan kawan-kawan kini ada dipihak tentara
29
republik. Berada dalam satu pasukan dengan tentara pemerintah Indonesia membuat
Amid terharu dan air matanya pun jatuh.
Bangsa Indonesia didatangi (dijajah) oleh bangsa-bangsa Eropa sejak
berabad-abad yang lalu. Bangsa-bangsa penjajah tersebut datang ke Nusantara
membawa semangat imperialism. Dalam catatan sejarah, bangsa-bangsa Eropa seperti
Portugis, Belanda, dan Inggris sempat berkuasa atas Nusantara, sekaligus berebut
kekuasaan dari sesamanya selama hampir satu millennia. Nusantara digunakannya
sebagai “laboraturium” penjajah, guna meneliti untuk menemukan bagaimana cara
dan metode untuk menguasai Nusantara dengan baik dan benar (bagi mereka). Hasil
“penelitian” tersebut dapat kita lihat dari berbagi macam sistem, walaupun tetap
berujung kepada kepentingan politik yang diterapkan di Nusantara, baik itu sistem
yang menyangkut politik, ekonomi, hingga yang menyangkut masalah ras dan agama
yang telah diterapkan di Nusantara.
Pada pembahasan latar sosiohistoris pengarang termasuk di dalamnya adalah
kehidupan sosial di lingkungan masyarakat Tohari sekitar tahun 1946-1968. Dalam
hal ini adalah lingkungan sosial yang dihadapi oleh Tohari yang melatarbelakangi
lahirnya karya-karyanya.
Pengalaman kehidupannya yang traumatik akan kekejaman manusia akibat
geger politik sekitar tahun 1965 juga menjadi sebuah pengalaman yang tidak
terlupakan. Ketika suhu politik memanas sekitar tahun 1964 dan kemudian geger
politik meletus pada tahun 1965-1966, Tohari remaja hidup di pedesaan. Oleh karena
itu, Tohari sempat menyaksikan tindak kekejaman dan kesewenang-wenangan yang
dilakukan oleh para aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama para
30
pengikutnya dan juga para tentara yang mendapat perintah untuk mengamankan
situasi kekacauan politik saat itu.
Banyak pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan DI/ TII atau mereka
yang mengaku atau mengatasnamakan DI/ TII justru ketika kekuatannya mulai
melemah karena terdesak oleh kekuatan tentara pemerintah RI. Banyak orang tak
berdosa yang dibunuh secara kejam. Hal itu menjadi pengalaman traumatik bagi
Tohari yang kebetulan pada masa praremajanya menjadi saksi mata atas berbagai
peristiwa kekejaman tersebut.
Seperti diketahui bahwa pemberontakan DI/ TII sebenarnya berpusat di
wilayah Jawa Barat dan terjadi antara tahun 1948-1968. Namun, imbas
pemberontakan yang dipelopori oleh seorang nasionalis radikal Kartosuwiryo itu
merembes juga ke wilayah Jawa Tengah terutama daerah yang berbatasan dengan
wilayah Jawa Barat, termasuk Banyumas. Pemberontakan DI/ TII memiliki kekhasan
tersendiri dan tidak hanya disebabkan oleh motif ekonomi melainkan yang lebih berat
adalah kegagalan pemerintah dalam melakukan integrasi politik dalam masyarakat
tradisional.
Pada masa itu, realitas kehidupan masyarakat pedesaan di lingkungan Tohari
banyak yang terbelakang dengan segala kemiskinan, kebodohan, dan
ketidakberdayaannya. Dari kondisi sosial yang memprihatinkan dengan berbagai
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan itulah Tohari banyak memperoleh
pengalaman hidup. Tohari hidup dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat
pedesaan yang masih lugu dan terbelakang terutama dari segi sosial ekonomi dan
pendidikan.
31
2. Persoalan Agama dalam Lingkar Tanah Lingkar Air
Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan-pesan dan misi keagamaan (Islam)
melalui karya-karyanya, salah satunya adalah novelnya yang berjudul Lingkar Tanah
Lingkar Air. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius
pada diri para pelakunya, di antaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa
memberikan nasihat-nasihat keagamaan pada santri-santrinya, satu di antaranya
adalah Amid, sejak Amid masih kecil. Ketika mengalami kebingungan, seperti ketika
ia ragu untuk memilih antara menjadi laskar DI/ TII atau menjadi tentara RI, ia tidak
lupa dan malu untuk meminta nasihat pada gurunya yaitu Kiai Ngumar. Terlihat pada
kutipan-kutipan di bawah ini.
“Aku sempat berbincang dengan imam masjid di sana. Ternyata kiai itu tak
mau mendukung kami. Ia berkeyakinan, pemerintah Bung Karno sah karena
didukung para pemimpin Islam dan tidak menganjurkan kekufuran, bahkan
mengupayakan kemaslahatan serta kesejahteraan umum. Pemerintah Bung
Karno juga dianggapnya sah, sebab kata kiai itu, lebih baik ada pemerintah
meskipun jelek daripada tak ada pemerintah sama sekali, setelah Belanda
meninggalkan Tanah Air. “Taat kepada pemerintah yang sah adalah
kewajibanku, kewajiban menurut imamku, iman kita,” kata kiai itu” (Tohari,
2015: 16-17).
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa suatu keyakinan sangat dipegang erat
oleh masyarakat Jawa yang memeluk agama Islam. Menjalankan suatu kewajiban
dunia dan akhirat harus saling beriringan agar mendapat ridho dari Allah Swt., kini
semakin disadari betapa pentingnya nilai-nilai agama serta semangat akhlakul
karimah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara individu maupun
kolektif (sosial).
Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut
tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkadang
32
dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapat renungan-
renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai
religius dalam sastra bersifat individual dan personal.
“Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan
yang mulai mengembang dalam hatiku. Seorang lelaki, militer yang baru
kubunuh itu, agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia telah
kuhabisi nyawanya. Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang
selalu ingin diingatnya melalui tasbih dan Quran-nya itu pastilah Tuhanku
juga, yakni Tuhan kepada siapa gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan
khidmahnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit kumengerti”
(Tohari, 2015: 19).
Dilihat dari kutipan di atas, tokoh seorang militer yang bertugas di berbagai
tempat dan selalu dihantui oleh berbagai macam ancaman pun selalu ingin dekat
dengan Tuhannya. Membawa tasbih dan Alquran menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang taat beragama. Hidup di dunia memang butuh perjuangan agar dapat
menjalani kehidupan. Perjuangan ini sangat berat dan memakan korban, seperti
banyaknya orang yang meninggal karena dibunuh oleh para penjajah yang kejam.
Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan
Tuhan pencipta alam dan seiisinya. Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan
tidak akan terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi
manusia. Agama dapat pula bertindak sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan
hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, manusia pun
dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan
yang telah tetap, sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Seperti pada kutipan di bawah ini yang menggambarkan tentang faktor-faktor
33
keagamaan yang ada pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air yang tidak lepas dari
masyarakat Jawa.
“Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan
fatwanya. Beliau bilang, berperang melawan tentara Belanda untuk
mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi
semua orang Islam. Dan siapa yang mati dalam peperangan melawan tentara
Belanda yang kafir, dialah syahid” (Tohari, 2015: 24).
Dari sekian banyak kelompok, muncul ide pembentukan pasukan hizbullah
yang rela berkorban nyawa demi negara dan keyakinan sebagai pemeluk agama
Islam. Remaja usia belasan hingga kaum muda, berbondong-bondong ikut serta
dalam tugas suci ini. Demikian pula dengan Amid, Kiram, Jalal, dan Kang Suyud,
penduduk desa kecil yang didorong oleh Kiai Ngumar, ustadz yang disegani di desa
untuk membentuk barisan pemuda yang diharapkan bergabung dengan tentara
republik.
Dari niat tulus „bela negara‟ dan mengusir penjajah, ternyata tidak cukup
membuat persatuan yang kokoh dalam kelompok-kelompok pejuang ini. Ketika
ketidakpuasan mulai menimbulkan perselisihan dan dibakar paham-paham idealisme
serta fanatisme, perpecahan terjadi. Situasi penuh ketegangan ini akhirnya pecah,
ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Pemerintah Indonesia.
Demi menjaga kestabilan negara serta keamanan nasional, dikeluarkan
perintah yang menganjurkan pembubaran pasukan hizbullah agar mereka kembali ke
kehidupan normal dalam masyarakat, atau melebur menjadi satu bagian dalam wadah
tentara Republik Indonesia. Melalui novel ini, Ahmad Tohari menuturkan bagaimana
kesalahpahaman dalam komunikasi berujung pada pertikaian sengit yang berakhir
pada pembantaian anggota „mantan‟ hizbullah di tangan tentara Republik Indonesia.
34
Mereka yang selamat dari pembantaian, melarikan diri karena dianggap
sebagai musuh negara. Satu-satunya jalan adalah bergabung dengan AOI (Angkatan
Oemat Islam) yang didirikan para mantan hizbullah yang anti republik dan bercita-
cita membentuk negara baru berlandaskan Islam. Namun pilihan ini juga membuat
mereka dikenal sebagai „pengkhianat‟ Negara Republik Indonesia, dan hukuman mati
adalah vonis yang dijatuhkan pada mereka yang terlibat di dalamnya.
“Ya, kami tidak ingin bergabung dengan tentara Republik, jawab Kang
Suyud. Kami ingin membentuk pasukan sendiri dengan anggota yang
semuanya mau sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara tak
melakukannya. Malah saya tahu dengan jelas, beberapa anak buah Siswo
Wuyung ada dalam barisan tentara Republik. Jangan lupa Siswo Wuyung
adalah pendiri persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938” (Tohari, 2015:
48).
Melalui novel ini, Ahmad Tohari mengajak para pembacanya untuk dapat
belajar merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja
ditawarkan melalui perjuangan para tokohnya dalam memaknai hidup dan berjuang
mencari jati dirinya serta upaya para tokoh dalam mencapai kedudukan sebagai Insan
Kamil.
“Baik. Itu pun, sudah kukatakan, aku merestuinya. Asal jangan kalian
lupakan, nawaitu-nya lillahi taala dan kembalilah ke desa bila kelak keadaan
sudah aman. Dalam pengertian seperti itulah dulu aku justru menyebut kalian
Hizbullah” (Tohari, 2015: 49).
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius pada diri
para pelakunya, di antaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa memberikan
nasihat-nasihat keagamaan pada santri-santrinya, satu di antaranya adalah Amid,
sejak Amid masih kecil. Ketika mengalami kebingungan, seperti ketika ia ragu untuk
memilih antara menjadi laskar DI/TII atau menjadi tentara Republik Indonesia, ia
35
tidak lupa dan malu untuk meminta nasihat pada gurunya yaitu Kiai Ngumar. Peran
agama Islam dalam pembinaan umat manusia menjadikan manusia sebagai makhluk
yang sempurna. Umat Islam adalah masyarakat yang berfondasikan persaudaraan,
cinta kasih, saling menolong dan menasihati. Para sesepuh agama dalam suatu
wilayah dianggap seperti panutan untuk menuntun ilmu agama di daerah tersebut.
Mereka dianggap menjadi orang yang mempunyai ilmu agama paling dalam dan
dihormati semua keputusannya.
“Artinya, selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal dari Aceh
sampai Sunda kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dulu di mata orang asing, juga
dalam perasaan kita semua, selam dan tanah air adalah dua sisi dari satu mata
uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang
sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan juga
wong dul-dulan, sama-sama merasa sebagai orang selam. Mereka bersaksi
bahwa gusti Allah adalah tuhan yang Esa, dan kanjeng Nabi Muhammad
adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong Royong.
Jadi, aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung dengan tentara
resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang” (Tohari,
2015: 52).
Dari kutipan di atas telah dijelaskan bahwa sebenarnya golongan santri dan
abangan adalah sama, mereka sama-sama percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, pada cara menyembahnya saja yang berbeda. Tetapi karena keegoisan
masing-masing pihak, mereka sendirilah yang memecahbelahkan tanah airnya.
Wejangan Kiai Ngumar yang berusaha menolong anak-anak asuhannya yang
tersesat, menunjukkan bahwa pola pemikiran yang maju tidak mudah dihasut oleh
fanatisme pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan jauh dari unsur agamis atau
kepercayaan lainnya. Sayangnya, mereka yang mampu berdiri diatas keyakinan dan
pengetahuan ini, merupakan kaum minoritas, hingga kekuatan suarapun nyaris tidak
terdengar oleh banyak orang.
36
Dalam rentang waktu antara 1945-1949 merupakan masa-masa penuh gejolak
dengan terjadinya dua kali peperangan, yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda guna mengembalikan kekuasannya dan menghancurkan Republik Indonesia
yang baru lahir. Pada masa-masa ini kita menyaksikan berbagai konfrontasi terbuka
antara kelompok-kelompok bersenjata Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang
bersenjata Islam. Pembentukan tentara nasional pada tahun 1945, cikal bakalnya
diambil dari pasukan yang dilatih oleh Jepang, dan di antara anggotanya adalah
seorang yang pernah menjadi kepala Negara Indonesia, yaitu Soeharto. Tentara ini
dibentuk pada masa pendudukan Jepang, dari tahun 1942-1945 yang disebut dengan
PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan-kesatuan Jepang yang dilatih untuk
membela ibu pertiwi. Namun PETA bukanlah satu-satunya tentara yang berjuang
membela negara. Di luar kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi
diantaranya milisi hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah
Belanda hingga mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan
putra-putra Indonesia.
“Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap
pribadi yang percaya. Ya. Kewajiban sembahyang tidak datang dari seorang
untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa
kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula
berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan
mau mewajibkan suatu yang jadi hal Allah, yaitu sembahyang kepada orang
lain?” (Tohari, 2015: 54).
Sebuah karya sastra yang mengangkat nilai kemanusiaan berdasarkan
kebenaran akan menggugah hati nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan
baru pada diri penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat
berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.
37
Jika setiap manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya
maka hubungan yang harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup manusia
menjadi tentram dan bahagia karena nilai religius merupakan keterkaitan
antarmanusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan di dunia.
Nilai religius akan menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan,
yang kita kenal dengan ketakwaan. Seperti yang tergambar dalam kutipan di bawah
ini.
“Kiram tersenyum. Mungkin puas karena permintaannya mengambil
Mantri Karsun berhasil baik. Komandan pasukan Republik meminta
agar kami bergabung. Bagiku, tawaran itu sangat menyenangkan. Dan
aku mengira Kiram dan Jun akan memenuhi tawaran yang sangat
simpatik itu. Tetapi ternyata aku salah sangka, Kiram dan Jun
menolak. Mereka tetap ingin bertempur sebagai tentara Tuhan,
Hizbullah”
“Sebenarnya waktu itu aku merasa mendapat peluang yang baik sekali
untuk menyampaikan wejangan Kiai Ngumar kepada Kiram dan Jun;
bahwa dengan nawaitu yang ikhlas, menjadi anggota pasukan
Republik pun sama dengan menjadi anggota Hizbullah. Namun
entahlah, aku memang pengecut. Aku selalu merasa kecil bila sedang
berdekatan dengan Kiram. Maka aku pun tak bisa berbuat lain kecuali
mengikuti Kiram dan Jun. mungkin karena pertolongan Kiram aku
bisa mempunyai senjata?” (Tohari, 2015: 68).
“Dulu sudah kukatakan, perjuangan Hizbullah itu lillahi taala untuk
menghilangkan kekuatan yang merusak negeri ini. Perjuangan yang
demikian wajib hukumnya secara syar‟I dan kalian sudah selesai
melaksanakannya. Semoga Allah menerima amal perjuangan kalian.
Lalu apa lagi masalahnya? (Tohari, 2015: 72).
Melalui novel ini juga, Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan tentang
bagaimana beratnya perjuangan hidup manusia dalam memenuhi tugas dan tanggung
jawabnya, baik sebagai khalifah Allah Swt., di bumi, maupun sebagai ciptaan yang
menyembah kepada Khaliqnya. Hal ini sesuai dengan adanya pranata yang berfungsi
38
untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk berbakti pada Tuhan dan berhubungan
dengan alam.
“Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka menyusun kekuasaan
pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain, yang
semuanya merupakan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan
lebih dari itu, kekuasaan mereka sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat.
Pengakuan ini akan membuat kekuasaan lain yang muncul belakangan jadi
tidak sah” (Tohari, 2015: 75).
Agama menjadi faktor yang paling mendasar karena memberikan sebuah arti
dan tujuan hidup. Akan tetapi, untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu
adanya faktor-faktor lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Nilai-nilai
agama adalah faktor utama yang dapat menyeimbangkan dan mengatur kehidupan
setiap umat manusia.
“Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di
sana terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka
yang menyerang kami. Ada yang percaya pasukan Republik tak mungkin
punya perilaku sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang
oknum-oknum yang berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka
bekerja untuk golongan tertentu. Mereka adalah pengkhianat yang mencatutu
nama pasukan Republik dan tidak suka terhadap masuknya anak bekas
Hizbullah kedalam pasukan Pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang
dan mengarah kepada oknum-oknum komunis. Semua orang mengetahui
bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi
makar Madiun pada tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif”
(Tohari, 2015: 81-82).
Jelas pada waktu itu pasukan republiklah yang menyerang hizbullah
dikarenakan mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita
membaca kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya
ingin melebur ke dalam pasukan republik, tapi saat mereka ingin melebur pasukan
republik sudah lebih dahulu menyerang sehingga pasukan hizbullah menyimpan
dendam terhadap pasukan republik.
39
Sampai saat ini gerakan Darul Islam tetap dicap sebagai perusak negara dan
penyeleweng ideologi negara. Akibat begitu banyaknya bentrokan-bentrokan yang
terjadi dengan kaum muslimin di berbagai daerah Republik Indonesia, sehingga
menyebabkan peperangan yang panjang. Peristiwa ini sangat membekas di dalam hati
perwira-perwira tinggi, dan menumbuhkan rasa permusuhan yang mendalam
terhadap para pejuang muslim, sehingga muncul kepercayaan, bahwa mereka harus
memperlakukan para pejuang muslim secara otoriter.
Di sisi lain, Tohari kecil yang hidup di masyarakat pedesaan juga sangat dekat
dengan dunia pesantren dan nuansa religiusitasnya. Hal ini dapat dipahami karena
selain dekat dengan masyarakat desa yang pada umumnya religius juga orang tuanya
memiliki sebuah pesantren yang dikelolanya bersama keluarga. Lingkungan
pesantren yang religius penuh dengan suasana keagamaan yang sakral dan ibadah
tentu saja sangat membekas dalam-dalam pada diri Tohari. Hingga usia remaja
Tohari hidup di lingkungan masyarakat pedesaan dan pesantren yang bersuasana
ramah, tenang, damai, iklim kehidupan yang religius yang sarat dengan kegiatan
ibadah, taat dalam mengabdi kepada Tuhan Allah Swt., Wajar jika kemudian Tohari
tumbuh sebagai remaja atau orang dewasa yang dikenal dengan sebutan kaum
sarungan atau santri.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan dan dibesarkan dalam
masyarakat Jawa. Ia memahami masyarakat Jawa dengan segala pandangan
hidupnya, terutama masyarakat lingkungannya tempat ia dibesarkan. Di sisi lain, ia
adalah seorang santri yang santra. Santri adalah penganut Islam yang taat terhadap
ajaran Islam dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
40
Adapun santra berarti seorang muslim yang mampu menafsirkan ajaran Islam bukan
hanya sebagai konsep abstrak, melainkan juga memanifestasikannya dalam sikap dan
perilaku sehari-hari dalam segala aspek kehidupan, baik dalam hidup berumah
tangga, bermasyarakat, bekerja, dan bernegara. Didukung oleh sikap kritis dan
sensitif serta pengalaman hidup yang memadai, Tohari berhasil menyusun konsep
kepengarangan yang khas.
B. Fungsi Sosial Sastra
Berdasarkan teori sosiologi sastra Ian Watt, fungsi sosial sastra secara garis
besar dibagi menjadi tiga macam. Pertama, sastra sebagai pembaharu atau perombak.
Kedua, sastra sebagai penghibur. Ketiga, terjadi sintesis di antara keduanya, sastra
sebagai pembaharu atau perombak dan sastra sebagai penghibur. Sebagai hal yang
lumrah dalam suatu karya sastra, terdapat unsur hiburan di dalamnya. Dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air, pengarang berusaha menyajikan unsur hiburan dalam
berbagai dimensi.
1. Sastra Sebagai Pembaharu atau Perombak
Sastra sebagai pembaharu atau perombak diharapkan dapat memberikan
perubahan. Perubahan yang ditujukan baik kepada masyarakat tertentu ataupun
masyarakat umum. Sebagai contoh adalah karya sastra yang memiliki unsur
perjuangan sehingga dapat menggerakan masyarakat untuk berjuang.
Sadar dan bangkit adalah satu-satunya jalan untuk merombak suatu negeri
dari kelemahan dan keterbelakangan. Sebenarnya bencana yang menimpa umat Islam
sekarang ini berpangkal pada kemasabodohan masyarakatnya terhadap perubahan-
41
perubahan yang menyeluruh pada masa ini, dan ketidakpunyaan kita akan kekuatan-
kekuatan baru yang telah membangkitkan perubahan tersebut. Sebagai contoh bahwa
semua gerakan kebangkitan yang terjadi di seantero dunia Islam, selama seratus tahun
yang lampau, tujuannya tidak lain hanyalah untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan
Barat dan memperoleh kemerdekaan. Untuk tujuan tersebut masyarakat telah
mengorbankan waktu, harta serta pengorbanan-pengorbanan lainnya yang tidak
terhitung. Semuanya tidak akan membuahkan hasil jika tanpa kerja keras dan di
barengi dengan keikhlasan berkiblat pada khittah yang ada dan kamil, serta
mengambil contoh dari kehidupan masa lalu sebagai cermin kehidupan kini dan yang
akan datang. Dalam menuju kemaslahatan tidak terkecoh lagi dengan tipu daya
musuh-musuh Islam.
Tokoh dalam cerita novel Lingkar Tanah Lingkar Air adalah Amid, Kiram,
Kang Suyud, Jun, Kiai Ngumar dan Umi. Amid, Kiram, dan Jun merupakan santri
yang mengaji pada Kiai Ngumar. Sementara, Kang Suyud seorang kiai masih muda.
Kiai Ngumar disebut salah satu tokoh Sarekat Islam (SI) yang kemudian pecah jadi
SI merah dan SI Putih. Kiai Ngumar ikut SI Putih. Dengan restu Kiai Ngumar, Amid,
Kiram, dan Jun ikut berperang mengusir penjajah Belanda. Namun, mereka
tergabung dalam kelompok yang disebut hizbullah. Kang Suyud juga ada di
kelompok ini. Kelompok ini disamakan oleh satu keyakinan perjuangan yaitu
mengusir penjajah dan menegakkan Islam.
Pemuda-pemuda yang ikut membela negara sudah semestinya memiliki
senjata, karena tanpa adanya senjata mereka tidak akan bisa melawan para penjajah.
Namun, mendapatkan senjata tidaklah mudah, sehingga belum semua pemuda
42
mampu memiliki senjata. Pada masanya jika seseorang sudah memiliki senjata, ia
merasa gagah, bangga, dan disegani oleh orang lain. Terlihat pada kutipan-kutipan di
bawah ini.
“Dengan modal satu bedil itu Kiram, aku, dan Jun, dan Jalal
membentuk barisan pemuda. Orang kampung menyebut kami
“pemuda” saja, sebutan baru yang secara ajaib membuat kami merasa
gagah dan bangga. Tetapi sebutan itu juga yang membuat kami jadi
urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah,
pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting. Tetapi Kiram,
mungkin karena sudah punya senjata sehingga merasa paling gagah,
sering nakal” (Tohari, 2015: 35).
“Mid, kamu ingin punya senjata seperti aku, bukan? Di zaman seperti
ini, seorang pemuda yang tak punya senjata adalah anak bawang.
Pemuda seperti itu bukan apa-apa. Iya, kan?”
“Aku ciut. Senyumku pahit karena ada penghinaan yang tak bisa
kusanggah. Lalu kiram mengutarakan rencananya. Ternyata Kiram
tahu Hianli menyimpan sebuah senapan di tokonya. Rahasia itu
diperolehnya dari perempuan yang bekerja sebagai pembantu di rumah
pedagang itu. Bukan hanya menyimpan senjata, setiap malam Hianli
diketahui bergabung dengan kelompok mata-mata Belanda dan baru
pulang menjelang fajar” (Tohari, 2015: 39).
Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air tokoh yang bernama Kiai Ngumar
selalu memberi nasihat yang baik untuk santri-santrinya. Ia adalah tokoh yang paling
dihormati di kelompok Darul Islam. Dalam rentang waktu antara 1945-1949,
merupakan masa-masa penuh gejolak dengan terjadinya beberapa kali peperangan,
yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda guna mengembalikan
kekuasaannya dan menghancurkan Repubik Indonesia yang baru lahir. Pada masa-
masa ini kita menyaksikan berbagai konfrontasi terbuka antara kelompok-kelompok
nasionalisme Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang yang berlatar agama Islam. Di
luar kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi di antaranya milisi
43
hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hingga
mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan putra-putra
Indonesia tahun 1949. Terlihat pada kutipan berikut.
“Begini, Mid. Belanda takkan lama di sini. Dalam ramalan orang-orang tua,
sudah tak ada lagi jangka bagi mereka untuk tinggal di negeri ini. Percayalah,
sesuatu ada masanya. Dan segala sesuatu tak akan hadir di luar masa yang
tersedia baginya” (Tohari, 2015: 56).
Pada mulanya pasukan Darul Islam cukup banyak menguasai wilayah Gunung
Slamet dan sekitarnya. Namun, pertempuran demi pertempuran dengan tentara
Republik membuat pasukan Darul Islam semakin lemah. Jumlahnya semakin
berkurang dan terpaksa bersembunyi di hutan dan pegunungan. Amid, Kiram, dan
Jun bertahan di tempat persembunyiannya di hutan. Sebenarnya, mereka ingin
menyerah, tetapi tidak ada pilihan lain selain bersembunyi.
Tidak ada jaminan untuk mereka anggota hizbullah jika menyerah kemudian
dapat selamat. Sebab, di tubuh tentara republik sendiri ada kelompok yang memusuhi
pasukan Darul Islam tersebut. Menyerah berarti hukuman mati. Namun akhirnya
dengan bantuan Kiai Ngumar, Amid, Jun, dan Kiram dapat menyerahkan diri dan
kembali ke masyarakat dengan selamat.
Jelas waktu itu pasukan republiklah yang menyerang hizbullah dikarenakan
mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita membaca
kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya ingin
melebur ke dalam pasukan republik, tetapi saat mereka ingin melebur pasukan
republik sudah lebih dahulu menyerangnya sehingga pasukan hizbullah menyimpan
dendam terhadap pasukan republik. Terlihat pada kutipan berikut.
44
“Sabar, Nak. Innalillaha ma‟as shabirin. Kalian sendiri punya praduga
adanya pengkhianatan oleh orang-orang yang mencatut nama tentara
Republik. Dan sangat boleh jadi pengkhianat itu adalah anak-anak
komunis. O, Nak. Aku punya pengalaman belasan tahun bergaul
dengan mereka. Aku tahu, mereka tidak segan menempuh cara yang
paling kotor sekalipun untuk mencapai keinginan mereka. Jadi
sabarlah. Redam dulu kemarahan kalian. Aku akan mencari hubungan
dengan tentara Republik”
“Percuma, Kiai….”
“Kiram, aku minta kamu menghargai itikad baik Kiai Ngumar. Orang
tua itu mau berjerih payah mencari kebaikan buat kita” (Tohari, 2015:
85).
“Kiai, saya tidak ingin mengikuti Kiram dan Jun. saya mau
meletakkan senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih
memerlukan perlindungan Kiai, sebab seperti sudah dikatakan Kiram,
sangat mungkin tentara Republik akan menangkap saya”
“Kiai Ngumar mendesah. Senyumnya mengembang meskipun terasa
tawar”
“Mid keputusanmu sangat baik. Kamu bisa bersikap dewasa. Baiklah.
Tinggallah di sini sampai keadaan benar-benar aman. Nanti kamu bisa
jadi guru atau apa saja. Yang penting, sekarang kamu letakkan senjata
karena hubunganmu dengan tentara Republik sudah dikotori orang”
(Tohari, 2015: 86-87).
Berdasarkan uraian di atas, berikut beberapa fungsi pembaharu atau perombak
dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Pertama, Lingkar Tanah Lingkar Air
memiliki unsur dakwah sehingga dapat dikatakan sebagai media dakwah melalui teks
novel. Lingkar Tanah Lingkar Air memiliki peran dakwah. Kedua, Lingkar Tanah
Lingkar Air melakukan syiar Islam melalui tokoh Kiai Ngumar yang sebagian besar
argumennya didasarkan pada aturan agama Islam. Ketiga, Lingkar Tanah Lingkar Air
menujukkan perjuangan bangsa Indonesia dalam membela negara.
Unsur dakwah yang disampaikan Ahmad Tohari di dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air menjelaskan tentang rapat Hadratus Syeikh yang mengeluarkan
fatwa, bahwa berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri
45
sendiri itu wajib hukumnya bagi semua orang Islam (Hal. 24). Melalui tokoh Kiai
Ngumar, Tohari menuliskan bahwa sembahyang merupakan kewajiban yang datang
dari Tuhan untuk setiap pribadi yang percaya (Hal 54).
2. Sastra Sebagai Penghibur
Sastra sebagai penghibur diasumsikan sebagai karya yang mampu
menyenangkan atau sebagai pelipur lara bagi pembacanya. Oleh karena itu, pembaca
diharapkan memperoleh nilai kenikmatan yang memberi rasa menyenangkan dari
karya sastra yang dibacanya. Sebagai pengarang yang lincah dalam merangkai kata,
Ahmad Tohari juga menuliskan humor dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
Humor ini memenuhi fungsi sastra sebagai penghibur (Novita M.Z, 2013: 10).
Ahmad Tohari ingin menyampaikan bahwa setiap gerak sejarah di Indonesia,
selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga dimunculkan dalam
perjalanan para tokoh cerita yang terseret arus tersebut yang semakin dalam dan
dalam, tanpa bisa kembali ke titik di mana mereka bermula.
Tidak lazim jika perjalanan hidup seorang pemuda tidak sekalipun melewati
masalah percintaan. Hal ini disadari betul oleh Ahmad Tohari, hingga muncullah
cerita Kiram yang suka menggoda Asui, seorang gadis Cina pemilik toko di depan
pasar dan harus berurusan dengan pamannya yang menjadi mata-mata Belanda
karena benci pada Kiram (Hal 41). Atau bagaimana Amid yang bersedia menikahi
Umi yang masih belia karena ayahnya, seorang kiai Darul Islam, tewas di tengah
hutan (Hal 113). Atau juga, tentang betapa indahnya rasa persahabatan atau lebih
tepatnya kemanusiaan, ketika Kiram dan Junaidi harus diam-diam membopong paksa
46
seorang dukun bayi dari kampung dan memasukkannya dalam karung ketika Umi
akan melahirkan bayi Amid di tengah hutan (Hal 138).
Pada awal-awal Kiram, Amid membantu membela negara untuk mengusir
penjajah, mereka bergabung dengan tentara republik. Amid, dan Kiram membantu
dengan sukarela dan tanpa membawa senjata sama sekali, sehingga Kiram sempat
bingung. Tentara republik akhirnya menyuruh mereka untuk mencari kapak dan
menebang pohon. Kebingungan Kiram sempat membuat Amid kesal, karena tidak
henti-hentinya Kiram bertanya kepada Amid, tetapi itu semua tidak membuat mereka
berpecahbelah. Mereka tetap saling bekerja dengan baik untuk mendapatkan kapak
dan menebang pohon. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Mid. Dalam perang juga ada acara menebang pohon? Bila hanya mengayun
kapak seperti ini, di rumah sendiri pun aku biasa melakukannya”
“Kamu jangan berisik”
“Mid, aku ingin menyandang senjata seperti mereka”
“Jangan berisik. Mungkin kamu akan mereka beri senjata bila kamu sudah
bisa menggunakannya”
“Mid, kapan kita mendapat latihan?”
“Kubilang: jangan berisik!”
“Kiram tampak kesal, tetapi ia terus menemani aku bekerja. Setelah roboh,
batang trembesi besar itu kami jadikan rintangan jalan. Tentara yang tadi
memberi perintah datang lagi, dan syukurlah, ia kelihatan puas” (Tohari,
2015: 28-29).
Kehangatan persahabatan antara Kiram, Amid, dan Jun mampu menyejukkan
hati mereka. Persahabatan yang hangat membuat Kiram membebaskan teman-
temannya untuk mencoba menggunakan senjata miliknya. Kiram yang merasa gagah
telah memiliki senjata tidak membuat dirinya menjadi pelit dan dengki. Terlihat pada
kutipan di bawah ini.
“Kiram tampak bingar. Dan jadilah dia anak muda pertama di desaku yang
menyandang senjata, sebuah Lee Enfield buatan Amerika. Kiram sangat
47
bangga, dan memang, Kiram menjadi tambah gagah. Tapi Kiram juga baik
hati, setidaknya terhadap aku dan Jun. Ia memberi kesempatan padaku dan
Jun untuk mengenal senjatanya dan berlatih menggunakannya meski tanpa
peluru. Dalam beberapa kali pencegatan terhadap pasukan Belanda, kami
menggunakan senjata Kiram itu secara bergantian” (Tohari, 2015: 35).
Perang membuat Amid, Kiram, dan Jun jarang berada di rumah, karena
keberadaannya yang selalu diintai oleh musuh membuat mereka harus berpindah-
pindah tempat. Mereka sering tinggal di hutan untuk melarikan diri dari para musuh.
Persahabatan Amid, Kiram, dan Jun memang sangat erat, ketika Amid terkena peluru
pun mereka masih asik tertawa tanpa beban. Mereka semua ikhlas menjalankan
perintah untuk membela negara dan mengusir penjajah, sehingga ketika Amid terkena
tembakan pun tidak mengeluh dan Amid menganggap bahwa dirinya belum perang.
Menurut Amid perang itu tembak-tembakan, jika hanya ia yang tertembak itu artinya
bukan perang. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Kedua orangtuamu sangat cemas, jangan-jangan kamu mati. Kain sarungmu
yang tertinggal sungguh berlumur darah”
“Jadi?”
“Ah, gampang. Mereka kuhibur. Kalau kamu benar mati, tentulah mayatmu
tergeletak dekat kain sarung itu. Karena mereka tak melihat mayat, mereka
percaya kamu masih hidup. Jadi lupakan saja”
“Kiram tertawa”
“Mid, kukira kita benar-benar sudah perang”
“Apanya yang perang?”
“Ya, kita sudah berperang. Tadi malam”
“Belum”
“Sudah. Buktinya, kamu tertembak. Untung kamu tak mati” (Tohari, 2015:
38).
Ahmad Tohari dalam karyanya memiliki kekuatan pada latar pedesaan dan
juga mengandung nilai-nilai Islam yang dominan. Ahmad Tohari sangat menguasai
alam desa beserta aspek sosiologis, sosial agama yang menguasai kehidupan sehari-
48
hari masyarakat. Ahmad Tohari lebih memilih hidup di daerah Banyumas,
mengakrabi kehidupan desa dengan segala keindahan sekaligus aspek persoalannya.
Dari lingkungan seperti inilah karya-karya Ahmad Tohari lahir. Ia mengakrabi
dan menghayati kehidupan sekitarnya, lalu dituliskan dalam teks-teks sastra. Di
hampir setiap bukunya, dari paragraf awal pembaca sudah disuguhi suasana alam
pedesaan, hutan, dan sawah. Suara binatang juga ditampilkan di dalam novel ini oleh
Ahmad Tohari. Jika tinggal di sebuah desa yang jauh dari kata keramaian sangat tidak
asing sekali mendengar suara tokek ketika langit sudah gelap. Terlihat pada kutipan
di bawah ini.
“Rokok Kiai Ngumar padam lagi. Ada bayi menangis dari rumah yang paling
dekat dengan surau. Ada suara tokek dari bubungan sebuah rumah. Dan Kiai
Ngumar kembali menghidupkan pemantik api” (Tohari, 2015: 53).
Perjuangan anggota hizbullah untuk membela negara sangatlah berat. Banyak
rintangan yang harus dilalui oleh mereka. Tembak-menembak adalah hal yang sangat
biasa jika peperangan sudah terjadi, hingga banyak yang menjadi korban terkena
peluru karena peperangan tersebut. Namun itu semua sudah menjadi resiko jika ingin
membantu negara untuk mengusir penjajah. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Kamu mimpi?” Tanya Jun masih sambil tertawa. Ia seperti tak merasakan
luka yang merobek kulit pahanya. Aku tak bisa menjawab. Kepalaku pening.
Lagi pula aku sangat tergoda oleh nasi, ikan asin bakar, dan cabai rawit. Dan
secangkir kopi panas itu” (Tohari, 2015: 64).
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air bukanlah kisah yang penuh adegan tembak-
tembakan yang seru, tetapi lebih kepada pemikiran Amid seputar perjuangannya.
Pertanyaan Amid akan nilai perjuangannya, kerinduan Amid untuk hidup tenang dan
damai, dan juga dilema Amid antara ingin berpisah dengan teman-temannya yang
49
berbeda ideologi atau mempertahankan kesetiakawanannya. Semua dibalut begitu
menyentuh dengan gaya tulisan khas Ahmad Tohari yang sederhana dan lugas.
Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Lemparan granat yang pertama!” leceh Kiram. Dan kami pun tertawa. Lalu
sepi. Kulihat Kiram dan Jun sama-sama menerawang. Kukira keduanya,
seperti aku, sedang tergoda oleh kenangan masa lalu” (Tohari, 2015:69).
Setelah Belanda pergi dari Indonesia, terjadi perang saudara, di mana
beberapa kelompok yang berbeda ideologi yang tadinya berjuang bersama demi
memerdekakan Indonesia, kini berbenturan dan mencoba menenangkan ideologinya
sebagai ideologi negara yang baru berdiri ini. Sungguh sulit untuk membedakan mana
lawan mana kawan, karena semua memiliki tampilan fisik yang sama. Terlihat pada
kutipan di bawah ini.
“Kulihat wajah Kang Suyud berubah menjadi marah. Urat pada kedua pipinya
menegang. Lalu ia bangkit sambil memukul meja dengan tinjunya dan pergi
tanpa pamit. Membuatku terperangah terkejut” (Tohari, 2015: 76).
Seorang perempuan diciptakan sebagai sosok yang lemah lembut, dan penuh
kasih sayang. Perempuan belum lengkap bila di sisinya tidak ada seorang laki-laki.
Tuhan sudah menciptakan hambaNya untuk berpasangan-pasangan yaitu laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama, saling melengkapi satu sama lain. Jika keduanya
sudah menikah ada rasa selalu ingin bersama, rasa rindu akan muncul ketika mereka
saling berjauhan.
Terkadang rasa rindu diramu sedemikian rupa untuk menciptakan sisi ironi,
hiburan tidak hanya unsur kesenangan saja yang ditampakkan. Namun, ada kalanya
bentuk rasa yang menstimulus emosi kerap digunakan sebagai senjata ampuh untuk
menghibur. Pada Lingkar Tanah Lingkar Air tokoh Amid adalah seseorang yang jauh
50
dari istrinya karena Amid diharuskan tinggal di hutan untuk membantu negara
mengusir penjajah, sehingga ia harus jauh dari istrinya. Amid selalu memikirkan istri
dan anaknya yang jauh di sana, terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Istri dan anak memang sering membuat hati lelaki lemah, potong
Kiram. Terasa ada nada sindiran dalam kata-katanya” (Tohari, 2015:
21).
“Berapa bulan kandungan istrimu? Tanya Kiram”
“Lima atau enam, jawabku tanpa semangat karena dalam kepalaku
masih saja tersisa bayangan masa lalu”
“Jenguklah dia. Tetapi segera kembali bila kangenmu sudah hilang”
“Aku tersenyum lagi. Ah, manisnya bila ku dengar kawanku berbicara
tentang sesuatu yang lebih manusiawi”
“Keesokan harinya aku melaksanakan keinginan yang sudah lama
kupendam, menjenguk Umi di daerah Dayeuh Luhur. Ya, Umi yang
terlalu muda ketika kuambil sebagai istri. Umi yang ketika itu masih
lima belas atau enak belas tahun. Aku terpaksa oleh keadaan harus
menikah dengan gadis belia itu karena ia sebatang kara. Ayah Umi,
Kiai Had, yang tiga tahun menjadi imam laskar DI, meninggal dalam
persembunyian di sebuah gua. Ketika melepas nyawa, Kiai Had hanya
berteman Umi. Gadis kecil ini tak mau berpisah sejak awal ayahnya
masuk hutan untuk bergabung dengan barisan Darul Islam” (Tohari,
2015: 113).
Berdasarkan uraian di atas, fungsi penghibur dalam novel Lingkar Tanah
Lingkar Air dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Lingkar Tanah Lingkar Air
menjalankan fungsi penghibur dengan cara tidak sekedar menyenangkan, tetapi juga
menenangkan. Kedua, Lingkar Tanah Lingkar Air menjalankan fungsi penghibur
dengan cara tidak menyakiti. Ketiga, Lingkar Tanah Lingkar Air menjalankan fungsi
penghibur dengan penuh kasih sayang.
3. Sintesis Antara Fungsi Sastra Sebagai Pembaharu/ Perombak dan
Sastra Sebagai Penghibur
51
Sintesis antara fungsi sastra sebagai pembaharu/ perombak dan penghibur
diartikan bahwa sastra dapat memberikan suatu kebaruan yang juga sekaligus dapat
mengibur pembacanya. Sintesis fungsi sastra sebagai pembaharu/ perombak dengan
fungsi sastra sebagai penghibur ada dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
Mencari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap
hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra, akan tersimpan nilai suatu pesan yang
berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk
memengaruhi pola pikir pembaca agar ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar
mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru dan sebaliknya. Karya sastra
diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, melainkan untuk dipahami dan diambil
manfaatnya.
Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya
memuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu
menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra,
berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu
mendidik manusia sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai
makhluk yang dikarunia akal, pikiran, dan perasaan.
Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan tentang bagaimana beratnya
perjuangan hidup manusia dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, baik
sebagai khalifah Allah Swt, di bumi, maupun sebagai ciptaan yang menyembah
kepada Khaliqnya. Hal ini sesuai dengan adanya pranata yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan manusia untuk berbakti pada Tuhan dan berhubungan dengan
alam. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
52
“Apa yang paling menarik bagiku pada mayat letnan itu adalah pistolnya,
sebuah FN buatan Belgia dengan tiga magasin yang penuh peluruh. Aku
segera mengambil yang sangat kami perlukan itu. Tetapi aku juga merogoh
kantong celananya yang kombor untuk mencari rokok atau uang. Dan apa
yang kudapatkan dari sana amat memukul sanubariku: seuntai tasbih dan
sebuah Quran kecil. Kedua benda itu, bahkan dalam suasana dekat mayat
pemiliknya, rasanya tak berhenti memancarkan kekudusan. Dan mayat
pemiliknya, tak peduli ia seorang militer Republik, tergeletak di depan mataku
karena peluru yang kutembakkan” (Tohari, 2015: 18).
Lingkar Tanah Lingkar Air adalah novel yang penuh dengan ketegangan, para
pelaku utamanya yang selalu terseret pada permasalahan yang tidak pernah
diinginkan. Para tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air yang ikhlas dan rela untuk ikut
berperang, tetapi mereka sebatas dipekerjakan untuk membantu tentara republik.
Tetapi Kiram salah seorang yang ulet dan cekatan meski sering direndahkan karena
buta huruf, tidak puas hanya dengan membantu. Kiram juga ingin terlibat. Akhirnya
mereka membentuk barisan sendiri yang bernama hizbullah, barisan yang mandiri
tidak terikat pada tentara republik. Barisan yang berdasarkan keikhlasan dan sukarela.
Barisan yang akan menjadi tonggak awal hidup mereka. Terlihat pada kutipan-
kutipan di bawah ini.
“Makin siang terasa ketegangan makin memuncak. Beredar kabar dari
kalangan kami bahwa jumlah pasukan Belanda yang diperkirakan
lewat sangat besar. Perang pasti seru. Aku sendiri sulit membayangkan
sesuatu. Seru, ramai, atau dahsyat, entahlah. Aku belum pernah
menyaksikan sebuah peperangan” (Tohari, 2015: 29).
“Lalu aku ingat ngelmu pemberian Kian Ngumar: bila sedang diburu
bahaya seperti itu, segala pakaian yang melekat harus dibuang agar
para pengejar terkecoh. Jadi malam itu aku lari kocar-kacir tanpa kain
sepotong pun” (Tohari, 2015: 36).
Anggota hizbullah terpaksa menjalani hidup sebagai orang hutan. Hidup
berpindah-pindah agar mereka tidak diketahui keberadaannya. Merampok desa bila
53
perlu untuk mendapat barang kebutuhan. Makan apa saja yang tersedia di hutan.
Mereka juga harus rela berjauhan dari keluarga yang mereka sayang. Tidak ada
pilihan lain selain terus bertahan. Apalagi mereka menemukan fakta pahit bahwa
mereka tidak dapat kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat yang terlanjur diliputi
rasa benci pada mereka, yang sebenarnya bukan salah mereka. Tetapi sesekali tidak
jarang dari mereka nekat untuk kembali ke desa sekedar untuk menjenguk keluarga
mereka. Terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Kudengar Emak mendesah, lalu berbisik memintaku masuk lewat dapur.
Gelap. Emak memeluk dan mengelus kepalaku dalam kegelapan. Emak
menangis, tapi aku tak bisa melihat raut wajahnya. Ayah juga bangun dan aku
melihat sosoknya dalam keremangan. Melalui tangisnya, aku mengerti, selalu
ini Emak tak tahu pasti apakah aku masih hidup atau sudah mati. Dan lewat
tangis yang lebih memilukan, aku juga tahu bahwa Emak tidak ingin aku
tinggal lama karena keselamatanku sangat tak terjamin bila aku sampai
terlihat oleh orang luar”
“Aku membiarkan Emak terus tertahan-tahan dalam isaknya. Setelah agak
mereda, aku minta Ayah menyalakan pelita. Semula Ayah menolak karena
khawatir ada orang mengintip. Namun aku tetap minta pelita karena aku ingin
melihat wajah Emak, juga Ayah. Akhirnya dua wajah yang lama kurindukan
itu muncul dalam cahaya temaram dian kecil. Ah, Emak sudah sudah tua.
Rambutnya mulai putih dan wajahnya letih” (Tohari, 2015: 101).
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan karya dari sastrawan kondang,
Ahmad Tohari. Tohari sangat detail dalam membangun kalimat-kalimat dengan
paparan daerah-daerah terpencil dan hutan-hutan begitu memukau, karena Tohari
sendiri pun menetap di sebuah desa di daerah Banyumas, sehingga ia dapat
menggambarkannya dengan apik. Sebagai salah satu sastrawan terpandang di
Indonesia, kepiawaian Tohari dalam bersastra sudah diakui keunggulannya oleh
kalangan sastrawan dan pengamat sastra.
54
Ahmad Tohari yang juga ikut merasakan geger politik pada masa setelah
kemerdekaan memiliki rasa gelisah terhadap tragedi tersebut, terlebih tragedi tersebut
juga terjadi di daerah tempat tinggalnya yaitu Banyumas. Tohari ingin
menyampaikan kritik secara baik-baik melalui tulisan yang diharapkan tidak
menimbulkan konflik. Melalui sarana fiksi Tohari menyampaikan kritik dan saran
secara apik.
Melalui novel Lingkar Tanah Lingkar Air, masyarakat diajak untuk menilik
kembali mengenai sejarah bangsa Indonesia mengenai pergolakan politik dan
mengenai Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia. Masyarakat juga diajak untuk
paham agama bukan sekedar tahu agama. Masyarakat dirangkul untuk lebih
membuka wawasan sosial. Jadi, Lingkar Tanah Lingkar Air memiliki fungsi
pembaharu atau perombak, memiliki fungsi sebagai penghibur, dan memiliki sintesis
antara fungsi sastra sebagai pembaharu/ perombak dan penghibur. Hal ini sesuai
dengan ketiga fungsi sosial sastra dalam teori sosiologi sastra Ian Watt.
55
BAB V
PENUTUP
Bab lima dalam penulisan ini menguraikan tentang simpulan dan saran.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan peneliti, maka dapat ditarik beberapa
simpulan serta saran-saran yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan
khazanah sastra Indonesia agar lebih baik lagi.
A. Simpulan
1) Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air mengisahkan pergulatan batin
tokoh-tokohnya yaitu Amid, Kiram dan Jun untuk memilih kemungkinan
menyerahkan diri ke pangkuan Republik atau tetap bertahan di hutan sebagai prajurit
Darul Islam (DI) dengan kondisi yang semakin terdesak. Pilihan untuk membela
tanah air sangat dipegang erat oleh para hizbullah, di saat keadaan seperti apapun dan
dimanapun mereka berada mereka harus siap untuk membantu pasukan republik
untuk melawan penjajah Belanda. Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad
Tohari juga ingin menyampaikan pesan-pesan dan misi keagamaan (Islam). Dalam
novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius pada diri para
pelakunya, di antaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa memberikan nasihat-
nasihat keagamaan pada santri-santrinya, satu di antaranya adalah Amid.
Banyak yang dapat dipelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya
untuk Indonesia sekarang ini dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal
55
56
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi
baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan
oleh pusat, bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk
kepentingan politik. Kesempatan Amid, Kiram dan Jun ikut serta menumpas
pemberontakan PKI pada akhir tahun 1965 dimaksudkan sebagai pembelaan
pengarang terhadap pejuang-pejuang Darul Islam yang dahulu dianggap
pemberontak. Sebenarnya, perlawanan mereka terkait dengan ketidaktegasan sikap
politik Pemerintah RI (Sukarno-Hatta) terhadap kelicikan orang-orang komunis yang
mencatut nama Darul Islam untuk berbagai kejahatan; seperti perampokan,
pembakaran hutan dan pemerkosaan.
2) Pada analisis novel Lingkar Tanah Lingkar Air juga diketahui bahwa
sastra sebagai perombak yang diharapkan dapat memberikan perubahan. Sebagai
contoh adalah karya sastra yang memiliki unsur perjuangan sehingga dapat
menggerakan masyarakat untuk berjuang. Tokoh dalam cerita novel Lingkar Tanah
Lingkar Air adalah Amid, Kiram, Kang Suyud, Jun, Kiai Ngumar dan Umi. Amid,
Kiram, dan Jun merupakan santri yang mengaji pada Kiai Ngumar, dengan restu Kiai
Ngumar, Amid, Kiram, dan Jun ikut berperang mengusir penjajah Belanda. Namun,
mereka tergabung dalam kelompok yang disebut hizbullah. Kang Suyud juga ada di
kelompok ini. Kelompok ini disamakan oleh satu keyakinan perjuangan yaitu
mengusir penjajah dan menegakkan Islam.
Sastra sebagai penghibur juga terdapat pada novel Lingkar Tanah Lingkar
Air, di sini dijelaskan bahwa persahabatan antara Amid, Kiram, dan Jun sangat erat
57
dan penuh kekeluargaan. Tohari menuliskan sisi hiburan dengan sangat apik melalui
tokoh-tokoh dalam novel. Muncullah cerita Kiram yang suka menggoda Asui,
seorang gadis Cina pemilik toko di depan pasar dan harus berurusan dengan
pamannya yang menjadi mata-mata Belanda karena benci pada Kiram, dan juga
tentang betapa indahnya rasa persahabatan atau lebih tepatnya kemanusiaan, ketika
Kiram dan Junaidi harus diam-diam membopong paksa seorang dukun bayi dari
kampung dan memasukkannya dalam karung ketika Umi akan melahirkan bayi Amid
di tengah hutan.
Pada analisis novel Lingkar Tanah Lingkar Air juga dijelaskan mengenai
sintesis antara sastra sebagai pembaharu/ perombak dan sastra sebagai penghibur
yang diartikan bahwa sastra dapat memberikan suatu kebaruan yang juga sekaligus
dapat mengibur pembacanya. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air adalah novel yang
penuh dengan ketegangan, para pelaku utamanya yang selalu terseret pada
permasalahan yang tidak pernah diinginkan. Para tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air
yang ikhlas dan rela untuk ikut berperang, tetapi mereka sebatas dipekerjakan untuk
membantu tentara republik. Tetapi Kiram salah seorang yang ulet dan cekatan meski
sering direndahkan karena buta huruf, tidak puas hanya dengan membantu. Kiram
juga ingin terlibat. Akhirnya mereka membentuk barisan sendiri yang bernama
hizbullah, barisan yang mandiri tidak terikat pada tentara republik. Barisan yang
berdasarkan keikhlasan dan sukarela. Barisan yang akan menjadi tonggak awal hidup
mereka.
58
B. Saran
1. Peneliti menyadari bahwa hasil penulisan ini masih jauh dari sempurna.
Maka, peneliti menyarankan supaya penulisan ini dapat menjadi jembatan bagi
pembaca untuk lebih mengembangkan penerapan ilmu sosiologi sastra khususnya
sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra dalam novel Lingkar Tanah
Lingkar Air.
2. Dalam perjalanan penelitian ini, peneliti menemukan berbagai kesulitan, maka
untuk peneliti selanjutnya disarankan agar lebih teliti lagi dalam menentukan teknik
analisis data yang berhubungan dengan bidang sastra. Kemudian lebih cermat lagi
dalam menggunakan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan sistematika penulisan.
3. Penulis menyadari masih banyak kekurangan serta kelemahan dalam analisis
novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini. Peneliti menyarankan novel Lingkar Tanah
Lingkar Air untuk dikaji lebih lanjut secara lebih mendalam, yaitu psikologi sastra,
ataupun strukturalisme. Hal ini dikarenakan peneliti yakin masih banyak masalah
yang belum terungkap dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air sehingga diharapkan
penelitian novel Lingkar Tanah Lingkar Air akan lebih banyak manfaatnya karena
tidak hanya ditinjau dari satu sisi saja. Setelah membaca hasil penelitian ini semoga
pembaca tertarik mengkaji novel Lingkar Tanah Lingkar Air lebih lanjut.
59
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Rachmad Bayu. 2009. Konflik Sosial Politik dalam Novel Tapol Karya
Ngarto Februana: Analisis Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Armaya, Rossa Witha. 2010. Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan
Pornoaksi dalam Teks Drama Sidang Susila Karya Ayu Utami:
Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX (Sistem
Politik Kolonial Dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda).
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Dijk, Van Cornelis. 1995. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta:
Anem Kosong Anem.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional (Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ling, Tan Swie. 2010. G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran
Nasionalisme (Pemikiran Cina Jelata Korban Orba). Depok:
Komunitas Bambu.
60
Milles, Matthew B.dan A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif:
Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru (edisi terjemahan oleh
Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: Penerbit UI Press.
Murtini, dan Mugijatna. 2008. Rekonstruksi Konflik Antara DI/TII Dengan
Tentara Republik Indonesia Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air Oleh
Ahmad Tohari. Surakarta: Fakultas Sastra Dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.
Moleong, Lexy. J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Novita M.Z, Mardhiyan. 2012. Sajak Dari Bumi Melayu: Kumpulan Puisi
Kembara Sastra. Jakarta: Fadli Zon Library.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gama Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sangidu. “Data dan Objek Penelitian dalam Penelitian Sastra” dalam
Humaniora. 1996. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Satoto, Sudiro. 1995. Metode Penelitian Sastra (BPK). Surakarta: UNS Press.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra Padang. Angkasa Raya.
_________. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: CV. Angkasa.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Buku Seru.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
59
61
Tohari, Ahmad. 2015. Lingkar Tanah Lingkar Air. Jakarta: Gramedia Pustaka
Jaya.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan (Terjemahan
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Sumber internet:
NN. TT. https://www.google.com/search?tbm=bks&q=the+rise+of+the+novel.
https://books.google.co.id/books?id=PmwfH7X-
IKAC&printsec=frontcover&dq=google+books+the+rise+of+the+novel&hl=id&
sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=google%20books%20the%20rise%20of%20t
he%20novel&f=false Diunduh pada tanggal 13 November 2015.
62
LAMPIRAN
A. Sinopsis Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
Novel ini adalah novel yang bertemakan tentang perjuangan kaum muda
(anak-anak muda) untuk membela tanah air dari penjajah Belanda. Masalah serius
timbul setelah kemerdekaan, banyak organisasi pemuda yang ingin mendirikan
negara sendiri karena tidak puas dengan pemerintahan yang ada. Pada Maret 1946,
Amid bersama beberapa temannya, menjadi murid Kiai Ngumar, mereka belajar silat
dan ilmu agama. Pada suatu malam Amid dipanggil Kiai Ngumar, dia dan temannya
diminta untuk bersiap-siap berperang, karena ada fatwa yang mewajibkan untuk
melawan Belanda. Sejak Kiai Ngumar meminta Kiram dan Amid untuk bersiap-siap
tidak terjadi perkembangan apa-apa, hingga tiga bulan sesudahnya Kiai Ngumar
kembali memanggil mereka berdua, mereka diminta untuk berangkat ke Purwokerto.
Sampai di Purwokerto mereka akan mendapat latihan ketentaraan, tetapi kabar
itu berubah dengan cepat. Mereka harus membantu Pasukan Brotosewoyo yang
sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Mereka kecewa
sesampainya di sana mereka hanya disuruh menebangi pohon sebagai penghalang
jalan bukan untuk berperang dan ternyata tentara Belanda juga tidak melewati jalur
tersebut malah berputar lewat Purbalingga, akhirnya para pemuda yang
diperbantukan itu diminta untuk pulang tetapi apabila mereka dibutuhkan mereka
harus siap untuk membantu tentara lagi.
Pada suatu hari Amid dan Kiram diminta lagi untuk membantu tentara. Pagi-
pagi mereka menuju jalan besar di sebelah selatan, keempat tentara bersembunyi di
62
63
balik rumpun pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Tak lama
kemudian iring-iringan tentara Belanda datang, kemudian terjadi ledakan hebat dan
terjadi perang singkat dan banyak tentara Belanda yang tewas. Dengan berani Kiram
lari ketengah jalan mengambil sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya.
Kemudian semuanya lari ke arah utara. Amid, Kiram dan keempat tentara sampai di
rumah Kiai Ngumar. Dari pencegatan hari itu tentara mendapat tambahan tiga senjata
dan salah satunya masih dibawa Kiram walau salah seorang tentara telah meminta
Kiram untuk menyerahkan senjata tersebut. Atas jaminan Kiai Ngumar kalau senjata
itu akan digunakan untuk membantu para tentara dan para tentara dapat menerima
mereka sepakat untuk membentuk kelompok perlawanan karena Jun, Jalal dan Kang
Suyud sudah setuju untuk ikut bergabung.
Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara
resmi. Hizbullah tidak memiliki musuh lagi, dari peristiwa ini muncul masalah
mereka harus meleburkan diri ke dalam tentara republik atau membubarkan diri, atas
anjuran Kiai Ngumar mereka pergi ke Kebumen untuk bergabung dengan tentara
Republik, banyak kelompok lain yang melebur ke dalam tentara Republik mereka
akan diangkut dengan kereta api menuju Purwokerto untuk dilantik secara resmi.
Di stasiun Kebumen ketika mereka bersiap-siap, tiba-tiba mereka diserang
dan mereka membalas menembak dan bertempur secara serempak tanpa mengetahui
siapa lawan maupun kawan. Kereta api benar-benar lumpuh dan Hizbullah bingung
siapa sebenarnya yang menyerang mereka dan yang pasti mereka merasa dikhianati.
Dalam kebersamaan rasa itu seluruh anggota Hizbullah yang pro maupun kontra
terhadap peleburan pasukan bersama-sama mengundurkan diri menuju Somalangu.
64
Tentara Republik menganggap anak-anak Hizbullah sebagai pemberontak. Amid,
Kiram, Jun, Jalal dan Kang Suyud akhirnya bergabung dengan Darul Islam mereka
bergerilya melawan Tentara Republik. Kekuatan Darul Islam semakin lama semakin
melemah.
Akhir Juni 1962, seorang DI yang berpangkalan di wilayah Gunung Slamet
datang ke tempat persembunyian Amid dan Kiram, nama anggota DI tersebut adalah
Toyib. Ia membawa berita bahwa Kartosuwiryo, Klifah Darul Islam tertangkap
Pasukan Republik, Toyib juga membawa selebaran yang berisi seruan agar para
anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri dengan jaminan
pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Amid serta beberapa temannya terkejut mendengar berita itu, rasa tidak
percaya dan kebingungan melanda mereka, perdebatan mulai timbul di antara
mereka, tetapi mereka akhirnya memutuskan untuk mematuhi seruan tersebut. Malam
berikutnya mereka turun gunung menuju Porwokerto. Di Purwokerto mereka diterima
aparat keamanan, kemudian diangkut ke dalam sebuah barak penampungan. Selama
sebulan mereka mendapat indoktrinasi dan kegiatan-kegiatan yang lain. Amid, Kiram
dan Jun tidak begitu senang ketika mereka diperbolehkan pulang, rasa canggung dan
malu menghantui mereka. Pada bulan pertama setelah Amid pulang kegiatan orang-
orang komunis semakin gencar, puncak kekacauan terjadi ketika tersiar kabar terjadi
perebutan kekuasaan di Jakarta, beberapa Jendral di bunuh, tersiar bahwa yang
menjadi dalang semua itu adalah orang-orang komunis.
Pada suatu hari ada mobil militer berhenti di depan rumah Kiai Ngumar mobil
itu menjemput Amid, Kiram dan Jun untuk memberi informasi mengenai pasukan
65
komunis yang berbasis disekitar hutan jati kepada komandan tentara mereka
bergantian memberi keterangan tentang apa yang mereka ketahui dan komandan
memerintahkan mereka untuk menjadi petunjuk jalan, tetapi Kiram mengusulkan
supaya mereka diberi kesempatan untuk ikut bertempur melawan pasukan komunis
itu.
Tepat pukul satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas,
Amid, Kiram dan Jun ada bersama mereka. Pukul tiga pagi, truk berhenti di hutan jati
Cigobang, Kiram meminta izin kepada komandan tentara untuk menjadi pendobrak
pertahanan lawan, Amid dan Jun mengikuti. Kiram bergerak di ujung pasukan, Amid
beberapa kali menarik picu senjata namun tak lama kemudian ia merasa pundak dan
belikatnya panas, akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.
Antara sadar dan tidak Amid mendengar suara orang-orang yang tak
dikenalnya, ia membuka mata pundak dan punggungnya berdenyut sakit bukan main,
Amid mendengar Kiai Ngumar, wajah Kiai itu perlahan-lahan muncul dalam layar
penglihatan Amid. Kiai Ngumar berucap ”Laa ilaaha illalah”. Amid tak kuasa dia
merasa mulutnya bergerak ingin meninggalkan wasiat untuk menjaga anak dan
istrinya tapi dia tak kuasa dan Amid akhirnya meninggal.
B. Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia
1. Sudut Pandang Historis: Sejarah Terbentuknya Darul Islam
Di Indonesia, kata-kata Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-
gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan keras untuk merealisasikan cita-cita
Negara Islam Indonesia. Keinginan untuk mendirikan sebuah Negara yang diperintah
66
atas dasar syariat Islam, telah ada sejak lama, dan merupakan gagasan dari seorang
tokoh bernama Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, yang lebih akrab disebut
Kartosuwirjo. Kartosuwirjo yang terkenal sebagai pribadi yang sederhana dan sangat
keras kepala dalam mempertahankan argumennya telah melewati masa panjang sejak
keinginannya itu muncul hingga akhirnya ia mendapat kesempatan untuk
mendeklarasikan Darul Islam Indonesia. Sebelum mendapatkan kesempatan
mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, Kartosuwirjo bersama rekan-rekannya
harus berjuang keras. Mereka harus menghadapi musuh yang berasal dari bangsa
Indonesia sendiri dan juga bangsa asing yang masih berusaha untuk melakukan
penjajahan kembali.
Pada tanggal 14 Agustus 1947 setelah Aksi Militer I Belanda, Kartosuwirjo
menyatakana perang suci melawan Belanda. ia membagi wilayahnya dalam beberapa
daerah yang terdiri dari Daerah I (Ibukota Negara), Daerah II yang meliputi Jawa
Barat, dan Daerah III di mana penduduknya menjadi pengikutnya.
Gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Kartosuwurjo di Jawa Barat
selain berhasil memproklamasikan Darul Islam, juga membentuk sebuah angkatan
tentara, yang diberi nama TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini mula-mula
berakar dari konflik dan perpecahan dalam tubuh partai PSII pada masa pergerakan
Nasional. Pada perang kemerdekaan, Kartosuwirjo menolak hasil persetujuan
Renville.
Kesempatan untuk mendeklarasikan Darul Islam bermula ketika Agresi
Militer II Belanda telah berakhir. Pada saat itu, tepatnya pada tanggal 04 Agustus
1949, disusunlah Delegasi Indonesia yang akan mengikuti Komperensi Meja Bundar
67
di Den Haag Belanda, dan diputuskanlah Moh. Hatta untuk berangkat ke Den Haag
sebagai perwakilan dari Indonesia, pada tanggal 06 Agustus 1949.
Sebelum Moh. Hatta berangkat ke Belanda, ia memerintahkan Muh. Natsri
untuk menulis sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada Kartosuwirjo. Surat
tersebut berisi permintaan Moh. Hatta kepada Kartosuwirjo untuk menghentikan
semua permusuhannya terhadap angkatan bersenjata Republik yang oleh
Kartosuwirjo disebut sebagai “Tentara Liar”. Surat tersebut akhirnya sampailah
kepada Kartosuwirjo dan ditolak olehnya. Namun kepergian Moh. Hatta ke Den Haag
Belanda yang menyebabkan terjadinya vacuum (kekosongan) kekuasaan ternyata
membuka peluang bagi Kartosuwirjo dan Dewan Imamah untuk segera
memroklamirkan Negara Islam Indonesia.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo. Darul Islam berhasil
didirikan atau diproklamirkan pada tanggal 07 Agustus 1949 di desa Cisampang.
Struktur politik Negara Islam Indonesia ini diatur dalam Konstitusinya, yakni Kanun
Azasy. Kehadiran Darul Islam merupakan reaksi penentangan terhadap pemerintahan
Republik saat itu. Lembaga tertinggi dalam Darul Islam ialah Majelis Syuro. Selain
itu terdapat pula Dewan Fatwa yang bertugas mengatasi masalah-masalah yang
timbul di lingkungannya. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, Kartosuwirjo
dibantu oleh Dewan Imamah. Sebelum dibentuk Majlis Syuro, semua kekuasaan
berada di bawah Kartosuwirjo, termasuk jabatannya selaku Panglima TII.
Setelah berdiri, Darul Islam mendapat tantangan dari tentara Republik
sepanjang tahun 1950-an. Kekuatan militernya memuncak pada 1957, dengan
keberhasilan mereka menghimpun hampir 13.000 personil dengan 3.000 senjata.
68
Pasukannya berhasil menguasai kawasan laut di sekitar Tasikmalaya, Ciamis, dan
Garut. Namun meskipun demikian, pergerakan Darul Islam terkesan sangat lamat dan
mereka tidak berhasil menyatukan kekuatan sehingga sangat mudah diprofokasi oleh
operasi-operasi militer tentara republik.
Gerakan Darul Islam yang berpusat di Jawa Barat ternyata dapat menularkan
semangat jihadnya kepada muslim lain yang berada di luar Jawa Barat, seperti di
Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan beberapa daerah
lainnya.
2. Penggagas Darul Islam: Biografi Kartosuwirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo dilahirkan pada tanggal 07 Januari 1905 di
Cepu (antara Blora dan Bojonegoro), sebuah desa kecil di perbatasan Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Istrinya bernama Dewi Siti Kalsum, yang dinikahinya pada April
1929. Ayahnya merupakan seorang pedagang candu yang kemudian diangkat sebagai
pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu.
Ketika berusia enam tahun, ia belajar di sebuah Sekolah Rakyat di Pamotan,
kemudian ia pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Namun
pada tahun 1919, ia pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bojonegoro.
Setelah lulus dari ELS, Kartosuwirjo kemudian melanjutkan studinya ke sebuah
sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) yang ada di
Surabaya. Ia kemudian melanjutkan sekolah kedoterannya di Jakarta, tepatnya di
Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran).
Kartosuwirjo pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto bersama Soekarno.
Berdasarkan catatan sejarah, Kartosuwirjo senang dengan dunia politik. Hal tersebut
69
dapat dibuktikan melalui peranannya dalam beberapa organisasi, diantaranya adalah
pada tahun 1923 ia aktif di gerakan Pemuda Jong Java di Surabaya dan Jong
Islamieten Bond (JIB). Melalui organisasi-organisasi ini, ia kemudian berkenalan
dengan beberapa tokoh besar, seperti Agus Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto
yang kemudian mengangkatnya sebagai sekretaris pribadinya. Sedangkan
pengetahuannya mengenai Islam ia dapatkan melalui beberapa kiai ketika ia berada di
Malangbong, diantaranya adalah Kiai Jusuf Tauziri dan Kiai Ardiwisastra.
Kartosuwirjo kemudian berkarir melalui Fadjar Asia. Pada awalnya, ia hanya
bekerja sebagai korektor, kemudian ia diangkat menjadi reporter di Fadjar Asia. pada
tahun 1929, ia kemudian diangkat menjadi redaktur Fadjar Asia. Sejak saat itulah ia
mulai menerbitkan artikel-artikel yang pada mulanya hanya ditujukan kepada
bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan pemerintahan kolonial Belanda
Kartosuwirjo terkenal sebagai seorang yang sangat sederhana. Kariernya kemudian
melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII
merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam.
Kartosuwirjo yang terus gencar melakukan usaha pendeklarasian Darul Islam
menempuh segala cara. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah institut atau
pesantren yang diberi nama Suffah di Malangbong. Usulan tersebut diterima oleh
kongres PSII kedua pada Maret 1940. Institute ini pada mulanya dimaksudkan untuk
memberikan pendidikan umum dan agama kepada murid-muridnya. Namun pada
perkembangannya, institut ini berubah menjadi suatu lembaga yang memberikan
latihan kemiliteran selama pendudukan Jepang, terkhusus kepada laskar Hizbullah
dan Sabilillah. Lembaga ini disusun menurut sistem pesantren dan madrasah lama.
70
Penulis buku 'Hari Terakhir Kartosoewirjo', Fadli Zon menyebut ada tiga
kejahatan politik yang disangkakan pemerintah pada Kartosoewirjo. Pertama,
memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah. Kedua, dituduh ingin memisahkan diri dari Indonesia, dan
ketiga Kartosoewirjo dituduh melakukan makar pembunuhan terhadap presiden.
Namun Kartosuwirjo hanya mengakui bahwa penyerangan yang ia lakukan hanya
bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan saat itu.
Pada tahun 1941, Kartosuwirjo dihukum oleh pengadilan negeri Subang
dengan hukuman penjara 1 ½ bulan karena ia dianggap sebagai mata-mata Jepang.
Selanjutnya ia masih gencar melakukan usaha dan perlawanan terhadap pemerintahan
pusat demi merealisasikan cita-citanya, namun kehidupannya harus berakhir tragis.
Setelah penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Suhanda atas dirinya pada 04 Juni
1962, akhirnya pada 16 Agustus 1962 ia dijatuhkan vonis hukuman mati. Pada
September 1962, tepatnya di pulau Ubi Kepulauan Seribu ia ditembak mati.
3. Akhir dari Darul Islam / Negara Islam Indonesia
Berakhirnya Darul Islam yang dipelopori oleh Kartosuwirjo ditandai dengan
dihadapkannya Kartosuwirjo di depan Mahkamah Angkatan Darat. Namun sebelum
peristiwa itu benar-benar terjadi, Darul Islam mengalami banyak tekanan dari
pemerintah yang saat itu telah dipimpin oleh presiden Soekarno. Pemerintah
Republik Indonesia juga sangat gencar melontarkan penumpasan dan pengisolasian
terhadap gerakan yang satu ini.
Penumpasan dan pengisolasian itu dimulai pada pertengahan tahun 1960 dan
diawali di kabupaten Lebak yang termasuk Korem Banten. Pada operasi militer ini,
71
penduduk setempat diikutsertakan. Pada mulanya, operasi militer ini biasa disebut
dengan “Perang Bedok”, dan kemudian dikenal dengan sistem “Pagar Betis”. Operasi
militer ini cukup membuat pasukan Darul Islam semakin melemah. Hingga akhirnya
pemerintah terus gencar melancarkan operasi-operasi militer berikutnya.
Dari kubu Darul Islam itu sendiri, dengan keadaan yang semakin terdesak,
akhirnya pada tanggal 11 Juni 1961 dikeluarkanlah “Perintah Perang Semesta” (PPS)
yang tidak ditandatangani oleh Kartosuwirjo, melainkan oleh Taruna. Namun usaha
itu juga ternyata tidak dapat mempertahankan keeksistensian Darul Islam. Kubu
mereka semakin lemah, dan banyak dari pengikutnya yang menyerahkan diri kepada
pemerintah pusat. Di antaranya adalah Zainal Abidin dan Ateng Djaelani.
Pada tanggal 01 April 1962, pemerintah melancarkan operasi Brata Yudha I.
Menjelang hari-hari pertama di bulan Juni, Letda Suhanda, yang merupakan
pemimpin dari Kompi C Batalyon Kujang II Siliwangi mengejar satu kelompok
pasukan Darul Islam yang sedang berjalan pulang ke markas mereka setelah
mengadakan Penggarongan. Sebenarnya pengejaran tersebut telah dilakukan sejak
akhir bulan april, namun baru menemukan titik terang pada awal bulan juni tersebut.
dalam pengejaran tersebut, letda Suhanda kehilangan jejak dari pasukan Darul Islam,
sehingga ia harus membagai pasukannya ke dalam tiga peleton dengan masing-
masing 45 pasukan.
Pada tanggal 4 Juni, pasukan Suhanda menemukan tempat persembunyian
pasukan Darul Islam tepatnya di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dengan
Gunung Geber. Pada penggerebekan tersebut terjadi, cuaca sangat buruk. Hujan turun
dengan derasnya disertai angin kencang. Situasi demikian membuat pasukan Suhanda
72
leluasa untuk bergerak maju. Mereka mendekati sebuah pohon yang roboh, dan di
sana mereka dapat melihat sebuah gubuk yang dibangun secara darurat. Dengan
mudahnya pasukan Suhanda dapat menguasai gubuk tersebut dan kemudian bertanya
siapa komandan di gubuk tersebut. Kemudian Suhanda ditunjukkan sebuah gubuk
yang terletak di belakang gubuk sebelumnya, dan di sanalah ia menemukan
Kartosuwirjo yang sedang terbaring lemah karena sakit yang dideritanya.
Kartosuwirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia kemudian dibawa ke Majalengka.
Selanjutnya, Kartosuwirjo dibawa ke markas Ibrahim Adjie dan seterusnya dibawa ke
Garut untuk diserahkan kepada pihak keamanan. Demikianlah akhir dari Darul Islam
pimpinan Kartosuwirjo yang sempat berdiri selama lebih kurang 13 tahun.