cermin dunia kedokteran.docx

Upload: ade-rezeki

Post on 04-Mar-2016

52 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

SEMOGA BERGUNA

TRANSCRIPT

ERMIN DUNIA KEDOKTERAN

EDITORIAL Masalah gangguan peredaran darah otak menjadi artikelpembuka di edisi ini; masalah ini memang merupakan masalah utamadi bidang neurologi, bahkan juga di bidang kesehatan/kedokteran;bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.Edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini berisi berbagai masalahdi bidang neurologi ; termasuk yang membahas komplikasi flu burungyang bisa menyerang susunan saraf pusat. Selain itu juga ada artikelhasil penelitian komponen tumbuhan yang bersifat narkotik. Artikel mengenai stem cell akan kami usahakan selalu ada di tiappenerbitan agar selalu dapat mengikuti perkembangan atas bidangyang sedang berkembang pesat ini. Redaksi selalu berharap agar artikel yang diterbitkan dapatberguna menambah wawasan sejawat terhadap masalah tertentu dandapat dimanfaatkan dalam praktek sehari-hari.Selamat membaca, komentar sejawat selalu kami harapkan gunaperbaikan mutu majalah ini.

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagaiaspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidangtersebut.Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untukditerbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakandalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama,tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakanbahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yangberlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesiayang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhakmengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertaidengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembacayang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrakdalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrakberbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebihdisukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalambentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap,disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tintahitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutanpemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisahdalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalamnaskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals(Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).Contoh :1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology:Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. CerminDunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, GedungKALBE, Jl. Letjen Suprapto Kav.4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahusecara tertulis.Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertaidengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

TINJAUAN PUSTAKA

Hipertensi dan KomplikasiSerebrovaskularEdi SugiyantoPeserta didik Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RS Dr Kariadi Semarang

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan kelainan kardiovaskular yangmasih banyak dijumpai dalam masyarakat. Prevalensihipertensi dalam masyarakat Indonesia cukup tinggi meskipuntidak setinggi di negara-negara yang sudah maju yaitu sekitar10%. Penanganan penderita hipertensi di Indonesia masihbelum baik dan drop out terapi masih cukup tinggi, sehinggatidak mengherankan bila komplikasi hipertensi masih seringdijumpai dalam praktek sehari-hari(1). Komplikasi hipertensidapat mengenai target organ jantung, otak (serebrovaskular),mata dan ginjal. Komplikasi hipertensi pada otak dapatberupa ensefalopati hipertensi, hipertensi maligna, strokehemoragik dan stroke non hemoragik (iskemik)(1,2).Penanganan penderita hipertensi dengan komplikasi otakdibedakan menjadi 2 kelompok yaitu keadaan bukan krisishipertensi yang terjadi pada stroke non hemoragik, dankeadaan krisis hipertensi yang didapatkan pada ensefalopatihipertensi, stroke hemoragik dan hipertensi maligna(1,3).

HIPERTENSI

DefinisiThe Sixth Joint National Committee on Prevention,Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure(1997) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darahsistolik 140 mgHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90mmHg atau lebih atau sedang dalam pengobatan antihipertensi(4).

KlasifikasiJNC VI membuat klasifikasi hipertensi sbb:

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah tinggi pada orang dewasa 18 tahunke atas (JNC VI).

Hipertensi sistolik terisolasi didefinisikan sebagai tekanansistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik di bawah90 mmHg(4).Sedangkan JNC VII mengklasifikasikan hipertensi padaorang berusia 18 tahun ke atas sebagai berikut (tabel 2) (5).

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah tinggi pada orang dewasa 18 tahunke atas (JNC VII).

PATOGENESIS HIPERTENSITekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dantahanan perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curahjantung dan tahanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah(gb. 1).

Tekanan darah membutuhkan aliran darah melaluipembuluh darah yang ditentukan oleh kekuatan pompa jatung(cardiac output) dan tahanan perifer (peripheral resistance).

Sedangkan cardiac output dan tahanan periferdipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi(asupan natrium, stres, obesitas, genetik dan lain-lain).Hipertensi terjadi jika terdapat abnormalitas faktor-faktortersebut(2).

Gambar 1. Beberapa faktor yang terlibat pada kontrol tekanan darah(2).

Awalnya kombinasi faktor herediter dan faktorlingkungan menyebabkan perubahan homeostasiskardiovaskular (prehypertension), namun belum cukupmeningkatkan tekanan darah sampai tingkat abnormal;walaupun demikian cukup untuk memulai kaskade yangbeberapa tahun kemudian menyebabkan tekanan darahbiasanya meningkat (early hypertension). Sebagian orangdengan perubahan gaya (pola) hidup dapat menghentikankaskade (proses) tersebut dan kembali ke normotensi.Sebagian lainnya akhirnya berubah menjadi establishedhypertension (hipertensi menetap), yang jika berlangsunglama dapat menyebabkan komplikasi pada target organ(2).

HIPERTENSI DAN KOMPLIKASI SEREBROVASKULARHipertensi yang tidak diobati dengan baik akhirnyamenyebabkan komplikasi pada target organ yaitu jantung,mata, ginjal dan otak (serebrovaskular).Komplikasi hipertensi pada otak dapat bersifat akut ataukronik. Komplikasi hipertensi pada otak yang sifatnya akutbiasanya karena kenaikan tekanan darah yang cepat danmendadak seperti pada ensefalopati hipertensi. Sedangkankomplikasi yang bersifat kronik berupa kelainan-kelainanpembuluh darah otak berupa:1. Nodular atherosklerosis (atheroma)2. Charcot-Bouchard aneurysm3. Fibrinoid necrosis

Ad.1. Nodular atherosklerosis (atheroma)Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terpentinguntuk terjadinya atheroma di pembuluh darah otak. Faktorrisiko lainnya adalah: diabetes melitus, merokok,hiperkolesterolemia. Mekanisme terjadinya atheroma dapatdilihat pada gambar 6. Atheroma dapat menyebabkankomplikasi stroke nonhemoragik(1).

Ad. 2. Charcot-Bouchard aneurysmHipertensi dianggap sebagai satu-satunya faktor utamauntuk terjadinya aneurisma ini. Tekanan darah yang terusmenerus tinggi dan sudah disertai komplikasi aneurismaCharcot-Bouchard dapat mengakibatkan komplikasi strokehemoragik(1).

Ad. 3. Fibrinoid necrosisKomplikasi lain hipertensi pada pembuluh darah otakadalah terjadinya fibrinoid necrosis; mekanisme terjadinyadapat dilihat pada gb. 5. Kelainan pembuluh darah ini akanbermanifestasi klinis sebagai hipertensi maligna(1).Berdasarkan perubahan pembuluh darah otak akibathipertensi, maka komplikasi serebrovaskuler hipertensi dapatberupa : (1,6)1. Ensefalopati hipertensi2. Hipertensi maligna3. Stroke hemoragik4. Stroke non hemoragik

ENSEFALOPATI HIPERTENSIIntense reflex cerebral vasoconstrictionHypertensive encephalopathy (HE) atau ensefalopatihipertensi adalah sindrom klinik akut reversibel yangdipresipitasi oleh kenaikan tekanan darah tiba-tiba sehinggamelampaui batas otoregulasi otak. HE dapat terjadi padanormotensi yang tekanan darahnya mendadak naik menjadi160/100 mmHg. Sebaliknya mungkin belum terjadi padapenderita hipertensi kronik meskipun tekanan arteri rata-ratamencapai 200 atau 225 mmHg(1).Selain akibat kegagalan atau keterlambatan pengobatanpenderita hipertensi, HE juga dapat terjadi akibat penyakittertentu (tabel 3).

Patofisiologi HEAda 2 teori yang dapat menerangkan hal tersebut yaitu:1. Reaksi otoregulasi yang berlebihan (The overregulationtheory of hypertensive encephalopathy).Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksivasospasme arteriol yang hebat disertai penurunan alirandarah otak dan iskemi. Vasospasme dan iskemi akanmenyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosisfibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnyamengakibatkan kegagalan sawar darah-otak sehingga dapattimbul edema otak. (gambar 3)(2,6).

2. Kegagalan otoregulasi (The breakthrough theory ofhypertensive encephalopathy).Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi danmendadak menyebabkan kegagalan otoregulasi sehingga tidakterjadi vasokonstriksi tetapi justru vasodilatasi. Vasodilatasiawalnya terjadi secara segmental (sausage string pattern),tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotelyang dilatasi terganggu sehingga menyebabkan ekstravasasi.

Gambar 3. Teori overregulasi pada Hipertensi ensefalopati(6).

komponen plasma yang akhirnya menimbulkan edema otak(gambar 4)(2,6).

Secara patologi anatomi di dalam otak akan dijumpaiadanya edema, perdarahan kecil-kecil sampai infark kecil dannekrosis fibrinoid arteriol(2,6).

Gejala klinik berupa nyeri kepala hebat, mual, muntah,rasa ngantuk dan keadaan bingung. Bila berlanjut dapatterjadi kejang umum, mioklonus dan koma. Jarangmenyebabkan gangguan saraf fokal seperti hemiparesis,afasia, kejang-kejang fokal atau kebutaan akibat kelainanretina atau kortikal(1,2,6).

Jika tekanan darah tidak segera diturunkan penderitaakan jatuh dalam koma dan meninggal dalam beberapa jam.Sebaliknya dengan menurunkan tekanan darah secepatnyasecara dini prognosis umumnya baik dan tidak menimbulkangejala sisa. Nyeri kepala, bingung, mual, muntah akan cepatmenghilang dalam beberapa jam. Faal ginjal akan membaikdalam beberapa hari. Sedangkan hilangnya papil edema akanmemerlukan waktu beberapa minggu(1).

Pengobatan menggunakan obat antihipertensi parenteraldengan obat pilihan diazoxide; dapat juga digunakannitroprusid, trimethaphan atau klonidin. Obat yang harusdihindari pada HE adalah reserpin dan metildopa karena efeksedatifnya dapat menyulitkan evaluasi klinik(1,7).

HIPERTENSI MALIGNAHipertensi maligna (HM) merupakan keadaan klinikyang berhubungan dengan terjadinya necrotizing arteriolitis(fibrinoid necrosis) akibat tekanan tinggi (biasanya > 200/130mmHg).

Fibrinoid necrosis terutama terjadi di otak dan ginjalmenyebabkan retinopati hebat (Keith-Wagener III atau IV),nefrosklerosis maligna disertai keadaan klinik yang cepatmemburuk; dapat disertai dengan payah jantung kiri akut danensefalopati. Kadang-kadang penderita HM ditemukanpertama kali dengan gejala transient ischemic attack (TIA),stroke atau payah jantung kiri akut(1,2)

Mekanisme kerusakan pembuluh darah dan iskemijaringan pada hipertensi maligna dilukiskan pada gambar 5.Hipertensi berat baik primer atau sekunder dalam jangkalama akan menyebabkan penebalan dan remodeling dindingpembuluh darah sebagai adaptasi terhadap stres mekanik olehtekanan darah yang tinggi. Bila tekanan darah terus tinggimaka akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang merusakpembuluh darah.

Meningkatnya beberapa hormon lain (katekolamin,vasopresin dan lain-lain) akibat deplesi volume secarasinergis menyebabkan kerusakan pembuluh darah.

Fibrinogen dan beberapa protein plasma lain yangmengalami ekstravasasi akan mengaktifkan sistim pembekuandarah yang akan menyebabkan deposisi fibrin pada dindingdan lumen pembuluh darah yang akhirnya menyebabkannekrosis fibrinoid. Denudasi endothel akan menyebabkantrombosit melepaskan PADAGF. PADAGF akan menyebabkanproliferasi otot polos, yang selanjutnya mengakibatkandeposisi mukopolisakarida yang akhirnya bersama-samadengan nekrosis fibrinoid menyebabkan penyempitan lumenpembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah akanmenyebabkan iskemia pada organ target(2,6).Gambaran klinis HM merupakan gabungan gejala dantanda yang bervariasi seperti pada tabel 4.Pada pemeriksaan urine didapatkan eritrosit, leukosit,protein dan bermacam-macam silinder. Di darah perifersering didapatkan schistocytosis dan burr cell. Kadar ureumdan kreatinin darah dapat meningkat akibat terganggunya faalginjal(2,6).

Prognosis tergantung tingkat gangguan faal jantung,ginjal dan otak. Bila tidak diobati mortalitas dapat mencapai90 % dalam 1 tahun. Woods dan Blythe (1967) menelitipengobatan yang baik pada 20 penderita HM; 50 % masihhidup setelah 1 tahun, 35 %setelah 2 tahun, 20 % setelah 5tahun dan setelah 7 tahun 10 % dari penderita masih hidup(1)

Pengobatan HM tergantung keadaan kliniknya, tekanandarah perlu segera diturunkan dalam beberapa jam atau dalambeberapa hari. Untuk itu perlu obat anti hipertensi parenteral,meskipun pada kasus-kasus tertentu cukup dengan pemberianobat antihipertensi peroral. Obat-obat antihipertensi yang=dianjurkan: diazoxide, nitroprussid, trimetaphan danclonidin(1,2).

GANGGUAN PEREDARAN DARAH OTAKTekanan darah yang sangat tinggi dapat mengakibatkanterjadinya gangguan peredaran darah otak/stroke hemoragik ;yang dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu: perdarahansubarachnoid dan perdarahan intraserebral(3,8).

PERDARAHAN SUBARACHNOID (PSA)Pada perdarahan subarachnoid, darah keluar dari dindingpembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebardengan cepat melalui aliran cairan otak (LCS) ke dalamruangan di sekitar otak. Perdarahan seringkali berasal darirupturnya aneurisma di basal otak (pada sirkulasi Willisii).Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan karenatekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas(8).

Gejala PSA(8,9)1) Serangan mendadak dengan nyeri kepala hebat didahuluisuatu perasaan ringan atau ada sesuatu yang meletus didalam kepala.2) Kaku kuduk merupakan gejala spesifik yang timbulbeberapa saat kemudian.3) Kesadaran dan fungsi motorik jarang terganggu4) CSS berwarna merah yang menunjukkan perdarahandengan jumlah eritrosit lebih dari 1000 /mm3

PERDARAHAN INTRASEREBRAL (PIS)Istilah perdarahan intraserebral melukiskan perdarahanyang langsung masuk ke substansi otak. Sekitar 70-90 %kasus PIS disebabkan oleh hipertensi. Perdarahan akibatpecahnya arteri perforata subkortikal yaitu : a. lentikulostriatadan a. perforata thalamika (ciri anatomis khas untuk PISakibat hipertensi)(8).

Patogenesis PIS adalah akibat rusakya struktur vaskuleryang sudah lemah akibat aneurisma, yang disebabkan olehkenaikan tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah otakakibat tekanan darah yang melebihi toleransi (Yatsu dkk.)Tole dan Utterback mengatakan bahwa penyebab PIS adalahpecahnya mikroaneurisma Charcot-Bouchard akibat kenaikantekanan darah(1,3,8).

Gejala dan tanda klinis berkaitan dengan lokasi,kecepatan perdarahan dan besarnya hematom. Seranganselalu terjadi mendadak, saat aktif baik aktivitas fisik maupunemosi, jarang saat istirahat. Gejala awal merupakanmanifestasi kenaikan tekanan darah seperti : nyeri kepala,mual dan muntah, epistaksis, penurunan daya ingat.Penurunan kesadaran sampai koma akibat kegagalanotoregulasi atau kenaikan tekanan intrakranial akibat adanyahematom. Hematom >3 cm dapat menyebabkan penurunankesadaran(8,9).

Kejang didapatkan pada 7-11% kasus. Kaku kuduk dapatdijumpai jika perdarahan mencapai ruang subarachnoid. Padaumumnya penderita mengalami kelemahan/kelumpuhanseparuh badan kontralateral terhadap sisi lesi dengan refleksBabinski positif. Defisit motorik ini berkembang dalambeberapa menit sampai beberapa jam(8).Di sekitar tempat perdarahan biasanya terjadi reaksispasme pembuluh darah; penurunan tekanan darah dapatmenghilangkan spasme yang bahkan akan memperbanyakperdarahan. Dalam hal ini sebaiknya tekanan darahditurunkan hati-hati dengan selalu mengevaluasi keadaanneurologiknya(1,8). Prognosis tergantung dari luas kerusakanjaringan otak dan lokasi perdarahannya(1). Pengobatansebaiknya menggunakan antihipertensi parenteral yang dapatdititrasi efeknya seperti nitroprusid(1,3).

PENANGANAN PENDERITA HIPERTENSI DENGANKOMPLIKASI SEREBROVASKULERDapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu:a. Keadaan bukan krisis hipertensi pada stroke nonhemoragik.Pada keadaan tidak terjadi krisis hipertensi, pengendaliantekanan darah pada prinsipnya sama seperti pada penderitahipertensi biasa dengan mengingat beberapa hal yang khas;adalah dengan modifikasi gaya hidup dan obat anti hipertensisesuai dengan komplikasi yang ada, dalam hal ini stroke;maka pilihannya adalah diuretik dan ACE inhibitor(1,5,12).

b. Keadaan krisis hipertensi pada ensefalopati hipertensi,hipertensi maligna dan stroke hemoragik.Dibedakan menjadi 2 keadaan berdasar pengelolaannya :hipertensi emergensi yaitu keadaan hipertensi yangmemerlukan penurunan tekanan darah segera untukmencegah kerusakan organ target dan hipertensi urgensiyang memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapajam(7,13).

Yang termasuk hipertensi emergensi adalah hipertensiensefalopati dan hipertensi maligna dengan komplikasi strokehemoragik. Sedang yang termasuk hipertensi urgensi adalahhipertensi maligna(13).

Tujuan pengelolaan krisis hipertensi adalah menurunkantekanan darah secara cepat dan seaman mungkin untukmenyelamatkan jiwa penderita. Akan tetapi tetap harus diingatbahwa tekanan darah yang terlalu rendah akan menyebabkanhipoperfusi otak maupun jantung. Untuk menghindari hal inisebaiknya tekanan darah diastolik tidak lebih rendah dari 100mmHg atau penurunan mean arterial blood pressure (MAP)tidak lebih dari 25% dalam waktu antara beberapa menitsampai 6 jam. Diperlukan perawatan di rumah sakit karenamenggunakan obat anti hipertensi secara parenteral(7,13).

Khusus untuk hipertensi dengan komplikasi strokehemoragik dipakai konsensus bahwa tekanan darah harusditurunkan untuk menurunkan risiko pembesaran hematomdan perdarahan ulang. Dianjurkan tekanan darah turun < 20%,sedangkan JNC VI menganjurkan kontrol tekanan darah160/100 mgHg(14).

Termasuk dalam pengelolaan ini adalah anamnesisriwayat hipertensi, penggunaan obat antihipertensi ataupunobat-obat lain, gejala serebral, kardiovaskular dan gangguanvisus, pemeriksan fisik yang meliputi tekanan darah,funduskopi, status neurologi, status kardiopulmoner, danstatus hidrasinya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkanadalah pemeriksaan kadar hematokrit dan pemeriksaan darahhapus, urinalisis, pemeriksaan kimia darah yang meliputikadar kreatinin, glukosa dan elektrolit. Di samping itu jugapemeriksaan foto thorax dan elektrokardiogram(13).

Obat anti hipertensi parenteral digunakan pada keadaanhipertensi emergensi (tabel 5) ; antara lain: (2,7,13) Sodium Nitroprusid, vasodilator yang dianggap terbaikuntuk krisis hipertensi karena efeknya mudahdikendalikan. Sebaiknya tidak digunakan pada penderitahamil. Trimetafan etamsilat, suatu penyekat ganglion digunakan terutama pada diseksi aneurisma aorta. Labetalol, terutama digunakan pada kegawatanperioperatif, tirotoksikosis dan faeokromositoma. Nitrogliserin digunakan terutama pada sebelum, saat dansesudah operasi pintas koroner dan jantung. Hidralasin, sering digunakan pada kehamilan. Metildopa, sering digunakan pada kehamilan. Diazoksid, tidak mempengaruhi aliran darah otak. Enalaprilat, digunakan pada penyakit jantung kongestif Nikardipin dan nimodipin, digunakan pada perdarahansubarakhnoid. Reserpin, jarang digunakan karena efek antihipertensinyasukar diduga dan membutuhkan dosis besar.

Klonidin, meskipun tidak disebut sebagai obat untukkrisis hipertensi, sering digunakan karena mudah didapat diIndonesia. Obat ini dapat digunakan secara bolus intravena,jika perlu dapat diulang sampai tiga kali pemberian. Selain itudapat juga digunakan secara infus drip dengan dosis 0,9-1,05mg. dalam larutan dekstrosa. Pemberian intramuskulerpuncukup efektif (1,13).

Selain klonidin parenteral, obat antihipertensi lain yangdapat digunakan adalah diltiazem intravena meskipun belumbanyak pengalaman penggunaannya. Cara ini dapatmenurunkan tekanan darah dalam 5-10 menit dan bermanfaatuntuk proteksi vaskuler otak, jantung dan ginjal(13).

Jika pemberian parenteral tidak mungkin, dapatdigunakan preparat peroral yang juga telah terbuktimenurunkan tekanan darah secara cepat; yaitu: klonidin,kaptopril, labetalol dan nifedipin dengan dosis sama sepertiyang digunakan pada hipertensi urgensi(2,13).

Joint National Committee on Detection Evaluation andTreatment of High Blood Pressure merekomendasikan empatobat antihipertensi peroral untuk keadaan hipertensi urgensiyaitu klonidin, nifedipin, kaptopril dan labetalol.Klonidin dapat diberikan secara loading dose 0,1-0,2 mg dandapat ditambah tiap jam sampai total dosis 0,6 mg. Selain itudapat juga diberikan klonidin dosis awal 0,3 mg., diikuti 0,1mg/jam sampai 0,7 mg. Kaptopril dapat diberikan dengandosis 25-50 mg, efeknya akan terlihat setelah 30 menit,optimal setelah 50-90 menit dan bertahan selama 6 jam(4,13).

PENGELOLAAN SETELAH KRISIS HIPERTENSISetelah penderita terbebas dari krisis, selanjutnyadianjurkan mencari etiologi hipertensi. Umumnya hipertensiberat adalah akibat hipertensi sekunder renovaskuler.Selanjutnya penderita akan mendapat terapi hipertensi secarateratur yang pada umumnya merupakan kombinasi beberapaobat anti hipertensi(13).

KEPUSTAKAAN1. Imam Parsudi A. Penyakit pembuluh darah otak dan hipertensi. DalamImam Parsudi A. Kumpulan karya ilmiah. Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.2. Kaplan NM. Kaplans Clinical Hypertension. 8 th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins, 2002. p. 137-1683. Bolton CF, Young GB. Neurological complications of renal disease.Boston: Butterworths ; 1990. p 121-1304. National Institutes of Health. The Sixth Report of the Joint NationalCommittee on Prevention Detection, Evaluation and Treatment of HighBlood Pressure. NIH Publication, 1977.5. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Chusman WC. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention Detection,Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 2003; 289:2561-27266. Nolan CR, Linas SL. Malignant hypertension and other hypertensivecrises. In Schrier RW, Schalk CW eds. Disease of the Kidney. 5 th ed.Boston: Little Brown and Co. 1992. p. 1555-16067. Endang Susalit. Penatalaksanaan krisis hipertensi. Dalam Alwi I,Bawazier LA eds. Penatalaksanaan kedaruratan di bidang Ilmu PenyakitDalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu PenyakitDalam FK UI. 2002. 109-116.8. Toole JF. Cerebrovascular disorder, Intracerebral hemorrhge. NewYork: Raven Press; 1990. 365 -779. Mayer SA, Bernardini GL. Subarachnoid hemorrhage. In Rowland LPed. Merritt Neurology. 10 th. ed. Philadelphia : Lippincott Williams &Wilkins; 2000. 260-710. Tanuwidjoyo S. Recent development in pathogenesis of atherosclerosis.Dalam Tanuwidjoyo, Sodiqur Rifqi eds. Atherosclerosis. Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2003. 13-811. The pathogenesis of atherosclerosis. Harrisons Principles of InternalMedicine 15 th ed. CD-ROM Libby P. Mc Graw-Hill; 200112. PROGRESS Collaborative group. Randomised trial of the perindropilbased blood pressure lowering regiment among 6105 individual withprevious stroke or transient ischemic attack. Lancet 2001; 358; 1033-4113. Arwedi Artanto. Hipertensi krisis. Dalam Soehardjono ed. KedaruratanMedik II. PIT V PAPDI Cabang Semarang. Semarang : Badan PenerbitUniversitas Diponegoro; 2001.203-914. Pranowo. Pengendalian tekanan darah dan perlindungan organ target.Dalam Soehardjono ed. PIT VII PAPDI Semarang 2003

Gambar 5. Patofisiologi hipertensi maligna.

Imaging in Ischemic StrokeState of the Art

N. Venketasubramanian*, Myrna Justina*** Senior Consultant of Neurosonology, National Neuroscience Institute (NNI), Singapore**Medical Officer, Mitra Keluarga Bekasi Hospital, Indonesia

ABSTRACTExciting advances in anatomical imaging have greatly improved our capacity to detectpathologic process in nervous system, localize these processes in the nervous systemprecisely, and predict the type of disease. The rapid evolution of techniques of anatomicalimaging has occurred in parallel with developments in physiologic imaging.

Cerebrovascular disease and strokeStroke is the third most common cause of death indeveloped countries. The age adjusted annual death rate fromstroke is 116 per 100,000 population in the USA, some 200per 100,000 in the UK, some 12% of all deaths; it is higher inblack African population than in Caucasian. Stroke isuncommon below the age of 40 years and is more common inmales. The death rate following a stroke is around 25%.Hypertension is the most important treatable risk factors.Stroke is decreasing in the 40-60 age range as hypertension istreated; however, in the elderly, it remains a major cause ofmorbidity and mortality.

Stroke is a complex, heterogeneous disease with severalmajor subtypes. The sudden onset of focal sensory loss,weakness, or speech disorder raises the possibility of cerebralischemia or infarction. The three most common causes ofcerebral infarction are atherothrombotic occlusion, embolism,and hypoperfusion.2 Rapid and accurate assessment is crucialfor treatment, since recombinant tissue plasminogen activatorprovides effective treatment for acute ischemic infarction inthe absence of cerebral hemorrhage if given within three hoursafter onset.

Through a careful medical history and a completephysical examination, the most likely vascular territories andrelated causes of a particular stroke can be identified. Primarysymptoms, and vascular territories of ischemic stroke aresummarized in Table 1.

Refers to strokes with defined symptom complexes that do not includeaphasia, change in consciousness, or other cortical symptoms; they appear tobe caused by occlusion of small subcortical or brain stem arterioles, althoughthey may also result from micro-emboli.

Various Imaging TechniquesPassage of x-radiation through tissue attenuates theradiation, and the intensity of the exiting radiation can bemeasured with sensitive film or detectors. X-ray computed(CT) permits the examination of tissue by the same principleas conventional x-ray imaging, except that radiation passessuccessively through tissue from multiple different directions,detectors measure the degree of attenuation of the exitingradiation relative to the incident radiation, and computersintegrate the information and construct the images in crosssection. Administration of contrast material increases x-rayattenuation owing to the high atomic number and electrondensity of the iodinated compounds used. CT has theadvantages of widespread availability, short study time,sensitivity for detection of calcifications and acutehemorrhages, and excellent visualization of the anatomy ofbone, such as skull base and vertebrae. The use of intravenouscontrast medium with CT allows examination of the integrityof the blood brain barrier, which consists of tight junctionsbetween endothelial cells of blood vessels and astrocytes.

Placement of tissue in a strong magnetic field causescertain naturally occurring isotopes (atoms) within the tissueto line up within the field, orienting the net tissuemagnetization in the longitudinal direction. Many isotopes areaffected, but current MRI uses signals derived from 1H, themost plentiful endogenous isotope. When in a magnetic fields,these atoms do not orient precisely with the axis of the field,but wobble a few degrees off center. Application of differentgradient magnetic fields to the tissue under study permitsreconstruction of the signal from individual volume units inpace. Use of the intravascular contrast material gadoliniumdiethylenetriaminepentaacetic acid (gadolinium-DTPA) withMRI alters the magnetic susceptibility of adjacent tissue,thereby providing information about the integrity of the bloodbrainbarrier.

Positrons are the antimatter equivalent of electrons. Thecollision of an electron and a positron annihilates bothparticles, converting their masses to energy in the form of twophotons (gamma rays) that leave the brain at an angle of 180to each other and can be detected. The radioligands mostfrequently used to emit positrons are [18F] fluorodeoxyglucosefor measuring cerebral metabolic of glucose5 and [18O] waterfor determining cerebral blood flow.6 PET and SPECT use thishighly versatile method of studying cerebral function. SPECTuses principles similar to those of PET but the radioligandsdecay to emit only a single photon.

Preferred Imaging Procedures in the Ischemic StrokesHead CT scans are excellent for detecting largehemorrhages, tumors, and other structural lesions that canproduce symptoms mimicking acute stroke symptoms. Thedifferences in X-ray attenuation (density) between bone, brain,and cerebrospinal fluid (CSF) makes it possible to distinguishnormal and infracted tissue, tumors, extravasated blood oredema.1, 7 Currently, CT is the brain-imaging method of choicefor the assessment of acute ischemic injury to determinewhether hemorrhage is present, because it is highly sensitiveto hemorrhage, rapid, widely available, relatively low cost,and noninvasive (Fig. 1).8 Hyperdensity of major cerebralvessels is an important sign that can be detected by CT withinminutes of vessel thrombosis and hours before parenchymalchanges occur.9 The finding of a hyperdense vessel can beused in the appropriate clinical setting to consider a patient foraggressive endovascular lytic therapy.

MRI, particularly diffusion-weighed and perfusionweighedMRI is more sensitive than CT, particularly for earlypathologic changes of ischemic infarction because it issuperior in detecting brain edema.10,11 lacunar infarctions, andstrokes involve the brain stem region.12 MRI is superior to CTin detecting small lacunar lesions, particularly those locateddeep within cerebral hemispheres and in brain stem andcerebellum (Fig. 2). Another advantage of MRI is that thecerebral vessels can be imaged using a magnetic resonanceangiography protocol, allowing non-invasive imaging of boththe extracranial and intracranial large cerebral vessels.13 NewMRI technologies, such as magnetic resonance diffusion,perfusion, and spectroscopy, may provide information on themetabolic status of, and blood flow to, ischemic brainregions.

Carotid ultrasound, and carotid duplex can imageatherosclerotic lesions at the bifurcation of the carotid arteries.Continuous-wave Doppler employs two separate transducers,one to send and one to receive the Doppler signal. Since thetransmitted Doppler signal is continuous, continuous-waveDoppler is not limited by aliasing and is particularly useful fordetecting a wide range of frequencies. Pulsed Doppler allowssampling at discrete locations in vessels and has improveddepth resolutions. Duplex ultrasound combines high resolutiongray scale imaging of carotid vessels with physiologic bloodflow information provided by Doppler techniques (usuallypulsed Doppler).15 Compared with angiography, the overallaccuracy of either carotid duplex or magnetic resonanceangiography can image atherosclerotic lesions at thebifurcation of the carotid arteries.16,17 Transverse carotidimages of the bifurcation help establish the optimal orientationfor longitudinal scans in which Doppler spectral analysis willbe performed (Fig. 3).15

Intracranial atherosclerosis is responsible for up to 10% ofstrokes and transient ischemic attacks (TIAs). Whenextracranial internal carotid disease is excluded as themechanism of these strokes and TIAs, it may be important forclinicians to identify intracranial arterial stenosis, particularlywhen warfarin is considered a therapeutic option. Initial directnoninvasive test included continuous-wave and pulsedDoppler imaging, which quantified stenosis according to peakfrequency shifts, detected in a vessel. In these instances,Transcranial Doppler (TCD) is often used as a screening testidentify patients requiring invasive cerebral arteriography. TCD, another noninvasive technique, provides informationabout flow direction and velocities in the major intracranialvessels.18 The use of the monitoring probe even allowscontinuous and instantaneous information on changes incerebral hemodynamics. Currently, TCD is of establishedvalue in assessing patterns and extent of collateral circulationin patients with known regions of severe stenosis or occlusion.Significant stenosis causes increased velocities maximal at thesite of obstruction (Fig. 4). Marked acceleration is seen atstenosis exceeding 80%. Reversed and markedly acceleratedflow in the ipsilateral cerebral artery suggests the presence ofcollateral flow across the communicating artery from contralateralcirculation (Fig. 5).

Cerebral angiography remains the gold standard fordiagnosing large vessel vascular disease and intracranialvasculitides. It is indicated particularly in young patients withstroke, in cases of suspected vasculitis or vascular dissection(Fig. 6).20 However, recent studies have shown that magneticresonance angiography (MRA) and CT angiograms are at leastas sensitive as angiography for diagnosing dissections.21, 22 Onthe other hand, there are few prospective data that TCD andMRA in combination can effectively replace angiography atthis time for identification of intracranial atherosclerosis. Therecently launched Stroke Outcomes and Neuroimaging ofIntracranial Atherosclerosis (SONIA) study will provide someanswers to these concerns.19

Impact on implementing guidelinesEarly diagnostic testing should be selected to establish theanatomical regions and structures involved and the cause ofinfarction, since early intervention and subsequent secondaryprevention should vary accordingly.23 Because ischemic strokeresults from an occluded blood vessel, reversing or bypassingthe occlusion should decrease the adverse effects of thestroke.24 If the diagnosis of ischemic stroke withouthemorrhage can be made and all inclusion and exclusioncriteria are met (Table 2), treatment with intravenousthrombolytic therapy may be indicated. 23 The FDA approvedthis treatment on the basis of the results of the NationalInstitute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) rt-PAstudy3 in which 624 ischemic stroke patients were treated witht-PA 0.9 mg/kg BW (10% given as an intravenous loadingdose and the remainder administered intravenously over 1hour, with a maximum dose of 90 mg) within 3 hours of strokeonset. The value of this activator administered more than threehours after the onset of symptoms is not known.

Local intraarterial thrombolysis performed with amicrocatheter that is placed into, beyond, and proximal to anarterial occlusion is in use worldwide. In the past, the agentmost commonly studied was urokinase; intraarterial t-PA andprourokinase have mainly been used in recent investigationalstudies. Approximately 40 percent of the patients who undergothis treatment have complete arterial recanalization, andapproximately 35 percent have partial recanalization. Theserates of recanalization are higher than those that have beenreported for patients who undergo intravenous thrombolytictherapy.23

For patients who have a nondisabling stroke (or TIAs)resulting from high-grade extracranial carotid artery disease,carotid endarterectomy (CEA) is recommended, assuming thepatient is a good surgical candidate. CEA in these patientsdecreases the occurrence of ipsilateral stroke or death from26% to 9% at 2 years. The efficacy of CEA in patients withmoderate stenosis (50-69%) is less than in patients with highgradedisease. The benefits of CEA require a low rate ofperioperative complications. Complication rates of no morethan 5% to 6% are desirable. Studies have evaluated the safetyand efficacy of carotid artery angioplasty and stenting in thesepatients.

REFERENCES1. Clarke CRA. Neurological disease. In: Kumar P, Clark M. ClinicalMedicine. 5th ed. Edinburgh,Toronto. WB Saunders; 2002: p.1123-224.2. Caplan LR. Diagnosis and treatment of acute ischemic stroke. JAMA1991; 266: 2413-18.3. The National Institute of Neurological Disorders and Stroke rt-PAStroke Study Group. Tissue plasminogen activator for acute ischemicstroke. N Engl J Med 1995; 333: 1581-87.4. Gilman Sid. Imaging the brain. N Engl J Med 1998; 338: 812-20.5. Meltzer CC, Zubieta JK, Brandt J, Tune LE, Mayberg HS, Frost JJ.Regional hypometabolism in Alzheimers disease as measured bypositron emission tomography after correction for effects of partialvolume averaging. Neurology 1996; 47: 454-61.6. Bottini G, Corcoran R, Sterzi R, et al. The role of the right hemispherein the interpretation of figurative aspects of language: a positronemission tomography activation study. Brain 1994; 117: 1241-53.7. Adams HP Jr, Brott TG, Crowell RM et al. Guidelines for themanagement of patients with acute ischemic stroke: A statement forhealthcare professionals from a Special Writing Group of the StrokeCouncil, American Heart Association. Stroke 1994; 25: 1901-14.8. Moulin T, Cattin F, Crepin-Leblond T et al. Early CT signs in acutemiddle cerebral artery infarction: predictive value for subsequent infarctlocations and outcome. Neurology 1996; 47: 366-75.9. Sasiadek M, Wasik A, Marciniak R. CT appearance of bilateral, acutethrombosis of the main cerebral arteries. Comput Med Imaging Graph1990; 14: 89-90.10. Warach S, Gaa J, Siewert B, Wielopolski P, Edelman RR. Acute humanstroke studied by whole brain echo planar diffusion-weighed magneticresonance imaging. Ann Neurol 1995; 37: 231-41.11. Lutsep HL, Albers GW, DeCrespigny A, Kamat GN, Marks MP,Moseley ME. Clinical utility of diffusion weighted magnetic resonanceimaging in the assessment of ischemic stroke. Ann Neurol 1997; 41:574-80.12. Kertesz A, Black S, Nicholson L, Carr T. The sensitivity and specificityof MRI in stroke. Neurology 1987; 37: 1580-85.13. Riles TS, Eidelman EM, Litt AW et al. Comparison of magneticresonance angiography, conventional angiography, and duplex scanning.Stroke 1996; 23: 341-6.14. Fisher M, Prichard JW, Warach S. New magnetic resonance techniquesfor acute ischemic stroke. JAMA 1995; 274: 908-11.15. Carroll BA. Carotid Sonography. Radiology 1991; 178: 303-13.16. Riles TS, Eidelman EM, Litt AW et al. Comparison of magneticresonance angiography, conventional angiography, and duplex scanning.Stroke 1992; 23: 341-6.17. Patel MR, Kuntz KM, Klufas RA, et al. Preoperative assessment of thecarotid bifurcation. Can magnetic resonance angiography and duplexultrasonography replace contrast arteriography? Stroke 1995;26:1753-8.18. Caplan LR, Brass LM, DeWitt LD et al. Transcranial Dopplerultrasound: present status. Neurology 1990; 40: 696-700.19. Babikian VL, Feldmann E, Wechsler LR, et al. Transcranial DopplerUltrasonography: Year 2000 Update. J. Neuroimaging 2000; 10: 101-1520. Wolpert SM, Caplan LR. Current role of cerebral angiography in thediagnosis of cerebrovascular disease.Am J Roentgenol 1992; 159: 191-7.21. Stringaris K, Liberopoulos K, Giaka E, Kokkinis K. Three-dimensionaltime-of-flight MR angiography and MR imaging versus conventionalangiography in carotid artery dissections. Int Angiol 1996; 15: 20-25.22. Sellar RJ. Imaging blood vessels of the head and neck. J NeurolNeurosurg Psychiatry 1995; 59: 225-323. Brott T, Bogousslavsky J. Treatment of acute ischemic stroke. N Engl JMed 2000; 343: 710-22.24. Albert MJ. Diagnosis andof ischemic stroke. Am.J.Med.1999; 106: 211-21.

TINJAUAN PUSTAKA

Ensefalitis/EnsefalopatiAkibat Flu Burung(Infeksi Virus Influenza Tipe A)Kiki MK SamsiBagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara/Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta, Indonesia

PENDAHULUANFlu burung, atau yang dikenal dengan Avian Flu, saat inimerupakan penyakit infeksi pada manusia yang menjadiperhatian di dunia termasuk Indonesia. Luasnya negara yangmengalami outbreak dan mortalitas yang tinggi membuat\WHO menetapkan kewaspadaan atas risiko pandemi avianinfluenza.

Upaya deteksi dini merupakan salah satu hal pentingdalam mencegah pandemi dalam kaitannya terhadap temuankasus baru, pola penyebaran, dan keberhasilan membatasipenyebaran avian influenza pada manusia. Deteksi dinidimulai dengan temuan kasus influenza like illnesses (ILI)yang disertai dengan riwayat kontak dengan unggas mati ataudengan korban flu burung di sekitar penderita.2 Hal inididasari atas pemahaman bahwa gejala flu burung didahuluioleh demam, batuk, dan pilek yang diikuti dengan perburukanprogresif berupa sesak.

Gambar 1. Distribusi Subtipe Haemaglutinin dan Neuroaminidase VirusInfluenza APada tahun 2005, di Vietnam Selatan, dilaporkan kasusseorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang dirawat karenadiare berat yang diikuti dengan kejang, koma, dan akhirnyameninggal dunia. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinalmenunjukkan jumlah sel 1/mm3, kadar glukosa normal, danpeningkatan kadar protein (0,81 g/L). Pada kasus ini, virusAvian Influenza A tipe H5N1 berhasil diisolasi dari cairanserebrospinal, feses, apus tenggorok, dan serum penderita.Kakak perempuan penderita yang berusia 9 tahun baru sajameninggal dunia (2 minggu sebelumnya) dengan gejala yangsama. Baik penderita maupun kakak penderita tidakmenunjukkan adanya angguan respirasi. Kedua kasus inimenunjukkan kemungkinan infeksi influenza tipe A subtipeH5N1 memiliki spektrum klinis yang lebih luas dan skriningpenderita flu burung harus diperluas tidak hanya mencurigaikasus demam, batuk, pilek. 3Kasus manifestasi neurologis pada flu burung H5N1hingga saat ini belum banyak dilaporkan; sehingga untukmenilai apakah manifestasi neurologis ini merupakan kelainanyang lazim pada infeksi flu burung atau hanya insidentil, perluditelaah kasus ensefalitis yang berhubungan dengan flu burungakibat virus influenza tipe A subtipe selain H5N1 seperti yangbanyak dipublikasi di Jepang atau beberapa kasus di Eropadan Amerika Serikat.4

VIRUS PENYEBAB FLU BURUNGFlu burung atau avian influenza adalah infeksi padaunggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. VirusInfluenza tipe A merupakan salah satu tipe dari 2 tipe lainyaitu tipe B dan C. Virus Influenza tipe A dibagi menjadibeberapa subtipe berdasarkan variasi protein Haemaglutinin

(H) dengan Neuroaminidase (N) yang terdapat pada envelope.Sejauh ini diketahui 15 jenis H dan 9 jenis N yang semuanyaterdapat pada unggas dan beberapa kombinasi di antaranya=telah dapat menyerang mamalia termasuk manusia (gb. 1).Beberapa subtipe Influenza A ini kemudian berubah(bermutasi) menjadi virus manusia misalnya H1N1, H2N2,dan H3N2 (gambar 1). Influenza tipe A subtipe H1N1 pernahmenyebabkan pandemi yang menelan korban jutaan manusiadi seluruh dunia (1918-1919). Dua pandemi lainnya denganjumlah korban yang lebih sedikit yaitu Influenza tipe Asubtipe H2N2 (1957) dan H3N2 (1968). Subtipe Influenza Apenyebab flu burung saat ini adalah subtipe H5N1.7Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 187

Apakah kasus flu burung di Vietnam dengan gangguanneurologis tanpa gangguan respirasi merupakankebetulan? Apakah kasus demikian insidensnya jarangpada flu burung akibat infeksi Influenza A ?

Sejauh ini baru 1 kejadian ensefalitis/ensefalopati akibatflu burung H5N1 dilaporkan dalam New England MedicalJournal(2005). Sedikitnya laporan ensefalitis/ensefalopatiakibat H5N1 ini mungkin akibat rendahnya insidens ataulolosnya perhatian klinisi dalam mendiagnosis penderitaensefalitis/ensefalopati akibat virus Influenza H5N1,mengingat protokol skrining hanya mencantumkan InfluenzaLike Illness (ILI) yaitu: demam, batuk, dan pilek sebagaigejala awal dari flu burung.

Di Jepang, selama musim dingin tahun 1998-1999, terjadioutbreak ensefalitis/ensefalopati. Berdasarkan pemeriksaanvirologi, dari total 202 kasus ensefalitis/ensefalopati, 148kasus dinyatakan sebagai influenza associated encephalitis/encephalopathy yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A(130 kasus, 87,8%) dan tipe B (17 kasus).

Di Hokkaido Jepang sepanjang tahun 1994-1995 terdapat12 kasus acute onset brain dysfunction yang secara klinisdidiagnosis sebagai ensefalitis atau ensefalopati8. Tidak adasatupun dari ke 12 kasus ini yang memiliki riwayat penyakitkronis yang dapat memicu komplikasi infeksi virus Influenza.8Togashi melanjutkan penelitiannya selama kurun 1995 -2002 dan mendapatkan 89 penderita Influenza-associatedacute encephalopathy (51 laki-laki, 38 perempuan). Usia ratarataenderita 3,8 tahun (rentang usia 9 bulan 12 tahun) ;78,7% terjadi pada usia 9 bulan hingga 5 tahun. Penyebabterbanyak adalah virus Influenza tipe A subtipe H3N2. Sepertitampak pada gambar 2, insidens tertinggi acute onset braindysfunction memiliki pola yang sama dengan insidenstertinggi virus Influenza yang diisolasi dari pasien di SapporoCity General Hospital dan kasus Influenza Like Illnesses yangdilaporkan di Hokkaido

Dari data epidemiologi ini dikhawatirkan bahwa bilasubtipe lain dari tipe virus yang sama (influenza A) dapatmenyebabkan ensefalitis/ensefalopati, maka gangguankesadaran mungkin dapat menjadi tanda awal dari flu burungInfluenza tipe A subtype H5N1.Adakah gambaran klinis yang mirip antar kasusensefalitis/ensefalopati akibat influenza tipe A ?Sesuai dengan laporan kasus flu burung dengan koma dandiare tanpa sesak nafas di Vietnam akibat virus H5N1,ternyata kasus-kasus ensefalitis/ensefalopati akibat virusInfluenza tipe A subtipe selain H5N1 memiliki manifestasiklinis serupa yaitu demam, penurunan kesadaran, gangguansistem pencernaan tanpa gangguan respirasi (Tabel 1).3,8

Bagaimana patogenesisnya? Mengapa ensefalitis/ensefalopati bisa terjadi tanpa didahului sesak atau gejalasistemik lain ?Patogenesis gangguan neurologis akibat infeksi virusInfluenza pada manusia masih belum jelas diketahui,mengingat virus Influenza secara alami lebih seringbermultiplikasi di paru dan sangat jarang dapat diisolasi diotak. Namun, terdeteksinya virus Influenza atau RNA virusdalam cairan serebrospinal merupakan bukti adanya penetrasivirus ke dalam susunan saraf pusat (SSP). Para ahlimeragukan penyebaran secara hematogen ke SSP mengingatvirus Influenza sangat jarang dapat diisolasi dalam darah danviremia pada infeksi virus influenza hanya singkat yaituselama masa inkubasi dan awal gejala penyakit.9 Tanaka(2002), menemukan bahwa virus Influenza A H5N1 yangdiisolasi dari penderita flu burung di Hongkong tahun 1997(A/Hongkong/156/97 dan A/Hongkong/483/97) mampumenginfeksi tikus transgenik BABc. Virus berhasil dideteksidengan pewarnaan antibodi monoklonal di paru, otak, ganglitrigeminal, dan ganglia vagus tetapi tidak ditemukan di darah.

Temuan ini mengundang pendapat bahwa virus influenzamungkin menyebar ke SSP melalui jalur axon misalnya nervusvagus seperti jalur yang dilalui oleh virus rabies. Jalurpenyebaran ini dikenal dengan istilah invasi transneural(transneural invasion).

Untuk membuktikan adanya invasi transneural, Matsuda(2004) melakukan penelitian dengan cara inokulasi virusInfluenza tipe A/Whistling swan/Shimane/499/83 (H5N3)strain 24a5b secara intranasal kepada tikus transgenikBALB/cA Jcl. Pada tikus ini kemudian salah satu n.vagusnyadipotong (vagektomi unilateral) untuk menilai adanyahambatan penyebaran virus di SSP (gb. 2)

Gambar 2. Diagram transmisi virus dari mukosa sistem respirasi kebatang otak melalui nervus vagus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam SSP tampakperubahan histologi di batang otak dan thoracic spinal cord.Lesi histologi di batang otak mulai tampak setelah 5 haripaska inokulasi (pi) terutama di nucleus traktur soliter (NTS),dan nervus ambiguus (NA) (gb. 3).

Kelainan histologi yang ditemukan adalah piknosisnukleus oligodendrosit dan peningkatan jumlah sel mikroglia.Lesi lebih lanjut berupa cuffing perivaskular sel mononuclear,nekrosis sel saraf, dan neuronofagia. Lesi histologi ini selalubersamaan dengan ditemukannya antigen virus dalam nukleusdan terkadang dalam sitoplasma saraf atau sel glia (warnacoklat pada gambar 3).11

Antigen virus yang ditemukan pada tikus yang tidakdivagektomi terdistribusi simetrik dalam ganglion di keduasisi. Sedangkan pada tikus yang divagektomi, antigen virustampak lebih dahulu (hari ke 3 pi) di sisi yang tidakdivagektomi (sisi kiri) kemudian baru tampak di sisivagektomi (sisi kanan) pada hari ke 5 pi. Tidak tampaknyadistribusi antigen virus di sisi yang vagektomi hingga hari ke 5pi menunjukkan bahwa virus tidak dapat menyebar melaluivagus yang dipotong. Setelah hari ke 5 pi, ditemukannyaantigen virus di sisi vagektomi menunjukan bahwa virusmampu menyebar melalui akson-akson di dalam batang otak(gb. 2 dan 3).

Tahun 2005, Matsuda melaporkan hasil penelitianyang memperkuat bukti kemampuan virus avian Influenza tipeA menyebar melalui akson. Penelitian ini berhasilmenunjukkan bahwa virus avian Influenza tipe A subtipeH5N3 strain 24a5b dapat menyebar melalui sitoskeleton danberada dalam nukleus dari kultur sel saraf tikus BALB/c (gb.4). Lebih lanjut diketahui bahwa bagian jaringan sitoskeletonyang dilalui virus adalah intermediate filament dan mungkinmelalui bagian lain selain sitoskeleton seperti glia.

Adakah pemeriksaan penunjang yang dapat membantumenegakkan diagnosis ensefalitis/ensefalopati akibat virusInfluenza ?

Pemeriksaan yang tepat untuk membuktikan adanyaensefalitis/ensefalopati akibat influenza adalah pemeriksaanvirus di cairan serebrospinal. Pemeriksaan yang dapatmendeteksi adanya virus influenza adalah serologi dan PCR.

Pemeriksaan tambahan lain yang dapat membantu diagnosisadalah CT-scan dan MRI (tabel 1).8Meskipun biasanya CT-scan dan MRI pada kasusensefalitis akut tidak selalu dapat memberikan gambaran khasetiologi, namun pada ensefalitis akibat virus Influenza tipe A,T-scan dan MRI dapat memberikan gambaran khas yangterletak di pons dan talamus. Kelainan khas yang tampakdalam CT otak adalah gambaran densitas rendah simetris ditalamus, pons, dan batang otak. Pada pemeriksaan MRIdengan kontras didapatkan gambaran kelainan berbentuklingkaran (cincin) di talamus (gb. 5).

Kasus anak laki-laki, usia 10 tahun, mengalami demam,kejang umum tonik-klonik, penurunan kesadaran, spastik sisikanan tubuh tanpa kaku kuduk ataupun peningkatan reflekfisiologis. Beberapa hari setelah dirawat, penderita mengalamihemiparesis nervus fasialis kanan. Hari ke 4 sakit, MRImenunjukkan lesi bilateral di pons dan talamus (gb. 5).Pemeriksaan antibodi virus Influenza tipe A menunjukkanpeningkatan titer 4 kali dalam periode 2 minggu pemeriksaan.Keadaan ini menunjukkan bahwa pemeriksaan CT/MRI dapatlebih cepat membantu menegakkan diagnosis dibandingkanpemeriksaan antibodi spesifik

Outcome ensefalitis/ensefalopati berhubungan denganusia penderita dan temuan CT/MRI. Sekuele berat dankematian lebih banyak pada anak-anak dengan kelainanpatologi yang tampak pada CT/MRI. Meskipun demikian padabeberapa kasus dengan CT/MRI normal dapat juga mengalamisekuele berat seperti choreoatetosis, perubahan perilaku,quadriparesis spastik, dan vegetative state yang menetap.9

Bagaimana perjalanan penyakit dan prognosis penderitaensefalitis/ensefalopati influenza A ?

Perjalanan penyakit penderita ensefalitis/ensefalopatiakibat Influenza sulit dinilai akibat tingginya mortalitas dancepatnya proses penyakit. Interval rata-rata antara timbulnyademam hingga timbulnya gejala neurologis adalah 1,7 hari(rentang 0-10 hari).8 Nakai (2003), melaporkan interval antaratimbulnya demam hingga kematian adalah 1,5-5 hari=sedangkan interval antara timbulnya gejala neurologis hinggakematian hanya 1,5 jam-2 hari.12 Toghasi melaporkan bahwaselama kurun waktu 1995-2002 di Jepang, tanpa perawatanintensif, 33 (37.1%) dari 89 penderita Influenza-associatedacute encephalopathy meninggal, 17 (19,1%) menderitasekuele neurologis, dan 39 (43,8%) sembuh sempurna (gb.6).

Gambar 6. Distribusi Umur dan Outcome Influenza-associated AcuteEncephalopathy

Apa faktor risiko terjadinya ensefalitis/ensefalopati akibatinfeksi virus Influenza tipe A ?

Sampai saat ini belum cukup penelitian epidemiologiyang mampu mengungkapkan faktor risiko, namun tampakbahwa insidens ensefalitis/ensefalopati akibat influenza tipe Apada anak usia di bawah 5 tahun lebih tinggi (gb. 6).8

Faktor lain yang berperan dalam terjadinyaensefalitis/ensefalopati akibat virus influenza tipe A adalahpolimorfisme dari virus yang disebabkan adanya mutasi. Mori1999) mendapatkan telah terjadi mutasi di receptor bindingsite protein hemaglutinin (HA) pada keenam virus influenzatipe A subtipe H3N2 yang diisolasi dari enam penderitaensefalopati. Mutasi terjadi di asam amino ke 137hemaglutinin (HA). Virus Influenza A H3N2 yang diisolasidari penderita ensefalopati memiliki asam aminophenylalanine pada urutan 137 HA, sedangkan virus influenzaH3N2 yang diisolasi dari penderita nonensefalopati memilikiasam amino tyrosine pada urutan 137 HA dicatat dalambentuk: 137 (tyr phe). Adanya perbedaan asam amino inididuga kuat berhubungan dengan kemampuan virusmenginvasi SSP.

Tatalaksana Ensefalitis/ensefalopati akibat flu burung(Influenza tipe A)Penderita ensefalitis akibat influenza A perlu dirawat diICU. Peranan antiviral dalam tatalaksana ensefalitis/ensefalopati akibat influenza A masih diragukan. Meskipunamantadine dan oseltamivir dapat mengatasi flu burung danmencegah komplikasi, namun efektifitasnya dalam mencegahterjadinya komplikasi ensefalitis/ensefalopati masih belumdapat diketahui. Penggunaan antiviral belum dapatmenurunkan morbiditas ataupun mortalitas ensefalitis/ensefalopati akibat influenza tipe A.

Tatalaksana utama untuk ensefalitis/ensefalopati akibatinfluenza A adalah terapi suportif yang meliputi observasipenurunan kesadaran, pengendalian tekanan tinggiintrakranial, mengatasi kejang, pengobatan edema otak.

PENUTUPKasus Flu Burung (virus Influenza tipe A subtipe) H5N1dengan penurunan kesadaran tanpa didahului batuk, pilek, dansesak nafas telah terjadi di Vietnam. Virus Influenza tipe Amemiliki kemampuan menginvasi SSP melalui jalur aksonsehingga dapat terjadi tanpa didahului batuk, pilek, ataupusesak nafas seperti beberapa kasus ensefalitis/ ensefalopatiakibat virus Influenza tipe A subtipe selain H5N1 yangdilaporkan di Jepang.Perlu dipertimbangkan untuk memperluas skrining kasusflu burung, tidak saja pada penderita ILI dan sesak tetapi jugapada kasus demam disertai penurunan kesadaran walaupuntanpa disertai batuk, pilek, dan sesak.

KEPUSTAKAAN1. WHO. Avian Influenza, including Influenza A (H5N1), in Humans:WHO Interim Infection Control Guideline for Health-care Facilities.Available at http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/guidelines/infectioncontrol1/en/index.html. 20062. IDAI. Flu burung (avian influenza, bird flu): Gambaran umum, deteksi,dan penanganan awal. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005.3. Jong MD, Cam BV, Qui PT, Hien VM, Thanh TT, Hue NB, et al. Fatalavian influenza A (H5N1) in a child presenting with diarrhea followedby coma. N Engl J Med 2005;352 :686-91.4. Morishima T, Toghasi T, Yokota S, Okuna Y, Miyazaki C, Tashiro M,Okabe N. Encephalitis and encephalopaty assosiated with an influenzaepidemic in Japan. Clin Infect Dis 2002;35:512-7.5. Voudris KA, Skaardoutsou A, Haronitis I, Vagiakou EA, Zeis PM. BrainMRI findings in influenza A-assosiated acute necrotizingencephalopathy of childhood. Eur J Paed Neurol, 2001;5:199-202. doi:10.1053/ejpn.2000.0511 available online at http://www.idealibrary.com6. Weitkamp, Hendrik J, Spring MD, Brogan T, Moses H, Bloch KC,Wright PF. Influenza A virus-associated acute necrotizing encephalopathyin the United States. Ped Infect Dis J, 2004; 23(3):259-5637. WHO. Avian influenza: assessing the pandemic threat. WHO/CDC2005; 29.8. Togashi T, Matsuzono Y, Narita M, Morishima T. Influenza-associatedacute encephalopathy in Japanese children in 19942002. Virus Res.2004;103:7589. Studahl M. Influenza virus and CNS manifestations. J Clin Virol2003;28:225-3210. Tanaka H, Park CH, Ninomiya A, Ozaki H,Takada A, Umemura T, KidaH. Neurotropism of the 1997 Hong Kong H5N1 influenza virus in mice.Vet. Microbiol. 2003;95;11311. Matsuda K, Park CH, Sunden Y, Kimura T, Ochiai K, Kida H,Umemura T. The vagus nerve is one route of transneural invasion forintranasally inoculated influenza A virus in mice. Vet Pathol2004;41:1017.12. Matsuda K, Shibata T, Sakoda Y, Kida H, Kimura T, Ochiai K,UmemuraT. In vitro demonstration of neural transmission of AvianInfluenza A virus. J General Virol, 2005;86:11319.13. Nakai Y, Itoh M, Mizuguchi M, Ozawa H, Okazaki E, Kobayashi Y, etal. Apoptosis and microglial activation in influenza encephalopathy.Acta Neuropathol 2003; 105:2339.14. Mori SI, Nagashima M, Sasaki Y, Mori K, Tabei Y, Yoshida Y, etal. Anovel amino acid substitution at the receptor-binding site on thehemagglutinin of H3N2 influenza A viruses isolated from 6 cases withacute encephalopathy during the 19971998 season in Tokyo. ArchVirol. 1999;144:14755.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE AGUSTUS SEPTEMBER 2007

TINJAUAN PUSTAKA

Dampak Epilepsi padaAspek Kehidupan PenyandangnyaRizaldy PinzonSMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia

ABSTRAKEpilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan permasalahan yangkompleks. Epilepsi memiliki beban sakit yang signifikan, terutama di negara-negaraberkembang. Telaah pustaka ini menunjukkan bahwa tingkat cedera dan kematian lebihtinggi pada penyandang epilepsi dibanding populasi normal. Epilepsi juga dihubungkandengan konsekuensi psikososial yang lebih berat bagi para penyandangnya. Stigma sosialyang melekat pada epilepsi juga menghambat penyandangnya untuk terlibat dalamkegiatan olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan pernikahan.Keywords: epilepsy injury death - quality of life - social stigma

ABSTRAKEpilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan permasalahan yangkompleks. Epilepsi memiliki beban sakit yang signifikan, terutama di negara-negaraberkembang. Telaah pustaka ini menunjukkan bahwa tingkat cedera dan kematian lebihtinggi pada penyandang epilepsi dibanding populasi normal. Epilepsi juga dihubungkandengan konsekuensi psikososial yang lebih berat bagi para penyandangnya. Stigma sosialyang melekat pada epilepsi juga menghambat penyandangnya untuk terlibat dalamkegiatan olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan pernikahan.Keywords: epilepsy injury death - quality of life - social stigmaangka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk,ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguanpsikiatrik(4). Pada penyandang usia anak-anak dan remaja,permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebihkompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remajadihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dankesulitan dalam mengikuti pendidikan formal(5). Merekamemiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dankematian yang berhubungan dengan epilepsi(3).Permasalahan yang muncul adalah: Bagaimana dampakepilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya.Tujuan penulisan makalah adalah mengkaji berbagai hasilpenelitian terkini tentang dampak epilepsi terhadap berbagaiaspek kehidupan. Pelacakan kepustakaan dilakukan melaluifasilitas internet dan perpustakaan FK UGM. Kata kunci yangdigunakan adalah epilepsy - impact - quality of life - injury -death.

PEMBAHASANEpilepsi merupakan penyakit kronis yang paling seringmenimbulkan permasalahan medik dan kualitas hidup yangburuk bagi penyandangnya(6). Epilepsi berpengaruh luas padaaspek kehidupan penyandang, keluarga, dan lingkungansosialnya(7). Lokasi fokus, tipe bangkitan, dan frekuensibangkitan merupakan hal-hal yang berpengaruh terhadapdampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya(4).Kajian dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupanpenyandangnya akan difokuskan pada 4 hal yaitu : (1) cederaakibat epilepsi, (2) kualitas hidup (Disability Adjusted LifeYears), (3) stigma sosial, dan (4) risiko kematian yang lebihtinggi dibanding populasi pembanding.Cedera akibat bangkitan epilepsiPenyandang epilepsi (terutama yang bangkitannya belumterkendali dengan baik) memiliki risiko besar untuk menderitacedera akibat bangkitan epilepsi. Cedera akibat bangkitanepilepsi didefinisikan sebagai cedera yang terjadi sebagaiakibat langsung dari bangkitan epilepsi, dan terjadi saattimbulnya bangkitan(6). Berbagai penelitian terdahulu yangmenunjukkan cedera yang dialami penyandang akibatbangkitan epilepsi dapat dilihat pada tabel 1 :

Hasil ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwacedera kepala menempati urutan pertama cedera padapenyandang epilepsi(6,8,9). Penelitian Buck dkk(8) menunjukkanbahwa faktor prediktor yang paling berperan untuk terjadinyacedera adalah tipe bangkitan tonik klonik umum dengan OR2,7 (95% CI 1,3-5,5). Faktor prediktor lain yang ikut berperanadalah jumlah bangkitan yang lebih dari 1 kali per bulannyadengan nilai OR 2,0 (95% CI 1,3-3,3).

Kualitas hidup penyandang epilepsiPenyandang epilepsi memiliki kualitas hidup yang lebihrendah daripada populasi normal. Beberapa penelitianterdahulu menggunakan Disablity Adjusted Life Years(DALY) untuk menilai kualitas hidup penyandang epilepsi;hasilnya dapat dilihat pada tabel 2 :Disablity Adjusted Life Years (DALY) didefinisikansebagai jumlah tahun yang hilang akibat kematian dini atauhidup dalam disabilitas(11,13).Penelitian tentang Disability Adjusted Life Years (DALY)yang paling menarik adalah penelitian Been, dkk (1999).Penelitian ini menggunakan pendekatan penilaian kuantitatifterhadap berbagai literatur penelitian dari tahun 1980-1999 dinegara berkembang dengan populasi penyandang anak-anak(usia 10. Hanya 17% (6/35)pasien PD pada penelitian ini yang masuk dalam rentangpatologis. Pada penelitian Wegelin et al (2005) 59% pasiendinilai memiliki skor patologis.

Grafik 1. Scatterplot skor Epworth Sleepiness Scale dengan dosislevodopa pada pasien Parkinsons Disease

Dosis levodopa para pasien yang berada pada rentangpatologis untuk rasa kantuk di siang hari (ESS>10) adalah 300mg per hari. Sedangkan dosis benserazid pada pasien yangberada pada rentang patologis untuk rasa kantuk di siang hari(ESS>10) adalah 75 mg per hari.

Tidak ada korelasi antara rasa kantuk di siang hari (ESS)dengan variabel berikut: umur, skala, dosis levodopa danbenserazid. Sebaliknya Epworth Sleepiness Score berkorelasipositif dengan durasi penyakit (Spearman rho = 0.401; n = 38;p = 0.013). Korelasi antara ESS dan durasi penyakit adalahsatu-satunya korelasi antara ESS dengan variabel lain (Tabel2).

Kekurangan penelitian ini adalah tidak menggunakankontrol sehingga tidak diketahui apakah ada perbedaan yangbermakna antara rasa kantuk pada pasien PD dan pada subjeknormal. Kekurangan lain adalah tidak menilai gangguanneuropsikiatrik lain, sehingga tidak dapat ditentukan apakahrasa kantuk yang terjadi akibat PD atau akibat gangguanneuropsikiatrik lain yang menyertai. Kami juga tidakmemasukkan pengukuran insomnia malam hari yang mungkinmempengaruhi rasa kantuk di siang hari.

KESIMPULAN1. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara obat-

obat antiparkinson, tingkat keparahan penyakit, dan umursubjek dengan rasa kantuk di siang hari pada pasien PD.

2. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara durasipenyakit dengan rasa kantuk di siang hari pada pasien PD.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya penelitian dan penulisan makalah ini, penulismenyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Jusuf Misbach, SpS(K),Dr. Yofizal, SpS(K) dan seluruh Staf Bagian Neurologi FakultasKedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat NasionalDr. Cipto Mangunkusumo yang telah mengijinkan kami mengambil datadan memberi bantuan selama penelitian di Poliklinik Neurologi.

KEPUSTAKAAN1. Lambardo MC. Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain pada SistemSaraf. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi edisi 4. EGC. 19942. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Gertner SB. LippincottsIllustrated Reviews: Pharmacology. JB. Lippincott Co. 2000

3. Nussbaum RL. Ellis CE. Alzheimers Disease and Parkinsons Disease.N Engl J Med 2003; 348(14): 1356-1364.4. Wegelin J, McNamara P, Durso R, Brown A, McLaren D. Correlates ofexcessive daytime sleepiness in Parkinsons disease. Parkinsonism andRelated Disorder 2005; 11: 441-448.

5. Ravin ISP. Dopamine Agonist Induce Episodes of Irresistible DaytimeSleepiness. Eur Neurol 2003; 49: 30-33.

6. Frucht S, Rogers JD, Greene PE, Gordon MF, Fahn S. Falling asleep atwheel: motor vehicle mishaps in persons taking pramipexole andropinirole. Neurology 1999; 52: 1908-1910.

7. Homann CN, Wenzel K, Suppan K, Ivanic G, Kriechbaum N, CrevennaR, Ott E. Sleep attack in patients taking dopamine agonists: review. BMJ2002;324: 1483-7.8. O'Suilleabhain PE, Dewey RB Contributions of dopaminergic drugs anddisease severity to daytime sleepiness in Parkinson disease. ArchNeurol. 2002; 59(6):986-9

9. Leger D. The Cost of Sleep-Related Accident: A Report for the NationalCommision on Sleep Disorders Research. Sleep 1994 ; 17(1): 84-93.

For knowledge is a steep which a few may climb,while duty is a path which all may tread(Lewis Morris)

TINJAUAN PUSTAKA

Proses dalamUmbilical Cord Blood BankingMaria Teresa Wijaya, Ferry SandraResearch Center, PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia

ABSTRAKSejak aplikasi pertamanya dalam transplantasi di tahun 1988, sel induk (stem cells) daridarah tali pusat (umbilical cord blood atau UCB) mulai disebut-sebut sebagai pengganti selinduk dari sumsum tulang belakang. Bahkan, dengan berbagai keuntungan yang ditawarkan,kini UCB perlahan mulai menggantikan posisi sumsum tulang belakang sebagai sumber utamasel induk untuk terapi. Seiring dengan meningkatnya peranan UCB, mulai muncullah UCB banksebagai tempat penyimpanan sel induk untuk digunakan di kemudian hari.Proses yang dilakukan dalam UCB banking secara umum meliputi tiga tahapan, yaituisolasi, pemrosesan dan screening, serta penyimpanan jangka panjang. Dalam ketiga tahapantersebut, ada banyak faktor yang menentukan tingkat kualitas UCB yang didapatkan. Mengingatpentingnya peranan kualitas UCB (terutama dilihat dari segi kuantitas sel induk yangdidapatkan) dalam menentukan keberhasilan transplantasi, amatlah penting untukmemaksimalkan tiap tahap dalam proses UCB banking.

INTRODUKSIKeberadaan colony-forming cells dalam UCB pertamakali ditunjukkan oleh Knudtzon (1974)1. Beberapa tahunkemudian, Nakahata dan Ogawa (1982) menemukan bahwapopulasi colony-forming cells tersebut mengandung antaralain, sel induk dan early hematopoietic progenitor cells2. Danpada tahun 1988 diadakanlah, untuk pertama kalinya di dunia,transplantasi UCB pada seorang pasien anak penderitaFanconi Anemia3. Data sampai November 2004 menunjukkanbahwa sudah 6000 transplantasi UCB dilakukan di seluruhdunia4.

Seiring dengan makin banyaknya riset tentang UCB,popularitas UCB sebagai alternatif sumber sel induk(khususnya sel induk hematopoietik) untuk pengobatan kankermulai menanjak. Dengan berbagai keuntungan yangditawarkan oleh penggunaan UCB dalam transplantasi,muncullah ide-ide untuk mengadakan sebuah sistempenyimpanan UCB atau UCB banking, mirip dengan sistemyang sudah ada terlebih dahulu untuk sumsum tulangbelakang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatanyang lebih luas bagi pasien yang membutuhkan transplantasidengan menyediakan sampel UCB yang terorganisir dalamskala besar. Koike (1983) menemukan bahwa sel-sel yangdiisolasi dari UCB dapat tetap bertahan hidup dan masihmempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi berbagaimacam sel dalam garis hematopoietik in vitro setelahcryopreservation5. Salah satu implikasi temuan Keiko iniadalah bahwa sampel UCB bisa disimpan selama bertahuntahundalam nitrogen cair untuk kemudian digunakan dalamtransplantasi di masa mendatang; ini merupakan prinsip dasarproses UCB banking. Dalam perkembangannya, UCB bankdapat digolongkan menjadi dua, yaitu public bank yang nonprofitdan membuka akses bagi siapa saja yang membutuhkan

UCB yang tersimpan di sana, dan private bank yang forprofit,menarik biaya penyimpanan, dan membatasi aksespenggunaan sampel UCB hanya untuk klien dan keluarganya.Saat ini sudah ada beberapa UCB bank yang tersebar diseluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, di mana terdapatsetidaknya 15 public UCB banks6.Proses penyimpanan UCB secara umum meliputi tigatahap: (1) isolasi UCB, (2) pemrosesan dan screening, dan (3)cryopreservation. Tahap pertama meliputi berbagai macamteknik isolasi UCB, seperti koleksi secara in-utero atau exuteroserta berbagai variabel lainnya seperti jarak antara saatkelahiran dan isolasi UCB. Tahap kedua meliputi pilihanpenggunaan open atau closed method, pengambilan sampeluntuk screening berbagai macam penyakit, serta pemrosesanUCB untuk mempermudah penyimpanan. Tahap ketigameliputi controlled-rate freezing : sampel UCB didinginkansecara bertahap sebagai persiapan untuk penyimpanan jangkapanjang di suhu -196oC dalam nitrogen cair yang merupakantahap terakhir dalam proses penyimpanan UCB.

ISOLASI UCBTahap ini memegang peranan penting dalam menentukankualitas produk UCB yang dihasilkan, seperti volume totalUCB, jumlah total nucleated cell (TNC), dan total sel CD34+.Berdasarkan saat pengambilan, ada dua metode, yaitu in-uterodan ex-utero. Metode yang pertama berarti isolasi UCBdilakukan saat plasenta masih berada di dalam rahim,sedangkan metode yang kedua berarti isolasi dilakukan saatplasenta sudah berada di luar rahim. Secara umum, masingmasingmemiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri-sendiri.Metode in-utero menghasilkan volume sampel yang lebihbesar karena proses isolasi dilakukan segera setelah kelahiranbayi, namun lebih sulit dilakukan dan dapat mengganggujalannya proses kelahiran. Sebaliknya, isolasi UCB ex-uterolebih mudah dan dapat dilakukan oleh staf UCB bank yangsudah terlatih; namun biasanya jumlah sel yang bisa diisolasilebih sedikit dan lebih berisiko terkontaminasi bakteri7. Manayang sebenarnya lebih baik di antara kedua metode ini masihmenjadi subyek banyak penelitian hingga saat ini. Beberapakelompok sudah melakukan analisis statistik mengenaipengaruh metode isolasi terhadap jumlah TNC dan sel CD34+yang merupakan dua parameter penting penentu keberhasilansebuah transplantasi. Penelitian Surbek dkk. menunjukkanbahwa untuk kasus kelahiran normal, isolasi in-uteromenghasilkan volume UCB dan jumlah TNC yang lebihbanyak8. Hasil ini dikonfirmasi lagi oleh temuan Solves et al.,yang melakukan analisis statistik retrospektif terhadap unitunitUCB yang disimpan di Valencia Cord Blood Bank. Selainitu, mereka juga menunjukkan bahwa tingkat kontaminasibiologi pada sampel yang diisolasi secara ex-utero relatif lebihtinggi7. Untuk kelahiran dengan operasi caesar, perbandingankedua metode koleksi juga menunjukkan superioritas metodein-utero9. Perbedaan hasil kedua metode disebabkan oleh duahal: adanya jeda waktu yang signifikan antara proses cordclamping dan isolasi darah yang terkandung di dalamnya danterjadinya penggumpalan darah pada kasus isolasi ex-utero7Namun tidak semua hasil penelitian mendukung hipotesissuperioritas metode in-utero. Sparrow et al. menunjukkantidak ada perbedaan antara kedua metode isolasi UCB padakasus kelahiran normal10. Sementara Yamada melaporkanbahwa volume UCB dan total jumlah sel CD 34+ yang lebihtinggi dapat dihasilkan dengan metode isolasi ex-utero dankelahiran caesar. Perbedaan hasil berbagai penelitian ini bisadisebabkan oleh bermacam faktor, misalnya faktor jumlahsampel yang dianalisis dan perbedaan kebiasaan praktek dimasing-masing rumah sakit tempat isolasi UCB dilakukan11.Selain faktor pilihan metode yang digunakan, beberapafaktor obstetrik juga dapat mempengaruhi kualitas UCB yangdidapatkan. Penelitian menunjukkan bahwa kualitas UCByang lebih baik berkorelasi dengan: (1) primigravidae, yaituibu yang melahirkan untuk pertama kalinya (2) bayi berjeniskelamin perempuan (3) keluarnya plasenta tidak lebih dari 10menit setelah kelahiran bayi (4) isolasi UCB dilakukan tidaklebih dari 5 menit setelah keluarnya plasenta (5) berat plasenta> 600 g., dan (6) usia kehamilan yang lebih dari 39minggu12,13. Selain itu, satu hal yang cukup menarik adalahstres selama proses kelahiran, misalnya kelahiran yang sulit,berkorelasi dengan kualitas UCB yang lebih baik. Hal inimungkin disebabkan oleh adanya aktivitas berbagai macamcytokines yang mendorong mobilisasi sel induk ke UCB14.Mengingat betapa pentingnya mendapatkan jumlah TNCyang sebanyak-banyaknya dalam isolasi UCB, beberapapeneliti telah mengusulkan bermacam cara isolasi baru untukmeningkatkan volume UCB yang bisa diperoleh. Elchalal, etal. mengusulkan sebuah metode yang menggunakan blood bagdan syringe berisi sodium klorida untuk flushing. Metode inidianggap yang paling efektif, namun jarang dipakai karenaadanya peningkatan kontaminasi bakteria dan sel-sel ibu15.Ada juga yang mengusulkan pengambilan UCB bukan hanyadari tali pusat (cord blood) tapi juga dari plasenta. Dalammetode ini, UCB dikumpulkan dalam dua fraksi, yang pertamadari cord blood melalui umbilical venipuncture saat plasentamasih di dalam rahim dan yang kedua dari hasil flushingplasenta dengan saline yang telah ditambahi heparin.Peningkatan kualitas UCB yang diisolasi terlihat dari lebihtingginya volume total (rata-rata 119.6 ml vs 71-98 ml dengan

metode lain), lebih tingginya jumlah TNC dan mononuclearcells, serta tidak adanya peningkatan kontaminasi bakteria dansel-sel ibu16.

PEMROSESAN DAN SCREENINGUntuk tahap ini, ada dua pilihan sistem yang bisadigunakan yaitu closed dan open system. Pemilihan sistem inijuga harus disesuaikan dengan metode isolasi yang digunakan.Open system adalah pemrosesan UCB dalam tube. BiasanyaUCB diisolasi menggunakan syringe dan ditransfer ke dalamtube untuk disimpan dan diproses lebih lanjut. Sistem inidisebut open system karena perpindahan dari satu tube ke tubelain memberikan ruang terbuka untuk kontak spesimen denganudara bebas, termasuk kontaminan yang terkandung didalamnya15. Sebaliknya, penggunaan closed systemmeniadakan kontak antara spesimen dengan udara bebaskarena UCB sampel disimpan dan diproses dalam sebuah bagsystem yang tersambung satu sama lain dan karena itu transferantar kantong dapat dilakukan tanpa membuka kantong samasekali17. Terlihat jelas superioritas closed system dalam halproteksi sampel, walaupun tentu saja hal ini dibarengi denganlebih mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Saat inisebagian besar UCB bank sudah menggunakan closed systemmengingat pentingnya menjaga sterilitas sampel yang akandisimpan15.Setelah UCB tersimpan dalam container, UCB akandiproses untuk bisa mempermudah penyimpanan jangkapanjang. Ada dua jenis proses yang lazim dilakukan, yaituvolume reduction dan red blood cells depletion. Proses volumereduction dilakukan terutama untuk memperkecil ruang yangdiperlukan untuk penyimpanan sampel dalam cryogenic tanksedangkan red blood cells depletion bertujuan untukmenghindari terjadinya reaksi penolakan graft akibat ABOantigen incompatibility. Dalam open system, kedua proses inibisa dilakukan dengan pemisahan sentrifugasi berdasarkangradien densitas atau melalui proses seleksi positif sel CD34+.Sedangkan untuk closed system, adalah para ilmuwan dariNew York Blood Center yang mempelopori pengembanganteknik volume reduction dan red blood cells depletion yangpertama. Teknik yang mereka kembangkan didasarkan padapembentukan rouleaux dengan menggunakan hydroxyethylstarch (HES) dan sentrifugasi untuk memisahkan leukositdalam supernatant dengan sel darah merah yang terkumpul didasar18. Metode inilah yang menjadi dasar dari perkembanganmetode-metode yang sekarang banyak dipakai di laboratoriumdan UCB bank.

Selanjutnya adalah proses screening, meliputi pencatatansejarah kesehatan keluarga dan tes terhadap darah ibu sertasampel UCB yang telah diisolasi. Hal ini dilakukan untukmeyakinkan bahwa UCB unit yang ada pantas untuk disimpandan mempunyai potensi untuk digunakan dalam transplantasidi kemudian hari. Foundation for Accreditation of CellularTherapy (FACT-NETCORD) dan American Association ofBlood Banks (AABB) telah mengeluarkan guidelines yangmengatur tentang apa saja informasi latar belakang kesehatankeluarga dan ibu yang perlu dikumpulkan. Untuk diseasescreening, FACT-NETCORD mengharuskan UCB bank untukmelakukan tes atas status HIV-1 dan -2, HTLVI/II, HCV danHbsAg, sementara AABB hanya menyarankan untuk tes HIV-1 antigen, anti-HBc, dan sifilis6. Semua tes tersebut tidak bisadilakukan di UCB dan oleh karena itu harus dilakukan denganmenggunakan sampel darah ibu. Sementara itu, sampel UCBakan dites untuk mengecek kontaminasi bakteri dan jamur,golongan darah (ABO) dan rhesus. Selain itu, untuk menjagakualitas UCB yang akan disimpan, beberapa UCB bank jugamelakukan tes untuk menentukan jumlah TNC, jumlah selCD34+ dan jumlah sel yang viable. Penghitungan jumlah TNCdilakukan dengan automated cell counter, kuanitifikasi selCD34+ dilakukan dengan flow cytometry sementara tesviability dilakukan dengan menggunakan trypan blue dye danhemacytometer.

Untuk public bank, dengan target penggunaan UCB untukallogeneic transplantation, biasanya dilakukan tes tambahanuntuk menentukan tipe HLA tiap sampel. Ada tiga lokus yangbiasanya dites, yaitu lokus HLA-A, HLA-B (MHC tipe I) danDRB1 (MHC tipe II). Hal ini dilakukan karena HLA matchingsangat penting untuk mencegah timbulnya graft vs hostdisease (GvHD). Dengan melakukan tes sebelumpenyimpanan, proses pencarian donor yang sesuai untuk tiapresipien akan menjadi lebih mudah dan cepat.

CRYOPRESERVATION: PENYIMPANAN JANGKAPANJANGUntuk penyimpanan jangka panjang, ada tiga hal yangperlu diperhatikan, yaitu controlled-rate freezing, penambahancryoprotectant dan penyimpanan dalam tanki nitrogen cair.Controlled-rate freezing perlu dilakukan untuk mencegahstres yang berlebihan pada sel-sel akibat perubahan suhu yangterlalu mendadak. Tahap ini bisa dilakukan menggunakancontrolled-rate freezer yang menawarkan kemudahan prosespembekuan secara otomatis. Alternatif lain adalahmemasukkan tube berisi sel ke dalam sebuah container berisiethanol yang kemudian dipindahkan dari kulkas bersuhu tinggike yang lebih rendah secara bertahap dalam jangka waktutertentu. Ethanol disini berfungsi untuk mengkontrol turunnyasuhu secara bertahap.

dipakai, yang paling umum digunakan adalah dimethylsulphoxide (DMSO). Fungsi cryoprotectant adalah untukmelindungi sel dari kerusakan akibat suhu nitrogen cair yangterlalu rendah. Untuk penyimpanan hematopoietic stem danprogenitor cells (HSC dan HPC), penelitian menunjukkanbahwa prosedur yang optimal meliputi penggunaan 10%DMSO sebagai cryoprotectant ditambah dengan 2% humanalbumin sebagai suplemen. Cell recovery yang lebih baik bisadidapatkan dengan penyimpanan dalam konsentrasi tinggi(5x107 MNC/ml) dan penambahan DMSO yang dilakukandengan cepat dan bukan secara bertahap19.

Dengan nitrogen cair, sel dapat disimpan selamabertahun-tahun tanpa mengalami perubahan yang signifikan.Sampai saat ini, spesimen UCB paling tua yang pernah ditelitiberusia 15 tahun. Kobylka dan rekan menunjukkan bahwasetelah 15 tahun disimpan dalam nitrogen cair dan kemudiandicairkan (thawed), 80% mononuclear cells bisa didapatkankembali dan tidak ada kerusakan dilihat dari segi kemampuanberproliferasi dan potensi membentuk koloni20. Untukpenyimpanan dalam tempo yang lebih singkat, spesimen UCByang telah disimpan selama 5 tahun juga terbukti tidakmengalami perubahan yang signifikan dalam hal potensipembentukan sel-sel darah21. Selain itu, untuk mengurangijumlah sel yang rusak setelah proses thawing, sampel dalamtube dapat ditambah dengan saline dalam perbandingan 1:2.Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi agregasi selgranulosit22.

PENUTUPDengan potensi UCB yang demikian besar untukdigunakan dalam transplantasi, industri UCB banking saat initelah mengalami perkembangan yang cukup pesat.Signifikansi cord blood banking terletak pada kemampuanuntuk mendapatkan UCB dengan kualitas terbaik dankemampuan untuk menyimpan dalam jangka waktu lamatanpa perubahan yang berarti dalam hal kualitas sel indukyang disimpan. Dalam artikel ini telah didiskusikan secaraumum mengenai dasar-dasar proses yang perlu dilakukandalam cord blood banking.

KEPUSTAKAAN1. Knudtzon S. In vitro growth of granulocytes colonies from circulatingcells in human cord blood. Blood 1974; 43:357-61.2. Nakahata T, Ogawa M. Hemopoietic colony-forming cells in umbilicalcord blood with extensive capability to generate mono and multipotenthemopoietic progenitors. J.Clin.Invest. 1982; 80: 1324-8.3. Gluckman E, Broxmeyer HA, Auerbach AD, et al. Hematopoieticreconstitution in a patient with Fanconi anemia by means of umbilicalcord blood from an HLA-identical sibling. N. Engl. J. Med.1989;321:1174-8.4. International cord blood society, 2006. (http://www.cordblood.org)5. Koike K. Cryopreservation of pluripotent and committed hemopoieticprogenitor cells from human bone marrow and cord blood. ActaPaediatr. Japan 1983; 25:275-8.6. Brunstein CG, Wagner JE. Umbilical cord blood transplantation andbanking. Ann. Rev. Med. 2006; 57:403-17.7. Solves P, Moraga R, Saucedo E, et al. Comparison between twostrategies for umbilical cord blood collection. Bone Marrow Transplant.2003; 31:269-73.8. Surbek DV, Schonfeld B, Tichelli A, et al. Optimizing cord bloodmononuclear cell yield: a randomized comparison of collection before vsafter placenta delivery. Bone Marrow Transplant. 1998; 22:311-2.9. Surbek DV, Visca E, Steinmann C, et al. Umbilical cord bloodcollection before placental delivery during caesarean delivery increasescord blood volume and nucleated cell number available fortransplantation. Am. J. Obstet. Gynecol. 2000; 183:218-21.10. Sparrow RL, Cauchi JA, Ramadi LT, et al. Influence of mode of birthand collection on WBC yields of umbilical cord blood units. Transfusion2002; 42:210-5.11. Yamada T, Okamoto Y, Kasamatu H, et al. Factors affecting the volumeof umbilical cord blood collections. Acta Obstet. Gynecol. Scand. 2000;79: 830-3.12. Askari S, Miller J, Chrysler G, McCullough J. Impact of donor- andcollection-relater variables on product quality in ex utero cord bloodbanking. Transplant. Cell. Eng. 2005; 45:189-94.13. Mancinelli F, Tamburini A, Spagnoli A, et al. Optimizing umbilical cordblood collection: impact of obstetric factors versus quality of cord bloodunits. Transplant. Proc. 2006; 38: 1174-6.14. Lim FT, Scherjon SA, Van Beckhoven JM, et al. Association of stressduring delivery with increased numbers of nucleated cells andhematopoietic progenitor cells in umbilical cord blood. Am. J. Obstet.Gynecol. 2000; 183: 1144-52.15. Elchalal U, Fasouliotis SJ, Shtockheim D, et al. Postpartum umbilicalcord blood collection for transplantation: a comparison of three methods.Am. J. Obstet. Gynecol. 2000; 182: 227-32.16. Bornstein R, Flores AI, Montalban MA, et al. A modified cord bloodcollection method achieves sufficient cell levels for transplantation inmost adult patients. Stem Cells 2005; 23:324-34.17. Adami V, Malangone W, Falasca E, et al. A closed system for theclinical banking of umbilical cord blood. Blood Cells Mol. Dis. 2005;35: 389-97.18. Rubinstein P, Dobrila L, Rosenfield RE, et al. Processing andcryopreservation of placental/ umbilical cord blood for unrelated bonemarrow reconstitution. Proc. Natl. Acad. Sci. 1995; 92:10119-22.19. Meyer TPH, Hofmann B, Zaisserer J, et al. Analysis andcryopreservation of hematopoietic stem and progenitor cells fromumbilical cord blood. Cytotherapy 2006; 8:265-76.20. Kobylka P, Pavol I, Birgitta BV, et al. Preservation of immunologicaland colony-forming capacities of long-term (15 years) cryopreservedcord blood cells. Transplantation 1998; 65:1275-8.21. Goodwin HS, Grunzinger LM, Regan DM, McCormick KA, JohnsonCE, Oliver DA. Long term cryostorage of UC blood units: ability of theintegral segment to confirm both identity and hematopoietic potential.Cytotherapy 2003; 5:80-6.22. Goldman JM, Thng KH, Park DS, Spiers ASD, Lowenthal RM, RuutuT. Collection, cryopreservation and subsequent viability of haemopoieticstem cells intended for treatment of chronic granulocytic leukaemia inblast-cell transformation. Br. J. Haematol. 1978; 40:185-95.

PIT IKA III IDAI 2007, Yogyakarta 7 - 9 Mei 2007

Dr Hapsari SpA(K)mengingatkan para dokterbahwa resistensi kumanterhadap antimikroba saat inisudah merupakan masalahkesehatan dunia. Hal inisangat bisa menurunkanmutu pelayanan karenameningkatkan morbiditasmaupun mortalitas penderita,lanjut pengajar dariSubbagian Infeksi &Penyakit Tropik, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UNDIPSemarang. Seminar bertopik Antimicrobial Resistance ini merupakanbagian dari PIT IKA III IDAI 2007 yang berlangsung di Grha SabhaPramana UGM Bulaksumur Yogyakarta, 7 - 9 Mei 2007. Agarpendataan lebih mudah, peserta acara ilmiah PIT dicatat melaluibarcode scanning yang terdapat di masing-masing name-tag. Metodedan alat scan yang diperlukan, disiapkan oleh PT Kalbe Farma dimeja pendaftaran maupun di pintu-pintu masuk ruangan seminar.

Seminar Anti Aging Medicine: Konsep Baru PencegahanPenuaan Dini, Jakarta 21 April 2007Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 221Bertempat di Plaza bii, Sabtu 21 April 2007, berkumpul parapeminat Anti Aging Medicine. Acara yang bertajuk Konsep BaruPencegahan Penuaan Dini tersebut selain menghadirkan para pakardari PERKAPI juga tampil pakar Anti Aging dari Jepang, DrTakahiru Fujimoto, PhD MBA. Acara dibuka oleh Ketua BidangPembinaan dan Pengembangan Perhimpunan Profesi Tingkat Pusat,Dr. Heri Aminuddin, Sp.BS, mewakili Ketua Umum PB IDI.

Peluncuran Kampanye Bantu Cegah Kanker Mulut LeherRahim (Serviks), Jakarta 18 April 2007Pada tanggal 18 April 2007 telah diluncurkan kampanye edukasimasyarakat tentang kanker mulut leher rahim (serviks), penyebabnyadan upaya pencegahannya. Kampanye ini akan berlangsung setahunpenuh. Pencanangan kampanye dilakukan di Restoran KembangGoela, Plaza Sentral, Jakarta. Kampanye Bantu Cegah KankerMulut Leher Rahim ini bertujuan memberikan pengetahuan kepadapara perempuan tentang penyakit ini dan konsekuensinya.

Simposium Nasional Perkumpulan Menopause Indonesia(PERMI), Jakarta 21-22 April 2007Simposium Nasional PERMI seharusnya dilaksanakan dalamrangka hari Menopause sedunia tgl 18 Oktober. Namun ada beberapa

kendala teknis sehingga baru bisa dilaksanakan tanggal 21-22 April2007 di Hotel Borobudur, Jakarta. Hal ini disampaikan ketua panitiadr. Frizar Irmansyah, SpOG(K) saat membuka acara PERMI.Kegiatan PERMI kali ini diikuti oleh sekitar 262 orang terdiri daridokter spesialis kebidanan & kandungan, spesialis lain, mahasiswakedokteran dan kalangan yang peduli masalah menopause.

Laporan Temu Ilmiah Reumatologi 2007, Jakarta 20-22 April2007Baru-baru ini telah terselenggara Temu Ilmiah Reumatologi(TIR) yang diadakan oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia. TIRdiselenggarakan setiap tahun dan kali ini diadakan di HotelBorobudur, Jakarta pada tanggal 20-22 April 2007. Pertemuan inidihadiri oleh kurang lebih 700 dokter baik dari Jakarta maupun luarJakarta (Medan, Palembang, Surabaya, dan sebagainya). Selain itu, diluar ruangan pertemuan terdapat stan promosi dari berbagai pabrikfarmasi di Indonesia termasuk PT. Kalbe Farma Tbk. Oleh karena itu,TIR ini terkesan sangat meriah.

Seminar IKCC: Kiat Hidup Bahagia bersama Diabetes, RS IslamJakarta Pusat, 28 April 2007

Kencing manis atau sakit gula didefinisikan sebagai gangguanmetabolisme karbohidrat. Pada pasien Kencing Manis, kadar guladarah akan meningkat karena sekresi insulin berkurang atau karenainsulin tidak sensitif lagi. Demikian penjelasan Dr H. Pudji RahardjoSpPD-KGH di hadapan sekitar 200 peserta seminar yang merupakankerjasama dengan RS Islam Jakarta Pusat.

Seminar International Health Regulations, Jakarta 30 April 2007Berbeda dengan International Health Regulations (IHR)terdahulu (1969, 1973, 1981), IHR tahun 2005 tidak hanya mengaturpengendalian terhadap 3 penyakit (demam kuning, pes, kolera), tapimencakup semua jenis masalah kesehatan yang dianggap dapatmembahayakan kesehatan masyarakat dunia, termasuk pencemaranbahan kimia dan radioaktif. Demikian pernyataan Dr MaureenBirmingham, Communicable Diseases Expert, WHO-SEARO saatmemberikan penjelasan di hadapan sekitar 200 peserta Seminar IHR,Jakarta 30 April 2007.

8th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2007, Jakarta 28-29April 2007Pada tanggal 28 29 Mei 2007 diselenggarakan 8th JakartaAntimicrobial Update (JADE) 2007. Pert