bab ii tinjauan teoritis 2.1. teori habitus dan field dari...

15
9 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari Pierre Bourdieu Peirre Bourdieu mencoba mengintegrasikan antara aktor dan struktur melalui konsepnya habitus dan field yang menghasilkan praktik. Bourdieu merumuskan praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial. Apabila interior itu adalah pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya yang dibentuk oleh habitus, dan eksterior adalah struktur objektif yang ada di luar diri pelaku sosial yaitu field, maka praktik sosial ini dengan sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial dan struktur sosial atau produk interaksi dialektis antara habitus dan struktur (Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009; Harker, 2009). Karena itulah, pembahasan habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah “ruang” yang di dalamnya terjalin jaringan relasi antarposisi objektif, dan yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena sebagai suatu tempat pertempuran, “arena juga merupakan arena perjuangan” Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis (Ritzer dan Douglas, 2009: 582-583).

Upload: votruc

Post on 05-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

9

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Teori Habitus dan Field dari Pierre Bourdieu

Peirre Bourdieu mencoba mengintegrasikan antara aktor dan struktur melalui

konsepnya habitus dan field yang menghasilkan praktik. Bourdieu merumuskan praktik

sosial sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami

dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan segala sesuatu yang telah

terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial. Apabila interior itu adalah

pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya yang dibentuk oleh habitus, dan

eksterior adalah struktur objektif yang ada di luar diri pelaku sosial yaitu field, maka

praktik sosial ini dengan sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi

antara pelaku sosial dan struktur sosial atau produk interaksi dialektis antara habitus dan

struktur (Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009; Harker, 2009).

Karena itulah, pembahasan habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan

(champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua

arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang secara

struktural. Arena adalah “ruang” yang di dalamnya terjalin jaringan relasi antarposisi

objektif, dan yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan

mereka dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena sebagai suatu tempat

pertempuran, “arena juga merupakan arena perjuangan” Arena adalah sejenis pasar

kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi,

kultural, sosial dan simbolis (Ritzer dan Douglas, 2009: 582-583).

Page 2: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

10

Pengertian field (s) diuraikan dalam tulisan Jenkins (1992:84) dari hasil

wawancara Loic Wacquant dengan Bourdieu, sebagai berikut:

“...A field, in Bourdieu’s sense, is a social arena within which struggles or

manoeuvers take place over specific resources or stakes and access to them.

Fields are defined by the stakes which are at stake – cultural goods (life-style),

housing, intellectual, distinction (education), employment, land, power

(politics), social class, prestige, or whatever – and may be of differing degrees

of specificity and concreteness. Each field, by virtue of its defining content, has

a different logic and takenfor- granted structure of necessity and relevance

which is both the product and producer of the habitus which is specific and

appropriate to the field. [bolds added]”

Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi, lingkup

hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi

pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, Bourdieu mengatakan bahwa

dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai. Dalam pembedaan ini

terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial, karena itu field merupakan wadah untuk

mewujudkan habitus. Namun, menurutnya dominasi ini sangat tergantung pada situasi,

sumber daya, dan strategi pelaku.

Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan

untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh akses tertentu

yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk

memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Modal dalam perspektif

ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1) Modal terakumulasi melalui

investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; (3) Modal dapat

memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk

mengoperasikan penempatannya (Haryatmoko, 2003:11).

Page 3: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

11

Berdasarkan penjelasan di atas, modal-modal tersebut dapat digolongkan

menjadi: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh),

materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk

segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; (2) Modal

budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi

melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Misalnya kemampuan

menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi,

pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar

keserjanaan); (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku

(individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa; dan

(4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi

(Fashri, 2007: 98-100; Rtzer, 2009: 583-584; Haryatmoko, 2003: 11-13).

Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi.

Pertama, dimensi vertikal, hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku–yang

memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya–dengan mereka yang miskin.

Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan

antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki

modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan melihat pemisahan antara

keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal. Model pembagian kelas

tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan yang memungkinkan

perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat. Secara lebih konkrit orang-orang

yang termasuk dalam kelas atas, sedikit kemungkinannya menikah dengan orang yang

Page 4: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

12

berasal dari kelas bawah. Pertama, karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk

bertemu; kedua, seandainya mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah

saling memahami karena perbedaan latarbelakang budaya atau habitus mereka.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2009), yang menguraikan pemikiran

Bourdieu mengungkapkan bahwa habitus dapat dimaknai sebagai “akal sehat”

(common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti

kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus bisa jadi

merupakan fenomena kolektif, habitus memungkinkan orang untuk memahami dunia

sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya

tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.

Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan

dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan

waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan

berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari

suatu habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang

menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi

suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial

tertentu. Habitus menghasilakan perbedaan gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan

yang diperoleh dari pengalaman individu dalam berinteraksi. Pola yang terinternalisasi

tersebut mencakup berbagai prinsip klasifikasi, Bourdieu (1990: 53) mengatakan:

“Habitus are also classificatory schemes, principles of classification, principle

of vision on division, different tastes. They make distinction between with is

good and what is bad, what is right and what is wrong, between what is

distinguished and what is vulgar…”

Page 5: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

13

Berdasarkan uraian di atas, maka definisi habitus yang dikemukakan Bourdieu

dapat diformulasikan menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi.

Hal ini mencakup beberapa prinsip, diantaranya: pertama, habitus mencakup dimensi

kognitif dan afektif yang terejewantahkan dalam sistem disposisi1 (Harker, dkk., 1990:

81; 2009: 13) Kedua, habitus merupakan proses dialektika dari “struktur-struktur yang

dibentuk (structured structure) dan “struktur-struktur yang membentuk” (structuring

structure). Karena itu, disatu sisi habitus berperan membentuk kehidupan sosial, namun

disisi lain habitus juga dibentuk oleh kehidupan sosial (Ritzer, 1996: 405). Dalam

konteks seperti ini, Ritzer mengungkapkan bahwa habitus dapat bermakna sebuah

proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas.

Prinsip ketiga, habitus dilihat sebagai produk sejarah. Bourdieu mengemukakan

“the habitus, the product of history, produces individual and collective practices, and

hence history, in accordance whit the schemes engendered by history (Ritzer, 1996:

404). Dengan demikian, habitus merupakan hasil pembelajaran dan sosialisasi individu

maupun kelompok, terkadang pengaruh masa lalu. Prinsip keempat, habitus bekerja di

bawah aras kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan instrospektif atau

kontrol oleh keinginan aktor.

Walupun demikian, habitus juga memberikan strategi bagi individu untuk

mengatasi berbagai situasi yang terus berubah, lewat pengalaman-pengalaman masa

lalu, karena itu, habitus berfungsi sebagai matriks persepsi, apersepsi, dan tindakan.

1 Disposisi adalah hasil dari tindakan yang mengorganisir, menurut suatu makna yang dekat dengan

makna kata-kata seperti struktur; ia juga menunjukkan way of being (cara mengada), keadaan kebiasaan

(terutama kebiasaan tubuh), dan secara khusus menunjukkan predisposition, tendency, propensity, atau

inclination.

Page 6: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

14

Berdasarkan itu, maka dapat dikatakan bahwa sebuah tindakan tidak selamanya

dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan pada aturan, namun habitus turut memberi

arah (pendorong selakigus penghambat) bagi individu untuk bertindak. Dengan

demikian, habitus memberi keleluasan bagi aktor untuk berimprovisasi, bebas, dan

otonom. Pierre Bourdieu menyatakan, “sebagai sistem skema pendorong yang

diperoleh, habitus memungkinkan kreatifitas pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan

yang terpatri dalam pembatasan yang melekat pada kondisi khas produksinya. Habitus

mencoba mengatasi determinisme dan kebebasan, pengkondisian dan kreativitas,

kesadaran dan ketidaksadaran, atau individu dan masyarakat (Haryatmoko, 2003: 11).

Dalam kaitannya dengan bank sampah, habitus para aktor memungkinkan

munculnya kreatifitas pemikiran yang termanifestasi dalam strategi pengelolaan sampah

lewat lembaga bank sampah yang dibentuk. Selain itu, dengan memakanai habitus yang

mereka miliki, telah membuak ruang dalam upaya peningkatan dan penguatan kapasitas

kelembagaan masyarakat. Walaupun demikian, peneliti tidak bermaksud mengatakan

bahwa anggota masyarakat tidak mampu “mengekspresikan” habitus yang mereka

miliki. Namun dalam hal ini, pengaruh (dan mungkin saling pengaruh) antara para aktor

dan masyarakat (umum–khususnya masyarakat Tegalrejo) mungkin akan memunculkan

bentuk habitus baru, berupa perubahan pemahaman (pola pikir dan pola tindak) dalam

masyarakat. Perubahan pemahaman ini, bisa saja tampak dalam kesadaran masyarakat

untuk mulai memilih dan memilah sampah dari sumbernya sebelum sampai ke Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) atau ke Bank Sampah.

Page 7: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

15

2.2. Aktor dan Strategi Pengelolaan Bank Sampah

Anthony Giddens (2010:585) mengemukakan bahwa “analisis perilaku strategis

adalah analisis sosial yang menggantung institusi sebagai hasil reproduksi sosial,

dengan memusatkan perhatian pada bagaimana aktor mengawasi perbuatan mereka

secara reflektif, serta bagaimana aktor menggali dan menyusun peraturan serta sumber

daya dalam menciptakan interaksi. Pertanyaannyanya adalah apa atau siapakah

agen/aktor itu? jika mencermati teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony

Giddens (2010), demikian pula teori habitus dan field dari Pierrre Bourdieu (Harker,

2009; Fashri, 2007; Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009), yang bersepakat tentang adanya

individu otonom, bebas dan rasional, maka keduanya sampai pada satu titik temu,

bahwa setiap orang dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan,

namun kebiasaan tindakan tidak bekerja seperti halnya program yang memiliki

kemampuan kreatif dan strategis dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dengan

demikian, aktor tidak bisa direduksi sebatas manusia individu saja, namun bisa juga

kelompok, atau bahkan institusi/lembaga.

Dalam konteks seperti ini, maka pertanyaannya adalah bagaimana aktor

berperan dalam mengelola bank sampah? Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh

Dept. Pekerjaan Umum (SNI 19-2454-2002), bahwa sistem pengelolaan sampah perlu

memperhatikan 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung, dimana antara satu

dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Kelima aspek tersebut

meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan

peraturan, aspek pembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek ini saling

Page 8: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

16

terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Lebih lejasnya dapat dilihat pada gambar

berikut:

Gambar 1

Lima Aspek Pengelolaan Sampah

Sumber: Parahita Foundation, 2012

Dalam konteks seperti ini, maka dibutuhkan aktor yang kompeten dan

profesional guna mengelaborasi model konseptual pengelolaan sampah tersebut, agar

dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan

sampah. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan “para aktor” dalam penelitian ini

adalah: pengurus Pahahita Foudation, pengurus Bank Sampah, Ketua RW dan RT.

Peran para aktor inilah yang akan difokuskan dalam penelitian ini. Hal ini berkaitan

dengan bagaimana mereka berperan dalam memperkuat dan memberdayakan

masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan sampah.

Karena itu, pola pengelolaan sampah bukan dalam pengertian fisik sampah dan

fisik organisasi/lembaga. Namun lebih kepada bagaimana aktor membuka ruang bagi

terjadinya “hubungan-hubungan bermakna” yang dapat merubah pola pikir dan pola

tindak masyarakat terhadap sampah. Aspek teknik operasional yang diamanatkan oleh

Page 9: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

17

Deprt. Pekerjaan Umum lewat Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 19-2454-2002

tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukikman, tidak dilihat bentuk fisiknya.

Tetapi lebih kepada interaksi dan interelasi antara aktor dan masyarakat (umum) melihat

dan mengelola sampah. Dengan demikian, maka penting untuk melihat bagaimana para

aktor memberdayakan serta meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam hal

pengelolaan sampah dengan pola standar spesifikasi tertentu (Hartoyo (1998:6).

Dengan adanya peran aktor dalam berupaya berubah pola pikir dan pola tindak

masyarakat tersebut, diharapkan terjadi penguatan dan peningkatan kapasitas

kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Perubahan pola pikir dan pola

tindak yang dimaksudkan adalah bagaimana keningkatkan kesadaran setiap anggota

keluarga (masyarakat) untuk memilih dan memilah sampah dari sumbernya (keluarga)

sebelum sampah tersebut sampai ke Bank Sampah dan TPA. Artinya ketika sampah

sampai ke bank sampah atau TPA tidak dalam keadaan tercampur aduk antara yang

organik dan non-organik (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29).

Lima aspek pengelolaan sampah (gambar 1) di atas, adalah sistem kerja

(pengelolaan) yang saling terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam sistem itu

terdapat struktur yang dimaknai sebagai pendorong sekaligus penghambat tindakan,

baik aktor maupun masyarakat (umum). Dengan demikian, pertanyaannya apakah

“struktur” itu? Anthony Giddens yang muncul kemudian, melakukan kritik yang

konstruktif terhadap para pemikir dan penganut teori fungsionalisme yang menurutnya

telah menjadi identik dengan tradisi stukturalisme. Menurut Giddens, “perhatian para

penulis fungsionalis dan para kritikus mereka lebih banyak tertuju pada gagasan tentang

Page 10: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

18

„fungsi‟ ketimbang „struktur‟ dan akibatnya struktur lebih banyak dipakai sebagai

sebuah gagasan yang diterima begitu saja. Baginya, dalam tradisi-tradisi strukturalis,

biasanya terdapat ambiguisitas mengenai apakah struktur-struktur merujuk pada suatu

matriks transformasi-transformasi valid di dalam suatu tempat ataukah pada aturan-

atauran transformasi yang menggerakan matriks tersebut (Giddens, 2010:25-40).

Giddens tidak bersepakat dengan struktur sebagai “aturan-aturan transformasi”,

sebab baginya “semua aturan itu pada hakikatnya adalah transformasional”. Dia

mendefinisikan struktur sebagai “aturan-aturan (rules) dan sumber daya-sumber daya

(resources) atau seprangkat relasi transformasi, terorganisasi sebagai kelengkapan-

kelengkapan dari sistem-sistem sosial”, sedangkan sistem dimaknainya sebagai “relasi-

relasi yang direproduksi diantara pada aktor atau kolektivitas, terorganisasi sebagai

praktek-praktek sosial regular. Dengan demikian, dalam analisis sosial struktuk merujuk

pada kelengkapan-kelengkapan penstrukturan yang memungkinkan „pengikatan‟ waktu-

ruang dalam sistem-sistem sosial. Hal ini senada dengan teori Bourdieu bahwa struktur

sosial, di satu sisi menghambat pikiran dan pilihan aktor untuk bertindak, namun di sisi

lain memberi ruang atau mendorong aktor untuk berpikir dan bertindak. Persamaan

mendasar dari kedua tokoh ini adalah pada konsep dualitas yang mereka gunakan,

bahwa actor dan struktur selalu berada dalam hubungan saling pengaruh (Ritzer dan

Douglas, 2009).

2.3. Makna Bank Sampah

Pemasalahan sampah semakin meningkat seiring bertambahnya penduduk dan

adanya perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat yang menghendaki segala

sesuatu yang bersifat simple dan praktis. Persoalan sampah yang tidak teratasi akan

Page 11: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

19

mengancam kehidupan manusia dan lingkungan secara umum, seperti gangguan

kesehatan, pencemaran lingkungan (tanah, air, maupun udara). Berdasarkan

pemahaman seperti inilah pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu sebagai

landasan pengelolaan sampah oleh masyarakat.

Disadari bahwa, setiap hari manusia menghasilkan sampah yang jenisnya

tergantung dari aktivitasnya. Setiap jenis memiliki metoda pengolahan yang berbeda.

Sampah yang tercampur menyebabkan biaya pengolahan menjadi mahal. Oleh karena

itu, kunci dari pengelolaan sampah adalah pemilahan, atau pemisahan antara jenis

sampah yang satu dengan jenis sampah yang lain. Kegiatan pengurangan sampah

bermakna agar seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, dunia usaha maupun

masyarakat luas melaksanakan kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang

dan pemanfaatan kembali sampah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Reduce,

Reuse dan Recycle (3R) melalui upaya-upaya cerdas, efisien dan terprogram (KLH,

2012).

Jenis sampah yang dikenal dalam setiap masyarakt dapat digolongkan menjadi

sampah organik dan sampah non-organik. Sampah organik atau sering disebut sampah

basah adalah jenis sampah yang berasal dari jasad hidup sehingga mudah membusuk

dan dapat hancur secara alami. Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, dan

potongan rumput/ daun/ ranting dari kebun. Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari

sampah organik setiap harinya. Pembusukan sampah organik terjadi karena proses

biokimia akibat penguraian materi organik sampah itu sendiri oleh mikroorganime

(makhluk hidup yang sangat kecil) dengan dukungan faktor lain yang terdapat di

lingkungan. Sedangkan sampah non-organik atau sampah kering atau sampah yang

Page 12: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

20

tidak mudah busuk adalah sampah yang tersusun dari senyawa non-organik yang

berasal dari sumber daya alam tidak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi, atau

dari proses industri. Contohnya adalah botol gelas, plastik, tas plastik, kaleng, dan

logam. Sebagian sampah non-organik tidak dapat diuraikan oleh alam sama sekali, dan

sebagian lain dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama (http://merbabu-com.ad-

one.net/artikel/sampah.htmlGelas).

Bank Sampah merupakan konsep baru yang “diturunkan” dari amant UU No. 18

Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu, kehadiran Bang Sampah

didasarkan juga dengan adanya kebijakan berupa Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun

2012, yang pada intinya mencanangkan sebuah gerakan “Menuju Indonesia Bersih.”

Karena itu, kehadiran Bank Sampah perlu dipahami sebagai terbukanya ruang yang

lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi membantu pemerintah dalam

mengelola sampah. Hal ini menjadi penting, sebab daerah yang kumuh akibat sampah

yang tidak terkelola akan berkontribusi pada munculnya masalah-masalah sosial

kemasyarakatan (Kustinah, 2005).

Di samping dampak buruk dari sampah, sebenarnya sampah mempunyai potensi

yang cukup besar sebagai aset usaha apabila dapat dikelola dengan baik. Sampah yang

dikelola secara kreatif mampu memberikan sumber pendapatan yang menjanjikan.

Hanya saja masyarakat belum sadar benar bagaimana mengelola sampah dan

mengolahnya menjadi sumber daya yang mampu menambah sumber pendapatan bagi

keluarga. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup pasal 16

mengamanatkan bahwa masyarakat bertanggungjawab sebagai produsen timbulan

sampah. Diharapkan masyarakat sebagai sumber timbulan yang beresiko sebagai

Page 13: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

21

sumber pencemat, untuk ikut serta dalam sistem pengelolaan sampah (Kardiyono, 2000:

22-34; Syafruddin, 2004:1).

Dengan demikian, Bank sampah adalah salah satu alternatif pemecahan

persoalan sampah yang dapat memberikan manfaat ganda bagi masyarakat. Secara

prinsip bank sampah melaksanakan mekanisme sepert layaknya bank pada umumnya

tetapi yang ditransaksikan adalah sampah yang berasal dari rumah tangga atau

masyarakat dengan mengintegrasikan pendidikan lingkungan dan ekonomi. Bank

sampah ialah bank yang melayani masyarakat menabung seperti bank-bank pada

umumnya bedanya kalau di bank umum orang menabung berupa uang tetapi di bank

sampah masyarakat menabung berupa barang bekas berupa: besi-besi bekas, kardus

bekas, segala plastik bekas, kaleng minuman bekas, tembaga, alumunium dll. Bank

sampah akan menyimpan dan mengelola sampah dari masyarakat, masyarakat yang

menabung sampah akan menjadi nasabah dari bank sampah dan diberi buku tabungan

(Parahita Foundation, 2012).

Dengan model pengelolaan bank sampah seperti ini, maka hal penting yang

perlu diperhatikan adalah bagaimana para aktor berperan dalam memberdayakan

masyarakat, merubah cara berpikir dan pola hidup masyarakat untuk melihat sampah

sebagai bagian dari masalah sosial yang perlu ditanggulangi. Dengan demikian,

pengelolaan sampah yang baik akan memberikan manfaat; peningkatan ekonomi

keluarga dengan adanya kesempatan kerja bagi anggota keluarga.

Dalam perspektif teori strukturasi dari Anthony Giddens (2010), maka Bank

Sampah menurut penulis, bisa ditempatkan sebagai “struktur.” Struktur dalam

Page 14: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

22

perspektif Giddens dimaknai sebagai „sejumlah aturan dan sejumlah sumber daya‟.

Dengan demikian, struktur dapat pula dimaknai sebagai “ruang” dimana para aktor

dapat berinteraksi, bernogosiasi, dan berkompetisi untuk mendapatkan modal-modal

darinya. Demikian juga yang diungkapkan oleh Bourdieu tentang konsep field yakni

ruang dimana para aktor „berjuang untuk mengakumulasikan modal‟ yang mereka

miliki. Maka, bank sampah dapat dimaknai sebagai field sekaligus struktur yang dapat

berfungsi sebagai “pembatas/penghambat” sekaligus “pendorong” tindakan aktor untuk

mendapatkan modal; baik modal ekonomi, sosial, maupun simbolik. Walaupun

demikian, untuk mendapatkan modal-modal itu, aktor perlu memperhitungkan strategi

maupun habitus yang dimilikinya (Haryatmoko, 2003; Ritzer, 2009; Harker, 2009)..

3.4. Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pikir penelitian ini digambarkan

sebagi berikut:

Gambar 2

Kerangka Pikir Penelitian

Masalah Sampah

Bank Sampah

“Pangrekso Bumi”

Pengelolaan

Sampah

Peran Aktor

Lingkungan yang

Sehat

Habitus dan

Field

Page 15: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Teori Habitus dan Field dari ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8443/2/T1_352006004_BAB II.pdf · 12 berasal dari kelas bawah. ... aspek teknis

23

Permasalahan sampah di Kota Salatiga yang diketahui cenderung mengalami

peningkatan, berdampak pada “tuntutan” pengelolaan sampah yang tepat agar tidak

menimbulkan dampak lanjutan berupa kerusakan lingkungan hidup (kumuh), yang

menimbulkan berbagai macam penyakit. Kekhawatiran tentang jumlah sampah yang

cenderung meningkat itu, mendorong sebagian masyarakat Tegalrejo yang sadar akan

akibat dari sampah untuk “bangkit” membantu Pemerintah Kota (pemkot) dalam

pengelolaan sampah perkotaan, khususnya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat

Tegalrejo. Kebulatan tekad dari sebagian masyarakat itu, diusung dalam program

“Tegalrejo Bersih”

Implementasi dari program “Tegalrejo Bersih” salah satunya adalah lewat Bank

Sampah Pangrekso Bumi. Tujuan dari bank sampah Pangrekso Bumi adalah membantu

pemkot dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Harapannya adalah dengan

pengembangan bank sampah yang ikut mengelola sampah terwujut lingkungan yang

sehat, bersih, indah, dan aman. Dalam mewujudkan kondisi lingkungan yang demikian,

tentu dibutuhkan peran aktor-aktor yang berkomitmen dalam pengelolaan sampah

dimaksud.

Peran aktor dalam pengelolaan sampah inilah yang hendak difokuskan sebagai

tema penelitian ini. Guna mendiskripsikan dan menganalisis peran aktor tersebut,

peneliti memutuskan untuk menggunakan teori habitus dan field dari Pierre Bourdieu.

Alasannya adalah bahwa bank sampah dapat diposisikan sejajar dengan field yang di

dalamnya aktor berperan guna mendapatkan pengakuan sosial dan pengakumulasian

modal, dengan mengandalkan berbagai macam habitus yang mereka miliki.