bab ii_22_2
TRANSCRIPT
11
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Belajar
Jenis-jenis belajar yang termasuk dalam pembelajaran fisika adalah belajar abstrak
dan belajar pengetahuan.
1) Belajar abstrak : belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya
adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak
nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat
disamping penguasaan atas prinsip, konsep dan generalisasi. Termasuk dalam jenis
ini misalnya belajar matematika, astronomi, filsafat dan materi bidang studi agama
seperti tauhid.
2) Belajar pengetahuan : belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam
tehadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah
program belajar terencana untuk menguasi materi pembelajaran dengan melibatkan
kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1998). Tujuan belajar pengetahuan ialah
agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap
pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam
mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan
penelitian lapangan.
Contoh : kegiatan siswa dalam bidang ilmu sains mengenai gerak menurut
hokum newton I. dalam hal ini siswa melakukan eksperimen untuk membuktikan bahwa
12
setiap benda tetap diam atau bergerak secara beraturan, kecuali kalau ada gaya luar yang
mempengaruhinya (Syah, 2013:120-122).
2.2 Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mengaitkan materi pelajaran
dengan kehidupan nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan
yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka (Nurhadi dkk., 2004:11). Hal ini
bersesuaian dengan pernyataan Depdiknas (2004:18) dalam Ruswandi (2013:283) yang
menyatakan, “Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
peserta didik dan mendorongnya membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari”. Dengan demikian
pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia
nyata, berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, keaktifan siswa, kritis, kreatif,
memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasyikkan, tidak membosankan
dengan menggunakan berbagai sumber belajar.
Pembelajaran akan bermakna jika guru lebih menekankan agar peserta didik
mengerti relevansi apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi nyata dimana isi
pelajaran akan digunakan. Peserta didik akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya
terkait dengan pengetahuan dan kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi di
sekelilingnya. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual menempatkannya dalam
13
konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awalnya dengan materi yang
sedang dipelajari. Sehubungan dengan hal itu maka pendekatan pengajaran kontekstual
harus menekankan pada hal belajar berbasis masalah, pengajaran autentik, belajar
berbasis inkuiri, belajar berbais proyek/tugas, belajar berbasis kerja, belajar berbasis
jasa-layanan, dan belajar koperatif (Nurhadi dkk., 2004:19).
Menurut Ruswandi (2013:289) pembelajaran kontekstual membantu peserta didik menguasai tiga hal yaitu : (1) Pengetahuan, yaitu apa yang dipikirkannya membentuk konsep, definisi, teori dan fakta. (2) Kompetensi atau ketrampilan yaitu kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk bertindak atau sesuatu yang dapat dilakukan. (3) Pemahaman kontekstual yaitu mengetahui waktu dan cara bagaimana menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam situasi kehidupan nyata.
Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, unutk menerapkan
pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:
1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental peserta
didik
2) Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung
3) Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri
4) Mempertimbangkan keragaman peserta didik
5) Memperhatikan multi-intelegensi peserta didik
6) Menggunakan teknik-teknik bertanya
7) Menerapkan penilaian autentik
14
Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan
lima langkah strategi bagi pendidik dalam rangka menerapkan pembelajaran kontestual
yang disingkat dengan REACT yaitu:
1) Reacting : belajar mengaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata
2) Experiencing: belajar ditekankan kepada penggalian, penemuan dan penciptaan
3) Appling: belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks
pemanfaatannya.
4) Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama
dan sebagainya.
5) Transferring: belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau
konteks baru.
Pembelajaran kontekstual menggunakan situasi kehidupan nyata dari masyarakat
setempat. Melalui metode ini siswa diharapkan dapat menggaplikasikan pengetahuan
dan keterampilan yang telah mereka kembangkan. Contohnya dalam pelajaran
matematika. Guru mengembangan pengetahuan dan pemahaman peserta didik dari
proses dan langkah-langkah penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian.
Selanjutnya guru mengembangkan ketrampilan peserta didik dalam mengaplikasikan
langkah-langkah tersebut dalam memberikan masalah kehidupan nyata untuk
dipecahkan. Misalnya, ketika peserta didik berbelanja I took atau pasar, maka mereka
dapat menghitung uang dan belanjaannya dengan benar (Ruswandi, 2013:290). Menurut
Bradway dan Hill (2003:212) model pembelajaran memiliki pengaruh besar pada
15
pengalaman akademis anak kelas delapan. Performan akademis yang tipikal menyertai
model-model pembelajaran dan melihat dengan cara berbeda dimana anda dapat
membangun kemunikasi positif ”.
Dalam penerapan pembelajaran di kelas, tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi dkk. (2004:32) yaitu: (1) Konstruktivisme: peserta didik belajar sedikit demi sedikit dari konteks terbatas, siswa mengkostruksi sendiri pemahamannya dan pemahaman yang mendalam diperoleh melalui pembelajaran bermakna. (2) Inkuiri: siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis dan merumuskan teori baik perorangan maupun kelompok. Diawali oleh pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep/fenomena. Melalui pembelajaran dapat dikembangkan dan digunkan ketrampilan berpikir kritis. (3) Permodelan: membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana cara yang selayaknya peserta didik ketika belajar dan melakukan apa yang diinginkan dalam pembelajaran agar dikuti oleh siswa. (4) Penilaian autentik: menilai dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber, mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa, mempersyaratkan penerapan pengetahuan dan pengalaman, tugas-tugas yang kontekstual dan relevan, proses dan produk keduanya dapat diukur. (5) Refleksi: cara-cara berpikir tentang apa yang dipelajari, menelaah dan merespon terhadap kejadian dan pengalaman, mencatat hal yang telah dipelajari dengan penambahan ide-ide baru, releksi dapat berupa jurnal, diskusi dan karya seni. (6) Masyarakat belajar: berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. (7) Bertanya: mendorong peserta didik untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi. Digunakan untuk menilai kemampuan siswa berpikir kritis, melatih siswa untuk berpikir kritis.
Menurut Ruswandi (2013:284) tujuh azas penerapan pembelajaran kontekstual di
kelas yang telah dipaparkan di atas disebut sebagai 7 utama pembelajaran efektif. Semua
komponen tersebut akan dibahas secara detil dalam uraian berikut ini.
16
2.2.1 Konstruktivisme
Konstruktivisme yaitu mengembangkan pemikiran peserta didik akan belajar
lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. Belajar pada dasarnya mencari alat untuk
membantu memahami pengalaman. Belajar adalah perubahan proses mengkonstruksi
pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dialami sebagai hasil interkasinya dengan
lingkungan sekitarnya. pengalaman tersebut disusun dalam pikiran. Pengetahuan yang
diperoleh adalah hasil interpretasi peserta didik sebagai hasil usahanya sendiri
berdasarkan hubungannya dengan dunia sekitar, bukan berasal dari apa yang diberikan
guru. Ole karena itu, guru pada saat mengajar hendaknya berusaha membantu peserta
didik dalam merekonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalamannya, bukan
menyampaikan sejumlah informasi secara utuh.
Bagi konstruktivis, pengetahuan tidak dapat dipindahkan langsung begitu saja
dari guru ke peserta didik, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
peserta didik melalui proses mengkonstruksi pengetahuannya karena pengetahuan
merupakan suatu proses yang berkembang terus menerus dan berubah. Pengetahuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan ataupun gambaran dari dunia nyata yang ada.
Panca indera merupakan sarana yang tersedia untuk mengetahui sesuatu melalui
berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan cara melihat, mendengar, memegang,
mencium dan merasakan. Dari sentuhan inderawi itulah peserta didik dapat membangun
gambaran dunianya. Ada lima elemen belajar konstruktivistik yaitu pengaktifan
17
pengetahuan yang sudah ada, pemerolehan pengetahuan baru, pemahaman pengetahuan,
mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman serta melakukan refleksi terhadap strategi
pengembangan pengetahuan tersebut.
2.2.2 Bertanya (Questioning)
Bertanya yaitu mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan cara
bertanya. Melalui proses ini, mereka akan mampu menjadi pemikir yang handal karena
dirangsang untuk mampu mengembangan ide/gagasan dan pengujian baru yang inovatif,
mengembangkan metode dan teknik untuk bertanya, bertukar pendapat dan berinteraksi.
Dalam proses pembelajaran pertanyaan dari guru dapat merangsang timbulnya kegiatan
belajar. Peserta didik dapat mengembangkan kebebasannya mengeluarkan aspirasi
berupa pendapat, pertanyaan atau jawaban, bahkan menguji suatu ide atau teori maupun
praktek penyelenggaraannya yang sesuai fakta (logis) dan penalaran.
2.2.3 Menemukan (Inquiry)
Inquiry merupakan kegiatan menemukan dan menangani permasalahan yang
dihadapi di dunia nyata. Menurut Wisudawati dan Sulistyowati (2014), inkuiri adalah
suatu proses pembelajaran yang didasarkan pada penemuan pengetahuan/konsep melalui
proses berpikir secara sistematis menggunakan metode ilmiah. Menurut Ruswandi
(2013:287) guru harus merencanakan situasi pembelajaran sedemkian rupa yang dapat
memungkinkan terbentuknya sikap ilmiah. Peserta didik belajar atau bekerja
18
menggunakan prosedur yang ilmiah dengan mengenali masalah, menjawab pertanyaan,
menggunakan prosedur penelitian/inverstigasi dan menyiapkan kerangka berpikir,
hipotesis dan penjelasan yang relevan dengan pengalamn pada dunia nyata Inkuiri pada
dasarnya adalah suatu ide yang kompleks, yang berarti banyak hal bagi banyak orang
dalam berbagai konteks. Inkuiri adalah bertanya mengenai hal yang berhubungan
dengan topik pembicaraan. Pertanyaan yang diajukan harus dapat dijawab sebagian atau
keseluruhannya setelah adanya pengujian atau penyelidikan secara bermakna.
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang dihasilkan oleh
peserta didik bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri yang tak lepas dari bimbingan guru tentunya.
Belajar dengan penemuan mempunyai beberapa keuntungan. Pembelajaran ini
memacu peserta didik untuk mengetahui, memotivasi mereka untuk melanjutkan
pekerjaannya hingga mereka menemukan sendiri jawabannya. Pengajaran inkuiri
membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan
kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Kegiatan inkuiri sebenarnya sebuah siklus
yang terdiri dari langkah-langkah seperti merumuskan masalah, mengumpulkan data
melalui observasi, menganalisis dan menyajikan hasil (baik berupa tulisan, gambar,
laporan, tabel, bagan dan karya lainnya), serta mengkomunikasikan atau menyajikan
hasil karya pada pembaca, teman sekelas atau audiens lain (Nurhadi dkk., 2004:43).
19
Siklus inkuiri meliputi observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan
data dan penyimpulan. Inkuiri adalah suatu proses yang bergerak dar langkah observasi
hingga sampai langkah pemahaman. Inkuiri dimulai engam observasi yang menjadi
motif untuk memunculkan pertanyaan yang diajukan peserta didik. Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut diperoleh dari siklus pembuatan prediksi, perumusan hipotesis,
pengembangan cara-cara pengujian hipotesis, pembuatan observasi lanjutan, penciptaan
teori dan model-model konsep yang didasarkan pada data dan pengetahuan.
2.2.4 Masyarakat belajar (learning community)
Masyarakat belajar yaitu menciptakan masyarakat yang menjadikan belajar
sebagai bagian dari kegiatan atau kehidupannya. Masyarakat dapat dijadikan sumber
belajar untuk mengembangkan pemahaman pembelajarn kontekstual. Masyarakat
dimanfaatkan sebagai nara sumber sebagai konteks bagi peserta didik unuk
pembelajaran kontekstual di sekolah. Bias pula pemanfaatan masyarakat itu dengan
membawa mereka ke dalam lingkungan masyarakat untuk mengalami pembelajaran
yang tidak didapatkan di sekolah atau untuk menerapkan materi pembelajaran di
sekolah. Misalnya, mereka di bawa ke sungai untuk belajar langsung berkaitan dengan
benih ikan, cara memelihara, memanen dan mengolahnya hingga menjualnya.
2.2.5 Permodelan (modeling)
20
Permodelan yaitu orang yang dijadikan contoh pembelajaran dengaan tujuan
peserta didik lebih mudah memahami dan menerapkan proses dan hasil belajar jika
dalam pembelajaran guru menyajikan dalam bentuk model, bukan hanya dalam bentuk
lisan. Mereka akan mampu mengamati dan mencontoh apa yang ditunjukkan oleh guru.
Oleh karena itu, guru hendaknya mempertunjukkan hal-hal yang penting dan mudah
diterima oleh peserta didik. Guru menjadi model dan memberi contoh untuk dilihat dan
ditiru karena guru akan bertindak sebagai model. Ketika guru sanggup melakukan
sesuatu, maka peserta didik pun akan berpikir sama bahwa mereka bisa melakukannya
juga.
2.2.6 Refleksi (reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang
telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam
struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang
dimilikinya.
Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap berakhir proses pembelajaran,
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungat kembali apa yang telah
dipelajarinya. Kemudian secara bebas siswa akan mengungkapkan kembali
pengalamannya sendiri, yang akhirnya mampu menyimpulkan pengalaman belajarnya.
21
2.2.7 Penilaian sebenarnya ( authentic assessment)
Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar peserta didik. Penilaian ini diperlukan untuk
mengetahui apakah mereka belajar atau tidak, apakah pengalaman mereka memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental.
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses
pembelajaran, yang dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran
berlangsung dan meliputi semua aspek domain penilaian. Oleh karena itu, penilaian
diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar. Penilaian autentik
merupakan cermin nyata dari kondisi pembelajaran peserta didik. Penilaian autentik
disebut pula sebagai penilaian alternative, penilaian kinerja, penilaian informal dan
penilaian berlandaskan situasi (Warsono & Hariyanto, 2013:268).
Penilaian autentik didefinisikan sebagai bentuk penilaian yang mengharuskan
para peserta didik untuk melaksanakan tugas-tugas dunia nyata yang menunjukkan
aplikasi yang bermakna dari suatu pengetahuan atau ketrampilan esensial (Mueller,
2011). Stiggnis (1994) mendefinisikan asesmen kinerja atau asesmen autentik sebagai
penilaian yang mempersyaratkan peserta ujian untuk menunjukkan kecakapan khusus
dan kompetensi khusus, maknanya menerapkan kecakapan dan pengetahuan yang telah
dikuasainya. Mueller membandingkan perbedaan antara penilaian tradisonal dengan
penilaian autentik pada Tabel 2.1.
22
Tabel 2.1 Perbedaan Penilaian Tradisional dan Penilaian AutentikPenilaian Tradisional Penilaian Autentik
Memilih suatu tanggapan Mengerjakan tugas
Buatan Dunia nyata
Mengingat/mengenali Konstruksi/penerapan
Struktur oleh guru Struktur oleh peserta didik
Bukti tidak langsung Bukti langsung
(Sumber: Mueller, 2001)
Dalam penilaian autentik, para peserta didik tidak hanya menyelesaikan dan
menunjukkan perilaku tertentu yang diinginkan sesuai dengan rumusan tujuan
pembelajaran, tetapi juga mampu mengerjakan sesuatu terkait dengan konteks kehisupan
nyata. Dalam penilaian autentik ini, penilian didefinisikan tidak hanya berhubungan
dengan produk suatu proses pembelajaran saja, tetapi juga mencakup semua proses
mengajar dan belajar atau yang sekarang terangkum dalam satu istilah pembelajaran.
Dengan demikian, kegiatan penilaian tidak terbatas pada karakteristik peserta didik saja,
tetapi juga mencakup karakteristik metode pembelajaran, kurikulum, fasilitas dan
administrasi sekolah (Warsono & Hariyanto, 2013:269).
Penilaian autentik menggunakan berbagai format penilaian, antara lain daftar cek
(check list), jurnal, catatan bacaan harian (reading logs), portofolio, video dari
permainan peran, diskusi yang direkam dalam audio-tapes, kuesioner evaluasi diri,
pengamatan guru, catatan secara anekdot untuk menilai berbagai kinerja siswa. Format-
format-format ini dapat menunjukkan apakah para peserta didik benar-benar
mengerjakan sesuatu dibandingkan sekedar mengingat sesuatu (Warsono & Hariyanto,
2013:270).
23
2.3 Pemahaman
Menurut Indrawan (2008), pemahaman berasal dari kata “paham” yang berarti
mengerti, sedangkan pemahaman didefiniskan sebagai proses atau cara untuk memahami
atau mengerti. Seseorang dapat dikatakan paham tentang suatu hal, apabila sudah
mengerti, dapat mengartikan dan menjelaskannya kepada orang lain. Pemahaman konsep
didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik memahami dan dapat menerapkan
konsep-konsep baik secara teori maupun penerapannya. Peserta didik akan
mengembangkan pemahamannya dengan baik jika mereka dapat secara mudah
mengkaitkan antara sesuatu yang telah mereka kenal dengan pengetahuan dan
pemahaman yang baru atau yang belum dikenal (Nurhadi dkk., 2004). Keberhasilan
dalam belajar ditandai oleh penyediaan lingkungan belajar yang membantu membuat
hubungan-hubungan tersebut, sehingga selanjutnya mereka mampu menyadari adanya
saling hubungan antara materi dan peranannya dalam situasi kehidupan nyata.
Menurut Sunarto dkk. (2002:11), kemampuan kognitif merupakan kemampuan
yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendapat tersebut
diperkuat dengan adanya pernyataan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan
berpikir dan kemampuan yang berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan, pengenalan,
pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran (Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Umum, 2002:46).
24
Sudjana (1995:24) menyatakan pemahaman dapat dibedakan menjadi tiga
kategori. Ketiga kategori tersebut akan diuraikan seperti berikut ini.
1) Pemahaman terjemahan
Pemahaman yang diawali dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya. Misalnya dari
bahasa bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, mengartikan Bhineka Tunggal Ika,
mengartikan Merah Putih, menerapkan rinsip-prinsip listrik dalam memasang
sakelar. Pemahaman ini berkaitan dengan kemampuan mengungkapkan tentang
sesuatu dengan bahasa sendiri dengan simbol tertentu termasuk ke dalam.
2) Pemahaman penafsiran
Pemahaman yang menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui
berikutnya, menghubungkan antara unsur dari keseluruhan pesan suatu karangan,
menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang
pokok dan yang bukan pokok.
3) Pemahaman ekstrapolasi
Pemahaman yang menekankan pada kemampuan melihat di balik yang tertulis, dapat
membuat ramalan tentang konsekuensi atau memperluas persepsi dalam arti waktu,
dimensi, kasus, ataupun masalahnya. Pemahaman ini mengungkapkan kemampuan
melihat di balik pesan yang tertulis dalam suatu keterangan atau tulisan.
Karakteristik soal-soal pemahaman biasanya bercirikan pengungkapan tema,
topik, atau masalah yang sama dengan yang pernah dipelajari atau diajarkan, tetapi
materinya berbeda. Menurut Sudjana (1995:25), sebagian item pemahaman dapat
25
disajikan dalam bentuk gambar, denah, diagram atau grafik. Dalam tes objektif tipe
pilihan ganda dan tipe benar salah banyak mengungkapkan aspek pemahaman. Deskripsi
penilaian untuk ranah kognitif pemahaman ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Penilaian Ranah Kognitif PemahamanTujuan Pembelajaran
dalam Ranah
Kognitif Pemahaman
Contoh-contoh Jenis Penilaian Cara Mengukurnya
Peserta didik
mampu untuk:
Menafsirkan
Memberikan
contoh
Menggolongkan
Meringkaskan
Membuat
simpulan
Membandingkan
Menjelaskan
Makalah, ujian akhir tertulis, soal-soal,
diskusi kelas, peta konsep, tugas PR antar
lain:
-Membuat ikhtisar atau ringkasan bacaan,
membuat film, menyiapkan pidato;
-Membandingkan atau membuat kontras
antara dua atau lebih teori, kejadian, proses
dan sebagainya.
-Mengklasikan atau membuat kategori kasus-
kasus, unsur-unsur, kejadian, menggunakan
kriteria tertentu;
-Menyiapkan pidato dengan kalimat sendiri
-Menemukan atau mengidentifikasikan
contoh-contoh atau ilustrasi sebuah konsep,
prinsip dan lain-lain
Membuat skor atau
menggunakan
rubrik kinerja
peserta didik, yang
mengidentifikasikan
komponen kritis
dari karya siswa
dan dapat membuat
perbedaan antara
berbagai level yang
berbeda dari
kecakapan peserta
didik a sesuai
komponen yang
ada.
(Sumber : Warsono & Hariyanto, 2013)
2.4 Kemampuan Berpikir Logis
Menurut Ahmadi dan Supriyono (2008:31), berpikir adalah daya yang dapat
meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Berpikir itu merupakan proses
26
yang dialektis artinya selama kita berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab,
untuk dapat meletakkan hubungan pengetahuan. Alat yang diperlukan dalam berfikir
adalah akal (rasio). Hasil berpikir itu dapat diwujudkan dengan bahasa. Menurut Solso
dkk. (2007:402), berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru
melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang
mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah
logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan.
Solso dkk. (2007:402) menyatakan, ada tiga ide dasar tentang berpikir : (1) Berpikir adalah kognitif secara internal dalam pikiran, namun keputusan diambil lewat perilaku. (2) Berpikir adalah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistim kognitif. (3) Berpikir bersifat langsung dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau langsung menuju ke solusi.
Menurut Salam (2004:40), kemampuan berpikir ada dua jenis yaitu berpikir yang
bersifat recall dan yang bersifat imajinatif. Berpikir imajinatif merupakan kemampuan
berpikir mengenai hal yang belum terjadi, dapat berbentuk objek/kejadian yang akan
terjadi dalam imajinasi. Kemampuan berpikir imajinasi harus didukung oleh
kemampuan melihat hubungan kausal dari fenomena tertentu dengan dicari sebab
akibatnya, latar belakangnya dan penyebabnya sehingga dapat dipikirkan dalam
imajinasi tentang apa yang akan terjadi dan apa akibatnya.
Kemampuan berpikir imajinatif menggunakan sistematika tertentu yang
didukung oleh logika yang kuat dalam menarik kesimpulan atau generalisasi dari adanya
hubungan kausal tersebut disebut sebagai kemampuan bepikir logis. Siswono (2008:13)
mengatakan berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan peserta didik untuk
27
menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan
kesimpulan itu benar sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah
diketahui.
Dalam berpikir terjadi proses pengolahan, pengorganisasian bagian-bagian dari
pengetahuannya yang awalnya tidak teratur menjadi tersusun menjadi suatu kesatuan hal
yang dapat dikuasai dan dipahami. Kendall dan Marzano dalam Depdiknas (2004:16)
menyatakan bahwa dalam berpikir pada umumnya melalui beberapa proses yaitu
pembentukan pengertian, pendapat dan kesimpulan. Proses yang dilewati ketika berpikir
diuraikan seperti berikut :
1) Proses pembentukan pengertian
Pada proses pembentukan pengertian meliputi proses mendapatkan pengetahuan
tentang sifat atau ciri khusus pada suatu hal melalui pengalaman atau berfikir. kita
menghilangkan ciri-ciri umum dari sesuatu sehingga tinggal ciri khas dari sesuatu.
Pada waktu kita membentuk pengertian itu ada 3 macam:
a. Pengertian pengalaman, yaitu pengertian yang diperoleh dari pengalaman-
pengalaman yang berturut-turut.
b. Pengertian kepercayaan, yaitu pengertian yang terbentuk dari kepercayaan
c. Pengertian logis, yaitu pengertian yang dibentuk dari tingkat yang satu ke tingkat
yang lain.
d. Dengan pengertian itu kita dapat berpikir secara teliti, cepat dan benar.
2) Pembentukan pendapat
28
Proses pikiran kita menggabungkan (menguraikan) beberapa pengertian sehingga
menjadi tanda masalah itu.
3) Pembentukan kesimpulan
Proses pikiran kita menarik keputusan-keputusan dari keputusan yang lain. Terdapat
3 macam cara untuk mengambil kesimpulan:
a. Kesimpulan induksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari keputusan-keputusan
khusus untuk mendapatkan yang umum.
b. Kesimpulan deduktif, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kesimpulan umum untuk
mendapatkan kesimpulan khusus.
c. Kesimpulan analogis, yaitu kesimpulan yang ditarik dengan cara membandingkan
situasi satu dengan situasi lainnya yang kita kenal kurang teliti, sehingga
kesimpulan analogi ini biasanya kurang benar. Contoh :
Situasi pertama : ibu sakit, tidur
Situasi kedua : Adik tidur
Analogisnya : Adik sakit.
Hal paling dasar yang membedakan antara berpikir logis dan berpikir lainnya
adalah pada proses pembentukan pengertian yang berupa pengertian logis atau ilmiah
yang dibentuk berdasarkan hasil penyelidikan secara bertahap dan berurut meliputi
proses menganalisis, mengabstraksi, membandingkan dan mengkombinasi (Rohmah,
2012:156-159). Otak kiri berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa,
hitungan, dan logika. Jadi otak kiri berfungsi sebagai pengendali kecerdasan intelektual.
29
Ketika memasuki usia sekolah menengah pertama, interaksi anak dengan lingkungan
semakin meluas. Beberapa faktor yang mendukung berkembangnya potensi kreativitas
diantaranya adalah kemampuan mengkombinasi tidakan-tindakan dan objek-objek
secara proposional berdasarkan pemikiran logis. Dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemikiran logis mulai muncul dan diterapkan pada usia anak sekolah menengah
pertama (Danim, 2013:135)
Kata berpikir logis sering disebut juga sebagai penalaran. Kemampuan
menggunakan penalaran dan pemecahan masalah sangat penting dalam kehidupan,
terutama bagi para peserta didik. Tingkatan SMP memiliki usia dari 12-15 tahun yang
dalam teori Piaget pada usia tersebut termasuk dalam tahapan formal-operasional. Pada
tahap ini peserta didik dianggap sudah memiliki kemampuan mengkoordinasikan secara
baik serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni kapasitas
menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan
kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar), seorang remaja akan mampu
berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan
masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang
dia respon. Sementara itu, dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak,
remaja tersebut akan mampu mempelajari mater-materi pelajaran yang abstrak seperti
agama, ilmu matematika, dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih
mendalam. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam proses berpikir berupa hubungan
sebab musabab, hubungan tempat, hubungan waktu dan hubungan perbandingan.
30
Perkembangan pikiran anak sejalan dengan perkembangan kesadaran, yaitu ;
taraf kongkret, taraf bagan dan taraf abstrak. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004:33)
bahwa hubungan antara bahasa dan berpikir itu mutlak, sebab berpikir itu sebenarnya
berbicara dengan batin dan berbicara adalah berpikir yang dilisankan serta tulisan adalah
adalah berpikir yang dituliskan. Pendapat lain bahwa nalar bahasa dan berpikir itu tidak
ada hubungannya dengan bukti bahwa sesuatu yang dipikirkan, tetapi tidak dapat
diwujudkan dalam bahasa.
Perkembangan kognitif peseta didik pada umur 11-15 tahun disebut tahap
operasi formal dimana peserta didik berada pada jenjang pendidikan akhir SD dan SMP.
Pada tahap ini si anak akan mejadi lebih konseptual dan mampu berpikir dalam ide-ide
absrak. Disini individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan kongkrit.
Dia mampu sudah berpikir lebih abstrak dan logis. Pemikiran operasional formal lebih
sistematis dalam pemecahan masalah. Mereka mulai mampu mengembangkan hipotesis
tentang mengapa sesuatu terjadi seperti itu dan kemudian menguji hipotesis ini secara
deduktif dengan atau tanpa bimbingan (Danim, 2013 :106).
Menurut Wiyani (2013:76) peserta didik mulai duduk di bangku SMP di usia 12
tahun. Menurut Piaget, usia 12 tahun merupakan dimulainya periode operasional formal.
Pada usia ini yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berpikir secara
simbolis serta dapat memahami secara bermakna tanpa memerlukan objek yang
kongkret bahkan objek visual. Dengan demikan, dapat dikatakan bahwa pada periode
31
operasional formal peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat kongkret atau
nyata serta hal-hal yang bersifat abstrak dan imajinasi.
Menurut Wiyani (2013:170) berdasarkan pengalaman belajar yang diungkapkan
oleh Peter Shea , peserta didik belajar hanya 10% dari kegiatan belajar membacanya,
20% dari apa yang didengar saat kegiatan belajar, 30% dari apa yang dilihat saat
kegiatan belajar, 50% dari apa yang peserta didik lihat dan dengar dalam kegiatan
belajar, 70% dari peserta didik katakana saat kegatan belajar, serta 90% dari apa yang
dikatakan, dan dilakukan oleh peserta didik saat kegiatan belajar.
Peserta didik pada tahap ini juga dapat mempertimbangkan kemungkinan masa
depan, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan atas kejadian yang mereka tidak
mengalaminya secara langsung. Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa
kemampuan rasional yang abstrak dan kritis berkembang melalui proses pendidikan dan
pembelajaran, serta pelatihan kontinyu. Sebagai contoh, penalaran sehari-hari siswa
mengalami peningkatan sejak tahun-tahun pertama belajar hingga menamatkan
pendidikan jenjang tertentu. Hal ini menunjukkan nilai pendidikan dalam pematangan
kognitif dirangsang oleh kontinuitas dan konsistensi proses aktivasi. Fenomena ini tidak
untuk diberik makna bahwa kecerdasan intelektual seseorang terus meningkat, karena
ada titik optimumnya (Danim, 2013:80-81).
Menurut Sternberg dalam Danim (2013), kecerdasan terdiri dari tiga aspek yaitu
kecerdasan komponensial, esperiensial dan kontekstual. Kecerdasan komponensial
mencakup aspek kritis, eksperimental mencakup aspek wawasan dan kontekstual
32
mencakup aspek praktis. Kecerdasan komponensial bermakna kemampuan untuk
menggunakan strategi pemprosesan informasi internal ketika perserta didik
mengidentifikasi dan berfikir tentang pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil.
Selain itu, terlibat juga didalamnya adalah metakonisi yang mencakup proses kesadaran
kognitif seseorang untuknmemecahkan masalah. Individu yang kuat dalam kecerdasan
komponensial umumnya memperoleh hasil baik pada tes mental standar.
Kecerdasan esperiensial mencakup kemampuan mentransfer pembelajaran secara
efektif untuk memperoleh ketrampilan baru dimana membandingkan informasi lama dan
baru serta untuk menempatkan fakta bersama dengan cara-cara yang asli. Individu yang
kuat dalam kecerdasan eksperiensial mampu mengatasi dengan baik hal-hal baru dan
cepat belajar membuat tugas-tugas secara otomatis.
Kecerdasan kontekstual mencakup kemampuan untuk menerapkan kecerdasan
praktis, termasuk memiliki kepedulian social, budaya dan konteks historis. Individu
yang kuat dalam kecerdasan kontekstual mampu dengan mudah beradaptasi dengan
lingkungan mereka, dapat berubah ke lingkungan lainnya dan bersedia memperbaiki
lingkungan mereka bila diperlukan. Bagian penting dari kecerdasan ini adalah
pengetahuan tasit (pengetahuan diam-diam) atau perolehan pengalaman yang cerdas
yang secara tidak langsung diajarkan. Pada pengetahuan ini mecakup kemampuan
memahami mekanisme kerja sistem untuk mencapai keuntungan tertentu, bekerja
dengan jalan pintas, namun cerdas.
33
Menurut Indragiri (2010:14) bahwa teori intelegensi majemuk Howard Gardner
memberi dampak yang cukup besar pada pemikiran dan praktik di bidang pendidikan
terutama di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa terdapat 9 jenis kecerdasan pada
manusia, yang mana kecerdasan-kecerdasan tersebut dapat diajarkan asalkan
disampaikan dengan cara yang sesuai, salah satunya adalah kecerdasan logis.
Menurut Howard Gardner dalam Indragiri (2010:15) bahwa kecerdasan logis
adalah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Ia mampu memikirkan dan
menyusun solusi (jalan keluar) dengan urutan yang logis (masuk akal). Ia suka angka,
urutan, logika dan keteraturan. Ia mengerti pola hubungan, mampu melakukan proses
berfikir proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir deduktif artinya cara
berpikir dari hal-hal yang besar kepada hal-hal yang kecil. Sementara proses berpikir
induktif artinya cara berpikir dari hal kecil kepada hal yang besar. Pada masa pubertas
anak bersikp reaktif dan mulai aktif berkegiatan dalam rangka menemukan pedoman
hidup (Indragiri, 2010:80).
Menurut Indragiri (2010:86), anak yang memiliki kecerdasan logis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Anak mahir dalam perhitungan yang melibatkan angka-angka. (2) Anak mampu menangani masalah yang memerlukan pemikiran logis. (3) Anak mampu mengelompokkan benda-benda sesuai dengan jenisnya. (4) Anak cukup mahir bermain monopoli, catur, ular tangga dan semacamnya. (5) Anak suka bereksperimen dengan sesuatu yang belum ia mengerti, selalu penasaran bila belum menemukan jawaban yang memuaskannya. (6) Anak mudah dalam memahami sebab akibat. (7) Anak biasanya unggul dalam pelajaran matematika dan IPA.
Menurut Jasmine (2007:20) kecerdasan logis-matematis sering dipandang dan
dihargai lebih tinggi dari pada jenis-jenis kecerdasan lainnya, khususnya dalam
34
masyarakat teknologi kita dewasa ini. Kecerdasan logis-matematis dapat didiskusikan
dan kemudian digambarkan dengan aktivitas-aktivitas yang melibatkan hal-hal berikut:
1) Bilangan dan angka
2) Berbagai macam pola
3) Berhitung, komputasi
4) Pengukuran
5) Geometri
6) Statistik
7) Kemungkinan
8) Penyelesaian maslah
9) Logika
10) Permainan strategi
11) Pembuatan grafik.
Menurut Reed (2011:333) sebuah tugas yang memiliki sisi yang abstrak atau
tidak familiar dapat sangat sulit dibandingkan dengan tugas yang sama dengan isi yang
familiar. Sebuah contoh yang mencolok dari studi Bransford dan Johnson (1973) dalam
Reed (2011) menyatakan bahwa sangat sulit bagi pembaca untuk memahami ide-ide
abstrak, kecuali jika mereka dapat menghubungkannya dengan pengalaman familiar.
Argumen yang sama juga berlaku untuk penalaran dan pemecahan masalah.
Menurut Salam (2003:123), penjelasan logis termasuk dalam salah satu
penjelasan dalam pengetahuan ilmiah. Penjelasan logis terdiri dari penjelasan dedukatif
35
dan penjelasan induktif. Penjelasan deduktif terdiri dari serangkaian tindakan berpikir
untuk menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat umum. Dengan demikian
dalam penjelasan deduktif diperlukan adanya suatu pernyataan yang bersifat umum. Hal
yang dipergunakan sebagai pangkal tolak atau dalil. Argumen atau penjelasan secara
deduktif tidaklah akan diterima begitu saja sebelum menguji premis-premis yang
dugunakannya itu. Penjelasan induktif atau biasa disebut penjelasan kausal yang
mencakup penjelasan yang menggunakan pangkal tolak pada hal-hal khusus, tertentu,
untuk sampai pada hal yang umum.
Menurut Salam (2003:140) penalaran sebagai suatu aktivitas berpikir
mempunyai dua ciri:
1) Adanya pola pikir yang disebut logika atau proses berpikir logis. Berpikir itu
mempunyai konotasi jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Sering terjadi
adanya kekacauan penalaran, artinya suatu proses berpikir itu disebut logis dari
sudut logika yang lain. Hal ini sering tidak dapat konsisten dalam memakai pola
berpikir tertentu.
2) Adanya sifat analitik dari proses berpikir dari proses berpikir manusia. Penalaran
ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang memakai logika ilmiah dan penalaran
lainnya memakai logikanya sendiri pula. Sifat analitik ini adalah konsekuensi dari
adanya suatu pola pikir tertentu. Tanpa pola pikir tersebut takkan ada kegiatan
analisis, karena pada hakikatnya analisis adalah suatu aktivitas berpikir berdasarkan
langkah-langkah tertentu.
36
Dapat disimpulkan bahwa tidak semua aktivitas berpikir adalah bersifat logis.
Jadi dapat dibedakan antara ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan bukan penalaran.
Suatu cara penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran ialah ‘merasa’.
Aktivitas berpikir manusia yang tidak berdasarkan penalaran adalah intuisi. Menurut
Ni’matus (2011: 17) karakteristik dari berpikir logis, yaitu:
1) Keruntutan berpikir: siswa dapat menentukan langkah yng ditempuh dengan teratur
dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan dari awal perencanaan hingga
didapatkan suatu kesimpulan.
2) Kemampuan untuk beragumen: siswa dapat memberikan argument secaralogis sesuai
dengan fakta atau informasi yang adaterkait dengan langkah perencanaan masalah
dan penyelesaian masalah yang ditempuh.
3) Penarikan kesimpulan : siswa dapat menarik suatu kesimpulan dari suatu
permasalahan yang ada berdasarkan langkah penyelesaian yang telah ditempuh.
Deskripsi karakteristik kemampuan berpikir logis pada penelitian ini ditunjukkan
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Karakteristik Kemampuan Berpikir Logis
NoKarakteristik Berpikir
LogisKeterangan
37
1 Keruntutan berpikir Siswa menyebutkan seluruh informasi yang sudah
diketahui dan apa yang ditanyakan di soal dengan
tepat.
Siswa dapat mengungkapkan secara umum semua
langkah yang akan digunakan dalam penyelesaian
masalah.
2 Kemampuan berargumen Siswa dapat mengungkapkan alasan logis mengenai
seluruh langkah-langkah penyelesaian yang akan
digunakan dari awal hingga mendapatkan kesimpulan
dengan benar.
Siswa dapat menyelesaikan soal-soal secara tepat
pada setiap langkah-langkah yang digunakan dalam
pemecahan masalah.
Siswa menggunakan alasan yang logis untuk jawaban
akhir yang kurang tepat
3 Penarikan kesimpulan Siswa dapat memberikan kesimpulan dengan tepat
pada setiap langkah penyelesaian.
Siswa mendapat suatu kesimpulan dengan tepat pada
hasil akhir jawaban.
(Sumber: Andriawan: 2014)
Deskripsi Indikator kemampuan berpikir logis siswa diuraikan pada Tabel 2.4
berikut ini.
Tabel 2.4 Deskripsi Indikator Kemampuan Berpikir LogisNo Tahap
pemecahan masalah
Indikator berpikir logisKeruntutan berpikir Kemampuan
berargumenPenarikan kesimpulan
38
1 Memahami masalah
Siswa menyebutkan seluruh informasi dari apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan di soal dengan tepatSiswa menyebutkan beberapa informasi dari apa yang diketahui dan apa yang ditanya di soal kurang tepatSiswa menyebutkan beberapa informasi dari apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan di soal secara tidak tepat.
2 Rencana penyelesaian masalah
Siswa dapat mengungkapkan semua langkah awal yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah
Siswa mengungkapkan seluruh langkah-langkah penyelesaian dari awal hingga mendapat kesimpulan dengan benar
Siswa hanya mengungkapkan beberapa langkah awal yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah
Siswa mengungkapkan langkah-langkah penyelesaian dari awal hingga mendapat kesimpulan kurang tepat atau terdapat kesalahan
(1) (2) (3) (4) (5)Siswa tidak mengungkapkan langkah awal yang akan
Siswa dapat menyelesaikan soal secara tepat pada
39
digunakan dalam penyelesaian masalah
setiap langkah serta dapat memberikan argument pada setiap langkah
3 Melakukan perencanaan penyelesaian
Siswa dapat menyelesaikan soal secara tepat pada setiap langkah serta dapat memberikan argument pada setiap langkah
Siswa memberikan kesimpulan dengan tepat pada tiap langlah penyelesaian
Ada langkah oal penyelesaian yang tidak sesuai rencana penyelesaian soal dan dapat memberikan argument terkait dengan langkah yang tidak sesuai tersebut
Siswa memberikan kesimpulan yang kurang tepat pada beberapa langkah penyelesaian
Siswa tidak dapat menyelesaikan soal sesuai langkah-langkah penyelesaian serta tidak dapat memberikan argumennya mengenai langkah-langkah penyelesaian yang digunakan
Siswa tidak mendapatkan kesimpulan yang benar pada langkah penyelesaian
(1) (2) (3) (4) (5)4 Melihat kembali
penyelesaianSiswa mengungkapkan alasan yang logis
Siswa mendapatkan suatu
40
untuk memberikan jawaban akhir dengan tepat
kesimpulan dengan tepat pada hasil akhir jawaban
Siswa mengungkapakan alasan yang logis untuk jawaban akhir yang kurang tepat
Siswa mendapatkan suatu kesimpulan yang kurang tepat pada hasil akhir jawaban
Siswa tidak dapat mengungkapkan alasan yang logis untuk jawaban akhir yang kurang tepat atau tidak tepat
Siswa tidak mendapatkan suatu kesimpulan tertentu pada hasil akhir jawaban
(Sumber: Andriawan: 2014)
2.5 Sifat-Sifat Cahaya
Cahaya tidak mempunyai wujud, namun cahaya yang ada disekitar kita dapat
dirasakan keberadaannya. Berdasarkan jenisnya, cahaya dibedakan menjadi cahaya yang
tampak dan cahaya yang tidak tampak. Cahaya tampak adalah cahaya yang jika
mengenai benda maka benda tersebut akan dapat dilihat oleh manusia, contoh cahaya
matahari. Cahaya tak tampak adalah cahaya yang bila mengenai benda tidak akan
tampak lebih terang atau masih sama sebelum terkena cahaya. Contoh cahaya tak
tampak adalah sinar inframerah dan sinar x. Cahaya tampak dibagi menjadi 2 yaitu
monokromatik dan polikromatik. Monokromatik adalah satu cahaya yang terdiri dari
41
satu warna, contohnya merah. Sedangkan polikromatik adalah satu cahaya yang terdiri
dari beberapa warna, contohnya ungu, merupakan kombinasi antara merah dan biru.
Kita memerlukan cahaya untuk dapat melihat. Benda-benda yang ada di sekitar
kita dapat kita lihat apabila ada cahaya yang mengenai benda tersebut, dan cahaya yang
mengenai benda tersebut dipantulkan oleh benda ke mata. Walaupun benda terkena
cahaya, jika pantulannya terhalang dari mata kita, kita tidak dapat melihat benda
tersebut, misalnya suatu benda yang berada di balik tirai atau tembok. Sebuah benda
dapat dilihat oleh mata kita karena adanya cahaya, yang memancar atau dipantulkan dari
benda tersebut, yang sampai ke mata. Berdasarkan sumbernya cahaya dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
Cahaya yang berasal dari benda itu sendiri, seperti matahari, senter, lilin, dan
lampu. Cahaya yang memancar dari benda akibat memantulnya cahaya pada permukaan
benda tersebut dari sumber cahaya. Misalnya, jika kamu melihat benda berwarna biru,
artinya benda tersebut memantulkan cahaya berwarna biru. Berdasarkan dapat tidaknya
memancarkan cahaya, benda dikelompokkan menjadi benda sumber cahaya dan benda
gelap. Benda sumber cahaya dapat memancarkan cahaya. Contoh benda sumber cahaya
yaitu Matahari, lampu, dan nyala api. Sementara itu, benda gelap tidak dapat
memancarkan cahaya. Contoh benda gelap yaitu batu, kayu, dan kertas.
Untuk mengenali cahaya, diperlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai
sifat-sifat cahaya. Terdapat empat sifat cahaya yang akan dibahas, yaitu :
42
1) Cahaya merambat lurus
2) Cahaya dapat dipantulkan
3) Cahaya dapat dibiaskan
4) Cahaya merupakan gelombang elektromagnetik
2.5.1 Cahaya Merambat Lurus
Cahaya merambat ke semua arah. Misalnya jika lilin atau lampu dinyalakan di
tempat gelap, maka dapat dilihat bahwa daerah di sekitar lilin atau lampu tersebut akan
terang. Cahaya merambat menurut garis lurus ke segala arah dan apabila pancaran
cahaya terhalangi oleh suatu benda tak tembus cahaya maka akan terbentuk bayangan
yang sebangun dengan bendanya.
Gambar 2.1 Cahaya merambat lurus melalui celah vertikal (Kanginan, 2007)
2.5.2 Cahaya dapat Dipantulkan
Cahaya memiliki sifat dapat dipantulkan jika menumbuk suatu permukaan
bidang. Pemantulan yang terjadi dapat berupa pemantulan baur dan pemantulan teratur.
Pemantulan baur terjadi jika cahaya dipantulkan oleh bidang yang tidak rata seperti
aspal, tembok, batang kayu dan lainnya. Pemantulan teratur terjadi jika cahaya
43
dipantulkan oleh bidang yang rata, seperti cermin datar atau permukaan air danau yang
tenang. Pemantulan teratur menghasilkan berkas sinar pantul yang arahnya sejajar ke
satu arah, sedangkan pemantulan baur menghasilkan berkas-berkas sinar pantul yang
arahnya tidak sejajar ke satu arah.
Gambar 2.2 (a) Pemantulan Baur, (b) Pemantulan Teratur (Kanginan, 2007)
Pada pemantulan baur dan pemantulan teratur, sudut pantulan cahaya besarnya
selalu sama dengan sudut datang cahaya. Hal tersebut yang menjadi dasar hukum
pemantulan cahaya yang dikemukakan oleh snellius. Snellius menambahkan konsep
garis normal yang merupakan garis khayal yang tegak lurus dengan bidang. Garis
normal berguna untuk memudahkan pembentukan bayangan oleh cahaya.
Bunyi hukum pemantulan cahaya sebagai berikut :
1) Sinar satang, garis normal dan sinar pantul terletak pada suatu bidang dan ketiganya
berpotongan pada suatu titik.
2) Besar Sudut datang (i) sama dengan sudut pantul (r)
Jika dirumuskan adlah sebagai berikut : ∠i = ∠r
44
Gambar 2.3 Pemantulan Sinar Senter oleh Cermin Datar Memenuhi Hukum Pemantulan. (Kanginan, 2007)
Kemampuan kita melihat warna tidak lepas dari sifat cahaya itu sendiri. Cahaya
yang mengenai benda sebagian akan dipantulkan ke mata kita dan sebagian lagi akan
diserap benda sebagai energi. Misalnya cahaya yang mengenai benda terlihat berwarna
merah. Hal ini berarti spektrum cahaya merah akan dipantulkan oleh benda, sedangkan
spectrum warna lainnya akan diserap oleh benda tersebut.
Gambar 2.4 Pemantulan sinar ke mata dari lukisan (Kanginan, 2007)
Benda-benda yang ada di sekitar kita dapat kita lihat apabila ada cahaya yang
mengenai benda tersebut, dan cahaya yang mengenai benda tersebut dipantulkan oleh
benda ke mata. Walaupun benda terkena cahaya, jika pantulannya terhalang dari mata
45
kita, kita tidak dapat melihat benda tersebut, misalnya suatu benda yang berada di balik
tirai atau tembok.
Bila berdiri di depan sebuah cermin datar, maka akan terlihat bayangan yang
bersifat maya di dalam cermin tersebut, kemudian tampak pula bahwa bayangan berdiri
tegak dan menghadap terbalik. Jika menghadap ke utara maka bayanganmu menghadap
keselatan. Jarak benda ke cermin datar sama dengan jarak bayanganmu ke cermin.
. Gambar 2.5 Bayangan Benda pada Cermin Datar adalah Maya, Tegak dan Menghadap
Terbalik terhadap Bendanya. (Kanginan, 2007)
2.5.3 Cahaya dapat Dibiaskan
Cahaya dapat dibiaskan ketika melalui medium dengan kerapatan yang berbeda.
Kecepatan cahaya akan menururn saat memasuki air atau medium yang lebih rapat.
Semakin besar perubahan kecepatan cahaya saat melalui dua medium yang berbeda,
akan semakin besar pula efek pembiasan yang terjadi. Namun, pembiasan tidak terjadi
pada benda yang dicelupkan dalam posisi tegak lurus.
46
Gambar 2.6 Diagram sinar bias dari medium udara ke medium air (Abadi & Rohana: 2012)
Pembelokan seberkas cahaya yang merambat dari suatu medium ke medium
yang lainnya berbeda kerapatannya dinamakan pembiasan (refraksi). Sudut antara sinar
datang dan garis normal disebut sudut datang (i), sedangkan sudut antara sinar bias dan
garis normal disebut sudut bias (r).
Hukum I Pembiasan (Snellius I) : sinar datang, sinar bias dan garis normal terletak pada
satu bidang datar dan ketiganya berpotongan pada satu titik.
Hukum II Pembiasan (Snellius II) : sinar datang dari medium kurang rapat ke medium
lebih rapat dibiaskan mendekati garis normal. Sebaliknya, sinar yang datng dari medium
lebih rapat ke medium kurang rapat dibiaskan menjauhi garis normal.
Gambar 2.7 Diagram Sinar bias dari medium kurang rapat ke lebih rapat (Abadi & Rohana: 2012)
47
Cahaya bisa dibiaskan karena adanya beda kerapatan antara kedua medium.
Ternyata cepat rambat juga berbeda untuk medium yang berbeda. Kecepatan cahaya
dalam riuang hampa yaitu c=3x108 m/s. Makin rapat mediumnya maka makin kecil
cepat rambat cahayanya.
Pembentukan bayangan pada pembiasan bisa diperhatikan melalui peristiwa
pensil batang ketika diletakkan dalam bejana yang sudah terisi dengan ir 3/5 bagian.
Tampak bahwa penil yang berada alam air membengkok. Batang pensil yang tercelup
sebagian dalam air tampak membelok dalam air. Peristiwa ini disebut ilusi optik yaitu
suatu benda yang ada di dalam air selalu tampak lebih dekat oleh pengamat yang berada
di atas permukaan air. Inilah yang menyebabkan kolam renang selalu tampak dangkal
dari kedalaman sebenarnya.
Gambar 2.8 Pensil yang membengkok disebabkan adanya pembiasan (Kanginan, 2007)
2.5.4 Cahaya Merupakan Gelombang Elektomagnetik
Cahaya merupakan gelombang, akan tetapi berbeda sifatnya dengan gelombang
laut. Gelombang laut mentrasfer energi melalui pemindahan mediumnya, sedangkan
cahaya dapat mentransfer energi dari satu temapat ke tempat lainnya tanpa
48
menggunakan medium sehingga cahaya merupakan gelombang elektromagnetik.
Gelombang elektromagnetik terbentuk karena adanya perubahan medan magnet dan
medan listrik secara periodik.
Salah satu fenomena yang dapat dibuktikan bahwa cahaya itu mentransfer energi
adalah saat lilin yang dinyalakan di sebuah ruang yang gelap dan kemudian lilin tersebut
dapat menerangi ruangan tersebut. Contoh lainnya adalah matahari yang memancarkan
gelombang cahayanya melalui ruang angkasa (ruang hampa tanpa medium). Gelombang
cahaya matahari memancarkan ke segala arah sampai ke bumi meskipun melalui ruang
hampa udara. Hal ini berarti gelombang cahaya dapat merambat pada ruang kosong
(hampa udara) tanpa adanya materi. Berdasarkan frekuensinya, gelombang
elektromagnetik ada bermacam-macam. Berikut klasifikasi gelombang elektromagnetik
yang dikenal dengan spektrum elektromagnetik.