bab iii konsep nasionalime sukarno dan hatta a. sukarno a.1. … · 2017. 3. 25. · konsep...
TRANSCRIPT
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 30
BAB III
Konsep Nasionalime Sukarno dan Hatta
A. Sukarno
A.1. Pembentukan Pemikiran Sukarno
A.1.1. Masa Kecil Sukarno
Putra Sang Fajar, merupakan salah satu julukan yang dimiliki oleh Sukarno. Hal ini
sangat beralasan sekali, karena Sukarno lahir pada pukul setengah enam pagi,1 tanggal 6
Juni 1901, di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Semula Sukarno lahir dengan nama
Kusno Sosrodihardjo, namun karena sering sakit-sakitan, ayahnya yaitu Raden Soekemi
Sosrodihardjo mengganti nama Kusno menjadi nama Karna.2karena kegemaran Raden
Sukemi terhadap wayang menyebabkan dia mengganti nama Kusno menjadi Karna,
sebagaimana penuturan Sukarno:
... Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada mahabarata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah
salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabrata. ... kalau begitu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar, aku berteriak kegirangan. Oh, ia nak, jawab bapak setuju. Juga setia pada kawan-kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya.Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya.Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”3
Dari penyataan diatas, perubahan nama Kusno menjadi Karna, harus dipahami dalam
kaitan dengan pemaknaan wayang bagi kehidupan orang Jawa. Pemberian nama Karna oleh
1Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan kelima, terjemahan Abdul Bar
Salim, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), 23. 2Taufik & Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, (Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2008), 13. 3Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 35-36.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 31
Raden Sukemi, haruslah dimengerti sebagai suatu refleksi penghargaan dan kepercayaannya
yang mendalam sebagai orang Jawa terhadap tokoh pewayangan. Terdapat sebuah
pengharapan dari Sukemi, bahwa pemberian nama Karna kepada Kusno akan membawa
serta kharisma dan kesatriaan Karna di dalam diri Sukarno.
Terdapat beberapa hal menarik, yang terjadi pada saat Sukarno lahir, yaitu tanpa
terencana, Soekarno lahir pada angka yang serba enam (tanggal dan bulannya). Di bawah
naungan bintang Gemini yang berlambangkan kekembaran, Soekarno menganggap bahwa
dirinya memiliki dua sifat yang berlawanan, hal tersebut terlihat dari ucapannya yang
mengatakan:
Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksanabaja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaranperasaan. Aku seorang yang suka mema'afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Akumenjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hatimembiarkan burung terkurung di dalam sangkar.4
Latar belakang keluarga Sukarno merupakan perpaduan dua budaya berbeda dan
kepercayaan. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berlatar-belakang kasta Brahma dan tergolong
bangsawan di Banjar Bali Agung Singaraja. Kakek Moyang Sukarno merupakan pejuang
kemerdekaan yang gugur dalam perang Puputan. Akibat peperangan ini keluarga ibu
Soekarno jatuh melarat dan mempunyai rasa benci yang mendalam terhadap penjajah
Belanda.5 Ayah Soekarno, yaitu Raden Sukemi Sasrodiharjo, berlatar-belakang Islam dan
termasuk golongan bangsawan rendah Jawa, hal tersebut menurut Dahm terlihat dari gelar
Raden yang di sandang oleh Sukemi.Jabatan pertama dari Raden Sukemi adalah menjabat
4Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 24. 5 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatik, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 21.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 32
sebagai guru.6 Soekarno juga memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Soekarmini,
ia berucap:
… Hanya Karno dan akulah anak-anak yang dilahirkan oleh suami istri Sosrodihardjo.Sebagai puteri tunggal dan putera tunggal, ayah dan ibu kami berdua saling sayang menyayangi.7
Selain itu, Kusno juga dekat dengan Sarinah yang menjadi pembantu rumah tangga
Sukemi. Menurut Sukarno, dari Sarinah ia memperoleh pengetahuan tentang humanisme,
“Karno yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau harus
pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”, demikian
diajarkan Sarinah kepada Sukarno.8
Sukarno kecil melewatkan sebagian masa kecilnyadi rumah kakeknya, yaitu Raden
Hardjodikrono. Selama menetap di rumah kakeknya di Tulung Agung (Kediri) inilah,
Sukarno kecil mulai berkenalan dengan mistisisme Jawa dan kisah-kisah pewayangan.
Malam demi malam di Tulung Agung banyak diisi dengan menonton wayang semalam
suntuk. Menurut Dahm, sementara Sukarno menikmati kisah demi kisah pewayangan,
bersamaan dengan itu, hasrat akan kemerdekaan mulai bergelora dalam dirinya.9
Dari semua kisah pewayangan yang Sukarno kecil ikuti, kisah Mahabaratalah yang
paling membekas dalam dirinya. Mahabarata merupakan kisah tentang perjuangan Pandawa
untuk merebut kembali kerajaan Ngastina yang telah direbut Kurawa. Begitu besar pengaruh
kisah Mahabarata terhadap diri Sukarno kecil, sehingga ketika ia mulai mengikuti
pendididkan formal di sekolah desa di Tulung Agung, ia lebih senang menggambar satu
6Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Terjemahan Hasan Basari, cetakan pertama,
(Jakarta: LP3ES, 1987), 29. 7Husni Lain, Mengenang Proklamator RI Soekarno-Hatta, (Jakarta: PT Kreasi Jaya Utama, 1980), 71. 8 S. Syaiful Rahim, Bung Karno Masa Muda (Jakarta: Pustaka Yayasan Antar Kota, 1978), 17. 9 Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan , 29.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 33
tubuh yang tegap dan besar dengan bentuk gelung rambut “Sinutupirang” pakai kuku
“Pancanaka”. Menurut Solichin, gambar tersebut adalah gambar Bima yang menjadi
kesukaan dan kesenangannya.10
Menurut Dahm, kemungkinan besar Sukarno sangat mengidolakan tokoh Bima.Hal
tersebut, terlihat dari sikap Sukarno yang tidak kenal kompromi terhadap orang-orang luar
dan kesediaannya untuk berkompromi dengan orang-orang seperjuangannya. Selain itu,
Dahm menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur lain yang merangsang khayalan dari
Soekarno kecil, seperti: nasib kaum kurawa yang dibangkitkan kembali, yang pastinya
mendapatkan makna simbolis yang penting setelah “kebangkitan kembali orang-orang jawa
dengan didirikannya Budi Utomo (1908), lebih-lebih lagi karena kemenangan mereka dalam
pertempuran-pertempuran yang sudah diramalkan kedepannya.11
Selanjutnya, untuk mewujudkan harapan akan masa depan yang baik bagi Sukarno,
Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu memperlengkapi Sukarno dengan pendidikan formal yang
bermutu. Awalnya Sukarno mengikuti pendidikan di Sekolah Desa Tulung Agung,
kemudian pindah ke Sekolah Angka Dua di Sidorajo, selanjutnya ia pindah ke Sekolah
Angka Satu di Mojokerto sampak kelas lima.12 Selain mengikuti pendidikan formal,
Sukarno juga memperoleh pendidikan yang keras dan ketat dari ayahnya. Hasilnya,
meskipun tidak bisa dikatakan brilian, pada taun 1914 Sukarno berhasil menyelesaikan
pendidikan di Mojokerto.13
10 Solichin, Bung Karno Putera Fajar, cetakan kedua (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 24. 11Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 32. 12 Badri Yatim, Sukarno, Islam dan Nasionalisme: Rekonstruksi Pemikiran Islam- Nasionalis, Pengantar
Fachry Ali, cetakan pertama, (Jakarta: Saran Aksara, 1985), 7; Solichin Salam, Bung Karno, 25; melaporkan hal yang sama, yakni di sekolah Angka Satu Mojokerto Sukarno duduk di kelas enam. Tetapi menurut Legger, tidak ada satu pun sekolah bumi putera di masa itu yang lebih dari kelas lima. (bdk. John Legger, Sukarno Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 37.
13 John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 37.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 34
Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu Nyoman Ray memasukkan Sukarno ke Sekolah
Dasar Berbahasa Belanda (Eurepese Lagere School) di Mojokerto. ketika Sukarno
didaftarkan ke ELS oleh ayahnya, menurut penuturannya kepada Cindy Adams,
kekurangannya yang harus ia penuhi hanyalah meningkatkan kemampuannya dalam
berbahasa Belanda. Berkat usaha keras Raden Sukemi untuk memenuhi semua ketentuan di
sekolah tersebut, di tahun 1916 Sukarno berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.14
A.1.2. Sukarno di asah
Setelah tamat dari ELS (Europese Lagere School), Sukarno mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studinya ke HBS (Hogere Burger School) di Surabaya.
Selama masa studinya, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada
waktu itu menjabat sebagai ketua Serikat Islam (SI). Menurut Bernhard Dahm,
Tjokroaminoto menggunakan dana-dana dari SI untuk menampung orang pribumi yang
tidak mampu, terdapat sekitar 30 orang yang menumpang di rumahnya termasuk Sukarno
dan hanya membayar uang pemondokan sekadarnya saja.15 Di rumah Tjokroaminoto,
Sukarno mulai berkenalan dengan banyak tokoh. Diantaranya: tokoh intelektual IslamK.H.
Agus Salim yang menurut Sukarno memiliki gaya pidato yang menarik, sehingga ia sangat
mengaguminya, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo, Sneevliet dan Husni Thamrin. Bahkan Soekarno juga bergaul dengan
Alimin, Muso dan Kartosuwiro.16
14Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 40. 15Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan,34. 16Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, (Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2008), 18.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 35
Dengan tinggal di rumah Tjokroaminoto, Sukarno dapat lebih mengenal wajah
perpolitikan saat itu. Dalam otobiografinya Sukarno menceritakan, bahwa dia selalu
mengikuti diskusi-diskusi dari para pemimpin Indonesia yang diadakan di rumah
Tjokroaminoto. Sukarno tidak hanya menjadi pendengar setia, tetapi ia juga
seringmengajukan pertanyaan mengenai perkembangan politik Indonesia di masa itu. Dari
penjelasan para pemimpin Indonesia tersebut, Sukarno mengetahui bahwa kegagalan
perjuangan bangsa Indonesia disebabkan tidak ada persatuan diantara para pejuang.17
Sukarno muda banyak belajar dari pak Tjokroaminoto, menurutnya pak
Tjokroaminoto sering membimbingnya, walaupun Sukarno sendiri mengaku jarang bertemu,
namun menurut Sukarno pak Tjokroaminoto memiliki cara tersendiri dalam
membimbingnya. Hal tersebut diakui oleh Sukarno, sebagaimana penuturannya dalam
otobiografinya:
“...Umar Said Cokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Cokro mengajarku apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Cok adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya kepadaku miliknya yang berharga.18
Dari Tjokroaminoto pun Sukarno belajar, tentang sikap terhadap pemerintahan
kolonial. Tjokroaminoto bukanlah nasionalis yang mengagungkan sikap radikal terhadap
pemerintah. Sebaliknya, meskipun Tjokroaminoto menyadari perlunya pemerintahan sendiri,
ia tetap menunjukkan sikap loyal dan terima kasih kepada pemerintah kolonial, yang telah
17 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 54. 18Ibid., 52.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 36
bersedia membentuk dewan-dewan untuk memberikan kepada orang-orang pribumi hal
untuk didengar.”19
Pandangan Tjokroaminoto yang positif terhadap pemerintah kolonial, dapat
dipastikan, ditanamkan juga kepada Sukarno. Pengaruh pandangan Tjokroaminoto tersebut,
jelas dalam satu tulisan awal Sukarno:
...”Terlebih dulu rakyat Indonesia harus belajar.” Untuk itu, rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan kesempatan yang baik sekali: hendaknya dibentuk dewan-dewan yang akan benar-benar mewakili rakyat, mengingat bahwa dewan-dewan yang sudah ada pada waktu itu – termasuk Volksraad – tidak mewakili rakyat. Pemerintahan sendiri lalu akan mewujudkan keadilan politik dan ekonomi bagi rakyat.20
Perlu dikemukakan di sini, bahwa pengaruh pandangan Tjokroaminoto terhadap
Sukarno menjadi semakin kuat karena andil tidak langsung dari C. Hartog yang juga
membatasi kritik-kritik Sukarno terhadap pemerintah.21 Hartog mengajar bahasa Jerman di
HBS, ketika Sukarno menjadi murid di sekolah tersebut.22 Hartog merupakan anggota ISDP
(Indische Social Democratiche Partij), organisasi yang lebih moderat dibandingkan dengan
ISDV (Indische Sosial-Democratische Vereeniging). Sikap moderat ISDP tercermin dalam
pernyataan juru bicara partai ini D.M.G. Koch, sebagaimana yang dikutip Dahm:
Oleh sebab itu, maka pandangan Marxis kita pertama-tama menuntut dari kita bukan perjuangan melawan kapitalisme Barat, melainkan kampanye bagi suatu perkembangan yang cepat dan berkelanjutan untuk masyarakat bumiputera... kepentingan mereka menuntut, bersama-sama dengan perundang-undangan sosial
19Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 39. 20Ibid., 50. 21Ibid., 36. 22 Di samping itu, melalui seminar-seminar tentang Marxisme yang diselenggarakan Hartog, secara formal
Sukarno mulai mengenal teori Marxisme. Demikian diakui Sukarno dalam artikelnya, Sukarno, “Menjadi Pembantu
Pemandangan: Sukarno, Oleh... Sukarno Sendiri,” Pemandangan tahun 1941, dalam Dibawah Bendera Revolusi I, 511.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 37
yang efektif, perkembangan yang cepat dari kapitalisme bumiputera, yang merupakan satu-satunya sarana untuk mengakiri dominasi Barat.23
Sebagai anggota ISDP pembinaan-pembinaan yang dilakukan Hartog kepada
Sukarno, tentunya tidak terlepas dari sikap moderat ISDP yang diembannya. Hartog
mengajar Sukarno untuk tidak bertindak radikal terhadap pemerintah kolonial.24 Dari
Hartog, Sukarno juga belajar, bahwa kemerdekaan harus dicapai secara bertahap dan
pemberontakan terhadap pemerintah kolonial hanya akan menghambat jalan ke arah
kemerdekaan.25
Jika demikian pembinaan yang diterima Sukarno dari Tjokroaminoto dan C.
Hartog, mempengaruhi pemikiran awal Sukarno yang belum bercorak radikal. Di samping
itu, masih terbatasnya keterlibatan Sukarno dalam organisasi massa,26 menjadi salah satu
penyebab kuatnya pengaruh pemikiran Tjokroaminoto dan Hartog terhadap Sukarno.
Selain Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam lain yang juga mempunyai andil dalam
pembentuka pemikiran Sukarno, yakni Abdul Muis. Pada tahun 1917, menurut pengakuan
Sukarno, ia sangat dipengaruhi oleh slogan-slogan komunis. Tetapi kemudian Sukarno
berhasil sembuh dari penyakit kosmopolitanisme tersebut dan meyakini pentingnya
semangat kebangsaan, setelah membaca tulisan Sun Yat Sen mengenai Min Chu I.27 Selain
itu, Abdul Muis seorang tokoh Sarekat Islam, pun berperan penting dalam penyembuhan
kosmopolitanisme Sukarno. Dalam Kongres Nasional Kedua Sarekat Islam (Oktober 1917),
Abdul Muis menyatakan: “Untuk memperbaiki dunia, kita tidak perlu mulai menjadi orang-
23 Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 36. 24 Ibid. 25 Ibid., 37. 26 Selain terlibat dalam Sarekat Islam sebagai pergaulan sehari-hari Sukarno, iapun mulai aktif sebagai
anggota Jong Java. Tetapi karena Jong Java lebih berorientasi pada kebudayaan Jawa, dapat dipastikan hampir tidak ada warna radikal yang bisa disumbangkan organisasi tersebut kepada Sukarno.
27Bernhard Dahm,Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 40.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 38
orang internasionalis.” Pernyataan tersebut, memperlihatkan penolakan tegasnya terhadap
paham internasional. Selanjutnya Abdul Muis menekankan, bahwa paham kebangsaan
sangatlah penting dalam mencapai kemerdekaan; bahkan seharusnya lahir dari orang-orang
yang menamakan dirinya pemimpin rakyat.28 Melihat dekatnya hubungan antara Abdul
Muis dan Tjokroaminoto, juga pengaruhnya yang besar sebagai tokoh Sarekat Islam, sulit
untuk tidak memperhitungkan pengaruh pemikirannya dalam diri Sukarno di masa itu.
Tahun 1921 Sukarno bersama Utari, istrinya, berangkat menuju Bandung guna
meneruskan pendidikannya ke Sekolah Teknik Tinggi (Techniche Hogeschool). Sukarno
menghabiskan waktu selama empat tahun untuk menyelesaikan pendidikannya di Sekolah
Teknik Tinggi. Keterlambatan tersebut, disebabkan banyaknya waktu yang tersita untuk
kegiatan politik, juga kerena ia harus mengambil alih tanggung-jawab Tjokroaminoto
terhadap keluarganya.29
Di Bandung, awalnya Sukarno hanya menjadi peserta pasif dalam berbagai ceramah
di malam hari, juga dalam diskusi-diskusi kelompok kecil. Pokok-pokok dalam ceramah-
ceramah yang diikutinyapun tidak banyak berbeda dengan apa yang ia terima dari
Tjokroaminoto dan Hartogh. Katakanlah, tahun-tahun pertama berada di Bandung, referensi
berpikir Sukarno masih mengacu pada pandangan Tjokroaminoto dan C. Hartog.
Warna berpikir Sukarno mulai bercorak radikal, ketika ia berkenalan dan menyerap
nasionalisme radikal dari Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi
Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantoro. Tjipto tampaknya
28Ibid., 40-41 29 Sukarno baru satu tahun di Bandung, ketika Tjokroaminoto ditangkap dan Sukarno harus mengambil alih
tanggung-jawab mengendalikan rumah tangga Tjokroaminoto. Berhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 52.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 39
mendapat tempat khusus dalam diri Sukarno, hal tersebut terlihat dari bagaimana Sukarno
menyebut Tjipto dengan “saudara Tjipto my chief”.30Cukup beralasan mengapa Sukarno
memanggil Tjipto Mangunkusumo dengan istilah tersebut, hal ini dikarenakanTjiptolah
memiliki andil yang paling besar dalam membetuk sikap oposisi Sukarno terhadap
pemerintahan kolonial. Jika Dekker masih harus mempertimbangkan resiko dari tindakannya
yang radikal terhadap pemerintahan kolonial, Tjipto sebaliknya. Iaterkenal sebagai
nasionalis yang keras kepala terhadap kolonial, tak mementingkan diri sendiri, berwibawa,
jujur, idealis, dan revolusioner disertai cara-cara yang radikal.31 Sejak kembali dari
pembuangan pada tahun 1914, Tjipto Mangunkusumo tetap aktif dalam kegiatan politik
dengan segala resiko yang harus dihadapinya. Sikap Tjipto Mangunkusumo tersebut
menimbulkan kekaguman bagi Sukarno sebagaimana jelas dalam tulisnnya, ketika di tahun
1926 Tjipto Mangunkusumo kembali dibuang oleh pemerintah kolonial.
Tjaranja kawan Tjipto mendjalankan pembuangan ini adalah mengadjarkan pada kita, bahwa ichtiar membikin indahnja hari itu ialah bukanja ictiar jang gampang dan ringan, akan tetapi ichtiar jang susah-pajah dan berat; - suatu ichtiar jang tak sudi akan penjerahan diri jang setengah-setengah, suatu ichtiar jang menuntut penjerahanja segenap kita punja diri, segenap kita punja njawa... Tjipto Mangunkusumo telah menundjukkan djalan dalam tjaranja mengabdi pada rakjat dan Bangsa itu... Walaupun ia menderita kesengsaraan-rezeki; walaupun ia merasakan kemelaratan jang terdjadi oleh matinja ia punja perusahaan tabib;.. maka dengan roman muka jang bersenjum ia memikul segenap beban jang ditimbulkan di atas pundaknja oleh pengabdiannja kepada rakyat dan bangsanja.32
Pemikiran Sukarno mengenai politik memang semakin dipertajam oleh
pengenalannya terhadap pemikiran ketiga tokoh Indische Partij. Harus diakui, ketiga tokoh
tersebutlah yang membekali Sukarno dengan semboyan-semboyan mencapai kemerdekaan
yang lebih militan. Ketika Sukarno tampil sebagai pemikir dan politisi nasional, pengaruh
30 B. Hening, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 129.
31 Mohammad Ridwan Lubis, Pemikiran Sukarno Tentang Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), 54. 32 Sukarno, “Suluh Indonesia Muda, 1928,” Dibawah Bendera, 42.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 40
pemikiran ketiga tokoh Indische Partij, terutama pengaruh Tjipto Mengunkusumo,
tercermin melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya yang militan dan agitatif. Demikian
sukarno menulis, “... hendaklah kita insyaf, bahwa hanja perdjoangan dalam pergerakan
rakjat itu sahadjalah jang bisa mengundurkan musuh-musuh kita, dan tidak dalam usaha
dewan-dewanan”33
Kekritisan Sukarno dalam menganalisis kenyataan masyarakat yang dihadapinya,
merupakan hasil pergulatan intelektualnya yang sungguh-sungguh dengan pemikiran Tjipto
Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantoro. Kekritisan Sukarno sebagai
pemikir dan politisi nasional, semakin dimatangkan oleh keaktifannya dalam gerakan
kebangsaan Indonesia.
A.1.3 Sukarno Dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Keaktifan Sukarno dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai dengan
terdaftarnya Sukarno sebagai anggota Jong Java.34Jong Javadidirikan pada tahun 1915
dengan nama Tri Koro Darmo dan merupakan organisasi pelajar, anak organisasi dari Budi
33 Ibid., 31. 34 Sukarno dalam wawacara bersama Cindy Adams mengatakan bahwa, Tri Koro Darmo yang kemudian
berganti nama menjadi Jong Java adalah organisasi politik pertama yang didirikannya pada saat berumur 16 tahun (1917).Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.,56. Keterangan Sukarno bertentangan dengan kajian yang dilakukan oleh Bernhard Dham dan John Legge, yang memaparkan bahwa keterlibatan Sukarno dalam Jong Java hanya sebagai anggota. Keterangan Bernhard Dham dan John Legge tersebut, ditunjang dengan kajian dalam Ensiklopedia umum terbitan kanisius yang memaparkan, bahwa pada tahun 1915 sebagai tahun didirikannya Tri Koro Darmo. Jika tahun terbentuknya organisasi tersebut (7 Maret 1915) disesuaikan dengan awal kedatangan Sukarno di Surabaya pada tahun 1916, terdapat ketidakcocokkan. Dengan demikian, keterangan Sukarno, bahwa dia adalah pendiri Tri Koro Darmo kepada Cindy Adams diragukan kebenarannya. Yang sebenarnya, Tri Koro Darmo didirikan oleh dr. R. Satiman Wirosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi atas petunjuk Budi Utomo. Lihat, A.g. pringgodigdo& Hasan Shadily Ensiklopedia Umum, (Jogjakarta: Kanisius, 1977), 506; Bernhard Dahm, Sukarno, 47; John Legge, Sukarno, 72.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 41
Utomo. Pada tahun 1918, dengan alasan Tri Koro Darmo tidak mencerminkan Jawa secara
umum, nama organisasi tersebut diganti menjadi Jong Java.35
Sumber-sumber kontemporer paling dini, memuat laporan tentang Sukarno yaitu:
dalam rapat pleno tahunan yang diadakan oleh Jong Java, cabang Surabaya pada bulan
Februari 1921, Sukarno mendapat giliran untuk berceramah mengenai sistem pendidikan. Di
hadapan perhimpunan yang telah mencantumkan “pelestarian dan pengembangan
kebudayaan tradisional Jawa” sebagai tujuannya, Sukarno memulai ceramahnya dalam
bahasa jawa dipa (ngoko), bahasa “kaum pembaru” ketua rapat dengan segera menghentikan
ceramah Sukarno itu dan setelah terjadi perdebatan sebentar, lalu dimintanya Sukarno
melanjutkan ceramahnya dalam bahasa Belanda, karena ketua menolak penggunaan bahasa
Kromo.Tetapi permintaan itu ditolak dan setelah terjadi perdebatan yang sengit, akhirnya
bubar dalam suasana kacau, ditengah-tengah teriakan, sorak-sorai dan musik
gamelan.36Sikap menentang kebijakan organisasi, sebagaimana yang dilakukan Sukarno
terhadap Jong Java, membuat ia dijuluki Bima. Dalam Utusan Hindia dimuat salah satu
sentilan terhadap sikap Sukarno, “dengan Tuhan sekalipun Sukarno berbicara dalam Djawa
Dipa- suatu kelancangan yang hanya diperkenankan bagi Bima yang gagah-perkasa”.37
Tindakan politik Sukarno memang cukup radikal, meskipun demikian Sukarno
tidak pernah menjadi anggota partai komunis. Bahkan ketika pada tahun 1921, Sukarno
diperhadapkan dengan perpecahan di dalam Sarekat Islam antara orang-orang Islam dan
orang-orang komunis, Sukarno lebih memilih Sarekat Islam. Sukarno pun sangat
mendukung disiplin partai yang ditegakkan dalam Sarekat Islam, yang merupakan salah satu
pemicu perpecahan antara orang-orang Islam dengan orang-orang komunis.Ada banyak
35A.g. pringgodigdo & Hasan Shadily Ensiklopedia Umum, 507. 36Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 48. 37Ibid., 49.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 42
faktor yang harus diperhitungkan sebagai alasan keberpihakan Sukarno tersebut, selain
karena pengaruh Tjokroaminoto sang guru yang menjadi idolanya. Keberadaan Sukarno
sebagai bagian dari Sarekat Islam sekaligus saksi dari rentetan aliran politik yang silih
berganti dalam Sarekat Islam, perlu diperhitungkan sebagai faktor penunjang keberpihakan
Sukarno. Di samping itu ketertarikan Sukarno terhadap usaha mensintesakan Manifesto
komunis dengan Islam yang dijalankan dalam Sarekat Islam, perlu juga diperhitungkan
sebagai alasan keberpihakan Sukarno.38 Jika demikian jelas, bahwa keberpihakan Sukarno
terhadap Sarekat Islam adalah pilihan sadar yang dilakukannya.
Kembali ke keterlibatan Sukarno dengan pergerakan nasional di Bandung, karir
politiknya di Bandung, diawalinya dengan menjadi salah satu pendiri sekaligus pengurus
Studi Club Umum (Algemeene Studie Club) yang didirikan pada tanggal 17 Januari 1926. Di
Studi Club Umum tersebut, Sukarno duduk sebagai sekretaris I mendampingi Mr. Iskaq
Tjokrohadisurjo yang saat itu menjabat sebagai ketua. Dibanding dengan Studi Club di
Surabaya yang diketuai dr. Sutomo, Studi Club Umum di Bandung lebih radikal. Dengan
menetapkan sikap nonkooperasi sebagai senjata perjuangan berhadapan dengan pemerintah
kolonial, Studi Club Umum di Bandung telah menarik garis pemisah dengan Studi Club di
Surabaya yang hanya menjadikan sikap nonkooperasi sebagai taktik.39 Melihat sikap
nonkooperasi yang dimutlakkan dalam kelompok Studi Club Umum di Bandung, jelas
bahwa pemikiran Douwes Dekker sangat berpengaruh di dalamnya.
Dalam Studi Club Umum tersebutlah, Sukarno berkecimpung dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran politiknya. Studi Club Umum di Bandung mempunyai majalah sendiri,
yang diberi nama “Indonesia Muda”. Untuk pertama kali melalui artikel berjudul
38Ibid.,46-47 39Ibid., 66-67.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 43
Nasionalisme, Islam dan Marxisme, Sukarno merumuskan dengan jelas pemikirannya
mengenai Nasionalisme Indonesia.40
Langkah pertama yang dilakukan Sukarno untuk merealisasikan pemikirannya
mengenai nasionalisme Indonesia, dimulai dengan keterlibatannya dalam PNI (Partai
Nasional Indonesia). PNI dibentuk pada tanggal 4 Juli 1927 dan Sukarno dipercaya sebagai
ketua. Selanjutnya, dengan PNI sebagai motor penggerak Sukarno melangkah ke arah
pembentukan federasi dari berbagai partai, yang akan bekerjasama untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Dukungan pertama diperolah Sukarno dari Haji Agus Salim,
seorang tokoh Partai Sarekat Islam yang cukup berpengaruh di masa itu.41 Dukungan lain
datang dari organisasi nasional lokal. Hasilnya, pada 17 Desember 1927, terbentuklah
PPPKI (permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang merupakan
gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia42: PNI, Sarekat Islam, Budi Utomo,
Pasundan, Sumantranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya.
Pembentukan PPPKI merupakan terobosan baru dalam sejarah pergerakan Indonesia.
Setelah beberapa kali usaha ke arah persatuan dan kerjasama diantara partai berbeda, seperti
yang dilakukan Sarekat Islam dan Indische Partij, menemui kegagalan. PPPKI merupakan
kumpulan dari berbagai organisasi yang berbeda-beda, tetapi secara sepintas lalu sudah
kelihatan membawa perkembangan baru yang memberi harapan.Upaya-upaya sebelumnya
untuk mencapai persatuan nasional telah ditunjukkan untuk menarik para pengikut
40Ibid.,76. 41Ibid.,97. 42 Dalam otobiografinya Sukarno menyatakan, bahwa PPPKI dibentuk pada bulan Desember 1928. Jelas
Sukarno membuat kekeliruan di sini, sebab PPPKI telah dibentuk pada bulan desember 1927, Cindy Adams, Bung Karno, 117; Seoelah Ra’jat Indonesia tahun 1927 pun melaporkan, Soeloeh Ra’jat Indonesia, No. 52 tanggal 28 Desember 1927; selanjutnya pada tanggal 2 Desember 1928 PPPKI mengadakan konggres pertama di Surabaya. Informasi mengenai waktu pelaksanaan konggres pertama PPPKI diperoleh dari tulisan Sukarno dalam Suluh Indonesia Muda tahun 1928. Sukarno, Dibawah Bendera, 63.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 44
mendaftarkan diri dibawah panji-panji suatu ideologi yang dominan, mulanya Islam dan
kemudian Marxisme.43
Kerja sama dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk merdeka.
Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan di antara
partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan.
Cuplikan salah satu tulisan Sukarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:
Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan pemufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal kooperasi dan nonkooperasi soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang lebih mendekatkan kita satu sama lain. marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita.44
Keberhasilan Sukarno tersebut di atas, mengalami hambatan ketika ia ditangkap
pada bulan September tahun 1928. Penangkapan Sukarno disertai dengan penangkapan tiga
tokoh PNI lainnya, yakni Gatot Mangkupradja, Maskin dan Supriadinata. Sukarno dan
ketiga tokoh PNI ditangkap dan selanjutnya dipenjarakan dengan tuduhan bermaksud
melakukan hura-hura dan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial.Tetapi
mencermati interogasi yang berlangsung selama pemeriksaan perkara para pemimpin PNI di
Landraad Bandung, menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap mereka pun dikaitkan
dengan dugaan PNI merupakan kelanjutan PKI. Persidangan terhadap para tokoh yang
ditangkap ini, dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Dalam masa pengadilan ini,
Sukarno menulis pidato Indonesia Menggugat dan membacakannya di depan pengadilan
sebagai pledoi. Dalam persidangan tersebut, Sukarno memaparkan ramalannya tentang
terjadinya perang pasifik, dalam ramalannya ia berkata:
43John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 133. 44 Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 98.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 45
Perang Pasifik bukan perang kecil-kecilan.Tapi suatu peperangan untuk soal to be or not tobe.Soal hidup dan mati.45
Ramalan akan meletusnya perang pasifik, menurut Sukarno buka dipungut dari
tukang ramal jalanan, melainkan buah analisis sarjana barat terkemuka. Ia memaparkan
teori-teori perang pasifik dari buku seapower in the pacific karya Hektor Baywater, ahli
maritim berkebangsaan Inggris. Baywater meramalkan bahwa perang pasifik akan pecah
akibat ulah Jepang yang bermaksud melancarkan revolusi di Asia. Selain itu, Sukarno juga
menyodorkan teori perang pasifik yang di paparkan oleh Karl Haushofer dari University of
Munchen, Jerman, dalam buku yang berjudul Geopolitik des pazifischen ozeans.46
Menurut Dahm, pernyataan-pernyataan yang dihubung-hubungkan dengan perang
pasifik telah menimbulkan tanggapan yang lebih kuat dalam kesadaran rakyat,
dibandingkan dengan tema-tema propaganda lainnya dari partai yang dipimpin oleh
Sukarno (PNI). Dari sini hakim menyimpulkan bahwa perang pasifik merupakan salah-satu
propaganda yang dipakai oleh PNI.Hal ini menjadikan barang bukti bagi hakim tentang niat
jahat Sukarno terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pada sidang hari kedua, tidak kurang
dari empat kali Sukarno ditanya, apa yang akan dilakukan oleh PNI seandaimya perang
pasifik itu benar-benar pecah. Empat kali juga Sukarno memberikan jawaban yang
mengelak, “soal itu belum pernah dipertimbangkan, PNI tidak punya urusan dengan soal
itu dan sebagainya.” Namun dalam konteks yang lain, Sukarno menegaskan sikap PNI
bahwa: “andaikan ada permusuhan antara suatu rakyat Asia dan katakanlah kaum
imperialis Inggris. Maka saya akan mengharapkan bahwa rakyat Asia itu akan
mendapatkan bantuan dari rakyat-rakyat Asia lainnya.47Walaupun Sukarno sudah membela
45Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 21. 46Ibid., 47Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 148.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 46
diri melalui Pledoinya, hal itu tidak mempengaruhi keputusan hakim untuk tetap
menjatuhkan hukuman terhadap Sukarno.Setelah diadili, Sukarno dan beberapa tokoh PNI
lainnya dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin Bandung.48
Rupanya Perhimpunan Indonesia di Belanda merasa kuatir, keputusan pengadilan
terhadap Sukarno dan ketiga tokoh PNI lainnya akan berdampak negatif bagi kehidupan
pergerakan di Indonesia. Kekuatiran tersebut cukup beralasan, sebab di masa itu PNI
merupakan partai besar dan berpengaruh. Bahkan bisa dikatakan, motor penggerak dari
pergerakan kebangsaan Indonesia di era tersebut. Kekuatiran Perhimpunan Indonesia
menjadi kenyataan, tanggal 17 April 1931, Mahkamah Agung Hindia Belanda secara resmi
memutuskan bersalah kepada keempat pemimpin PNI, yakni Sukarno dijatuhi pidana 4
tahun penjara, Maskun 15 bulan, Gatit 2 tahun pejara, dan Supriadinata 15 bulan.49
Keputusan Mahkamah Agung tersebut oleh sebagian anggota PNI, disambut dengan
pembubaran PNI pada rapat pleno 25 April 1931, dipimpin oleh Sartono yang bertindak
sebagai pejabat ketua. Disusul kemudian dengan pembentukan Partindo (Partai Indonesia)
sebagai pengganti PNI.50
Pembubaran PNI dan pembentukan Partindo menimbulkan pro dan kontra baik dari
anggota PNI, maupun dari tokoh-tokoh di luar PNI. Salah satu nasionalis yang mengkritik
pembubaran PNI oleh Sartono adalah Hatta, yang saat itu masih di negeri Belanda. Hatta
mengatakan, “bahwa pembubaran partai mencerminkan sebuah kegagalan dalam
kepemimpinan partai.” Menurut Hatta, kegagalan tersebut akan terulang lagi, jika kembali
berhadapan dengan penekanan-penekanan pemerintah kolonial. Karena itu menurut Hatta,
48Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 22. 49 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 143. 50Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 22.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 47
pembubaran partai bukanlah pemecahan masalah, yang harus dilakukan adalah mendidik
kader yang berbobot sebanyak mungkin, agar “penahanan-penahan tidak akan melumpuhkan
organisasi secara keseluruhan.”51 Kritik-kritik yang dilontarkan Hatta menurut Legge,
membuat partai-partai lain menjadi kritis teradap Partindo.52
Tindakan Sartono dalam membubarkan PNI terlihat tepat pada situasi politik di
masa tersebut, terutama setelah terjadinya penangkapan dan pemeriksaan terhadap keempat
pemimpin PNI. Proses pemeriksaan terhadap perkara pemimpin-pemimpin PNI, mencuatkan
kecurigaan pemerintahan kolonial bahwa PNI merupakan kelanjutan dari PKI. Jika
demikian, pembubaran PNI dan kemudian pembentukan Partindo oleh Sartono dapat
dipahami sebagai tindakan penyelamatan PNI. Setidaknya menyelamatkan pengurus yang
tersisa dan anggota-anggota PNI dari penangkapan dan pemenjaraan seperti yang dialami
PKI di tahun 1926. Meskipun demikian, harus diakui tindakan pembubaran PNI tanpa
musyawarah dengan anggota partai, bukanlah tindakan demokratis. Menurut Dahm,
tindakan Sartono dan pengurus PNI lainnya hanya memperlihatkan kediktatoran dari para
pengurus partai tersebut.53 Karena itu, kritik Hatta tidak bisa diabaikan, sebab kritik tersebut
merupakan wujud keprihatinan seorang nasionalis terhadap kemerosotan yang terjadi dalam
pergerakan di Indonesia.
Kemerosotan juga terjadi dalam federasi PPPKI. Setelah penangkapan Sukarno,
PPPKI yang diharapkan menjadi kekuatan tandingan berhadapan dengan pemerintah
kolonial, juga diibaratkan sebagai “negara dalam negara” tidak bereaksi terhadap tindakan
penangkapan tersebut. Ketidak-berdayaan PPPKI hanya membuktikan, bahwa federasi
tersebut tidak dapat berfungsi sebagai senjata sebagaimana yang diharapkan Sukarno. Dalam
51 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 148. 52Ibid. 53 Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 158.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 48
tubuh PPPKI sendiri, pertentangan diantara partai-partai dengan ideologi yang selama ini
diupayakan untuk diabaikan, kembali menajam. Bahkan dapat dikatakan setelah Sukarno
ditangkap PPPKI terancam pecah. Ketika pada awal tahun 1931 Partai Sarekat Islam
Indonesia (nama baru dari Sarekat Islam) menarik diri dari federasi tersebut. pertentangan
yang menajam dalam PPPKI tersebut, bagi Dahm merupakan bukti kegagalan dari
kerjasama yang didasarkan pada permufakatan. “Mufakat merupakan keputusan yang tegas,
karena setiap pendapat harus diperhitungkan; padahal perjuangan melawan kaum sana
memerlukan keputusan-keputusan yang tegas, yang tidak mungkin dicapai antara kaum
koperator dan non-koperator.54
Kritik tajam Dahm terhadap penempatan mufakat sebagai dasar kerjasama dalam
PPPKI, dapat dimengerti. Karena mufakat terlalu menyederhanakan pertentangan yang tidak
dapat diakurkan antara kaum kooperator dan non-kooperator; teruatama mengenai keputusan
yang berkaitan dengan sikap dan tindakan PPPKI terhadap kebijakan-kebijakan yang
dijalankan pemerintah kolonial di Indonesia.
Dari kalangan nasionalis Indonesia, kritik terhadap perpecahan dalam PPPKI
datang dari Hatta. Hatta menilai perpecahan dalam PPPKI menjadi bukti, bahwa persatuan
yang diangung-agungkan oleh Sukarno tidak lebih dari pada persatean. Pandangan rakyat
mengenai konsep aristokrasi tidak dapat dipersatukan.Menyatunya kelompok ini hanya
mengakibatkan pengorbanan terhadap prinsip diantara kelompok tersebut, demikian menurut
Hatta.55Penilaian yang dikemukakan Hatta bertolak dari kajian kritisnya terhadap perbedaan-
perbedaan mendasar yang dimiliki anggota PPPKI. Hatta tidak percaya, bahwa partai yang
secara prinsipil tidak dapat diakurkan dapat disatukan. Ketidakpercayaan Hatta tersebut
54Ibid.,156-157. 55Mavis Rose,Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta,Terj. Hermawan S. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1991), 104.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 49
dapat dimaklumi, sebab kajian Hatta tersebut dilatarbelakangi oleh pembentukan
pemikirannya yang berbeda dengan Sukarno. Pemikiran Hatta terbentu dalam realitas sosial-
politik di Eropa, di mana Islam bukanlah kekuatan besar sebagaimana di Indonesia. Selain
itu, pendekatan teoritis yang digunakan Hatta terhadap Islam, Marxis-Sosialis dan nasionalis
lokal di Indonesia, menghasilkan pemikiran yang berbeda dengan Sukarno – yang
menggunakan pendekatan praktis terhadap paham-paham tersebut. berbeda dengan Sukarno,
meskipun ia mengenal pemikiran-pemikiran Barat, tetapi realitas sosial-politik di Indonesia
yang dihadapinya, dimana Islam menjadi salah satu kekuatan besar yang harus
diperhitungkan menyajikan wawasan berbeda dengan Hatta. Karena itu, meskipun secara
teoritis Sukarno mengalami kesulitan untuk mempersatukan Islam dengan Marxis sosialis
dengan nasional lokal, tidak ada pilihan lain baginya. Ditambah lagi dengan kegagalan
perjuangan yang dilakukan pergerakan kebangsaan di Indonesia, tidak memberikan pilihan
kepada Sukarno selain menuntut kepiawaiannya untuk menghimpun elemen-elemen sosial-
politik tersebut, menjadi satu kekuatan nasional berhadapan dengan kolonialisme.
Setelah Sukarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 193156, Sukarno berusaha
menghidupkan kembali PPPKI yang sedang di ambang kehancuran. Disamping itu, Sukarno
pun harus berhadapan dengan suatu partai yang sama besar pengaruhnya dan yang saling
bertentangan, yakni PNI-baru dipimpin Syarir-Hatta yang telah kembali dari Belanda,
berhadapan dengan Partindo. Perbedaan mendasar yang terbentang antara Partindo dan PNI-
Baru, mendorong Sukarno untuk memilih salah satu dari kedua partai tersebut. Sukarno
akhirnya memilih Partindo, sebab sebagian besar pengurus dan anggota Partindo merupakan
56 John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 144.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 50
mantan anggota PNI. Selain itu, Sukarno memang membutuhkan partai yang biasa sejalan
dengan gaya kepemimpinan politik Sukarno.57
Masuknya Sukarno dalam Partindo, menimbulkan pro dan kontra dari kalangan
nasionalis Indonesia. Sukarno dinilai tidak konsekuen terhadap sumpahnya, bahwa ia akan
mengupayakan persatuan antara PNI-Baru dengan Partindo dan tidak akan memihak salah
satu dari kedua partai tersebut. kritikan-kritikan tersebut ditanggapi Sukarno, sebagai
berikut:
Enam bulan lebih saja bekerdja buat persatuan itu. Enam bulan lebih saja sengadja tak duduk dalam salah satu parrtai, tak lain tak bukan hanja supaja usaha persatuan lebih gampang bisa berhasil... Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen, machtsvorming Marhaen.58
Sukarno memang telah memihak, tetapi itu merupakan konsekuensi logis dari
seorang politisi. Seorang politisi membutuhkan partai yang dapat menampung dan
menyalurkan ide-idenya, karena itu, Sukarno tidak dapat dipersalahkan karena pilihannya
tersebut. Gerakan politis Sukarno terhenti, ketika pada tanggal 1 Agustus 1932 dia kembali
ditangkap oleh pemerintah kolonial. Alasan penangkapan terhadap Sukarno adalah karena
Sukarno dinilai provokatif dalam menjalankan kegiatan politik. Karena itu Sukarno harus
dihentikan agar dia sadar bahwa selama dia masih menjalankan tindakan demikian, dia tetap
akan dihambat oleh pemerintah kolonial.59Beberapa bulan kemudian terbentik berita dari
dalam penjara, bahwa Sukarno menulis surat kepada pemerintah kolonial, yang berisi
pernyataan pengundurannya dari Partindo dan juga dari kegiatan politik. Berita mengenai
57Ibid.,153; alasan lain Sukarno memilih Partindo adalah ia sering mendapat kritikan dari pihak PNI baru
(termasuk Bung Hatta & Syahrir) Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 62.
58 Sukarno, “Maklumat Dari Bung Karno Kepada Kaum Marhaen Indonesia, dalam Dibawah bendera, 165. 59Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 201.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 51
pengunduran Sukarno tersebut, menimbulkan kegemparan dikalangan nasionalis Indonesia.
Menurut Legge motif pengunduran diri Sukarno tidak Jelas.Apakah ini tindakan putus asa
atas penahanannya yang baru, atau suatu usaha untuk mendapatkan perlakuan yang
dihadapinya, sehingga tindakan ini merupakan tindakan revolusionernya yang pertama?60
A.2 Nasionalisme Menurut Sukarno
A.2.1 Pemikiran awal Nasionalisme
Ketika Sukarno dilahirkan, masyarakat Jawa sedang mengalami proses perubahan
mendalam. Selama seperempat abad, bersama-sama dengan negara-negara lain di Asia dan
Afrika, Indonesia mulai merasakan dampak kuat tenaga ekspansif industri Eropa.Ekspansi
besar-besaran ekonomi ekspor Hindia sebagai akibat penanaman modal Belanda secara tidak
langsung, telah disertai perluasan penguasaan teritorial yang cepat.Hal ini mengakibatkan
ketidakpuasan masyarakat lokal, sehingga mendapatkan perlawanan terhadap kekuasaan
Belanda. Seperti yang terjadi pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro melawan
kekuasaan Belanda di Jawa Tengah selama lima tahun, hal ini dapat dipandang sebagai suatu
gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal, dan sangat berbeda sifatnya dari
arus perlawanan baru yang muncul pada awal abad ke-20. Nasionalisme baru itu adalah hasil
imperialisme baru yang harus dipandang sebagai bagian dari suatu gerakan lebih besar yang
melibatkan banyak bagian dari suatu gerakan lebih besar yang melibatkan banyak bagian
tanah jajahan baru yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.
60 John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 165.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 52
Dan gerakan itu tidak hanya berjuang menentang kekuasaan kolonial, tetapi juga
memikirkan dan mengembangkan pandangan baru, yang sadar akan kepribadian nasional.61
Pada masa 1926, perpolitikan di Indonesia mengalami kekacauan. Terdapat
beberapa kekuatan politik, yang diwakili oleh partai-partai besar, diantaranya: PKI (partai
yang masih aktif pada saat itu) Sarekat Islam yang masih bertumpu kepada kepopulerannya
yang besar pada tahun-tahun kejayaannya, NIP (National-Indische Partij) yang walaupun
sudah dibubarkan, masih memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, terdapat pula kelompok-
kelompok kecil yang memiliki kecenderungan nasionalistik, namun dalam waktu yang
bersamaan memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan yang berbahaya kearah
separatism, bahkan berapa pulau-pulau lain membentuk perkumpulan sendiri seperti:
Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon, Jong Sumatera dan Jong Batak. Sudah menjadi rahasia
umum pada waktu itu, walaupun perkumpulan-perkumpulan ini berkantor pusat di pulau
Jawa, tetapi mereka memiliki warna anti Jawa, serta lebih mengejar suatu otonomi bagi
daerah mereka masing-masing dari pada tujuan yang mungkin saja akan melahirkan satu
ketergantungan baru terhadap pulau Jawa.62Pendek kata, dari sekian banyak perkumpulan
ini, tidak terjalin persatuan, bahkan banyak yang terlibat pertikaian yang bersifat pribadi.
Terdapat beberapa usaha yang dilakukan dalam mempersatukan perkumpulan-
perkumpulan ini, seperti yang dilakukan oleh dr.Sutomo yang mengundurkan diri dari Budi
Utomo dan mendirikan Indonesische Studieclub.perkumpulan ini bertujuan mengembangkan
kesadaran akan budaya sendiri di kalangan kaum terpelajar Indonesia dan untuk memahami
masalah-masalah sosial maupun politik.63 Pada bulan Juli 1925 dr. Sutomo mengadakan
pertemuan untuk membahas usaha-usaha untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
61John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 45-48. 62Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 72. 63John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 97.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 53
perjuangan. Pada waktu itu, tidak kurang sekitar 6 perkumpulan Indonesia mengutus
perwakilan mereka.64 Menurut Bernard Dahm, dr. Sutomo membuat sebuah kesalahan pada
waktu itu. Dalam salah satu pidatonya, dr. Sutomo mengatakan “setiap Negara yang kuat
mesti mencaplok Negara yang lebih lemah”. Dari penyataannya inilah, ia mendapat
serangan dari golongan komunis, yang berakibat tergoyangnya kedudukan dr. Sutomo
sebagai seorang intelektual yang nonpartisan. Selain dr. Sutomo, mantan anggota-anggota
Perhimpunan Indonesia yang berada di negeri Belanda, berusaha untuk menyatukan
perhimpunan-perhimpunan ini, namun terdapat beberapa kendala yang menghalangi mereka,
yaitu: karena tinggal lama di Eropa, mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
dengan kondisi kolonial. Kemudian banyak dari mereka yang sekembali dari Eropa, menjadi
pegawai negeri yang mengakibatkan kegiatan politik mereka harus dihentikan.65
Sebagai seorang nasionalis muda Indonesia, Sukarno yang tidak pernah
mengenyam pendidikan di luar negeri, sadar akan hal ini. Latar-belakang pemikiran
mengenai massa rakyat yang diperas dan menderita, pengalaman dan pergaulannya, telah
membentuk Sukarno, melahirkan pemikiran mengenai perlunya satu wadah bagi
nasionalisme, Islam dan Marxis-sosialis untuk bekerjasama mencapai kemerdekaan.
Sebagai titik tolak pemikirannya terhadap nasionalisme, Sukarno sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) dengan pendapatnya tentang bangsa.
Menurut Renan, bangsa merupakan suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:
1. Rakyat dari awal harus bersama-sama menjalani sejarah/riwayat.
2. bahwa suatu “bangsa” tidak ditentukan oleh rasa atau bahasa atau agama
ataupun perbatasan wilayah. Ia adalah jiwa, suatu pandangan yang
64Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 66. 65Ibid.,73-74.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 54
fundamental, yang lahir dari kesamaan sejarah dan dari suatu kemauan,
suatu keinginan hidup menjadi satu.66
Dari teori yang disampaikan oleh Renan ini, terlihat bahwa Sukarno ingin
menggunakan teori ini untuk mempertemukan fraksi-fraksi yang saling bertentangan.
Pada tahun 1928, Sukarno menulis sebuah artikel yang berjudul Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme di majalah Indonesia Muda terbitan Studi Club Bandung. Artikel ini,
merupakan langkah awal dari Sukarno dalam merumuskan pemikiranya mengenai wadah
bersama, yang kemudian ia sebut sebagai nasionalisme. Penjelasannya mengenai
nasionalisme, diawali dengan uraian mengenai latar-belakang munculnya kolonialisme,
seperti yang dijelaskannya:
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan,bahwa yang menyebabkan kolonialisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah keinginan merdeka dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klenn, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki. Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah-airnya sendiri … itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain!67
Pernyataan dari Sukarno diatas, mengandung makna bahwa rakyat Indonesia harus
sadar terhadap kehidupan ekonomi dan politik yang semakin memburuk, akibat dari
kolonialisme. Sukarno ingin merubah pola pemikiran yang sudah tertanam dalam benak
masyarakat, mengenai pemerintah kolonial yang dianggap sebagai saudara tua yang
nantinya, pada suatu saat akan memberikan kemerdekaan. Sukarno beranggapan bahwa
66John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 99. 67Sukarno,dibawah bendera revolusi cetakan V; nasionalisme,islamisme dan marxisme, ( Jakarta: Yayasan
Bung Karno, 2005), 1.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 55
tidak ada satu-pun Negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber
rezekinya, hal ini terlihat dari pernyataannya yaitu “orang tak akan gampang-gampang
melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!”.68
Kesadaran mengenai tragedi penjajahan, menurut Sukarno telah menimbulkan
protes di seluruh Asia. Karena “Roh Asia” tidak akan mengalah kepada penindasan. Bahkan
di Indonesia sudah muncul suatu pergerakan rakyat, yang dimanifestasikan dalam tiga aliran
politik, walaupun tujuannya sama, yakni satu aliran nasionalis, satu aliran islamis, dan satu
aliran marxis. Menurut Sukarno adalah kewajiban semua orang untuk berupaya menyatukan
ketiga aliran tersebut dan membuktikan bahwa di daerah jajahan mereka tidak perlu
bermusuhan satu sama lain. Sukarno menyatakan bahwa tujuan dari semua aliran ini adalah
sama. Untuk itu menurut Sukarno aliran-aliran ini harus menjauhi pertengkaran diantara
sesama.Setelah Negara kolonial dibuka kedoknya, motif dari penjajahan dijelaskan dan
setelah ada pengidentifikasian yang sadar dengan protes-protes di seluruh Asia, maka
ditemukanlah lawan mereka, yaitu bangsa Eropa.Mereka adalah lawan kaum nasionalis,
karena mereka menguasai wilayah-wilayah Asia; mereka musuh golongan Islam karena
kegiatan-kegiatan misi Kristen mereka; dan mereka, lawan kaum Marxis, karena mereka
pendukung sistem kapitalis, yang merintangi meluasnya sosialisme.69 Dalam arus
pemikirannya, Sukarno menyatakan bahwa ketiga aliran ini bukan hanya ragam-ragam yang
memiliki status sama dan saling melengkapi, namun diperlukan pandangan yang implisit
yang mengandung pengertian bahwa nasionalisme merupakan arus sentral. Maksud dari
Sukarno adalah pada waktu itu Islam merupakan agama yang tertindas, maka pemeluk Islam
harus nasionalis.Kemudian, modal Indonesia pada waktu itu merupakan modal asing, maka
68Ibid.,2. 69Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 77-78.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 56
kaum marxis yang berjuang melawan kapitalisme haruslah pejuang nasionalis. Tujuannya
adalah persatuan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme, tetapi isi nasionalisme dalam
islam dan marxislah yang memungkinkan persatuan ini. Sehingga dari penjelasnya tentang
nasionalisme ini, Sukarno menyimpulkan Nasionalisme merupakan ideologi yang
merangkum, yang dapat menyalurkan aliran-aliran yang berbeda itu kedalam satu arus.70
Pada akhir rangkaian tulisannya dalam artikel Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,
Sukarno sekali lagi memberikan nasihat kepada ketiga pergerakan (Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme) yaitu:
Kita harus bisa menerima, tetapi kita juga harus memberi.Inilah rahasiannya persatuan itu.Persatuan tak bisa terjadi kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. Dan, jikalau kita semua insaf bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insaf, dalam perceraiberaian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa”; jikalau kita insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang ada di tengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga.71
Jika membaca penyataan Sukarno diatas, terlihat bahwa ia telah mengambil
materialisme filosofis dari marxisme dan memberikannya Tuhan; ia mengambil dari Islam
“beban masa lampaunya” dan memberikan gagasan marxis tentang kemajuan; dari kaum
nasionalis ia mengambil “pandangan mereka yang sempit’ dan memberikan kepada mereka
“nasionalisme luas”, dari hal ini, maka semua ideologi dapat dengan mudah dimasukkan
dalam kerangka bersama, untuk berjuang bahu-membahu menuju tujuan tunggal.72
Dalam menguraikan pendiriannya, Sukarno memperlihatkan pemahamannya yang
sederhana atas bermacam-macam pemikiran dan gagasan yang diserapnya selagi masih
70John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 101. 71Sukarno,dibawah bendera revolusi, 22. 72Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 93.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 57
menjadi mahasiswa. Ia mengambil perbandingan-perbandingan dari Ernest Renan dan H.G.
Wells, Marx dan Engels, Kautsky dan Radek, Sun Yat-sen dan Gandhi, Sismondi dan
Blanqui, dari quran dan Mohammad Abduh. Ia menyimpangkan uraian teori buruh tentang
nilai dan menunjukkan ketertarikannya pada marxisme sebagai suatu ajaran yang dapat
menyajikan suatu penjelasan yang sistematis, bagaimana terjadinya sesuatu sebagai yang
kita temukan di dunia. Sementara itu, hakikat Jawaismenya Nampak dengan jelas. Petunjuk
yang mudah untuk hal ini ialah kalimat pertama dari artikel Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme, yang berisikan suatu ibarat wayang yang menunjuk Bima, yang dipakainya
sebagai contoh perjuangan melawan musuh-musuh yang sangat kuat. Lebih jelas lagi,
asumsi-asumsi dasar karangan itu adalah jawa dalam semangatnya.Bukan saja terdapat
tekanan tradisional tentang harmoni dan saling penyesuaian antara pandangan-pandangan
yang saling berlawanan, tetapi juga terdapat sentuhan-sentuhan tentang pemikiran-
pemikiran khas Jawa, bahwa seorang pemimpin besar ialah yang mampu menyelaraskan
pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan. Sukarno mampu menganjurkan
kemungkinan pemersatuan semua aliran nasionalisme karena ia merasa dirinya sendiri
sekaligus adalah seorang Marxis dan seorang Muslim. Daya mampu ini, dalam pengertian
Jawa, dapat menunjang suatu tuntunan untuk mencapai kekuasaan.73
73Ibid., 101-102.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 58
A.2.2. Marhaenisme cerminan rakyat kecil Indonesia
Istilah marhaenisme ditemukan oleh Sukarno ketika ia sedang berjalan-jalan di
sebuah desa yang bernama desa Cigereleng, sebelah selatan kota bandung.74 Ketika Sukarno
berjalan-jalan di sawah,Ia bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Sukarno
melihat petani itu sedang menggarap sawahnya, lalu ia memikatnya ke dalam suatu
percakapan yang memiliki nilai.
“Siapa yang punya semua yangengkau kerjakan sekarangini?".Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan."Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?"."o, tidak, gan. Saya sendiri yang punya.""Tanah ini kaubeli?"."Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun."Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ..... "Kau mempekerjakan orang lain?""Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.""Apakah engkau pernah memburuh?""Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?""Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.""Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkaupunya?""Ya, gan."Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya. "Marhaen." Marhaen adalahnama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakainama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakanrakyatku rakyat Marhaen.75
Marhaen yang berkomunikasi dengan Sukarno, merupakan gambaran “rakyat
kecil” yang banyak di Indonesia. Mereka mempunyai rumah, tanah pertanian, alat cangkul
dan hasil dari pertaniannya hanya untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. Walaupun
Marhaen mempunyai hal-hal yang disebut tadi, ia tetap miskin dan tidak sejahtera.
Kemiskinan ini Nampak pada realitas kehidupan sehari-hari, seperti mendiami rumah yang
tidak layak dan kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi untuk keluarganya. Bagi
Sukarno, Marhaen tersebut tidak bisa disebut proletar dalam pengertian Karl Marx, karena
74 Sukarno, Revolusi Indonesia; Nasionalisme, Marhaenisme dan Pancasila,( Yogyakarta: Galangpress, 2007), 85.
75Cindy Adams, Bung Karno, 83-84.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 59
ia mempunyai alat produksi sendiri dan tidak semata-mata menjual tenaganya kepada
pemilik modal, namun demikian ia tetap miskin.76
Istilah Marhaen tidak hanya dikenakan untuk rakyat kecil, seperti petani, tukang
gerobak, dll, namun Sukarno juga menggunakan istilah Marhaen bagi semua rakyat
Indonesia yaitu semua orang yang menjalankan Marhaenisme.77 menurut Sukarno Marhaen
merupakan cerminan rakyat Indonesia secara keseluruhan dan modal dasar untuk melakukan
perjuangan revolusi, agar imperialisme barat hilang dari tanah air Indonesia. Menghapus
kapitalisme merupakan sebuah wujud dalam bidang pendidikan, perkebunan milik swasta
dan pemerintah. Marhaen-marhaen inilah yang harus bersatu dan bergotong-royong dalam
melaksanakan perjuangan revolusi. Dengan cara demikian kemerdekaan dapat dicapai oleh
rakyat Indonesia. Marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian
nasional. Kepribadian yang senantiasa memperhatikan persatuan dan gotong royong dalam
perjuangan revolusi. Marhaenisme adalah suatu gerakan massa yang bersatu untuk
kepentingan massa, dan di dalamnya Sukarno mewakili segenap rakyat Indonesia. Persatuan
menjadi isu penting yang diangkat dalam Marhaenisme dan Sukarno menginginkan
memasukkan sebanyak mungkin golongan-golongan politik, agar kekuatan revolusioner
semakin bertambah banyak, serta kuat guna mencapai Indonesia merdeka.
Menurut Sukarno, kapitalisme dan Sosialisme barat hanya memberikan hak-hak
politik, sedangkan dalam bidang ekonomi rakyat selalu kekurangan dan menghasilkan
kelas-kelas sosial. Hal tersebut tidak bisa terjadi dalam kehidupan sosialisme Indonesia,
karena keinginan rakyat ialah tatanan sosial yang lebih adil. Sosialisme Indonesia adalah
76John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 89. 77Sukarno, Di bawah bendera revolusi, 253.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 60
nasionalsime marhaen. Nasionalisme yang dapat menciptakan masyarakat Indonesia
mandiri, yaitu mampu berdiri diatas kakinya untuk kepentingan diri sendiri. Nasionalisme
marhaen menolak adanya kaum borjuis atau nigrat di Indonesia, karena pada dasarnya
mereka sangat menyengsarakan rakyat. Pengertian nasionalisme marhaen disini bukan
dalam pengertian perjuangan kelas proletar melawan kelas kapitalis yang menguasai
Negara, seperti yang dikatakan karl marx. Bagi Sukarno, untuk mencapai suatu masyarakat
tanpa kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen, yang akan
memperjuangkannya, untuk menjadi “kaum revolusioner borjuis” dengan kemerdekaan
sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi “orang-orang revolusioner sosial,” dan
tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua orang, bagi semua
komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Sukarno memberi nama yang baru saja ia
ciptakan yaitu Sosionasionalisme atau nasionalisme Marhaen.78Sukarno melihat keadaan
rakyat kecil yang tertindas, tidak berpendidikan, hanya dijadikan “sapi perah” dari kebijakan
imperialism barat dan diwujudkan dalam bentuk kolonialisme. Dengan sendirinya menjadi
alat pemicu untuk lahirnya suatu gerakan revolusi marhaen. Analisa ini dilihat dalam
kerangka dialektika Karl Marx. Segala perubahan harus terjadi, yaitu kapitalisme akan
menghasilkan Marhaen-Marhaen yang menginginkan perubahan secara revolusioner dalam
masyarakat Indonesia. Keadaan Sosio-Ekonomi dan Sosio-Politik dan Kapitalisme
sebenarnya menciptakan secara langsung marhaen-marhaen yang revolusioner dan
mengakibatkan akan terjadi perubahan dramatis.
Dalam konferensi PARTINDO pada tahun 1933 di kota mataram, Sukarno
merumuskan ajarannya dalam Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme yaitu:
78Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 181.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 61
1. Marhaenisme, yaitu Sosio-nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.
2. Marhaen yaitu kaum ploletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum
melarat Indonesia lainnya.
3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak ploletar, oleh karena perkataan
ploletar sudah termaktub dalam perkataan marhaen dan oleh karena perkataan ploletar
itu juga bisa diartikan bahwa kaum petani dan lain-lain kaun yang melarat tidak
termaktub di dalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan kaum melarat Indonesia
lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemen, maka Partindo memakai perkataan
Marhaen.
5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum proletar
mengambil bagian yang besar sekali.
6. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri
yang didalamnya segala hal menyelamatkan.
7. Marhaenisme adalah pula cara-perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan
susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenannya, harus suatu cara perjuangan
yang revolusioner.
8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-
tiap kapitalisme dan imperialism.
9. Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan
marhaenisme.79
79Sukarno, Di bawah bendera revolusi, 253.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 62
Dalam Sembilan tesis tersebut, sukarno menekankan bahwa masyarakat Indonesia
mesti menerapkan Marhaenisme secara tepat. Walaupun pada kenyataan kemerdekaan yang
didambakan belum juga terwujud. Keadaan ini disebabkan orang Indonesia “sakit
berkepanjangan”, akibat tindakan imperialisme-imperialisme kuno dalam bentuk kerajaan-
kerajaan di Indonesia, sampai dengan imperialisme modern yang berwujud dalam bentuk
kolonialisme barat. Semua Imperialisme-imperialisme tersebut menghasilkan keuntungan
ekonomi dan politik yang besar bagi kapitalis. Namun rakyat menerima penderitaan yang
berkepanjangan. Penderitaan ini disebabkan oleh aturan pemerintah imperialisme yang
dibuat sedemikian rupa sehingga tercipta proyek kerja paksa, penindasan, penjarahan,
diskriminasi ekonomi, diskriminasi pendidikan dan bentuk lainnya.80
Kesemuanya menghasilkan rakyat yang selalu menghambakan diri kepada kaum
kapitalis, tidak mempunyai mental untuk berjuang memperbaiki nasibnya sendiri sebagai
manusia dan selalu merasa diri bodoh. Dahulu rakyat Indonesia terkenal sebagai pelaut
pemberani dan mampu mengarungi lautan guna meluaskan perdagangannya namun hal
tersebut tidak Nampak lagi. Sekarang yang terjadi rakyat menjadi penakut. Sebaliknya,
imperialisme-kapitalisme mendapatkan hal terbaik dalam segala bidang kehidupan,
sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan yang bermanfaat bagi dirinya. Kecuali golongan
bangsawan, memperoleh hak-hak istimewa. Untuk itu harus ada perubahan, agar merubah
kesakitan yang berkepanjangan dan menjadikan rakyat Indonesia bisa mandiri, yaitu dengan
melakukan gerakan revolusioner guna menghancurkan imperialisme-kapitalisme. Dengan
cara demikian rakyat Indonesia bisa menjadi lebih baik memperbaiki nasib diri sendiri.
Pergerakan nasional yang revolusioner ini harus terjadi secara besar-besaran. Marhaenisme
80Ibid.,253-254.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 63
harus menjadi penggerak yang radikal dalam perjuangan rakyat Indonesia dan tidak ada
istilah kerjasama dengan pihak Imperialisme dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Gerakan revolusioner tersebut harus terus-menerus ada, sampai Imperialisme dan
Kapitalisme hilang di Indonesia. Sikap radikal ini muncul oleh karena rakyat menderita
berkepanjangan.81
Sukarno melihat, bahwa diseberang sana ada kemerdekaan yang dicita-citakan
rakyat. Apabila kemerdekaan telah dicapai nanti, maka akan berlaku terus sistem Sosio-
Ekonomi, Sosio-Demokrasi yang merupakan perwujudan dari Sosio-Nasionalisme. Tidak
boleh berlaku sistem ekonomi dan politik borjuis dalam kehidupan Negara Indonesia yang
merdeka. Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme,
imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan
sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang
menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala
sistem yang menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori
perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner
untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan
menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang
merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk
formalnya sebagai filsafat yaitu Pancasila.
81 Ibid.,
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 64
A.2.3. Pancasila sebagai kelanjutan Marhaenisme
Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secaradetail
dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Sukarnosebagai Pancasila.
Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,Sukarno menawarkan gagasan
ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan).
3. Mufakat (Demokrasi).
4. Kesejahteraan Sosial.
5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.82
Menurut John Legge Tidak mengherankan, jika Sukarno meletakkan nasionalisme
sebagai prinsip dasar pertama. Sukarno menjelaskan nasionalisme (kebangsaan) harus
dipahami tidak dalam artiannya yang sempit, bebas dari kekuasaan asing, akan tetapi dalam
arti positif membangkitkan rasa kesadaran dari rakyat. Definisi Renan tentang nasionalisme
dalam kata-kata “keinginan bersatu” tidak cukup baginya, karena definisi ini dapat
dipergunakan untuk membenarkan nasionalisme suku, kelompok-kelompok kecil penduduk.
Sebaliknya, nasionalisme Indonesia harus menjangkau lebih luas lagi dari kesatuan-kesatuan
masyarakat suku dan terdiri dari seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang
telah ditentukan Tuhan, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara
sumatera sampai ke Irian! Sukarno melihat persatuan Indonesia berdasarkan kebesaran
82Saefroedin Bahar, Ananda B Kusuma & Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan
Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945- 22 Agustus 1945, dengan kata pengantar oleh Taufik Abdullah ( Jakarta: Sekretaris Negara R.I., 1995), 101.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 65
abad-abad lalu.Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan jelas untuk
mengembalikan rasa berbangsa satu ini memerlukan tindakan positif. Nasionalisme dalam
arti kata yang sebenarnya berarti bukan kebangsaan jawa, bukan kebangsaan Sumatra,
bukan kebangsaan borneo, Sulawesi, bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi satu national staat.83
Nasionalisme juga perlu dipahami bersama dalam prinsip dasar yang kedua, yaitu
Internasionalisme.Prinsip nasionalisme ada bahaya menjadi patriotisme sempit dan perlu
diimbangi dengan rasa hormat kepada bangsa-bangsa lain, yaitu internasionalisme.Tetapi
internasionalisme itu sendiri perlu dibedakan dari kosmopolitanisme yang tidak mengakui
lagi adanya nasionalisme.Sebaliknya, internasionalisme harus berakar di dalam buminya
nasionalisme. Dengan demikian kedua prinsip dasar itu bergandengan erat satu sama lain.84
Begitu juga dengan demokrasi dan keadilan sosial bergandengan erat dalam
pikirannya. Demokrasi (pemerintahan perwakilan atau musyawarah-mufakat) akan
memungkinkan berlakunya keadilan bagi berbagai kekuatan untuk dengan jujur bersaing
satu sama lain dalam kerangka perwakilan pemerintahan. Tetapi demokrasi politik saja
belum menjamin adanya kesejahteraan untuk semua.Pada demokrasi-demokrasi barat,
katanya, kaum kapitalis mengontrol segala-galanya dan di situ tidak ada keadilan sosial dan
demokrasi ekonomi.85
Pada gagasan yang terakhir, Sukarno menyatakan bahwa Negara yang akan
berdiri ini harus berdasarkan kepercayaan kepada ke-Esaan Tuhan, dan prinsip ini harus
terbuka bagi pelaksanaan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Bukan saja
83John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 215. 84Ibid., 85Ibid, 215-216.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 66
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan,
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang
Islam Bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namundalam
kesempatan tersebut, Sukarno tidak menawarkan permanen. Konsep inimasih terbuka untuk
dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarnomenawarkan konsep Trisila yang secara
substansial merupakan kristalisasi darikonsep Pancasila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-
demokrasi, dan ketuhanan.Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan
internasionalismebisa disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat
dankesejahteraan bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan
prinsipKetuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan
konsepMarhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah
denganKetuhanan Yang Maha Esa.86 Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam
pernyataannya:
“atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan limaitu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja..... Dua dasar yang pertama,kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, sayaperas menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme....Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilahyang dahulu saya namakan sosio-demokrasi...... Tinggal lagi ketuhanan yangmenghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan.87
86Sukarno, Revolusi Indonesia,51-52. 87Saefroedin Bahar, Risalah, 52.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 67
Kemudian Sukarno menawarkan kembali perubahan konsep ini, dari trisila dapat
digabungkan menjadi satu bagian, menjadi satu prinsip. Dalam mendirikan Negara
Indonesia semua harus bertanggung jawab semua untuk semua, katanya:
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong!
Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!88
Menurut John Legge, dalam pernyataan yang luar biasa ini, maka seluruh usaha-
usaha Sukarno untuk mewujudkan sintesis dan persatuan mendapat bentuk yang paling
nyata. Dilihat dari isi intelektualnya, pidato Pancasila itu tidak banyak menambahkan
gagasan-gagasan pemikiran sebelumnya. Nasionalisme, dalam pidato itu, tidak
dikemukakan sebagai prinsip yang mengenyampingkan, yang tidak mampu merukunkan
pendirian yang saling bersaing; tetapi dengan memberi tekanan pada pentingnya keadilan
sosial dan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prinsip-prinsip dasar revolusi, Sukarno,
bagaimanapun, telah menggemakan kembali pemikirannya yang dahulu dalam tulisannya
“Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dengan memeras kelima prinsip dasar menjadi tiga
dan dari tiga menjadi satu, ia telah menekankan keaslian sifat prinsip-prinsip ini dan
mengatakan bahwa ini cocok dengan tradisi Indonesia. Sebagai keseluruhan, pidato itu
membuka pandangannya yang luas dan baru tentang persatuan dan ia disambut dengan
aklamasi yang gegap gempita.89
A.3. Kesimpulan
Untuk memahami pemikiran Sukarno tentang Nasionalisme, harus meletakkan
dasar pemikiran tersebut dalam konteks politik, budaya, ekonomi dan situasi masyarakat
88Ibid.,103. 89John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 216-217.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 68
yang terjadi. Dari sini akan ditemukan, bahwa pemikiran Sukarno terjalin erat dengan upaya
bangsanya untuk melepaskan diri dari penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Pengaruh
pemikiran politik sangat mempengaruhi cara berpikir Sukarno. Dengan adanya politik etis
pada tahun 1901 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, membuka kesempatan bagi
masyarakat umum untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah Eropa.Dan Sukarno
merupakan salah satu dari sedikit pribumi yang mendapat kesempatan menikmati
pendidikan di sekolah-sekolah tersebut, bahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu
masuk ke perguruan tinggi. Di jenjang inilah Sukarno mulai mengenal dan menggumuli cara
berpikir para pemikir-pemikir Barat. Hal tersebut membentuk dan mendorong Sukarno
untuk lebih mengenal kelompok-kelompok intelektual Indonesia, diantaranya Studi Club di
Bandung, para pendiri Indische Partij, Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan intelektual
Indonesia lainnya. Bagian-bagian ini, selanjutnya saling menjalin dalam diri Sukarno yang
melahirkan pemikiran khas dari Sukarno. Dengan kata lain, pemikiran Sukarno merupakan
pertemuan antara pengalamannya sebagai seorang politisi di masanya, keluarga,
pergaulannya dengan para aktifis pejuang Indonesia, pendidikan formal yang diikutinya dan
keterlibatannya dalam pergerakan kebangsaan, serta pengaruh budaya Jawa yang kental
telah banyak mempengaruhi pola pikirnya dalam dunia perjuangan.
Arus sentral pemikiran Sukarno adalah persatuan.berakar pada pemikiran tentang
persatuan ini, Sukarno menciptakan Sintesis dari tiga aliran politik utama dalam masyarakat
Indonesia pada waktu itu yakni: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. pemikiran
nasionalisme yang dikembangkan Soekarno pada waktu itu memberikan suatu arah baru
bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme ini sekaligus menjadi antitesis
terhadap nasionalisme yang sedang berkembang pada saat itu yaitu nasionalisme yang
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 69
berdasarkan kedaerahan atau kesukuan.Kemudian langkah berikut yang dilakukan oleh
Sukarno adalah mengembangkan sebuah paham yang ia sebut Marhaenisme yang adalah
cerminan dari kehidupan rakyat kecil Indonesia. Paham ini merupakan gabungan dari
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Puncak dari pemikiran Sukarno yang
berkembang sejak tahun 1920-an mencapai bentuknya yang final pada tanggal 1 Juni 1945
yaitu dalam bentuk rumusan Pancasila. Dalam perkembangannya, Pancasila diterjemahkan
kedalam Manipol-USDEK yang berisi pokok-pokok dan tujuan Revolusi Indonesia. Dari
sini mulai terjadi penyimpangan terhadap Pancasila, Sukarno mulai menggunakan Pancasila
untuk tujuan-tujuan politiknya begitu juga masa pemerintahan Soeharto. Namun tidak dapat
dipungkiri, lima prinsip dasar Pancasila yang dirumuskan Sukarno merupakan pondasi yang
kokoh yang tercipta berdasarkan keadaan sosial masyarakat Indonesia dan juga hasil dari
pemikiran yang luar biasa dari seorang Sukarno yang kaya akan pengetahuan.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 70
B. Hatta
B.1 Pembentukkan Pemikiran Hatta
B.1.1 Masa Kecil Hatta
Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia
dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya yang bernama Siti Saleha. Ayahnya, Haji Mohammad
Djamil, meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Menurut Nurcholish Madjid, Hatta adalah putra
seorang guru mursyid sebuah persaudaraan sufi atau tarekat di Sumatera Barat. Nama pribadi
Hatta berasal dari Muhammad Ata yang diambil dari nama yang lebih lengkap, yaitu (Ahmad
ibn) Muhammad (ibn Abdal Karim ibn) Ata-il-Lah al-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam
(berbagai ajaran kearifan), sebuah kitab tasawuf yang terkenal di kalangan pesantren. Dari pihak
ibu, Hatta adalah keturunan keluarga saudagar. Kombinasi keluarga ulama dan keluarga
saudagar, membuat hatta berpenampilan sebagai insan berjiwa sufi. Orang yang berjiwa sufi
adalah rendah hati (modest), jujur, sederhana dan santun. Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Hatta adalah anak laki-laki satu-satunya, Hatta belajar mengaji di masa kecil dan
remaja kepada Syekh Mohammad Djamil Djambek di Bukittinggi dan H. Abdullah Ahmad di
Padang.90
Dalam buku Memoir, Hatta menjelaskan bahwa asal-usulnya dari pihak ayah, merupakan
keturunan ulama tarekat terkemuka, yaitu Syaikh Abdurrahman. Anak syaikh tersebut yang
dipanggilnya Ayah Gaek Arsad, juga dikenal sebagai Syaikh Batuhampar. Akan tetapi,
masyarakat umum memanggil Tuanku nan Mudo, sebagaimana kelaziman pada ulama kaum
tarekat, yang hingga kini masih berlaku. Selama berada di Bukittinggi, sekali enam bulan Hatta
90Adhe Firmansyah, Hatta, Si Bung yang Jujur & Sederhana, ( Jogjakarta: Garasi, 2013), 18-19.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 71
menemui Ayah Gaek itu ke Batuhampar. Kepadanyalah Hatta bertanya kritis tentang
pemahaman tauhid dan akidah yang tidak masuk akalnya, tapi diyakini masyarakat pada
umumnya. Misalnya tentang keberadaan Tuhan di langit ketujuh dan perintahnya dilayani oleh
malaikat dan bidadari. Meskipun tidak menganut ajaran tarekat, Hatta menjadi muslim yang
saleh demi menghormati predikat nenek moyangnya yang ulama terkemuka itu, disamping
keyakinannya sendiri tentang agama yang dianutnya.91 Dari pihak ibunya, keluarga ibu Hatta
merupakan pengusaha yang berhasil, terlibat dalam berbagai perusahaan, termasuk ekspor kayu,
bisnis angkutan dan kontrak pos dengan pemerintah. Untuk itu, Hatta tumbuh dalam lingkungan
keluarga yang selalu memperhatikan persoalan komersial sebagai yang utama.92
Ketika Hatta berumur 6 tahun, pada 1908, Hatta mengalami pengalaman pahit, pada
waktu itu di alur Tanjungkang, Bukittinggi, sejumlah serdadu marsose dengan bayonet terhunus
menggeledah orang-orang yang lewat. Pemerintah kolonial murka, karena di Kampung Kamang,
16 km dari rumah Hatta, rakyat berontak; mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika
konflik meletus, 12 orang marsose tewas dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan,
orang-orang ditangkap. Termasuk di antara orang yang ditangkap adalah Rais, sahabat kakek
Hatta. Momen ketika Rais melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai tak
pernah hilang dari ingatan masa kecil Hatta. Pengalaman demi pengalaman pahit mengembleng
Hatta.93
Sejak kecil, Hatta merupakan pribadi yang sangat disiplin dan tertib. Hal ini terlihat dari
penuturan kakak kandung Hatta, yaitu Ny. R. Lembaq tentang pribadi Hatta kecil.Menurut Ny.
R. Lembaq Tuah (kakak kandung Hatta), Hatta merupakan pribadi yang tertib sejak kecil.
91 Salman Alfarizi, Hatta, Biografi Singkat 1902-1980,(Jogjakarta: Garasi, 2009), 12-13. 92 Mavis Rose, Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta,Terj. Hermawan S. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1991), 7 93 Salman Alfarizi, Hatta, Biografi Singkat 1902-1980,15-16.
-
Gerald J. Tampi 752011042 | 72
Pernah pada suatu waktu saat Hatta memiliki sebuah block-note yang baru, yang belum terpakai, yang diletakkan diatas meja belajarnya. Pada suatu ketika, Hatta menemukan satu lembar dari block-note nya telah terisi tulisan salah satu paman kami. Paman mencatat beberapa perintah untuk tukang yang sedang bekerja di rumah kami. Hatta protes, marah dan menangis. Paman berusaha membujuknya, “baiklah, apa yang sudah ku tulis di situ disobek saja ……. “baiklah paman ganti
dengan yang baru”. Hatta tetap tidak mau. Hatta tidak menginginkan yang baru,
melainkan ia kecewa barangnya diganggu dan kenapa paman kami tidak meminta izin terlebih dahulu. Hatta tetap menangis dan pada akhirnya paman pun ikut menangis, karena paman tidak tahu apa yang harus dilakukan.94
Sejak kecil, Hatta bersekolah di sekolah Belanda. Dia menyelesaikan pendidikan
dasarnya di Europe Lagere School (ELS) di Bukittinggi pada 1916. Kemudian menyelesaikan
Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) di Padang pada 1919. Pada 1921, dia menyelesaikan
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Batavia. Usai menamatkan sekolah
dagang, Hatta kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi di Nederland Handelshogeschool, Rotterdam,
Belanda.95
Selama menempuh studi di Rotterdam, Hatta memp