bab ii_22_2

59
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Belajar Jenis-jenis belajar yang termasuk dalam pembelajaran fisika adalah belajar abstrak dan belajar pengetahuan. 1) Belajar abstrak : belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat disamping penguasaan atas prinsip, konsep dan generalisasi. Termasuk dalam jenis ini misalnya belajar matematika, astronomi, filsafat dan materi bidang studi agama seperti tauhid. 2) Belajar pengetahuan : belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam tehadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasi materi pembelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan

Upload: surya-hafnidar

Post on 18-Aug-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Belajar

Jenis-jenis belajar yang termasuk dalam pembelajaran fisika adalah belajar abstrak

dan belajar pengetahuan.

1) Belajar abstrak : belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak. Tujuannya

adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak

nyata. Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat

disamping penguasaan atas prinsip, konsep dan generalisasi. Termasuk dalam jenis

ini misalnya belajar matematika, astronomi, filsafat dan materi bidang studi agama

seperti tauhid.

2) Belajar pengetahuan : belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam

tehadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah

program belajar terencana untuk menguasi materi pembelajaran dengan melibatkan

kegiatan investigasi dan eksperimen (Reber, 1998). Tujuan belajar pengetahuan ialah

agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap

pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam

mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan

penelitian lapangan.

Contoh : kegiatan siswa dalam bidang ilmu sains mengenai gerak menurut

hokum newton I. dalam hal ini siswa melakukan eksperimen untuk membuktikan bahwa

12

setiap benda tetap diam atau bergerak secara beraturan, kecuali kalau ada gaya luar yang

mempengaruhinya (Syah, 2013:120-122).

2.2 Pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mengaitkan materi pelajaran

dengan kehidupan nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan

yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka (Nurhadi dkk., 2004:11). Hal ini

bersesuaian dengan pernyataan Depdiknas (2004:18) dalam Ruswandi (2013:283) yang

menyatakan, “Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru

mengaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata

peserta didik dan mendorongnya membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari”. Dengan demikian

pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia

nyata, berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, keaktifan siswa, kritis, kreatif,

memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasyikkan, tidak membosankan

dengan menggunakan berbagai sumber belajar.

Pembelajaran akan bermakna jika guru lebih menekankan agar peserta didik

mengerti relevansi apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi nyata dimana isi

pelajaran akan digunakan. Peserta didik akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya

terkait dengan pengetahuan dan kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi di

sekelilingnya. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual menempatkannya dalam

13

konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awalnya dengan materi yang

sedang dipelajari. Sehubungan dengan hal itu maka pendekatan pengajaran kontekstual

harus menekankan pada hal belajar berbasis masalah, pengajaran autentik, belajar

berbasis inkuiri, belajar berbais proyek/tugas, belajar berbasis kerja, belajar berbasis

jasa-layanan, dan belajar koperatif (Nurhadi dkk., 2004:19).

Menurut Ruswandi (2013:289) pembelajaran kontekstual membantu peserta didik menguasai tiga hal yaitu : (1) Pengetahuan, yaitu apa yang dipikirkannya membentuk konsep, definisi, teori dan fakta. (2) Kompetensi atau ketrampilan yaitu kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk bertindak atau sesuatu yang dapat dilakukan. (3) Pemahaman kontekstual yaitu mengetahui waktu dan cara bagaimana menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam situasi kehidupan nyata.

Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, unutk menerapkan

pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:

1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental peserta

didik

2) Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung

3) Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri

4) Mempertimbangkan keragaman peserta didik

5) Memperhatikan multi-intelegensi peserta didik

6) Menggunakan teknik-teknik bertanya

7) Menerapkan penilaian autentik

14

Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan

lima langkah strategi bagi pendidik dalam rangka menerapkan pembelajaran kontestual

yang disingkat dengan REACT yaitu:

1) Reacting : belajar mengaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata

2) Experiencing: belajar ditekankan kepada penggalian, penemuan dan penciptaan

3) Appling: belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks

pemanfaatannya.

4) Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama

dan sebagainya.

5) Transferring: belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau

konteks baru.

Pembelajaran kontekstual menggunakan situasi kehidupan nyata dari masyarakat

setempat. Melalui metode ini siswa diharapkan dapat menggaplikasikan pengetahuan

dan keterampilan yang telah mereka kembangkan. Contohnya dalam pelajaran

matematika. Guru mengembangan pengetahuan dan pemahaman peserta didik dari

proses dan langkah-langkah penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian.

Selanjutnya guru mengembangkan ketrampilan peserta didik dalam mengaplikasikan

langkah-langkah tersebut dalam memberikan masalah kehidupan nyata untuk

dipecahkan. Misalnya, ketika peserta didik berbelanja I took atau pasar, maka mereka

dapat menghitung uang dan belanjaannya dengan benar (Ruswandi, 2013:290). Menurut

Bradway dan Hill (2003:212) model pembelajaran memiliki pengaruh besar pada

15

pengalaman akademis anak kelas delapan. Performan akademis yang tipikal menyertai

model-model pembelajaran dan melihat dengan cara berbeda dimana anda dapat

membangun kemunikasi positif ”.

Dalam penerapan pembelajaran di kelas, tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi dkk. (2004:32) yaitu: (1) Konstruktivisme: peserta didik belajar sedikit demi sedikit dari konteks terbatas, siswa mengkostruksi sendiri pemahamannya dan pemahaman yang mendalam diperoleh melalui pembelajaran bermakna. (2) Inkuiri: siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis dan merumuskan teori baik perorangan maupun kelompok. Diawali oleh pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep/fenomena. Melalui pembelajaran dapat dikembangkan dan digunkan ketrampilan berpikir kritis. (3) Permodelan: membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana cara yang selayaknya peserta didik ketika belajar dan melakukan apa yang diinginkan dalam pembelajaran agar dikuti oleh siswa. (4) Penilaian autentik: menilai dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber, mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa, mempersyaratkan penerapan pengetahuan dan pengalaman, tugas-tugas yang kontekstual dan relevan, proses dan produk keduanya dapat diukur. (5) Refleksi: cara-cara berpikir tentang apa yang dipelajari, menelaah dan merespon terhadap kejadian dan pengalaman, mencatat hal yang telah dipelajari dengan penambahan ide-ide baru, releksi dapat berupa jurnal, diskusi dan karya seni. (6) Masyarakat belajar: berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. (7) Bertanya: mendorong peserta didik untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi. Digunakan untuk menilai kemampuan siswa berpikir kritis, melatih siswa untuk berpikir kritis.

Menurut Ruswandi (2013:284) tujuh azas penerapan pembelajaran kontekstual di

kelas yang telah dipaparkan di atas disebut sebagai 7 utama pembelajaran efektif. Semua

komponen tersebut akan dibahas secara detil dalam uraian berikut ini.

16

2.2.1 Konstruktivisme

Konstruktivisme yaitu mengembangkan pemikiran peserta didik akan belajar

lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi

sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya. Belajar pada dasarnya mencari alat untuk

membantu memahami pengalaman. Belajar adalah perubahan proses mengkonstruksi

pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dialami sebagai hasil interkasinya dengan

lingkungan sekitarnya. pengalaman tersebut disusun dalam pikiran. Pengetahuan yang

diperoleh adalah hasil interpretasi peserta didik sebagai hasil usahanya sendiri

berdasarkan hubungannya dengan dunia sekitar, bukan berasal dari apa yang diberikan

guru. Ole karena itu, guru pada saat mengajar hendaknya berusaha membantu peserta

didik dalam merekonstruksi pengetahuannya berdasarkan pengalamannya, bukan

menyampaikan sejumlah informasi secara utuh.

Bagi konstruktivis, pengetahuan tidak dapat dipindahkan langsung begitu saja

dari guru ke peserta didik, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing

peserta didik melalui proses mengkonstruksi pengetahuannya karena pengetahuan

merupakan suatu proses yang berkembang terus menerus dan berubah. Pengetahuan

bukanlah suatu tiruan dari kenyataan ataupun gambaran dari dunia nyata yang ada.

Panca indera merupakan sarana yang tersedia untuk mengetahui sesuatu melalui

berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan cara melihat, mendengar, memegang,

mencium dan merasakan. Dari sentuhan inderawi itulah peserta didik dapat membangun

gambaran dunianya. Ada lima elemen belajar konstruktivistik yaitu pengaktifan

17

pengetahuan yang sudah ada, pemerolehan pengetahuan baru, pemahaman pengetahuan,

mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman serta melakukan refleksi terhadap strategi

pengembangan pengetahuan tersebut.

2.2.2 Bertanya (Questioning)

Bertanya yaitu mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan cara

bertanya. Melalui proses ini, mereka akan mampu menjadi pemikir yang handal karena

dirangsang untuk mampu mengembangan ide/gagasan dan pengujian baru yang inovatif,

mengembangkan metode dan teknik untuk bertanya, bertukar pendapat dan berinteraksi.

Dalam proses pembelajaran pertanyaan dari guru dapat merangsang timbulnya kegiatan

belajar. Peserta didik dapat mengembangkan kebebasannya mengeluarkan aspirasi

berupa pendapat, pertanyaan atau jawaban, bahkan menguji suatu ide atau teori maupun

praktek penyelenggaraannya yang sesuai fakta (logis) dan penalaran.

2.2.3 Menemukan (Inquiry)

Inquiry merupakan kegiatan menemukan dan menangani permasalahan yang

dihadapi di dunia nyata. Menurut Wisudawati dan Sulistyowati (2014), inkuiri adalah

suatu proses pembelajaran yang didasarkan pada penemuan pengetahuan/konsep melalui

proses berpikir secara sistematis menggunakan metode ilmiah. Menurut Ruswandi

(2013:287) guru harus merencanakan situasi pembelajaran sedemkian rupa yang dapat

memungkinkan terbentuknya sikap ilmiah. Peserta didik belajar atau bekerja

18

menggunakan prosedur yang ilmiah dengan mengenali masalah, menjawab pertanyaan,

menggunakan prosedur penelitian/inverstigasi dan menyiapkan kerangka berpikir,

hipotesis dan penjelasan yang relevan dengan pengalamn pada dunia nyata Inkuiri pada

dasarnya adalah suatu ide yang kompleks, yang berarti banyak hal bagi banyak orang

dalam berbagai konteks. Inkuiri adalah bertanya mengenai hal yang berhubungan

dengan topik pembicaraan. Pertanyaan yang diajukan harus dapat dijawab sebagian atau

keseluruhannya setelah adanya pengujian atau penyelidikan secara bermakna.

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, menemukan merupakan bagian inti dari

kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang dihasilkan oleh

peserta didik bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari

menemukan sendiri yang tak lepas dari bimbingan guru tentunya.

Belajar dengan penemuan mempunyai beberapa keuntungan. Pembelajaran ini

memacu peserta didik untuk mengetahui, memotivasi mereka untuk melanjutkan

pekerjaannya hingga mereka menemukan sendiri jawabannya. Pengajaran inkuiri

membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan

kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Kegiatan inkuiri sebenarnya sebuah siklus

yang terdiri dari langkah-langkah seperti merumuskan masalah, mengumpulkan data

melalui observasi, menganalisis dan menyajikan hasil (baik berupa tulisan, gambar,

laporan, tabel, bagan dan karya lainnya), serta mengkomunikasikan atau menyajikan

hasil karya pada pembaca, teman sekelas atau audiens lain (Nurhadi dkk., 2004:43).

19

Siklus inkuiri meliputi observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan

data dan penyimpulan. Inkuiri adalah suatu proses yang bergerak dar langkah observasi

hingga sampai langkah pemahaman. Inkuiri dimulai engam observasi yang menjadi

motif untuk memunculkan pertanyaan yang diajukan peserta didik. Jawaban terhadap

pertanyaan tersebut diperoleh dari siklus pembuatan prediksi, perumusan hipotesis,

pengembangan cara-cara pengujian hipotesis, pembuatan observasi lanjutan, penciptaan

teori dan model-model konsep yang didasarkan pada data dan pengetahuan.

2.2.4 Masyarakat belajar (learning community)

Masyarakat belajar yaitu menciptakan masyarakat yang menjadikan belajar

sebagai bagian dari kegiatan atau kehidupannya. Masyarakat dapat dijadikan sumber

belajar untuk mengembangkan pemahaman pembelajarn kontekstual. Masyarakat

dimanfaatkan sebagai nara sumber sebagai konteks bagi peserta didik unuk

pembelajaran kontekstual di sekolah. Bias pula pemanfaatan masyarakat itu dengan

membawa mereka ke dalam lingkungan masyarakat untuk mengalami pembelajaran

yang tidak didapatkan di sekolah atau untuk menerapkan materi pembelajaran di

sekolah. Misalnya, mereka di bawa ke sungai untuk belajar langsung berkaitan dengan

benih ikan, cara memelihara, memanen dan mengolahnya hingga menjualnya.

2.2.5 Permodelan (modeling)

20

Permodelan yaitu orang yang dijadikan contoh pembelajaran dengaan tujuan

peserta didik lebih mudah memahami dan menerapkan proses dan hasil belajar jika

dalam pembelajaran guru menyajikan dalam bentuk model, bukan hanya dalam bentuk

lisan. Mereka akan mampu mengamati dan mencontoh apa yang ditunjukkan oleh guru.

Oleh karena itu, guru hendaknya mempertunjukkan hal-hal yang penting dan mudah

diterima oleh peserta didik. Guru menjadi model dan memberi contoh untuk dilihat dan

ditiru karena guru akan bertindak sebagai model. Ketika guru sanggup melakukan

sesuatu, maka peserta didik pun akan berpikir sama bahwa mereka bisa melakukannya

juga.

2.2.6 Refleksi (reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang

dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang

telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam

struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang

dimilikinya.

Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap berakhir proses pembelajaran,

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungat kembali apa yang telah

dipelajarinya. Kemudian secara bebas siswa akan mengungkapkan kembali

pengalamannya sendiri, yang akhirnya mampu menyimpulkan pengalaman belajarnya.

21

2.2.7 Penilaian sebenarnya ( authentic assessment)

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan

informasi tentang perkembangan belajar peserta didik. Penilaian ini diperlukan untuk

mengetahui apakah mereka belajar atau tidak, apakah pengalaman mereka memiliki

pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental.

Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses

pembelajaran, yang dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran

berlangsung dan meliputi semua aspek domain penilaian. Oleh karena itu, penilaian

diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar. Penilaian autentik

merupakan cermin nyata dari kondisi pembelajaran peserta didik. Penilaian autentik

disebut pula sebagai penilaian alternative, penilaian kinerja, penilaian informal dan

penilaian berlandaskan situasi (Warsono & Hariyanto, 2013:268).

Penilaian autentik didefinisikan sebagai bentuk penilaian yang mengharuskan

para peserta didik untuk melaksanakan tugas-tugas dunia nyata yang menunjukkan

aplikasi yang bermakna dari suatu pengetahuan atau ketrampilan esensial (Mueller,

2011). Stiggnis (1994) mendefinisikan asesmen kinerja atau asesmen autentik sebagai

penilaian yang mempersyaratkan peserta ujian untuk menunjukkan kecakapan khusus

dan kompetensi khusus, maknanya menerapkan kecakapan dan pengetahuan yang telah

dikuasainya. Mueller membandingkan perbedaan antara penilaian tradisonal dengan

penilaian autentik pada Tabel 2.1.

22

Tabel 2.1 Perbedaan Penilaian Tradisional dan Penilaian AutentikPenilaian Tradisional Penilaian Autentik

Memilih suatu tanggapan Mengerjakan tugas

Buatan Dunia nyata

Mengingat/mengenali Konstruksi/penerapan

Struktur oleh guru Struktur oleh peserta didik

Bukti tidak langsung Bukti langsung

(Sumber: Mueller, 2001)

Dalam penilaian autentik, para peserta didik tidak hanya menyelesaikan dan

menunjukkan perilaku tertentu yang diinginkan sesuai dengan rumusan tujuan

pembelajaran, tetapi juga mampu mengerjakan sesuatu terkait dengan konteks kehisupan

nyata. Dalam penilaian autentik ini, penilian didefinisikan tidak hanya berhubungan

dengan produk suatu proses pembelajaran saja, tetapi juga mencakup semua proses

mengajar dan belajar atau yang sekarang terangkum dalam satu istilah pembelajaran.

Dengan demikian, kegiatan penilaian tidak terbatas pada karakteristik peserta didik saja,

tetapi juga mencakup karakteristik metode pembelajaran, kurikulum, fasilitas dan

administrasi sekolah (Warsono & Hariyanto, 2013:269).

Penilaian autentik menggunakan berbagai format penilaian, antara lain daftar cek

(check list), jurnal, catatan bacaan harian (reading logs), portofolio, video dari

permainan peran, diskusi yang direkam dalam audio-tapes, kuesioner evaluasi diri,

pengamatan guru, catatan secara anekdot untuk menilai berbagai kinerja siswa. Format-

format-format ini dapat menunjukkan apakah para peserta didik benar-benar

mengerjakan sesuatu dibandingkan sekedar mengingat sesuatu (Warsono & Hariyanto,

2013:270).

23

2.3 Pemahaman

Menurut Indrawan (2008), pemahaman berasal dari kata “paham” yang berarti

mengerti, sedangkan pemahaman didefiniskan sebagai proses atau cara untuk memahami

atau mengerti. Seseorang dapat dikatakan paham tentang suatu hal, apabila sudah

mengerti, dapat mengartikan dan menjelaskannya kepada orang lain. Pemahaman konsep

didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik memahami dan dapat menerapkan

konsep-konsep baik secara teori maupun penerapannya. Peserta didik akan

mengembangkan pemahamannya dengan baik jika mereka dapat secara mudah

mengkaitkan antara sesuatu yang telah mereka kenal dengan pengetahuan dan

pemahaman yang baru atau yang belum dikenal (Nurhadi dkk., 2004). Keberhasilan

dalam belajar ditandai oleh penyediaan lingkungan belajar yang membantu membuat

hubungan-hubungan tersebut, sehingga selanjutnya mereka mampu menyadari adanya

saling hubungan antara materi dan peranannya dalam situasi kehidupan nyata.

Menurut Sunarto dkk. (2002:11), kemampuan kognitif merupakan kemampuan

yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendapat tersebut

diperkuat dengan adanya pernyataan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan

berpikir dan kemampuan yang berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan, pengenalan,

pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran (Direktorat Jenderal Pendidikan

Dasar dan Menengah Umum, 2002:46).

24

Sudjana (1995:24) menyatakan pemahaman dapat dibedakan menjadi tiga

kategori. Ketiga kategori tersebut akan diuraikan seperti berikut ini.

1) Pemahaman terjemahan

Pemahaman yang diawali dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya. Misalnya dari

bahasa bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, mengartikan Bhineka Tunggal Ika,

mengartikan Merah Putih, menerapkan rinsip-prinsip listrik dalam memasang

sakelar. Pemahaman ini berkaitan dengan kemampuan mengungkapkan tentang

sesuatu dengan bahasa sendiri dengan simbol tertentu termasuk ke dalam.

2) Pemahaman penafsiran

Pemahaman yang menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui

berikutnya, menghubungkan antara unsur dari keseluruhan pesan suatu karangan,

menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang

pokok dan yang bukan pokok.

3) Pemahaman ekstrapolasi

Pemahaman yang menekankan pada kemampuan melihat di balik yang tertulis, dapat

membuat ramalan tentang konsekuensi atau memperluas persepsi dalam arti waktu,

dimensi, kasus, ataupun masalahnya. Pemahaman ini mengungkapkan kemampuan

melihat di balik pesan yang tertulis dalam suatu keterangan atau tulisan.

Karakteristik soal-soal pemahaman biasanya bercirikan pengungkapan tema,

topik, atau masalah yang sama dengan yang pernah dipelajari atau diajarkan, tetapi

materinya berbeda. Menurut Sudjana (1995:25), sebagian item pemahaman dapat

25

disajikan dalam bentuk gambar, denah, diagram atau grafik. Dalam tes objektif tipe

pilihan ganda dan tipe benar salah banyak mengungkapkan aspek pemahaman. Deskripsi

penilaian untuk ranah kognitif pemahaman ditunjukkan pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Penilaian Ranah Kognitif PemahamanTujuan Pembelajaran

dalam Ranah

Kognitif Pemahaman

Contoh-contoh Jenis Penilaian Cara Mengukurnya

Peserta didik

mampu untuk:

Menafsirkan

Memberikan

contoh

Menggolongkan

Meringkaskan

Membuat

simpulan

Membandingkan

Menjelaskan

Makalah, ujian akhir tertulis, soal-soal,

diskusi kelas, peta konsep, tugas PR antar

lain:

-Membuat ikhtisar atau ringkasan bacaan,

membuat film, menyiapkan pidato;

-Membandingkan atau membuat kontras

antara dua atau lebih teori, kejadian, proses

dan sebagainya.

-Mengklasikan atau membuat kategori kasus-

kasus, unsur-unsur, kejadian, menggunakan

kriteria tertentu;

-Menyiapkan pidato dengan kalimat sendiri

-Menemukan atau mengidentifikasikan

contoh-contoh atau ilustrasi sebuah konsep,

prinsip dan lain-lain

Membuat skor atau

menggunakan

rubrik kinerja

peserta didik, yang

mengidentifikasikan

komponen kritis

dari karya siswa

dan dapat membuat

perbedaan antara

berbagai level yang

berbeda dari

kecakapan peserta

didik a sesuai

komponen yang

ada.

(Sumber : Warsono & Hariyanto, 2013)

2.4 Kemampuan Berpikir Logis

Menurut Ahmadi dan Supriyono (2008:31), berpikir adalah daya yang dapat

meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Berpikir itu merupakan proses

26

yang dialektis artinya selama kita berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab,

untuk dapat meletakkan hubungan pengetahuan. Alat yang diperlukan dalam berfikir

adalah akal (rasio). Hasil berpikir itu dapat diwujudkan dengan bahasa. Menurut Solso

dkk. (2007:402), berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru

melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang

mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah

logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan.

Solso dkk. (2007:402) menyatakan, ada tiga ide dasar tentang berpikir : (1) Berpikir adalah kognitif secara internal dalam pikiran, namun keputusan diambil lewat perilaku. (2) Berpikir adalah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistim kognitif. (3) Berpikir bersifat langsung dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau langsung menuju ke solusi.

Menurut Salam (2004:40), kemampuan berpikir ada dua jenis yaitu berpikir yang

bersifat recall dan yang bersifat imajinatif. Berpikir imajinatif merupakan kemampuan

berpikir mengenai hal yang belum terjadi, dapat berbentuk objek/kejadian yang akan

terjadi dalam imajinasi. Kemampuan berpikir imajinasi harus didukung oleh

kemampuan melihat hubungan kausal dari fenomena tertentu dengan dicari sebab

akibatnya, latar belakangnya dan penyebabnya sehingga dapat dipikirkan dalam

imajinasi tentang apa yang akan terjadi dan apa akibatnya.

Kemampuan berpikir imajinatif menggunakan sistematika tertentu yang

didukung oleh logika yang kuat dalam menarik kesimpulan atau generalisasi dari adanya

hubungan kausal tersebut disebut sebagai kemampuan bepikir logis. Siswono (2008:13)

mengatakan berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan peserta didik untuk

27

menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan

kesimpulan itu benar sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah

diketahui.

Dalam berpikir terjadi proses pengolahan, pengorganisasian bagian-bagian dari

pengetahuannya yang awalnya tidak teratur menjadi tersusun menjadi suatu kesatuan hal

yang dapat dikuasai dan dipahami. Kendall dan Marzano dalam Depdiknas (2004:16)

menyatakan bahwa dalam berpikir pada umumnya melalui beberapa proses yaitu

pembentukan pengertian, pendapat dan kesimpulan. Proses yang dilewati ketika berpikir

diuraikan seperti berikut :

1) Proses pembentukan pengertian

Pada proses pembentukan pengertian meliputi proses mendapatkan pengetahuan

tentang sifat atau ciri khusus pada suatu hal melalui pengalaman atau berfikir. kita

menghilangkan ciri-ciri umum dari sesuatu sehingga tinggal ciri khas dari sesuatu.

Pada waktu kita membentuk pengertian itu ada 3 macam:

a. Pengertian pengalaman, yaitu pengertian yang diperoleh dari pengalaman-

pengalaman yang berturut-turut.

b. Pengertian kepercayaan, yaitu pengertian yang terbentuk dari kepercayaan

c. Pengertian logis, yaitu pengertian yang dibentuk dari tingkat yang satu ke tingkat

yang lain.

d. Dengan pengertian itu kita dapat berpikir secara teliti, cepat dan benar.

2) Pembentukan pendapat

28

Proses pikiran kita menggabungkan (menguraikan) beberapa pengertian sehingga

menjadi tanda masalah itu.

3) Pembentukan kesimpulan

Proses pikiran kita menarik keputusan-keputusan dari keputusan yang lain. Terdapat

3 macam cara untuk mengambil kesimpulan:

a. Kesimpulan induksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari keputusan-keputusan

khusus untuk mendapatkan yang umum.

b. Kesimpulan deduktif, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kesimpulan umum untuk

mendapatkan kesimpulan khusus.

c. Kesimpulan analogis, yaitu kesimpulan yang ditarik dengan cara membandingkan

situasi satu dengan situasi lainnya yang kita kenal kurang teliti, sehingga

kesimpulan analogi ini biasanya kurang benar. Contoh :

Situasi pertama : ibu sakit, tidur

Situasi kedua : Adik tidur

Analogisnya : Adik sakit.

Hal paling dasar yang membedakan antara berpikir logis dan berpikir lainnya

adalah pada proses pembentukan pengertian yang berupa pengertian logis atau ilmiah

yang dibentuk berdasarkan hasil penyelidikan secara bertahap dan berurut meliputi

proses menganalisis, mengabstraksi, membandingkan dan mengkombinasi (Rohmah,

2012:156-159). Otak kiri berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa,

hitungan, dan logika. Jadi otak kiri berfungsi sebagai pengendali kecerdasan intelektual.

29

Ketika memasuki usia sekolah menengah pertama, interaksi anak dengan lingkungan

semakin meluas. Beberapa faktor yang mendukung berkembangnya potensi kreativitas

diantaranya adalah kemampuan mengkombinasi tidakan-tindakan dan objek-objek

secara proposional berdasarkan pemikiran logis. Dari hal tersebut dapat disimpulkan

bahwa pemikiran logis mulai muncul dan diterapkan pada usia anak sekolah menengah

pertama (Danim, 2013:135)

Kata berpikir logis sering disebut juga sebagai penalaran. Kemampuan

menggunakan penalaran dan pemecahan masalah sangat penting dalam kehidupan,

terutama bagi para peserta didik. Tingkatan SMP memiliki usia dari 12-15 tahun yang

dalam teori Piaget pada usia tersebut termasuk dalam tahapan formal-operasional. Pada

tahap ini peserta didik dianggap sudah memiliki kemampuan mengkoordinasikan secara

baik serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni kapasitas

menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan

kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar), seorang remaja akan mampu

berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan

masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang

dia respon. Sementara itu, dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak,

remaja tersebut akan mampu mempelajari mater-materi pelajaran yang abstrak seperti

agama, ilmu matematika, dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih

mendalam. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam proses berpikir berupa hubungan

sebab musabab, hubungan tempat, hubungan waktu dan hubungan perbandingan.

30

Perkembangan pikiran anak sejalan dengan perkembangan kesadaran, yaitu ;

taraf kongkret, taraf bagan dan taraf abstrak. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004:33)

bahwa hubungan antara bahasa dan berpikir itu mutlak, sebab berpikir itu sebenarnya

berbicara dengan batin dan berbicara adalah berpikir yang dilisankan serta tulisan adalah

adalah berpikir yang dituliskan. Pendapat lain bahwa nalar bahasa dan berpikir itu tidak

ada hubungannya dengan bukti bahwa sesuatu yang dipikirkan, tetapi tidak dapat

diwujudkan dalam bahasa.

Perkembangan kognitif peseta didik pada umur 11-15 tahun disebut tahap

operasi formal dimana peserta didik berada pada jenjang pendidikan akhir SD dan SMP.

Pada tahap ini si anak akan mejadi lebih konseptual dan mampu berpikir dalam ide-ide

absrak. Disini individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan kongkrit.

Dia mampu sudah berpikir lebih abstrak dan logis. Pemikiran operasional formal lebih

sistematis dalam pemecahan masalah. Mereka mulai mampu mengembangkan hipotesis

tentang mengapa sesuatu terjadi seperti itu dan kemudian menguji hipotesis ini secara

deduktif dengan atau tanpa bimbingan (Danim, 2013 :106).

Menurut Wiyani (2013:76) peserta didik mulai duduk di bangku SMP di usia 12

tahun. Menurut Piaget, usia 12 tahun merupakan dimulainya periode operasional formal.

Pada usia ini yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berpikir secara

simbolis serta dapat memahami secara bermakna tanpa memerlukan objek yang

kongkret bahkan objek visual. Dengan demikan, dapat dikatakan bahwa pada periode

31

operasional formal peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat kongkret atau

nyata serta hal-hal yang bersifat abstrak dan imajinasi.

Menurut Wiyani (2013:170) berdasarkan pengalaman belajar yang diungkapkan

oleh Peter Shea , peserta didik belajar hanya 10% dari kegiatan belajar membacanya,

20% dari apa yang didengar saat kegiatan belajar, 30% dari apa yang dilihat saat

kegiatan belajar, 50% dari apa yang peserta didik lihat dan dengar dalam kegiatan

belajar, 70% dari peserta didik katakana saat kegatan belajar, serta 90% dari apa yang

dikatakan, dan dilakukan oleh peserta didik saat kegiatan belajar.

Peserta didik pada tahap ini juga dapat mempertimbangkan kemungkinan masa

depan, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan atas kejadian yang mereka tidak

mengalaminya secara langsung. Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa

kemampuan rasional yang abstrak dan kritis berkembang melalui proses pendidikan dan

pembelajaran, serta pelatihan kontinyu. Sebagai contoh, penalaran sehari-hari siswa

mengalami peningkatan sejak tahun-tahun pertama belajar hingga menamatkan

pendidikan jenjang tertentu. Hal ini menunjukkan nilai pendidikan dalam pematangan

kognitif dirangsang oleh kontinuitas dan konsistensi proses aktivasi. Fenomena ini tidak

untuk diberik makna bahwa kecerdasan intelektual seseorang terus meningkat, karena

ada titik optimumnya (Danim, 2013:80-81).

Menurut Sternberg dalam Danim (2013), kecerdasan terdiri dari tiga aspek yaitu

kecerdasan komponensial, esperiensial dan kontekstual. Kecerdasan komponensial

mencakup aspek kritis, eksperimental mencakup aspek wawasan dan kontekstual

32

mencakup aspek praktis. Kecerdasan komponensial bermakna kemampuan untuk

menggunakan strategi pemprosesan informasi internal ketika perserta didik

mengidentifikasi dan berfikir tentang pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil.

Selain itu, terlibat juga didalamnya adalah metakonisi yang mencakup proses kesadaran

kognitif seseorang untuknmemecahkan masalah. Individu yang kuat dalam kecerdasan

komponensial umumnya memperoleh hasil baik pada tes mental standar.

Kecerdasan esperiensial mencakup kemampuan mentransfer pembelajaran secara

efektif untuk memperoleh ketrampilan baru dimana membandingkan informasi lama dan

baru serta untuk menempatkan fakta bersama dengan cara-cara yang asli. Individu yang

kuat dalam kecerdasan eksperiensial mampu mengatasi dengan baik hal-hal baru dan

cepat belajar membuat tugas-tugas secara otomatis.

Kecerdasan kontekstual mencakup kemampuan untuk menerapkan kecerdasan

praktis, termasuk memiliki kepedulian social, budaya dan konteks historis. Individu

yang kuat dalam kecerdasan kontekstual mampu dengan mudah beradaptasi dengan

lingkungan mereka, dapat berubah ke lingkungan lainnya dan bersedia memperbaiki

lingkungan mereka bila diperlukan. Bagian penting dari kecerdasan ini adalah

pengetahuan tasit (pengetahuan diam-diam) atau perolehan pengalaman yang cerdas

yang secara tidak langsung diajarkan. Pada pengetahuan ini mecakup kemampuan

memahami mekanisme kerja sistem untuk mencapai keuntungan tertentu, bekerja

dengan jalan pintas, namun cerdas.

33

Menurut Indragiri (2010:14) bahwa teori intelegensi majemuk Howard Gardner

memberi dampak yang cukup besar pada pemikiran dan praktik di bidang pendidikan

terutama di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa terdapat 9 jenis kecerdasan pada

manusia, yang mana kecerdasan-kecerdasan tersebut dapat diajarkan asalkan

disampaikan dengan cara yang sesuai, salah satunya adalah kecerdasan logis.

Menurut Howard Gardner dalam Indragiri (2010:15) bahwa kecerdasan logis

adalah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Ia mampu memikirkan dan

menyusun solusi (jalan keluar) dengan urutan yang logis (masuk akal). Ia suka angka,

urutan, logika dan keteraturan. Ia mengerti pola hubungan, mampu melakukan proses

berfikir proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir deduktif artinya cara

berpikir dari hal-hal yang besar kepada hal-hal yang kecil. Sementara proses berpikir

induktif artinya cara berpikir dari hal kecil kepada hal yang besar. Pada masa pubertas

anak bersikp reaktif dan mulai aktif berkegiatan dalam rangka menemukan pedoman

hidup (Indragiri, 2010:80).

Menurut Indragiri (2010:86), anak yang memiliki kecerdasan logis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Anak mahir dalam perhitungan yang melibatkan angka-angka. (2) Anak mampu menangani masalah yang memerlukan pemikiran logis. (3) Anak mampu mengelompokkan benda-benda sesuai dengan jenisnya. (4) Anak cukup mahir bermain monopoli, catur, ular tangga dan semacamnya. (5) Anak suka bereksperimen dengan sesuatu yang belum ia mengerti, selalu penasaran bila belum menemukan jawaban yang memuaskannya. (6) Anak mudah dalam memahami sebab akibat. (7) Anak biasanya unggul dalam pelajaran matematika dan IPA.

Menurut Jasmine (2007:20) kecerdasan logis-matematis sering dipandang dan

dihargai lebih tinggi dari pada jenis-jenis kecerdasan lainnya, khususnya dalam

34

masyarakat teknologi kita dewasa ini. Kecerdasan logis-matematis dapat didiskusikan

dan kemudian digambarkan dengan aktivitas-aktivitas yang melibatkan hal-hal berikut:

1) Bilangan dan angka

2) Berbagai macam pola

3) Berhitung, komputasi

4) Pengukuran

5) Geometri

6) Statistik

7) Kemungkinan

8) Penyelesaian maslah

9) Logika

10) Permainan strategi

11) Pembuatan grafik.

Menurut Reed (2011:333) sebuah tugas yang memiliki sisi yang abstrak atau

tidak familiar dapat sangat sulit dibandingkan dengan tugas yang sama dengan isi yang

familiar. Sebuah contoh yang mencolok dari studi Bransford dan Johnson (1973) dalam

Reed (2011) menyatakan bahwa sangat sulit bagi pembaca untuk memahami ide-ide

abstrak, kecuali jika mereka dapat menghubungkannya dengan pengalaman familiar.

Argumen yang sama juga berlaku untuk penalaran dan pemecahan masalah.

Menurut Salam (2003:123), penjelasan logis termasuk dalam salah satu

penjelasan dalam pengetahuan ilmiah. Penjelasan logis terdiri dari penjelasan dedukatif

35

dan penjelasan induktif. Penjelasan deduktif terdiri dari serangkaian tindakan berpikir

untuk menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat umum. Dengan demikian

dalam penjelasan deduktif diperlukan adanya suatu pernyataan yang bersifat umum. Hal

yang dipergunakan sebagai pangkal tolak atau dalil. Argumen atau penjelasan secara

deduktif tidaklah akan diterima begitu saja sebelum menguji premis-premis yang

dugunakannya itu. Penjelasan induktif atau biasa disebut penjelasan kausal yang

mencakup penjelasan yang menggunakan pangkal tolak pada hal-hal khusus, tertentu,

untuk sampai pada hal yang umum.

Menurut Salam (2003:140) penalaran sebagai suatu aktivitas berpikir

mempunyai dua ciri:

1) Adanya pola pikir yang disebut logika atau proses berpikir logis. Berpikir itu

mempunyai konotasi jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Sering terjadi

adanya kekacauan penalaran, artinya suatu proses berpikir itu disebut logis dari

sudut logika yang lain. Hal ini sering tidak dapat konsisten dalam memakai pola

berpikir tertentu.

2) Adanya sifat analitik dari proses berpikir dari proses berpikir manusia. Penalaran

ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang memakai logika ilmiah dan penalaran

lainnya memakai logikanya sendiri pula. Sifat analitik ini adalah konsekuensi dari

adanya suatu pola pikir tertentu. Tanpa pola pikir tersebut takkan ada kegiatan

analisis, karena pada hakikatnya analisis adalah suatu aktivitas berpikir berdasarkan

langkah-langkah tertentu.

36

Dapat disimpulkan bahwa tidak semua aktivitas berpikir adalah bersifat logis.

Jadi dapat dibedakan antara ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan bukan penalaran.

Suatu cara penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran ialah ‘merasa’.

Aktivitas berpikir manusia yang tidak berdasarkan penalaran adalah intuisi. Menurut

Ni’matus (2011: 17) karakteristik dari berpikir logis, yaitu:

1) Keruntutan berpikir: siswa dapat menentukan langkah yng ditempuh dengan teratur

dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan dari awal perencanaan hingga

didapatkan suatu kesimpulan.

2) Kemampuan untuk beragumen: siswa dapat memberikan argument secaralogis sesuai

dengan fakta atau informasi yang adaterkait dengan langkah perencanaan masalah

dan penyelesaian masalah yang ditempuh.

3) Penarikan kesimpulan : siswa dapat menarik suatu kesimpulan dari suatu

permasalahan yang ada berdasarkan langkah penyelesaian yang telah ditempuh.

Deskripsi karakteristik kemampuan berpikir logis pada penelitian ini ditunjukkan

pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Karakteristik Kemampuan Berpikir Logis

NoKarakteristik Berpikir

LogisKeterangan

37

1 Keruntutan berpikir Siswa menyebutkan seluruh informasi yang sudah

diketahui dan apa yang ditanyakan di soal dengan

tepat.

Siswa dapat mengungkapkan secara umum semua

langkah yang akan digunakan dalam penyelesaian

masalah.

2 Kemampuan berargumen Siswa dapat mengungkapkan alasan logis mengenai

seluruh langkah-langkah penyelesaian yang akan

digunakan dari awal hingga mendapatkan kesimpulan

dengan benar.

Siswa dapat menyelesaikan soal-soal secara tepat

pada setiap langkah-langkah yang digunakan dalam

pemecahan masalah.

Siswa menggunakan alasan yang logis untuk jawaban

akhir yang kurang tepat

3 Penarikan kesimpulan Siswa dapat memberikan kesimpulan dengan tepat

pada setiap langkah penyelesaian.

Siswa mendapat suatu kesimpulan dengan tepat pada

hasil akhir jawaban.

(Sumber: Andriawan: 2014)

Deskripsi Indikator kemampuan berpikir logis siswa diuraikan pada Tabel 2.4

berikut ini.

Tabel 2.4 Deskripsi Indikator Kemampuan Berpikir LogisNo Tahap

pemecahan masalah

Indikator berpikir logisKeruntutan berpikir Kemampuan

berargumenPenarikan kesimpulan

38

1 Memahami masalah

Siswa menyebutkan seluruh informasi dari apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan di soal dengan tepatSiswa menyebutkan beberapa informasi dari apa yang diketahui dan apa yang ditanya di soal kurang tepatSiswa menyebutkan beberapa informasi dari apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan di soal secara tidak tepat.

2 Rencana penyelesaian masalah

Siswa dapat mengungkapkan semua langkah awal yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah

Siswa mengungkapkan seluruh langkah-langkah penyelesaian dari awal hingga mendapat kesimpulan dengan benar

Siswa hanya mengungkapkan beberapa langkah awal yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah

Siswa mengungkapkan langkah-langkah penyelesaian dari awal hingga mendapat kesimpulan kurang tepat atau terdapat kesalahan

(1) (2) (3) (4) (5)Siswa tidak mengungkapkan langkah awal yang akan

Siswa dapat menyelesaikan soal secara tepat pada

39

digunakan dalam penyelesaian masalah

setiap langkah serta dapat memberikan argument pada setiap langkah

3 Melakukan perencanaan penyelesaian

Siswa dapat menyelesaikan soal secara tepat pada setiap langkah serta dapat memberikan argument pada setiap langkah

Siswa memberikan kesimpulan dengan tepat pada tiap langlah penyelesaian

Ada langkah oal penyelesaian yang tidak sesuai rencana penyelesaian soal dan dapat memberikan argument terkait dengan langkah yang tidak sesuai tersebut

Siswa memberikan kesimpulan yang kurang tepat pada beberapa langkah penyelesaian

Siswa tidak dapat menyelesaikan soal sesuai langkah-langkah penyelesaian serta tidak dapat memberikan argumennya mengenai langkah-langkah penyelesaian yang digunakan

Siswa tidak mendapatkan kesimpulan yang benar pada langkah penyelesaian

(1) (2) (3) (4) (5)4 Melihat kembali

penyelesaianSiswa mengungkapkan alasan yang logis

Siswa mendapatkan suatu

40

untuk memberikan jawaban akhir dengan tepat

kesimpulan dengan tepat pada hasil akhir jawaban

Siswa mengungkapakan alasan yang logis untuk jawaban akhir yang kurang tepat

Siswa mendapatkan suatu kesimpulan yang kurang tepat pada hasil akhir jawaban

Siswa tidak dapat mengungkapkan alasan yang logis untuk jawaban akhir yang kurang tepat atau tidak tepat

Siswa tidak mendapatkan suatu kesimpulan tertentu pada hasil akhir jawaban

(Sumber: Andriawan: 2014)

2.5 Sifat-Sifat Cahaya

Cahaya tidak mempunyai wujud, namun cahaya yang ada disekitar kita dapat

dirasakan keberadaannya. Berdasarkan jenisnya, cahaya dibedakan menjadi cahaya yang

tampak dan cahaya yang tidak tampak. Cahaya tampak adalah cahaya yang jika

mengenai benda maka benda tersebut akan dapat dilihat oleh manusia, contoh cahaya

matahari. Cahaya tak tampak adalah cahaya yang bila mengenai benda tidak akan

tampak lebih terang atau masih sama sebelum terkena cahaya. Contoh cahaya tak

tampak adalah sinar inframerah dan sinar x. Cahaya tampak dibagi menjadi 2 yaitu

monokromatik dan polikromatik. Monokromatik adalah satu cahaya yang terdiri dari

41

satu warna, contohnya merah. Sedangkan polikromatik adalah satu cahaya yang terdiri

dari beberapa warna, contohnya ungu, merupakan kombinasi antara merah dan biru.

Kita memerlukan cahaya untuk dapat melihat. Benda-benda yang ada di sekitar

kita dapat kita lihat apabila ada cahaya yang mengenai benda tersebut, dan cahaya yang

mengenai benda tersebut dipantulkan oleh benda ke mata. Walaupun benda terkena

cahaya, jika pantulannya terhalang dari mata kita, kita tidak dapat melihat benda

tersebut, misalnya suatu benda yang berada di balik tirai atau tembok. Sebuah benda

dapat dilihat oleh mata kita karena adanya cahaya, yang memancar atau dipantulkan dari

benda tersebut, yang sampai ke mata. Berdasarkan sumbernya cahaya dibedakan

menjadi dua macam, yaitu:

Cahaya yang berasal dari benda itu sendiri, seperti matahari, senter, lilin, dan

lampu. Cahaya yang memancar dari benda akibat memantulnya cahaya pada permukaan

benda tersebut dari sumber cahaya. Misalnya, jika kamu melihat benda berwarna biru,

artinya benda tersebut memantulkan cahaya berwarna biru. Berdasarkan dapat tidaknya

memancarkan cahaya, benda dikelompokkan menjadi benda sumber cahaya dan benda

gelap. Benda sumber cahaya dapat memancarkan cahaya. Contoh benda sumber cahaya

yaitu Matahari, lampu, dan nyala api. Sementara itu, benda gelap tidak dapat

memancarkan cahaya. Contoh benda gelap yaitu batu, kayu, dan kertas.

Untuk mengenali cahaya, diperlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai

sifat-sifat cahaya. Terdapat empat sifat cahaya yang akan dibahas, yaitu :

42

1) Cahaya merambat lurus

2) Cahaya dapat dipantulkan

3) Cahaya dapat dibiaskan

4) Cahaya merupakan gelombang elektromagnetik

2.5.1 Cahaya Merambat Lurus

Cahaya merambat ke semua arah. Misalnya jika lilin atau lampu dinyalakan di

tempat gelap, maka dapat dilihat bahwa daerah di sekitar lilin atau lampu tersebut akan

terang. Cahaya merambat menurut garis lurus ke segala arah dan apabila pancaran

cahaya terhalangi oleh suatu benda tak tembus cahaya maka akan terbentuk bayangan

yang sebangun dengan bendanya.

Gambar 2.1 Cahaya merambat lurus melalui celah vertikal (Kanginan, 2007)

2.5.2 Cahaya dapat Dipantulkan

Cahaya memiliki sifat dapat dipantulkan jika menumbuk suatu permukaan

bidang. Pemantulan yang terjadi dapat berupa pemantulan baur dan pemantulan teratur.

Pemantulan baur terjadi jika cahaya dipantulkan oleh bidang yang tidak rata seperti

aspal, tembok, batang kayu dan lainnya. Pemantulan teratur terjadi jika cahaya

43

dipantulkan oleh bidang yang rata, seperti cermin datar atau permukaan air danau yang

tenang. Pemantulan teratur menghasilkan berkas sinar pantul yang arahnya sejajar ke

satu arah, sedangkan pemantulan baur menghasilkan berkas-berkas sinar pantul yang

arahnya tidak sejajar ke satu arah.

Gambar 2.2 (a) Pemantulan Baur, (b) Pemantulan Teratur (Kanginan, 2007)

Pada pemantulan baur dan pemantulan teratur, sudut pantulan cahaya besarnya

selalu sama dengan sudut datang cahaya. Hal tersebut yang menjadi dasar hukum

pemantulan cahaya yang dikemukakan oleh snellius. Snellius menambahkan konsep

garis normal yang merupakan garis khayal yang tegak lurus dengan bidang. Garis

normal berguna untuk memudahkan pembentukan bayangan oleh cahaya.

Bunyi hukum pemantulan cahaya sebagai berikut :

1) Sinar satang, garis normal dan sinar pantul terletak pada suatu bidang dan ketiganya

berpotongan pada suatu titik.

2) Besar Sudut datang (i) sama dengan sudut pantul (r)

Jika dirumuskan adlah sebagai berikut : ∠i = ∠r

44

Gambar 2.3 Pemantulan Sinar Senter oleh Cermin Datar Memenuhi Hukum Pemantulan. (Kanginan, 2007)

Kemampuan kita melihat warna tidak lepas dari sifat cahaya itu sendiri. Cahaya

yang mengenai benda sebagian akan dipantulkan ke mata kita dan sebagian lagi akan

diserap benda sebagai energi. Misalnya cahaya yang mengenai benda terlihat berwarna

merah. Hal ini berarti spektrum cahaya merah akan dipantulkan oleh benda, sedangkan

spectrum warna lainnya akan diserap oleh benda tersebut.

Gambar 2.4 Pemantulan sinar ke mata dari lukisan (Kanginan, 2007)

Benda-benda yang ada di sekitar kita dapat kita lihat apabila ada cahaya yang

mengenai benda tersebut, dan cahaya yang mengenai benda tersebut dipantulkan oleh

benda ke mata. Walaupun benda terkena cahaya, jika pantulannya terhalang dari mata

45

kita, kita tidak dapat melihat benda tersebut, misalnya suatu benda yang berada di balik

tirai atau tembok.

Bila berdiri di depan sebuah cermin datar, maka akan terlihat bayangan yang

bersifat maya di dalam cermin tersebut, kemudian tampak pula bahwa bayangan berdiri

tegak dan menghadap terbalik. Jika menghadap ke utara maka bayanganmu menghadap

keselatan. Jarak benda ke cermin datar sama dengan jarak bayanganmu ke cermin.

. Gambar 2.5 Bayangan Benda pada Cermin Datar adalah Maya, Tegak dan Menghadap

Terbalik terhadap Bendanya. (Kanginan, 2007)

2.5.3 Cahaya dapat Dibiaskan

Cahaya dapat dibiaskan ketika melalui medium dengan kerapatan yang berbeda.

Kecepatan cahaya akan menururn saat memasuki air atau medium yang lebih rapat.

Semakin besar perubahan kecepatan cahaya saat melalui dua medium yang berbeda,

akan semakin besar pula efek pembiasan yang terjadi. Namun, pembiasan tidak terjadi

pada benda yang dicelupkan dalam posisi tegak lurus.

46

Gambar 2.6 Diagram sinar bias dari medium udara ke medium air (Abadi & Rohana: 2012)

Pembelokan seberkas cahaya yang merambat dari suatu medium ke medium

yang lainnya berbeda kerapatannya dinamakan pembiasan (refraksi). Sudut antara sinar

datang dan garis normal disebut sudut datang (i), sedangkan sudut antara sinar bias dan

garis normal disebut sudut bias (r).

Hukum I Pembiasan (Snellius I) : sinar datang, sinar bias dan garis normal terletak pada

satu bidang datar dan ketiganya berpotongan pada satu titik.

Hukum II Pembiasan (Snellius II) : sinar datang dari medium kurang rapat ke medium

lebih rapat dibiaskan mendekati garis normal. Sebaliknya, sinar yang datng dari medium

lebih rapat ke medium kurang rapat dibiaskan menjauhi garis normal.

Gambar 2.7 Diagram Sinar bias dari medium kurang rapat ke lebih rapat (Abadi & Rohana: 2012)

47

Cahaya bisa dibiaskan karena adanya beda kerapatan antara kedua medium.

Ternyata cepat rambat juga berbeda untuk medium yang berbeda. Kecepatan cahaya

dalam riuang hampa yaitu c=3x108 m/s. Makin rapat mediumnya maka makin kecil

cepat rambat cahayanya.

Pembentukan bayangan pada pembiasan bisa diperhatikan melalui peristiwa

pensil batang ketika diletakkan dalam bejana yang sudah terisi dengan ir 3/5 bagian.

Tampak bahwa penil yang berada alam air membengkok. Batang pensil yang tercelup

sebagian dalam air tampak membelok dalam air. Peristiwa ini disebut ilusi optik yaitu

suatu benda yang ada di dalam air selalu tampak lebih dekat oleh pengamat yang berada

di atas permukaan air. Inilah yang menyebabkan kolam renang selalu tampak dangkal

dari kedalaman sebenarnya.

Gambar 2.8 Pensil yang membengkok disebabkan adanya pembiasan (Kanginan, 2007)

2.5.4 Cahaya Merupakan Gelombang Elektomagnetik

Cahaya merupakan gelombang, akan tetapi berbeda sifatnya dengan gelombang

laut. Gelombang laut mentrasfer energi melalui pemindahan mediumnya, sedangkan

cahaya dapat mentransfer energi dari satu temapat ke tempat lainnya tanpa

48

menggunakan medium sehingga cahaya merupakan gelombang elektromagnetik.

Gelombang elektromagnetik terbentuk karena adanya perubahan medan magnet dan

medan listrik secara periodik.

Salah satu fenomena yang dapat dibuktikan bahwa cahaya itu mentransfer energi

adalah saat lilin yang dinyalakan di sebuah ruang yang gelap dan kemudian lilin tersebut

dapat menerangi ruangan tersebut. Contoh lainnya adalah matahari yang memancarkan

gelombang cahayanya melalui ruang angkasa (ruang hampa tanpa medium). Gelombang

cahaya matahari memancarkan ke segala arah sampai ke bumi meskipun melalui ruang

hampa udara. Hal ini berarti gelombang cahaya dapat merambat pada ruang kosong

(hampa udara) tanpa adanya materi. Berdasarkan frekuensinya, gelombang

elektromagnetik ada bermacam-macam. Berikut klasifikasi gelombang elektromagnetik

yang dikenal dengan spektrum elektromagnetik.