bab iv pembahasan a. sastra sebagai cermin masyarakat · bab iv pembahasan a. sastra sebagai cermin...

53
BAB IV PEMBAHASAN A. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat Kandungan sejarah dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tidak dapat dipungkiri bahwa novel ini merupakan saksi sejarah pada zaman militeristik setelah kemerdekaan. Masyarakat Indonesia masih merasa hidupnya tidak tenang setelah kemerdekaan karena perang masih saja terjadi. Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air terdapat beberapa permasalahan yaitu berupa fakta sejarah dan persoalan agama. 1. Fakta Sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air Sekitar tahun 1946 berita mengenai penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang kepada pemerintah Belanda memicu berbagai reaksi, di kota besar hingga pelosok desa. Rakyat gelisah, takut dan masih mengingat penderitaan semasa penjajahan Jepang. Pemerintah Indonesia yang masih dalam masa pemulihan, membentuk tentara republik yang dipersiapkan menghadapi Belanda. Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air berisi fakta-fakta sejarah yang terangkum di dalamnya terdapat pesan-pesan moral. Sebuah perjuangan sekelompok hizbullah (tentara Allah) yang terlibat perseteruan dengan negara, sehingga mereka harus melindungi diri dengan bersembunyi di dalam hutan. Namun akhirnya beberapa orang dari mereka ikut dalam kelompok tentara republik. Sebenarnya apa yang disebut sebagai kebenaran dan kejahatan, ketika garis batas antara keadilan dan penegakan hukum justru memakan korban-korban yang tidak bersalah. Berikut beberapa fakta sejarah yang terdapat pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air. 20

Upload: others

Post on 31-Oct-2019

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

20

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat

Kandungan sejarah dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tidak dapat

dipungkiri bahwa novel ini merupakan saksi sejarah pada zaman militeristik setelah

kemerdekaan. Masyarakat Indonesia masih merasa hidupnya tidak tenang setelah

kemerdekaan karena perang masih saja terjadi. Pada novel Lingkar Tanah Lingkar

Air terdapat beberapa permasalahan yaitu berupa fakta sejarah dan persoalan agama.

1. Fakta Sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air

Sekitar tahun 1946 berita mengenai penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang

kepada pemerintah Belanda memicu berbagai reaksi, di kota besar hingga pelosok

desa. Rakyat gelisah, takut dan masih mengingat penderitaan semasa penjajahan

Jepang. Pemerintah Indonesia yang masih dalam masa pemulihan, membentuk

tentara republik yang dipersiapkan menghadapi Belanda.

Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air berisi fakta-fakta sejarah yang

terangkum di dalamnya terdapat pesan-pesan moral. Sebuah perjuangan sekelompok

hizbullah (tentara Allah) yang terlibat perseteruan dengan negara, sehingga mereka

harus melindungi diri dengan bersembunyi di dalam hutan. Namun akhirnya beberapa

orang dari mereka ikut dalam kelompok tentara republik. Sebenarnya apa yang

disebut sebagai kebenaran dan kejahatan, ketika garis batas antara keadilan dan

penegakan hukum justru memakan korban-korban yang tidak bersalah. Berikut

beberapa fakta sejarah yang terdapat pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air.

20

21

“Tadi malam kami---- aku, Kiram, Jun, dan Kang Suyud berada dalam salah

satu rumah ilalang itu. Kami datang untuk menjenguk Kang Suyud yang

sedang sakit dan kami titipkan kepada salah satu keluarga di sana. Tiba-tiba

datang serbuan” (Tohari, 2015: 10).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa masyarakat Jawa sangat memiliki rasa

persaudaraan yang tinggi kepada sesamanya, pada saat genting pun mereka masih

sempat untuk menjenguk salah satu kerabat yang sakit dan menitipkan kepada salah

satu warga yang berada di daerah sana untuk dapat menjaganya.

“Yang jelas jiwaku amat terpukul ketika melihat kelima keluarga pembuat

balok itu musnah bersama hunian mereka. Terasa ada tagihan yang

mengepung jiwaku: adilkah melibatkan, meskipun tak sengaja, orang-orang

lemah itu ke dalam gerakan kami sehingga mereka harus ikut menanggung

akibat yang tak terperikan? Aku sendiri bisa menjawab dengan mudah: Tidak.

Dan kematian mereka yang sangat mengerikan itu justru menjadi bukti

ketidakadilan itu” (Tohari, 2015: 12).

Ketika pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno-Hatta

sedang membangun sistem politik. Setelah Belanda dan Jepang berhasil diusir,

banyak pejuang kemerdekaan yang sebelumnya punya satu musuh bersama yaitu

penjajah. Sejarah kelam pascakemerdekaan membuat banyak rakyat kecil tidak

berdosa ikut menanggung kepedihan dan ketidakadilan yang dialami oleh negaranya

sendiri. Suasana politik yang tidak stabil membuat mereka yang tidak mengerti

tentang masalah politik, dengan tidak sengaja mereka malah ikut dilibatkan di

dalamnya, sehingga banyak yang menjadi korban pada saat genting tersebut. Saat itu,

ikatan nasionalisme belum terbangun secara kokoh, namun baru sebatas semangat

mengusir penjajah dari Nusantara.

“Kami, para pemuda yang diperbantukan, bergerak hilir-mudik karena

kehilangan acara. Lesu, merasa tak berguna, dan lapar bukan main. Untung

ada orang bicara, entah siapa, bahwa kami boleh pulang. Tetapi, kata orang

itu, kami harus selalu siap memberi bantuan apa saja kepada tentara Republik

22

bila mereka beroperasi di desa kami masing-masing. Bubar. Kiram memungut

sebongkah batu cadas dan membantingnya dengan keras. Pecah” (Tohari,

2015: 31).

Pascakemerdekaan perang masih saja terjadi di wilayah Indonesia. Indonesia

masih saja dijajah oleh Belanda. Peran tentara republik dan hizbullah sangat penting

di sini, karena mereka saling membantu untuk mengusir para penjajah yang telah

membuat hidup rakyat Indonesia menjadi tidak tenang dan sengsara.

“Soal persamaannya kalian sudah tahu,” ujar Kiai Ngumar. “Tentara

Republik dan Hizbullah sama-sama pasukan bersenjata yang berjuang

melawan tentara belanda untuk mempertahankan kemerdekaan kita.”

“Dan perbedaannya?” aku bertanya.

“Bedanya?” ujar Kiai Ngumar. “Begini. Meskipun sama-sama bertempur

melawan belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar antara tentara

Republik dan Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya,

mereka adalah bagian sah Republik. Maka, selama Republik berdiri mereka

mutlak diperlukan kehadirannya. Republik pun wajib memberi mereka gaji,

setidaknya kelak bila negeri sudah normal. Lalu apa Hizbullah?”

Kiai Ngumar memberi jeda, mungkin agar ada kesempatan bagi kami untuk

memahami penjelasan yang telah diucapkannya.

“Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar

niatnya lillahi ta‟ala, ikhlas, tujuannya melaksanakan wajib memerangi kafir

yang membuat kerusakan di negeri ini seperti sudah difatwakan Hadratus

Syaikh. Dan tidak seperti tentara resmi, Hizbullah tidak dibentuk oleh

pemerintah. Mereka lahir karena kesertamertaan para ulama. Karena niatnya

lillahi ta‟ala, anak-anak Hizbullah tidak akan menerima gaji dan ku kira harus

membubarkan diri setelah keadaan aman. Itulah, maka tadi aku bertanya

apakah tidak lebih baik kalian bergabung dengan tentara resmi?” (Tohari,

2015: 43-44).

Pada kutipan di atas dijelaskan, pada tahun 1947 seluruh kesatuan militer

yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditarik mundur, sebagai realisasi atas

persetujuan yang telah disepakati oleh tentara Indonesia dan pihak Belanda pada

tahun itu juga. Namun pasukan hizbullah tetap pada pendiriannya, dan menolak untuk

meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya itu serta bertekad melakukan perang

gerilya. Bukan itu saja, pasukan republik yang tidak menarik diri itu, bahkan berubah

23

nama menjadi Darul Islam (DI) dan menyebut sayap militernya sebagai Tentara Islam

Indonesia (TII).

“Ya. Setelah menyerahkan kepala Mantri Karsun, kami kembali ke basis

kami sendiri. Namun dua hari kemudian kami mendapat perintah dari

kalangan Hizbullah sendiri untuk secepatnya bergerak ke timur, ke

Somalangu di pedalaman Kebumen. Di sana ada konsentrasi kekuatan

Hizbullah dengan pelindung seorang kiai yang sangat berpengaruh. Banyak

anak-anak Hizbullah maupun pemuda-pemuda biasa yang meminta kekuatan

sakti kepada kiai itu. Bedil-bedil, senjata tajam, dan bambu runcing

dimintakan sebul kepada Kiai agar bertuah. Kiram dan Jun juga menyerahkan

senjata masing-masing untuk diberkati dalam antrean yang lumayan panjang.

Tetapi belum selesai disusuk, kami harus mengambil senjata kami kembali.

Ada kabar, Belanda datang dari arah timur. Kami diminta bersiap bersama

pasukan Republik untuk melawan mereka di Kebumen” (Tohari, 2015: 70).

Dari kutipan di atas dijelaskan bahwa pilihan untuk membela tanah air sangat

dipegang erat oleh para hizbullah, di saat keadaan seperti apapun dan dimanapun

mereka berada mereka harus siap untuk membantu pasukan republik untuk melawan

penjajah Belanda.

“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam

orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk

mendirikan negara Islam”

“Sabarlah, Suyud. Aku ingin kembali mengingatkanmu akan kandungan

kitab. Di sana disebutkan hanya ada satu kekuasaan yang sah dalam suatu

negara. Dengan kata lain, bila Republik sudah diakui sebagai kekuasaan yang

sah, lainnya otomatis menjadi tidak sah” (Tohari, 2015: 75).

Nasihat yang keluar dari mulut Kiai Ngumar sepertinya tidak dipedulikan

Suyud. Kiram dan Jun juga tidak memiliki ijazah Sekolah Rakyat maka ia tidak akan

bisa untuk masuk sebagai tentara republik dikarenakan buta huruf. Sejarah

mengatakan, bahwa persyaratan pada saat itu minimal tentara republik harus

memiliki ijazah. Mereka dikatakan sumber daya manusia (SDM) yang siap pakai

untuk pertahanan pemerintahan dan akan menerima gaji setelah keadaan negara

24

kembali normal. Amid yang awalnya ingin bergabung dengan tentara republik punah

juga harapannya ketika kedua temannya geram dengan keputusannya. Kiram yang

memojokkan Amid dengan alasan kalau bukan karenanya memberikan senjata

kepada Amid, sampai saat ini pun ia tetap menjadi anak bawang (pembantu para

tentara). Dengan alasan itu pula Amid meninggalkan Kiai Ngumar dan pergi bersama

Kang Suyud dan temannya. Mulai saat itulah mereka menjadi manusia yang selama

berpuluh-puluh tahun tinggal di hutan karena dianggap sebagai pemberontak oleh

pasukan republik.

Pada awal tahun 1949, sesudah ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh

ke tangan Belanda, pasukan republik kembali ke Jawa Barat dalam keadaan kocar-

kacir, sementara itu mereka menghadapi perlawanan keras dari TII di bawah

komando Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Darul Islam menolak tunduk terhadap

usaha-usaha tentara untuk mengembalikan kekuasaan republik atas daerah Jawa Barat

(yang pernah ditinggalkannya). Sebaliknya mereka memproklamasikan berdirinya

sebuah negara merdeka yang menikmati hak-hak otonomi secara rasional.

Ketika Belanda telah menyerahkan diri dan ketika keadaan aman pada awal

tahun 1960-an, tentara Indonesia berhasil menumpas gerakan Darul Islam, sejak saat

itu Kartosuwiryo beserta orang-orang yang bergabung dalam gerakan melawan

republik, di dalam sejarah kemudian disebut sebagai kelompok pengkhianat dan

pemberontak negara. Pada Lingkar Tanah Lingkar Air, ketika itu pasukan hizbullah

ingin melebur ke dalam tentara republik dan berhimpun di suatu tempat di tepi rel

kereta api. Tetapi tiba-tiba pasukan republik mendapat serangan mendadak.

25

“Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di

sana terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka

yang menyerang kami. Ada yang percaya, pasukan Republik tak mungkin

punya perilaku sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang

oknum-oknum yang berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka

bekerja untuk kepentingan golongan tertentu, mereka adalah pengkhianat

yang mencatut nama pasukan Republik dan tidak suka terhadap masuknya

anak-anak bekas Hizbullah ke pasukan pemerintah. Pendapat ini sebenarnya

gamblang dan mengarah kepada tuduhan terhadap oknum-oknum komunis.

Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu,

terutama setelah terjadi makar Madiun di tahun 1948, belum sempat

dilaksanakan secara intensif” (Tohari, 2015: 81-82).

Jelas pada waktu itu pasukan republiklah yang menyerang hizbullah

dikarenakan mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita

membaca kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya

ingin melebur ke pasukan republik, tetapi saat mereka ingin melebur pasukan

republik sudah lebih dahulu menyerangnya sehingga pasukan hizbullah menyimpan

dendam terhadap pasukan republik.

“Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kita sudah resmi

menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri. Negara

Islam Indonesia”

“Negara Islam Indonesia? Aku teringat Kiai Ngumar. Teringat ketika ia

beraksi bahwa dalam iman yang teguh Kiai Ngumar dengan sadar memilih

Republik Indonesia yang sudah berdiri dengan sah. Aku juga teringat kata-

kata orang tua itu bahwa dalam suatu negara yang sah, di dalamnya tak boleh

ada suatu bentuk Negara terpisah yang sah pula. Aku memercayai kebenaran

pikiran Kiai Ngumar: mestinya hanya ada satu bentuk Negara yang sah, yaitu

Republik. Tetapi aku mau apa jika pasukan Republik jelas-jelas

menganggapku sebagai pemberontak?” (Tohari, 2015: 95).

Gerakan Negara Islam Indonesia atau NII ini bertujuan untuk menjadikan

Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang menerapkan dasar agama Islam

sebagai dasar negara. Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini

menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama

26

Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Faktanya, ada yang memfitnah pasukan hizbullah hingga akhirnya mereka sangat

dibenci oleh tentara republik, sehingga hubungan mereka menjadi tidak baik lagi.

Gerakan Siluman (GS), sayap bersenjata partai komunis yang beroperasi di

sekitar hutan jati Cigobang, suka mencatut nama mereka untuk melakukan

perampokan sehingga nama-nama anggota DI/ TII tercemar di mata penduduk

kampung. Terlihat pada kutipan-kutipan di bawah ini.

“Beberapa kali kami bertempur melawan orang-orang GS untuk

memperebutkan suatu wilayah hutan jati. Wilayah tersebut sudah lama

menjadi basis pertahanan kami, tetapi mereka ingin menguasainya

demi pohon-pohon jati yang besar-besar dan tua, yang ingin mereka

tebang” (Tohari, 2015: 98).

“Aku masih diam, benar-benar tak tahu apa yang bisa kukatakan

kepada Kiai Ngumar. Mungkin karena melihat aku bimbang. Kiai

Ngumar bercerita bahwa gerakan Darul Islam sama sekali sudah tak

punya harapan hidup. Bukan hanya karena aparat keamanan akan

menghancurkannya, melainkan juga karena pendapat umum

masyarakat menganggap DI adalah musuh mereka. Kiai Ngumar juga

bilang, sudah lama ada kelompok pengacau yang mencatut nama DI

untuk melakukan perampokan-perampokan” (Tohari, 2015: 106).

Setelah memilih menjadi anggota laskar hizbullah, para anggotanya termasuk

salah satunya adalah Amid sudah terbiasa hidup di hutan dengan penuh kegelapan

ketika malam hari tiba. Hidup dengan segala keterbatasan dan tidak pernah tenang

karena ancaman selalu menghantui hidupnya. Hidup berpindah-pindah tempat ketika

malam hari sangat sering dilakukannya, terlihat pada kutipan dibawah ini.

“Perihal berjalan dalam kegelapan malam, aku sudah berpengalaman

bertahun-tahun sehingga dengan mudah aku menghindar dari

pengawasan para peronda. Aku menerobos pagar berlapis di tempat

kemarin aku masuk. Keluar dari batas kampung aku harus menempuh

kebun singkong yang luas. Langit gelap sempurna, malah gerimis

27

mulai jatuh. Ketika langit menjadi sehitam jelaga, kilat tampak sebagai

garis-garis patah yang berpijar sesaat dan amat menyilaukan mata. Di

tengah tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil

yang merayap tanpa daya dalam kegelapan yang sungguh pekat.

Namun demikian aku terus berjalan” (Tohari, 2015: 111).

“Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah

hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Toyib,

rekan itu, telah menempuh perjalanan berbahaya untuk memberi kabar

tentang sesuatu yang amat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo,

khalifah Darul Islam tertangkap pasukan Republik. Toyib juga

membawa sehelai selebaran yang ditandatangani oleh khalifah, berisi

seruan agar semua anggota DI/TII meletakkan senjata dan

menyerahkan diri kepada aparat keamanan dengan jaminan

pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik

Indonesia” (Tohari, 2015: 143-144).

Dari berita di atas, dalam Lingkar Tanah Lingkar Air semua pasukan DI/ TII

diharapkan meletakkan senjata dengan jaminan pengampunan dari tentara republik.

Akhirnya semua pasukan republik meletakkan senjata. Ada beberapa dari mereka

yang ikut bertempur melawan pasukan GS (Gerakan Siluman).

Cerita Kiram tentang orang-orang GS memang sudah lama menjadi kesadaran

umum di kalangan anggota DI. Banyak perangkat pamong di desa-desa pinggiran

hutan atau perkebunan karet diam-diam atau terang-terangan menjadi anggota

gerakan rahasia ini. Mereka jelas-jelas komunis, dan celakanya mereka sangat mudah

memperoleh senjata karena mereka juga merekrut banyak oknum organisasi pembela

rakyat (OPR), organisasi yang resmi dipersenjatai dan dibangun sebagai barisan

pertahanan sipil. Selain mempunyai kekuatan bersenjata, mereka mempunyai

kekuatan jalur usaha perekonomian, yakni perdagangan kayu jati secara gelap.

Mereka mengorganisasikan banyak sekali pencuri kayu jati sehingga beberapa

28

pemimpin mereka, yang kami kenal menjadi pamong desa, adalah orang-orang yang

sangat kaya.

Pertempuran itu hanya terdapat dua hal pada pasukan GS, yaitu menembak

atau ditembak. Sebelum mereka ditembak, mereka juga ingin menembak pasukan

republik. Dari pertempuran itu, pasukan republik banyak menewaskan pasukan GS.

Ternyata selama berpuluh tahun telah terjadi kekeliruan terhadap pandangan pasukan

republik dengan pasukan hizbullah, dan sampai sekarang, pasukan republiklah yang

berkuasa.

“Tepat jam satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas.

Aku, Jun, dan Kiram ada di antara mereka. Terasa aneh, tiga bekas laskar DI

berada dalam satu pasukan dengan tentara pemerintah, bekas seteru besarnya.

Entahlah Kiram dan Jun, tetapi aku sendiri merasakan keharuan yang terus

mengembang dan menyesakkan dada. Tenggorokanku terasa pepat. Dan aku

merasa air mataku jatuh. Untung, dalam kegelapan malam tak mungkin ada

orang melihat roman mukaku” (Tohari, 2015: 161).

“Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang

lain, sangat lain. Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang

pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. Tetapi kini semuanya akan

menjadi kenyataan, dan aku bersama Kiram dan Jun, meski hanya sementara,

menjadi bagian tentara Republik. Ya, tak pernah kuduga, akhirnya aku

mendapat peluang bertempur atas nama Negara. Keharuan kembali merebak

dan air mataku jatuh lagi” (Tohari, 2015: 162).

Pada kutipan-kutipan di atas dijelaskan bahwa akhirnya Amid, Kiram, dan Jun

dimintai informasi oleh pemerintah republik mengenai GS. Pemerintah republik dan

tentara republik tidak hanya meminta mereka untuk memberikan informasi saja tetapi

mereka juga diminta untuk menjadi penunjuk jalan, namun Amid, Kiram, dan Jun

tidak mau jika hanya menjadi penunjuk jalan, melainkan juga ingin ikut bertempur

melawan pasukan komunis itu. Amid dan kawan-kawan kini ada dipihak tentara

29

republik. Berada dalam satu pasukan dengan tentara pemerintah Indonesia membuat

Amid terharu dan air matanya pun jatuh.

Bangsa Indonesia didatangi (dijajah) oleh bangsa-bangsa Eropa sejak

berabad-abad yang lalu. Bangsa-bangsa penjajah tersebut datang ke Nusantara

membawa semangat imperialism. Dalam catatan sejarah, bangsa-bangsa Eropa seperti

Portugis, Belanda, dan Inggris sempat berkuasa atas Nusantara, sekaligus berebut

kekuasaan dari sesamanya selama hampir satu millennia. Nusantara digunakannya

sebagai “laboraturium” penjajah, guna meneliti untuk menemukan bagaimana cara

dan metode untuk menguasai Nusantara dengan baik dan benar (bagi mereka). Hasil

“penelitian” tersebut dapat kita lihat dari berbagi macam sistem, walaupun tetap

berujung kepada kepentingan politik yang diterapkan di Nusantara, baik itu sistem

yang menyangkut politik, ekonomi, hingga yang menyangkut masalah ras dan agama

yang telah diterapkan di Nusantara.

Pada pembahasan latar sosiohistoris pengarang termasuk di dalamnya adalah

kehidupan sosial di lingkungan masyarakat Tohari sekitar tahun 1946-1968. Dalam

hal ini adalah lingkungan sosial yang dihadapi oleh Tohari yang melatarbelakangi

lahirnya karya-karyanya.

Pengalaman kehidupannya yang traumatik akan kekejaman manusia akibat

geger politik sekitar tahun 1965 juga menjadi sebuah pengalaman yang tidak

terlupakan. Ketika suhu politik memanas sekitar tahun 1964 dan kemudian geger

politik meletus pada tahun 1965-1966, Tohari remaja hidup di pedesaan. Oleh karena

itu, Tohari sempat menyaksikan tindak kekejaman dan kesewenang-wenangan yang

dilakukan oleh para aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama para

30

pengikutnya dan juga para tentara yang mendapat perintah untuk mengamankan

situasi kekacauan politik saat itu.

Banyak pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan DI/ TII atau mereka

yang mengaku atau mengatasnamakan DI/ TII justru ketika kekuatannya mulai

melemah karena terdesak oleh kekuatan tentara pemerintah RI. Banyak orang tak

berdosa yang dibunuh secara kejam. Hal itu menjadi pengalaman traumatik bagi

Tohari yang kebetulan pada masa praremajanya menjadi saksi mata atas berbagai

peristiwa kekejaman tersebut.

Seperti diketahui bahwa pemberontakan DI/ TII sebenarnya berpusat di

wilayah Jawa Barat dan terjadi antara tahun 1948-1968. Namun, imbas

pemberontakan yang dipelopori oleh seorang nasionalis radikal Kartosuwiryo itu

merembes juga ke wilayah Jawa Tengah terutama daerah yang berbatasan dengan

wilayah Jawa Barat, termasuk Banyumas. Pemberontakan DI/ TII memiliki kekhasan

tersendiri dan tidak hanya disebabkan oleh motif ekonomi melainkan yang lebih berat

adalah kegagalan pemerintah dalam melakukan integrasi politik dalam masyarakat

tradisional.

Pada masa itu, realitas kehidupan masyarakat pedesaan di lingkungan Tohari

banyak yang terbelakang dengan segala kemiskinan, kebodohan, dan

ketidakberdayaannya. Dari kondisi sosial yang memprihatinkan dengan berbagai

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan itulah Tohari banyak memperoleh

pengalaman hidup. Tohari hidup dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat

pedesaan yang masih lugu dan terbelakang terutama dari segi sosial ekonomi dan

pendidikan.

31

2. Persoalan Agama dalam Lingkar Tanah Lingkar Air

Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan-pesan dan misi keagamaan (Islam)

melalui karya-karyanya, salah satunya adalah novelnya yang berjudul Lingkar Tanah

Lingkar Air. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius

pada diri para pelakunya, di antaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa

memberikan nasihat-nasihat keagamaan pada santri-santrinya, satu di antaranya

adalah Amid, sejak Amid masih kecil. Ketika mengalami kebingungan, seperti ketika

ia ragu untuk memilih antara menjadi laskar DI/ TII atau menjadi tentara RI, ia tidak

lupa dan malu untuk meminta nasihat pada gurunya yaitu Kiai Ngumar. Terlihat pada

kutipan-kutipan di bawah ini.

“Aku sempat berbincang dengan imam masjid di sana. Ternyata kiai itu tak

mau mendukung kami. Ia berkeyakinan, pemerintah Bung Karno sah karena

didukung para pemimpin Islam dan tidak menganjurkan kekufuran, bahkan

mengupayakan kemaslahatan serta kesejahteraan umum. Pemerintah Bung

Karno juga dianggapnya sah, sebab kata kiai itu, lebih baik ada pemerintah

meskipun jelek daripada tak ada pemerintah sama sekali, setelah Belanda

meninggalkan Tanah Air. “Taat kepada pemerintah yang sah adalah

kewajibanku, kewajiban menurut imamku, iman kita,” kata kiai itu” (Tohari,

2015: 16-17).

Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa suatu keyakinan sangat dipegang erat

oleh masyarakat Jawa yang memeluk agama Islam. Menjalankan suatu kewajiban

dunia dan akhirat harus saling beriringan agar mendapat ridho dari Allah Swt., kini

semakin disadari betapa pentingnya nilai-nilai agama serta semangat akhlakul

karimah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara individu maupun

kolektif (sosial).

Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut

tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkadang

32

dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapat renungan-

renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai

religius dalam sastra bersifat individual dan personal.

“Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan

yang mulai mengembang dalam hatiku. Seorang lelaki, militer yang baru

kubunuh itu, agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia telah

kuhabisi nyawanya. Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang

selalu ingin diingatnya melalui tasbih dan Quran-nya itu pastilah Tuhanku

juga, yakni Tuhan kepada siapa gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan

khidmahnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit kumengerti”

(Tohari, 2015: 19).

Dilihat dari kutipan di atas, tokoh seorang militer yang bertugas di berbagai

tempat dan selalu dihantui oleh berbagai macam ancaman pun selalu ingin dekat

dengan Tuhannya. Membawa tasbih dan Alquran menunjukkan bahwa ia adalah

orang yang taat beragama. Hidup di dunia memang butuh perjuangan agar dapat

menjalani kehidupan. Perjuangan ini sangat berat dan memakan korban, seperti

banyaknya orang yang meninggal karena dibunuh oleh para penjajah yang kejam.

Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan

Tuhan pencipta alam dan seiisinya. Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan

tidak akan terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi

manusia. Agama dapat pula bertindak sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan

hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, manusia pun

dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan

yang telah tetap, sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Seperti pada kutipan di bawah ini yang menggambarkan tentang faktor-faktor

33

keagamaan yang ada pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air yang tidak lepas dari

masyarakat Jawa.

“Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan

fatwanya. Beliau bilang, berperang melawan tentara Belanda untuk

mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi

semua orang Islam. Dan siapa yang mati dalam peperangan melawan tentara

Belanda yang kafir, dialah syahid” (Tohari, 2015: 24).

Dari sekian banyak kelompok, muncul ide pembentukan pasukan hizbullah

yang rela berkorban nyawa demi negara dan keyakinan sebagai pemeluk agama

Islam. Remaja usia belasan hingga kaum muda, berbondong-bondong ikut serta

dalam tugas suci ini. Demikian pula dengan Amid, Kiram, Jalal, dan Kang Suyud,

penduduk desa kecil yang didorong oleh Kiai Ngumar, ustadz yang disegani di desa

untuk membentuk barisan pemuda yang diharapkan bergabung dengan tentara

republik.

Dari niat tulus „bela negara‟ dan mengusir penjajah, ternyata tidak cukup

membuat persatuan yang kokoh dalam kelompok-kelompok pejuang ini. Ketika

ketidakpuasan mulai menimbulkan perselisihan dan dibakar paham-paham idealisme

serta fanatisme, perpecahan terjadi. Situasi penuh ketegangan ini akhirnya pecah,

ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Pemerintah Indonesia.

Demi menjaga kestabilan negara serta keamanan nasional, dikeluarkan

perintah yang menganjurkan pembubaran pasukan hizbullah agar mereka kembali ke

kehidupan normal dalam masyarakat, atau melebur menjadi satu bagian dalam wadah

tentara Republik Indonesia. Melalui novel ini, Ahmad Tohari menuturkan bagaimana

kesalahpahaman dalam komunikasi berujung pada pertikaian sengit yang berakhir

pada pembantaian anggota „mantan‟ hizbullah di tangan tentara Republik Indonesia.

34

Mereka yang selamat dari pembantaian, melarikan diri karena dianggap

sebagai musuh negara. Satu-satunya jalan adalah bergabung dengan AOI (Angkatan

Oemat Islam) yang didirikan para mantan hizbullah yang anti republik dan bercita-

cita membentuk negara baru berlandaskan Islam. Namun pilihan ini juga membuat

mereka dikenal sebagai „pengkhianat‟ Negara Republik Indonesia, dan hukuman mati

adalah vonis yang dijatuhkan pada mereka yang terlibat di dalamnya.

“Ya, kami tidak ingin bergabung dengan tentara Republik, jawab Kang

Suyud. Kami ingin membentuk pasukan sendiri dengan anggota yang

semuanya mau sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara tak

melakukannya. Malah saya tahu dengan jelas, beberapa anak buah Siswo

Wuyung ada dalam barisan tentara Republik. Jangan lupa Siswo Wuyung

adalah pendiri persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938” (Tohari, 2015:

48).

Melalui novel ini, Ahmad Tohari mengajak para pembacanya untuk dapat

belajar merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja

ditawarkan melalui perjuangan para tokohnya dalam memaknai hidup dan berjuang

mencari jati dirinya serta upaya para tokoh dalam mencapai kedudukan sebagai Insan

Kamil.

“Baik. Itu pun, sudah kukatakan, aku merestuinya. Asal jangan kalian

lupakan, nawaitu-nya lillahi taala dan kembalilah ke desa bila kelak keadaan

sudah aman. Dalam pengertian seperti itulah dulu aku justru menyebut kalian

Hizbullah” (Tohari, 2015: 49).

Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius pada diri

para pelakunya, di antaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa memberikan

nasihat-nasihat keagamaan pada santri-santrinya, satu di antaranya adalah Amid,

sejak Amid masih kecil. Ketika mengalami kebingungan, seperti ketika ia ragu untuk

memilih antara menjadi laskar DI/TII atau menjadi tentara Republik Indonesia, ia

35

tidak lupa dan malu untuk meminta nasihat pada gurunya yaitu Kiai Ngumar. Peran

agama Islam dalam pembinaan umat manusia menjadikan manusia sebagai makhluk

yang sempurna. Umat Islam adalah masyarakat yang berfondasikan persaudaraan,

cinta kasih, saling menolong dan menasihati. Para sesepuh agama dalam suatu

wilayah dianggap seperti panutan untuk menuntun ilmu agama di daerah tersebut.

Mereka dianggap menjadi orang yang mempunyai ilmu agama paling dalam dan

dihormati semua keputusannya.

“Artinya, selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal dari Aceh

sampai Sunda kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dulu di mata orang asing, juga

dalam perasaan kita semua, selam dan tanah air adalah dua sisi dari satu mata

uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang

sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan juga

wong dul-dulan, sama-sama merasa sebagai orang selam. Mereka bersaksi

bahwa gusti Allah adalah tuhan yang Esa, dan kanjeng Nabi Muhammad

adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong Royong.

Jadi, aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung dengan tentara

resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang” (Tohari,

2015: 52).

Dari kutipan di atas telah dijelaskan bahwa sebenarnya golongan santri dan

abangan adalah sama, mereka sama-sama percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, pada cara menyembahnya saja yang berbeda. Tetapi karena keegoisan

masing-masing pihak, mereka sendirilah yang memecahbelahkan tanah airnya.

Wejangan Kiai Ngumar yang berusaha menolong anak-anak asuhannya yang

tersesat, menunjukkan bahwa pola pemikiran yang maju tidak mudah dihasut oleh

fanatisme pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan jauh dari unsur agamis atau

kepercayaan lainnya. Sayangnya, mereka yang mampu berdiri diatas keyakinan dan

pengetahuan ini, merupakan kaum minoritas, hingga kekuatan suarapun nyaris tidak

terdengar oleh banyak orang.

36

Dalam rentang waktu antara 1945-1949 merupakan masa-masa penuh gejolak

dengan terjadinya dua kali peperangan, yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial

Belanda guna mengembalikan kekuasannya dan menghancurkan Republik Indonesia

yang baru lahir. Pada masa-masa ini kita menyaksikan berbagai konfrontasi terbuka

antara kelompok-kelompok bersenjata Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang

bersenjata Islam. Pembentukan tentara nasional pada tahun 1945, cikal bakalnya

diambil dari pasukan yang dilatih oleh Jepang, dan di antara anggotanya adalah

seorang yang pernah menjadi kepala Negara Indonesia, yaitu Soeharto. Tentara ini

dibentuk pada masa pendudukan Jepang, dari tahun 1942-1945 yang disebut dengan

PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan-kesatuan Jepang yang dilatih untuk

membela ibu pertiwi. Namun PETA bukanlah satu-satunya tentara yang berjuang

membela negara. Di luar kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi

diantaranya milisi hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah

Belanda hingga mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan

putra-putra Indonesia.

“Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap

pribadi yang percaya. Ya. Kewajiban sembahyang tidak datang dari seorang

untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa

kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula

berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan

mau mewajibkan suatu yang jadi hal Allah, yaitu sembahyang kepada orang

lain?” (Tohari, 2015: 54).

Sebuah karya sastra yang mengangkat nilai kemanusiaan berdasarkan

kebenaran akan menggugah hati nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan

baru pada diri penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat

berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.

37

Jika setiap manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya

maka hubungan yang harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup manusia

menjadi tentram dan bahagia karena nilai religius merupakan keterkaitan

antarmanusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan di dunia.

Nilai religius akan menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan,

yang kita kenal dengan ketakwaan. Seperti yang tergambar dalam kutipan di bawah

ini.

“Kiram tersenyum. Mungkin puas karena permintaannya mengambil

Mantri Karsun berhasil baik. Komandan pasukan Republik meminta

agar kami bergabung. Bagiku, tawaran itu sangat menyenangkan. Dan

aku mengira Kiram dan Jun akan memenuhi tawaran yang sangat

simpatik itu. Tetapi ternyata aku salah sangka, Kiram dan Jun

menolak. Mereka tetap ingin bertempur sebagai tentara Tuhan,

Hizbullah”

“Sebenarnya waktu itu aku merasa mendapat peluang yang baik sekali

untuk menyampaikan wejangan Kiai Ngumar kepada Kiram dan Jun;

bahwa dengan nawaitu yang ikhlas, menjadi anggota pasukan

Republik pun sama dengan menjadi anggota Hizbullah. Namun

entahlah, aku memang pengecut. Aku selalu merasa kecil bila sedang

berdekatan dengan Kiram. Maka aku pun tak bisa berbuat lain kecuali

mengikuti Kiram dan Jun. mungkin karena pertolongan Kiram aku

bisa mempunyai senjata?” (Tohari, 2015: 68).

“Dulu sudah kukatakan, perjuangan Hizbullah itu lillahi taala untuk

menghilangkan kekuatan yang merusak negeri ini. Perjuangan yang

demikian wajib hukumnya secara syar‟I dan kalian sudah selesai

melaksanakannya. Semoga Allah menerima amal perjuangan kalian.

Lalu apa lagi masalahnya? (Tohari, 2015: 72).

Melalui novel ini juga, Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan tentang

bagaimana beratnya perjuangan hidup manusia dalam memenuhi tugas dan tanggung

jawabnya, baik sebagai khalifah Allah Swt., di bumi, maupun sebagai ciptaan yang

menyembah kepada Khaliqnya. Hal ini sesuai dengan adanya pranata yang berfungsi

38

untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk berbakti pada Tuhan dan berhubungan

dengan alam.

“Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka menyusun kekuasaan

pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain, yang

semuanya merupakan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan

lebih dari itu, kekuasaan mereka sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat.

Pengakuan ini akan membuat kekuasaan lain yang muncul belakangan jadi

tidak sah” (Tohari, 2015: 75).

Agama menjadi faktor yang paling mendasar karena memberikan sebuah arti

dan tujuan hidup. Akan tetapi, untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu

adanya faktor-faktor lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Nilai-nilai

agama adalah faktor utama yang dapat menyeimbangkan dan mengatur kehidupan

setiap umat manusia.

“Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu. Di

sana terjadi perbincangan, atau perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka

yang menyerang kami. Ada yang percaya pasukan Republik tak mungkin

punya perilaku sekotor itu. Menurut pendapat ini, para penyerang memang

oknum-oknum yang berasal dari kalangan pasukan Republik, namun mereka

bekerja untuk golongan tertentu. Mereka adalah pengkhianat yang mencatutu

nama pasukan Republik dan tidak suka terhadap masuknya anak bekas

Hizbullah kedalam pasukan Pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang

dan mengarah kepada oknum-oknum komunis. Semua orang mengetahui

bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi

makar Madiun pada tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif”

(Tohari, 2015: 81-82).

Jelas pada waktu itu pasukan republiklah yang menyerang hizbullah

dikarenakan mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita

membaca kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya

ingin melebur ke dalam pasukan republik, tapi saat mereka ingin melebur pasukan

republik sudah lebih dahulu menyerang sehingga pasukan hizbullah menyimpan

dendam terhadap pasukan republik.

39

Sampai saat ini gerakan Darul Islam tetap dicap sebagai perusak negara dan

penyeleweng ideologi negara. Akibat begitu banyaknya bentrokan-bentrokan yang

terjadi dengan kaum muslimin di berbagai daerah Republik Indonesia, sehingga

menyebabkan peperangan yang panjang. Peristiwa ini sangat membekas di dalam hati

perwira-perwira tinggi, dan menumbuhkan rasa permusuhan yang mendalam

terhadap para pejuang muslim, sehingga muncul kepercayaan, bahwa mereka harus

memperlakukan para pejuang muslim secara otoriter.

Di sisi lain, Tohari kecil yang hidup di masyarakat pedesaan juga sangat dekat

dengan dunia pesantren dan nuansa religiusitasnya. Hal ini dapat dipahami karena

selain dekat dengan masyarakat desa yang pada umumnya religius juga orang tuanya

memiliki sebuah pesantren yang dikelolanya bersama keluarga. Lingkungan

pesantren yang religius penuh dengan suasana keagamaan yang sakral dan ibadah

tentu saja sangat membekas dalam-dalam pada diri Tohari. Hingga usia remaja

Tohari hidup di lingkungan masyarakat pedesaan dan pesantren yang bersuasana

ramah, tenang, damai, iklim kehidupan yang religius yang sarat dengan kegiatan

ibadah, taat dalam mengabdi kepada Tuhan Allah Swt., Wajar jika kemudian Tohari

tumbuh sebagai remaja atau orang dewasa yang dikenal dengan sebutan kaum

sarungan atau santri.

Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan dan dibesarkan dalam

masyarakat Jawa. Ia memahami masyarakat Jawa dengan segala pandangan

hidupnya, terutama masyarakat lingkungannya tempat ia dibesarkan. Di sisi lain, ia

adalah seorang santri yang santra. Santri adalah penganut Islam yang taat terhadap

ajaran Islam dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

40

Adapun santra berarti seorang muslim yang mampu menafsirkan ajaran Islam bukan

hanya sebagai konsep abstrak, melainkan juga memanifestasikannya dalam sikap dan

perilaku sehari-hari dalam segala aspek kehidupan, baik dalam hidup berumah

tangga, bermasyarakat, bekerja, dan bernegara. Didukung oleh sikap kritis dan

sensitif serta pengalaman hidup yang memadai, Tohari berhasil menyusun konsep

kepengarangan yang khas.

B. Fungsi Sosial Sastra

Berdasarkan teori sosiologi sastra Ian Watt, fungsi sosial sastra secara garis

besar dibagi menjadi tiga macam. Pertama, sastra sebagai pembaharu atau perombak.

Kedua, sastra sebagai penghibur. Ketiga, terjadi sintesis di antara keduanya, sastra

sebagai pembaharu atau perombak dan sastra sebagai penghibur. Sebagai hal yang

lumrah dalam suatu karya sastra, terdapat unsur hiburan di dalamnya. Dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air, pengarang berusaha menyajikan unsur hiburan dalam

berbagai dimensi.

1. Sastra Sebagai Pembaharu atau Perombak

Sastra sebagai pembaharu atau perombak diharapkan dapat memberikan

perubahan. Perubahan yang ditujukan baik kepada masyarakat tertentu ataupun

masyarakat umum. Sebagai contoh adalah karya sastra yang memiliki unsur

perjuangan sehingga dapat menggerakan masyarakat untuk berjuang.

Sadar dan bangkit adalah satu-satunya jalan untuk merombak suatu negeri

dari kelemahan dan keterbelakangan. Sebenarnya bencana yang menimpa umat Islam

sekarang ini berpangkal pada kemasabodohan masyarakatnya terhadap perubahan-

41

perubahan yang menyeluruh pada masa ini, dan ketidakpunyaan kita akan kekuatan-

kekuatan baru yang telah membangkitkan perubahan tersebut. Sebagai contoh bahwa

semua gerakan kebangkitan yang terjadi di seantero dunia Islam, selama seratus tahun

yang lampau, tujuannya tidak lain hanyalah untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan

Barat dan memperoleh kemerdekaan. Untuk tujuan tersebut masyarakat telah

mengorbankan waktu, harta serta pengorbanan-pengorbanan lainnya yang tidak

terhitung. Semuanya tidak akan membuahkan hasil jika tanpa kerja keras dan di

barengi dengan keikhlasan berkiblat pada khittah yang ada dan kamil, serta

mengambil contoh dari kehidupan masa lalu sebagai cermin kehidupan kini dan yang

akan datang. Dalam menuju kemaslahatan tidak terkecoh lagi dengan tipu daya

musuh-musuh Islam.

Tokoh dalam cerita novel Lingkar Tanah Lingkar Air adalah Amid, Kiram,

Kang Suyud, Jun, Kiai Ngumar dan Umi. Amid, Kiram, dan Jun merupakan santri

yang mengaji pada Kiai Ngumar. Sementara, Kang Suyud seorang kiai masih muda.

Kiai Ngumar disebut salah satu tokoh Sarekat Islam (SI) yang kemudian pecah jadi

SI merah dan SI Putih. Kiai Ngumar ikut SI Putih. Dengan restu Kiai Ngumar, Amid,

Kiram, dan Jun ikut berperang mengusir penjajah Belanda. Namun, mereka

tergabung dalam kelompok yang disebut hizbullah. Kang Suyud juga ada di

kelompok ini. Kelompok ini disamakan oleh satu keyakinan perjuangan yaitu

mengusir penjajah dan menegakkan Islam.

Pemuda-pemuda yang ikut membela negara sudah semestinya memiliki

senjata, karena tanpa adanya senjata mereka tidak akan bisa melawan para penjajah.

Namun, mendapatkan senjata tidaklah mudah, sehingga belum semua pemuda

42

mampu memiliki senjata. Pada masanya jika seseorang sudah memiliki senjata, ia

merasa gagah, bangga, dan disegani oleh orang lain. Terlihat pada kutipan-kutipan di

bawah ini.

“Dengan modal satu bedil itu Kiram, aku, dan Jun, dan Jalal

membentuk barisan pemuda. Orang kampung menyebut kami

“pemuda” saja, sebutan baru yang secara ajaib membuat kami merasa

gagah dan bangga. Tetapi sebutan itu juga yang membuat kami jadi

urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah,

pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting. Tetapi Kiram,

mungkin karena sudah punya senjata sehingga merasa paling gagah,

sering nakal” (Tohari, 2015: 35).

“Mid, kamu ingin punya senjata seperti aku, bukan? Di zaman seperti

ini, seorang pemuda yang tak punya senjata adalah anak bawang.

Pemuda seperti itu bukan apa-apa. Iya, kan?”

“Aku ciut. Senyumku pahit karena ada penghinaan yang tak bisa

kusanggah. Lalu kiram mengutarakan rencananya. Ternyata Kiram

tahu Hianli menyimpan sebuah senapan di tokonya. Rahasia itu

diperolehnya dari perempuan yang bekerja sebagai pembantu di rumah

pedagang itu. Bukan hanya menyimpan senjata, setiap malam Hianli

diketahui bergabung dengan kelompok mata-mata Belanda dan baru

pulang menjelang fajar” (Tohari, 2015: 39).

Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air tokoh yang bernama Kiai Ngumar

selalu memberi nasihat yang baik untuk santri-santrinya. Ia adalah tokoh yang paling

dihormati di kelompok Darul Islam. Dalam rentang waktu antara 1945-1949,

merupakan masa-masa penuh gejolak dengan terjadinya beberapa kali peperangan,

yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda guna mengembalikan

kekuasaannya dan menghancurkan Repubik Indonesia yang baru lahir. Pada masa-

masa ini kita menyaksikan berbagai konfrontasi terbuka antara kelompok-kelompok

nasionalisme Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang yang berlatar agama Islam. Di

luar kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi di antaranya milisi

43

hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hingga

mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan putra-putra

Indonesia tahun 1949. Terlihat pada kutipan berikut.

“Begini, Mid. Belanda takkan lama di sini. Dalam ramalan orang-orang tua,

sudah tak ada lagi jangka bagi mereka untuk tinggal di negeri ini. Percayalah,

sesuatu ada masanya. Dan segala sesuatu tak akan hadir di luar masa yang

tersedia baginya” (Tohari, 2015: 56).

Pada mulanya pasukan Darul Islam cukup banyak menguasai wilayah Gunung

Slamet dan sekitarnya. Namun, pertempuran demi pertempuran dengan tentara

Republik membuat pasukan Darul Islam semakin lemah. Jumlahnya semakin

berkurang dan terpaksa bersembunyi di hutan dan pegunungan. Amid, Kiram, dan

Jun bertahan di tempat persembunyiannya di hutan. Sebenarnya, mereka ingin

menyerah, tetapi tidak ada pilihan lain selain bersembunyi.

Tidak ada jaminan untuk mereka anggota hizbullah jika menyerah kemudian

dapat selamat. Sebab, di tubuh tentara republik sendiri ada kelompok yang memusuhi

pasukan Darul Islam tersebut. Menyerah berarti hukuman mati. Namun akhirnya

dengan bantuan Kiai Ngumar, Amid, Jun, dan Kiram dapat menyerahkan diri dan

kembali ke masyarakat dengan selamat.

Jelas waktu itu pasukan republiklah yang menyerang hizbullah dikarenakan

mereka tidak mau melebur ke dalam pasukan republik. Tetapi kalau kita membaca

kesaksian sejarah dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, mereka sebenarnya ingin

melebur ke dalam pasukan republik, tetapi saat mereka ingin melebur pasukan

republik sudah lebih dahulu menyerangnya sehingga pasukan hizbullah menyimpan

dendam terhadap pasukan republik. Terlihat pada kutipan berikut.

44

“Sabar, Nak. Innalillaha ma‟as shabirin. Kalian sendiri punya praduga

adanya pengkhianatan oleh orang-orang yang mencatut nama tentara

Republik. Dan sangat boleh jadi pengkhianat itu adalah anak-anak

komunis. O, Nak. Aku punya pengalaman belasan tahun bergaul

dengan mereka. Aku tahu, mereka tidak segan menempuh cara yang

paling kotor sekalipun untuk mencapai keinginan mereka. Jadi

sabarlah. Redam dulu kemarahan kalian. Aku akan mencari hubungan

dengan tentara Republik”

“Percuma, Kiai….”

“Kiram, aku minta kamu menghargai itikad baik Kiai Ngumar. Orang

tua itu mau berjerih payah mencari kebaikan buat kita” (Tohari, 2015:

85).

“Kiai, saya tidak ingin mengikuti Kiram dan Jun. saya mau

meletakkan senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih

memerlukan perlindungan Kiai, sebab seperti sudah dikatakan Kiram,

sangat mungkin tentara Republik akan menangkap saya”

“Kiai Ngumar mendesah. Senyumnya mengembang meskipun terasa

tawar”

“Mid keputusanmu sangat baik. Kamu bisa bersikap dewasa. Baiklah.

Tinggallah di sini sampai keadaan benar-benar aman. Nanti kamu bisa

jadi guru atau apa saja. Yang penting, sekarang kamu letakkan senjata

karena hubunganmu dengan tentara Republik sudah dikotori orang”

(Tohari, 2015: 86-87).

Berdasarkan uraian di atas, berikut beberapa fungsi pembaharu atau perombak

dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Pertama, Lingkar Tanah Lingkar Air

memiliki unsur dakwah sehingga dapat dikatakan sebagai media dakwah melalui teks

novel. Lingkar Tanah Lingkar Air memiliki peran dakwah. Kedua, Lingkar Tanah

Lingkar Air melakukan syiar Islam melalui tokoh Kiai Ngumar yang sebagian besar

argumennya didasarkan pada aturan agama Islam. Ketiga, Lingkar Tanah Lingkar Air

menujukkan perjuangan bangsa Indonesia dalam membela negara.

Unsur dakwah yang disampaikan Ahmad Tohari di dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air menjelaskan tentang rapat Hadratus Syeikh yang mengeluarkan

fatwa, bahwa berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri

45

sendiri itu wajib hukumnya bagi semua orang Islam (Hal. 24). Melalui tokoh Kiai

Ngumar, Tohari menuliskan bahwa sembahyang merupakan kewajiban yang datang

dari Tuhan untuk setiap pribadi yang percaya (Hal 54).

2. Sastra Sebagai Penghibur

Sastra sebagai penghibur diasumsikan sebagai karya yang mampu

menyenangkan atau sebagai pelipur lara bagi pembacanya. Oleh karena itu, pembaca

diharapkan memperoleh nilai kenikmatan yang memberi rasa menyenangkan dari

karya sastra yang dibacanya. Sebagai pengarang yang lincah dalam merangkai kata,

Ahmad Tohari juga menuliskan humor dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.

Humor ini memenuhi fungsi sastra sebagai penghibur (Novita M.Z, 2013: 10).

Ahmad Tohari ingin menyampaikan bahwa setiap gerak sejarah di Indonesia,

selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga dimunculkan dalam

perjalanan para tokoh cerita yang terseret arus tersebut yang semakin dalam dan

dalam, tanpa bisa kembali ke titik di mana mereka bermula.

Tidak lazim jika perjalanan hidup seorang pemuda tidak sekalipun melewati

masalah percintaan. Hal ini disadari betul oleh Ahmad Tohari, hingga muncullah

cerita Kiram yang suka menggoda Asui, seorang gadis Cina pemilik toko di depan

pasar dan harus berurusan dengan pamannya yang menjadi mata-mata Belanda

karena benci pada Kiram (Hal 41). Atau bagaimana Amid yang bersedia menikahi

Umi yang masih belia karena ayahnya, seorang kiai Darul Islam, tewas di tengah

hutan (Hal 113). Atau juga, tentang betapa indahnya rasa persahabatan atau lebih

tepatnya kemanusiaan, ketika Kiram dan Junaidi harus diam-diam membopong paksa

46

seorang dukun bayi dari kampung dan memasukkannya dalam karung ketika Umi

akan melahirkan bayi Amid di tengah hutan (Hal 138).

Pada awal-awal Kiram, Amid membantu membela negara untuk mengusir

penjajah, mereka bergabung dengan tentara republik. Amid, dan Kiram membantu

dengan sukarela dan tanpa membawa senjata sama sekali, sehingga Kiram sempat

bingung. Tentara republik akhirnya menyuruh mereka untuk mencari kapak dan

menebang pohon. Kebingungan Kiram sempat membuat Amid kesal, karena tidak

henti-hentinya Kiram bertanya kepada Amid, tetapi itu semua tidak membuat mereka

berpecahbelah. Mereka tetap saling bekerja dengan baik untuk mendapatkan kapak

dan menebang pohon. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Mid. Dalam perang juga ada acara menebang pohon? Bila hanya mengayun

kapak seperti ini, di rumah sendiri pun aku biasa melakukannya”

“Kamu jangan berisik”

“Mid, aku ingin menyandang senjata seperti mereka”

“Jangan berisik. Mungkin kamu akan mereka beri senjata bila kamu sudah

bisa menggunakannya”

“Mid, kapan kita mendapat latihan?”

“Kubilang: jangan berisik!”

“Kiram tampak kesal, tetapi ia terus menemani aku bekerja. Setelah roboh,

batang trembesi besar itu kami jadikan rintangan jalan. Tentara yang tadi

memberi perintah datang lagi, dan syukurlah, ia kelihatan puas” (Tohari,

2015: 28-29).

Kehangatan persahabatan antara Kiram, Amid, dan Jun mampu menyejukkan

hati mereka. Persahabatan yang hangat membuat Kiram membebaskan teman-

temannya untuk mencoba menggunakan senjata miliknya. Kiram yang merasa gagah

telah memiliki senjata tidak membuat dirinya menjadi pelit dan dengki. Terlihat pada

kutipan di bawah ini.

“Kiram tampak bingar. Dan jadilah dia anak muda pertama di desaku yang

menyandang senjata, sebuah Lee Enfield buatan Amerika. Kiram sangat

47

bangga, dan memang, Kiram menjadi tambah gagah. Tapi Kiram juga baik

hati, setidaknya terhadap aku dan Jun. Ia memberi kesempatan padaku dan

Jun untuk mengenal senjatanya dan berlatih menggunakannya meski tanpa

peluru. Dalam beberapa kali pencegatan terhadap pasukan Belanda, kami

menggunakan senjata Kiram itu secara bergantian” (Tohari, 2015: 35).

Perang membuat Amid, Kiram, dan Jun jarang berada di rumah, karena

keberadaannya yang selalu diintai oleh musuh membuat mereka harus berpindah-

pindah tempat. Mereka sering tinggal di hutan untuk melarikan diri dari para musuh.

Persahabatan Amid, Kiram, dan Jun memang sangat erat, ketika Amid terkena peluru

pun mereka masih asik tertawa tanpa beban. Mereka semua ikhlas menjalankan

perintah untuk membela negara dan mengusir penjajah, sehingga ketika Amid terkena

tembakan pun tidak mengeluh dan Amid menganggap bahwa dirinya belum perang.

Menurut Amid perang itu tembak-tembakan, jika hanya ia yang tertembak itu artinya

bukan perang. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Kedua orangtuamu sangat cemas, jangan-jangan kamu mati. Kain sarungmu

yang tertinggal sungguh berlumur darah”

“Jadi?”

“Ah, gampang. Mereka kuhibur. Kalau kamu benar mati, tentulah mayatmu

tergeletak dekat kain sarung itu. Karena mereka tak melihat mayat, mereka

percaya kamu masih hidup. Jadi lupakan saja”

“Kiram tertawa”

“Mid, kukira kita benar-benar sudah perang”

“Apanya yang perang?”

“Ya, kita sudah berperang. Tadi malam”

“Belum”

“Sudah. Buktinya, kamu tertembak. Untung kamu tak mati” (Tohari, 2015:

38).

Ahmad Tohari dalam karyanya memiliki kekuatan pada latar pedesaan dan

juga mengandung nilai-nilai Islam yang dominan. Ahmad Tohari sangat menguasai

alam desa beserta aspek sosiologis, sosial agama yang menguasai kehidupan sehari-

48

hari masyarakat. Ahmad Tohari lebih memilih hidup di daerah Banyumas,

mengakrabi kehidupan desa dengan segala keindahan sekaligus aspek persoalannya.

Dari lingkungan seperti inilah karya-karya Ahmad Tohari lahir. Ia mengakrabi

dan menghayati kehidupan sekitarnya, lalu dituliskan dalam teks-teks sastra. Di

hampir setiap bukunya, dari paragraf awal pembaca sudah disuguhi suasana alam

pedesaan, hutan, dan sawah. Suara binatang juga ditampilkan di dalam novel ini oleh

Ahmad Tohari. Jika tinggal di sebuah desa yang jauh dari kata keramaian sangat tidak

asing sekali mendengar suara tokek ketika langit sudah gelap. Terlihat pada kutipan

di bawah ini.

“Rokok Kiai Ngumar padam lagi. Ada bayi menangis dari rumah yang paling

dekat dengan surau. Ada suara tokek dari bubungan sebuah rumah. Dan Kiai

Ngumar kembali menghidupkan pemantik api” (Tohari, 2015: 53).

Perjuangan anggota hizbullah untuk membela negara sangatlah berat. Banyak

rintangan yang harus dilalui oleh mereka. Tembak-menembak adalah hal yang sangat

biasa jika peperangan sudah terjadi, hingga banyak yang menjadi korban terkena

peluru karena peperangan tersebut. Namun itu semua sudah menjadi resiko jika ingin

membantu negara untuk mengusir penjajah. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Kamu mimpi?” Tanya Jun masih sambil tertawa. Ia seperti tak merasakan

luka yang merobek kulit pahanya. Aku tak bisa menjawab. Kepalaku pening.

Lagi pula aku sangat tergoda oleh nasi, ikan asin bakar, dan cabai rawit. Dan

secangkir kopi panas itu” (Tohari, 2015: 64).

Novel Lingkar Tanah Lingkar Air bukanlah kisah yang penuh adegan tembak-

tembakan yang seru, tetapi lebih kepada pemikiran Amid seputar perjuangannya.

Pertanyaan Amid akan nilai perjuangannya, kerinduan Amid untuk hidup tenang dan

damai, dan juga dilema Amid antara ingin berpisah dengan teman-temannya yang

49

berbeda ideologi atau mempertahankan kesetiakawanannya. Semua dibalut begitu

menyentuh dengan gaya tulisan khas Ahmad Tohari yang sederhana dan lugas.

Terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Lemparan granat yang pertama!” leceh Kiram. Dan kami pun tertawa. Lalu

sepi. Kulihat Kiram dan Jun sama-sama menerawang. Kukira keduanya,

seperti aku, sedang tergoda oleh kenangan masa lalu” (Tohari, 2015:69).

Setelah Belanda pergi dari Indonesia, terjadi perang saudara, di mana

beberapa kelompok yang berbeda ideologi yang tadinya berjuang bersama demi

memerdekakan Indonesia, kini berbenturan dan mencoba menenangkan ideologinya

sebagai ideologi negara yang baru berdiri ini. Sungguh sulit untuk membedakan mana

lawan mana kawan, karena semua memiliki tampilan fisik yang sama. Terlihat pada

kutipan di bawah ini.

“Kulihat wajah Kang Suyud berubah menjadi marah. Urat pada kedua pipinya

menegang. Lalu ia bangkit sambil memukul meja dengan tinjunya dan pergi

tanpa pamit. Membuatku terperangah terkejut” (Tohari, 2015: 76).

Seorang perempuan diciptakan sebagai sosok yang lemah lembut, dan penuh

kasih sayang. Perempuan belum lengkap bila di sisinya tidak ada seorang laki-laki.

Tuhan sudah menciptakan hambaNya untuk berpasangan-pasangan yaitu laki-laki dan

perempuan untuk hidup bersama, saling melengkapi satu sama lain. Jika keduanya

sudah menikah ada rasa selalu ingin bersama, rasa rindu akan muncul ketika mereka

saling berjauhan.

Terkadang rasa rindu diramu sedemikian rupa untuk menciptakan sisi ironi,

hiburan tidak hanya unsur kesenangan saja yang ditampakkan. Namun, ada kalanya

bentuk rasa yang menstimulus emosi kerap digunakan sebagai senjata ampuh untuk

menghibur. Pada Lingkar Tanah Lingkar Air tokoh Amid adalah seseorang yang jauh

50

dari istrinya karena Amid diharuskan tinggal di hutan untuk membantu negara

mengusir penjajah, sehingga ia harus jauh dari istrinya. Amid selalu memikirkan istri

dan anaknya yang jauh di sana, terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Istri dan anak memang sering membuat hati lelaki lemah, potong

Kiram. Terasa ada nada sindiran dalam kata-katanya” (Tohari, 2015:

21).

“Berapa bulan kandungan istrimu? Tanya Kiram”

“Lima atau enam, jawabku tanpa semangat karena dalam kepalaku

masih saja tersisa bayangan masa lalu”

“Jenguklah dia. Tetapi segera kembali bila kangenmu sudah hilang”

“Aku tersenyum lagi. Ah, manisnya bila ku dengar kawanku berbicara

tentang sesuatu yang lebih manusiawi”

“Keesokan harinya aku melaksanakan keinginan yang sudah lama

kupendam, menjenguk Umi di daerah Dayeuh Luhur. Ya, Umi yang

terlalu muda ketika kuambil sebagai istri. Umi yang ketika itu masih

lima belas atau enak belas tahun. Aku terpaksa oleh keadaan harus

menikah dengan gadis belia itu karena ia sebatang kara. Ayah Umi,

Kiai Had, yang tiga tahun menjadi imam laskar DI, meninggal dalam

persembunyian di sebuah gua. Ketika melepas nyawa, Kiai Had hanya

berteman Umi. Gadis kecil ini tak mau berpisah sejak awal ayahnya

masuk hutan untuk bergabung dengan barisan Darul Islam” (Tohari,

2015: 113).

Berdasarkan uraian di atas, fungsi penghibur dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Lingkar Tanah Lingkar Air

menjalankan fungsi penghibur dengan cara tidak sekedar menyenangkan, tetapi juga

menenangkan. Kedua, Lingkar Tanah Lingkar Air menjalankan fungsi penghibur

dengan cara tidak menyakiti. Ketiga, Lingkar Tanah Lingkar Air menjalankan fungsi

penghibur dengan penuh kasih sayang.

3. Sintesis Antara Fungsi Sastra Sebagai Pembaharu/ Perombak dan

Sastra Sebagai Penghibur

51

Sintesis antara fungsi sastra sebagai pembaharu/ perombak dan penghibur

diartikan bahwa sastra dapat memberikan suatu kebaruan yang juga sekaligus dapat

mengibur pembacanya. Sintesis fungsi sastra sebagai pembaharu/ perombak dengan

fungsi sastra sebagai penghibur ada dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.

Mencari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap

hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra, akan tersimpan nilai suatu pesan yang

berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk

memengaruhi pola pikir pembaca agar ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar

mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru dan sebaliknya. Karya sastra

diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, melainkan untuk dipahami dan diambil

manfaatnya.

Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya

memuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu

menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra,

berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu

mendidik manusia sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai

makhluk yang dikarunia akal, pikiran, dan perasaan.

Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan tentang bagaimana beratnya

perjuangan hidup manusia dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, baik

sebagai khalifah Allah Swt, di bumi, maupun sebagai ciptaan yang menyembah

kepada Khaliqnya. Hal ini sesuai dengan adanya pranata yang berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan manusia untuk berbakti pada Tuhan dan berhubungan dengan

alam. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

52

“Apa yang paling menarik bagiku pada mayat letnan itu adalah pistolnya,

sebuah FN buatan Belgia dengan tiga magasin yang penuh peluruh. Aku

segera mengambil yang sangat kami perlukan itu. Tetapi aku juga merogoh

kantong celananya yang kombor untuk mencari rokok atau uang. Dan apa

yang kudapatkan dari sana amat memukul sanubariku: seuntai tasbih dan

sebuah Quran kecil. Kedua benda itu, bahkan dalam suasana dekat mayat

pemiliknya, rasanya tak berhenti memancarkan kekudusan. Dan mayat

pemiliknya, tak peduli ia seorang militer Republik, tergeletak di depan mataku

karena peluru yang kutembakkan” (Tohari, 2015: 18).

Lingkar Tanah Lingkar Air adalah novel yang penuh dengan ketegangan, para

pelaku utamanya yang selalu terseret pada permasalahan yang tidak pernah

diinginkan. Para tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air yang ikhlas dan rela untuk ikut

berperang, tetapi mereka sebatas dipekerjakan untuk membantu tentara republik.

Tetapi Kiram salah seorang yang ulet dan cekatan meski sering direndahkan karena

buta huruf, tidak puas hanya dengan membantu. Kiram juga ingin terlibat. Akhirnya

mereka membentuk barisan sendiri yang bernama hizbullah, barisan yang mandiri

tidak terikat pada tentara republik. Barisan yang berdasarkan keikhlasan dan sukarela.

Barisan yang akan menjadi tonggak awal hidup mereka. Terlihat pada kutipan-

kutipan di bawah ini.

“Makin siang terasa ketegangan makin memuncak. Beredar kabar dari

kalangan kami bahwa jumlah pasukan Belanda yang diperkirakan

lewat sangat besar. Perang pasti seru. Aku sendiri sulit membayangkan

sesuatu. Seru, ramai, atau dahsyat, entahlah. Aku belum pernah

menyaksikan sebuah peperangan” (Tohari, 2015: 29).

“Lalu aku ingat ngelmu pemberian Kian Ngumar: bila sedang diburu

bahaya seperti itu, segala pakaian yang melekat harus dibuang agar

para pengejar terkecoh. Jadi malam itu aku lari kocar-kacir tanpa kain

sepotong pun” (Tohari, 2015: 36).

Anggota hizbullah terpaksa menjalani hidup sebagai orang hutan. Hidup

berpindah-pindah agar mereka tidak diketahui keberadaannya. Merampok desa bila

53

perlu untuk mendapat barang kebutuhan. Makan apa saja yang tersedia di hutan.

Mereka juga harus rela berjauhan dari keluarga yang mereka sayang. Tidak ada

pilihan lain selain terus bertahan. Apalagi mereka menemukan fakta pahit bahwa

mereka tidak dapat kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat yang terlanjur diliputi

rasa benci pada mereka, yang sebenarnya bukan salah mereka. Tetapi sesekali tidak

jarang dari mereka nekat untuk kembali ke desa sekedar untuk menjenguk keluarga

mereka. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Kudengar Emak mendesah, lalu berbisik memintaku masuk lewat dapur.

Gelap. Emak memeluk dan mengelus kepalaku dalam kegelapan. Emak

menangis, tapi aku tak bisa melihat raut wajahnya. Ayah juga bangun dan aku

melihat sosoknya dalam keremangan. Melalui tangisnya, aku mengerti, selalu

ini Emak tak tahu pasti apakah aku masih hidup atau sudah mati. Dan lewat

tangis yang lebih memilukan, aku juga tahu bahwa Emak tidak ingin aku

tinggal lama karena keselamatanku sangat tak terjamin bila aku sampai

terlihat oleh orang luar”

“Aku membiarkan Emak terus tertahan-tahan dalam isaknya. Setelah agak

mereda, aku minta Ayah menyalakan pelita. Semula Ayah menolak karena

khawatir ada orang mengintip. Namun aku tetap minta pelita karena aku ingin

melihat wajah Emak, juga Ayah. Akhirnya dua wajah yang lama kurindukan

itu muncul dalam cahaya temaram dian kecil. Ah, Emak sudah sudah tua.

Rambutnya mulai putih dan wajahnya letih” (Tohari, 2015: 101).

Novel Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan karya dari sastrawan kondang,

Ahmad Tohari. Tohari sangat detail dalam membangun kalimat-kalimat dengan

paparan daerah-daerah terpencil dan hutan-hutan begitu memukau, karena Tohari

sendiri pun menetap di sebuah desa di daerah Banyumas, sehingga ia dapat

menggambarkannya dengan apik. Sebagai salah satu sastrawan terpandang di

Indonesia, kepiawaian Tohari dalam bersastra sudah diakui keunggulannya oleh

kalangan sastrawan dan pengamat sastra.

54

Ahmad Tohari yang juga ikut merasakan geger politik pada masa setelah

kemerdekaan memiliki rasa gelisah terhadap tragedi tersebut, terlebih tragedi tersebut

juga terjadi di daerah tempat tinggalnya yaitu Banyumas. Tohari ingin

menyampaikan kritik secara baik-baik melalui tulisan yang diharapkan tidak

menimbulkan konflik. Melalui sarana fiksi Tohari menyampaikan kritik dan saran

secara apik.

Melalui novel Lingkar Tanah Lingkar Air, masyarakat diajak untuk menilik

kembali mengenai sejarah bangsa Indonesia mengenai pergolakan politik dan

mengenai Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia. Masyarakat juga diajak untuk

paham agama bukan sekedar tahu agama. Masyarakat dirangkul untuk lebih

membuka wawasan sosial. Jadi, Lingkar Tanah Lingkar Air memiliki fungsi

pembaharu atau perombak, memiliki fungsi sebagai penghibur, dan memiliki sintesis

antara fungsi sastra sebagai pembaharu/ perombak dan penghibur. Hal ini sesuai

dengan ketiga fungsi sosial sastra dalam teori sosiologi sastra Ian Watt.

55

BAB V

PENUTUP

Bab lima dalam penulisan ini menguraikan tentang simpulan dan saran.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan peneliti, maka dapat ditarik beberapa

simpulan serta saran-saran yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan

khazanah sastra Indonesia agar lebih baik lagi.

A. Simpulan

1) Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air mengisahkan pergulatan batin

tokoh-tokohnya yaitu Amid, Kiram dan Jun untuk memilih kemungkinan

menyerahkan diri ke pangkuan Republik atau tetap bertahan di hutan sebagai prajurit

Darul Islam (DI) dengan kondisi yang semakin terdesak. Pilihan untuk membela

tanah air sangat dipegang erat oleh para hizbullah, di saat keadaan seperti apapun dan

dimanapun mereka berada mereka harus siap untuk membantu pasukan republik

untuk melawan penjajah Belanda. Pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad

Tohari juga ingin menyampaikan pesan-pesan dan misi keagamaan (Islam). Dalam

novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius pada diri para

pelakunya, di antaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa memberikan nasihat-

nasihat keagamaan pada santri-santrinya, satu di antaranya adalah Amid.

Banyak yang dapat dipelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya

untuk Indonesia sekarang ini dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal

55

56

dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi

baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan

oleh pusat, bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk

kepentingan politik. Kesempatan Amid, Kiram dan Jun ikut serta menumpas

pemberontakan PKI pada akhir tahun 1965 dimaksudkan sebagai pembelaan

pengarang terhadap pejuang-pejuang Darul Islam yang dahulu dianggap

pemberontak. Sebenarnya, perlawanan mereka terkait dengan ketidaktegasan sikap

politik Pemerintah RI (Sukarno-Hatta) terhadap kelicikan orang-orang komunis yang

mencatut nama Darul Islam untuk berbagai kejahatan; seperti perampokan,

pembakaran hutan dan pemerkosaan.

2) Pada analisis novel Lingkar Tanah Lingkar Air juga diketahui bahwa

sastra sebagai perombak yang diharapkan dapat memberikan perubahan. Sebagai

contoh adalah karya sastra yang memiliki unsur perjuangan sehingga dapat

menggerakan masyarakat untuk berjuang. Tokoh dalam cerita novel Lingkar Tanah

Lingkar Air adalah Amid, Kiram, Kang Suyud, Jun, Kiai Ngumar dan Umi. Amid,

Kiram, dan Jun merupakan santri yang mengaji pada Kiai Ngumar, dengan restu Kiai

Ngumar, Amid, Kiram, dan Jun ikut berperang mengusir penjajah Belanda. Namun,

mereka tergabung dalam kelompok yang disebut hizbullah. Kang Suyud juga ada di

kelompok ini. Kelompok ini disamakan oleh satu keyakinan perjuangan yaitu

mengusir penjajah dan menegakkan Islam.

Sastra sebagai penghibur juga terdapat pada novel Lingkar Tanah Lingkar

Air, di sini dijelaskan bahwa persahabatan antara Amid, Kiram, dan Jun sangat erat

57

dan penuh kekeluargaan. Tohari menuliskan sisi hiburan dengan sangat apik melalui

tokoh-tokoh dalam novel. Muncullah cerita Kiram yang suka menggoda Asui,

seorang gadis Cina pemilik toko di depan pasar dan harus berurusan dengan

pamannya yang menjadi mata-mata Belanda karena benci pada Kiram, dan juga

tentang betapa indahnya rasa persahabatan atau lebih tepatnya kemanusiaan, ketika

Kiram dan Junaidi harus diam-diam membopong paksa seorang dukun bayi dari

kampung dan memasukkannya dalam karung ketika Umi akan melahirkan bayi Amid

di tengah hutan.

Pada analisis novel Lingkar Tanah Lingkar Air juga dijelaskan mengenai

sintesis antara sastra sebagai pembaharu/ perombak dan sastra sebagai penghibur

yang diartikan bahwa sastra dapat memberikan suatu kebaruan yang juga sekaligus

dapat mengibur pembacanya. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air adalah novel yang

penuh dengan ketegangan, para pelaku utamanya yang selalu terseret pada

permasalahan yang tidak pernah diinginkan. Para tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air

yang ikhlas dan rela untuk ikut berperang, tetapi mereka sebatas dipekerjakan untuk

membantu tentara republik. Tetapi Kiram salah seorang yang ulet dan cekatan meski

sering direndahkan karena buta huruf, tidak puas hanya dengan membantu. Kiram

juga ingin terlibat. Akhirnya mereka membentuk barisan sendiri yang bernama

hizbullah, barisan yang mandiri tidak terikat pada tentara republik. Barisan yang

berdasarkan keikhlasan dan sukarela. Barisan yang akan menjadi tonggak awal hidup

mereka.

58

B. Saran

1. Peneliti menyadari bahwa hasil penulisan ini masih jauh dari sempurna.

Maka, peneliti menyarankan supaya penulisan ini dapat menjadi jembatan bagi

pembaca untuk lebih mengembangkan penerapan ilmu sosiologi sastra khususnya

sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air.

2. Dalam perjalanan penelitian ini, peneliti menemukan berbagai kesulitan, maka

untuk peneliti selanjutnya disarankan agar lebih teliti lagi dalam menentukan teknik

analisis data yang berhubungan dengan bidang sastra. Kemudian lebih cermat lagi

dalam menggunakan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan sistematika penulisan.

3. Penulis menyadari masih banyak kekurangan serta kelemahan dalam analisis

novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini. Peneliti menyarankan novel Lingkar Tanah

Lingkar Air untuk dikaji lebih lanjut secara lebih mendalam, yaitu psikologi sastra,

ataupun strukturalisme. Hal ini dikarenakan peneliti yakin masih banyak masalah

yang belum terungkap dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air sehingga diharapkan

penelitian novel Lingkar Tanah Lingkar Air akan lebih banyak manfaatnya karena

tidak hanya ditinjau dari satu sisi saja. Setelah membaca hasil penelitian ini semoga

pembaca tertarik mengkaji novel Lingkar Tanah Lingkar Air lebih lanjut.

59

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Rachmad Bayu. 2009. Konflik Sosial Politik dalam Novel Tapol Karya

Ngarto Februana: Analisis Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta:

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Armaya, Rossa Witha. 2010. Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan

Pornoaksi dalam Teks Drama Sidang Susila Karya Ayu Utami:

Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX (Sistem

Politik Kolonial Dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda).

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

_______. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

Dijk, Van Cornelis. 1995. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta:

Anem Kosong Anem.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah

Pergerakan Nasional (Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme).

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ling, Tan Swie. 2010. G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran

Nasionalisme (Pemikiran Cina Jelata Korban Orba). Depok:

Komunitas Bambu.

60

Milles, Matthew B.dan A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif:

Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru (edisi terjemahan oleh

Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: Penerbit UI Press.

Murtini, dan Mugijatna. 2008. Rekonstruksi Konflik Antara DI/TII Dengan

Tentara Republik Indonesia Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air Oleh

Ahmad Tohari. Surakarta: Fakultas Sastra Dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret.

Moleong, Lexy. J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosda Karya.

Novita M.Z, Mardhiyan. 2012. Sajak Dari Bumi Melayu: Kumpulan Puisi

Kembara Sastra. Jakarta: Fadli Zon Library.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:

Gama Media.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Sangidu. “Data dan Objek Penelitian dalam Penelitian Sastra” dalam

Humaniora. 1996. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Satoto, Sudiro. 1995. Metode Penelitian Sastra (BPK). Surakarta: UNS Press.

Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra Padang. Angkasa Raya.

_________. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: CV. Angkasa.

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Buku Seru.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:

Pustaka Jaya.

59

62

LAMPIRAN

A. Sinopsis Novel Lingkar Tanah Lingkar Air

Novel ini adalah novel yang bertemakan tentang perjuangan kaum muda

(anak-anak muda) untuk membela tanah air dari penjajah Belanda. Masalah serius

timbul setelah kemerdekaan, banyak organisasi pemuda yang ingin mendirikan

negara sendiri karena tidak puas dengan pemerintahan yang ada. Pada Maret 1946,

Amid bersama beberapa temannya, menjadi murid Kiai Ngumar, mereka belajar silat

dan ilmu agama. Pada suatu malam Amid dipanggil Kiai Ngumar, dia dan temannya

diminta untuk bersiap-siap berperang, karena ada fatwa yang mewajibkan untuk

melawan Belanda. Sejak Kiai Ngumar meminta Kiram dan Amid untuk bersiap-siap

tidak terjadi perkembangan apa-apa, hingga tiga bulan sesudahnya Kiai Ngumar

kembali memanggil mereka berdua, mereka diminta untuk berangkat ke Purwokerto.

Sampai di Purwokerto mereka akan mendapat latihan ketentaraan, tetapi kabar

itu berubah dengan cepat. Mereka harus membantu Pasukan Brotosewoyo yang

sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Mereka kecewa

sesampainya di sana mereka hanya disuruh menebangi pohon sebagai penghalang

jalan bukan untuk berperang dan ternyata tentara Belanda juga tidak melewati jalur

tersebut malah berputar lewat Purbalingga, akhirnya para pemuda yang

diperbantukan itu diminta untuk pulang tetapi apabila mereka dibutuhkan mereka

harus siap untuk membantu tentara lagi.

Pada suatu hari Amid dan Kiram diminta lagi untuk membantu tentara. Pagi-

pagi mereka menuju jalan besar di sebelah selatan, keempat tentara bersembunyi di

62

63

balik rumpun pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Tak lama

kemudian iring-iringan tentara Belanda datang, kemudian terjadi ledakan hebat dan

terjadi perang singkat dan banyak tentara Belanda yang tewas. Dengan berani Kiram

lari ketengah jalan mengambil sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya.

Kemudian semuanya lari ke arah utara. Amid, Kiram dan keempat tentara sampai di

rumah Kiai Ngumar. Dari pencegatan hari itu tentara mendapat tambahan tiga senjata

dan salah satunya masih dibawa Kiram walau salah seorang tentara telah meminta

Kiram untuk menyerahkan senjata tersebut. Atas jaminan Kiai Ngumar kalau senjata

itu akan digunakan untuk membantu para tentara dan para tentara dapat menerima

mereka sepakat untuk membentuk kelompok perlawanan karena Jun, Jalal dan Kang

Suyud sudah setuju untuk ikut bergabung.

Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara

resmi. Hizbullah tidak memiliki musuh lagi, dari peristiwa ini muncul masalah

mereka harus meleburkan diri ke dalam tentara republik atau membubarkan diri, atas

anjuran Kiai Ngumar mereka pergi ke Kebumen untuk bergabung dengan tentara

Republik, banyak kelompok lain yang melebur ke dalam tentara Republik mereka

akan diangkut dengan kereta api menuju Purwokerto untuk dilantik secara resmi.

Di stasiun Kebumen ketika mereka bersiap-siap, tiba-tiba mereka diserang

dan mereka membalas menembak dan bertempur secara serempak tanpa mengetahui

siapa lawan maupun kawan. Kereta api benar-benar lumpuh dan Hizbullah bingung

siapa sebenarnya yang menyerang mereka dan yang pasti mereka merasa dikhianati.

Dalam kebersamaan rasa itu seluruh anggota Hizbullah yang pro maupun kontra

terhadap peleburan pasukan bersama-sama mengundurkan diri menuju Somalangu.

64

Tentara Republik menganggap anak-anak Hizbullah sebagai pemberontak. Amid,

Kiram, Jun, Jalal dan Kang Suyud akhirnya bergabung dengan Darul Islam mereka

bergerilya melawan Tentara Republik. Kekuatan Darul Islam semakin lama semakin

melemah.

Akhir Juni 1962, seorang DI yang berpangkalan di wilayah Gunung Slamet

datang ke tempat persembunyian Amid dan Kiram, nama anggota DI tersebut adalah

Toyib. Ia membawa berita bahwa Kartosuwiryo, Klifah Darul Islam tertangkap

Pasukan Republik, Toyib juga membawa selebaran yang berisi seruan agar para

anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri dengan jaminan

pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Amid serta beberapa temannya terkejut mendengar berita itu, rasa tidak

percaya dan kebingungan melanda mereka, perdebatan mulai timbul di antara

mereka, tetapi mereka akhirnya memutuskan untuk mematuhi seruan tersebut. Malam

berikutnya mereka turun gunung menuju Porwokerto. Di Purwokerto mereka diterima

aparat keamanan, kemudian diangkut ke dalam sebuah barak penampungan. Selama

sebulan mereka mendapat indoktrinasi dan kegiatan-kegiatan yang lain. Amid, Kiram

dan Jun tidak begitu senang ketika mereka diperbolehkan pulang, rasa canggung dan

malu menghantui mereka. Pada bulan pertama setelah Amid pulang kegiatan orang-

orang komunis semakin gencar, puncak kekacauan terjadi ketika tersiar kabar terjadi

perebutan kekuasaan di Jakarta, beberapa Jendral di bunuh, tersiar bahwa yang

menjadi dalang semua itu adalah orang-orang komunis.

Pada suatu hari ada mobil militer berhenti di depan rumah Kiai Ngumar mobil

itu menjemput Amid, Kiram dan Jun untuk memberi informasi mengenai pasukan

65

komunis yang berbasis disekitar hutan jati kepada komandan tentara mereka

bergantian memberi keterangan tentang apa yang mereka ketahui dan komandan

memerintahkan mereka untuk menjadi petunjuk jalan, tetapi Kiram mengusulkan

supaya mereka diberi kesempatan untuk ikut bertempur melawan pasukan komunis

itu.

Tepat pukul satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas,

Amid, Kiram dan Jun ada bersama mereka. Pukul tiga pagi, truk berhenti di hutan jati

Cigobang, Kiram meminta izin kepada komandan tentara untuk menjadi pendobrak

pertahanan lawan, Amid dan Jun mengikuti. Kiram bergerak di ujung pasukan, Amid

beberapa kali menarik picu senjata namun tak lama kemudian ia merasa pundak dan

belikatnya panas, akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.

Antara sadar dan tidak Amid mendengar suara orang-orang yang tak

dikenalnya, ia membuka mata pundak dan punggungnya berdenyut sakit bukan main,

Amid mendengar Kiai Ngumar, wajah Kiai itu perlahan-lahan muncul dalam layar

penglihatan Amid. Kiai Ngumar berucap ”Laa ilaaha illalah”. Amid tak kuasa dia

merasa mulutnya bergerak ingin meninggalkan wasiat untuk menjaga anak dan

istrinya tapi dia tak kuasa dan Amid akhirnya meninggal.

B. Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia

1. Sudut Pandang Historis: Sejarah Terbentuknya Darul Islam

Di Indonesia, kata-kata Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-

gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan keras untuk merealisasikan cita-cita

Negara Islam Indonesia. Keinginan untuk mendirikan sebuah Negara yang diperintah

66

atas dasar syariat Islam, telah ada sejak lama, dan merupakan gagasan dari seorang

tokoh bernama Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, yang lebih akrab disebut

Kartosuwirjo. Kartosuwirjo yang terkenal sebagai pribadi yang sederhana dan sangat

keras kepala dalam mempertahankan argumennya telah melewati masa panjang sejak

keinginannya itu muncul hingga akhirnya ia mendapat kesempatan untuk

mendeklarasikan Darul Islam Indonesia. Sebelum mendapatkan kesempatan

mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, Kartosuwirjo bersama rekan-rekannya

harus berjuang keras. Mereka harus menghadapi musuh yang berasal dari bangsa

Indonesia sendiri dan juga bangsa asing yang masih berusaha untuk melakukan

penjajahan kembali.

Pada tanggal 14 Agustus 1947 setelah Aksi Militer I Belanda, Kartosuwirjo

menyatakana perang suci melawan Belanda. ia membagi wilayahnya dalam beberapa

daerah yang terdiri dari Daerah I (Ibukota Negara), Daerah II yang meliputi Jawa

Barat, dan Daerah III di mana penduduknya menjadi pengikutnya.

Gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Kartosuwurjo di Jawa Barat

selain berhasil memproklamasikan Darul Islam, juga membentuk sebuah angkatan

tentara, yang diberi nama TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini mula-mula

berakar dari konflik dan perpecahan dalam tubuh partai PSII pada masa pergerakan

Nasional. Pada perang kemerdekaan, Kartosuwirjo menolak hasil persetujuan

Renville.

Kesempatan untuk mendeklarasikan Darul Islam bermula ketika Agresi

Militer II Belanda telah berakhir. Pada saat itu, tepatnya pada tanggal 04 Agustus

1949, disusunlah Delegasi Indonesia yang akan mengikuti Komperensi Meja Bundar

67

di Den Haag Belanda, dan diputuskanlah Moh. Hatta untuk berangkat ke Den Haag

sebagai perwakilan dari Indonesia, pada tanggal 06 Agustus 1949.

Sebelum Moh. Hatta berangkat ke Belanda, ia memerintahkan Muh. Natsri

untuk menulis sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada Kartosuwirjo. Surat

tersebut berisi permintaan Moh. Hatta kepada Kartosuwirjo untuk menghentikan

semua permusuhannya terhadap angkatan bersenjata Republik yang oleh

Kartosuwirjo disebut sebagai “Tentara Liar”. Surat tersebut akhirnya sampailah

kepada Kartosuwirjo dan ditolak olehnya. Namun kepergian Moh. Hatta ke Den Haag

Belanda yang menyebabkan terjadinya vacuum (kekosongan) kekuasaan ternyata

membuka peluang bagi Kartosuwirjo dan Dewan Imamah untuk segera

memroklamirkan Negara Islam Indonesia.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo. Darul Islam berhasil

didirikan atau diproklamirkan pada tanggal 07 Agustus 1949 di desa Cisampang.

Struktur politik Negara Islam Indonesia ini diatur dalam Konstitusinya, yakni Kanun

Azasy. Kehadiran Darul Islam merupakan reaksi penentangan terhadap pemerintahan

Republik saat itu. Lembaga tertinggi dalam Darul Islam ialah Majelis Syuro. Selain

itu terdapat pula Dewan Fatwa yang bertugas mengatasi masalah-masalah yang

timbul di lingkungannya. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, Kartosuwirjo

dibantu oleh Dewan Imamah. Sebelum dibentuk Majlis Syuro, semua kekuasaan

berada di bawah Kartosuwirjo, termasuk jabatannya selaku Panglima TII.

Setelah berdiri, Darul Islam mendapat tantangan dari tentara Republik

sepanjang tahun 1950-an. Kekuatan militernya memuncak pada 1957, dengan

keberhasilan mereka menghimpun hampir 13.000 personil dengan 3.000 senjata.

68

Pasukannya berhasil menguasai kawasan laut di sekitar Tasikmalaya, Ciamis, dan

Garut. Namun meskipun demikian, pergerakan Darul Islam terkesan sangat lamat dan

mereka tidak berhasil menyatukan kekuatan sehingga sangat mudah diprofokasi oleh

operasi-operasi militer tentara republik.

Gerakan Darul Islam yang berpusat di Jawa Barat ternyata dapat menularkan

semangat jihadnya kepada muslim lain yang berada di luar Jawa Barat, seperti di

Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan beberapa daerah

lainnya.

2. Penggagas Darul Islam: Biografi Kartosuwirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo dilahirkan pada tanggal 07 Januari 1905 di

Cepu (antara Blora dan Bojonegoro), sebuah desa kecil di perbatasan Jawa Tengah

dan Jawa Timur. Istrinya bernama Dewi Siti Kalsum, yang dinikahinya pada April

1929. Ayahnya merupakan seorang pedagang candu yang kemudian diangkat sebagai

pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu.

Ketika berusia enam tahun, ia belajar di sebuah Sekolah Rakyat di Pamotan,

kemudian ia pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Namun

pada tahun 1919, ia pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bojonegoro.

Setelah lulus dari ELS, Kartosuwirjo kemudian melanjutkan studinya ke sebuah

sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) yang ada di

Surabaya. Ia kemudian melanjutkan sekolah kedoterannya di Jakarta, tepatnya di

Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran).

Kartosuwirjo pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto bersama Soekarno.

Berdasarkan catatan sejarah, Kartosuwirjo senang dengan dunia politik. Hal tersebut

69

dapat dibuktikan melalui peranannya dalam beberapa organisasi, diantaranya adalah

pada tahun 1923 ia aktif di gerakan Pemuda Jong Java di Surabaya dan Jong

Islamieten Bond (JIB). Melalui organisasi-organisasi ini, ia kemudian berkenalan

dengan beberapa tokoh besar, seperti Agus Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto

yang kemudian mengangkatnya sebagai sekretaris pribadinya. Sedangkan

pengetahuannya mengenai Islam ia dapatkan melalui beberapa kiai ketika ia berada di

Malangbong, diantaranya adalah Kiai Jusuf Tauziri dan Kiai Ardiwisastra.

Kartosuwirjo kemudian berkarir melalui Fadjar Asia. Pada awalnya, ia hanya

bekerja sebagai korektor, kemudian ia diangkat menjadi reporter di Fadjar Asia. pada

tahun 1929, ia kemudian diangkat menjadi redaktur Fadjar Asia. Sejak saat itulah ia

mulai menerbitkan artikel-artikel yang pada mulanya hanya ditujukan kepada

bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan pemerintahan kolonial Belanda

Kartosuwirjo terkenal sebagai seorang yang sangat sederhana. Kariernya kemudian

melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII

merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam.

Kartosuwirjo yang terus gencar melakukan usaha pendeklarasian Darul Islam

menempuh segala cara. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah institut atau

pesantren yang diberi nama Suffah di Malangbong. Usulan tersebut diterima oleh

kongres PSII kedua pada Maret 1940. Institute ini pada mulanya dimaksudkan untuk

memberikan pendidikan umum dan agama kepada murid-muridnya. Namun pada

perkembangannya, institut ini berubah menjadi suatu lembaga yang memberikan

latihan kemiliteran selama pendudukan Jepang, terkhusus kepada laskar Hizbullah

dan Sabilillah. Lembaga ini disusun menurut sistem pesantren dan madrasah lama.

70

Penulis buku 'Hari Terakhir Kartosoewirjo', Fadli Zon menyebut ada tiga

kejahatan politik yang disangkakan pemerintah pada Kartosoewirjo. Pertama,

memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak menggulingkan

pemerintahan yang sah. Kedua, dituduh ingin memisahkan diri dari Indonesia, dan

ketiga Kartosoewirjo dituduh melakukan makar pembunuhan terhadap presiden.

Namun Kartosuwirjo hanya mengakui bahwa penyerangan yang ia lakukan hanya

bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan saat itu.

Pada tahun 1941, Kartosuwirjo dihukum oleh pengadilan negeri Subang

dengan hukuman penjara 1 ½ bulan karena ia dianggap sebagai mata-mata Jepang.

Selanjutnya ia masih gencar melakukan usaha dan perlawanan terhadap pemerintahan

pusat demi merealisasikan cita-citanya, namun kehidupannya harus berakhir tragis.

Setelah penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Suhanda atas dirinya pada 04 Juni

1962, akhirnya pada 16 Agustus 1962 ia dijatuhkan vonis hukuman mati. Pada

September 1962, tepatnya di pulau Ubi Kepulauan Seribu ia ditembak mati.

3. Akhir dari Darul Islam / Negara Islam Indonesia

Berakhirnya Darul Islam yang dipelopori oleh Kartosuwirjo ditandai dengan

dihadapkannya Kartosuwirjo di depan Mahkamah Angkatan Darat. Namun sebelum

peristiwa itu benar-benar terjadi, Darul Islam mengalami banyak tekanan dari

pemerintah yang saat itu telah dipimpin oleh presiden Soekarno. Pemerintah

Republik Indonesia juga sangat gencar melontarkan penumpasan dan pengisolasian

terhadap gerakan yang satu ini.

Penumpasan dan pengisolasian itu dimulai pada pertengahan tahun 1960 dan

diawali di kabupaten Lebak yang termasuk Korem Banten. Pada operasi militer ini,

71

penduduk setempat diikutsertakan. Pada mulanya, operasi militer ini biasa disebut

dengan “Perang Bedok”, dan kemudian dikenal dengan sistem “Pagar Betis”. Operasi

militer ini cukup membuat pasukan Darul Islam semakin melemah. Hingga akhirnya

pemerintah terus gencar melancarkan operasi-operasi militer berikutnya.

Dari kubu Darul Islam itu sendiri, dengan keadaan yang semakin terdesak,

akhirnya pada tanggal 11 Juni 1961 dikeluarkanlah “Perintah Perang Semesta” (PPS)

yang tidak ditandatangani oleh Kartosuwirjo, melainkan oleh Taruna. Namun usaha

itu juga ternyata tidak dapat mempertahankan keeksistensian Darul Islam. Kubu

mereka semakin lemah, dan banyak dari pengikutnya yang menyerahkan diri kepada

pemerintah pusat. Di antaranya adalah Zainal Abidin dan Ateng Djaelani.

Pada tanggal 01 April 1962, pemerintah melancarkan operasi Brata Yudha I.

Menjelang hari-hari pertama di bulan Juni, Letda Suhanda, yang merupakan

pemimpin dari Kompi C Batalyon Kujang II Siliwangi mengejar satu kelompok

pasukan Darul Islam yang sedang berjalan pulang ke markas mereka setelah

mengadakan Penggarongan. Sebenarnya pengejaran tersebut telah dilakukan sejak

akhir bulan april, namun baru menemukan titik terang pada awal bulan juni tersebut.

dalam pengejaran tersebut, letda Suhanda kehilangan jejak dari pasukan Darul Islam,

sehingga ia harus membagai pasukannya ke dalam tiga peleton dengan masing-

masing 45 pasukan.

Pada tanggal 4 Juni, pasukan Suhanda menemukan tempat persembunyian

pasukan Darul Islam tepatnya di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dengan

Gunung Geber. Pada penggerebekan tersebut terjadi, cuaca sangat buruk. Hujan turun

dengan derasnya disertai angin kencang. Situasi demikian membuat pasukan Suhanda

72

leluasa untuk bergerak maju. Mereka mendekati sebuah pohon yang roboh, dan di

sana mereka dapat melihat sebuah gubuk yang dibangun secara darurat. Dengan

mudahnya pasukan Suhanda dapat menguasai gubuk tersebut dan kemudian bertanya

siapa komandan di gubuk tersebut. Kemudian Suhanda ditunjukkan sebuah gubuk

yang terletak di belakang gubuk sebelumnya, dan di sanalah ia menemukan

Kartosuwirjo yang sedang terbaring lemah karena sakit yang dideritanya.

Kartosuwirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia kemudian dibawa ke Majalengka.

Selanjutnya, Kartosuwirjo dibawa ke markas Ibrahim Adjie dan seterusnya dibawa ke

Garut untuk diserahkan kepada pihak keamanan. Demikianlah akhir dari Darul Islam

pimpinan Kartosuwirjo yang sempat berdiri selama lebih kurang 13 tahun.