bab iv

14
BAB IV HAMBATAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENCAPAI TUJUANSISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU A. Hubungan Internal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Menurut UU Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995 Dalam sebuah sistem hukum Lawrence M. Friesman mengemukakan, terdapat tiga komponen penting yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, yaitu struktur hukum (legal structur) substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal culture). Struktur hukum terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang berfungsi menjalankan perangkat hukum yang ada. Substansi hukum menyangkut peraturan perundang- undangan yang berlaku serta norma-norma dan aturan yang hidup di masyarakat yang memiliki kekuatan yang 51

Upload: mahiraumaiza

Post on 23-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ilmu Hukum

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV

BAB IV

HAMBATAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENCAPAI

TUJUANSISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU

A. Hubungan Internal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan

Pidana Terpadu Menurut UU Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995

Dalam sebuah sistem hukum Lawrence M. Friesman mengemukakan,

terdapat tiga komponen penting yang saling mempengaruhi antara satu dengan

yang lainnya, yaitu struktur hukum (legal structur) substansi hukum (legal

substance), budaya hukum (legal culture).

Struktur hukum terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang berfungsi

menjalankan perangkat hukum yang ada. Substansi hukum menyangkut

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta norma-norma dan aturan yang

hidup di masyarakat yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi

pedoman bagi aparat penegak hukum.

Kultur hukum menyangkut bagaimana sikap dan perilaku masyarakat

dalam menjalankan aturan hukum. Dalam sebuah sistem, ketiga komponen

tersebut memiliki ketergantungan antara satu dengan lainnya. Ketiga komponen

tersebut menjadi satu kesatuan yang berhubungan dan bekerja secara aktif untuk

mencapai tujuan.

Dari konsep mengenai sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman

tersebut dapat dijadikan acuan atau pisau analisis dalam mengkaji pelaksanaan

51

Page 2: BAB IV

52

dalam sistem peradilan pidana terpadu. Dalam menjalankan tugasnya subsistem

dalam sistem peradilan pidana terpadu juga tergantung pada ketiga unsur

tersebut, dan untuk mencapai tujuannya harus menjalin keterpaduan.

Penyelenggaraan peradilan pidana dapat diartikan sebagai bekerjanya

sebuah sistem mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

dipersidangan serta pelaksanaan putusan hakim. Rangkaian tahapan tersebut

menunjukkan adanya keharusan semua subsistem untuk bekerja secara terpadu

dalam melaksanakan system peradilan pidana untuk mencapai tujuan.

Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan sistem peradilan pidana terpadu

bersifat fragmentatif dan cenderung berjalan berdasarkan fungsinya masing-

masing sehingga mempengaruhi tercapainya tujuan system peradilan pidana. Ada

kecenderungan pemahan dari masing-masing subsistem bahwa keberhasilan

mereka diukur dari bagaimana mereka menjalankan fungsi dan tugasnya tanpa

memperhatikan bagaimana subsistem yang lain menjalankan tugasnya. Akibat

lebih jauh kenyataan ini berdampak pada hilangnya kepercayaan public sebagai

stakeholder dalam menjalankan sistem peradilan pidana terpadu secara

keseluruhan.

Penyelenggaraan peradilan pidana dewasa ini terlihat belum berfungsi

secara maksimal dalam mewujudkan keadilan terhadap masyarakat, hukum

hanya berpihak kepada kekuasaan, pemegang kendali ekonomi (the have). Fakta

tersebut membuat masyarakat melihat hukum sebagai instrument penguasa dan

kaum pemilik modal semata. Dengan demikian masyarakat cenderung tidak

Page 3: BAB IV

53

percaya terhadap hukum yang ada, Harkristuti Harkrisnowo melihat sejumlah

kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi adalah:

1. Sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial

2. Perangkat hukum yang belum sepenuhnya mencerminkan keadilan sosial

3. Penegakkan hukum yang masih inkonsisten dan

4. Perlindungan hukum terhadap masyarakat masih lemah

Penegakkan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat

menyebabkan masyarakat frustasi dan bahkan cenderung tidak percaya terhadap

hukum, lemahnya penegakkan hukum dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran

aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya. Untuk menjawab

persoalan itu, perlu adanya sinkronisasi penyelenggaraan sistem peradilan pidana

terpadu dan disertai pengawasan yang efektif untuk memantau penyelenggaraan

sistem peradilan pidana terpadu tersebut.

Keterpaduan dalam menjalankan sistem peradilan pidana terpadu diakui

merupakan hal yang sulit karena adanya “egoism sektoral” dari masing-masing

subsistem peradilan pidana terpadu, masing-masing subsistem dalam sistem

peradilan pidana terpadu merasa berhasil manakala institusinya berhasil

menjalankan tugasnya tanpa menghiraukan apakah subsistem lainnya berhasil

atau tidak, bahkan sulit pula untuk ditutupi adanya kenyataan saling menjegal

dan saling menyalahkan.

Lembaga pengawasan internal pada masing-masing sistem peradilan

pidana terpadu sudah ada, hanya saja efektifitas dan obyektifitas dalam

Page 4: BAB IV

54

melaksanakan fungsinya sangat diragukan. Tuntutan publik agar hasil

pengawasan dimasing-masing lembaga tersebut diumumkan kepada publik tidak

dilaksanakan, asumsi yang digunakan oleh para aparat penegak hukum tersebut

adalah sanksi yang diberikan tidak boleh diketahui oleh public dengan alasan

yang bersangkutan sulit diterima oleh masyarakat karena kesalahannya telah

disebarluaskan kepada masyarakat.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, permasalahan substansi hukum dalam

sistem peradilan pidana terpadu adalah banyaknya peraturan perundang-

undangan yang kurang berorientasi pada penyelarasan hubungan antar lembaga

serta inkonsisten. Peraturan perundang-undangan yang tidak berorientasi pada

penyelarasan hubungan antar lembaga pasti akan berpengaruh pada

implementasinya. Selain itu dapat dipastikan peraturan perundang-undangan

yang inkonsisten yang menjadi dasar pelaksanaan tugas dan wewenang masing-

masing lembaga sangat berpengaruh pada terjadinya kegagalan sistem peradilan

pidana terpadu dalam mencapai tujuannya.

Dalam penyidikan, sebagai contoh sampai saat ini muncuk perdebatan

kewenangan penyidikan tindak pidana bea cukai, kepolisian atau penyidik

Pegawai Negeri Sipil . Menurut Yahya Harahap, penyidik polri memegang peran

sentarl dalam penyidikan. Penyidik polri bertindak sebagai coordinator dan

melakukan koordinasi pengawasan terhadap semua penyidik yang ada termasuk

penyidik PNS.

Page 5: BAB IV

55

Selain itu pemahaman bahwa mengisyaratkan adanya kewenangan khusus

pada PNS Bea Cukai untuk melakukan penyidikan tanpa harus koordinasi

dengan kepolisian, dalam kaitan ini harus ada ketegasan kewenangan lembaga

yang melakukan penyidikan dan sinkronisasi instrument hukum mutlak

diperlukan dengan melibatkan semua unsur yang terlibat sejak dimulainya

pembahasan sampai pada pelaksanaan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari

terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap penanganan obyek perkara yang

sama yang kemudian dapat menggagalkan tujuan sistem peradilan pidana

terpadu.

Kewenangan yang tumpang tindih sebagai akibat ketidak tegasan

instrument hukum yang mengatur fungsi masing-masing lembaga dalam sistem

peradilan pidana terpadu serta tingginya ekslusivisme di masing-masing lembaga

semakin memperkuat terjadinya fragmentasi dan sulitnya koordinasi, Mahkejapol

yang pernah dibentuk sebagai wadah untuk melakukan “koordinasi korupsi” dan

bukan jawaban terhadap upaya keterpaduan yang diharapkan.

Lembaga prapenuntutan yang menjadi instrument koordinasi antara polisi

dan jaksa memiliki beberapa permasalahan, karena tidak adanya ketentuan yang

secara tegas mengatur tentang bagaimana kalau terjadi penolakan oleh penuntut

umum terhadap hasil penyelididkan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.

Kenyataan ini sangat tepat seperti yang dilukiskan dalam assessment yang

dilakukan oleh Price Water housecooper dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

Page 6: BAB IV

56

The prosecutor then have no easy method to instruct the police to gather the necessary evidence. Each side blames for these problems and the dossier often goes back and forth numerous times.

Permasalahan ini berangkat dari adanya egoisme sektoral dari masing-

masing subsistem dalam tahap prapenuntutan sesungguhnya dibutuhkan

kerjasama yang erat antara penyidik dan penuntut agar bisa menghasilkan kinerja

yang efektif.

B. Hubungan Eksternal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan

Pidana Terpadu Menurut UU Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995

Permasalahan yang muncul dalam aspek budaya hukum hingga sulit

terciptanya objektifitas penilaian adalah: adanya esprit de corps yang salah

kaprah, kecenderungan masyarakat untuk mencari “jalan pintas” karena birokrasi

peradilan yang dipandang rumit dan kecenderungan penyelesaian dengan

“damai”.

Dari pendapat Hakristuti Hakrisnowo di atas, budaya hukum yang kurang

baik muncul tidak hanya masyarakat pencari keadilan yang juga sebagai

stakeholder tetapi juga sikap penerimaan aparat penegak hukum dan hakim.

Dalam sistem peradilan pidana terpadu, dalam konteks yang lebih luas, sinergi

antara aparat hukum dan hakim dengan masyarakat seperti yang disampaikan

Harkristuti diatas adalah sebuah sinergi negatif yang dapat menggagalkan

tercapainya tujuan sistem peradilan pidana terpadu. Sedangkan untuk

menciptakan sistem peradilan pidana terpadu dibutuhkan sebuah sinergi positif

antar semua subsistem.

Page 7: BAB IV

57

Permasalahan budaya hukum disinyalir sebagai faktor yang paling

dominan sulitnya menjalankan sistem peradilan pidana terpadu yang baik dan

efektif, di lembaga kepolisian Reiner mengatakan “…that legal regulation is off

limited effectiveness : key change must be in the informal culture of the police,

their practical working rules.” Budaya Indonesia yang umumnya “toleran”

terhadap kesalahan juga tidak sedikit memberikan kontribusi bagi sulitnya

menjalankan sistem peradilan pidana terpadu secara efektif, banyak kasus yang

secara kasatmata diketahui oleh publik tentang pelanggaran oleh aparat penegak

hukum akan tetapi berujung pada ketidakjelasan. Banyak pula kasus korupsi

tetapi berapa banyak orang yang dihukum karena korupsi juga tidak jelas.

Potensi gagalnya mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu sangat

tinggi tatkala budaya hukum masih belum mampu menutupi kekurangan yang

ada yang terwadahi dalam hukum positif yang berlaku. Fragmentasi dalam

pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu juga berdampak pada mekanisme

fragmentasi control. Tidak ada data yang mendukung mana yang lebih dominan

fragmentasi sistem peradilan pidana terpadu yang berdampak pada lemahnya

mekanisme control atau lemahnya mekanisme control yang menyebabkan tidak

berjalannya sistem peradilan pidana tepadu. Kenyataan yang terjadi adalah

mekanisme kontrol yang seharusnya mendukung terwujudnya sistem peradilan

pidana terpadu dalam mencapai tujuannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Page 8: BAB IV

58

C. Peran Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Menurut UU Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995

Peran Lembaga Pemasyarakatan dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu

sangat strategis dalam merealisasikan tujuaan akhir dari sistem peradilan pidana,

yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada

penanggulangan kejahatan (suppression of crime). Keberhasilan dan kegagalan

pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan

kemungkinan-kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif.

D. Hambatan Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan Pidana

Terpadu Menurut UU Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995

Hambatan Lembaga Pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem

peradilan pidana terpadu yakni dalam pelaksanaanya, penyelenggaraan sistem

peradilan pidana terpadu bersifat fragmentatif dan cenderung berjalan

berdasarkan fungsinya masing-masing sehingga mempengaruhi tercapainya

tujuan sistem peradilan pidana terpadu.

Ada kecenderungan pemahaman dari masing-masing subsistem bahwa

keberhasilan mereka diukur dari bagaimana mereka menjalankan fungsi dan

tugasnya tanpa memperhatikan bagaimana subsistem yang lain menjalankan

tugasnya. Akibat lebih jauh kenyataan ini berdampak pada hilangnya

kepercayaan publik sebagai stakeholder dalam menjalankan sistem peradilan

pidana terpadu secara keseluruhan.