bab ii tinjuan pustaka -...

13
BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Ekobiologi Kakao 2.1.1. Kesesuaian Lahan Kakao Menurut Muray dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas cahaya matahari rendah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas kakao. 1. Iklim Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun. 2. Tanah dan Topografi Ackenhorah dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), menjelaskan bahwa keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak asam, atau agak basah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi,

Upload: ngodan

Post on 08-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1. Ekobiologi Kakao

2.1.1. Kesesuaian Lahan Kakao

Menurut Muray dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004),

kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk

dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis.

Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan

tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas

cahaya matahari rendah.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa

seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan

menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan

mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas

kakao.

1. Iklim

Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), sebaran curah

hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah

curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan

kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan

berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan

dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat

tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya

relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun.

2. Tanah dan Topografi

Ackenhorah dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004),

menjelaskan bahwa keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral

atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil),

sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak

asam, atau agak basah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)

menjelaskan, tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi,

yaitu di atas 3%. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah

kurang dari 15%. Suhu udara harian idealnya sekitar 28ºC, sehingga semakin

tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya.

2.1.2. Morfologi Tanaman Kakao

1. Batang dan Cabang

Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)

menjelaskan bahwa, jika dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun

mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0

meter. Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas

vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop

atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya

ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan). Tanaman kakao

asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 – 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan

membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola

percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pada

tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas

air/chupon.

2. Daun

Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)

menjelaskan, sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat

dimorfisme. Pada tunas ortotrop, tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm

sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm

serta tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya.

Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing

(acuminatus) dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip

dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging

daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung

pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan

daun licin dan mengkilap.

3. Akar

Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagian besar

akar lateralnya mendatar berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada

kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme dalam Pusat Penelitian Kopi

dan Kakao Indonesia (2004), 56 % akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26 %

pada jeluk 11-20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4 % tumbuh pada

jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan jelajah akar lateral

dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil

yang susunannya ruwet.

4. Bunga

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, bunga

tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat

tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa

disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao berwarna putih, ungu atau

kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota.

Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota panjangnya 6-8

mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang

(claw) dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran

tipis, fleksibel, dan berwarna putih.

Gambar 1. Bantalan bunga atau buah kakao

5. Buah dan Biji

Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), buah yang

ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna

kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak

berwarna jingga (orange). Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang

letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur kelihatan jelas. Kulit

buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe

forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis. Buah

akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari

panjang 10 hingga 30 cm, pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama

perkembangan buah.

2.1.3. Fisiologi Tanaman Kakao

1. Fotosintesis

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa,

pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree).

Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi,

selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman

atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia. Tanaman penaung

berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor

lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah

serta musim kemarau yang tegas dan panjang. Laju fotosintesis optimum

berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70 %.

2. Perkembangan Akar

Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pada awal

perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur

satu minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga

bulan. Setelah itu laju pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50

cm memerlukan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah

dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang dalam dan

berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m.

Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan

keras, maupun air tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar

tunggang akan membelah diri menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris

(mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang dijumpai terlalu besar, sebagian

akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke bawah.

Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang

sama sekali.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembungaan Kakao

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan,

pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan

faktor lingkungan (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat

oleh musim kemarau atau oleh suhu dingin. Namun, di lokasi yang curah

hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil, tanaman akan

berbunga sepanjang tahun.

2.2. Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora)

2.2.1. Kerusakan

Berdasarkan data dari CABI- Biocontrol News and Information dalam

Ramlan (2010), di Indonesia, penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh

Phytophthora palmivora menyebabkan kerugian yang cukup berarti terutama di

daerah yang beriklim basah. Di Jawa Tengah kerugian dapat mencapai 49,8 %,

Jawa Timur 46,43 %, Jawa Barat 42,30 %.

Opoku et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, meskipun

pathogen ini menyerang seluruh bagian tanaman, tetapi kerusakan paling besar

adalah karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit. Selain itu

Anderson dan Guest dalam Ramlan (2010) juga menjelaskan bahwa, kehilangan

hasil karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit dapat mencapai 39 %.

Di Ghana kehilangan buah karena Phytophthora palmivora megakarya berkisar

antara 60-100 % dan akibatnya banyak petani mengabaikan tanamannya atau

tidak melakukan pengendalian, dan sebagian petani telah mengganti tanaman

kakaonya dengan tanaman lain.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, serangan

penyakit pada buah muda akan menyebabkan busuk. Terjadinya serangan

penyakit hanya berlangsung selama beberapa hari hingga menyebabkan buah

rusak dan tidak bisa dipanen. Serangan pada buah dewasa menimbulkan

kerusakan pada biji, tetapi buah masih bisa dipanen, walaupun kualitas biji kakao

tidak bagus.

Rocha dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)

menjelaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat serangan penyakit sangat

bervariasi. Di Kamerun, penyakit ini menurunkan 20-80 % produksi buah kakao.

Di Costa Rica, prkiraan berkurang sebanyak 50 %, di Brasil 15-30 % di Meksiko

80 % dab di Ghana 10-15 %. Selanjutnya Holdenes dalam Pusat Penelitian Kopi

dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Papua Nugini kehilangan produksi

buah kakao menunjukkan rata-rata 17 % dengan kisaran 5-39 %. Browke (Pusat

Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Samoa Barat

kehilangan produksi sebesar 60-80 % pada tahun-tahun yang sangat basah dengan

curah hujan yang selalu tinggi, lebih dari 2000 mm. Menurut Brown dalam Pusat

Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), di kepulauan Solomon kerugian

dapat mencapai 25 % selama periode panen.

Besarnya kerugian akibat busuk buah di Indonesia juga laporkan oleh

beberapa peneliti. Sumomarto dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

(2004) menjelaskan, persentase busuk buah di kebun kedondong dan ngobo (Jawa

Tengah) sebesar 49,8 % dan 32,6 %. Situmorang dan Suyatno dalam Pusat

Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan di kebun Kelatakan

(Jawa Timur) kehilangan hasil sebesar 45,5 %. Selanjutnya Sukamto dan Sardjono

dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, kerugian

di Jati Rono (jawa timur) 41,9 %, Sukamto dalam Pusat Penelitian Kopi dan

Kakao Indonesia (2004), menjelaska, di kebun Glenmore (jawa Timur) 52,99 %.

Dan menurut Pawirosoemardjo dan Purwantara dalam Pusat Penelitian Kopi dan

Kakao Indonesia (2004), kerugian di kebun Bunisari Jawa Barat sebesar 42,30 %.

2.2.2. Bioekologi Patogen

Alexopoulus dan Mims dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa,

Phytophthora termasuk family Pythiaceae, ordo Peronosporales, kelas Oomycetes.

Phytophthora palmivora merupakan cendawan heterotalik, tidak menghasilkan

stadium seksual dalam medium buatan. Miselium tidak bersepta dan mengandung

banyak inti diploid. Hifa tidak berwarna, mempunyai cabang yang banyak, agak

keras, sinosis, kadang-kadang bersepta, berdiameter antara 5 – 8 μ. Pada jaringan

tanaman, pertumbuhan hifa biasanya interseluler dan membentuk haustorium di

dalam sel inang. Phytophthora palmivora dilaporkan dapat membentuk

sporangium pada buah kakao dengan kisaran kelembaban nisbi udara 70-90 %,

namun tidak pernah 100 %. Menurut Duniway dalam Ramlan (2010), meskipun

kondisi lingkungan tidak menguntungkan, misalnya kelembaban udara rendah,

radiasi sinar matahari dan temperature ekstrim, sporangium masih dapat

terbentuk, memencar dan menginfeksi.

Menurut Purwantara dalam Ramlan (2010), faktor yang berperan untuk

terjadinya infeksi adalah kebasahan permukaan buah kakao dan kelembaban nisbi

udara (RH) yang tinggi sekitar 95 %. Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya

bahwa pelepasan, perkecambahan, dan infeksi zoospore terjadi apabila tersedia air

bebas. Air bebas dapat terjadi karena ada hujan atau kondensasi uap air jenuh

akibat penurunan suhu yang berlangsung secara mendadak.

2.2.3. Diagnosis (Cara Pengamatan)

Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pengamatan

penyakit ini bisa dilakukan dilapangan dengan melihat gejala serangan khusus.

Penyakit ini menyerang buah kakao yang masih muda sampai dewasa. Tetapi

persentase serangan lebih banyak pada buah yang sudah dewasa. Buah yang

terinfeksi menunjukkan gejala terjadi pembusukan disertai bercak cokelat

kehitaman dengan batas yang tegas. Serangan biasanya dimulai dari ujung atau

pangkal buah. Perkembangan bercak cokelat cukup cepat, sehingga dalam waktu

beberapa hari seluruh permukaan buah menjadi busk, basah dan berwarna cokelat

kehitaman. Pada kondisi lembab pada permukaan buah akan muncul serbuk

berwarna putih. Serbuk ini adalah spora yang seringkali bercampur dengan jamur

sekunder/jamur lain.

Menurut Hidayana et al., (2002), buah yang terserang nampak bercak

bercak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari pangkal, tengah atau ujung buah.

Apabila keadaan kebun lembab, maka bercak tersebut akan meluas dengan cepat

ke seluruh permukaan buah, sehingga menjadi busuk, kehitaman dan apabila

ditekan dengan jari terasa lembek dan basah.

Guest dalam Ramlan (2010) menjelaskan, gejala penyakit yang paling

menyolok adalah busuk pada buah atau buah hitam. Bercak pada buah mulai kecil

seperti spot-spot yang kotor dan tebal pada bagian buah dimana saja pada setiap

fase perkembangan buah. Bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan

internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Menurut Jackson dan Wright

dalam Ramlan (2010), buah yang terinfeksi akan menjadi busuk total dalam

waktu 2 minggu. Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaska, pathogen

menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut dan

berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya menjadi hitam dan mumi.

Selanjutnya menurut Sukamto dan Pujiastuti dalam Ramlan (2010),

pathogen dapat masuk ke dalam buah dan menyebabkan biji menjadi busuk dan

menurunkan kualitasnya (Gambar 2).

Gambar 2. Gejala Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao Oleh Phytophthora

Palmivora. Sumber : PUSLITKOKA

2.2.4. Penyebab Penyakit

Menurut Semangun dalam Ramlan (2010), penyakit busuk buah kakao

merupakan penyakit paling penting pada pertanaman kakao di seluruh dunia.

Browers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, penyakit ini disebabkan olen

cendawan pathogen Phytophthora spp. Studi taksonomi menunjukkan bahwa

Phytophthora yang menyerang tanaman kakao terdiri dari beberapa spesies antara

lain: Phytophthora palmivora , Phytophthora megakarya, Phytophthora capsici,

Phytophthora citrophthora, dan Phytophthora tropicilis. Phytophthora palmivora

merupakan salah satu pathogen paling penting di daerah tropis, menyerang

berbagai jenis tanaman seperti kakao, kelapa, karet, papaya, pinang, lada, nenas,

kelapa sawit, sukun dan lain-lain. Menurut penelitian Ramlan (2010), di Indonesia

penyakit busuk buah kakao disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Rosmana, et

al., dalam Nurjanani (2010) juga menjelaskan bahwa, di Indonesia penyakit busuk

buah kakao (BBK) disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Hindayana et.al.,

(2002) menjelaskan bahwa, penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora

palmivora yang dapat menyerang buah muda sampai masak. Menurut hasil

penelitian Suherah, et al., (2010), bentuk sporangia Phytophthora palmivora

adalah berbentuk avoid seperti pada gambar berikut:

Gambar 3. Morfologi Sporangia Phytophthora Palmivora Pada Media Henniger Agar (S1), Dan Sporangia Pada Buah Kakao Yang Terserang Busuk Buah (S2).

2.2.5. Penyebaran Penyakit

Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), jamur

menyebar dari satu buah ke buah lain melalui beberapa cara, terutama melalui

percikan air hujan, hubungan langsung antara buah sakit dan buah sehat, dan

melalui perantara binatang. Hislop dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao

Indonesia (2004) menjelaskan, percikan air hujan merupakan agen penyebar

penyakit yang paling penting. Percikan air hujan dapat menyebabkan spora jamur

dari buah sakit ke buah sehat atau spora yang berasal dari tanah ke buah. Menurut

Evans dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), binatang dapat

menyebarkan penyakit ketempat yang lebih tinggi dan lebih jauh, karena binatang

dapat berpindah tempat dengan mudah. Salah satu binatang yang paling berperan

dalam penyebaran penyakit adalah semut. Selain itu, ada binatang penyebar lain

seperti tikus, tupai, dan bekicot.

Hislop dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004)

menjelaskan, perkecambahan spora jamur membutuhkan air yang bebas secara

alami disembarang tempat. Permukaan buah yang memiliki kelembapan cukup

tinggi akan terbentuk sporangiofor (tangkai sporangium) dan sporangium (organ

berkembang biak pada jamur). Pembentukan sporangium sangat dipengaruhi oleh

cahaya. Pada intensitas cahaya yang tinggi akan terbentuk sporangium yang

jumlahnya cukup banyak. Selanjutnya spora tersebut tersebar ketempat lain (buah

atau ranting disekitar tempat terbentuknya spora) dan menyebabkan infeksi atau

serangan baru.

Menurut Evans dan Prior dalam Ramlan (2010), inokulum yang memulai

infeksi pada buah berasal dari tanah atau akar, batang dan daun yang terinfeksi.

Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, infeksi akar berasal dari residu

inokulum tanah biasanya tidak menyebabkan kerugian ekonomi, meskipun

demikian akar-akar yang terinfeksi dapat berperan sebagai sumber inokulum

untuk infeksi buah, hal yang sama terjadi pada kanker batang dan kulit batang

juga berperan sebagai sumber inokulum untuk infeksi buah. Sekali buah terinfeksi

dan terjadi sporulasi, dapat menghasilkan sejumlah besar sumber inokulum untuk

infeksi buah-buah yang lain. Menurut Gregory dan Maddison dalam Ramlan

(2010), pada kondisi yang lembab, satu buah dapat menghasilkan 4 juta sporangia.

Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010) menjelaskan, sporangia dapat tersebar

oleh percikan air hujan, angin, semut, serangga-serangga yang terbang, tikus,

kelelawar, alat-alat pertanian dan tanah yang terkontaminasi, dan lain-lain.

Gambar 4. Penyebaran Penyakit Busuk Buah Kakao Sumber : PUSLITKOKA

Menurut Deberdt et al., dalam Ramlan (2010), Phytophthora palmivora

dapat menginfeksi buah pada berbagai fase perkembangan buah. Meskipun

demikian buah-buah yang belum matang adalah paling peka terhaap infeksi

pathogen, dan kerusakan paling besar jika infeksi terjadi pada buah dua bulan

sebelum matang. Fulton dalam Ramlan (2010), menjelaskan bahwa, temperatur

buah meningkat pada siang hari dan dingin pada malam hari dan temperatur yang

meningkat pada waktu tersebut menjadi penyebab langsung kondensasi air di atas

permukaan buah yang menjadi mikroinkubator yang ideal bagi spora

Phytophthora karena spora pathogen tersebut bersifat hidropilik.

Menurut Jackson dan Wright dalam Ramlan 2010), sumber-sumber infeksi

untuk awal terjadinya epidemic adalah: (1) sporangia yang tercuci atau terpercik

air hujan atau tertiup angin dari buah yang terinfeksi akan menjadi sumber utama

untuk infeksi berikutnya pada buah yang sehat; (2) pathogen yang bertahan hidup

di dalam tanah atau lapisan daun, dan dari sana berpindah dan menginfeksi buah

yang paling bawah atau tanah yang mengandung pathogen dapat dipindahkan oleh

semut ke permukaan buah; (3) sporangia tercuci air hujan dari tunas-tunas dan

daun yang terinfeksi dapat berpindah masuk pada buah di dalam kanopi tanaman;

(4) pathogen juga dapat berasal dari kanker batang masuk ke dalam bantalan

bunga sampai ke buah; (5) spora juga dapat terbawa ke pertanaman baru melalui

alat pangkas; (6) atau terbawa oleh tikus dengan cara tikus mengunyah buah yang

terinfeksi dan kemudian mengunyah buah yang sehat.

2.2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit

Menrut Hidayana et al., (2002), penyebaran penyakit dibantu oleh keadaan

lingkungan yang lembab terutama pada musim hujan. Buah yang membusuk pada

pohon juga mendorong terjadinya infeksi pada buah lain dan menjalar kebagian

batang/cabang. Patogen ini disebarkan oleh angin dan air hujan melalui spora.

Pada saat tidak ada buah, jamur dapat bertahan di dalam tanah. Penyakit ini akan

berkembang dengan cepat pada daerah yang mempunyai curah hujan tinggi,

kelembaban udara dan tanah yang tinggi terutama pada pertanaman kakao dengan

tajuk rapat.

2.3.Pengendalian

Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), di Indonesia,

penyakit busuk buah sampai saat ini belum dapat dikendalikan terutama dikebun-

kebun beriklim basah yang menanam varietas atau klon rentan (tidak tahan

serangan penyakit). Penanaman varietas atau klon rentan di daerah kering ataupun

penanaman varietas atau klon tahan di daerah basah bisa mengurangi masalah

serangan penyakit. Serangan penyakit juga bisa ditangani dengan cara sanitasi dan

pemakaian fungisida racun kontak. Cara pengendalian penyakit busuk buah

selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Cara Pengendalian Penyakit Busuk Buah Pada Beberapa Intensitas Serangan

Intensitas Serangan Cara Pengendalian

Ringan (< 5%)*

Sedang (5-20%)*

Berat (>20%)*

Sanitasi P

Sanitasi K + Fungisida

Sanitasi K + Fungisida + Lingkungan

*) Rata-rata %tase buah sakit per tanaman.

Keterangan :

− Sanitasi P adalah memetik buah busuk yang dilakukan bersamaan saat

pemangkasan atau panen. Buah busuk yang telah dipetik selanjutnya

dibenam sedalam 30 cm dibawah permukaan tanah.

− Sanitasi K adalah memetik buah busuk dengan tenaga khusus dilakukan

dengan waktu satu minggu terutama pada musim hujan. Buah-buah busuk

tersebut kemudian dibenam selama 30 cm dibawah permukaan tanah.

− Pemakaian fungisida sebagai tindakan preventif (pencegahan). Aplikasi

fungisida dilakukan dengan cara disemprotkan pada buah sehat setelah

dilakukan sanitasi. Jenis fngisida yang bisa diaplikasikan adalah fungisida

yang berbahan aktif tembaga dengan konsentrasi 0,3 % interval waktu dua

minggu. Penyemprotan fungisida sebaiknya menggunakan alat Knapsack

sprayer (alat semprot dipunggung) dengan volume semprot 500 liter/ha.

Penyemprotan dilakukan saat buah telah berumur rata-rata tiga bulan atau

panjang buah sekitar 10 cm.

− Lingkungan yang dimaksud adalah menjaga keadaan lingkungan agar

kelembabannya tidak terlalu tinggi. Karena kelembapan yang tinggi

memudahkan proses perkembangan penyakit. Penaturan naungan (pohon

peneduh) dan pemangkasan tanaman merupakan salah satu cara alternatif

untuk mengurangi kelembapan yang terlalu tunggi. Untuk daerah yang

sering terjadi genangan air perlu dilakukan pengaturan drainase.

Menurut Sukamto dalam Asaad et al., (2010), pengendalian penyakit

busuk buah kakao ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni : (1) sanitasi

kebun, dengan memetik semua buah busuk lalu membenamnya dalam tanah

sedalam 30 cm; (2) kultur teknis yaitu dengan pengaturan pohon pelindung dan

lakukan pemangkasan pada tanamannya sehingga kelembaban di dalam kebun

akan turun; (3) cara kimia yaitu menyemprot buah dengan fungisida berbahan

aktif tembaga; (4) penggunaan klon tahan hama/penyakit seperti : klon DRC 16,

Sca 6, Sca 12, dan klon Hibrida.

Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, buah yang

terinfeksi jika tidak dibuka atau dimusnahkan akan menjadi sumber infeksi untuk

buah-buah yang lain. Disarankan sanitasi buah yang sakit paling sedikit 4 minggu

sekali, idealnya setiap minggu. Selanjutnya panen buah sehat setiap 2 minggu

akan membantu mencegah perkembangan spora di kebun. Buah-buah sakit yang

telah dipanen/dibuka kemudian dibenam/dikubur di dalam tanah (lubang sanitasi).

Selanjutnya Fulton dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, teknik

pengendalian lain adalah dengan melakukan penyemprotan fungisida. Sasaran

aplikasi fungisida pada awal musim hujan adalah areal perakaran tanaman dan

bantalan bunga pada akhir musim kemarau setelah pembersihan gulma dan buah

mumi, dan pada musim selanjutnya target aplikasi paling penting adalah pada

buah yang sudah berkembang penuh (hijau seperti bola kecil). Penyemprotan

buah-buah sehat secara preventif dengan fungisida berbahan aktif tembaga dengan

konsentrasi formulasi 0,3 %, selang waktu 2 minggu.

Menurut Wahab (2007), pengendalian penyakit busuk buah (Phytophthora

palmivora) secara umum dilakukan melalui tiga cara yaitu : sanitasi kebun,

pengendalian secara kimia dan penanaman klon resisten. Sanitasi kebun dilakukan

dalam kebun kakao yang terserang penyakit busuk buah, disarankan untuk sering

memanen buah sakit diatas pohon dan mengumpulkan buah yang jatuh ke tenah,

kemudian dibakar. Ranting-ranting atau cabang-cabang kakao yang berserakan

dibersihkan dan dikumpulkan untuk dibakar. Perbaikan drainase dan

pemangkasan pada tanaman kakao mapun tanaman pelindung dapat menurunkan

kelembaban di kebun.