bab iv

68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum Kabupaten Bangka Tengah Kabupaten Bangka Tengah terletak di Pulau Bangka dengan luas kurang lebih 215.677 ha. Secara administratif wilayah Kabupaten Bangka Tengah berbatasan dengan Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Bangka Selatan. Lokasi Kabupaten Bangka Tengah dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2. Kabupaten Bangka Tengah dibagi menjadi 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pangkalan Baru, Kecamatan Namang, Kecamatan Sungai Selan, Kecamatan Simpang Katis, Kecamatan Koba dan Kecamatan Lubuk Besar. Luas masing- masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1. 4.1.1 Keadaan penduduk Jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 145.415 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 45.155. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa Kecamatan Pangkalan Baru memiliki tingkat kepadatan terbesar dan Kecamatan Lubuk Besar memiliki tingkat kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Bangka Tengah. Tabel 4.1 Luas wilayah Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan kecamatan No Kecamatan Luas wilayah (km 2 ) Persentase (%) Jumlah penduduk Kepadatan penduduk (jiwa/km 2 ) 1 2 3 4 5 6 1 Koba 334,04 16,47 33.396 100 2 Pangkalan Baru 101,45 5,00 35.317 348 3 Sungai Selan 564,81 27,85 30.625 54 4 Simpang Katis 223,75 10,00 22.835 102 5 Namang 202,97 10,01 14.500 71 6 Lubuk Besar 601,12 29,64 24.940 41 Total 2.028,14 100,00 161.613

Upload: dianora-didi

Post on 04-Jul-2015

547 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab iv

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran umum Kabupaten Bangka Tengah

Kabupaten Bangka Tengah terletak di Pulau Bangka dengan luas kurang

lebih 215.677 ha. Secara administratif wilayah Kabupaten Bangka Tengah

berbatasan dengan Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Bangka Selatan.

Lokasi Kabupaten Bangka Tengah dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar

4.2. Kabupaten Bangka Tengah dibagi menjadi 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan

Pangkalan Baru, Kecamatan Namang, Kecamatan Sungai Selan, Kecamatan

Simpang Katis, Kecamatan Koba dan Kecamatan Lubuk Besar. Luas masing-

masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

4.1.1 Keadaan penduduk

Jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 145.415 jiwa dengan jumlah

kepala keluarga sebanyak 45.155. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa Kecamatan

Pangkalan Baru memiliki tingkat kepadatan terbesar dan Kecamatan Lubuk Besar

memiliki tingkat kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Bangka Tengah.

Tabel 4.1 Luas wilayah Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan kecamatan

No Kecamatan Luas wilayah

(km2)

Persentase

(%)

Jumlah

penduduk

Kepadatan

penduduk

(jiwa/km2)

1 2 3 4 5 6

1 Koba 334,04 16,47 33.396 100

2 Pangkalan Baru 101,45 5,00 35.317 348

3 Sungai Selan 564,81 27,85 30.625 54

4 Simpang Katis 223,75 10,00 22.835 102

5 Namang 202,97 10,01 14.500 71

6 Lubuk Besar 601,12 29,64 24.940 41

Total 2.028,14 100,00 161.613

Page 2: Bab iv

47

Sumber : Kolom 1,2 : BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2008

Kolom 5 : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, 2009

Beberapa jenis pekerjaan utama di Kabupaten Bangka Tengah dapat dilihat

pada Tabel 4.2. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa Kecamatan Pangkalan Baru

memiliki proporsi petani yang paling sedikit dan Kecamatan Lubuk Besar

memiliki proporsi petaniyang paling besar.

Tabel 4.2 Distribusi pekerjaan utama di Kabupaten Bangka Tengah per kecamatan

Kecamatan Buruh harian Petani,

pekebun

Kary.

swasta Nelayan Perdagangan

Koba 3.608 1.264 1.131 1.078 214

Pangkalan Baru 4.729 522 1.284 689 206

Sungai Selan 2.308 2.868 327 899 190

Simpang Katis 1.975 2.974 302 1 149

Namang 989 1.959 259 104 71

Lubuk Besar 1.717 3.270 166 370 97

Total 15.326 12.857 3.469 3.141 927

Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, 2009

4.1.2 Tata guna lahan

Pemanfaatan lahan yang digunakan untuk produksi baik untuk tanaman

pangan, perkebunan, perikanan, pertambangan dan kehutanan dapat dilihat pada

Tabel 4.3.

Page 3: Bab iv

48

Tabel 4.3 Tata guna lahan di Kabupaten Bangka Tengah

No Penggunaan lahan Luas lahan (ha) Persentase (%)

1 Perkebunan 13.368 6,34

Sawit 3.480

Karet 6.786

Kelapa 1.252

Lada 1.850

2 Pertanian 3.720 2,16

Padi 987

Pangan selain padi 2.506

Sayuran 227

Buah 824

3 Perikanan budidaya 20 0,01

Perikanan air payau 0

Perikanan air tawar 20

4 Pertambangan 70.025 33,78

KP darat 70.025

Tambang illegal 1.200

5 Kehutanan 121.661 57,71

Total lahan 208.794 100,00

Sumber :

1 dan 5. Dinas Perkebunan dan Kehutanan, 2009

2. Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan, 2009;

BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2008

3. BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2008

4. Dinas Pertambangan dan Energi, 2006

Penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan

kelima jenis penggunaan lahan pada Tabel 4.3 adalah kehutanan, yaitu sebesar

57,71 % dan pertambangan sebesar 33,78 % sedangkan penggunaan lahan untuk

pertanian hanya 2,16 % dari total penggunaan lahan. Tabel 4.3 menunjukan

bahwa pertanian bukanlah prioritas utama dalam kebijakan pembangunan di

Kabupaten Bangka Tengah. Luas lahan hutan yang hampir separuh dari luas

Page 4: Bab iv

49

Kabupaten Bangka Tengah mengindikasikan masih banyak lahan yang belum

dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, penggunaan lahan untuk penambangan

juga sangat besar, baik itu berupa lahan tambang legal maupun illegal. Umumnya

lahan tambang adalah hasil konversi dari lahan hutan dan lahan pertanian. Hasil

ekstraksi bijih timah merupakan PAD utama di Kabupaten Bangka Tengah dan

sumber pendapatan bagi penduduk setempat (DPPKAD, 2009). Kecilnya luas

lahan pertanian, ditambah dengan tingkat produktifitas yang rendah menyebabkan

bahan pangan yang dihasilkan sedikit jumlahnya. Produksi bahan pangan yang

tidak sebanding dengan kebutuhan penduduk, menyebabkan Kabupaten Bangka

Tengah harus mendatangkan pasokan pangan dari luar daerah untuk memenuhi

kebutuhan pangan penduduknya.

Laporan statistik Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan

Kabupaten Bangka Tengah tahun 2009 menunjukan luas lahan produksi tanaman

pangan adalah seluas 3.493 ha dengan produksi sebesar 4.480 ton. Dari data ini

dapat dilihat bahwa untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduknya, Kabupaten

Bangka Tengah mendatangkan pasokan pangan pokok dari luar karena produksi

lahan pangan di Kabupaten ini tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan penduduk

setempat. Produksi beras lokal hanya sebesar 986,75 ton, ini menyebabkan

ketergantungan Kabupaten Bangka Tengah terhadap produk beras dari luar

sebesar 95,89 % (Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Kabupaten

Bangka Tengah, 2009). Produk seperti minyak goreng, sapi, ayam, cabe

merah,telur, kacang tanah, kacang kedelai, jagung, singkong, kacang hijau dan

sagu sebagian besar didatangkan dari luar daerah. Produk seperti gula pasir,

tepung terigu, garam, bawang merah, mie instan dan susu, semuanya didatangkan

Page 5: Bab iv

50

dari luar daerah. Hanya pasokan ikan asin yang lebih banyak dipasok dari dalam

daerah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bangka Tengah, 2009).

Dari informasi di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan yang

digunakan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Kabupaten

Bangka Tengah berasal dari luar daerah. Ketidakmampuan daerah ini dalam

menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup ditambah pula dengan masih

kurang lancarnya transportasi sebagai akibat kondisi geografis dapat

menyebabkan rentannya ketahanan pangan pada tingkat daerah maupun pada

tingkat rumah tangga ditinjau dari aspek ketersediaan, stabilitas dan akses pangan.

Contoh pengaruh geografis terhadap pasokan makanan terjadi di Pulau Tundra

Kabupaten Serang, kelaparan yang hampir terjadi di pulau ini akibat terhentinya

pasokan pangan akibat cuaca buruk (Suryana, 2007). Tingginya ketergantungan

terhadap produk makanan dari luar daerah menyebabkan rentannya penduduk

Kabupaten Bangka Tengah terhadap pasokan bahan pangan karena sangat

bergantung pada faktor seperti jarak, cuaca dan transportasi. Bisa diartikan bahwa

jika harga bahan bakar fosil naik maka harga bahan pangan juga menjadi

meningkat sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Untuk dapat memenuhi

membeli pangan yang harganya tinggi, maka penduduk setempat harus berusaha

lebih keras. Dengan lapangan kerja yang terbatas, maka ekstraksi sumberdaya

alam lain terutama bahan galian timah yang memang berlimpah menjadi lapangan

pekerjaan bagi penduduk setempat. Jumlah pertambangan rakyat baik yang legal

maupun illegal di Kabupaten Bangka Tengah berjumlah sebanyak 928 tambang

(Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka Tengah, 2006). Hal ini

mengakibatkan terjadinya degradasi lahan akibat pertambangan illegal. Terdapat

Page 6: Bab iv

51

kurang lebih 1.200 ha lahan yang rusak akibat pertambangan (Dinas

Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka Tengah, 2006). Dari informasi

diatas, dapat dilihat bahwa walaupun lahan yang yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan pangan penduduk berasal dari luar daerah, bukan berarti hal ini tidak

menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan setempat.

4.2 Gambaran lokasi penelitian

4.2.1 Kelurahan Dul

Kelurahan Dul merupakan satu-satunya kelurahan yang berada diwilayah

Kecamatan Pangkalan Baru. Kecamatan Pangkalan Baru adalah kecamatan yang

mewakili daerah perkotaan di Kabupaten Bangka Tengah. Hal ini ditandai dengan

banyaknya fasilitas umum berada disini seperti bandara, rumah sakit umum, hotel,

sekolah, perkantoran dan fasilitas listrik. Selain itu dapat kategori perkotaan juga

dilihat dari kegiatan industri yang ada, seperti industri besar/sedang 6 buah,

industri kecil 10 buah dan industri rumah tangga 40 buah. (BPS Kabupaten

Bangka Tengah, 2008).

Kelurahan Dul dengan luas wilayah 896,5 ha dan jumlah penduduk 5.078

jiwa, jumlah KK sebanyak 1.473 yang tersebar di 22 RT dengan kepadatan

penduduk 562 jiwa per km2. Kelurahan Dul merupakan pusat kegiatan

perekonomian di Kecamatan Pangkalan Baru dengan batas wilayah sebagai

berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Bukit Besar, Kec. Bukit Intan,

Kota Pangkal Pinang; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Beluluk Kecamatan

Pangkalan Baru; sebelah barat berbatasan dengan Desa Padang Baru, Kecamatan

Pangkalan Baru dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Mangkol, Kecamatan

Pangkalan Baru.

Page 7: Bab iv

52

Jenis pekerjaan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk

melihat perbedaan karakteristik pekerjaan penduduk perkotaan dan pedesaan.

Proporsi pekerjaan kepala rumah tangga yang terbesar adalah karyawan swasta,

yaitu 71,791 % diikuti oleh wiraswasta 6,819%, petani 6,047%, peternak 6,143%,

PNS 5,822%, pedagang keliling 2,123%, buruh tani 0,096%, montir 0,096%,

bidan swasta 0,064% dan nelayan 0,032% (Kelurahan Dul, 2009).

Jenis pekerjaan responden di Kelurahan Dul dapat dilihat pada Tabel 4.4

berikut.

Tabel 4.4 Jenis pekerjaan responden di Kelurahan Dul

No Responden Jumlah Persentase (%)

1 Buruh 26 27,66

2 PNS 9 9,57

3 Swasta 33 35,11

4 Tani 1 1,06

5 Wiraswasta 17 18,09

6 Nelayan 1 1,06

7 Pensiunan 2 2,13

8 Tidak bekerja 5 5,32

Total jumlah 94 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Pekerjaan dan tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola makan yang pada

akhirnya akan berpengaruh terhadap jejak makanan. Responden Kelurahan Dul

memiliki jenis pekerjaan yang beragam dan tentunya akan memberikan tingkat

pendapatan yang beragam pula. Hal ini akan menyebabkan variasi daya beli

termasuk daya beli pangan. Pekerjaan seperti buruh mempunyai pendapatan yang

lebih rendah dibandingkan dengan PNS. Daya beli pangan yang rendah umumnya

terdapat pada orang dengan pekerjaan seperti buruh dan dengan daya beli yang

rendah, pemilihan pangan/ makanan menjadi lebih terbatas. Apabila penghasilan

Page 8: Bab iv

53

keluarga tidak cukup untuk membeli bahan makanan yang cukup dalam jumlah

dan kualitas, maka konsumsi atau asupan gizi tiap anggota keluarga akan

berkurang.

Pendidikan responden di Kelurahan Dul bervariasi, terdistribusi di semua

tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula

kemampuan menerima informasi termasuk pengetahuan gizi. Hal ini berpengaruh

terhadap diversivikasi makanan yang dikonsumsi. Dengan banyaknya responden

dengan pendidikan yang cukup tinggi, maka konsumsi makanan yang lebih

beragam. Kedua faktor ini secara langsung akan mempengaruhi pola makan yang

pada akhirnya akan menyebabkan perbedaan jumlah jejak makanan pada masing-

masing responden. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dijelaskan pada sub

bab pola makan.

Gambaran tingkatan pendidikan responden di Kelurahan Dul dapat

dilihat pada Tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5 Tingkat pendidikan responden di Kelurahan Dul

No Responden Jumlah Persentase (%)

1 SD 36 32,98

2 SMP 20 18,09

3 SMA 28 29,79

4 PT 10 10,64

Total jumlah 94 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Pendapatan keluarga diperoleh dengan cara menjumlahkan pendapatan seluruh

anggota keluarga. Data yang diperoleh mengenai pendapatan keluarga terendah

adalah Rp. 4.800.000,- per tahun dan pendapatan kelurga tertinggi adalah Rp.

360.000.000,- per tahun. Dari data hasil penelitian, jumlah pendapatan yang

dimiliki responden meningkat seiring dengan kategori kesejahteraan keluarga

Page 9: Bab iv

54

yang dimiliki. Responden kategori pra sejahtera memiliki jumlah pendapatan yang

lebih kecil dibandingkan dengan responden lain dengan kategori kesejahteraan

yang lebih baik. Sedangkan jumlah pendapatan yang paling tinggi dimiliki oleh

responden dengan kategori keluarga sejahtera III+. Semakin baik tingkat

kesejahteraan keluarga dengan jumlah pendapatan yang semakin besar, maka

pemenuhan gizi bagi anggota keluarga menjadi lebih terjamin. Tingkat

pendapatan yang lebih tinggi akan meningkatkan daya beli pangan sehingga

pangan yang mampu dibeli menjadi lebih beragam jenisnya. Dengan beragamnya

jenis pangan yang dikonsumsi mempunyai kandungan gizi bermacam-macam pula

sehingga kebutuhan akan gizi menjadi lebih mungkin untuk dipenuhi.

Berdasarkan data di atas dapat ditentukan rentangan penghasilan keluarga dibagi

menjadi 8 kelas dengan interval berdasarkan perhitungan menurut Sudjana, 1997

(Lampiran 3). Berdasarkan 8 kelas atau kategori pendapatan yang ada, sebagian

besar responden berada pada kelas pendapatan I dengan proporsi lebih dari 88,29

% dari seluruh responden yang ada. Salah satu penyebabnya adalah adanya selisih

pendapatan terkecil dan pendapatan terbesar yang sangat besar yaitu 355,2 juta

rupiah sehingga interval kelas menjadi 44,4 juta rupiah. Selain itu 81 orang

responden yang berada dikategori pra sejahtera sampai kesejahteraan keluarga

tingkat II. Selanjutnya, semakin meningkat kelas pendapatan, semakin kecil

proporsi responden yang berada pada kelas tersebut.

Page 10: Bab iv

55

Tabel 4.6 Pendapatan keluarga responden Kelurahan Dul

Kategori Interval pendapatan keluarga per tahun

(Rp)

Frekuensi Proporsi

(%)

I 4.800.000,- ≤ 49.200.000 ,- 83 88,29

II 49.200.000,- ≤ 93.600.000,- 8 8,51

III 93.600.000,- ≤ 138.000.000,- 1 1,06

IV 138.000.000,- ≤ 182.400.000,- 0 0

V 182.400.000,- ≤ 226.800.000,- 1 1,06

VI 226.800.000,- ≤ 271.200.000,- 0 0

VII 271.200.000,- ≤ 315.600.000,- 0 0

VIII 315.600.000,- ≤ 360.000.000,- 1 1,06

J U M L A H 94 100,00

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Gambaran kondisi pendapatan keluarga di atas menunjukkan adanya

rentang tingkat pendapatan yang besar. Hal ini dikarenakan beragamnya pekerjaan

reponden, dari mulai buruh sampai pengusaha. Pendapatan terendah umumnya

dimiliki oleh responden pendidikan SD yang berprofesi sebagai buruh harian dan

memiliki jumlah anggota keluarga yang cukup banyak. Pendapatan tertinggi

dimiliki oleh responden berpendidikan SMA yang berprofesi sebagai pengusaha.

Hasil pengambilan responden berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga

yang distratifikasi ke dalam tingkat pendidikan menunjukan tingkat pendapatan

yang beragam. Ada responden yang dikategorikan sebagai Pra Sejahtera (PS)

namun memiliki penghasilan lebih tinggi daripada responden kategori Keluarga

Sejahtera Tingkat I. Hal ini dikarena karena dasar pengkategorian kesejahteraan

keluarga lebih kepada indikator-indikator sosial seperti frekuensi makan dalam

satu hari, kondisi rumah, akses kesehatan dan kondisi pendidikan bukan dari

pendapatan keluarga. Penjelasan lebih rinci mengenai kategori kesejahteraan

Page 11: Bab iv

56

keluarga dapat dilihat pada lampiran 3. Pada Tabel 4.7 dapat dilihat distribusi

pendapatan responden menurut kategori kesejahteraan keluarga berdasarkan

tingkat pendidikan.

Tabel 4.7 Pendapatan per kapita responden berdasarkan kategori kesejahteraan

keluarga per tingkat pendidikan.

No Kategori kesejahteraan

keluarga

Tingkat

pendidikan

Pendapatan per kapita,

per tahun (Rp)

PS SD 1.800.000 s.d 5.400.000

SMP 3.600.000

SMA 2.100.000

KS I SD 3.000.000 s.d 7.200.000

SMP 4.371.429 s.d 6.000.000

SMA 3.600.000 s.d 22.200.000

PT 6.000.000

KS II SD 6.000.000 s.d 12.000.000

SMP 5.700.000 s.d 15.000.000

SMA 5.850.000 s.d 16.000.000

PT 10.800.000 s.d 21.000.000

KS III SD 15.000.000 s.d 16.000.000

SMP 8.000.000 s.d 13.500.000

SMA 9.600.000 s.d 24.800.000

PT 16.800.000 s.d 21.600.000

KS III+ SMA 73.000.000

PT 57.000.000

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pendapatan keluarga

seiring dengan meningkatnya kategori kesejahteraan keluarga dan tingkat

pendidikan yang dimiliki responden.

Page 12: Bab iv

57

Tabel 4.8 berikut adalah tata guna lahan yang terdapat di Kelurahan Dul.

Tabel 4.8 Tata guna lahan menurut penggunaan di Kelurahan Dul tahun 2009

No Penggunaan lahan Luas

lahan (ha)

Persen

(%)

1 Tanah sawah 0,00 0

2 Tanah kering 372,45 41,545

3 Tanah basah 18,38 2,0502

4 Tanah perkebunan 205,90 22,967

5 Luas fasilitas umum 187,77 20,945

6 Tanah hutan 112,00 12,493

Total lahan di Dul 896,50 100

Sumber : Kelurahan Dul, 2009

Tidak adanya lahan sawah di Kelurahan Dul menunjukan bahwa seluruh pasokan

beras berasal dari luar daerah. Padahal hasil penelitian pola makan menunjukan

beras merupakan konsumsi pangan utama di daerah ini. Hal ini menunjukan

bahwa untuk mencukupi kebutuhan beras, penduduk Kelurahan Dul menggunakan

lahan di luar daerah untuk memproduksinya. Hal ini akan menyebabkan

ketergantungan penduduk Kelurahan Dul terhadap daerah lain. Adapun persentase

tanah kering adalah 41,55% dari total luas lahan. Potensi pengembangan lahan

pertanian sebenarnya masih cukup besar. Sehingga dengan pemanfaatan lahan

kering sebagai lahan pertanian produktif diharapkan dapat mengurangi

ketergantungan penduduk Kelurahan Dul terhadap pasokan pangan dari luar.

Untuk lebih jelasnya, luas lahan pertanian produktif di Kelurahan Dul

dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut. Penggunaan lahan produktif yang paling

besar di Kelurahan Dul adalah sektor pertanian, terutama lahan pertanian untuk

sayuran. Perikanan budidaya air tawar sedikit jumlahnya, namun hal ini tidak

menjadi masalah karena konsumsi ikan air tawar sangat kecil jumlahnya

dibandingkan konsumsi ikan laut.

Page 13: Bab iv

58

Tabel 4.9 Luas lahan pertanian produktif di Kelurahan Dul tahun 2009

No Penggunaan lahan Luas lahan

(ha)

1 Perkebunan 76,01

2 Pertanian 161,85

Umbi-umbian 19,50

Sayuran 96,75

Buah-buahan 35,80

Bumbu 9,80

3 Perikanan budidaya 1,20

Total lahan pertanian produktif 239,06

Persentase terhadap luas Dul 26,67

Sumber : Kelurahan Dul, 2009

Produksi pangan pada berbagai lahan pertanian di Kelurahan Dul cukup

beragam. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan lahan produktif yang cukup

beragam seperti perkebunan, umbi-umbian, sayuran, buah dan ternak. Tabel 4.10

menunjukan jenis produksi tanaman pertanian di Kelurahan Dul.

Tabel 4.10 Jenis produksi tanaman perkebunan di Kelurahan Dul tahun 2009

No Penggunaan lahan Luas lahan (ha) Produktifitas (ton/ha)

1 Kelapa 5,00 10

2 Sawit 48,00 -

3 Coklat 5,00 -

4 Pinang 1,00 -

5 Lada 5,00 10

6 Karet 12,00 43,2

7 Kemiri 0,01 1

Keterangan : - , data tidak tersedia

Sumber : Kelurahan Dul, 2009

Produksi sayuran di Kelurahan Dul cukup beragam. Lahan pertanian

yang paling banyak digunakan untuk memproduksi jagung. Jagung disini dijual

sebagai jagung pipil yang digunakan untuk makanan ternak bukan untuk

dikonsumsi manusia. Produksi sayuran konsumsi masih sedikit jenisnya dan

Page 14: Bab iv

59

masih mempunyai produktifitas yang jauh lebih rendah dibandingkan

produktifitas didaerah lain. Produksi pangan pokok seperti ubi kayu, ubi jalar dan

talas jumlahnya kecil sehingga tidak dapat mendukung dalam upaya penganekaan

pangan pokok. Produksi sayuran di Kelurahan Dul dapat dilihat pada Tabel 4.11

berikut.

Tabel 4.11 Jenis produksi sayuran di Kelurahan Dul tahun 2009

No Jenis tanaman Luas lahan (ha) Produktifitas (ton/ha)

Pangan pokok 57,00

1 Ubi kayu 7,00 1,8

2 Ubi jalar 5,00 1,8

3 Talas 7,50 1

4 Jagung 37,50 2

Sayuran 59,25

5 Kacang tanah 8,00 2

6 Kacang panjang 12,00 1,7

7 Cabe 11,00 0,6

8 Tomat 0,25 2,5

9 Mentimun 3,00 1

10 Terong 2,50 2

11 Bayam 12,50 1,5

12 Kangkung 10,00 1,5

Bumbu 9,80

13 Jahe 3,00 0,6

14 Kunyit 3,60 0,7

15 Lengkuas 2,70 0,8

16 Temulawak 0,50 0,5

Sumber : Kelurahan Dul, 2009

Data pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa ketersediaan buah lokal di

Kelurahan Dul cukup beragam produksinya namun masih sedikit jumlah

produksinya. Buah-buahan seperti durian, mangga, rambutan, pisang, melinjo

nanas dan jeruk kunci merupakan jenis buah yang cukup banyak ditanam di

Page 15: Bab iv

60

Kelurahan Dul sedangkan sawo, jambu air dan sirsak ditanam dalam jumlah yang

paling kecil dibanding jenis buah lainnya. Produksi buah di Kelurahan Dul dapat

dilihat pada Tabel 4.12 berikut.

Tabel 4.12 Jenis produksi buah di Kelurahan Dul tahun 2009

No Jenis Buah Luas

lahan (ha)

Produktifitas

(ton/ha)

1 Jeruk 1,00 2

2 Alpokat 1,00 2

3 Mangga 2,00 10

4 Rambutan 2,00 4

5 Manggis 0,75 0,5

6 Salak 1,00 3

7 Pepaya 1,20 1,3

8 Belimbing 0,10 -

9 Durian 10,00 10

10 Sawo 0,25 0,5

11 Pisang 2,40 2,5

12 Lengkeng 0,50 -

13 Jambu air 0,25 2

14 Nangka 1,00 4

15 Sirsak 0,25 0,5

16 Kedondong 0,10 1,2

17 Melinjo 2,00 48

18 Nanas 3,00 3

19 Jeruk kunci 7,00 -

Sumber : Kelurahan Dul, 2009

Kelurahan Dul tidak memiliki bagian wilayah berupa lautan sehingga

kebutuhan makanan hewani dari laut seperti ikan dipasok dari daerah lain. Usaha

peternakan yang lebih berkembang di daerah ini. Hewan ternak seperti ayam

kampung lebih banyak dibandingkan dengan ternak lainnya. Produksi ternak dan

ikan tawar dapat dilihat pada Tabel 4.13 berikut.

Page 16: Bab iv

61

Tabel 4.13 Jenis produksi ternak dan ikan air tawar di Kelurahan Dul tahun 2009

No Jenis ternak Populasi

1 Sapi 25

2 Kerbau 18

3 Babi 98

4 Ayam kampung 18356

5 Ayam petelur 2000

6 Bebek 124

7 Kambing 56

8 Angsa 47

Jenis ikan Produktifitas (ton/tahun)

1 Bawal 0,7

2 Mas 2,46

3 Nila 0,5

Sumber : Kelurahan Dul, 2009

4.2.2 Desa Kulur Ilir

Desa Kulur Ilir adalah satu satu desa yang berada di Kecamatan Lubuk

Besar, Kabupaten Bangka Tengah. Desa ini diambil sebagai sampel karena

dianggap mewakili karakteristik perdesaan di Kabupaten Bangka Tengah. Hal ini

ditandai dengan sebagian besar pekerjaan penduduknya adalah bertani (Hasil

olahan data primer, 2010). Nelayan dan penambang timah illegal merupakan

pekerjaan sampingan sebagian penduduk di Desa Kulur Ilir. Selain itu, lokasi ini

belum dialiri listrik PLN sehingga akses informasi menjadi terbatas.

Desa Kulur Ilir mempunyai luas wilayah sebesar 857,05 ha dengan

jumlah penduduk 1.229 jiwa, jumlah KK sebanyak 419 yang tersebar di 9 RT

dengan kepadatan penduduk 143 jiwa per km2. Desa Kulur Ilir memiliki batas

wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Kulur; sebelah

selatan berbatasan dengan Desa Air medang; sebelah barat berbatasan dengan

Page 17: Bab iv

62

Kelurahan Padang Mulia, Kecamatan Koba dan sebelah timur berbatasan dengan

Laut.

Jenis pekerjaan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk

melihat perbedaan karakteristik pekerjaan penduduk perkotaan dan pedesaan.

Proporsi pekerjaan kepala rumah tangga responden yang terbesar adalah petani,

yaitu 89,76 %, kemudian buruh harian 6,04%, nelayan 3,206% dan PNS 0,0986%

(Hasil olahan data primer, 2010).

Jenis pekerjaan responden di Desa Kulur Ilir dapat dilihat pada Tabel

4.14 Berikut.

Tabel 4.14 Jenis pekerjaan responden di Desa Kulur Ilir

No Responden Jumlah Persentase (%)

1 Buruh 10 12,82

2 Nelayan 8 10,26

3 Swasta 4 5,128

4 Tani 52 66,67

5 Tidak bekerja 4 5,128

78 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Pekerjaan dan tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola makan yang

pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jejak makanan. Lebih dari separuh

responden Desa Kulur Ilir bekerja sebagai petani, sebagian lagi bekerja sebagai

buruh, nelayan dan swasta. Jenis pekerjaan ini umumnya memiliki pendapatan

yang tidak jauh berbeda. Hal ini akan menyebabkan daya beli termasuk daya beli

pangan yang tidak jauh berbeda. Tingkat pendidikan responden Desa Kulur Ilir

sebagian besar adalah SD. Hal ini menandakan rendahnya kemampuan menerima

informasi termasuk pengetahuan gizi. Sehingga umumnya konsumsi makanan

menjadi kurang bervariasi. Kedua faktor ini secara langsung akan mempengaruhi

Page 18: Bab iv

63

pola makan yang pada akhirnya akan menyebabkan perbedaan jumlah jejak

makanan pada masing-masing responden.. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal

ini dijelaskan pada sub bab pola makan.

Tingkat pendidikan responden di Desa Kulur Ilir dapat dilihat pada Tabel

4.15 berikut.

Tabel 4.15 Tingkat pendidikan responden di Desa Kulur Ilir

No Suami Jumlah Persentase (%)

1 SD 64 82,05

2 SMP 8 10,26

3 SMA 6 7,692

78 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Data yang diperoleh mengenai pendapatan keluarga terendah adalah Rp.

9.600.000,- per tahun dan pendapatan keluarga tertinggi adalah Rp. 156.000.000,-

per tahun. Dari data hasil penelitian, jumlah pendapatan yang dimiliki responden

meningkat seiring dengan kategori kesejahteraan keluarga yang dimiliki.

Responden kategori pra sejahtera memiliki jumlah pendapatan yang lebih kecil

dibandingkan dengan responden lain dengan kategori kesejahteraan yang lebih

baik sedangkan jumlah pendapatan yang paling tinggi dimiliki oleh responden

dengan kategori keluarga sejahtera III. Tingkat pendapatan responden Desa Kulur

Ilir cenderung rendah karena sumber penghasilan utama adalah bertani. Hal ini

menyebabkan daya beli pangan juga rendah. Namun kebutuhan sumber protein

hewani tetap dapat dipenuhi dengan cara mengkonsumsi ikan laut yang diperoleh

dengan cara membeli ikan laut yang harganya lebih murah atau menangkap

sendiri di laut. Berdasarkan data pendapatan diatas dapat ditentukan rentangan

penghasilan keluarga terdiri atas 8 kelas dengan interval berdasarkan perhitungan

Page 19: Bab iv

64

menurut Sudjana (1997). Berdasarkan 8 kelas atau kategori pendapatan yang ada,

sebagian besar responden berada pada kelas pendapatan II dengan proporsi

sebesar 42 % dari seluruh responden yang ada.

Tabel 4.16 Pendapatan keluarga responden di Desa Kulur Ilir dalam 8 kategori

Kategori Interval pendapatan keluarga per tahun

(Rp)

Frekuensi Proporsi

(%)

I 9.600.000,- ≤ 17.400.000,- 13 17

II 17.400.000,- ≤ 25.200.000,- 33 42

III 25.200.000,- ≤ 33.000.000,- 11 14

IV 33.000.000,- ≤ 40.800.000,- 16 21

V 40.800.000,- ≤ 48.600.000,- 4 5

VI 48.600.000,- ≤ 56.400.000,- 0 0

VII 56.400.000,- ≤ 64.200.000,- 0 0

VIII 64.200.000,- ≤ 72.000.000,- 1 1

J U M L A H 78 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kondisi pendapatan keluarga di atas menunjukkan adanya kecenderungan

tingkat pendapatan yang secara umum berada pada rentang yang tidak jauh

berbeda. Hal ini sangat terkait dengan jenis pekerjaan dari sebagian besar

responden, yaitu sebagai petani. Tanaman yang dibudidayakan adalah karet dan

lada. Umumnya penduduk mengandalkan pendapatan yang bersumber dari

tanaman karet untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tanaman lada yang

dipanen per tahun sehingga jarang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Selain itu, sebagian penduduk di Desa Dul ini mempunyai pekerjaan

sampingan sebagai nelayan dan penambang timah illegal. Hal ini disebabkan

lokasi desa yang berbatasan langsung dengan laut serta adanya potensi bahan

galian timah disekitar Desa Dul. Pendapatan terendah umumnya dimiliki oleh

Page 20: Bab iv

65

responden pendidikan SD yang berprofesi sebagai buruh tani dan memiliki jumlah

anggota keluarga yang cukup banyak. Pendapatan tertinggi dimiliki oleh

responden berpendidikan SMA yang berprofesi sebagai petani.

Sama dengan hasil penelitian di Kelurahan Dul, hasil pengambilan

responden berdasarkan kategori kesejahteraan keluarga yang distratifikasi ke

dalam tingkat pendidikan di Desa Kulur Ilir juga menunjukan tingkat pendapatan

yang beragam. Ada responden yang dikategorikan sebagai pra sejahtera namun

memiliki penghasilan lebih tinggi daripada responden kategori keluarga sejahtera

tingkat I. Hal ini dikarena karena dasar pengkategorian kesejahteraan keluarga

lebih kepada indikator-indikator sosial seperti frekuensi makan dalam satu hari,

kondisi rumah, akses kesehatan dan kondisi pendidikan. Selain itu di Desa Kulur

Ilir, ada jenis pendapatan yang diperoleh secara tahunan, yaitu pendapatan dari

hasil panen lada. Tabel 4.17 ini menggambarkan distribusi pendapatan responden

menurut kategori kesejahteraan keluarga berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.17 Pendapatan per kapita responden Desa Kulur Ilir berdasarkan kategori

kesejahteraan keluarga per tingkat pendidikan.

No Kategori

kesejahteraan

keluarga

Tingkat

pendidikan

Pendapatan per kapita,

per tahun (Rp)

1 PS SD 9.600.000 s.d 14.000.000

2 KS I SD 18.000.000 s.d 24.000.000

SMP 16.800.000 s.d 24.000.000

SMA 26.650.000

3 KS II SD 26.400.000 s.d 43.200.000

SMP 30.750.000 s.d 38.400.000

SMA 28.500.000 s.d 43.200.000

5 KS III SMA 72.000.000

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Page 21: Bab iv

66

Dari Tabel 4.17 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pendapatan keluarga

seiring dengan meningkatnya kategori kesejahteraan keluarga dan tingkat

pendidikan yang dimiliki responden.

Berikut ini adalah jenis tanaman perkebunan dan pertanian yang ada di

Desa Kulur Ilir.

Tabel 4.18 Jenis produksi tanaman di Desa Kulur Ilir

No Jenis tanaman Luas

lahan (ha)

Produktifitas

(ton/ha)

1 Kelapa 0,50 45

2 Kelapa sawit 35,00 16,5

3 Lada 28,00 12,5

4 Karet 307,00 172

5 Jeruk 1,00 6,5

6 Durian 0,20 0,25

7 Padi ladang 1,00 0,2

8 Ubi jalar 0,50 0,5

9 Jagung 2,00 0,8

10 Kacang panjang 0,10 0,1

11 Cabe 1,00 2

Total lahan darat produktif 376,30

Persentase terhadap luas Desa 44 %

Sumber : BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2008

Salah satu pangan pokok yang diproduksi di Desa Kulur Ilir adalah padi ladang,

namun jumlahnya masih sangat terbatas padahal hasil penelitian pola makan

menunjukan beras merupakan konsumsi pangan utama di daerah ini. Hal ini

menyebabkan ketergantungan penduduk Desa Kulur Ilir terhadap daerah lain.

Produksi pangan pokok lainnya seperti ubi jalar dan jagung juga masih terbatas

jumlahnya sehingga tidak bisa mendukung penganekaragaman pangan pokok.

Page 22: Bab iv

67

Luas lahan produktif yang paling besar di di Desa Kulur Ilir digunakan

untuk perkebunan dengan komoditas seperti karet, kelapa sawit dan lada. Hal ini

terkait dengan pekerjaan mayoritas penduduknya yaitu sebagai petani karet.

Produksi sayuran terbatas pada komoditas kacang panjang dan cabe. Tanaman

pekarangan seperti pepaya, nangka, pisang, keladi dan daun singkong tidak

terekam luas lahan dan produksinya, namun tanaman jenis ini juga dikonsumsi

sebagai sayuran. Produksi buah lokal terbatas pada jenis jeruk dan durian. Tabel

4.18 menunjukan bahwa produksi pertanian untuk pangan pokok, sayuran dan

buah mendapat alokasi lahan yang kecil. Hal ini menyebabkan tingginya

ketergantungan penduduk Desa Kulur Ilir terhadap pasokan pangan dari luar

daerah.

4.3 Jejak makanan (food footprint)

4.3.1 Pola makan

Pola makan antara Kelurahan Dul dan Desa Kulur Ilir mempunyai

beberapa persamaan dan perbedaan. Nasi menjadi pangan utama yang dikonsumsi

oleh responden di kedua lokasi penelitian. Perbedaan terdapat pada variasi menu

yang digunakan. Responden Kelurahan Dul mengkonsumsi menu yang bervariasi

dengan frekuensi makan 2-3 kali sehari, yakni makan pagi, makan siang dan

makan malam. Pada reponden perkotaan yang tidak menyediakan makan pagi,

namun makan selingan seperti pempek, pantiau, lakso, kue dan makanan selingan

lainnya sebagai pengganti makan pagi. Makanan selingan dikonsumsi di antara

waktu makan tersebut. Sedangkan hampir semua responden Desa Kulur Ilir

menunjukkan frekuensi makan 2 kali sehari, yakni makan siang dan makan

Page 23: Bab iv

68

malam. Pada pagi hari, responden pedesaan hanya mengkonsumsi minuman

seperti kopi atau teh manis. Makanan selingan hampir tidak menjadi bagian dari

pola makan responden pedesaan. Hanya responden dengan kategori KS III dan

sebagian responden yang mempunyai anak sekolah SD yang mengkonsumsi

makanan selingan. Frekuensi makan pada daerah perdesaan menyerupai hasil

penelitian Nugrahanto (2009) di Kota Kupang namun frekuensi makan pada

responden perkotaan berbeda dengan responden di perkotaan Kota Kupang. Hal

ini dikarenakan responden perkotaan pada penelitian di Kota Kupang sebagian

besar PNS dan mempunyai pendidikan yang lebih tinggi. Berbeda dengan

responden perkotaan di Kabupaten Bangka Tengah yang sebagian besar

responden mempunyai pendidikan SMA dan pekerjaan yang beragam.

Konsumsi makanan di Kelurahan Dul dan Desa Kulur Ilir dapat dilihat

pada Tabel 4.19 berikut.

Tabel 4.19 Konsumsi makanan di Kelurahan Dul dan Desa Kulur Ilir

Bahan

Pangan

DUL KULUR ILIR

Per

bulan

(kg)

Per tahun

(kg)

Capita

per

tahun

(kg)

Persen

(%)

Per

bulan

(kg)

Per

tahun

(kg)

Capita

per

tahun

(kg)

Persen

(%)

Beras 2843.21 34118.52 84.87 33.54 2382.60 28591.20 85.86 36.83

Terigu,

ketan,sagu 106.08 1272.96 3.17 1.25 82.20 986.40 2.96 1.27

Daging,

ayam, telur 549.04 6588.49 16.39 6.48 225.79 2709.53 8.14 3.49

Ikan 1731.89 20782.68 51.70 20.43 1483.53 17802.36 53.46 22.93

Sayuran 1554.98 18659.77 46.42 18.34 1305.20 15662.40 47.03 20.18

Buah 450.00 5400.00 13.43 5.31 16.00 192.00 0.58 0.25

Bumbu 733.04 8796.52 21.88 8.65 530.57 6366.78 19.12 8.20

Minuman 509.78 6117.31 15.22 6.01 442.84 5314.06 15.96 6.85

Total

Kebutuhan 8478.02 101736.26 253.08 100.00 6468.73 77624.73 233.11 100.00

Sumber: Hasil olahan data primer, 2010

Page 24: Bab iv

69

Persentase konsumsi beras lebih besar di daerah perdesaan dibandingkan

dengan konsumsi di perkotaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Harianto,

dkk. (2008) bahwa tingkat konsumsi beras rata-rata di desa lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat konsumsi di kota. Penduduk dengan pendapatan

rendah umumnya mengkonsumsi karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan

sumber nutrisi lainnya. Persentase konsumsi beras sekitar sepertiga dari jumlah

konsumsi total di kedua lokasi penelitian. Hal ini menunjukan bahwa beras masih

menjadi pangan utama dan belum terdapat diversivikasi pangan pokok di kedua

lokasi penelitian. Semua responden di kedua lokasi penelitian mengkonsumsi

beras sebagai makanan pokoknya. Subtitusi sumber karbohidrat lain masih kecil

jumlahnya. Konsumsi terigu, sagu dan ketan berasal dari mie instan, roti, pempek

dan kue hampir sama persentasenya di kedua lokasi penelitian. Terigu adalah

penyumbang presentase terbanyak yang didapat dari konsumsi mie instan. Mie

instan lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan roti, sedangkan sagu

dikonsumsi dalam bentuk pangan selingan. Di Kelurahan Dul, 15% responden

mengkonsumsi roti dan umumnya roti dikonsumsi sebagai pengganti sarapan.

37% responden Kelurahan Dul mengkonsumsi mie instan. Sedangkan di Desa

Kulur Ilir 43% responden mengkonsumsi mie instan dan 6% responden

mengkonsumsi roti. Mie instan menjadi pangan yang umum dikonsumsi di dua

daerah ini karena mie instan cenderung mudah didapat dan harganya murah.

Perbedaan konsumsi yang paling mencolok adalah pada konsumsi daging

baik sapi, babi, ayam maupun telur. Konsumsi sumber protein hewani seperti

daging, ayam dan telur masih sedikit dibandingkan dengan konsumsi ikan.

Konsumsi sumber protein hewani non ikan di Desa Kulur Ilir sebesar 8,14

Page 25: Bab iv

70

kg/kapita/tahun, jauh lebih kecil dibandingkan konsumsi ikan, yaitu sebesar 53,46

kg/kapita/tahun. Begitu pula dengan konsumsi sumber protein hewani non ikan di

Kelurahan Dul sebesar 16,49 kg/kapita/tahun masih lebih kecil dibandingkan

dengan konsumsi ikan sebesar 51,70 kg/kapita/tahun. Penduduk perkotaan jarang

mengkonsumsi daging sapi sebagai menu lauk pauk, namun daging sapi umumnya

dikonsumsi dalam bentuk makanan selingan seperti bakso sebagai makanan

selingan. Frekuensi konsumsi makanan selingan di perkotaan adalah sebanyak

121 kali/bulan. Berbeda dengan di perdesaan, tidak adanya penjual makanan

selingan seperti bakso, mie ayam dan makanan selingan lainnya menyebabkan

penduduk jarang mengkonsumsi makanan jenis ini. Frekuensi konsumsi makanan

selingan pada responden perdesaan adalah 8 kali/bulan. Makanan selingan baru

dikonsumsi jika responden pergi ke kota terdekat. Daging babi hanya dikonsumsi

di daerah perkotaan karena ada sebagian penduduk yang merupakan etnis

tionghwa yang biasa mengkonsumsi makanan jenis ini. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang menyatakan bahwa kesukaan terhadap jenis pangan tertentu baik

yang rasional maupun irrasional, dapat ditemukan pada beberapa kelompok

agama, etnis atau fisiologis tertentu (Herman, 1990 dalam Hardyansyah, 2008).

Konsumsi ayam juga berbeda di perkotaan dan perdesaan. Faktor pendapatan juga

mempengaruhi konsumsi ayam potong. Pendapatan rata-rata penduduk Desa

Kulur Ilir adalah Rp. 28.022.692/tahun lebih rendah dibandingkan dengan

pendapatan rata-rata penduduk Kelurahan Dul Rp. 38.703.617/tahun. Semakin

tinggi pendapatan keluarga akan menyebabkan semakin tinggi pula konsumsi

ayam potong. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Harianto dkk., (2008) yang

Page 26: Bab iv

71

menyatakan bahwa permintaan daging ayam berkorelasi positif terhadap

pendapatan rumah tangga.

Ikan menjadi lauk yang paling banyak dikonsumsi baik di daerah

perdesaan maupun perkotaan. Hal ini dikarenakan lokasi Kabupaten Bangka

Tengah yang berada di pulau kecil sehingga akses mudah ke laut. Adanya sumber

ikan yang banyak dan mudah didapat, ikan menjadi lauk yang paling disukai oleh

penduduk. Responden Kelurahan Dul mengkonsumsi ikan sebanyak 98 % dan

pada responden Desa Kulur Ilir sebesar 97%. Hal ini sesuai dengan pendapat

Harper, dkk (2009) yang menyatakan ketersediaan pangan adalah salah satu faktor

yang mempengaruhi pola makan. Responden pedesaan yang pada umumnya

petani mendapatkan penghasilan dari kegiatan usaha perkebunan karet dan lada.

Pendapatan sehari-hari didapatkan dari hasil menyadap karet dan penghasilan

tahunan didapat dari panen lada. Pendapatan terbesar responden Desa Kulur Ilir

dari hasil menyadap karet adalah Rp. 500.000. Sayekti (2008) menyatakan bahwa

semakin tinggi pendapatan, maka konsumsi jenis pangan protein juga meningkat.

Namun hal ini tidak berlaku di perdesaan karena sebagian penduduk umumnya

mencukupi kebutuhan protein dengan mengkonsumsi ikan laut yang dicari sendiri.

Sebanyak 38,46 % responden di Desa Kulur Ilir pergi ke laut mencari ikan untuk

konsumsi pribadi. Selain itu karena daerah ini berada di pulau kecil dengan hasil

produksi ikan laut yang melimpah, maka harga ikan pun bervariasi. Penduduk

dengan pendapatan rendah masih bisa mengkonsumsi ikan dengan cara membeli

ikan yang harganya lebih murah. Ikan jenis belanak, kepetek, biji nangka, pari,

selanget dan dencis lebih banyak dikonsumsi di Desa Kulur Ilir karena harganya

yang relatif murah dan ikan jenis ini banyak terdapat di pantai Desa Kulur Ilir.

Page 27: Bab iv

72

Konsumsi sayuran di perdesaan adalah 47,03 kg/kapita/tahun lebih besar

dibandingkan dengan konsumsi sayuran di perkotaan, yaitu 46,42 kg/kapita/tahun.

Responden perdesaan lebih banyak mengkonsumsi sayuran dibandingkan dengan

responden perdesaan. Hal ini disebabkan karena ada sebagian bahan sayuran di

perdesaan diperoleh dengan tidak dengan cara membeli. Di perdesaan, sebanyak

30,2 % dari total konsumsi bahan sayuran berasal dari jenis tanaman yang ada di

pekarangan seperti pepaya, pisang, nangka dan daun singkong. Penduduk di

perkotaan juga masih mengkonsumsi jenis sayuran di atas, namun jumlahnya

tidak sebanyak penduduk perdesaan, yaitu sebesar 16,22 % dari total konsumsi

bahan sayuran. Di Desa Kulur Ilir, konsumsi sayuran jenis ini adalah sebanyak 43

kali (55,13 %) selama 3 hari. Di Kelurahan Dul, konsumsi sayuran jenis ini adalah

sebanyak 45 kali (47,87%) selama 3 hari.

Konsumsi buah menjadi salah satu perbedaan konsumsi di kedua lokasi

penelitian. Hanya 6% responden di Desa Kulur Ilir di Kelurahan Dul, 20% orang

reponden yang mengkonsumsi buah. Karena buah bukanlah sumber energi utama,

di perdesaan konsumsi buah tidak menjadi budaya disana. Sedangkan di

perkotaan, dengan adanya paparan informasi dan persinggungan penduduknya

dengan kebudayaan modern meningkatkan pengetahuan gizi penduduk

(Hardiansyah, 2008). Sebenarnya buah seperti pepaya, pisang, nanas dan nangka

juga dikonsumsi di perdesaan. Namun buah-buahan ini diolah dalam bentuk

sayuran sebagai teman makan nasi sehingga buah-buahan ini dimasukan dalam

kelompok sayuran.

Konsumsi jenis bumbu di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan

konsumsi bumbu diperdesaan. Konsumsi bumbu di Kelurahan Dul adalah 21,88

Page 28: Bab iv

73

kg/kapita/tahun, sedikit lebih besar dibandingkan dengan konsumsi bumbu di

Desa Kulur Ilir, yaitu sebesar 19,12 kg/kapita/tahun. Perbedaan konsumsi bumbu

di kedua lokasi penelitian yang tidak jauh berbeda dikarenakan bumbu yang

digunakan adalah sama. Perbedaan disebabkan karena responden perdesaan

umumnya memasak lauk pauk dan sayuran sesuai dengan menu tradisional. Menu

tradisional di Pulau Bangka seperti lempah kuning ikan dan lempah darat adalah

jenis masakan yang tidak menggunakan bawang merah, bawang putih dan minyak

goreng. Sehingga konsumsi responden perdesaan terhadap ketiga bumbu diatas

lebih sedikit penggunaannya dibandingkan dengan konsumsi responden

perkotaan. Persentase konsumsi minyak goreng dan bawang merah bawang putih

pada responden perkotaan adalah 43,70% dan 26,9%. Sedangkan persentase

konsumsi minyak goreng dan bawang merah bawang putih pada responden

perdesaan adalah 41% dan 24%. Menu makanan di perdesaan dan perkotaan dapat

dilihat pada Tabel 2.20 dan Tabel 2.21 dan dibahas lebih lanjut di pola makan.

Konsumsi minuman responden perdesaan juga lebih besar dibandingkan

dengan penduduk perkotaan. Kopi adalah konsumsi minuman terbesar responden

di perdesaan yaitu sebanyak 61 kg/bulan, dibandingkan dengan konsumsi susu

bubuk 7,8 kg/bulan, susu kental manis 37 kaleng/bulan dan teh 1,24 kg/bulan.

Konsumsi kopi menjadi jauh lebih besar dibandingkan konsumsi minuman

lainnya karena umumnya responden mengkonsumsi kopi sebagai pengganti

sarapan (83%). Konsumsi minuman terbesar di perkotaan adalah konsumsi susu

bubuk. Hal ini sesuai dengan penelitian Roy et.al., (2002) di daerah perdesaan,

kota kecil dan kota besar di Bangladesh menunjukan bahwa konsumsi susu bubuk

di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan di perdesaan. Konsumsi susu

Page 29: Bab iv

74

meningkat seiring dengan naiknya pendapatan penduduk. Susu bubuk dikonsumsi

oleh balita sedangkan konsumsi susu untuk dewasa biasanya dalam bentuk susu

kental manis. Adapun konsumsi minuman di perkotaan adalah sebagai berikut

kopi 36 kg/bulan, susu 74 kg/bulan, susu kental manis 76 kaleng/bulan dan teh 3

kg/bulan. Susu bubuk dikonsumsi oleh balita, sedangkan konsumsi susu untuk

dewasa biasanya dalam bentuk susu kental manis. Teh tidak dikonsumsi oleh

tingkat tertentu, namun tersebar pada setiap tingkat pendapatan dan pendidikan

responden.

Pola makan di Kelurahan Dul

Jenis-jenis menu makanan, bahan pangan yang dikonsumsi responden

perkotaan berdasarkan perolehan data dapat dilihat pada Tabel 4.20 berikut.

Tabel 4.20 Jenis-jenis menu makanan dan jenis-jenis bahan makanan yang

dikonsumsi responden perkotaan

No Kelompok

makanan

Jenis-jenis menu makanan Kategori

kesejahteraan

keluarga

1. Makanan

pokok

Nasi PS, KS I,

KS II, KS III

2 Lauk pauk 1. Ikan : lempah kuning, goreng, panggang,

pindang, mangut, ikan asin, sambal.

PS, KS I,

KS II, KS III

2. Ayam : semur, kecap, goreng, soto, sop,

lempah kuning.

KS I, KS II,

KS III

3. Daging sapi : sop, lempah kuning. KS I, KS III+

4. Daging babi : kecap, masak lengkuas. KS II

5. Telur : sambal, dadar, semur, ceplok PS, KS I,

KS II, KS III

6. Tahu tempe : goreng, sambal, santan. PS, KS I,

KS II, KS III

7. Mie instan PS, KS I,

KS II, KS III

3 Sayur

mayur

1. Tumis: bayam, daun singkong, kangkung,

taoge, pepaya, sawi, kacang panjang, terung,

buncis, gambas, jagung, kembang kol, pare,

petai, rebung,timun, kubis, labu siam.

2. Santan : nangka, daun singkong.

PS, KS I,

KS II, KS III

Page 30: Bab iv

75

3. Lempah darat: terung, jantung pisang, pisang

muda, daun pepaya, jantung pisang, keladi.

4. Sop : kentang, wortel, seledri.

5. Sambal tomat, terasi, rusip.

6. Lalap : terung, daun singkong, kecipir,

timun.

No Kelompok

makanan

Jenis-jenis menu makanan Kategori

kesejahteraan

keluarga

4 Makanan

selingan

Martabak, susu kedelai, pisang goreng, pantiau,

lakso, bakso, mie ayam, pempek, kue, roti.

KS I, KS II,

KS III

5 Buah Pir, apel, anggur, mangga, semangka, alpukat,

pisang.

KS II, KS III

6 Minuman Kopi, teh, PS, KS I,

KS II, KS III

Susu KS I, KS II,

KS III, KS III+

Keterangan : Pra Sejahtera (PS), Keluarga Sejahtera Tingkat I (KS I), Keluarga

Sejahtera Tingkat II (KS II), Keluarga Sejahtera Tingkat III

(KS III). Keluarga Sejahtera Tingkat III+ (KS III+).

Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2010

Menu makanan sehari-hari responden perkotaan dapat dikatakan cukup

bervariasi. Pada menu makanan pokok, beras menjadi bahan makanan yang

utama. Produk olahan terigu yaitu mi instant dan roti juga turut menjadi bahan

pangan yang cukup penting bagi responden perkotaan. Nampaknya, adaptasi

terhadap kehidupan perkotaan menjadi salah satu pendorong peningkatan

konsumsi mi instan dan roti. Hasil Susenas 1999 sampai dengan 2007

menunjukkan pola konsumsi pangan pokok di Indonesia mengarah pada bahan

pangan berbasis beras dan terigu serta diiringi kecenderungan semakin

menurunnya peran bahan pangan jagung dan umbi-umbian. Terigu yang berasal

dari gandum adalah bahan pangan impor dan tidak diproduksi di Indonesia,

sedangkan jagung dan umbi-umbian menjadi bahan pangan yang cukup sesuai

dengan kondisi ekologis di sebagian wilayah Indonesia.

Page 31: Bab iv

76

Beraneka macam lauk pauk dan sayur mayur dikonsumsi dalam berbagai

sajian untuk memenuhi rasa, warna dan bentuk yang diinginkan. Konsumsi

sayuran di perkotaan cukup beragam. Hasil penelitian menunjukan jenis sayuran

yang dikonsumsi responden pra sejahtera adalah 9 jenis, lebih sedikit

dibandingkan jenis sayuran yang dikonsumsi responden keluarga sejahtera tingkat

I, yaitu 18 jenis. Selain itu sebagian sebagian besar pekerjaan ibu adalah sebagai

ibu rumahtangga (68 orang) sehingga ibu mempunyai waktu yang lebih banyak

untuk mengolah bahan pangan menjadi makanan. Tingkat pendapatan yang cukup

tinggi juga mempengaruhi pola konsumsi yang terjadi pada responden perkotaan

terutama mendukung kemampuan untuk mendapatkan bahan-bahan makanan. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Suhaimi (2006) di Kabupaten Kutai Kartanegara

yang menyatakan bahwa faktor pendapatan berpengaruh signifikan terhadap

konsumsi pangan.

Selain pendapatan, pendidikan juga mempengaruhi pola konsumsi pangan.

Responden dengan pendidikan SMA lebih banyak mengkonsumsi sumber protein

hewani seperti daging, ayam dan telur lebih banyak dibandingkan dengan

responden dengan pendidikan SMP. Konsumsi per kapita responden SMA adalah

31,2 kg/bulan, lebih besar dibandingkan dengan konsumsi per kapita responden

SMP, yaitu sebesar 20,1 kg/bulan. Hasil penelitian Amir (2004) di Sulawesi

Tengah menunjukan bahwa pendidikan kepala keluarga berkorelasi positif

terhadap konsumsi daging sapi. Ini artinya semakin tinggi pendidikan kepala

keluarga, maka semakin besar pula konsumsi daging sapi.

Page 32: Bab iv

77

Pola makan di Desa Kulur Ilir

Responden pedesaan mengkonsumsi menu makanan yang cenderung sama

sehari-harinya. Sayuran juga menjadi bagian konsumsi sehari-hari responden

pedesaan. Jenis menu makanan yang dikonsumsi responden pedesaan berdasarkan

perolehan data tersaji pada Tabel 4.21 berikut.

Tabel 4.21 Jenis-jenis menu makanan dan jenis-jenis bahan makanan yang

dikonsumsi responden pedesaan

No Kelompok

makanan

Jenis-jenis menu makanan Kategori

kesejahteraan

keluarga

1. Makanan

pokok

Nasi PS, KS I,

KS II, KS III

2 Lauk pauk 1. Ikan : lempah kuning, goreng, panggang,

pindang, mangut, ikan asin, sambal.

PS, KS I,

KS II, KS III

2. Ayam : lempah kuning, sop KS I, KS II,

KS III

3. Daging sapi : lempah kuning KS II

4. Telur : sambal, dadar, semur, ceplok PS, KS I,

KS II, KS III

5. Tahu tempe : goreng, sambal PS, KS I,

KS II, KS III

6. Mie instan PS, KS I,

KS II, KS III

3 Sayur

mayur

1. Tumis: kacang panjang, rebung, sawi,

terung, daun singkong, kangkung, taoge,

bayam, ketimun

2. Lempah darat: terung, jantung pisang,

pisang muda, keladi, pepaya, nangka

3. Sambal terasi, rusip

4. Lalap : terung, daun singkong, timun

PS, KS I,

KS II, KS III

4 Makanan

selingan

Pempek, kue, roti KS I, KS II,

KS III

5 Buah Jeruk. KS II, KS III

6 Minuman Kopi, teh. PS, KS I,

KS II, KS III

Susu. KS I, KS II,

KS III

Keterangan : Pra Sejahtera (PS), Keluarga Sejahtera Tingkat I (KS I), Keluarga

Sejahtera Tingkat II (KS II), Keluarga Sejahtera Tingkat III

(KS III).

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Page 33: Bab iv

78

Pada menu makanan pokok, semua responden mengkonsumsi beras

sebagai bahan makanan yang utama. Walaupun makanan yang berasal dari terigu

telah menjadi bagian dari pola konsumsi pangan pokok responden pedesaan,

namun jumlahnya masih sedikit. Produk olahan terigu banyak dikonsumsi dalam

bentuk mie instan. Di Desa Kulur Ilir, 43% responden mengkonsumsi mie instan

dan 6% responden mengkonsumsi roti. Akses terhadap pasar yang relatif jauh

mendorong masyarakat cenderung mengkonsumsi pangan dengan jenis yang

terbatas. Seperti jenis sayuran yang tidak bervariasi karena tergantung dari

pasokan dari pedagang keliling juga semakin mendorong masyarakat lebih

mengandalkan hasil lahan sendiri. Hal ini menunjukkan pola konsumsi pada

rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok

yang berbasis potensi lokal dan variasi pangan kurang mendapat perhatian

(Suyastiri,2008). Responden perdesaan rata-rata mengkonsumsi ikan sebanyak

4,45 kg/bulan, jauh lebih besar dibandingkan konsumsi makanan hewani (daging,

ayam, telur) sebanyak 0,68 kg/bulan.

Menu makanan responden pedesaan selain sederhana dari aspek jenis

bahan yang digunakan juga sederhana dari segi macam makanan yang dibuat dari

satu jenis bahan pangan. Contohnya ikan hanya diolah menjadi lempah kuning,

pindang, panggang, sambal, mangut dan goreng. Ini adalah olahan ikan yang

sederhana dan merupakan menu makanan khas di Pulau Bangka. Kesukaan

responden terhadap menu khas ini nampaknya dipengaruhi oleh pengalaman

hidupnya. Menurut Bourdieu dalam Debevec et al., (2006), kesukaan merupakan

hasil dari kebiasaan, yang merupakan kumpulan pengalaman dan persepsi yang

disebabkan oleh pengalaman masa kecil, pengaruh keluarga dan pengaruh

Page 34: Bab iv

79

sekolah. Jika dilihat dari sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga adalah

sekolah dasar (82,05%), maka preferensi pangan terbatas dari pengalaman masa

kecil dan pengaruh keluarga. Tingkat pendidikan yang rendah ditambah dengan

kurangnya informasi menyebabkan responden Desa Kulur Ilir sulit menerima

pengetahuan pangan dan gizi melalui media elektronik maupun media cetak.

Niehof (1988) dalam Suhaimi (2006) menyatakan, tingkat pendidikan kepala

keluarga berkaitan erat dengan wawasan pengetahuan mengenai sumber-sumber

gizi dan jenis-jenis makanan yang baik untuk konsumsi keluarga.

Begitu pula dengan sayuran, umumnya diolah menjadi lempah darat, tumis

atau sebagai lalapan. Kesederhanaan dalam menu makanan responden pedesaan

baik dari jenis bahan pangan maupun cara pengolahannya tidak bisa dipisahkan

dari tingkat pendapatan yang rendah sehingga hanya mampu membeli bahan

pangan yang berharga murah dan juga ketersediaan pangan yang ada (Harper

dkk., 2006). Konsumsi bahan sayuran hasil pekarangan adalah 594 kg sedangkan

konsumsi total sayuran adalah 1.305 kg. Hal ini menunjukan bahwa pemenuhan

produksi lokal adalah 45,53 % terhadap konsumsi total sayuran. Tingkat

pendidikan yang rendah juga menyebabkan responden sulit menerima

pengetahuan baru (Hardiansyah, 2008) sehingga menu yang dikonsumsi

umumnya menu tradisional. Tingkat pendidikan responden SD adalah 82,05 %.

Selain itu, faktor informasi juga ikut mempengaruhi pola makan tersebut. Desa

Kulur Ilir yang berada 10 km dari jalan raya, jauh dari pusat kota, serta belum

dialiri listrik sehingga informasi yang didapat penduduk menjadi terbatas. Hal ini

menyebabkan kurangya transfer informasi yang diterima oleh penduduk Desa

Kulur Ilir.

Page 35: Bab iv

80

4.3.2. Perhitungan jejak makanan

Pada perhitungan jejak makanan, langkah pertama yang harus dilakukan

adalah menghitung kebutuhan lahan masing-masing bahan pangan yang

dikonsumsi. Kebutuhan lahan dapat dilihat dari data produktifitas masing-masing

komoditi dari website BPS RI dan situs web terkait lainnya.

Secara garis besar ada 5 kelompok perhitungan dalam jejak makanan:

1. Tanaman pangan yang dikonsumsi dalam bentuk aslinya pada saat

dipanen.

Contoh kelompok ini adalah sayuran dan buah. Perhitungan produktifitasnya

adalah dengan membagi jumlah produksi tanaman dalam 1 tahun dibagi

dengan luas lahan untuk memproduksinya pada tahun yang sama.

2. Tanaman yang dikonsumsi dalam bentuk yang sudah berubah pada saat

dipanen.

Sebagian contoh tanamannya adalah kopi, teh, gula pasir, minyak goreng,

gula kelapa, gula aren. Maka perhitungan produktifitas komoditi harus

mengetahui randemen (perbandingan antara bahan dan hasil) produk

(Wackernagel et. al., 2005). Misalkan pada perhitungan kopi jenis robusta,

diketahui randemen kopi 0,25, produktifitas bijih kopi 1,34 ton/ha maka

produktifitas kopi robusta yang siap dikonsumsi adalah 0,25 x 1,34 ton/ha =

335 kg/ha. Sehingga data produktifitas yang dipakai adalah 335 kg/ha bukan

1,34 ton/ha.

3. Produk makanan turunan.

Perhitungan jejak makanan hasil turunan (olahan) mengacu pada metodologi

dalam Wackernagel et. al. (2005). Sebagian contoh produk dalam kategori ini

adalah kecap, susu bubuk, tahu, tempe, terasi. Untuk menghitung kebutuhan

Page 36: Bab iv

81

lahan produk kategori ini maka kita harus mengetahui jenis dan berat masing-

masing bahan penyusun. Perhitungan kebutuhan lahan untuk 1 botol besar

(650 ml) kecap asin dapat dilihat pada Tabel 4. Berikut. Dari hasil

perhitungan didapat informasi bahwa 1 botol besar kecap asin memerlukan

lahan seluas 0,00196 ha (1.960 m2). Bahan penyusun kecap asin dapat dilihat

pada kolom 1. Sekali produksi dihasilkan 1.056 botol besar kecap asin.

Sehingga untuk mengetahui kebutuhan bahan pembuat kecap asin didapat

dengan cara mebagi total jumlah bahan yang dibutuhkan dengan jumlah

produksi kecap asin (kolom 3). Setelah itu kebutuhan untuk 1 botol kecap

asin dikalikan dengan produktifitas masing-masing bahan. Hasil perhitungan

kebutuhan lahan dapat dilihat pada kolom 5. Kebutuhan lahan untuk 1 botol

kecap asin didapatkan dengan cara menjumlahkan kebutuhan lahan masing-

masing bahan pembentuk 1 botol kecap asin.

Tabel 4.22 Perhitungan kebutuhan lahan untuk1 botol besar kecap asin

Kecap asin 1056 btl

besar Per 1 btl bsr

Produktifitas

(kg/ha/tahun)

Footprint

(ha/tahun)

1 2 3 4 5

Kedelai 300 kg 0,28409 kg 1246 0,00023

Garam 100 kg 0,0947 kg 77071,3 1,2E-06

Gula kelapa 400 kg 0,37879 kg 219 0,00173

Sagu 11 kg 0,01042 kg 80000 1,3E-07

Serai 8 kg 0,00758 kg 18000 4,2E-07

Total FP 1botol besar 0,00196

Sumber : kolom 1,2 Produsen kecap asin, 2010

Kolom 4 : BPS RI, 2008

4. Makanan hewani dan ikan air tawar.

Untuk menghitung kebutuhan lahan untuk sapi, ayam, telur, susu maka harus

diketahui kebutuhan pakan, komposisi bahan penyusun pakan dan masa

Page 37: Bab iv

82

produksi sampai hewan tersebut berhenti produksi atau siap dikonsumsi

Wackernagel et. al. (2005). Khusus untuk ternak yang dikonsumsi dagingnya

perbandingan antara berat hidup dengan daging yang siap dikonsumsi juga

harus diketahui. Perhitungan kebutuhan lahan untuk daging dapat dilihat di

lampiran. Tabel 4.23 adalah contoh perhitungan kebutuhan lahan untuk 1

butir telur ayam.

Tabel 4.23 Perhitungan kebutuhan lahan untuk 1 butir telur ayam.

Komposisi bahan

penyusun konsentrat

pakan ayam

Berat (kg) Produktifitas

(kg/ha)

Footprint

(ha)

Jagung 60,00 1859,16 0,03227

Dedak halus 5,14 1262,05 0,00407

Bungkil kedelai (ampas tahu) 15,50 1271,70 0,01219

Tepung ikan 13,86 6200,00 0,00224

Minyak kelapa 3,50 1720,13 0,00203

Tepung tulang 1,50 68,74 0,02182

Pfizer premix A 0,50

Total kebutuhan lahan untuk 100 kg pakan (ha) 0,07463

Kebutuhan lahan untuk 1 kg pakan ayam (ha) 0,00075

Sumber : Wakju (1992)

Jika tabel di atas adalah perhitungan kebutuhan lahan untuk konsentrat ternak

produksi pabrik, maka tabel di bawah ini adalah perhitungan kebutuhan lahan

untuk konsumsi pakan ternak ayam petelur. Hasil wawancara dengan

peternak ayam petelur di lokasi penelitian, didapatkan informasi bahwa selain

konsentrat pabrik, ayam petelur diberi pakan lain berupa dedak dan jagung

dengan komposisi 5:2:3. Hal ini disebabkan pakan konsentrat mengandung

protein sebesar 30 % sedangkan kebutuhan protein untuk ayam petelur adalah

16-17 % ( Daghir, 1995). Jika jumlah protein dalam pakan terlalu besar, maka

akan menyebabkan gangguan pencernaan pada ayam (Rachmat, 2010).

Page 38: Bab iv

83

Setelah dilakukan pengecekan perhitungan protein pada ransum yang

diberikan peternak ayam petelur di lokasi penelitian, maka didapatkan

kandungan protein pada ransum adalah 16,7 %.

Komposisi Pakan Ayam

Petelur Berat (kg)

Produktifitas

(kg/ha)

Footprint

(ha)

Jagung 5 1859,16 0,00269

Dedak 2 1262,05 0,00158

Konsentrat 3 0,00224

10 kg pakan perlu (ha) 0,00651

Sehingga 1 kg pakan perlu (ha) 0,00065

Sumber : Peternak ayam petelur di lokasi penelitian, 2010.

Kebutuhan pakan untuk 2000 ekor ayam

Umur Jumlah pakan Footprint (ha)

0-3 bulan Konsentrat 6.000 kg 4,4775

4-5 bulan Konsentrat 3.000 kg 2,2388

Pakan 3.000 kg 1,9539

5-24 bulan Konsentrat 28.500 kg 21,2682

Pakan 28.500 kg 18,5616

Luas kandang 0,018

Total kebutuhan lahan 48,5180

Sumber : Peternak ayam petelur di lokasi penelitian, 2010

Produksi telur sampai dengan ayam berumur 2 tahun adalah 1.140.000 butir

sehingga kebutuhan lahan untuk 1 butir telur adalah 48,5180/ 1140000 =

0,00004255 ha (42,55 m2).

Hal yang sama juga berlaku pada perhitungan kebutuhan lahan untuk ikan air

tawar. Lebih rincinya perhitungan tersebut dapat dilihat pada lampiran 19.

5. Ikan laut.

Merujuk pada wawancara dengan informan kunci dari Fakultas Perikanan

Universitas Padjajaran (2010), perhitungan produktivitas perikanan laut per

luas lahan dilakukan dengan cara pendekatan alat tangkap, jumlah hari

Page 39: Bab iv

84

melaut, produksi per tangkapan dan kapasitas mesin kapal yang digunakan.

Pendekatan alat tangkap dan kapasitas mesin yang digunakan digunakan

untuk mengetahui luas area tangkapan sedangkan jumlah hari melaut/

produksi dan produksi ikan laut per tangkapan untuk mengetahui produksi

ikan per bulan yang kemudian dikonversikan menjadi produksi ikan laut per

tahun. Perhitungan produktifitas ikan laut dapat dilihat pada lampiran 19.

Langkah kedua dalam perhitungan jejak makanan adalah membagi jumlah

konsumsi dengan produktifitas pangan sedangkan untuk bahan makanan olahan,

jejak makanan didapat dengan cara mengalikan jumlah konsumsi dengan

kebutuhan lahan per satuan. Contoh, untuk 1 botol kecap asin diperlukan 0,00196

ha maka jika penduduk mengkonsumsi 4 botol maka jejak makanannya adalah 4 x

0,00196 ha = 0,00784 ha (7.840 m2).

Hasil perhitungan jejak makanan responden perkotaan dan perdesaan dapat

dilihat pada Tabel 4.24 berikut.

Page 40: Bab iv

85

Tabel 4.24 Luas jejak makanan responden di Kelurahan Dul dan Desa Kulur Ilir

Bahan

Pangan

DUL KULUR ILIR

Per

bulan

(ha)

Per tahun

(ha)

Capita

per

tahun

(ha)

Persen

(%)

Per

bulan

(ha)

Per

tahun

(ha)

Capita per

tahun (ha)

Persen

(%)

Beras 0,6125 73,4950 0,0183 4,06 0,6537 0,6582 0,0237 6,82

Terigu,

ketan,sagu 0,1701 20,4150 0,0051 1,13 0,0440 0,1145 0,0041 1,18

Daging,

ayam, telur 35,7580 429,0910 0,1067 23,68 0,3942 0,5454 0,0197 5,67

Ikan laut 9,6118 115,2902 0,2827 62,75 7,5301 7,5301 0,2827 81,35

Sayuran 0,3788 45,4540 0,0113 2,51 0,1443 0,2061 0,0074 2,13

Buah 0,0246 0,2952 0,0007 0,16 0,0004 0,0004 0,0000 0,00

Bumbu 0,8615 103,3770 0,0257 5,70 0,1401 0,2751 0,0099 2,85

Total Jejak makanan 0,4505 100

0,3475 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Dari Tabel 4.24, jejak makanan terbesar di perkotaan berasal dari kelompok

makanan ikan laut sebesar 62,75 %, kemudian diikuti oleh kelompok makanan

hewani (daging, ayam, telur) sebesar 23,68 %. Hal sama terjadi di daerah

perdesaan dimana penyumbang jejak makanan terbesar berasal dari makanan ikan

laut sebesar 81,35 %, lalu diikuti oleh beras sebesar 6,82 %.

Responden perkotaan lebih banyak mengkonsumsi makanan hewani non

ikan dibandingkan dengan responden perdesaan. Walaupun ikan tetap menjadi

lauk utama yang dikonsumsi responden di dua tempat ini. Hal ini menunjukan

telah terjadinya perubahan pola makan pada masyarakat perkotaan. Semakin

tinggi pendapatan maka orang tidak akan menambah kuantitas pangan pokok yang

dikonsumsi, namun lebih kepada meningkatkan kualitas pangan yang dikonsumsi.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Riyadi (2003) dalam Suyastiri (2008) bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang umumnya semakin

tinggi pula kesadaran untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan

Page 41: Bab iv

86

memenuhi syarat gizi. Seseorang yang telah mampu mencukupi kebutuhan

pangan pokoknya, akan berusaha memvariasikan jenis pangan yang dikonsumsi

untuk memuaskan selera makannya. Hal ini ditunjukan oleh menu makanan

responden dengan kategori tingkat kesejahteraan keluarga tingkat II Kelurahan

Dul, bahwa makanan selingan dan buah menjadi bagian dari konsumsi

makanannya. Dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan ketersediaan

pangan yang beragam di perkotaan, maka kecenderungan penduduk untuk

memilih pangan seperti daging dan ayam menjadi lebih besar. Hasil penelitian ini

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Amir tahun 2004. Tingkat

pendidikan yang lebih tinggi membuat penduduk lebih mudah menerima beragam

informasi yang dapat diakses melalui media massa ataupun persinggungan budaya

dengan penduduk lain (Niehof, 1988 dalam Suhaimi, 2006).

Kondisi yang berbeda terjadi di daerah perdesaan. Tingkat pendapatan

yang cenderung rendah membuat penduduk kurang leluasa dalam memilih pangan

untuk dikonsumsi. Jarak perdesaan dengan pusat distribusi barang menyebabkan

harga pangan menjadi lebih tinggi. Selain itu, penduduk disini mayoritas

berpendidikan SD, sehingga kemampuan menerima informasipun rendah. Gaya

hidup juga merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku makan, seperti

yang dikemukakan oleh Pelto (1980) dalam Suhaimi (2006) bahwa perilaku

makan ditentukan oleh gaya hidup, selain pengaruh sistem produksi dan distribusi

pangan serta sistem sosial ekonomi. Adapun gaya hidup tersebut merupakan hasil

pengaruh beragam faktor yaitu pendapatan, pekerjaan, pendidikan, etnik, tempat

tinggal, agama, pengetahuan kesehatan dan gizi serta karakteristik fisiologis.

Jaringan listrik belum terdapat didaerah perdesaan ini, hal ini menyebabkan

Page 42: Bab iv

87

informasi baru yang masuk disini menjadi terbatas. Umumnya menu makanan

yang biasa dikonsumsi dan disukai penduduk perdesaan adalah ikan karena

pangan ini yang lebih banyak terdapat dibandingkan dengan daging sapi dan

ayam.

4.4 Analisis korelasi pendapatan dan pendidikan terhadap luas

Jejak makanan (ha)

4.4.1 Responden Kelurahan Dul

Pada hubungan antara variabel pendapatan dengan jejak makanan didapat

nilai korelasi sebesar 0,4714. Hal ini berarti terdapat hubungan positif diantara

keduanya dan memiliki tingkat hubungan sedang (nilai koefisien korelasi semakin

mendekati satu, menunjukkan hubungan yang semakin kuat) (Sugiono, 2008).

Kenaikan pendapatan keluarga membawa pengaruh kenaikan pada jejak makanan.

Sama dengan pendapatan, variabel pendidikan mempunyai nilai korelasi sebesar

0,4732 yang artinya terdapat hubungan positif dengan kekuatan hubungan sedang

antara pendidikan dengan jejak makanan.

Pengaruh pendapatan dan pendidikan terhadap jejak makanan diuji dengan

menggunakan analisa regression. Hasil uji menunjukan bahwa t hitung variabel

pendidikan adalah 3,256 dan t hitung untuk variabel pendidikan adalah 3,291.

Sedangkan t tabel untuk jumlah responden 94 dengan tingkat kepercayaan 95 %

adalah 1,865. Karena t hitung lebih besar dari t tabel maka pendapatan dan

pendidikan mempengaruhi besarnya jejak makanan.

Dari tabel coefficient regression dapat dilihat signifikansi pengaruh

pendapatan dan pendidikan terhadap jejak makanan dilihat dari p-value masing-

Page 43: Bab iv

88

masing variabel bebas. Nilai p-value untuk pendapatan 0,00158 dan p-value untuk

pendidikan adalah 0,00142. Karena nilai p-value masing-masing variabel bebas

lebih kecil dari 0,05 ini berarti pengaruh pendapatan dan pendidikan terhadap

besar jejak makanan adalah signifikan. Kesimpulan lain yang dapat diambil

adalah koefisien korelasi antara pendapatan dan pendidikan dengan jejak makanan

adalah berpengaruh nyata, artinya koefisien tersebut dapat digeneralisasikan atau

dapat berlaku pada populasi.

Adapun persamaan regresi untuk menggambarkan hubungan antara jejak

makanan dengan pendapatan dan pendidikan adalah sebagai berikut.

Jejak makanan = - 0,13 + 1,049.10-08

pendapatan + 0,0276 pendidikan + E

Persamaan ini digunakan untuk memprediksikan besar jejak makanan. Adapun

contohnya adalah sebagai berikut. Jika seseorang mempunyai pendapatan per

kapita Rp. 1.000.000 per tahun dengan tingkat pendidikan SD maka besar jejak

makanannya adalah 0,1631 ha.

Hubungan antara pendapatan dan pendidikan dengan jejak makanan dapat

diperjelas lagi dengan menggunakan analisa nilai Multiple R (Sugiono, 2010).

Hasil analisa menunjukkan nilai sebesar 0,5522 atau 55,22 %. Interpretasi dari

nilai tersebut adalah bahwa perubahan besarnya jejak makanan responden

perkotaan bisa dijelaskan oleh variabel pendapatan dan pendidikan sebesar 55,22

%, sedangkan 44,28 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar jejak makanan pada

penelitian diduga juga berkaitan pula dengan faktor yang mempengaruhi

konsumsi pangan diantaranya faktor akses informasi, faktor akses ketersediaan

pangan, faktor preferensi dan faktor umur anggota keluarga.

Page 44: Bab iv

89

Hasil perhitungan jejak makanan akan dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek

pendapatan, yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga dan

aspek pendidikan, yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan. Adapun

hasil perhitungan jejak makanan dari aspek pendapatan dapat dilihat pada uraian

berikut.

1. Kategori Pra Sejahtera (PS)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 4.213.333 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,2324

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 2.324 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi berasal

dari ikan laut yaitu 66,35 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.25 berikut.

Tabel 4.25 Jejak makanan responden Pra Sejahtera di Kelurahan Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0508 0,6095 0,0254 10,93

2 Terigu, sagu, ketan 0,0084 0,1014 0,0042 1,81

3 Makanan hewani 0,0181 0,2167 0,009 3,87

4 Ikan laut 0,3341 3,8807 0,1542 66,35

5 Sayuran 0,0352 0,4221 0,0176 7,57

6 Buah 0 0 0 0,00

7 Bumbu 0,0231 0,2769 0,0115 4,95

8 Minuman 0,0211 0,2529 0,0105 4,52

Jejak makanan (ha) 0,4908 5,7602 0,2324 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Pada responden dengan kategori PS, kebutuhan lahan untuk beras masih yang

utama. Dari semua kategori kesejahteraan keluarga, responden PS membutuhkan

Page 45: Bab iv

90

lahan untuk konsumsi beras dan sayuran paling tinggi. Hasil perhitungan jejak

makanan menunjukan bahwa pola makan responden ini membutuhkan lahan yang

paling kecil dibandingkan dengan responden lain dengan kategori kesejahteraan

keluarga yang lebih baik.

2. Kategori Sejahtera Tingkat I (KS I)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 5.261.428 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,5056

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 5.056 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari ikan laut yaitu 76,25 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.26 berikut.

Tabel 4.26 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat I di Kelurahan

Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,1845 2,214 0,0264 5,22

2 Terigu, sagu, ketan 0,0973 1,1677 0,0139 2,75

3 Makanan hewani 0,2105 2,5264 0,0301 5,95

4 Ikan laut 2,7499 33,1016 0,3855 76,25

5 Sayuran 0,0968 1,1621 0,0138 2,73

6 Buah 0,0035 0,0415 0,0005 0,10

7 Bumbu 0,0751 0,9011 0,0107 2,12

8 Minuman 0,1729 2,075 0,0247 4,89

Jejak makanan (ha) 3,5905 43,1894 0,5056 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan terbesar pada responden KS I masih pada konsumsi ikan laut.

Page 46: Bab iv

91

3. Kategori Sejahtera Tingkat II (KS II)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 9.819.860 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,527

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 5.270 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari ikan laut yaitu 58,52 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.27 berikut.

Tabel 4.27 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat II di Kelurahan

Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,4317 5,1804 0,0251 4,76

2 Terigu, sagu, ketan 0,0881 1,0569 0,0051 0,97

3 Lauk hewani 1,9172 23,0061 0,1117 21,20

4 Ikan laut 5,2171 62,6823 0,3084 58,52

5 Sayuran 0,1685 2,0219 0,0098 1,86

6 Buah 0,0136 0,1634 0,0008 0,15

7 Bumbu 0,7062 8,4743 0,0411 7,80

8 Minuman 0,4289 5,1467 0,025 4,74

Jejak makanan (ha) 8,9713 107,732 0,527 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan terbesar pada responden KS II adalah untuk pemenuhan

konsumsi lauk hewani. Jika dibandingkan dengan 2 kategori responden

sebelumnya, konsumsi jenis makanan ini lebih banyak. Hasil perhitungan jejak

makanan menunjukan bahwa pola makan responden ini membutuhkan lahan lebih

besar dibandingkan dengan responden kategori PS dan KS I.

Page 47: Bab iv

92

4. Kategori Sejahtera Tingkat III (KS III)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 15.936.364 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,6527

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 6.527 m2 setiap

tahun untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari ikan laut yaitu 43,31 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.28 berikut.

Tabel 4.28 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat III di

Kelurahan Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0991 1,1887 0,0243 3,72

2 Terigu, sagu, ketan 0,0323 0,3871 0,0079 1,21

3 Lauk hewani 1,0655 12,786 0,2609 39,97

4 Ikan laut 1,1051 13,2612 0,2827 43,31

5 Sayuran 0,0508 0,6097 0,0124 1,90

6 Buah 0,0038 0,0461 0,0009 0,14

7 Bumbu 0,0477 0,5721 0,0117 1,79

8 Minuman 0,212 2,5434 0,0519 7,95

Jejak makanan (ha) 2,6163 31,3943 0,6527 100

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Semakin sejahtera keluarga, konsumsi lauk hewani juga semakin meningkat. Hal

ini menyebabkan kebutuhan lahan untuk konsumsi pangan juga menjadi semakin

besar dibandingkan dengan responden kategori PS, KS I dan KS II. Kebutuhan

lahan untuk beras tidak jauh berbeda di setiap kategori kesejahteraan keluarga.

Hal ini menunjukan bahwa kategori kesejahteraan keluarga tidak mempengaruhi

tingkat kebutuhan beras.

Page 48: Bab iv

93

5. Kategori Sejahtera Tingkat III+ (KS III+)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 64.500.000 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,9537

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 9.537 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari lauk hewani yaitu 51,03 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.29 berikut.

Tabel 4.29 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat III+ di

Kelurahan Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0097 0,1162 0,0129 1,35

2 Terigu, sagu, ketan 0,009 0,1081 0,012 1,26

3 Lauk hewani 0,365 4,3802 0,4867 51,03

4 Ikan laut 0,2056 2,3644 0,257 26,95

5 Sayuran 0,0172 0,2061 0,0229 2,40

6 Buah 0,0021 0,0249 0,0028 0,29

7 Bumbu 0,0133 0,16 0,0178 1,87

8 Minuman 0,1062 1,2742 0,1416 14,85

Jejak makanan (ha) 0,7281 8,6341 0,9537 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Semakin sejahtera keluarga, konsumsi lauk hewani dan minuman juga semakin

meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan lahan untuk konsumsi makanan juga

menjadi semakin besar dibandingkan dengan responden kategori PS, KS I, KS II

dan KS III.

Page 49: Bab iv

94

Adapun hasil perhitungan jejak makanan dari aspek pendidikan dapat

dilihat pada uraian berikut.

1. Tingkat Pendidikan SD

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

0,3588 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 3.588 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari ikan laut yaitu 70,41 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan

jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4.30 berikut.

Tabel 4.30 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan SD di

Kelurahan Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,1514 1,8166 0,0245 6,83

2 Terigu, sagu, ketan 0,014 0,1679 0,0023 0,64

3 Lauk hewani 0,5525 6,6304 0,0896 24,97

4 Ikan laut 1,3364 16,0111 0,2056 70,41

5 Sayuran 0,0513 0,6157 0,0083 2,31

6 Buah 0,0017 0,0202 0,0003 0,08

7 Bumbu 0,061 0,7317 0,0099 2,76

8 Minuman 0,1128 1,3533 0,0183 5,10

Jejak makanan (ha) 2,2811 27,3469 0,3588 100

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan terbesar adalah untuk mencukupi konsumsi ikan laut. Karena

konsumsi laut utama dengan pendidikan yang rendah, pola makan masih

berdasarkan pola makan yang didapat secara turun temurun dimana ikan adalah

lauk yang umum dikonsumsi di daerah kepulauan seperti Pulau Bangka.

Page 50: Bab iv

95

2. Tingkat Pendidikan SMP

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

0,4745 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 4.745 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari lauk hewani (sapi, ayam, telur) yaitu 57,30 %. Adapun besar jejak

makanan berdasarkan jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4.31 berikut.

Tabel 4.31 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan SMP di

Kelurahan Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,3161 3,7927 0,0255 5,37

2 Terigu, sagu, ketan 0,0708 0,85 0,0057 1,20

3 Lauk hewani 0,3709 4,4505 0,0299 6,30

4 Ikan laut 4,2148 50,4491 0,3341 57,30

5 Sayuran 0,1525 1,8303 0,0123 2,59

6 Buah 0,0074 0,089 0,0006 0,13

7 Bumbu 0,6401 7,6811 0,0516 10,87

8 Minuman 0,1841 2,2086 0,0148 3,12

Jejak makanan (ha) 5,9567 71,3513 0,4745 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan untuk beras responden dengan pendidikan SMP tidak jauh

berbeda responden dengan pendidikan SD. Namun kebutuhan lahan untuk pangan

hewani lebih besar dibandingkan dengan responden sebelumnya. Konsumsi ikan

lebih sedikit dibandingkan dengan konsumsi ikan pada responden pendidikan SD,

hal ini dikarenakan konsumsi lauk mulai bergeser ke lauk hewani lain.

Page 51: Bab iv

96

3. Tingkat Pendidikan SMA

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

0,5485 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 5.485 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari ikan laut yaitu 60,91 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan

jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4.32 berikut.

Tabel 4.32 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan SMA di

Kelurahan Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,2354 2,8244 0,0248 4,52

2 Terigu, sagu, ketan 0,116 1,3921 0,0122 2,22

3 Lauk hewani 1,1096 13,3154 0,1168 21,29

4 Ikan laut 3,1354 37,5477 0,3341 60,91

5 Sayuran 0,1134 1,3606 0,0119 2,17

6 Buah 0,0103 0,1234 0,0011 0,20

7 Bumbu 0,1214 1,4567 0,0128 2,33

8 Minuman 0,3309 3,9712 0,0348 6,34

Jejak makanan (ha) 5,1724 61,9915 0,5485 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan untuk beras responden dengan pendidikan SMA tidak jauh

berbeda responden dengan pendidikan SD dan SMP. Namun kebutuhan lahan

untuk lauk hewani dan minuman lebih besar dibandingkan dengan responden

sebelumnya. Konsumsi minuman (susu) menjadi lebih besar dibandingkan pada

responden lain, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga

pengetahuan tentang gizi juga menjadi lebih baik.

Page 52: Bab iv

97

4. Tingkat Pendidikan Perguruan Tinggi (PT)

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

1,1274 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 11.274 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari lauk hewani (sapi, ayam, telur) yaitu 52,67 % Adapun besar jejak

makanan berdasarkan jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4.33 berikut.

Tabel 4.33 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan PT di Kelurahan

Dul

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0674 0,8084 0,0269 2,39

2 Terigu, sagu, ketan 0,0278 0,3333 0,0111 0,98

3 Lauk hewani 1,4845 17,8137 0,5938 52,67

4 Ikan laut 0,8738 10,4856 0,3598 31,91

5 Sayuran 0,0385 0,4616 0,0154 1,37

6 Buah 0,0047 0,0569 0,0019 0,17

7 Bumbu 0,0359 0,4312 0,0144 1,28

8 Minuman 0,2602 3,1227 0,1041 9,23

Jejak makanan (ha) 2,7928 33,5134 1,1274 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan untuk lauk hewani jauh lebih besar dibandingkan dengan 3

kategori pendidikan responden sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh pola makan

yang lebih sering mengkonsumsi daging dibandingkan dengan responden lain.

Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar pula jejak makanannya.

Untuk lebih jelasnya, besar jejak makanan di Kelurahan Dul berdasarkan

kategori pendapatan (tingkat kesejahteraan keluarga) dan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada Tabel 4.34 berikut.

Page 53: Bab iv

98

Tabel 4.34 Jejak makanan berdasarkan kategori pendapatan dan pendidikan di

Kelurahan Dul.

No Kategori Kesejahteraan

keluarga,

Pendapatan rata-rata (Rp)

Jejak

makanan

rata-rata (ha)

Kategori

pendidikan

Jejak

makanan

rata-rata (ha)

1 PS 4.213.333 0,2324 SD 0,3588

2 KS I 5.261.428 0,5056 SMP 0,4745

3 KS II 9.819.859 0,5270 SMA 0,5485

4 KS III 15.936.363 0,6527 PT 1,1274

5 KS III+ 64.500.000 0,9537

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Hubungan antara pendapatan dan pendidikan dengan jejak makanan

responden perkotaan menunjukkan data yang sejalan dengan hasil analisa korelasi

yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu berkorelasi positif. Dari tabel 4.34 diatas

dapat dilihat bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin besar pula jejak

makanan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Globalfootprint Network (2008)

yang menunjukan bahwa konsumsi lahan pertanian di negara kaya lebih besar

dibandingkan dengan konsumsi lahan pertanian di negara miskin. Pada

perhitungan jejak makanan, komponen penyumbang konsumsi lahan terbesar

adalah kelompok pangan hewani selain ikan seperti daging sapi, daging babi,

daging ayam dan telur. Tapi hal ini tidak berarti konsumsi daging lebih besar

dibandingkan dengan konsumsi ikan. Walaupun konsumsi pangan ikan lebih

banyak dibandingkan dengan konsumsi pangan daging, tapi kebutuhan lahan

untuk pangan hewani daging jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan

lahan untuk ikan. Ikan yang dikonsumsi di daerah ini hampir seluruhnya adalah

ikan laut yang mempunyai produktifitas lebih tinggi dibandingkan dengan

produktifitas daging dan telur per hektarnya.

Page 54: Bab iv

99

Umumnya harga daging lebih mahal dibandingkan dengan ikan. Sehingga

konsumsi daging pada responden berpenghasilan rendah, jumlah daging yang

dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan pada responden berpenghasilan tinggi.

Oleh karena itu terlihat bahwa dengan peningkatan pendapatan, maka konsumsi

daging juga meningkat dan ini akhirnya meningkatkan jejak makanan. Semakin

tinggi kelompok pendapatan semakin tinggi tingkat konsumsi protein hewani.

Hasil ini sejalan dengan hukum Bennet yang mengemukakan bahwa kenaikan

pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas

konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya (Gayatri,

2009). Korelasi pendapatan dengan jejak makanan sejalan dengan penelitian

Suyastiri, (2008) yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan berpengaruh

terhadap konsumsi pangan rumah tangga. Selain Data hasil Susenas tahun 2004

oleh BPS yang menunjukkan peningkatan konsumsi protein seiring dengan

peningkatan pendapatan nampaknya juga semakin memperkuat hubungan

pendapatan keluarga dengan jejak makanan terutama dari pangan hewani.

Selain itu, Tabel 4.34 diatas memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan maka semakin besar pula jejak makanan. Tingkat pendidikan dan

pengetahuan yang dimiliki seseorang umumnya semakin tinggi pula kesadaran

untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi. Selain

itu semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka pengetahuan dan wawasan

tentang pentingnya kualitas pangan yang dikonsumsi yang akan menyebabkan

semakin bervariasinya pangan yang dikonsumsi.

Page 55: Bab iv

100

4.4.2. Responden Desa Kulur Ilir

Pada hubungan antara variabel pendapatan dengan jejak makanan didapat

nilai korelasi sebesar 0,3822. Hal ini berarti terdapat hubungan positif diantara

keduanya dan memiliki tingkat hubungan sedang (nilai koefisien korelasi semakin

mendekati satu, menunjukkan hubungan yang semakin kuat) (Sugiono, 2010).

Kenaikan pendapatan keluarga membawa pengaruh kenaikan pada jejak makanan.

Sama dengan pendapatan, variabel pendidikan mempunyai nilai korelasi sebesar

0,4184 yang artinya terdapat hubungan positif dengan kekuatan hubungan sedang

antara pendidikan dengan jejak makanan.

Untuk mengetahui perngaruh pendapatan dan pendidikan terhadap jejak

makanan maka digunakan analisa regression (Sugiono, 2010). Hasil uji

menunjukan bahwa t hitung variabel pendidikan adalah 2,085 dan t hitung untuk

variabel pendidikan adalah 2,670. Sedangkan tabel untuk jumlah responden 78

dengan tingkat kepercayaan 95 % adalah 1,547. Karena t hitung lebih besar dari t

tabel maka hipotesis H1 diterima, yaitu pendapatan dan pendidikan

mempengaruhi besarnya jejak makanan.

Dari tabel coefficient regression dapat dilihat signifikansi pengaruh

pendapatan dan pendidikan terhadap jejak makanan dilihat dari p-value masing-

masing variabel bebas. Nilai p-value untuk pendapatan adalah 0,0405 dan p-value

untuk pendidikan adalah 0,0093. Karena nilai p-value masing-masing variabel

bebas lebih kecil dari 0,05 ini berarti pengaruh pendapatan dan pendidikan

terhadap besar jejak makanan adalah signifikan. Kesimpulan lain yang dapat

diambil adalah koefisien korelasi antara pendapatan dan pendidikan dengan jejak

Page 56: Bab iv

101

makanan adalah signifikan, artinya koefisien tersebut dapat digeneralisasikan atau

dapat berlaku pada populasi (Sugiono, 2010).

Adapun persamaan regresi untuk menggambarkan hubungan antara jejak

makanan dengan pendapatan dan pendidikan adalah sebagai berikut.

Jejak makanan = - 0,058 + 6,55.10-09

pendapatan + 0,01416 pendidikan + E

Persamaan ini digunakan untuk memprediksikan besar jejak makanan. Adapun

contohnya adalah sebagai berikut. Jika seseorang mempunyai pendapatan per

kapita Rp. 1.000.000 per tahun dengan tingkat pendidikan SD maka besar jejak

makanannya adalah 0,0335 ha.

Hubungan antara pendapatan dan pendidikan dengan jejak makanan dapat

diperjelas lagi dengan menggunakan analisa nilai Multiple R (Sugiono, 2010).

Hasil analisa menunjukkan nilai sebesar 0,4693 atau 46,93 %. Interpretasi dari

nilai tersebut adalah bahwa perubahan besarnya jejak makanan responden

perkotaan bisa dijelaskan oleh variabel pendapatan dan pendidikan sebesar 46,93

%, sedangkan 53,07 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar jejak makanan pada

penelitian diduga juga berkaitan pula dengan faktor yang mempengaruhi

konsumsi pangan diantaranya faktor akses informasi, faktor akses ketersediaan

pangan dan faktor umur anggota keluarga.

Hasil perhitungan jejak makanan akan dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek

pendapatan, yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga dan

aspek pendidikan, yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan. Adapun

hasil perhitungan jejak makanan dari aspek pendapatan dapat dilihat pada uraian

berikut.

Page 57: Bab iv

102

1. Kategori Pra Sejahtera (PS)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 3.939.394 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,2744

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 2.744 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari beras yaitu 80,55 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis pangan

dapat dilihat pada Tabel 4.35 berikut.

Tabel 4.35 Jejak makanan responden Pra Sejahtera di Desa Kulur Ilir

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0817 0,9802 0,0239 8,71

2 Terigu, sagu, ketan 0,0114 0,1369 0,0033 1,22

3 Lauk hewani 0,0125 0,1497 0,0037 1,33

4 Ikan laut 0,7582 9,0952 0,2210 80,55

5 Sayuran 0,0151 0,1810 0,0044 1,61

6 Buah 0,0000 0,0000 0,0000 0,00

7 Bumbu 0,0331 0,3974 0,0097 3,53

8 Minuman 0,0286 0,3428 0,0084 3,05

Jejak makanan (ha) 0,9405 11,2831 0,2744 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Pada responden dengan kategori PS, kebutuhan lahan untuk beras masih yang

utama. Hasil perhitungan jejak makanan menunjukan bahwa pola makan

responden ini membutuhkan lahan yang paling kecil dibandingkan dengan

responden lain dengan kategori kesejahteraan keluarga yang lebih baik.

Page 58: Bab iv

103

2. Kategori Keluarga Sejahtera Tingkat I (KS I)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 6.412.954 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,3299

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 3.299 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari beras yaitu 80,24 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis pangan

dapat dilihat pada Tabel 4.36 berikut.

Tabel 4.36 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat I di Desa Kulur

Ilir

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,5107 6,1284 0,0237 7,17

2 Terigu, sagu, ketan 0,0880 1,0554 0,0041 1,23

3 Lauk hewani 0,2086 2,5031 0,0097 2,93

4 Ikan laut 5,7054 68,4520 0,2647 80,24

5 Sayuran 0,1727 2,0718 0,0080 2,42

6 Buah 0,0000 0,0000 0,0000 0,00

7 Bumbu 0,2139 2,5664 0,0099 3,00

8 Minuman 0,2124 2,5493 0,0098 2,98

Jejak makanan (ha) 7,1116 85,3262 0,3299 100

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan terbesar pada responden KS I masih pada konsumsi beras.

Namun kebutuhan lahan untuk konsumsi lauk hewani dan sayuran mulai

meningkat dibandingkan dengan pada responden PS. Hal ini menunjukan pola

makan yang lebih bervariasi. Hasil perhitungan jejak makanan menunjukan bahwa

pola makan responden ini membutuhkan lahan lebih besar dibandingkan dengan

responden kategori PS.

Page 59: Bab iv

104

3. Kategori Keluarga Sejahtera Tingkat II (KS II)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 9.955.952 per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,3243

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 3.243 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari ikan laut yaitu 73,79 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.37 berikut.

Tabel 4.37 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat II di Desa

Kulur Ilir

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

J M

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0535 0,6425 0,0222 4,25

2 Terigu, sagu, ketan 0,0119 0,1433 0,0049 0,94

3 Lauk hewani 0,1633 1,9602 0,0676 12,94

4 Ikan laut 0,9252 10,9739 0,3855 73,79

5 Sayuran 0,0135 0,1619 0,0056 1,07

6 Buah 0,0004 0,0045 0,0002 0,04

7 Bumbu 0,0237 0,2848 0,0098 1,88

8 Minuman 0,0644 0,7723 0,0266 5,09

Jejak makanan (ha) 1,2559 14,9434 0,3243 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan terbesar pada responden KS II mulai bergeser, kebutuhan lahan

untuk pangan hewani lebih besar dibandingkan dengan konsumsi beras. Jika

dibandingkan dengan 2 kategori responden sebelumnya, konsumsi jenis makanan

ini lebih banyak. Hasil perhitungan jejak makanan menunjukan bahwa pola makan

responden ini membutuhkan lahan lebih besar dibandingkan dengan responden

kategori PS dan KS I.

Page 60: Bab iv

105

4. Kategori Keluarga Sejahtera Tingkat III (KS III)

Rata-rata pendapatan per kapita kelompok ini adalah Rp. 18.000.000,- per

tahun. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah 0,5224

ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 5.224 m2 setiap

tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi adalah

dari pangan hewani (sapi, ayam, telur) yaitu 60,87 %. Adapun besar jejak

makanan berdasarkan jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4.38 berikut.

Tabel 4.38 Jejak makanan responden Keluarga Sejahtera Tingkat III di Desa

Kulur Ilir

No Jenis pangan

JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0086 0,1030 0,0258 7,94

2 Terigu, sagu, ketan 0,0032 0,0386 0,0097 2,98

3 Lauk hewani 0,0658 0,7896 0,1974 60,87

4 Ikan laut 0,0006 0,0077 0,0019 0,60

5 Sayuran 0,0048 0,0580 0,0145 4,47

6 Buah 0,0000 0,0003 0,0001 0,02

7 Bumbu 0,0044 0,0527 0,0132 4,06

8 Minuman 0,0206 0,2474 0,0618 19,07

Jejak makanan (ha) 0,1081 1,2974 0,3243 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Semakin sejahtera keluarga, konsumsi lauk hewani juga semakin meningkat. Hal

ini menyebabkan kebutuhan lahan untuk konsumsi pangan juga menjadi semakin

besar dibandingkan dengan responden kategori PS, KS I dan KS II. Kebutuhan

lahan untuk beras tidak jauh berbeda di setiap kategori kesejahteraan keluarga.

Hal ini menunjukan bahwa kategori kesejahteraan keluarga tidak mempengaruhi

tingkat kebutuhan beras.

Page 61: Bab iv

106

Adapun hasil perhitungan jejak makanan dari aspek pendidikan dapat

dilihat pada uraian berikut.

1. Tingkat Pendidikan SD

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

0,2895 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 2.895 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari beras yaitu 79,90 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.39 berikut.

Tabel 4.39 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan SD di Desa

Kulur Ilir

No Jenis pangan

JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,2875 3,4495 0,0228 7,88

2

Terigu, sagu,

ketan 0,0261 0,3131 0,0021 0,73

3 Lauk hewani 0,1170 1,4041 0,0093 3,21

4 Ikan laut 3,0069 36,0057 0,2313 79,90

5 Sayuran 0,0701 0,8409 0,0056 1,93

6 Buah 0,0000 0,0000 0,0000 0,00

7 Bumbu 0,1306 1,5677 0,0104 3,59

8 Minuman 0,1006 1,2077 0,0080 2,76

Jejak makanan (ha) 3,7388 44,7887 0,2895 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Kebutuhan lahan terbesar masih digunakan untuk mencukupi kebutuhan beras.

Hal ini menunjukan pola makan responden masih banyak mengkonsumsi ikan dan

sayuran dibandingkan dengan lauk hewani lainnya. Responden dengan tingkat

pendidikan SD memiliki jejak makanan yang lebih kecil dibandingkan dengan

responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Page 62: Bab iv

107

2. Tingkat Pendidikan SMP

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

0,3723 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 3.723 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari beras yaitu 85,04 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.40 berikut.

Tabel 4.40 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan SMP di Desa

Kulur Ilir

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,0536 0,6427 0,0207 4,89

2 Terigu, sagu, ketan 0,0116 0,1392 0,0045 1,06

3 Lauk hewani 0,0255 0,3057 0,0099 2,34

4 Ikan laut 0,9252 11,2566 0,3598 85,04

5 Sayuran 0,0164 0,197 0,0064 1,51

6 Buah 0 0 0 0,00

7 Bumbu 0,0272 0,326 0,0105 2,48

8 Minuman 0,0292 0,3499 0,0113 2,67

Jejak makanan (ha) 1,0887 13,2171 0,3723 100

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Sama pada responden dengan tingkat pendidikan SD, kebutuhan lahan terbesar

masih digunakan untuk mencukupi kebutuhan beras. Hal ini menunjukan pola

makan responden masih banyak mengkonsumsi ikan dan sayuran dibandingkan

dengan lauk hewani lainnya. Buah-buahan tidak menjadi bagian dari konsumsi

makanan responden ini.

Page 63: Bab iv

108

3. Tingkat Pendidikan SMA

Hasil perhitungan menunjukkan nilai jejak makanan rata-rata adalah

0,4321 ha yang artinya 1 orang responden membutuhkan lahan seluas 4.321 m2

setiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Jejak makanan tertinggi

adalah dari beras yaitu 75,93 %. Adapun besar jejak makanan berdasarkan jenis

pangan dapat dilihat pada Tabel 4.41 berikut.

Tabel 4.41 Jejak makanan responden dengan tingkat pendidikan SMA di Desa

Kulur Ilir

No Jenis pangan JM

bulan

(ha)

JM

tahun

(ha)

JM

kapita/thn

(ha)

Persen

(%)

1 Beras 0,3134 3,7602 0,0249 6,69

2 Terigu, sagu, ketan 0,0768 0,9219 0,0061 1,64

3 Lauk hewani 0,3042 3,6503 0,0242 6,50

4 Ikan laut 3,5980 43,2531 0,2827 75,93

5 Sayuran 0,1194 1,4333 0,0095 2,55

6 Buah 0,0004 0,0048 0,0000 0,00

7 Bumbu 0,1173 1,4076 0,0093 2,50

8 Minuman 0,1962 2,3542 0,0156 4,19

Jejak makanan (ha) 4,7257 56,7854 0,4321 100,00

Keterangan : JM = jejak makanan

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Jejak makanan konsumsi beras dan konsumsi lauk hewani tidak jauh berbeda. Hal

ini menunjukan pola makan responden dengan pendidikan SMA ini mulai

bergeser dari ikan dan sayuran ke lauk hewani lainnya. Hal ini menyebabkan

responden ini membutuhkan lahan yang lebih luas dibandingkan dengan

responden dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Page 64: Bab iv

109

Untuk lebih jelasnya, besar jejak makanan di Desa Kulur Ilir berdasarkan

kategori pendapatan (tingkat kesejahteraan keluarga) dan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada Tabel 4.42 berikut.

Tabel 4.42 Jejak makanan berdasarkan kategori pendapatan dan pendidikan di

Desa Kulur Ilir.

No Kategori Kesejahteraan

keluarga,

Pendapatan rata-rata (Rp)

Jejak

makanan

rata-rata (ha)

Kategori

pendidikan

Jejak

makanan

rata-rata (ha)

1 PS 3.939.394 0,2744 SD 0,2895

2 KS I 6.412.954 0,3299 SMP 0,3723

3 KS II 9.955.952 0,3243 SMA 0,4321

4 KS III 18.000.000 0,5224

Sumber : Hasil olahan data primer, 2010

Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin besar pula jejak

makanan responden. Begitu pula dengan tingkat pendidikan. Hubungan

pendidikan dengan pendapatan berkorelasi positif dengan jejak makanan. Namun

jejak makanan penduduk perdesaan jauh lebih kecil dibandingkan dengan jejak

makanan penduduk perkotaan. Hal ini disebabkan oleh konsumsi daging, ayam

dan susu lebih kecil dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Konsumsi lauk

penduduk perdesaan cenderung mengkonsumsi ikan laut sebagai lauk utama.

Sedangkan produktifitas ikan laut jauh lebih besar dibandingkan dengan

produktifitas hewani lainnya. Sehingga jejak makanan responden perdesaan

menjadi lebih kecil dibandingkan dengan jejak makanan responden perkotaan.

Tingkat pendapatan yang rendah membuat daya beli penduduk perdesaan

juga rendah. Ditambah dengan harga bahan pangan yang cenderung tinggi (karena

jalur distribusi yang lebih panjang) membuat penduduk lebih mengandalkan

pangan yang berbasis potensi lokal. Penduduk cenderung mengkonsumsi ikan dan

Page 65: Bab iv

110

sayuran pekarangan seperti pepaya, pisang, nangka, daun singkong dan terung

yang. Walaupun pekerjaan utama penduduk adalah petani, sebagian kepala

keluarga pergi kelaut mencari ikan untuk konsumsi keluarga. Sehingga konsumsi

ikan lebih dominan dibandingkan dengan konsumsi lauk lainnya.

Hasil penelitian konsumsi makanan di Kabupaten Bangka Tengah

menunjukan bahwa konsumsi lahan penduduk perdesaan dan perkotaan lebih

besar dibandingkan konsumsi pangan remaja di Kota Bandung (Rumbiyanti,

2009). Namun hal ini tidak berarti penduduk di Kelurahan Dul dan Desa Kulur Ilir

lebih konsumtif dibandingkan dengan remaja di Kota Bandung. Perbedaan jejak

makanan lebih karena perhitungan produk turunan dan konversi pangan hewani ke

satuan lahan yang berbeda. Contoh, perhitungan Rumbiyanti (2009) untuk 1 botol

besar kecap manis membutuhkan lahan seluas 0,000299 ha sedangkan pada

penelitian ini 1 botol besar kecap manis membutuhkan lahan seluas 0,00192 ha.

Begitu pula dengan konversi daging sapi ke satuan lahan. Pada Rumbiyanti (2009)

produksi 1 kg daging sapi memerlukan lahan seluas 0,000157 ha sedangkan hasil

penelitian ini menunjukan produksi 1 kg daging sapi memerlukan lahan seluas

0,0268047 ha. Perbedaan ini disebabkan jumlah dan jenis pakan yang dikonsumsi

sapi sampai sapi siap potong yang berbeda, begitu pula dengan produktifitas

rumput gajah yang digunakan dalam perhitungan. Perhitungan jejak makanan

menggunakan satuan ha memang sulit dibandingkan karena data produktifitas dan

perhitungan untuk produk makanan turunan juga berbeda intrepretasinya pada

masing-masing peneliti. Standar baku yang yang digunakan secara internasional

adalah standar perhitungan yang menggunakan satuan global hektar.

Page 66: Bab iv

111

4.5 Proporsi penyediaan lahan

Jumlah penduduk di Kelurahan Dul adalah 5.038 orang. Dengan jumlah

rata-rata jejak makanan sebesar 0,4505 ha/tahun per kapita maka kebutuhan lahan

untuk memenuhi konsumsi pangan penduduk Kelurahan Dul adalah 2.269,62 ha.

Dengan rincian kebutuhan daratan produktif secara hayati sebesar 1.108,74 ha dan

laut produktif seluas 1.160,88 ha. Jika dibandingkan dengan luas daratan produktif

secara hayati di Kelurahan Dul sebesar 239,06 ha (Kelurahan Dul, 2009), maka

proporsi pemenuhan daratan produktif secara hayati di Kelurahan Dul adalah

21,56 % dari luas lahan yang dibutuhkan untuk konsumsi pangan. Kelurahan dul

tidak memiliki wilayah yang berupa lautan sehingga kebutuhan lahan untuk

konsumsi ikan sepenuhnya berasal dari wilayah lain.

Begitu pula dengan di Desa Kulur Ilir dengan jumlah penduduk di

Kelurahan Dul adalah 1.229 orang, sedangkan jumlah rata-rata jejak makanan

sebesar 0,3475 ha/tahun per kapita maka kebutuhan lahan untuk memenuhi

konsumsi pangan penduduk Desa Kulur Ilir adalah 427,08 ha. Rincian kebutuhan

daratan produktif secara hayati 150,68 ha dan luas laut produktif secara hayati

276,40 ha. Luas daratan produktif secara hayati di Desa Kulur Ilir sebesar 34,1 ha

(BPS Kabupaten Bangka Tengah, 2009) dan panjang garis pantai di Desa Kulur

Ilir adalah 2.106,55 meter. Batas pengelolaan wilayah laut untuk tingkat

Kabupaten adalah 4 mil sehingga luas lahan laut produktif secara hayati Desa

Kulur Ilir adalah 1.356,06 ha. Jika dibandingkan dengan lahan produktif secara

hayati yang ada, maka proporsi pemenuhan daratan produktif secara hayati di

Desa Kulur Ilir adalah 38 % sedangkan proporsi penyediaan laut produktif secara

hayati adalah 100 % dari luas lahan yang dibutuhkan untuk konsumsi pangan.

Page 67: Bab iv

112

Tabel 4.43 Proporsi ketersediaan lahan di Kelurahan Dul dan Desa Kulur Ilir

Kelurahan Dul Desa Kulur Ilir

Jejak

makanan (ha)

Ketersedian

lahan (ha)

Persen

(%)

Jejak

makanan (ha)

Ketersedian

lahan (ha)

Persen

(%)

Daratan 1.108,74 239,06 21,56 150,68 34,1 38

Lautan 1.160,88 0 0 276,40 1.356,06 100

Upaya pemenuhan pangan sendiri perlu dilakukan untuk mengurangi

ketergantungan terhadap daerah lain. Walaupun tekanan terhadap lahan lokal

lebih kecil dibandingkan dengan tekanan terhadap lahan di luar daerah, bukan

berarti dampak terhadap lingkungan setempat menjadi kecil. Harga pangan yang

cenderung lebih mahal karena proses distribusi pangan yang panjang membuat

harga barang dan jasa lainnya juga menjadi lebih mahal. Lapangan kerja yang

terbatas membuat penduduk berusaha mencari solusi untuk mencukupi kebutuhan

pangan. Kabupaten Bangka tengah memiliki potensi bijih timah yang besar dan

mudah ditambang dengan cara sederhana membuat ekstraksi sumberdaya alam ini

menjadi meningkat. Selain itu, minimnya pengetahuan lingkungan penduduk dan

lemahnya pengawasan dari dinas terkait menyebabkan tingginya tingkat

kerusakan alam akibat penambangan illegal di Kabupaten Bangka Tengah.

Sepanjang tahun 2000 setidaknya 50 ribu hektar kebun lada di provinsi Bangka

Belitung berubah menjadi lahan tambang. Akibatnya, sekitar 32 ribu petani di

provinsi ini kini beralih profesi menjadi penambang (Batubara, 2009).

Perubahan gaya hidup memberikan pengaruh besar terhadap besar

kecilnya jejak makanan karena akan mempengaruhi pilihan dalam menentukan

apa yang akan dikonsumsi. Masyarakat perkotaan akan cenderung memiliki jejak

makanan yang lebih besar dibandingkan masyarakat perdesaan (Globalfootprint

Network, 2005). Dengan kemungkinan di masa depan, Kabupaten Bangka Tengah

Page 68: Bab iv

113

akan lebih maju dan jumlah penduduk yang lebih besar, ditambah lagi dengan

kecenderungan mengikuti pola gaya hidup kota besar, peluang bertambahnya luas

jejak makanan akan menjadi lebih besar.

Walaupun perhitungan jejak makanan bukanlah alat prediksi, namun

perhitungan ini dapat memberikan informasi mengenai perbandingan antara

konsumsi lahan populasi dengan penyediaan oleh alam. Di lain sisi, lahan

memiliki batas kemampuan produksi dan kemampuan regenerasi. Jika terjadi

peningkatan jumlah konsumsi makanan, baik yang disebabkan oleh jumlah

penduduk yang bertambah atau perubahan pola makan, maka dikhawatirkan akan

melampaui kemampuan alam untuk memenuhi kebutuhan tersebut (overshoot).

Hal ini tentu akan menurunkan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya akan

berdampak pada kesejahteraan manusia itu sendiri.