bab iii konsep nasionalime sukarno dan hatta a. sukarno a.1. … · 2017. 3. 25. · konsep...

74
Gerald J. Tampi 752011042 | 30 BAB III Konsep Nasionalime Sukarno dan Hatta A. Sukarno A.1. Pembentukan Pemikiran Sukarno A.1.1. Masa Kecil Sukarno Putra Sang Fajar, merupakan salah satu julukan yang dimiliki oleh Sukarno. Hal ini sangat beralasan sekali, karena Sukarno lahir pada pukul setengah enam pagi, 1 tanggal 6 Juni 1901, di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Semula Sukarno lahir dengan nama Kusno Sosrodihardjo, namun karena sering sakit-sakitan, ayahnya yaitu Raden Soekemi Sosrodihardjo mengganti nama Kusno menjadi nama Karna. 2 karena kegemaran Raden Sukemi terhadap wayang menyebabkan dia mengganti nama Kusno menjadi Karna, sebagaimana penuturan Sukarno: ... Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada mahabarata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabrata. ... kalau begitu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar, aku berteriak kegirangan. Oh, ia nak, jawab bapak setuju. Juga setia pada kawan-kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya.Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya.Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.” 3 Dari penyataan diatas, perubahan nama Kusno menjadi Karna, harus dipahami dalam kaitan dengan pemaknaan wayang bagi kehidupan orang Jawa. Pemberian nama Karna oleh 1 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan kelima, terjemahan Abdul Bar Salim, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), 23. 2 Taufik & Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, (Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2008), 13. 3 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 35-36.

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 30

    BAB III

    Konsep Nasionalime Sukarno dan Hatta

    A. Sukarno

    A.1. Pembentukan Pemikiran Sukarno

    A.1.1. Masa Kecil Sukarno

    Putra Sang Fajar, merupakan salah satu julukan yang dimiliki oleh Sukarno. Hal ini

    sangat beralasan sekali, karena Sukarno lahir pada pukul setengah enam pagi,1 tanggal 6

    Juni 1901, di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Semula Sukarno lahir dengan nama

    Kusno Sosrodihardjo, namun karena sering sakit-sakitan, ayahnya yaitu Raden Soekemi

    Sosrodihardjo mengganti nama Kusno menjadi nama Karna.2karena kegemaran Raden

    Sukemi terhadap wayang menyebabkan dia mengganti nama Kusno menjadi Karna,

    sebagaimana penuturan Sukarno:

    ... Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada mahabarata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah

    salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabrata. ... kalau begitu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar, aku berteriak kegirangan. Oh, ia nak, jawab bapak setuju. Juga setia pada kawan-kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya.Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya.Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”3

    Dari penyataan diatas, perubahan nama Kusno menjadi Karna, harus dipahami dalam

    kaitan dengan pemaknaan wayang bagi kehidupan orang Jawa. Pemberian nama Karna oleh

    1Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan kelima, terjemahan Abdul Bar

    Salim, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), 23. 2Taufik & Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, (Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2008), 13. 3Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 35-36.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 31

    Raden Sukemi, haruslah dimengerti sebagai suatu refleksi penghargaan dan kepercayaannya

    yang mendalam sebagai orang Jawa terhadap tokoh pewayangan. Terdapat sebuah

    pengharapan dari Sukemi, bahwa pemberian nama Karna kepada Kusno akan membawa

    serta kharisma dan kesatriaan Karna di dalam diri Sukarno.

    Terdapat beberapa hal menarik, yang terjadi pada saat Sukarno lahir, yaitu tanpa

    terencana, Soekarno lahir pada angka yang serba enam (tanggal dan bulannya). Di bawah

    naungan bintang Gemini yang berlambangkan kekembaran, Soekarno menganggap bahwa

    dirinya memiliki dua sifat yang berlawanan, hal tersebut terlihat dari ucapannya yang

    mengatakan:

    Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksanabaja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaranperasaan. Aku seorang yang suka mema'afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Akumenjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hatimembiarkan burung terkurung di dalam sangkar.4

    Latar belakang keluarga Sukarno merupakan perpaduan dua budaya berbeda dan

    kepercayaan. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berlatar-belakang kasta Brahma dan tergolong

    bangsawan di Banjar Bali Agung Singaraja. Kakek Moyang Sukarno merupakan pejuang

    kemerdekaan yang gugur dalam perang Puputan. Akibat peperangan ini keluarga ibu

    Soekarno jatuh melarat dan mempunyai rasa benci yang mendalam terhadap penjajah

    Belanda.5 Ayah Soekarno, yaitu Raden Sukemi Sasrodiharjo, berlatar-belakang Islam dan

    termasuk golongan bangsawan rendah Jawa, hal tersebut menurut Dahm terlihat dari gelar

    Raden yang di sandang oleh Sukemi.Jabatan pertama dari Raden Sukemi adalah menjabat

    4Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 24. 5 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatik, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 21.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 32

    sebagai guru.6 Soekarno juga memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Soekarmini,

    ia berucap:

    … Hanya Karno dan akulah anak-anak yang dilahirkan oleh suami istri Sosrodihardjo.Sebagai puteri tunggal dan putera tunggal, ayah dan ibu kami berdua saling sayang menyayangi.7

    Selain itu, Kusno juga dekat dengan Sarinah yang menjadi pembantu rumah tangga

    Sukemi. Menurut Sukarno, dari Sarinah ia memperoleh pengetahuan tentang humanisme,

    “Karno yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau harus

    pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”, demikian

    diajarkan Sarinah kepada Sukarno.8

    Sukarno kecil melewatkan sebagian masa kecilnyadi rumah kakeknya, yaitu Raden

    Hardjodikrono. Selama menetap di rumah kakeknya di Tulung Agung (Kediri) inilah,

    Sukarno kecil mulai berkenalan dengan mistisisme Jawa dan kisah-kisah pewayangan.

    Malam demi malam di Tulung Agung banyak diisi dengan menonton wayang semalam

    suntuk. Menurut Dahm, sementara Sukarno menikmati kisah demi kisah pewayangan,

    bersamaan dengan itu, hasrat akan kemerdekaan mulai bergelora dalam dirinya.9

    Dari semua kisah pewayangan yang Sukarno kecil ikuti, kisah Mahabaratalah yang

    paling membekas dalam dirinya. Mahabarata merupakan kisah tentang perjuangan Pandawa

    untuk merebut kembali kerajaan Ngastina yang telah direbut Kurawa. Begitu besar pengaruh

    kisah Mahabarata terhadap diri Sukarno kecil, sehingga ketika ia mulai mengikuti

    pendididkan formal di sekolah desa di Tulung Agung, ia lebih senang menggambar satu

    6Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Terjemahan Hasan Basari, cetakan pertama,

    (Jakarta: LP3ES, 1987), 29. 7Husni Lain, Mengenang Proklamator RI Soekarno-Hatta, (Jakarta: PT Kreasi Jaya Utama, 1980), 71. 8 S. Syaiful Rahim, Bung Karno Masa Muda (Jakarta: Pustaka Yayasan Antar Kota, 1978), 17. 9 Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan , 29.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 33

    tubuh yang tegap dan besar dengan bentuk gelung rambut “Sinutupirang” pakai kuku

    “Pancanaka”. Menurut Solichin, gambar tersebut adalah gambar Bima yang menjadi

    kesukaan dan kesenangannya.10

    Menurut Dahm, kemungkinan besar Sukarno sangat mengidolakan tokoh Bima.Hal

    tersebut, terlihat dari sikap Sukarno yang tidak kenal kompromi terhadap orang-orang luar

    dan kesediaannya untuk berkompromi dengan orang-orang seperjuangannya. Selain itu,

    Dahm menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur lain yang merangsang khayalan dari

    Soekarno kecil, seperti: nasib kaum kurawa yang dibangkitkan kembali, yang pastinya

    mendapatkan makna simbolis yang penting setelah “kebangkitan kembali orang-orang jawa

    dengan didirikannya Budi Utomo (1908), lebih-lebih lagi karena kemenangan mereka dalam

    pertempuran-pertempuran yang sudah diramalkan kedepannya.11

    Selanjutnya, untuk mewujudkan harapan akan masa depan yang baik bagi Sukarno,

    Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu memperlengkapi Sukarno dengan pendidikan formal yang

    bermutu. Awalnya Sukarno mengikuti pendidikan di Sekolah Desa Tulung Agung,

    kemudian pindah ke Sekolah Angka Dua di Sidorajo, selanjutnya ia pindah ke Sekolah

    Angka Satu di Mojokerto sampak kelas lima.12 Selain mengikuti pendidikan formal,

    Sukarno juga memperoleh pendidikan yang keras dan ketat dari ayahnya. Hasilnya,

    meskipun tidak bisa dikatakan brilian, pada taun 1914 Sukarno berhasil menyelesaikan

    pendidikan di Mojokerto.13

    10 Solichin, Bung Karno Putera Fajar, cetakan kedua (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 24. 11Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 32. 12 Badri Yatim, Sukarno, Islam dan Nasionalisme: Rekonstruksi Pemikiran Islam- Nasionalis, Pengantar

    Fachry Ali, cetakan pertama, (Jakarta: Saran Aksara, 1985), 7; Solichin Salam, Bung Karno, 25; melaporkan hal yang sama, yakni di sekolah Angka Satu Mojokerto Sukarno duduk di kelas enam. Tetapi menurut Legger, tidak ada satu pun sekolah bumi putera di masa itu yang lebih dari kelas lima. (bdk. John Legger, Sukarno Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 37.

    13 John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 37.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 34

    Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu Nyoman Ray memasukkan Sukarno ke Sekolah

    Dasar Berbahasa Belanda (Eurepese Lagere School) di Mojokerto. ketika Sukarno

    didaftarkan ke ELS oleh ayahnya, menurut penuturannya kepada Cindy Adams,

    kekurangannya yang harus ia penuhi hanyalah meningkatkan kemampuannya dalam

    berbahasa Belanda. Berkat usaha keras Raden Sukemi untuk memenuhi semua ketentuan di

    sekolah tersebut, di tahun 1916 Sukarno berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.14

    A.1.2. Sukarno di asah

    Setelah tamat dari ELS (Europese Lagere School), Sukarno mendapatkan

    kesempatan untuk melanjutkan studinya ke HBS (Hogere Burger School) di Surabaya.

    Selama masa studinya, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada

    waktu itu menjabat sebagai ketua Serikat Islam (SI). Menurut Bernhard Dahm,

    Tjokroaminoto menggunakan dana-dana dari SI untuk menampung orang pribumi yang

    tidak mampu, terdapat sekitar 30 orang yang menumpang di rumahnya termasuk Sukarno

    dan hanya membayar uang pemondokan sekadarnya saja.15 Di rumah Tjokroaminoto,

    Sukarno mulai berkenalan dengan banyak tokoh. Diantaranya: tokoh intelektual IslamK.H.

    Agus Salim yang menurut Sukarno memiliki gaya pidato yang menarik, sehingga ia sangat

    mengaguminya, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Douwes Dekker, Tjipto

    Mangunkusumo, Sneevliet dan Husni Thamrin. Bahkan Soekarno juga bergaul dengan

    Alimin, Muso dan Kartosuwiro.16

    14Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 40. 15Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan,34. 16Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, (Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2008), 18.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 35

    Dengan tinggal di rumah Tjokroaminoto, Sukarno dapat lebih mengenal wajah

    perpolitikan saat itu. Dalam otobiografinya Sukarno menceritakan, bahwa dia selalu

    mengikuti diskusi-diskusi dari para pemimpin Indonesia yang diadakan di rumah

    Tjokroaminoto. Sukarno tidak hanya menjadi pendengar setia, tetapi ia juga

    seringmengajukan pertanyaan mengenai perkembangan politik Indonesia di masa itu. Dari

    penjelasan para pemimpin Indonesia tersebut, Sukarno mengetahui bahwa kegagalan

    perjuangan bangsa Indonesia disebabkan tidak ada persatuan diantara para pejuang.17

    Sukarno muda banyak belajar dari pak Tjokroaminoto, menurutnya pak

    Tjokroaminoto sering membimbingnya, walaupun Sukarno sendiri mengaku jarang bertemu,

    namun menurut Sukarno pak Tjokroaminoto memiliki cara tersendiri dalam

    membimbingnya. Hal tersebut diakui oleh Sukarno, sebagaimana penuturannya dalam

    otobiografinya:

    “...Umar Said Cokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Cokro mengajarku apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Cok adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya kepadaku miliknya yang berharga.18

    Dari Tjokroaminoto pun Sukarno belajar, tentang sikap terhadap pemerintahan

    kolonial. Tjokroaminoto bukanlah nasionalis yang mengagungkan sikap radikal terhadap

    pemerintah. Sebaliknya, meskipun Tjokroaminoto menyadari perlunya pemerintahan sendiri,

    ia tetap menunjukkan sikap loyal dan terima kasih kepada pemerintah kolonial, yang telah

    17 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 54. 18Ibid., 52.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 36

    bersedia membentuk dewan-dewan untuk memberikan kepada orang-orang pribumi hal

    untuk didengar.”19

    Pandangan Tjokroaminoto yang positif terhadap pemerintah kolonial, dapat

    dipastikan, ditanamkan juga kepada Sukarno. Pengaruh pandangan Tjokroaminoto tersebut,

    jelas dalam satu tulisan awal Sukarno:

    ...”Terlebih dulu rakyat Indonesia harus belajar.” Untuk itu, rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan kesempatan yang baik sekali: hendaknya dibentuk dewan-dewan yang akan benar-benar mewakili rakyat, mengingat bahwa dewan-dewan yang sudah ada pada waktu itu – termasuk Volksraad – tidak mewakili rakyat. Pemerintahan sendiri lalu akan mewujudkan keadilan politik dan ekonomi bagi rakyat.20

    Perlu dikemukakan di sini, bahwa pengaruh pandangan Tjokroaminoto terhadap

    Sukarno menjadi semakin kuat karena andil tidak langsung dari C. Hartog yang juga

    membatasi kritik-kritik Sukarno terhadap pemerintah.21 Hartog mengajar bahasa Jerman di

    HBS, ketika Sukarno menjadi murid di sekolah tersebut.22 Hartog merupakan anggota ISDP

    (Indische Social Democratiche Partij), organisasi yang lebih moderat dibandingkan dengan

    ISDV (Indische Sosial-Democratische Vereeniging). Sikap moderat ISDP tercermin dalam

    pernyataan juru bicara partai ini D.M.G. Koch, sebagaimana yang dikutip Dahm:

    Oleh sebab itu, maka pandangan Marxis kita pertama-tama menuntut dari kita bukan perjuangan melawan kapitalisme Barat, melainkan kampanye bagi suatu perkembangan yang cepat dan berkelanjutan untuk masyarakat bumiputera... kepentingan mereka menuntut, bersama-sama dengan perundang-undangan sosial

    19Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 39. 20Ibid., 50. 21Ibid., 36. 22 Di samping itu, melalui seminar-seminar tentang Marxisme yang diselenggarakan Hartog, secara formal

    Sukarno mulai mengenal teori Marxisme. Demikian diakui Sukarno dalam artikelnya, Sukarno, “Menjadi Pembantu

    Pemandangan: Sukarno, Oleh... Sukarno Sendiri,” Pemandangan tahun 1941, dalam Dibawah Bendera Revolusi I, 511.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 37

    yang efektif, perkembangan yang cepat dari kapitalisme bumiputera, yang merupakan satu-satunya sarana untuk mengakiri dominasi Barat.23

    Sebagai anggota ISDP pembinaan-pembinaan yang dilakukan Hartog kepada

    Sukarno, tentunya tidak terlepas dari sikap moderat ISDP yang diembannya. Hartog

    mengajar Sukarno untuk tidak bertindak radikal terhadap pemerintah kolonial.24 Dari

    Hartog, Sukarno juga belajar, bahwa kemerdekaan harus dicapai secara bertahap dan

    pemberontakan terhadap pemerintah kolonial hanya akan menghambat jalan ke arah

    kemerdekaan.25

    Jika demikian pembinaan yang diterima Sukarno dari Tjokroaminoto dan C.

    Hartog, mempengaruhi pemikiran awal Sukarno yang belum bercorak radikal. Di samping

    itu, masih terbatasnya keterlibatan Sukarno dalam organisasi massa,26 menjadi salah satu

    penyebab kuatnya pengaruh pemikiran Tjokroaminoto dan Hartog terhadap Sukarno.

    Selain Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam lain yang juga mempunyai andil dalam

    pembentuka pemikiran Sukarno, yakni Abdul Muis. Pada tahun 1917, menurut pengakuan

    Sukarno, ia sangat dipengaruhi oleh slogan-slogan komunis. Tetapi kemudian Sukarno

    berhasil sembuh dari penyakit kosmopolitanisme tersebut dan meyakini pentingnya

    semangat kebangsaan, setelah membaca tulisan Sun Yat Sen mengenai Min Chu I.27 Selain

    itu, Abdul Muis seorang tokoh Sarekat Islam, pun berperan penting dalam penyembuhan

    kosmopolitanisme Sukarno. Dalam Kongres Nasional Kedua Sarekat Islam (Oktober 1917),

    Abdul Muis menyatakan: “Untuk memperbaiki dunia, kita tidak perlu mulai menjadi orang-

    23 Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 36. 24 Ibid. 25 Ibid., 37. 26 Selain terlibat dalam Sarekat Islam sebagai pergaulan sehari-hari Sukarno, iapun mulai aktif sebagai

    anggota Jong Java. Tetapi karena Jong Java lebih berorientasi pada kebudayaan Jawa, dapat dipastikan hampir tidak ada warna radikal yang bisa disumbangkan organisasi tersebut kepada Sukarno.

    27Bernhard Dahm,Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 40.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 38

    orang internasionalis.” Pernyataan tersebut, memperlihatkan penolakan tegasnya terhadap

    paham internasional. Selanjutnya Abdul Muis menekankan, bahwa paham kebangsaan

    sangatlah penting dalam mencapai kemerdekaan; bahkan seharusnya lahir dari orang-orang

    yang menamakan dirinya pemimpin rakyat.28 Melihat dekatnya hubungan antara Abdul

    Muis dan Tjokroaminoto, juga pengaruhnya yang besar sebagai tokoh Sarekat Islam, sulit

    untuk tidak memperhitungkan pengaruh pemikirannya dalam diri Sukarno di masa itu.

    Tahun 1921 Sukarno bersama Utari, istrinya, berangkat menuju Bandung guna

    meneruskan pendidikannya ke Sekolah Teknik Tinggi (Techniche Hogeschool). Sukarno

    menghabiskan waktu selama empat tahun untuk menyelesaikan pendidikannya di Sekolah

    Teknik Tinggi. Keterlambatan tersebut, disebabkan banyaknya waktu yang tersita untuk

    kegiatan politik, juga kerena ia harus mengambil alih tanggung-jawab Tjokroaminoto

    terhadap keluarganya.29

    Di Bandung, awalnya Sukarno hanya menjadi peserta pasif dalam berbagai ceramah

    di malam hari, juga dalam diskusi-diskusi kelompok kecil. Pokok-pokok dalam ceramah-

    ceramah yang diikutinyapun tidak banyak berbeda dengan apa yang ia terima dari

    Tjokroaminoto dan Hartogh. Katakanlah, tahun-tahun pertama berada di Bandung, referensi

    berpikir Sukarno masih mengacu pada pandangan Tjokroaminoto dan C. Hartog.

    Warna berpikir Sukarno mulai bercorak radikal, ketika ia berkenalan dan menyerap

    nasionalisme radikal dari Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi

    Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantoro. Tjipto tampaknya

    28Ibid., 40-41 29 Sukarno baru satu tahun di Bandung, ketika Tjokroaminoto ditangkap dan Sukarno harus mengambil alih

    tanggung-jawab mengendalikan rumah tangga Tjokroaminoto. Berhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 52.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 39

    mendapat tempat khusus dalam diri Sukarno, hal tersebut terlihat dari bagaimana Sukarno

    menyebut Tjipto dengan “saudara Tjipto my chief”.30Cukup beralasan mengapa Sukarno

    memanggil Tjipto Mangunkusumo dengan istilah tersebut, hal ini dikarenakanTjiptolah

    memiliki andil yang paling besar dalam membetuk sikap oposisi Sukarno terhadap

    pemerintahan kolonial. Jika Dekker masih harus mempertimbangkan resiko dari tindakannya

    yang radikal terhadap pemerintahan kolonial, Tjipto sebaliknya. Iaterkenal sebagai

    nasionalis yang keras kepala terhadap kolonial, tak mementingkan diri sendiri, berwibawa,

    jujur, idealis, dan revolusioner disertai cara-cara yang radikal.31 Sejak kembali dari

    pembuangan pada tahun 1914, Tjipto Mangunkusumo tetap aktif dalam kegiatan politik

    dengan segala resiko yang harus dihadapinya. Sikap Tjipto Mangunkusumo tersebut

    menimbulkan kekaguman bagi Sukarno sebagaimana jelas dalam tulisnnya, ketika di tahun

    1926 Tjipto Mangunkusumo kembali dibuang oleh pemerintah kolonial.

    Tjaranja kawan Tjipto mendjalankan pembuangan ini adalah mengadjarkan pada kita, bahwa ichtiar membikin indahnja hari itu ialah bukanja ictiar jang gampang dan ringan, akan tetapi ichtiar jang susah-pajah dan berat; - suatu ichtiar jang tak sudi akan penjerahan diri jang setengah-setengah, suatu ichtiar jang menuntut penjerahanja segenap kita punja diri, segenap kita punja njawa... Tjipto Mangunkusumo telah menundjukkan djalan dalam tjaranja mengabdi pada rakjat dan Bangsa itu... Walaupun ia menderita kesengsaraan-rezeki; walaupun ia merasakan kemelaratan jang terdjadi oleh matinja ia punja perusahaan tabib;.. maka dengan roman muka jang bersenjum ia memikul segenap beban jang ditimbulkan di atas pundaknja oleh pengabdiannja kepada rakyat dan bangsanja.32

    Pemikiran Sukarno mengenai politik memang semakin dipertajam oleh

    pengenalannya terhadap pemikiran ketiga tokoh Indische Partij. Harus diakui, ketiga tokoh

    tersebutlah yang membekali Sukarno dengan semboyan-semboyan mencapai kemerdekaan

    yang lebih militan. Ketika Sukarno tampil sebagai pemikir dan politisi nasional, pengaruh

    30 B. Hening, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 129.

    31 Mohammad Ridwan Lubis, Pemikiran Sukarno Tentang Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), 54. 32 Sukarno, “Suluh Indonesia Muda, 1928,” Dibawah Bendera, 42.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 40

    pemikiran ketiga tokoh Indische Partij, terutama pengaruh Tjipto Mengunkusumo,

    tercermin melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya yang militan dan agitatif. Demikian

    sukarno menulis, “... hendaklah kita insyaf, bahwa hanja perdjoangan dalam pergerakan

    rakjat itu sahadjalah jang bisa mengundurkan musuh-musuh kita, dan tidak dalam usaha

    dewan-dewanan”33

    Kekritisan Sukarno dalam menganalisis kenyataan masyarakat yang dihadapinya,

    merupakan hasil pergulatan intelektualnya yang sungguh-sungguh dengan pemikiran Tjipto

    Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantoro. Kekritisan Sukarno sebagai

    pemikir dan politisi nasional, semakin dimatangkan oleh keaktifannya dalam gerakan

    kebangsaan Indonesia.

    A.1.3 Sukarno Dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia

    Keaktifan Sukarno dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai dengan

    terdaftarnya Sukarno sebagai anggota Jong Java.34Jong Javadidirikan pada tahun 1915

    dengan nama Tri Koro Darmo dan merupakan organisasi pelajar, anak organisasi dari Budi

    33 Ibid., 31. 34 Sukarno dalam wawacara bersama Cindy Adams mengatakan bahwa, Tri Koro Darmo yang kemudian

    berganti nama menjadi Jong Java adalah organisasi politik pertama yang didirikannya pada saat berumur 16 tahun (1917).Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.,56. Keterangan Sukarno bertentangan dengan kajian yang dilakukan oleh Bernhard Dham dan John Legge, yang memaparkan bahwa keterlibatan Sukarno dalam Jong Java hanya sebagai anggota. Keterangan Bernhard Dham dan John Legge tersebut, ditunjang dengan kajian dalam Ensiklopedia umum terbitan kanisius yang memaparkan, bahwa pada tahun 1915 sebagai tahun didirikannya Tri Koro Darmo. Jika tahun terbentuknya organisasi tersebut (7 Maret 1915) disesuaikan dengan awal kedatangan Sukarno di Surabaya pada tahun 1916, terdapat ketidakcocokkan. Dengan demikian, keterangan Sukarno, bahwa dia adalah pendiri Tri Koro Darmo kepada Cindy Adams diragukan kebenarannya. Yang sebenarnya, Tri Koro Darmo didirikan oleh dr. R. Satiman Wirosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi atas petunjuk Budi Utomo. Lihat, A.g. pringgodigdo& Hasan Shadily Ensiklopedia Umum, (Jogjakarta: Kanisius, 1977), 506; Bernhard Dahm, Sukarno, 47; John Legge, Sukarno, 72.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 41

    Utomo. Pada tahun 1918, dengan alasan Tri Koro Darmo tidak mencerminkan Jawa secara

    umum, nama organisasi tersebut diganti menjadi Jong Java.35

    Sumber-sumber kontemporer paling dini, memuat laporan tentang Sukarno yaitu:

    dalam rapat pleno tahunan yang diadakan oleh Jong Java, cabang Surabaya pada bulan

    Februari 1921, Sukarno mendapat giliran untuk berceramah mengenai sistem pendidikan. Di

    hadapan perhimpunan yang telah mencantumkan “pelestarian dan pengembangan

    kebudayaan tradisional Jawa” sebagai tujuannya, Sukarno memulai ceramahnya dalam

    bahasa jawa dipa (ngoko), bahasa “kaum pembaru” ketua rapat dengan segera menghentikan

    ceramah Sukarno itu dan setelah terjadi perdebatan sebentar, lalu dimintanya Sukarno

    melanjutkan ceramahnya dalam bahasa Belanda, karena ketua menolak penggunaan bahasa

    Kromo.Tetapi permintaan itu ditolak dan setelah terjadi perdebatan yang sengit, akhirnya

    bubar dalam suasana kacau, ditengah-tengah teriakan, sorak-sorai dan musik

    gamelan.36Sikap menentang kebijakan organisasi, sebagaimana yang dilakukan Sukarno

    terhadap Jong Java, membuat ia dijuluki Bima. Dalam Utusan Hindia dimuat salah satu

    sentilan terhadap sikap Sukarno, “dengan Tuhan sekalipun Sukarno berbicara dalam Djawa

    Dipa- suatu kelancangan yang hanya diperkenankan bagi Bima yang gagah-perkasa”.37

    Tindakan politik Sukarno memang cukup radikal, meskipun demikian Sukarno

    tidak pernah menjadi anggota partai komunis. Bahkan ketika pada tahun 1921, Sukarno

    diperhadapkan dengan perpecahan di dalam Sarekat Islam antara orang-orang Islam dan

    orang-orang komunis, Sukarno lebih memilih Sarekat Islam. Sukarno pun sangat

    mendukung disiplin partai yang ditegakkan dalam Sarekat Islam, yang merupakan salah satu

    pemicu perpecahan antara orang-orang Islam dengan orang-orang komunis.Ada banyak

    35A.g. pringgodigdo & Hasan Shadily Ensiklopedia Umum, 507. 36Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 48. 37Ibid., 49.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 42

    faktor yang harus diperhitungkan sebagai alasan keberpihakan Sukarno tersebut, selain

    karena pengaruh Tjokroaminoto sang guru yang menjadi idolanya. Keberadaan Sukarno

    sebagai bagian dari Sarekat Islam sekaligus saksi dari rentetan aliran politik yang silih

    berganti dalam Sarekat Islam, perlu diperhitungkan sebagai faktor penunjang keberpihakan

    Sukarno. Di samping itu ketertarikan Sukarno terhadap usaha mensintesakan Manifesto

    komunis dengan Islam yang dijalankan dalam Sarekat Islam, perlu juga diperhitungkan

    sebagai alasan keberpihakan Sukarno.38 Jika demikian jelas, bahwa keberpihakan Sukarno

    terhadap Sarekat Islam adalah pilihan sadar yang dilakukannya.

    Kembali ke keterlibatan Sukarno dengan pergerakan nasional di Bandung, karir

    politiknya di Bandung, diawalinya dengan menjadi salah satu pendiri sekaligus pengurus

    Studi Club Umum (Algemeene Studie Club) yang didirikan pada tanggal 17 Januari 1926. Di

    Studi Club Umum tersebut, Sukarno duduk sebagai sekretaris I mendampingi Mr. Iskaq

    Tjokrohadisurjo yang saat itu menjabat sebagai ketua. Dibanding dengan Studi Club di

    Surabaya yang diketuai dr. Sutomo, Studi Club Umum di Bandung lebih radikal. Dengan

    menetapkan sikap nonkooperasi sebagai senjata perjuangan berhadapan dengan pemerintah

    kolonial, Studi Club Umum di Bandung telah menarik garis pemisah dengan Studi Club di

    Surabaya yang hanya menjadikan sikap nonkooperasi sebagai taktik.39 Melihat sikap

    nonkooperasi yang dimutlakkan dalam kelompok Studi Club Umum di Bandung, jelas

    bahwa pemikiran Douwes Dekker sangat berpengaruh di dalamnya.

    Dalam Studi Club Umum tersebutlah, Sukarno berkecimpung dan mengembangkan

    pemikiran-pemikiran politiknya. Studi Club Umum di Bandung mempunyai majalah sendiri,

    yang diberi nama “Indonesia Muda”. Untuk pertama kali melalui artikel berjudul

    38Ibid.,46-47 39Ibid., 66-67.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 43

    Nasionalisme, Islam dan Marxisme, Sukarno merumuskan dengan jelas pemikirannya

    mengenai Nasionalisme Indonesia.40

    Langkah pertama yang dilakukan Sukarno untuk merealisasikan pemikirannya

    mengenai nasionalisme Indonesia, dimulai dengan keterlibatannya dalam PNI (Partai

    Nasional Indonesia). PNI dibentuk pada tanggal 4 Juli 1927 dan Sukarno dipercaya sebagai

    ketua. Selanjutnya, dengan PNI sebagai motor penggerak Sukarno melangkah ke arah

    pembentukan federasi dari berbagai partai, yang akan bekerjasama untuk mencapai

    kemerdekaan Indonesia. Dukungan pertama diperolah Sukarno dari Haji Agus Salim,

    seorang tokoh Partai Sarekat Islam yang cukup berpengaruh di masa itu.41 Dukungan lain

    datang dari organisasi nasional lokal. Hasilnya, pada 17 Desember 1927, terbentuklah

    PPPKI (permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang merupakan

    gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia42: PNI, Sarekat Islam, Budi Utomo,

    Pasundan, Sumantranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya.

    Pembentukan PPPKI merupakan terobosan baru dalam sejarah pergerakan Indonesia.

    Setelah beberapa kali usaha ke arah persatuan dan kerjasama diantara partai berbeda, seperti

    yang dilakukan Sarekat Islam dan Indische Partij, menemui kegagalan. PPPKI merupakan

    kumpulan dari berbagai organisasi yang berbeda-beda, tetapi secara sepintas lalu sudah

    kelihatan membawa perkembangan baru yang memberi harapan.Upaya-upaya sebelumnya

    untuk mencapai persatuan nasional telah ditunjukkan untuk menarik para pengikut

    40Ibid.,76. 41Ibid.,97. 42 Dalam otobiografinya Sukarno menyatakan, bahwa PPPKI dibentuk pada bulan Desember 1928. Jelas

    Sukarno membuat kekeliruan di sini, sebab PPPKI telah dibentuk pada bulan desember 1927, Cindy Adams, Bung Karno, 117; Seoelah Ra’jat Indonesia tahun 1927 pun melaporkan, Soeloeh Ra’jat Indonesia, No. 52 tanggal 28 Desember 1927; selanjutnya pada tanggal 2 Desember 1928 PPPKI mengadakan konggres pertama di Surabaya. Informasi mengenai waktu pelaksanaan konggres pertama PPPKI diperoleh dari tulisan Sukarno dalam Suluh Indonesia Muda tahun 1928. Sukarno, Dibawah Bendera, 63.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 44

    mendaftarkan diri dibawah panji-panji suatu ideologi yang dominan, mulanya Islam dan

    kemudian Marxisme.43

    Kerja sama dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk merdeka.

    Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan di antara

    partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan.

    Cuplikan salah satu tulisan Sukarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:

    Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan pemufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal kooperasi dan nonkooperasi soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang lebih mendekatkan kita satu sama lain. marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita.44

    Keberhasilan Sukarno tersebut di atas, mengalami hambatan ketika ia ditangkap

    pada bulan September tahun 1928. Penangkapan Sukarno disertai dengan penangkapan tiga

    tokoh PNI lainnya, yakni Gatot Mangkupradja, Maskin dan Supriadinata. Sukarno dan

    ketiga tokoh PNI ditangkap dan selanjutnya dipenjarakan dengan tuduhan bermaksud

    melakukan hura-hura dan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial.Tetapi

    mencermati interogasi yang berlangsung selama pemeriksaan perkara para pemimpin PNI di

    Landraad Bandung, menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap mereka pun dikaitkan

    dengan dugaan PNI merupakan kelanjutan PKI. Persidangan terhadap para tokoh yang

    ditangkap ini, dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Dalam masa pengadilan ini,

    Sukarno menulis pidato Indonesia Menggugat dan membacakannya di depan pengadilan

    sebagai pledoi. Dalam persidangan tersebut, Sukarno memaparkan ramalannya tentang

    terjadinya perang pasifik, dalam ramalannya ia berkata:

    43John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 133. 44 Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 98.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 45

    Perang Pasifik bukan perang kecil-kecilan.Tapi suatu peperangan untuk soal to be or not tobe.Soal hidup dan mati.45

    Ramalan akan meletusnya perang pasifik, menurut Sukarno buka dipungut dari

    tukang ramal jalanan, melainkan buah analisis sarjana barat terkemuka. Ia memaparkan

    teori-teori perang pasifik dari buku seapower in the pacific karya Hektor Baywater, ahli

    maritim berkebangsaan Inggris. Baywater meramalkan bahwa perang pasifik akan pecah

    akibat ulah Jepang yang bermaksud melancarkan revolusi di Asia. Selain itu, Sukarno juga

    menyodorkan teori perang pasifik yang di paparkan oleh Karl Haushofer dari University of

    Munchen, Jerman, dalam buku yang berjudul Geopolitik des pazifischen ozeans.46

    Menurut Dahm, pernyataan-pernyataan yang dihubung-hubungkan dengan perang

    pasifik telah menimbulkan tanggapan yang lebih kuat dalam kesadaran rakyat,

    dibandingkan dengan tema-tema propaganda lainnya dari partai yang dipimpin oleh

    Sukarno (PNI). Dari sini hakim menyimpulkan bahwa perang pasifik merupakan salah-satu

    propaganda yang dipakai oleh PNI.Hal ini menjadikan barang bukti bagi hakim tentang niat

    jahat Sukarno terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pada sidang hari kedua, tidak kurang

    dari empat kali Sukarno ditanya, apa yang akan dilakukan oleh PNI seandaimya perang

    pasifik itu benar-benar pecah. Empat kali juga Sukarno memberikan jawaban yang

    mengelak, “soal itu belum pernah dipertimbangkan, PNI tidak punya urusan dengan soal

    itu dan sebagainya.” Namun dalam konteks yang lain, Sukarno menegaskan sikap PNI

    bahwa: “andaikan ada permusuhan antara suatu rakyat Asia dan katakanlah kaum

    imperialis Inggris. Maka saya akan mengharapkan bahwa rakyat Asia itu akan

    mendapatkan bantuan dari rakyat-rakyat Asia lainnya.47Walaupun Sukarno sudah membela

    45Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 21. 46Ibid., 47Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 148.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 46

    diri melalui Pledoinya, hal itu tidak mempengaruhi keputusan hakim untuk tetap

    menjatuhkan hukuman terhadap Sukarno.Setelah diadili, Sukarno dan beberapa tokoh PNI

    lainnya dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin Bandung.48

    Rupanya Perhimpunan Indonesia di Belanda merasa kuatir, keputusan pengadilan

    terhadap Sukarno dan ketiga tokoh PNI lainnya akan berdampak negatif bagi kehidupan

    pergerakan di Indonesia. Kekuatiran tersebut cukup beralasan, sebab di masa itu PNI

    merupakan partai besar dan berpengaruh. Bahkan bisa dikatakan, motor penggerak dari

    pergerakan kebangsaan Indonesia di era tersebut. Kekuatiran Perhimpunan Indonesia

    menjadi kenyataan, tanggal 17 April 1931, Mahkamah Agung Hindia Belanda secara resmi

    memutuskan bersalah kepada keempat pemimpin PNI, yakni Sukarno dijatuhi pidana 4

    tahun penjara, Maskun 15 bulan, Gatit 2 tahun pejara, dan Supriadinata 15 bulan.49

    Keputusan Mahkamah Agung tersebut oleh sebagian anggota PNI, disambut dengan

    pembubaran PNI pada rapat pleno 25 April 1931, dipimpin oleh Sartono yang bertindak

    sebagai pejabat ketua. Disusul kemudian dengan pembentukan Partindo (Partai Indonesia)

    sebagai pengganti PNI.50

    Pembubaran PNI dan pembentukan Partindo menimbulkan pro dan kontra baik dari

    anggota PNI, maupun dari tokoh-tokoh di luar PNI. Salah satu nasionalis yang mengkritik

    pembubaran PNI oleh Sartono adalah Hatta, yang saat itu masih di negeri Belanda. Hatta

    mengatakan, “bahwa pembubaran partai mencerminkan sebuah kegagalan dalam

    kepemimpinan partai.” Menurut Hatta, kegagalan tersebut akan terulang lagi, jika kembali

    berhadapan dengan penekanan-penekanan pemerintah kolonial. Karena itu menurut Hatta,

    48Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 22. 49 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 143. 50Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 22.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 47

    pembubaran partai bukanlah pemecahan masalah, yang harus dilakukan adalah mendidik

    kader yang berbobot sebanyak mungkin, agar “penahanan-penahan tidak akan melumpuhkan

    organisasi secara keseluruhan.”51 Kritik-kritik yang dilontarkan Hatta menurut Legge,

    membuat partai-partai lain menjadi kritis teradap Partindo.52

    Tindakan Sartono dalam membubarkan PNI terlihat tepat pada situasi politik di

    masa tersebut, terutama setelah terjadinya penangkapan dan pemeriksaan terhadap keempat

    pemimpin PNI. Proses pemeriksaan terhadap perkara pemimpin-pemimpin PNI, mencuatkan

    kecurigaan pemerintahan kolonial bahwa PNI merupakan kelanjutan dari PKI. Jika

    demikian, pembubaran PNI dan kemudian pembentukan Partindo oleh Sartono dapat

    dipahami sebagai tindakan penyelamatan PNI. Setidaknya menyelamatkan pengurus yang

    tersisa dan anggota-anggota PNI dari penangkapan dan pemenjaraan seperti yang dialami

    PKI di tahun 1926. Meskipun demikian, harus diakui tindakan pembubaran PNI tanpa

    musyawarah dengan anggota partai, bukanlah tindakan demokratis. Menurut Dahm,

    tindakan Sartono dan pengurus PNI lainnya hanya memperlihatkan kediktatoran dari para

    pengurus partai tersebut.53 Karena itu, kritik Hatta tidak bisa diabaikan, sebab kritik tersebut

    merupakan wujud keprihatinan seorang nasionalis terhadap kemerosotan yang terjadi dalam

    pergerakan di Indonesia.

    Kemerosotan juga terjadi dalam federasi PPPKI. Setelah penangkapan Sukarno,

    PPPKI yang diharapkan menjadi kekuatan tandingan berhadapan dengan pemerintah

    kolonial, juga diibaratkan sebagai “negara dalam negara” tidak bereaksi terhadap tindakan

    penangkapan tersebut. Ketidak-berdayaan PPPKI hanya membuktikan, bahwa federasi

    tersebut tidak dapat berfungsi sebagai senjata sebagaimana yang diharapkan Sukarno. Dalam

    51 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 148. 52Ibid. 53 Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 158.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 48

    tubuh PPPKI sendiri, pertentangan diantara partai-partai dengan ideologi yang selama ini

    diupayakan untuk diabaikan, kembali menajam. Bahkan dapat dikatakan setelah Sukarno

    ditangkap PPPKI terancam pecah. Ketika pada awal tahun 1931 Partai Sarekat Islam

    Indonesia (nama baru dari Sarekat Islam) menarik diri dari federasi tersebut. pertentangan

    yang menajam dalam PPPKI tersebut, bagi Dahm merupakan bukti kegagalan dari

    kerjasama yang didasarkan pada permufakatan. “Mufakat merupakan keputusan yang tegas,

    karena setiap pendapat harus diperhitungkan; padahal perjuangan melawan kaum sana

    memerlukan keputusan-keputusan yang tegas, yang tidak mungkin dicapai antara kaum

    koperator dan non-koperator.54

    Kritik tajam Dahm terhadap penempatan mufakat sebagai dasar kerjasama dalam

    PPPKI, dapat dimengerti. Karena mufakat terlalu menyederhanakan pertentangan yang tidak

    dapat diakurkan antara kaum kooperator dan non-kooperator; teruatama mengenai keputusan

    yang berkaitan dengan sikap dan tindakan PPPKI terhadap kebijakan-kebijakan yang

    dijalankan pemerintah kolonial di Indonesia.

    Dari kalangan nasionalis Indonesia, kritik terhadap perpecahan dalam PPPKI

    datang dari Hatta. Hatta menilai perpecahan dalam PPPKI menjadi bukti, bahwa persatuan

    yang diangung-agungkan oleh Sukarno tidak lebih dari pada persatean. Pandangan rakyat

    mengenai konsep aristokrasi tidak dapat dipersatukan.Menyatunya kelompok ini hanya

    mengakibatkan pengorbanan terhadap prinsip diantara kelompok tersebut, demikian menurut

    Hatta.55Penilaian yang dikemukakan Hatta bertolak dari kajian kritisnya terhadap perbedaan-

    perbedaan mendasar yang dimiliki anggota PPPKI. Hatta tidak percaya, bahwa partai yang

    secara prinsipil tidak dapat diakurkan dapat disatukan. Ketidakpercayaan Hatta tersebut

    54Ibid.,156-157. 55Mavis Rose,Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta,Terj. Hermawan S. (Jakarta: PT

    Gramedia Pustaka Utama, 1991), 104.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 49

    dapat dimaklumi, sebab kajian Hatta tersebut dilatarbelakangi oleh pembentukan

    pemikirannya yang berbeda dengan Sukarno. Pemikiran Hatta terbentu dalam realitas sosial-

    politik di Eropa, di mana Islam bukanlah kekuatan besar sebagaimana di Indonesia. Selain

    itu, pendekatan teoritis yang digunakan Hatta terhadap Islam, Marxis-Sosialis dan nasionalis

    lokal di Indonesia, menghasilkan pemikiran yang berbeda dengan Sukarno – yang

    menggunakan pendekatan praktis terhadap paham-paham tersebut. berbeda dengan Sukarno,

    meskipun ia mengenal pemikiran-pemikiran Barat, tetapi realitas sosial-politik di Indonesia

    yang dihadapinya, dimana Islam menjadi salah satu kekuatan besar yang harus

    diperhitungkan menyajikan wawasan berbeda dengan Hatta. Karena itu, meskipun secara

    teoritis Sukarno mengalami kesulitan untuk mempersatukan Islam dengan Marxis sosialis

    dengan nasional lokal, tidak ada pilihan lain baginya. Ditambah lagi dengan kegagalan

    perjuangan yang dilakukan pergerakan kebangsaan di Indonesia, tidak memberikan pilihan

    kepada Sukarno selain menuntut kepiawaiannya untuk menghimpun elemen-elemen sosial-

    politik tersebut, menjadi satu kekuatan nasional berhadapan dengan kolonialisme.

    Setelah Sukarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 193156, Sukarno berusaha

    menghidupkan kembali PPPKI yang sedang di ambang kehancuran. Disamping itu, Sukarno

    pun harus berhadapan dengan suatu partai yang sama besar pengaruhnya dan yang saling

    bertentangan, yakni PNI-baru dipimpin Syarir-Hatta yang telah kembali dari Belanda,

    berhadapan dengan Partindo. Perbedaan mendasar yang terbentang antara Partindo dan PNI-

    Baru, mendorong Sukarno untuk memilih salah satu dari kedua partai tersebut. Sukarno

    akhirnya memilih Partindo, sebab sebagian besar pengurus dan anggota Partindo merupakan

    56 John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 144.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 50

    mantan anggota PNI. Selain itu, Sukarno memang membutuhkan partai yang biasa sejalan

    dengan gaya kepemimpinan politik Sukarno.57

    Masuknya Sukarno dalam Partindo, menimbulkan pro dan kontra dari kalangan

    nasionalis Indonesia. Sukarno dinilai tidak konsekuen terhadap sumpahnya, bahwa ia akan

    mengupayakan persatuan antara PNI-Baru dengan Partindo dan tidak akan memihak salah

    satu dari kedua partai tersebut. kritikan-kritikan tersebut ditanggapi Sukarno, sebagai

    berikut:

    Enam bulan lebih saja bekerdja buat persatuan itu. Enam bulan lebih saja sengadja tak duduk dalam salah satu parrtai, tak lain tak bukan hanja supaja usaha persatuan lebih gampang bisa berhasil... Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen, machtsvorming Marhaen.58

    Sukarno memang telah memihak, tetapi itu merupakan konsekuensi logis dari

    seorang politisi. Seorang politisi membutuhkan partai yang dapat menampung dan

    menyalurkan ide-idenya, karena itu, Sukarno tidak dapat dipersalahkan karena pilihannya

    tersebut. Gerakan politis Sukarno terhenti, ketika pada tanggal 1 Agustus 1932 dia kembali

    ditangkap oleh pemerintah kolonial. Alasan penangkapan terhadap Sukarno adalah karena

    Sukarno dinilai provokatif dalam menjalankan kegiatan politik. Karena itu Sukarno harus

    dihentikan agar dia sadar bahwa selama dia masih menjalankan tindakan demikian, dia tetap

    akan dihambat oleh pemerintah kolonial.59Beberapa bulan kemudian terbentik berita dari

    dalam penjara, bahwa Sukarno menulis surat kepada pemerintah kolonial, yang berisi

    pernyataan pengundurannya dari Partindo dan juga dari kegiatan politik. Berita mengenai

    57Ibid.,153; alasan lain Sukarno memilih Partindo adalah ia sering mendapat kritikan dari pihak PNI baru

    (termasuk Bung Hatta & Syahrir) Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 62.

    58 Sukarno, “Maklumat Dari Bung Karno Kepada Kaum Marhaen Indonesia, dalam Dibawah bendera, 165. 59Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 201.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 51

    pengunduran Sukarno tersebut, menimbulkan kegemparan dikalangan nasionalis Indonesia.

    Menurut Legge motif pengunduran diri Sukarno tidak Jelas.Apakah ini tindakan putus asa

    atas penahanannya yang baru, atau suatu usaha untuk mendapatkan perlakuan yang

    dihadapinya, sehingga tindakan ini merupakan tindakan revolusionernya yang pertama?60

    A.2 Nasionalisme Menurut Sukarno

    A.2.1 Pemikiran awal Nasionalisme

    Ketika Sukarno dilahirkan, masyarakat Jawa sedang mengalami proses perubahan

    mendalam. Selama seperempat abad, bersama-sama dengan negara-negara lain di Asia dan

    Afrika, Indonesia mulai merasakan dampak kuat tenaga ekspansif industri Eropa.Ekspansi

    besar-besaran ekonomi ekspor Hindia sebagai akibat penanaman modal Belanda secara tidak

    langsung, telah disertai perluasan penguasaan teritorial yang cepat.Hal ini mengakibatkan

    ketidakpuasan masyarakat lokal, sehingga mendapatkan perlawanan terhadap kekuasaan

    Belanda. Seperti yang terjadi pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro melawan

    kekuasaan Belanda di Jawa Tengah selama lima tahun, hal ini dapat dipandang sebagai suatu

    gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal, dan sangat berbeda sifatnya dari

    arus perlawanan baru yang muncul pada awal abad ke-20. Nasionalisme baru itu adalah hasil

    imperialisme baru yang harus dipandang sebagai bagian dari suatu gerakan lebih besar yang

    melibatkan banyak bagian dari suatu gerakan lebih besar yang melibatkan banyak bagian

    tanah jajahan baru yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.

    60 John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 165.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 52

    Dan gerakan itu tidak hanya berjuang menentang kekuasaan kolonial, tetapi juga

    memikirkan dan mengembangkan pandangan baru, yang sadar akan kepribadian nasional.61

    Pada masa 1926, perpolitikan di Indonesia mengalami kekacauan. Terdapat

    beberapa kekuatan politik, yang diwakili oleh partai-partai besar, diantaranya: PKI (partai

    yang masih aktif pada saat itu) Sarekat Islam yang masih bertumpu kepada kepopulerannya

    yang besar pada tahun-tahun kejayaannya, NIP (National-Indische Partij) yang walaupun

    sudah dibubarkan, masih memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, terdapat pula kelompok-

    kelompok kecil yang memiliki kecenderungan nasionalistik, namun dalam waktu yang

    bersamaan memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan yang berbahaya kearah

    separatism, bahkan berapa pulau-pulau lain membentuk perkumpulan sendiri seperti:

    Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon, Jong Sumatera dan Jong Batak. Sudah menjadi rahasia

    umum pada waktu itu, walaupun perkumpulan-perkumpulan ini berkantor pusat di pulau

    Jawa, tetapi mereka memiliki warna anti Jawa, serta lebih mengejar suatu otonomi bagi

    daerah mereka masing-masing dari pada tujuan yang mungkin saja akan melahirkan satu

    ketergantungan baru terhadap pulau Jawa.62Pendek kata, dari sekian banyak perkumpulan

    ini, tidak terjalin persatuan, bahkan banyak yang terlibat pertikaian yang bersifat pribadi.

    Terdapat beberapa usaha yang dilakukan dalam mempersatukan perkumpulan-

    perkumpulan ini, seperti yang dilakukan oleh dr.Sutomo yang mengundurkan diri dari Budi

    Utomo dan mendirikan Indonesische Studieclub.perkumpulan ini bertujuan mengembangkan

    kesadaran akan budaya sendiri di kalangan kaum terpelajar Indonesia dan untuk memahami

    masalah-masalah sosial maupun politik.63 Pada bulan Juli 1925 dr. Sutomo mengadakan

    pertemuan untuk membahas usaha-usaha untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan

    61John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 45-48. 62Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 72. 63John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 97.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 53

    perjuangan. Pada waktu itu, tidak kurang sekitar 6 perkumpulan Indonesia mengutus

    perwakilan mereka.64 Menurut Bernard Dahm, dr. Sutomo membuat sebuah kesalahan pada

    waktu itu. Dalam salah satu pidatonya, dr. Sutomo mengatakan “setiap Negara yang kuat

    mesti mencaplok Negara yang lebih lemah”. Dari penyataannya inilah, ia mendapat

    serangan dari golongan komunis, yang berakibat tergoyangnya kedudukan dr. Sutomo

    sebagai seorang intelektual yang nonpartisan. Selain dr. Sutomo, mantan anggota-anggota

    Perhimpunan Indonesia yang berada di negeri Belanda, berusaha untuk menyatukan

    perhimpunan-perhimpunan ini, namun terdapat beberapa kendala yang menghalangi mereka,

    yaitu: karena tinggal lama di Eropa, mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri

    dengan kondisi kolonial. Kemudian banyak dari mereka yang sekembali dari Eropa, menjadi

    pegawai negeri yang mengakibatkan kegiatan politik mereka harus dihentikan.65

    Sebagai seorang nasionalis muda Indonesia, Sukarno yang tidak pernah

    mengenyam pendidikan di luar negeri, sadar akan hal ini. Latar-belakang pemikiran

    mengenai massa rakyat yang diperas dan menderita, pengalaman dan pergaulannya, telah

    membentuk Sukarno, melahirkan pemikiran mengenai perlunya satu wadah bagi

    nasionalisme, Islam dan Marxis-sosialis untuk bekerjasama mencapai kemerdekaan.

    Sebagai titik tolak pemikirannya terhadap nasionalisme, Sukarno sangat

    dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) dengan pendapatnya tentang bangsa.

    Menurut Renan, bangsa merupakan suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:

    1. Rakyat dari awal harus bersama-sama menjalani sejarah/riwayat.

    2. bahwa suatu “bangsa” tidak ditentukan oleh rasa atau bahasa atau agama

    ataupun perbatasan wilayah. Ia adalah jiwa, suatu pandangan yang

    64Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 66. 65Ibid.,73-74.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 54

    fundamental, yang lahir dari kesamaan sejarah dan dari suatu kemauan,

    suatu keinginan hidup menjadi satu.66

    Dari teori yang disampaikan oleh Renan ini, terlihat bahwa Sukarno ingin

    menggunakan teori ini untuk mempertemukan fraksi-fraksi yang saling bertentangan.

    Pada tahun 1928, Sukarno menulis sebuah artikel yang berjudul Nasionalisme,

    Islamisme dan Marxisme di majalah Indonesia Muda terbitan Studi Club Bandung. Artikel ini,

    merupakan langkah awal dari Sukarno dalam merumuskan pemikiranya mengenai wadah

    bersama, yang kemudian ia sebut sebagai nasionalisme. Penjelasannya mengenai

    nasionalisme, diawali dengan uraian mengenai latar-belakang munculnya kolonialisme,

    seperti yang dijelaskannya:

    Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan,bahwa yang menyebabkan kolonialisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah keinginan merdeka dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klenn, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki. Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah-airnya sendiri … itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain!67

    Pernyataan dari Sukarno diatas, mengandung makna bahwa rakyat Indonesia harus

    sadar terhadap kehidupan ekonomi dan politik yang semakin memburuk, akibat dari

    kolonialisme. Sukarno ingin merubah pola pemikiran yang sudah tertanam dalam benak

    masyarakat, mengenai pemerintah kolonial yang dianggap sebagai saudara tua yang

    nantinya, pada suatu saat akan memberikan kemerdekaan. Sukarno beranggapan bahwa

    66John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 99. 67Sukarno,dibawah bendera revolusi cetakan V; nasionalisme,islamisme dan marxisme, ( Jakarta: Yayasan

    Bung Karno, 2005), 1.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 55

    tidak ada satu-pun Negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber

    rezekinya, hal ini terlihat dari pernyataannya yaitu “orang tak akan gampang-gampang

    melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!”.68

    Kesadaran mengenai tragedi penjajahan, menurut Sukarno telah menimbulkan

    protes di seluruh Asia. Karena “Roh Asia” tidak akan mengalah kepada penindasan. Bahkan

    di Indonesia sudah muncul suatu pergerakan rakyat, yang dimanifestasikan dalam tiga aliran

    politik, walaupun tujuannya sama, yakni satu aliran nasionalis, satu aliran islamis, dan satu

    aliran marxis. Menurut Sukarno adalah kewajiban semua orang untuk berupaya menyatukan

    ketiga aliran tersebut dan membuktikan bahwa di daerah jajahan mereka tidak perlu

    bermusuhan satu sama lain. Sukarno menyatakan bahwa tujuan dari semua aliran ini adalah

    sama. Untuk itu menurut Sukarno aliran-aliran ini harus menjauhi pertengkaran diantara

    sesama.Setelah Negara kolonial dibuka kedoknya, motif dari penjajahan dijelaskan dan

    setelah ada pengidentifikasian yang sadar dengan protes-protes di seluruh Asia, maka

    ditemukanlah lawan mereka, yaitu bangsa Eropa.Mereka adalah lawan kaum nasionalis,

    karena mereka menguasai wilayah-wilayah Asia; mereka musuh golongan Islam karena

    kegiatan-kegiatan misi Kristen mereka; dan mereka, lawan kaum Marxis, karena mereka

    pendukung sistem kapitalis, yang merintangi meluasnya sosialisme.69 Dalam arus

    pemikirannya, Sukarno menyatakan bahwa ketiga aliran ini bukan hanya ragam-ragam yang

    memiliki status sama dan saling melengkapi, namun diperlukan pandangan yang implisit

    yang mengandung pengertian bahwa nasionalisme merupakan arus sentral. Maksud dari

    Sukarno adalah pada waktu itu Islam merupakan agama yang tertindas, maka pemeluk Islam

    harus nasionalis.Kemudian, modal Indonesia pada waktu itu merupakan modal asing, maka

    68Ibid.,2. 69Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 77-78.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 56

    kaum marxis yang berjuang melawan kapitalisme haruslah pejuang nasionalis. Tujuannya

    adalah persatuan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme, tetapi isi nasionalisme dalam

    islam dan marxislah yang memungkinkan persatuan ini. Sehingga dari penjelasnya tentang

    nasionalisme ini, Sukarno menyimpulkan Nasionalisme merupakan ideologi yang

    merangkum, yang dapat menyalurkan aliran-aliran yang berbeda itu kedalam satu arus.70

    Pada akhir rangkaian tulisannya dalam artikel Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,

    Sukarno sekali lagi memberikan nasihat kepada ketiga pergerakan (Nasionalisme, Islamisme

    dan Marxisme) yaitu:

    Kita harus bisa menerima, tetapi kita juga harus memberi.Inilah rahasiannya persatuan itu.Persatuan tak bisa terjadi kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. Dan, jikalau kita semua insaf bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insaf, dalam perceraiberaian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa”; jikalau kita insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang ada di tengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga.71

    Jika membaca penyataan Sukarno diatas, terlihat bahwa ia telah mengambil

    materialisme filosofis dari marxisme dan memberikannya Tuhan; ia mengambil dari Islam

    “beban masa lampaunya” dan memberikan gagasan marxis tentang kemajuan; dari kaum

    nasionalis ia mengambil “pandangan mereka yang sempit’ dan memberikan kepada mereka

    “nasionalisme luas”, dari hal ini, maka semua ideologi dapat dengan mudah dimasukkan

    dalam kerangka bersama, untuk berjuang bahu-membahu menuju tujuan tunggal.72

    Dalam menguraikan pendiriannya, Sukarno memperlihatkan pemahamannya yang

    sederhana atas bermacam-macam pemikiran dan gagasan yang diserapnya selagi masih

    70John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 101. 71Sukarno,dibawah bendera revolusi, 22. 72Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 93.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 57

    menjadi mahasiswa. Ia mengambil perbandingan-perbandingan dari Ernest Renan dan H.G.

    Wells, Marx dan Engels, Kautsky dan Radek, Sun Yat-sen dan Gandhi, Sismondi dan

    Blanqui, dari quran dan Mohammad Abduh. Ia menyimpangkan uraian teori buruh tentang

    nilai dan menunjukkan ketertarikannya pada marxisme sebagai suatu ajaran yang dapat

    menyajikan suatu penjelasan yang sistematis, bagaimana terjadinya sesuatu sebagai yang

    kita temukan di dunia. Sementara itu, hakikat Jawaismenya Nampak dengan jelas. Petunjuk

    yang mudah untuk hal ini ialah kalimat pertama dari artikel Nasionalisme, Islamisme dan

    Marxisme, yang berisikan suatu ibarat wayang yang menunjuk Bima, yang dipakainya

    sebagai contoh perjuangan melawan musuh-musuh yang sangat kuat. Lebih jelas lagi,

    asumsi-asumsi dasar karangan itu adalah jawa dalam semangatnya.Bukan saja terdapat

    tekanan tradisional tentang harmoni dan saling penyesuaian antara pandangan-pandangan

    yang saling berlawanan, tetapi juga terdapat sentuhan-sentuhan tentang pemikiran-

    pemikiran khas Jawa, bahwa seorang pemimpin besar ialah yang mampu menyelaraskan

    pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan. Sukarno mampu menganjurkan

    kemungkinan pemersatuan semua aliran nasionalisme karena ia merasa dirinya sendiri

    sekaligus adalah seorang Marxis dan seorang Muslim. Daya mampu ini, dalam pengertian

    Jawa, dapat menunjang suatu tuntunan untuk mencapai kekuasaan.73

    73Ibid., 101-102.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 58

    A.2.2. Marhaenisme cerminan rakyat kecil Indonesia

    Istilah marhaenisme ditemukan oleh Sukarno ketika ia sedang berjalan-jalan di

    sebuah desa yang bernama desa Cigereleng, sebelah selatan kota bandung.74 Ketika Sukarno

    berjalan-jalan di sawah,Ia bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Sukarno

    melihat petani itu sedang menggarap sawahnya, lalu ia memikatnya ke dalam suatu

    percakapan yang memiliki nilai.

    “Siapa yang punya semua yangengkau kerjakan sekarangini?".Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan."Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?"."o, tidak, gan. Saya sendiri yang punya.""Tanah ini kaubeli?"."Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun."Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ..... "Kau mempekerjakan orang lain?""Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.""Apakah engkau pernah memburuh?""Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?""Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.""Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkaupunya?""Ya, gan."Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya. "Marhaen." Marhaen adalahnama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakainama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakanrakyatku rakyat Marhaen.75

    Marhaen yang berkomunikasi dengan Sukarno, merupakan gambaran “rakyat

    kecil” yang banyak di Indonesia. Mereka mempunyai rumah, tanah pertanian, alat cangkul

    dan hasil dari pertaniannya hanya untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. Walaupun

    Marhaen mempunyai hal-hal yang disebut tadi, ia tetap miskin dan tidak sejahtera.

    Kemiskinan ini Nampak pada realitas kehidupan sehari-hari, seperti mendiami rumah yang

    tidak layak dan kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi untuk keluarganya. Bagi

    Sukarno, Marhaen tersebut tidak bisa disebut proletar dalam pengertian Karl Marx, karena

    74 Sukarno, Revolusi Indonesia; Nasionalisme, Marhaenisme dan Pancasila,( Yogyakarta: Galangpress, 2007), 85.

    75Cindy Adams, Bung Karno, 83-84.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 59

    ia mempunyai alat produksi sendiri dan tidak semata-mata menjual tenaganya kepada

    pemilik modal, namun demikian ia tetap miskin.76

    Istilah Marhaen tidak hanya dikenakan untuk rakyat kecil, seperti petani, tukang

    gerobak, dll, namun Sukarno juga menggunakan istilah Marhaen bagi semua rakyat

    Indonesia yaitu semua orang yang menjalankan Marhaenisme.77 menurut Sukarno Marhaen

    merupakan cerminan rakyat Indonesia secara keseluruhan dan modal dasar untuk melakukan

    perjuangan revolusi, agar imperialisme barat hilang dari tanah air Indonesia. Menghapus

    kapitalisme merupakan sebuah wujud dalam bidang pendidikan, perkebunan milik swasta

    dan pemerintah. Marhaen-marhaen inilah yang harus bersatu dan bergotong-royong dalam

    melaksanakan perjuangan revolusi. Dengan cara demikian kemerdekaan dapat dicapai oleh

    rakyat Indonesia. Marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian

    nasional. Kepribadian yang senantiasa memperhatikan persatuan dan gotong royong dalam

    perjuangan revolusi. Marhaenisme adalah suatu gerakan massa yang bersatu untuk

    kepentingan massa, dan di dalamnya Sukarno mewakili segenap rakyat Indonesia. Persatuan

    menjadi isu penting yang diangkat dalam Marhaenisme dan Sukarno menginginkan

    memasukkan sebanyak mungkin golongan-golongan politik, agar kekuatan revolusioner

    semakin bertambah banyak, serta kuat guna mencapai Indonesia merdeka.

    Menurut Sukarno, kapitalisme dan Sosialisme barat hanya memberikan hak-hak

    politik, sedangkan dalam bidang ekonomi rakyat selalu kekurangan dan menghasilkan

    kelas-kelas sosial. Hal tersebut tidak bisa terjadi dalam kehidupan sosialisme Indonesia,

    karena keinginan rakyat ialah tatanan sosial yang lebih adil. Sosialisme Indonesia adalah

    76John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 89. 77Sukarno, Di bawah bendera revolusi, 253.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 60

    nasionalsime marhaen. Nasionalisme yang dapat menciptakan masyarakat Indonesia

    mandiri, yaitu mampu berdiri diatas kakinya untuk kepentingan diri sendiri. Nasionalisme

    marhaen menolak adanya kaum borjuis atau nigrat di Indonesia, karena pada dasarnya

    mereka sangat menyengsarakan rakyat. Pengertian nasionalisme marhaen disini bukan

    dalam pengertian perjuangan kelas proletar melawan kelas kapitalis yang menguasai

    Negara, seperti yang dikatakan karl marx. Bagi Sukarno, untuk mencapai suatu masyarakat

    tanpa kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen, yang akan

    memperjuangkannya, untuk menjadi “kaum revolusioner borjuis” dengan kemerdekaan

    sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi “orang-orang revolusioner sosial,” dan

    tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua orang, bagi semua

    komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Sukarno memberi nama yang baru saja ia

    ciptakan yaitu Sosionasionalisme atau nasionalisme Marhaen.78Sukarno melihat keadaan

    rakyat kecil yang tertindas, tidak berpendidikan, hanya dijadikan “sapi perah” dari kebijakan

    imperialism barat dan diwujudkan dalam bentuk kolonialisme. Dengan sendirinya menjadi

    alat pemicu untuk lahirnya suatu gerakan revolusi marhaen. Analisa ini dilihat dalam

    kerangka dialektika Karl Marx. Segala perubahan harus terjadi, yaitu kapitalisme akan

    menghasilkan Marhaen-Marhaen yang menginginkan perubahan secara revolusioner dalam

    masyarakat Indonesia. Keadaan Sosio-Ekonomi dan Sosio-Politik dan Kapitalisme

    sebenarnya menciptakan secara langsung marhaen-marhaen yang revolusioner dan

    mengakibatkan akan terjadi perubahan dramatis.

    Dalam konferensi PARTINDO pada tahun 1933 di kota mataram, Sukarno

    merumuskan ajarannya dalam Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme yaitu:

    78Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 181.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 61

    1. Marhaenisme, yaitu Sosio-nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.

    2. Marhaen yaitu kaum ploletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum

    melarat Indonesia lainnya.

    3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak ploletar, oleh karena perkataan

    ploletar sudah termaktub dalam perkataan marhaen dan oleh karena perkataan ploletar

    itu juga bisa diartikan bahwa kaum petani dan lain-lain kaun yang melarat tidak

    termaktub di dalamnya.

    4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan kaum melarat Indonesia

    lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemen, maka Partindo memakai perkataan

    Marhaen.

    5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum proletar

    mengambil bagian yang besar sekali.

    6. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri

    yang didalamnya segala hal menyelamatkan.

    7. Marhaenisme adalah pula cara-perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan

    susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenannya, harus suatu cara perjuangan

    yang revolusioner.

    8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-

    tiap kapitalisme dan imperialism.

    9. Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan

    marhaenisme.79

    79Sukarno, Di bawah bendera revolusi, 253.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 62

    Dalam Sembilan tesis tersebut, sukarno menekankan bahwa masyarakat Indonesia

    mesti menerapkan Marhaenisme secara tepat. Walaupun pada kenyataan kemerdekaan yang

    didambakan belum juga terwujud. Keadaan ini disebabkan orang Indonesia “sakit

    berkepanjangan”, akibat tindakan imperialisme-imperialisme kuno dalam bentuk kerajaan-

    kerajaan di Indonesia, sampai dengan imperialisme modern yang berwujud dalam bentuk

    kolonialisme barat. Semua Imperialisme-imperialisme tersebut menghasilkan keuntungan

    ekonomi dan politik yang besar bagi kapitalis. Namun rakyat menerima penderitaan yang

    berkepanjangan. Penderitaan ini disebabkan oleh aturan pemerintah imperialisme yang

    dibuat sedemikian rupa sehingga tercipta proyek kerja paksa, penindasan, penjarahan,

    diskriminasi ekonomi, diskriminasi pendidikan dan bentuk lainnya.80

    Kesemuanya menghasilkan rakyat yang selalu menghambakan diri kepada kaum

    kapitalis, tidak mempunyai mental untuk berjuang memperbaiki nasibnya sendiri sebagai

    manusia dan selalu merasa diri bodoh. Dahulu rakyat Indonesia terkenal sebagai pelaut

    pemberani dan mampu mengarungi lautan guna meluaskan perdagangannya namun hal

    tersebut tidak Nampak lagi. Sekarang yang terjadi rakyat menjadi penakut. Sebaliknya,

    imperialisme-kapitalisme mendapatkan hal terbaik dalam segala bidang kehidupan,

    sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan yang bermanfaat bagi dirinya. Kecuali golongan

    bangsawan, memperoleh hak-hak istimewa. Untuk itu harus ada perubahan, agar merubah

    kesakitan yang berkepanjangan dan menjadikan rakyat Indonesia bisa mandiri, yaitu dengan

    melakukan gerakan revolusioner guna menghancurkan imperialisme-kapitalisme. Dengan

    cara demikian rakyat Indonesia bisa menjadi lebih baik memperbaiki nasib diri sendiri.

    Pergerakan nasional yang revolusioner ini harus terjadi secara besar-besaran. Marhaenisme

    80Ibid.,253-254.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 63

    harus menjadi penggerak yang radikal dalam perjuangan rakyat Indonesia dan tidak ada

    istilah kerjasama dengan pihak Imperialisme dalam memperjuangkan kemerdekaan.

    Gerakan revolusioner tersebut harus terus-menerus ada, sampai Imperialisme dan

    Kapitalisme hilang di Indonesia. Sikap radikal ini muncul oleh karena rakyat menderita

    berkepanjangan.81

    Sukarno melihat, bahwa diseberang sana ada kemerdekaan yang dicita-citakan

    rakyat. Apabila kemerdekaan telah dicapai nanti, maka akan berlaku terus sistem Sosio-

    Ekonomi, Sosio-Demokrasi yang merupakan perwujudan dari Sosio-Nasionalisme. Tidak

    boleh berlaku sistem ekonomi dan politik borjuis dalam kehidupan Negara Indonesia yang

    merdeka. Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme,

    imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan

    sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang

    menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala

    sistem yang menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori

    perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner

    untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan

    menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang

    merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk

    formalnya sebagai filsafat yaitu Pancasila.

    81 Ibid.,

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 64

    A.2.3. Pancasila sebagai kelanjutan Marhaenisme

    Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secaradetail

    dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Sukarnosebagai Pancasila.

    Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,Sukarno menawarkan gagasan

    ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:

    1. Kebangsaan Indonesia.

    2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan).

    3. Mufakat (Demokrasi).

    4. Kesejahteraan Sosial.

    5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.82

    Menurut John Legge Tidak mengherankan, jika Sukarno meletakkan nasionalisme

    sebagai prinsip dasar pertama. Sukarno menjelaskan nasionalisme (kebangsaan) harus

    dipahami tidak dalam artiannya yang sempit, bebas dari kekuasaan asing, akan tetapi dalam

    arti positif membangkitkan rasa kesadaran dari rakyat. Definisi Renan tentang nasionalisme

    dalam kata-kata “keinginan bersatu” tidak cukup baginya, karena definisi ini dapat

    dipergunakan untuk membenarkan nasionalisme suku, kelompok-kelompok kecil penduduk.

    Sebaliknya, nasionalisme Indonesia harus menjangkau lebih luas lagi dari kesatuan-kesatuan

    masyarakat suku dan terdiri dari seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang

    telah ditentukan Tuhan, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara

    sumatera sampai ke Irian! Sukarno melihat persatuan Indonesia berdasarkan kebesaran

    82Saefroedin Bahar, Ananda B Kusuma & Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan

    Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945- 22 Agustus 1945, dengan kata pengantar oleh Taufik Abdullah ( Jakarta: Sekretaris Negara R.I., 1995), 101.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 65

    abad-abad lalu.Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan jelas untuk

    mengembalikan rasa berbangsa satu ini memerlukan tindakan positif. Nasionalisme dalam

    arti kata yang sebenarnya berarti bukan kebangsaan jawa, bukan kebangsaan Sumatra,

    bukan kebangsaan borneo, Sulawesi, bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang

    bersama-sama menjadi satu national staat.83

    Nasionalisme juga perlu dipahami bersama dalam prinsip dasar yang kedua, yaitu

    Internasionalisme.Prinsip nasionalisme ada bahaya menjadi patriotisme sempit dan perlu

    diimbangi dengan rasa hormat kepada bangsa-bangsa lain, yaitu internasionalisme.Tetapi

    internasionalisme itu sendiri perlu dibedakan dari kosmopolitanisme yang tidak mengakui

    lagi adanya nasionalisme.Sebaliknya, internasionalisme harus berakar di dalam buminya

    nasionalisme. Dengan demikian kedua prinsip dasar itu bergandengan erat satu sama lain.84

    Begitu juga dengan demokrasi dan keadilan sosial bergandengan erat dalam

    pikirannya. Demokrasi (pemerintahan perwakilan atau musyawarah-mufakat) akan

    memungkinkan berlakunya keadilan bagi berbagai kekuatan untuk dengan jujur bersaing

    satu sama lain dalam kerangka perwakilan pemerintahan. Tetapi demokrasi politik saja

    belum menjamin adanya kesejahteraan untuk semua.Pada demokrasi-demokrasi barat,

    katanya, kaum kapitalis mengontrol segala-galanya dan di situ tidak ada keadilan sosial dan

    demokrasi ekonomi.85

    Pada gagasan yang terakhir, Sukarno menyatakan bahwa Negara yang akan

    berdiri ini harus berdasarkan kepercayaan kepada ke-Esaan Tuhan, dan prinsip ini harus

    terbuka bagi pelaksanaan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Bukan saja

    83John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 215. 84Ibid., 85Ibid, 215-216.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 66

    bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan,

    Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang

    Islam Bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan

    ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.

    Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namundalam

    kesempatan tersebut, Sukarno tidak menawarkan permanen. Konsep inimasih terbuka untuk

    dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarnomenawarkan konsep Trisila yang secara

    substansial merupakan kristalisasi darikonsep Pancasila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-

    demokrasi, dan ketuhanan.Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan

    internasionalismebisa disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat

    dankesejahteraan bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan

    prinsipKetuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan

    konsepMarhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah

    denganKetuhanan Yang Maha Esa.86 Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam

    pernyataannya:

    “atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan limaitu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja..... Dua dasar yang pertama,kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, sayaperas menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme....Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilahyang dahulu saya namakan sosio-demokrasi...... Tinggal lagi ketuhanan yangmenghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan.87

    86Sukarno, Revolusi Indonesia,51-52. 87Saefroedin Bahar, Risalah, 52.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 67

    Kemudian Sukarno menawarkan kembali perubahan konsep ini, dari trisila dapat

    digabungkan menjadi satu bagian, menjadi satu prinsip. Dalam mendirikan Negara

    Indonesia semua harus bertanggung jawab semua untuk semua, katanya:

    Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong!

    Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!88

    Menurut John Legge, dalam pernyataan yang luar biasa ini, maka seluruh usaha-

    usaha Sukarno untuk mewujudkan sintesis dan persatuan mendapat bentuk yang paling

    nyata. Dilihat dari isi intelektualnya, pidato Pancasila itu tidak banyak menambahkan

    gagasan-gagasan pemikiran sebelumnya. Nasionalisme, dalam pidato itu, tidak

    dikemukakan sebagai prinsip yang mengenyampingkan, yang tidak mampu merukunkan

    pendirian yang saling bersaing; tetapi dengan memberi tekanan pada pentingnya keadilan

    sosial dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prinsip-prinsip dasar revolusi, Sukarno,

    bagaimanapun, telah menggemakan kembali pemikirannya yang dahulu dalam tulisannya

    “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dengan memeras kelima prinsip dasar menjadi tiga

    dan dari tiga menjadi satu, ia telah menekankan keaslian sifat prinsip-prinsip ini dan

    mengatakan bahwa ini cocok dengan tradisi Indonesia. Sebagai keseluruhan, pidato itu

    membuka pandangannya yang luas dan baru tentang persatuan dan ia disambut dengan

    aklamasi yang gegap gempita.89

    A.3. Kesimpulan

    Untuk memahami pemikiran Sukarno tentang Nasionalisme, harus meletakkan

    dasar pemikiran tersebut dalam konteks politik, budaya, ekonomi dan situasi masyarakat

    88Ibid.,103. 89John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 216-217.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 68

    yang terjadi. Dari sini akan ditemukan, bahwa pemikiran Sukarno terjalin erat dengan upaya

    bangsanya untuk melepaskan diri dari penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Pengaruh

    pemikiran politik sangat mempengaruhi cara berpikir Sukarno. Dengan adanya politik etis

    pada tahun 1901 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, membuka kesempatan bagi

    masyarakat umum untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah Eropa.Dan Sukarno

    merupakan salah satu dari sedikit pribumi yang mendapat kesempatan menikmati

    pendidikan di sekolah-sekolah tersebut, bahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu

    masuk ke perguruan tinggi. Di jenjang inilah Sukarno mulai mengenal dan menggumuli cara

    berpikir para pemikir-pemikir Barat. Hal tersebut membentuk dan mendorong Sukarno

    untuk lebih mengenal kelompok-kelompok intelektual Indonesia, diantaranya Studi Club di

    Bandung, para pendiri Indische Partij, Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan intelektual

    Indonesia lainnya. Bagian-bagian ini, selanjutnya saling menjalin dalam diri Sukarno yang

    melahirkan pemikiran khas dari Sukarno. Dengan kata lain, pemikiran Sukarno merupakan

    pertemuan antara pengalamannya sebagai seorang politisi di masanya, keluarga,

    pergaulannya dengan para aktifis pejuang Indonesia, pendidikan formal yang diikutinya dan

    keterlibatannya dalam pergerakan kebangsaan, serta pengaruh budaya Jawa yang kental

    telah banyak mempengaruhi pola pikirnya dalam dunia perjuangan.

    Arus sentral pemikiran Sukarno adalah persatuan.berakar pada pemikiran tentang

    persatuan ini, Sukarno menciptakan Sintesis dari tiga aliran politik utama dalam masyarakat

    Indonesia pada waktu itu yakni: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. pemikiran

    nasionalisme yang dikembangkan Soekarno pada waktu itu memberikan suatu arah baru

    bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme ini sekaligus menjadi antitesis

    terhadap nasionalisme yang sedang berkembang pada saat itu yaitu nasionalisme yang

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 69

    berdasarkan kedaerahan atau kesukuan.Kemudian langkah berikut yang dilakukan oleh

    Sukarno adalah mengembangkan sebuah paham yang ia sebut Marhaenisme yang adalah

    cerminan dari kehidupan rakyat kecil Indonesia. Paham ini merupakan gabungan dari

    Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Puncak dari pemikiran Sukarno yang

    berkembang sejak tahun 1920-an mencapai bentuknya yang final pada tanggal 1 Juni 1945

    yaitu dalam bentuk rumusan Pancasila. Dalam perkembangannya, Pancasila diterjemahkan

    kedalam Manipol-USDEK yang berisi pokok-pokok dan tujuan Revolusi Indonesia. Dari

    sini mulai terjadi penyimpangan terhadap Pancasila, Sukarno mulai menggunakan Pancasila

    untuk tujuan-tujuan politiknya begitu juga masa pemerintahan Soeharto. Namun tidak dapat

    dipungkiri, lima prinsip dasar Pancasila yang dirumuskan Sukarno merupakan pondasi yang

    kokoh yang tercipta berdasarkan keadaan sosial masyarakat Indonesia dan juga hasil dari

    pemikiran yang luar biasa dari seorang Sukarno yang kaya akan pengetahuan.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 70

    B. Hatta

    B.1 Pembentukkan Pemikiran Hatta

    B.1.1 Masa Kecil Hatta

    Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia

    dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya yang bernama Siti Saleha. Ayahnya, Haji Mohammad

    Djamil, meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Menurut Nurcholish Madjid, Hatta adalah putra

    seorang guru mursyid sebuah persaudaraan sufi atau tarekat di Sumatera Barat. Nama pribadi

    Hatta berasal dari Muhammad Ata yang diambil dari nama yang lebih lengkap, yaitu (Ahmad

    ibn) Muhammad (ibn Abdal Karim ibn) Ata-il-Lah al-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam

    (berbagai ajaran kearifan), sebuah kitab tasawuf yang terkenal di kalangan pesantren. Dari pihak

    ibu, Hatta adalah keturunan keluarga saudagar. Kombinasi keluarga ulama dan keluarga

    saudagar, membuat hatta berpenampilan sebagai insan berjiwa sufi. Orang yang berjiwa sufi

    adalah rendah hati (modest), jujur, sederhana dan santun. Hatta memiliki enam saudara

    perempuan. Hatta adalah anak laki-laki satu-satunya, Hatta belajar mengaji di masa kecil dan

    remaja kepada Syekh Mohammad Djamil Djambek di Bukittinggi dan H. Abdullah Ahmad di

    Padang.90

    Dalam buku Memoir, Hatta menjelaskan bahwa asal-usulnya dari pihak ayah, merupakan

    keturunan ulama tarekat terkemuka, yaitu Syaikh Abdurrahman. Anak syaikh tersebut yang

    dipanggilnya Ayah Gaek Arsad, juga dikenal sebagai Syaikh Batuhampar. Akan tetapi,

    masyarakat umum memanggil Tuanku nan Mudo, sebagaimana kelaziman pada ulama kaum

    tarekat, yang hingga kini masih berlaku. Selama berada di Bukittinggi, sekali enam bulan Hatta

    90Adhe Firmansyah, Hatta, Si Bung yang Jujur & Sederhana, ( Jogjakarta: Garasi, 2013), 18-19.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 71

    menemui Ayah Gaek itu ke Batuhampar. Kepadanyalah Hatta bertanya kritis tentang

    pemahaman tauhid dan akidah yang tidak masuk akalnya, tapi diyakini masyarakat pada

    umumnya. Misalnya tentang keberadaan Tuhan di langit ketujuh dan perintahnya dilayani oleh

    malaikat dan bidadari. Meskipun tidak menganut ajaran tarekat, Hatta menjadi muslim yang

    saleh demi menghormati predikat nenek moyangnya yang ulama terkemuka itu, disamping

    keyakinannya sendiri tentang agama yang dianutnya.91 Dari pihak ibunya, keluarga ibu Hatta

    merupakan pengusaha yang berhasil, terlibat dalam berbagai perusahaan, termasuk ekspor kayu,

    bisnis angkutan dan kontrak pos dengan pemerintah. Untuk itu, Hatta tumbuh dalam lingkungan

    keluarga yang selalu memperhatikan persoalan komersial sebagai yang utama.92

    Ketika Hatta berumur 6 tahun, pada 1908, Hatta mengalami pengalaman pahit, pada

    waktu itu di alur Tanjungkang, Bukittinggi, sejumlah serdadu marsose dengan bayonet terhunus

    menggeledah orang-orang yang lewat. Pemerintah kolonial murka, karena di Kampung Kamang,

    16 km dari rumah Hatta, rakyat berontak; mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika

    konflik meletus, 12 orang marsose tewas dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan,

    orang-orang ditangkap. Termasuk di antara orang yang ditangkap adalah Rais, sahabat kakek

    Hatta. Momen ketika Rais melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai tak

    pernah hilang dari ingatan masa kecil Hatta. Pengalaman demi pengalaman pahit mengembleng

    Hatta.93

    Sejak kecil, Hatta merupakan pribadi yang sangat disiplin dan tertib. Hal ini terlihat dari

    penuturan kakak kandung Hatta, yaitu Ny. R. Lembaq tentang pribadi Hatta kecil.Menurut Ny.

    R. Lembaq Tuah (kakak kandung Hatta), Hatta merupakan pribadi yang tertib sejak kecil.

    91 Salman Alfarizi, Hatta, Biografi Singkat 1902-1980,(Jogjakarta: Garasi, 2009), 12-13. 92 Mavis Rose, Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta,Terj. Hermawan S. (Jakarta: PT

    Gramedia Pustaka Utama, 1991), 7 93 Salman Alfarizi, Hatta, Biografi Singkat 1902-1980,15-16.

  • Gerald J. Tampi 752011042 | 72

    Pernah pada suatu waktu saat Hatta memiliki sebuah block-note yang baru, yang belum terpakai, yang diletakkan diatas meja belajarnya. Pada suatu ketika, Hatta menemukan satu lembar dari block-note nya telah terisi tulisan salah satu paman kami. Paman mencatat beberapa perintah untuk tukang yang sedang bekerja di rumah kami. Hatta protes, marah dan menangis. Paman berusaha membujuknya, “baiklah, apa yang sudah ku tulis di situ disobek saja ……. “baiklah paman ganti

    dengan yang baru”. Hatta tetap tidak mau. Hatta tidak menginginkan yang baru,

    melainkan ia kecewa barangnya diganggu dan kenapa paman kami tidak meminta izin terlebih dahulu. Hatta tetap menangis dan pada akhirnya paman pun ikut menangis, karena paman tidak tahu apa yang harus dilakukan.94

    Sejak kecil, Hatta bersekolah di sekolah Belanda. Dia menyelesaikan pendidikan

    dasarnya di Europe Lagere School (ELS) di Bukittinggi pada 1916. Kemudian menyelesaikan

    Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) di Padang pada 1919. Pada 1921, dia menyelesaikan

    Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Batavia. Usai menamatkan sekolah

    dagang, Hatta kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi di Nederland Handelshogeschool, Rotterdam,

    Belanda.95

    Selama menempuh studi di Rotterdam, Hatta memp