bab iv ajaran tentang dosa dan anugerah

Upload: echa-hutagaol

Post on 12-Jul-2015

331 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

2.2 TENTANG KESELAMATAN Dalam teologi Kristen ajaran tentang keselamatan ini beraneka ragam. Bagi kalangan Skolastik, keselamatan itu dipahami sebagai rahmat saja, sedangkan para Reformator melihat keselamatan itu bukan hanya berfokus pada rahmat saja namun melihat keselamatan itu lebih dalam dan luas dengan mengambil perspektif pembenaran. PL sering menggambarkan keadaan manusia yang selamat atau dirahmati itu dengan keadaan damai sejahtera(s yalom ). Kata Ibranis yalom tersebut belum menjadi istilah teknis-teologis. Kata ini bernada positif, mengungkapkan sesuatu yang baik. Istilahs yalom begitu kaya akan arti sehingga hampir tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa lain. Dalam arti absolut,syalom mencakup segala sesuatu yang berupa kebahagiaan manusia seluruhnya dan seutuhnya, baik rohani maupun jasmani, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai persekutuan (Kel. 18:23; Hak. 8:9); 11:31), khususnya umat Israel (1 Raja 5:4) serta pusatnya Yerusalem/Sion (Mzm. 76; 122; 125), bahkan seluruh alam di sekitarnya ikut dan termasuk dalam keadaan bahagia itu (Hos. 2:20; Yes. 11:6-9).[5] Syalom itu merupakan sesuatu yang kongret, yang dapat diraba dan dilihat. Syalom juga diartikan dengan kesehatan (Kej. 29:6), keadaan yang menguntungkan (2 Sam. 11:7 = syalom perang: keadaan perang yang menguntungkan), kesuburan (Za. 8:12: syalom dalam benih: yaitu benih tumbuh dengan baik, subur).[6] Dalam kitab-kitab Nabi, syalom itu mengandung perspektif masa depan yang besar. Yahweh akan memberikan syalom kepada Israel setelah penghukuman (Yer. 29:11; Yes. 54:10,13, 57:19). Yehezkiel menyebutkan syalom sebagai unsur dari Kerajaan Selamat di mana binatang buas tidak lagi merupakan hal yang menakutkan manusia. Yesaya menghubungkan syalom dengan Raja Selamat (Yes. 9:5).[7] Sama seperti dalam PL, demikian juga dalam PB, istilah keselamatan belum mempunyai sebuah istilah teknis-teologis. Kata yang paling sering dipakai sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan keselamatan ialah soteria (penyelamatan). Katas oter ia mempunyai konotasi negatif (penyelamatan dari sesuatu yang buruk) dan pertama-tama menunjuk kepada tindakan yang menyelamatkan dari yang buruk itu. Konsep keselamatanan yakni keadaan selamat dan damai sejahtera(s oter ia daneir ene) yang dianugerahkan Allah kepada manusia dihubungkan secara

tegas dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh Kudus.[8] Artinya sifat keselamatan itu mendapat arti lebih dalam dibandingkan dalam PL. Konsep keselamatan dalam PL digenapi

dalam PB di dalam diri Yesus Kristus. Keyakinan ini sudah nyata dalam cara Simeon menyalami bayi Yesus, yakni sebagai keselamatan(s oter ia) yang dari Allah, sehingga dia merasa damai sejahtera(eir ene) untuk mati (Luk.2:29-32).[9] Keselamatan (damai-sejahtera) tidak hanya mencakup hubungan antar manusia secara perorangan, tetapi juga antara kelompok-kelompok manusia. Artinya: keselamatan mempunyai dimensi politis. Keselarasan antara kelompok-kelompok dan golongan itu pada dasarnya merupakan hasil karya Kristus. Keselamatan itu malah mencakup alam semesta, sehingga mempunyai ciri kosmis. Keselamatan itu juga menyangkut hubungan timbal-balik antara Allah dan manusia. 2.3 SEKILAS TENTANG AUGUSTINUS[10] Augustinus anak tertua dariMonika lahir pada 13 November354 di provinsi Numidia (sekarang meliputi kawasan Aljazair dan Tunisia) di kota kecil yang bernamaTagas te (sekarang Souk Ahras di Aljazair Timur), sebuah kota di Algeria Afrika Utara yang merupakan wilayah Romawi saat itu. Ia dibesarkan dan dididik diK arthago, dan dibaptiskan diItalia. Ibunya seorangK atolik yang saleh, ayahnya,Patricius seorangkafir, namun Augustinus mengikuti agama Manikhean [11] . Ada beberapa hal yang membuat Augustinus tertarik pada ajaran Manikheisme yaitu:Pertama, Manikheisme merupakan aliran agama dualistis yang bertitik tolak dari dua kerajaan yang sama kuat kekuasaannya.Kedua, dalam Manikheisme ada unsurgnos tis yang menyatakan bahwa penyelamatan manusia dikarenakan pengetahuan yang khusus. Pada masa mudanya, Augustinus hidup dengan gaya hedonistik. Di Karthago ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda yang selama lebih dari sepuluh tahun dijadikannya sebagai istri gelapnya, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki baginya. Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya dalamfils afat danretorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Namun demikian Augustinus kemudian kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dirasakannya

menyedihkan. Sahabat-sahabatnya yang beragama Manikheanis memperkenalkannya kepada kepala kota Roma,Simakhus, yang telah diminta untuk menyediakan seorang dosen retorika untuk istana kerajaan diM ilano. Pemuda dari desa ini mendapatkan pekerjaan itu dan berangkat ke utara untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun384. Pada usia 30 tahun, Augustinus mendapatkan kedudukan akademik yang paling menonjol di dunia Latin, pada saat ketika kedudukan demikian memberikan akses ke jabatan-jabatan politik. Namun demikian, Augustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan. Suatu hari ia mengeluh ketika sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, bahwa seorang pengemis mabuk yang dilewatinya di jalan ternyata hidupnya tidak begitu diliputi kecemasan dibandingkan dirinya. Pengaruh uskup Milano,A mbros ius, sangat banyak mempengaruhi hidupnya. Ambrosius adalah seorang jagoan retorika seperti Augustinus sendiri, namun lebih tua dan lebih berpengalaman. Pengaruh khotbah-khotbah Ambrosius, dan studi-studinya yang lain, membuat Augustinus beralih dari Manikheanisme. Namun bukannya menjadi Katolik, tetapi ia malah mengambil pendekatanNeoplatonis kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya, meskipun pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptik. Pada musim panas tahun386, setelah membaca riwayat hidup St. Antonius dari Padang Pasir yang sangat memukaunya, Augustinus mengalami suatu krisis pribadi yang mendalam dan memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Ia meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai seorang profesor di Milano, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk melayaniA llah dan praktikimama t, termasuks elibat. Sebuah pengalaman penting yang mempengaruhi pertobatannya ini adalah suara dari seorang gadis kecil yang didengarnya pada suatu hari menyampaikan pesan kepadanya melalui sebuah

nyanyian kecil untuk Ambillah dan bacalah (tolle, lege) Alkitab. Pada saat itu ia membuka Alkitab dengan sembarangan dan menemukan sebuah ayat dariPaulus. Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan Augustinus (Confessiones) yang kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra

dunia. Ambrosius membaptiskan Augustinus pada hariP as kah pada387, dan tak lama sesudah itu pada388 ia kembali ke Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika ibunya meninggal, dan tak lama kemudian anak laki-lakinya, sehingga ia praktis sendirian di dunia tanpa keluarga. Setelah kembali ke Afrika Utara, ia membangun sebuahbiara di Tagaste untuk dirinya sendiri dan sekelompok temannya. Pada391 iaditahbis kan menjadi seorangimam di Hippo Regius, (kiniAnnaba, diA ljazair). Ia menjadi seorangpengkhotbah terkenal (lebih dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dicatat karena melawan ajaran sesat Manikheanisme, yang pernah dianutnya. Pada396 ia diangkat menjadi pendamping uskup di Hippo dan tetap sebagaiuskup di Hippo hingga kematiannya pada430. Ia meninggalkan biaranya, namun tetap menjalani kehidupan biara di kediaman resminya sebagai uskup. Ia meninggalkan sebuah Buku Aturan (bahasa Latin Regula) untuk biaranya yang membuat ia digelari sebagai santo pelindung darirohaniw an biasa, artinya, imam praja yang hidup dengan aturan-aturan biara. Sepanjang hidupnya Augustinus banyak menulis. Tulisannya yang berjudulConfessiones ditulisnya sebelum tahun 400. Di dalamnya diceritakan riwayat hidup sampai pertobatannya. Karya besarnya yang lain adalah De Civitate Dei (Kota Allah) dan De Trinitate (Trinitas).De Civitate Dei terdiri dari 22 buku. Sepuluh buku pertama menguraikan tentang iman Kristen. Dua belas buku berikutnya menguraikan tentang perjuangan kota Allah (Civitas Dei) dengan kota dunia (Civitas Terrena). Kota Allah akan mengalahkan kota dunia. Kota Dunia adalah kerajaankerajaan dunia ini, khususnya kekaisaran Roma. Proses mengalahkan kerajaan dunia menjadi kerajaan Allah disebut dengan masa pengembaraan (Civitas Penegerire). Yang ada sekarang harus ditinggalkan bukan diperbaharui. Artinya Civitas Dei bukan turun ke dunia. Dengan demikian pemikiran Augustinus sangat Platonis. De Trinitate terdiri dari lima belas buku. Sebagian besar merupakan kumpulan surat-surat, khotbah-khotbah, dan suatu kumpulan dialog filosofis. Tidak lama sebelum kematiannya ia menerbitkan bukunya yang berjudulRetr actat ions, di mana ia meninjau kembali karya literernya. Bagi Agustinus gereja terdiri dari dua bagian yaitu: (1) Gereja yang kelihatan (Visible Church) gereja yang tidak sempurna yang penuh cacat dan cela; dan (2) Gereja yang tidak kelihatan

(Invisible Church) gereja yang sempurna atau ideal. Gereja yang kelihatan adalah bayangbayang dari gereja yang tidak kelihatan.[12] Augustinus meninggal dan dikebumikan pada 28 Agustus 430 di Hippo akibat kekejaman bangsa Vandal. Jenazahnya kemudian dibawa ke Pavia di Italia Utara. Lengan kanannya yang seumur hidupnya menulis dan memberkati, disimpan dan dihormati di katedral Hippo. 2.4 SEKILAS TENTANG PELAGIUS[13] Pelagius dilahirkan sekitar 354. Pada umumnya disepakati bahwa ia dilahirkan diBritania, namun di luar itu, tempat kelahirannya yang pasti tidak diketahui. Ia disebut sebagai biarawan oleh orang-orang sezamannya, meskipun tidak ada bukti bahwa ia terkait dengan ordomonas tik manapun (gagasan tentang komunitas biara masih agak baru pada zamannya, orang lebih lazim mempraktikkan asketisisme sendiri) atau bahwa ia ditahbiskan menjadi imam. Ia menjadi lebih terkenal sekitar tahun 400 ketika ia pindah ke Roma untuk menulis dan mengajar tentang praktik asketisismenya. Di sana ia menulis sejumlah karya penting De fide Trinitatis libri III, Eclogarum ex divinis Scripturis liber primus, dan Commentarii in epistolas S. Pauli, sebuah tafsiran atas surat-surat Paulus. Malangnya, kebanyakan dari karya-karyanya bertahan hanya dalam kutipan-kutipan oleh lawan-lawannya. Di Roma, Pelagius merasa prihatin tentang kehidupan moral masyarakat yang kendur. Ia mempersalahkan hal ini pada teologi anugerah ilahi yang diajarkan, antara lain, oleh Augustinus. Sekitar tahun 405, konon Pelagius mendengar sebuah kutipan dari karyaAugustinus, Pengakuan-pengakuan , Berikan kepadaku apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkan kepadaku apa yang Engkau inginkan. Kutipan ini membuat Pelagius prihatin karena tampaknya di sini Augustinus mengajarkan doktrin yang bertentangan dengan pemahaman-pemahaman Kristen tentang anugerah dan kehendak bebas, dan mengubah manusia menjadi robot saja. KetikaA larik bersama suku bangsa Goth Timur mengepung kota Roma pada tahun 410, Pelagius dan pengikutnya yang terdekatCoelestinus melarikan diri ke Karthago. Di sana Pelagius menyebarkan ajaran-ajarannya serta mendapat banyak pengikut. Bahkan Coelestinus sempat ditahbiskan menjadi presbiter di Karthago. dan di sana ia melanjutkan karyanya dan berjumpa dengan Augustinus secara pribadi. Pelagius meninggal dunia barangkali tahun 419. Namun ajarannya hidup terus di bawah pimpinan Julianus dari Eclanum, seorang uskup yang cakap sekali. Ia merumuskan ajaran-ajaran Pelagius dengan sangat sistematis. 3. SEJARAH DOGMA TENTANG DOSA DAN KESELAMATAN PADA GEREJA LAMA Ketika perdebatan Kristologi masih merisaukan Gereja Timur, maka permasalahan lain yang muncul di Gereja Barat adalah perdebatan tentang dosa dan anugerah, kehendak bebas dan predestinasi. Hal paling penting diperhatikan adalah praktek Kekristenan. Perilaku mereka atas pekerjaan penebusan lebih diutamakan daripada permasalahan Kristologi itu sendiri. Perhatian utama pada Bapak Gereja sebenarnya adalah mengenai Teologi dan Kristologi. Namun mereka juga menghadapi dualisme pandangan tentang dosa dan anugerah yang membawa kebingungan lebih besar, dengan munculnya ajaran Pelagius dan Augustinus.[14] Pandangan mereka atas dosa sangat dipengaruhi oleh perlawanan mereka terhadap Gnostisisme yang mengganggap bahwa kejahatan melekat pada materi dan penolakan atas kehendak bebas. Gnostisisme menekankan bahwa penciptaan Adam sebagai gambar Allah tidak melingkupi kesempurnaan etisnya tetapi hanya kesempurnaan moral di dalam kodratnya. Artinya pertemuan antara jiwa manusia dan materi segera dianggap sebagai dosa. Pengertian seperti ini akan menyingkirkan dosa dari karakter etisnya. Kejahatan tubuh (materi) semakin bertambah di dalam manusia, tetapi ini bukanlah dosa itu sendiri dan juga bukan termasuk dosa seluruh umat manusia. Mereka juga memahami bahwa tidak ada dosa asli. Irenaeus berpendapat bahwa manusia adalah anak-anak, pengertiannya belumlah sempurna; karena itu pula ia mudah disesatkan oleh pendusta. Dengan diciptakan menurut citra Allah, manusia belum sempurna

seperti Allah. Irenaeus berpendapat bahwa tujuan umum dari ciptaan dan peran sang penebus adalah membawa semua makluk ciptaan yang tidak sempurna ini pada kesempurnaannya.[15] Origenes berusaha menjelaskan pengertiannya dengan menggunakan teori pra-eksistensinya. Menurut Origenes jiwa-jiwa manusia sudah berdosa dalam masa pra-eksistensi dan ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia, maka jiwa itu sudah berdosa. Gagasan Origenes tentang pra-eksistensi jiwa ditolak Gereja tetapi penekanannya atas kejatuhan sebagai sumber ketidaksempurnaan manusia diterima. Bagi Origenes kejatuhan pra-historis itu bukan hanya menerangkan

Sejarah Dogma Tentang Dosa Dan AnugerahDownload this Document for FreePrintMobileCollectionsReport Document

Info and Ratingsahatsiregar

Share & Embed Related DocumentsPreviousNext 1.

p.

p.

p.

2.

p.

p.

\

More from this user Add a Commentdunia dari dalam iman Kristen. Satu cara menyelami ajaran-ajaran ini ialah mencari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan yang menjadi dasarnya.[38] Haight melihat perbedaan di antara Augustinus dengan Pelagius dari sudut nilai-nilai. Nilai utama yang mendasari pandangan Pelagius adalah kebebasan suatu pribadi, kekuatan untuk menentukan diri sendiri. Bagi Pelagius, orang Kristen dewasa seharusnya menjadi anak Allah, yaitu seorang ahli waris yang dibebaskan dan kini bertanggung jawab. Sebaliknya, nilai utama yang mendasari ajaran Augustinus adalah pengalamannya akan kemutlakan Allah serta ketergantungan total manusia pada-Nya. Nilaikedua yang mendasari ajaran Pelagius ialah soal kemungkinan universal bagi keselamatan. Pandangan Pelagius jauh lebih luas dan global daripada pandangan Augustinus. Pelagius tidak dapat menerima massa damnata (umat manusia terhukum). Dan akal sehat mengajarkan dia, bahwa penghukuman abadi bagi bayi-bayi yang

tidak dibaptis merupakan penghinaan bukan saja bagi umat manusia, tetapi juga bagi Allah. Dosa sudah barang pasti tersebar, akan tetapi dosa mempengaruhi orang-orang terutama melalui mekanisme eksternal pengaruh-pengaruh sosial, yang tidak mengganggu kodrat batin dan inti kebebasan seorang pribadi. Seorang dapat menjawab panggilan Allah kapan saja. Allah tidak pilih kasih, memilih sebagian dan bukan yang lain. Sebaliknya, Augustinus jadi sadar bahwa rahmat Allah sama sekali cuma-cuma dan ini dituangkan ke dalam ajaran tentang pemilihan dan predestinasi. Dosa mencengkeram hidup manusia dari dalam dan di dalam. Jika orang-orang terbuka kepada Yang Baik, kepada yang lebih tinggi dan yang rohani, ini terjadi sebagai suatu gerakan sekonyong-konyong dan spontan yang tidak dikendalikan oleh orang-orang itu.[39] Haight juga melihat hal-hal ekstrem yang berbahaya dalam pandangan Augustinus dan Pelagius ini. Penekanan Pelagius atas kebebasan manusia untuk taat, kelihatannya menjadikan Allah seorang tiran. Pelagianisme dipertalikan dengan tradisi Stoisisme. Peranan utama hukum dan penekanan berlebihan atas hukum dapat dengan gampang merosot menjadi legalisme yang hendak diatasi oleh Injil. Pelagius menginginkan seluruh Gereja menjalani kehidupan asketis ala biarawan. Akhirnya, tekanan Pelagius pada kebebasan dan otonomi manusia terlalu besar. Agama Kristen tidak lagi membebaskan. Sebaliknya ia menjadi sesuatu yang mengerikan. Namun bahaya-bahaya padangan Augustinus menurut Haight lebih halus tetapi sama riilnya. Ajarannya mengenai takdir tidak boleh tidak membuat orang berkecil hati. Ajaran itu pada akhirnya tidak saja menyakiti perasaan manusia tetapi juga merusakkan pandangan Kristen tetang Allah. Dalam jangka panjang, otonomi manusia sesungguhnya dibahayakan. Otonomi yang menurut keyakinan orang Kristen dikukuhkan oleh Allah dan dijamin oleh rahmat-Nya.[40] Namun Haight juga melihat adanya tema-tema yang lebih besar dalam pandangan Augustinus dan Pelagius ini. Masing-masing pandangan mempunyai akibat-akibatnya baik dulu maupun sekarang. Temaper tam a adalah Idealisme Pelagius jangan kita tafsirkan sebagai naturalisme. Pelagius percaya akan rahmat Allah. Orang yang baru bertobat dan dibaptis, dibarui karena rahmat Allah. Kehidupan Kristen dilihat sebagai kesaksian dan tanda tentang Allah serta rahmatNya kepada kekaisaran kafir dunia ini. Pelagianisme dapat saja dipandang sebagai asketisme yang ketat atau perfeksionisme. Sebaliknya, keputusan-keputusan Augustinus sepertinya mendukung toleransi terhadap cara hidup Kristen yang lali. Orang Kristen pada hakikatnya adalah orang yang baru sembuh dari sakit. Hidupnya diselamatkan, tetapi ia tetap sakit. Pandangan Augustinus memperbolehkan di dalam Gereja semua kesalahan manusia yang kita temukan di luar Gereja. Dan akibatnya ialah penyamaran seluruh kesaksian Kristen dengan standar umum orang biasa. Hal ini membenarkan standar ganda: Kekristenan nominal bagi orang-orang biasa dan Kekristenan riil yang mendorong orang-orang melarikan diri ke biarabiara. Temakedua berkaitan dengan soal antropologi Kristen dan Gereja. Penekanan Pelagius pada kebebasan hendaknya jangan disamakan dengan individualisme. Di belakang pembaruan Pelagius terletak pemahaman tentang Gereja. Pelagius tidak menginginkan seorang individu menjadi seorang asketis di luar Gereja. Dia menginginkan Gereja menjadi asketis. Biarpun hal ini sama sekali tidak riil dalam konteks Gereja massa, Gereja masyarakat Kristen, namun tidak demikian dalam Gereja minoritas, Gereja segelintir orang yang penuh pengabdian. Pelagius puas dengan kelompok kecil macam ini. Pandangan Augustinus membayangkan Gereja sebagai agama mayoritas, Gereja negara dan Gereja massa. Kekristenan merangkul dan mencaplok seluruh kekaisaran dan mulai menciptakan masyarakat Kristen abad Pertengahan. Akan tetapi kesadaran akan Kekristenan runtuh. Dan temaketiga bersangkutan dengan penilaian Kristen tentang sejarah manusia yang berkembang di luar batas pewahyuan Kristen yang eksplisit. Optimisme Pelagius dapat dituangkan ke dalam pandangan positif tentang sejarah tersebut. Sekalipun Pelagius menganjurkan asketisme yang ketat atau keras, ia memandang kebebasan kodrat manusia untuk membuat yang baik sebagai tetap utuh. Jika diperluas, interpretasi macam ini mendorong seseorang menerima kemungkinan sejarah manusia yang dapat bergerak menuju Allah, tanpa bantuan Kekristenan eksplisit. Namun Augustinus kurang optimis dengan dunia ini beserta

sejarahnya. Baginya tugas-tugas duniawi tidak dapat memiliki makna definitif. Sebab tidak gampang dimengerti bagaimana pembangunan kota duniawi dapat membuat banyak perbedaan bagi hasil akhir sejarah. Bagi Augustinus, rahmat sama sekali gratis, sebab rahmat datang kepada manusia yang secara radikal berdosa, dan sama sekali tidak pantas bagi prakarsa yang diambil Allah untuk mengubah kehendak buruknya menjadi kehendak baik. Bagi Augustinus, perbuatan-perbuatan baik orang kafir, kendati kelihatan mempunyai nilai, pada akhirnya semu. Sebab perbuatan-perbuatan baik itu tidak membawa orang-orang kafir lebih dekat kepada persekutuan dengan Allah.[41] Pendapat lain yang menentang pandangan Pelagius dikemukanan oleh CJ.Haak. Menurutnya pandangan Pelagius yang mengatakan bahwa anugerah Allah berarti bahwa Allah hanya membuka kemungkinan keselamatan bagi manusia, lalu manusia bebas memilih apakah percaya atau tidak, tidak sesuai sama sekali dengan Alkitab (Roma 3:6-8; Ef. 2:1). Alkitab mengatakan bahwa anugerah itu bukan kemungkinan, melainkan keselamatan sendiri yang diberikan Tuhan. Apabila Tuhan datang dengan Injil-Nya dan seseorang mau bertobat, maka orang itu ditangkap dan tidak bisa melawan lagi (bnd. Paulus dalam Kis.9). Ajaran Pelagius rupanya manis dan menekankan bahwa Allah mengasihi hanya secara umum. Ajaran Pelagius ini mematikan orang lemah, memadamkan harapan orang yang letih lesu dan menolak orang yang ingin lari kepada Tuhan dengan menyesal karena dosanya. Ajaran Pelagius ini menutup pintu bagi yang lemah, yang berdosa, maka memihak yang kuat. Ajaran Pelagius ini meniadakan setiap harapan akan pengampunan, kemurahan, dan anugerah. Pelagius telah menjadikan Allah yang penuh kasih itu menjadi seorang raja yang membunuh dengan sewenang-wenang.[42] Jelaslah bagi kita bahwa teologi Augustinus semata-mata berpusat pada rahmat Tuhan yang bebas, yang mau mencari dan menyelamatkan manusia, walaupun dalam manusia itu sebenarnya tidak terdapat apa-apa yang layak untuk mendapat cinta-kasih Tuhan itu. Ajaran ini memang sangat bertentangan dengan pikiran, pendirian dan kelakuan kaum Kristen pada zaman itu. Karena masa itu yang diutamakan ialah amal yang membawa kepada mistik, askese, dan kerahiban. Sebab itu Gereja mengajak anggotanya untuk membuat banyak pekerjaan yang baik supaya nanti diganjari oleh Tuhan. Sampai pada waktu itu Gereja selalu melawan pandangan kafir, bahwa nasib manusia ditentukan oleh takdir atau fatum. Pada hemat Gereja, manusia berkehendak bebas dan bergantung jawab sendiri. Tidak mengherankan bahwa Augustinus mendapat perlawan keras dari pihak rahib. Jelaslah bahwa kedua teologi yang berbeda itu mempunyai pengertian-pengertian yang sangat berbeda pula tentang hakikat manusia. Bagi Augustinus, hakikat manusia adalah lemah, sudah jatuh dan tidak berdaya; bagi Pelagius, hakikat manusia adalah otonom dan dapat mencukupi dirinya. Bagi Augustinus adalah mutlak perlu bergantung pada Allah untuk keselamatan; bagi Pelagius, Allah semata-mata hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan kalau keselamatan itu akan diperoleh dan kemudian membiarkan manusia memenuhi syarat-syarat itu tanpa bantuan dari luar. Bagi Augustinus, keselamatan adalah suatu anugerah tanpa jasa dari manusia; bagi Pelagius, keselamatan adalah upah yang pantas diterima.[43] Dalam perdebatan selanjutnya di dalam Gereja Barat, pandangan Augustinus dianggap benarbenar Kristiani dan pandangan-pandangan Pelagius dikecam sebagai bidat. Dua konsili yang penting menegaskan pandangan-pandangan Augustinus sebagai pandangan yang normatif (resmi), yaitu Konsili Karthago (418) dan Kosili Orange II (529). Menarik sekali, pandanganpandangan Augustinus mengenai predestinasi tidak begitu disambut, sedangkan pokok-pokok lain di dalam sistemnya didukung dengan sangat entusias. 7. TANGGAPAN HISTORIS Apa yang menjadi perdebatan Augustinus dan Pelagius ini masih diteruskan oleh pengikutpengikutnya. Teori Augustinus dikembangankan oleh Thomas Aquinas, Martin Luther dan Johannes Calvin. Aquinas mengembangkan teori rahmat Augustinus tersebut. Menurut Aquinas rahmat dipahami sebagai mengangkat, kebiasaan, yang diciptakan, adikodrati, gratis, membenarkan dan menyucikan. Rahmat itu kebiasaan yang tercipta di dalam jiwa karena partisipasi Allah. Rahmat merupakan partisipasi dalam kebaikan Allah dan partisipasi dalam kodrat Allah. Artinya melalui rahmat manusia berpartisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Dengan cara ini, rahmat yang mengangkat juga menyucikan.[44]

Baik Luther maupun Calvin, sangat menekankan keyakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui iman (sola gratia, dan sola fide). Karena itu mereka sama-sama melancarkan protes terhadap Gereja Katolik Roma (GKR) yang memahami keselamatan sebagai hasil kerjasama antara karunia Allah dan perbuatan baik manusia. Namun Calvin selanjutnya mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang keselamatan ini dalam suatu wawasan yang biasa dikenal dengan istilah predestinasi.[45] Perhatian utama Luther pada rahmat berpusat pada keberadaan dosa manusia. Dalam kuliahnya tentang surat Paulus kepada jemaat di Roma (15151516) Luther mengidentikkan dosa dengan konkupisensi. Dia menulis, Maka dari itu dosa aktual sebenarnya merupakan pekerjaan dan buah dosa. Dan dosa itu sendiri adalah nafsu dan konkupiensi, atau kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang baik Membandingkan Luther dengan Augustinus yang berpengaruh kepadanya, kesamaannya ialah titik tolak ajaran keselamatan, yakni kedosaan manusia dan kerahiman Allah. Perbedaannya menyangkut jawaban atas masalah kedosaan. Luther berbicara tentang simul iustus et peccator (serentak orang benar dan pendosa), sedangkan menurut Augustinus manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh Allah, bahkan terjadi reparatio naturae (pembetulan kodrat), yang berarti bahwa Augustinus meletakkan rahmat dalam manusia (teologi bersifat antropologi). Luther tidak menghendaki antropologi, tetapi teologi radikal: rahmat diletakkannya seluruhnya dalam Allah.[46] Setelah Augustinus dan Pelagius meninggal, maka pertikaian teologis di Gereja Barat semakin hebat. Sebab di Gereja Timur perdebatan seperti ini tidak kita temukan di Gereja Timur. Pusat perhatian Gereja Timur bukan bagaimana supaya aku orang berdosa diselamatkan tetapi bagaimana supaya aku memiliki pengetahuan untuk hidup yang baka. Perdebatan di Gereja Barat adalah bagaimana supaya aku orang berdosa bisa selamat dan apa yang harus kuperbuat. Augustinus mengatakan kita tergantung sepenuhnya pada rahmat Allah karena kita sebelumnya sudah ditentukan untuk selamat (predestinasi). Sementara Pelagius mengatakan bahwa kita ini bukan robot. Sejak kita diciptakan, kita sudah berakal budi dan diberi kebebasan untuk berpikir, dan memilih. Jika kita bertanya mana yang lebih alkitabiah dari antara mereka? Pada dasarnya mereka berdua sama-sama alkitabiah. Dalam perkembangan selanjutnya di Gereja Barat menempuh jalan mengkombinasikan ajaran Augustinus dan Pelagius ini. Itulah yang disebut dengan Semi Pelagianisme (Sinergisme). Semi Pelagianisme menganggap keadaan manusia yang telah jatuh itu bukan sebagai mati (Augustinus) dan bukan juga sebagai segar-bugar (Pelagius), melainkan sebagai sakit. Untuk disembuhkan ia memang memerlukan rahmat Allah, tetapi sekali sembuh, ia dapat menjalankan kehidupan Kristiani dengan kekuatannya sendiri, tanpa rahmat Allah. Ajaran inilah yang dianut oleh Katolik hingga sekarang, walaupun pada momen-momen tertentu menekankan rahmat. Sebaliknya bagi Protestan tidak sepenuhnya mengacu pada Augustinus. Sebab di gereja Protestan diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan benar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertikaian Augustinus dan Pelagius ini bukan hanya pertikaian Gereja Lama saja, tetapi perdebatan ini masih bahagian perdebatan teologi masa kini. Baik Augustinus maupun Pelagius, dalam memahami Alkitab selalu didasarkan pada pengalaman dan hasil studi-studi mereka. Jika memang mereka mendasarkan pengajaran mereka pada pengalaman dan studi-studi mereka, maka timbul pertanyaan, apakah pengajaran gerejagereja masa kini didasarkan pada pengalaman dan hasil studi-studi gereja? Bisa saja gereja memiliki pengalaman-pengalaman dan hasil studi-studi tertentu dalam menentukan pengajaran dan dogma gereja masing-masing. Artinya pengajaran gereja yang ada sekarang sangat dipengaruhi oleh banyak aliran pengajaran yang ada disekitar gereja itu sendiri. Karenanya sangatlah kurang pas jika sebuah gereja terlampau berani mengatakan diri sebagai gereja yang menganut aliran-aliran gereja (misalnya: Lutheran, Calvinis, Wesleyan, Anglikan, dan lain-lain) yang murni.[47]