analisis semiotika terhadap foto habitus habib karya...
TRANSCRIPT
-
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO HABITUS HABIB
KARYA DWIANTO WIBOWO PADA MAJALAH TEMPO
EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Ahmad Algifari
NIM : 1110051100074
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
ABSTRAK
Ahmad Algifari
1110051100074
Analisis Semiotika Terhadap Foto Habitus Habib Karya Dwianto Wibowo
Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010
Sosok habib yang dikenal sangat religius serta bertalian langsung dengan
Rasulullah SAW menjadikannya begitu diagungkan oleh para jamaah. Identitas
tersebut menjadi pembeda antara masyarakat dengan habib itu sendiri, sehingga
berhasil menarik simpati ribuan jamaahnya. Hal tersebut membuktikan bahwa
konstruksi identitas secara budaya berhasil diterapkan habib kepada para
jamaahya. Konstruksi identitas yang dilakukan oleh habib itulah yang kemudian
coba dibekukan ke dalam media fotografi oleh fotografer harian lepas Tempo
yaitu Dwianto Wibowo. Dengan tajuk Habitus Habib, Dwianto mencoba
mengabadikan setiap momen pengagungan yang dilakukan jamaah kepada sosok
habib itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas untuk mengetahui bagaimana kontruksi
identitas yang dilakukan habib kepada jamaahnya, maka munculah pertanyaan bagaimana makna denotasi, konotasi, serta mitos dalam foto Habitus Habib karya
Dwianto Wibowo?
Penelitian yang digunakan menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Foto yang dianalisis menggunakan metode penelitian
semiotika Roland Barthes. Dengan metode Roland Barthes dalam menganalisis
foto ditekankan pada makna yang terurai antara makna denotasi, konotasi dan
mitos. Selanjutnya, penulis menambahkan dengan temuan-temuan makna yang
mengarah kepada konstruksi identitas sosok habib.
Setelah melakukan pengkajian makna dengan menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes, penulis menemukan bahwa adanya pengagungan yang
dilakukan jamaah kepada sosok habib. Pengagungan itu sendiri terlihat dari
jamaah yang begitu antusias dalam mengikuti berbagai rangkaian kegiatan yang
dipimpin oleh sosok habib.
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sosok habib berhasil
melakukan konstruksi identitasnya secara budaya, yang mengakibatkan para
jamaah mengagungkan sosok habib itu sendiri. Pengagungan tersebut didasarkan
atas pertalian habib dengan Rosul, sehingga jamaah meyakini bahwa sosok habib
sebagai sosok yang religius serta memiliki kesamaan prilaku dengan Rosulullah
SAW. Hal tersebut membuktikan bahwa betapa fotografi memberikan informasi
yang tidak hanya tersurat namun juga tersirat.
Kata Kunci : Habib, Konstruksi Identitas, semiotika, fotografi jurnalistik
-
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Subhanahu wata’alaa, yang telah memberikan hidayah, nikmat,
serta pertolongan yang terus menerus dipertunjukan kepada penulis. Sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta salam terhaturkan kepada Pemimpin
Agung Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya yang telah membawa ajaran kebaikan dan cinta kepada umatnya.
Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,
akhirnya skripsi yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap foto Habbitus
Habib Karya Dwianto Wibowo Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September
2010” dapat terselesaikan. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III
Bidang Kemahasiswaan.
2. Ketua Prodi Jurusan Jurnalistik, Kholis Ridho, M. Si. Sekertaris
Konsesntrasi Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang telah
-
vi
meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal
perkuliahan.
3. Ade Rina Farida M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
waktu, pengetahuan, dan nasihat selayaknya ibu sendiri dalam masa
bimbingan, sehinggga dapat memotivasi penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Terima kasih kepada seluruh dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis selama menimba ilmu dari
semester awal hingga saat ini.
5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Terima kasih kepada fotografer Tempo Dwianto Wibowo selaku
narasumber yang telah meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi
wawasan dan pengalaman kepada penulis.
7. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada Alm. H. Ahmad
Nahrowi dan Ibu Hj. Lili Suryani selaku orang tua terbaik dan motivasi
tertinggi dalam hidup, yang senantiasa melapangkan jalan kehidupan
penulis dengan do’a, perhatian dan kasih sayang. Terima kasih telah
bersabar.
8. Terima kasih kepada kakak serta adik penulis, Syahrul Mubarok, Ahmad
Hadadi, S.S., Nurul Fikri Almufid, Fatimah Azzahra, Rohmaniyati,
-
vii
S.Pd.I., dan Mimi Muthmainnah, S.Pd.I., yang tiada hentinya memberi
dukungan baik yang bersifat moril mapun materil.
9. Terima kasih kepada Tsuaibatul Aslamiyah yang telah banyak memberi
semangat dan kasih sayang kepada penulis.
10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN 2010, Rizki
Solehudin, Irvan Ramadhan, Isye Naisila, Anastasia Nur Pramesti, Ika
Suci Agustin, Annisa Haismaida, Farhan Kamal, Rijuan Hartadian,
Ardiansyah Pratama, Miftah Farid, Fakhri Hermansyah, Hanggi Tyo,
Khoirul Imam Ghozali, Nur Hakim, Yoga Anarki, Aulia Rahmi, Kristanti,
Latifa Sofyan, Athifa Rahma, Weldania, Diyah Halim, Hetty Choiriyah,
Damar Yudhistira, Fajar Yugaswara, Dwiyan Pratiyo, Rahmaidah
Hasibuan, Kenwal, Ambar, Ahmad Syahyunas, Erna, Nurviki Hidayati,
serta seluruh sahabat Jurnalistik B dan khususnya yang selalu memberikan
semangat serta pencerahan dalam melakukan penelitian. Tidak lupa
mahasiswa Jurnalistik dari seluruh angkatan, semoga tali silaturahmi kita
akan terus abadi. Amin
11. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah
mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta
pengalaman di bidang kejurnalistikan.
12. Terima kasih kepada keluarga besar DPR, Dimaz Qumz, Abdurrachman,
Afrizal Putra Arafat, Ali Reza Assegap, Alvian Delingga, Asep Azhari,
Basyaria Al Yunatan, Bill, Manggala, Deaz Hendry, Fanhari Nugroho,
Fathur Rohman, Fikri Febrina, Fitriadi Fauzan, Gilang Adhitya, Hakim
-
viii
Husein, Hendri Bagong, Ilham Renzia, Jentel Chairnosia, Kahfi Ibrahim,
Kiting, Kun, Mahesa Agung, Mario Chaisar, Matley, Maulana Fitrah,
Norhalim, Mukhlas, Rahmat Darmawan, Reza Fadhila, Reza, Ridho, Rifky
Vahrizal, Rirqi Irsyad, Tri Saputra, Wildan, Yogi Bilowo, dan Aisyah
Zhafira yang selalu memberi ruang, waktu, inspirasi dan imaji kepada
penulis.
13. Terima kasih kepada keluarga besar Sophiart Photo, Al-Atqia, FKMA,
Galeri Watoe Ireng, JB Techne, Teater Korek dan Komunitas Matahari
Hujan.
14. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bekasi, 10 Juli 2017
-
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… iii
ABSTRAK …………………………………………………………....... iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………... ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………....... xii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………….. 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah …………………..
1. Batasan Masalah ……………………………...
2. Rumusan Masalah ……………………………
7
7
8
C. Tujuan Penelitian ………………………………… 8
D. Manfaat Penelitian ………………………………..
1. Manfaat Akademis …………………………...
2. Manfaat Praktis ………………………………
8
8
9
E. Metodologi Penelitian ……………………………
1. Paradigma Penelitian …………………………
2. Pendekatan Penelitian ………………………..
3. Metode Penelitian …………………………….
4. Sumber Data ………………………………….
5. Teknik Analisis Data …………………………
9
9
10
10
10
11
-
x
6. Subjek dan Objek Penelitian ………………… 12
F. Tinjauan Pustaka ………………………………… 12
G. Sistematika Penulisan ……………………………. 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi ……………...
1. Pengertian Fotografi …………………………
2. Sejarah Fotografi ……………………………..
3. Aliran-aliran Fotografi ……………………….
15
15
16
18
B. Tinjauan Umum Tentang Fotografi Jurnalistik
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik ……………..
2. Sejarah Fotografi Jurnalistik ………………...
3. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik …………...…
4. Etika Fotografi Jurnalistik ……………………
22
22
23
27
28
C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ……………..
1. Semiotika Ferdinand De Saussure …………...
2. Semiotika Roland Barthes …………………...
3. Semiotika Charles Sanders Peirce …………...
30
31
33
39
D. Tinjauan Umum Tentang Konstruksi Identitas …...
1. Konsep Diri …………………………………...
2. Lingkuan Sosial ………………………………..
40
42
44
E. Tinjauan Umum Tentang Habib ………………… 45
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Profil Majalah Tempo ……………………………
B. Profil Dwianto Wibowo ………………………….
49
52
-
xi
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto 1 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
58
58
59
64
B. Analisis Data Foto 2 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
66
66
66
70
C. Analisis Data Foto 3 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
72
72
73
76
D. Analisis Data Foto 4 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
77
77
78
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………
1. Tahap Denotasi ……………………………...
2. Tahap Konotasi ……………………………...
3. Tahap Mitos …………………………………
81
82
82
83
B. Saran …………………………………………….. 84
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………. 89
-
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Peta Tanda Roland Barthes …………………………………… 34
Tabel 2 : Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto …………….. 36
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat modern di seluruh dunia, mempunyai kecenderungan
materialistis dan sekular termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta, materi
menjadi tolak ukur segalanya, kesuksesan dan kebahagiaan ditentukan oleh
materi. Orang-orang berlomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, akibatnya manusia sering
lepas kontrol. Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial,
solidaritas serta ukhuwah Islamiyah sesama umat Islam semakin memudar,
manusia semakin individual. Di tengah suasana seperti itu, manusia
merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai ilahi, nilai-nilai
yang dapat menuntun manusia kepada fitrahnya. Oleh karena itu, manusia
mulai tertarik untuk mempelajari tashawuf-tarikat dan berusaha untuk
mengamalkannya. Hal ini terlihat dengan tumbuhnya majlis-majlis tasawuf-
tarikat dengan segala amalan-amalan dan dzikir-dzikirnya.1
Sementara di Indonesia, terutama di saat penyiaran agama Islam yang
dilaksanakan oleh para wali dahulu, juga mempergunakan majelis taklim
sebagai penyampaian dakwah. Itulah sebabnya, untuk Indonesia, majelis
taklim dapat disebut sebagai lembaga dakwah dan pendidikan tertua. Barulah
kemudian seiring dengan perkembangan ilmu dan pengembangan
manajemen pendidikan, di samping majelis taklim yang bersifat non formal,
1 Sri Mulyati, (et.al) Mengenal dan Memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2000), hal. 5.
-
2
tumbuh pula lembaga pendidikan yang bersifat formal seperti pesantren,
madrasah dan sekolah.2
Menurut undang-undang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan
majelis taklim termasuk dalam kategori pendidikan non formal. Pendidikan
non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.3 Sebagai pendidikan non formal majelis taklim lebih berorientasi pada
penanaman nilai-nilai islam tanpa mengesampingkan etika sosial dan
moralitas sosial. 4
Dengan berkembangnya majelis taklim yang dipimpin para habib di
Jakarta memang berhasil menarik simpati warga pinggiran kota. Kopiah
putih, gamis yang dibalut jaket hitam dengan sulaman benang emas di
punggung bertuliskan Majelis Rasulullah, serta sorban dan bendera, seolah
menjadi identitas tetap bagi jamaah pengajian majelis itu. Pengajian Majelis
Rasulullah (MR) yang diasuh Habib Mundzir bin Fuad Almusawa serta
majelis Shalawat dan Zikir Nurul Musthofa (NM) yang dipimpin Habib
Hasan bin Jafar Assegaf. Dua pengajian itu diklaim memiliki jamaah terbesar
nomor wahid di Ibu Kota. MR mengklaim memiliki 50 ribu jamaah, NM
mengaku menggaet 20 ribu orang. Menariknya peserta pengajian kebanyakan
anak-anak muda. Seolah menguatkan pandangan orang-orang di perkotaan
2 Muhammad Yusuf Purungan "Peranan Majelis Taklim dalam Keluarga Sakinah
Masyarakat Muslim di Kota Padangsidimpuan", Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Padangsidimpuan Volume 9 No.1, 2014, hal. 123. 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: Depdiknas, 2003), hal. 18.
4 A. Qodri A. Azizy, “Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial”, (Semarang:
Aneka Ilmu, 2003), hal. 23.
-
3
khususnya anak muda mengalami kekeringan nilai-nilai spiritual. Julia Day
Howell dan tokoh lainnya yang berbicara urban priority. Mereka
berbicara bahwa masyarakat perkotaan dengan tingkat individualistik tinggi,
alienasi masyarakat terhadap hal-hal lebih luhur menyebabkan
kekeringan dan dahaga luar biasa. Ismail F. Alatas, Dosen Universitas
Indonesia menambahkan bahwa praktek-praktek keagamaan di kota yang
manampakkan aspek rasional dari agama. Sehingga aspek emosional dan
eksperiensial hilang. Sedangkan majelis-majelis MR dan NM ini justru
mengedepankan aspek eksperiensial dan emosional. Mereka memainkan
hadrah, membaca maulid Nabi, bershalawat bersama, memakai gendang,
membuat orang mendapatkan pengalaman spiritual yang tidak didapatkan
dalam instruksi keberagamaan yang kering.5 Hal tersebut tidak terlepas dari
sosok seorang Habib sebagai motor penggerak majelis taklim. Peran Habib di
majelis taklim sangatlah sentral, semua kegiatan yang dilakukan oleh majelis
taklim berada dibawah keputusan dan pengawasan Habib, tentunya dengan
didasarkan kepada Al-qur’an dan Hadis.
Melihat pemaparan di atas, fenomena habib belakangan ini sangat
digandrungi oleh masyarakat khususnya kaum muda. Bahkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan bela sungkawa ketika melayat
di kediaman pimpinan majelis Rosululloh, Habib Munzir Al-Musawa. Dalam
pidatonya SBY mengucapkan berduka dan berkabung atas wafatnya
almarhum habib Munzir yang dinilai sebagai ulama yang sangat ia dan
5 Merdeka.com, “Ismail F. Alatas (2): Majelis wadah eksistensi warga pinggiran”,
diakses dari https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-
pinggiran.html, pada tanggal 1 Februari 2017
https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-pinggiran.htmlhttps://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-pinggiran.html
-
4
masyarakat cintai. Serta mendoakan almarhum agar diberikan tempat yang
mulia di sisi Allah SWT.6
Menurut Quraish Shihab dalam Mistik, Seks dan Ibadah (2004),
'habib' dalam bahasa Arab artinya dicintai. Siapa pun boleh pakai nama itu
selama ia dicintai oleh masyarakat. Sementara, menurut masyarakat muslim
Indonesia terlebih masyarakat Betawi, gelar habib disematkan bagi orang
saleh dan berbudi luhur serta memiliki garis keturunan hingga Rasulullah.
Istilah habib sama dengan istilah sayid atau Husainy dan Hasany. Di
Indonesia, baik istilah habib atau sayid identik keturunan Nabi. Menurut
Habib Zein bin Umar bin Smith, ketua umum dewan pimpinan pusat
Rabithah Alawiyah, ada perbedaan antara habib dan sayid. Seorang sayid
belum tentu habib. Sebaliknya, orang yang bergelar habib sudah pasti
keturunan Nabi. Ia mengisahkan bagaimana keturunan sayid ini hijrah ke
Hadramaut, sebuah lembah di Yaman. Hijrahnya para sayid ini dikarenakan
ingin menjaga anak dan keturunannya agar dapat memegang ajaran agama
yang murni dan tidak terkontaminasi segala macam masalah politik, sebab
Hadramaut pada kala itu adalah negeri yang miskin, kering kerontang, dan
tidak ada apa-apa. Mereka ini kemudian menyebar ke Asia Tenggara
termasuk ke Indonesia.7
Seorang habib yang dikenal sebagai sosok yang religius menjadikan
dirinya sebagai model bagi para pengikutnya. Dan kemudian para
6 Liputan6.com, “Habib Munzir Meninggal, SBY Sampaikan Duka Mendalam”, diakses
dari http://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-
mendalam, pada tanggal 1 Februari 2017 7 Tirto.id, ”Seluk Beluk Para Habib Mereka datang ke Nusantara Demi Cincin Sulaiman
“, diakses dari https://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg#, pada
tanggal 1 Februari 2017
http://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-mendalamhttp://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-mendalamhttps://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg
-
5
pengikutnya mengamati pesan, tingkah laku, dan cara berpakaian yang
ditampilkan oleh sosok habib sebagai cerminan dari sikap Rasululah SAW.
Ditambah lagi dengan tujuan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT,
membuat para pengikutnya tanpa keraguan mengikuti atau meniru tingkah
laku yang menjadi identitas yang melekat pada sosok habib itu sendiri.
Identitas yang dikenalkan oleh habib kepada para jamaahnya menjadi
pembeda bagi masyarakat dan habib itu sendiri. Menurut Chris Barker
identitas adalah soal persamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan
sosial, tentang kesamaan individu dengan sejumlah orang dan apa yang
membedakan individu dengan orang lain. Dilihat dari bentuknya ada tiga
faktor yang mempengaruhi identitas tersebut yaitu identitas budaya, sosial,
dan pribadi. Sementara pengertian kontruksi identitas menurut Chris Barker
adalah bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya dan
kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita dari
orang lain.8
Konstruksi Identitas yang dilakukan habib sangat berpengaruh atas
perubahan pola tingkah laku, ajaran keagamaan, dan yang paling telihat
adalah dari segi berpakaian para jamaah majelis. Habib sudah menjadi sosok
yang diidolakan oleh jamaah, semua tingkahlaku, perbuatan sudah mencapai
tahap pengimitasian. Artinya konstruksi identitas habib itu sendiri sudah
diterima dengan tangan terbuka oleh para jamaahnya.
Menyiarkan Islam atau berdakwah yang melibatkan habib belakangan
seperti menjadi tren, fenomena terbaru belakangan ini munculnya tokoh-
8 Chris Barker, Cultural, Studies, Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),
hal. 172.
-
6
tokoh habib muda berusia 30-40 tahunan yang merupakan lulusan sekolah
agama di Yaman atau negara timur lainnya. Para habib dalam pemberitaan di
Tempo mendeskripsikan habib sebagai sosok yang sangat digandrungi oleh
kaum muda, 9
Dalam pemberitaan Tempo yang berjudul Malam Minggu Bersama
Habib mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Penulis menafsirkan Tempo
yang dalam hal ini diwakilkan oleh fotografer Dwianto Wibowo mempunyai
maksud ingin melihat mengapa para habib bisa memikat ribuan orang, dan
seberapa jauh pengaruh mereka terhadap pengikutnya. Untuk mengetahui
maksud dan tujuan tersebut dibutuhkan suatu analisis. Dalam hal ini penulis
menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna yang tersirat dan
tersurat dalam foto Habitus Habib Karya Dwianto wibowo dalam Majalah
Tempo.
Dwianto menerangkan dalam narasinya,10
bagaimana kehadiran habib
di Indonesia mampu membentuk kebiasaan, sifat yang baik, atau penampilan,
yang telah menjadi prilaku mendarah daging. Seperti halnya dalam
berpakaian, bagaimana budaya ini telah menyatu dalamgaya hidup mereka
dan menjadi sebuah habitus yang dapat dikatakan positif di zaman modern
ini.
Sebagai pemimpin dan penyebar agama Islam, seorang keturunan
Arab dapat lebih diandalkan. Saat ini di Jakarta sendiri dikenal (Alm) Habib
Munzir al-Musawa (Majelis Rosulullah) dan Habib Hasan bin Ja’far Assegaf
9 Tempo.co, Karnaval Habib Kota, artikel diakses dari
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201211020018/karnaval-habib-kota#.WWiQboUxXYU,
pada tanggal 1 Mei 2017 10
Dwianto Wibowo, Habitus Habib, artikel diakses dari
http://pictorialismdewe.blogspot.co.id/search?=Habitus+habib&m=1, pada tanggal 1 Mei 2017
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201211020018/karnaval-habib-kota#.WWiQboUxXYU
-
7
(Majelis Nurul Mustofa), yang rutin melakukan pengajian di halaman
Monumen Nasional. Dimana sebagian besar pengikut mereka adalah pemuda
asli Jakarta dari tingkat ekonomi menengah perkotaan yang lebih rendah.
Dwianto menambahkan kehadiran Habib di Indonesia berhasil
menggeser kebiasaan pemuda kota dari hal yang negatif kepada positif
dengan kegiatan keagamaan rutin di malam hari. Dwianto menilai dengan
massa yang banyak majelis taklim justru dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan politis.
Dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis memutuskan untuk
melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS SEMIOTIKA
TERHADAP FOTO HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO
PADA MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada karya
Dwianto Wibowo berjudul Habitus Habib pada Majalah Tempo.
Karya Dwianto Wibowo tersebut bercerita tentang fenomena habib
yang kian digandrungi oleh masyarakat, penulis melihat adanya
bentuk lain dari kecintaan kepada habib yang diekspresikan pada diri
para jamaah melalui kontruksi identitas pada habib itu sendiri, dengan
menggunakan pakaian serta kosmetik yang dipercaya mendekatkan
mereka kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW. Penulis mengambil
empat dari 15 foto yang terdapat dalam Majalah Tempo edisi 13-19
September 2010.
-
8
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa makna denotasi dalam foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo pada Majalah Tempo?
b. Apa makna konotasi dalam foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo pada Majalah Tempo?
c. Apa makna mitos dalam foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo pada Majalah Tempo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi dalam foto Habitus
Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.
2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi dalam foto Habitus
Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.
3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos dalam foto Habitus
Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Manfaat Akademisi
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa
wawasan dan pengetahuan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai
-
9
referensi bagi studi-studi fotografi dan jurnalistik, khususnya bagi
mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalitik UIN Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para
penggiat fotografi, khususnya yang menekuni fotografi dan jurnalistik,
juga agar dapat menambah ilmu untuk menafsirkan makna foto
jurnalistik, khusunya foto cerita bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Jurusan Konsentrasi Jurnalistik.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah
paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis berlawanan arah
dengan paradigma positifis yang memisahkan subjek dan objek
komunikasi. Konstruktivis justru menganggap subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan- hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Paradigma ini
memandang realitas sosial bukan berdasarkan sesuatu yang natural,
tetapi terbentuk dari sebuah hasil konstruksi. Penulis menggunakan
paradigma konstruktivis karena penulis ingin mendapatkan
pemahaman dari makna suatu kejadian.
-
10
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Menurut Ronny Kontur dalam buku Metode
Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis mengungkapkan bahwa
pendekatan ini merupakan hasil temuan berupa berbentuk narasi atau
gambar-gambar yang dideskripsikan lalu ditinjau untuk dianalisis dari
pengamatan peneliti di lapangan. Melalui pendekatan kualitatif ini
peneliti bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Dwianto Wibowo
mengkonstruksi identitas sososk habib dengan pengumpulan data dan
analisis yang mendalam.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
analisis semiotika dari Roland Barthes. Dalam mendeskripsikan
sebuah tanda di dalam objek, Barthes membaginya kedalam tiga
makna, yaitu makna denotasi, konotasi, dan mitos.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan
pengalaman kultur penggunanya, interaksi antar konvensasi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua yaitu sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sasaran utama
-
11
dalam penelitian ini sedangkan sumber data sekunder merupakan
pengaplikasian dari sumber data primer dimana sumber data ini
sebagai pendukung dan penguat dalam penelitian.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto
yang dipilih peneliti sesuai dengan objek penelitian. Peneliti lebih
memfokuskan pada empat foto Habitus Habib karya Dwianto Wibowo
pada Majalah Tempo. Karena menurut peneliti foto-foto tersebut
mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer secara
menyeluruh.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari wawancara dengan
fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Dwianto Wibowo serta
menambahkan beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
yaitu mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos di dalam foto
Habitus Habib karya Dwianto Wibowo pada majalah Tempo yang
bercerita tentang fenomena habib yang kian digandrungi oleh
masyarakat, peneliti melihat Dwianto Wibowo mempunyai maksud
dari fotonya tersebut, bahwa adanya bentuk lain dari kecintaan kepada
habib yang diekspresikan pada diri para jamaah melalui kontruksi
identitas pada habib itu sendiri.
-
12
6. Subjek, Objek, Tempat Penelitian dan Narasumber
Subjek dari penelitian ini adalah foto Habitus Habib karya
Dwianto Wibowo yang terdapat pada majalah Tempo. Sedangkan
objek penelitiannya adalah empat foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo, karena foto-foto tersebut mewakili bagaimana Dwianto
Wibowo mengkonstruk identitas habib.
Tempat penelitian akan dilakukan di kediaman atau tempat
pertemuan dengan Dwianto Wibowo. Narasumber utama penelitian ini
adalah Dwianto Wibowo, fotografer Tempo.
F. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini peneliti juga menggunakan skripsi yang memiliki
beberapa persamaan dengan penelitian ini. Adapun beberapa judul penelitian
yang peneliti dapatkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Analisis Semiotika Foto Konflik-Konflik Timor- Timur
Karya Eddy Hasby Pada Buku The Long And Winding Road, East Timor
oleh Irvan Ramadhan jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta 2015.
Skripsi tersebut memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis
semiotika Roland Barthes. Perbedaanya adalah pada subjek dan objek
penelitian.
Kedua, Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi Perbawa
Berjudul The Riders of Destiny Pada Ajang Pameran The Jakarta
International Photo Summit Tahun 2014, oleh M. Hendartyo Hanggi W
jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2015. Skripsi tersebut
-
13
memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland
Barthes. Perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian.
Ketiga, skripsi yang berjudul Analisis Semiotika Foto Pada Buku
Jakarta Estetika Banal Karya Erik Prasetya, oleh Marifka Wahyu Hidayat
jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2014. Skripsi tersebut
memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland
Barthes. Perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar tentang penelitian yang
berisi pendahuluan yang mana di dalamnya terdapat latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka, dan sistematika penulisan yang seluruhnya mendasari
penelitian “ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO
HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO PADA
MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010”.
BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang digunakan untuk
penelitian ini, yaitu berisi tentang tinjauan umum mengenai
fotografi (pengertian fotografi, sejarah dan aliran fotografi),
tinjauan umum tentang fotografi jurnalsitik (pengertian, sejarah,
jenis-jenis, dan etika fotografi jurnalsitik), tinjauan umum
tentang semiotika, tinjauan umum tentang konstruksi identitas,
serta tinjauan umum tentang konstruksi sosial.
-
14
BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang habib, dan
biodata atau profil Dwianto Wibowo.
BAB IV : Pemaparan data dan analisis tentang foto Habitus Habib karya
Dwianto Wibowo dengan menggunakan analisis semiotika
Roland Barthes.
BAB V : Penutup penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
-
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Pengertian fotografi adalah proses pengambilan gambar dengan
cahaya yang setelah itu lalu dituangkan ke dalam sebuah media yang
mampu menyimpan cahaya.1 Dengan kata lain fotografi adalah aktifitas
pembuatan sebuah gambar dengan cahaya menggunakan sebuah alat
perekam cahaya yang kemudian dituangkan ke dalam benda yang biasa
disebut kertas film.
Secara etimologis, fotografi berasal dari bahasa Inggris
photography, yang diadaptasi dari bahasa Yunani, yakni photos yang
berarti cahaya dan graphein yang berarti gambar atau menggambar.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fotografi adalah seni dan
penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang
dipekakan.3 Dengan demikian, secara harfiah, fotografi bermakna
menggambar dengan cahaya. Maka dari itu, kegiatan fotografi dengan
berbagai teknik hanya dapat dilakukan ketika ada cahaya. Tanpa cahaya,
tidak mungkin dapat dihasilkan sebuah foto.4
Pada dasarnya fotografi adalah kegiatan merekam dan
memanipulasi cahaya untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan.
1 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka
Baru Press), hal. 2. 2 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013), hal. 7. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 421. 4 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 7.
-
16
Fotografi dapat dikategorikan sebagai teknik dan seni, fotografi sebagai
teknik adalah mengetahui cara-cara memotret dengan benar, mengetahui
cara-cara mengatur pencahayaan, mengetahui cara-cara pengolahan
gambar yang benar dan semua yang berkaitan dengan fotografi sendiri.
Sedangkan fotografi sebagai karya seni mengandung nilai estetika yang
mencerminkan pikiran dan perasaan dari fotografer yang ingin
menyampaikan pesannya melalui gambar atau foto.5
2. Sejarah Fotografi
Pada 1558 ilmuan Italia, Giambasista Della Forta menyebut
camera obscura pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap
bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya
menyempurnakan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera
yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar
sudah mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari
waktu ke waktu semakin berhasil, tetap saja belum bisa disebut proses
fotografi karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat
gambar permanen.6
Sedangkan peralatan modern dalam bentuk Kodak dan gulungan
film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh
George Eastman pada 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja
sebagai seorang karyawan bank di Rochester, New York. Eastman
kemudian mengembangkan temuannya itu, hingga pada 1889 ia
membuka usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu ia
5 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 7.
6 Ray Bachtiar, Ritual Fotografi, Chip foto video edisi spesial, hal.8.
-
17
memperkenalkan film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk
kamera kecil mulai populer di Amerika pada 1920-an.7
Fotografi yang berkembang saat ini jauh berbeda dengan
fotografi di awal era kemunculannya, hal ini terlihat dari pandangan
secara teknis kamera dan bentuk kamera. Bayangkan saja seseorang
dapat duduk, berbaring, bahkan berdiri selama 10 detik lebih untuk
menghasilkan sebuah foto diri atau selfie yang saat ini sedang menjadi
trend di Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut diperjelas Erik Prasetya
dalam bukunya yang berjudul On Street Photography, bahwa hingga
abad ke-19 fotografi tidak bekerja dengan cepat, melainkan baru abad
ke-20 lah fotografi cepat yang lebih kecil, mudah dibawa dan mudah
ditemukan.8 Dalam buku tersebut juga disisipkan hasil foto cetak
pertama di dunia yang dibuat oleh fotografer berkebangsaan Prancis,
Joseph Nicephore Niepce pada 1826.
Di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo dalam bukunya berjudul
IPPHOS mencatat, Mendur bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan
Frans Soemarto (1913-1971) adalah dua orang yang berpengaruh dalam
perkembangan fotografi di Indonesia, di mana mereka merekam
peristiwa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
7 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos Wacana
Ilmu, 1999), hal. 100.
8 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],
2014.), hal.17
-
18
3. Aliran-aliran Fotografi
Bagas Dharmawan dalam bukunya yang berjudul Belajar
Fotografi dengan Kamera DSLR membagi aliran-aliran fotografi ke
dalam tiga belas bagian, diantaranya:9
1. Journalism Photography atau biasa disebut foto jurnalistik adalah
foto yang terdapat niai berita dan unsur 5W+1H di dalamnya, sebuah
karya foto dapat disebut foto jurnalistik apabila dalam foto itu
terdapat nilai sebuah berita. Tidak hanya itu saja, dalam foto itu juga
harus mengandung keterangan apa, siapa, kapan, di mana, kenapa,
dan bagaimana.
2. Potrait Photography adalah dimana sang fotografer menunjukan
penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir
tanpa latar belakang, tujuan dari aliran foto ini adalah untuk atau dari
subjek yang difoto. Aliran ini juga menggambarkan kondisi perasaan
manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek, dengan
menghadap ke depan kamera.
3. Comercial Advertising photography ditujukan untuk promosi sebuah
produk atau iklan, peran komputer untuk mengolah foto cukup
penting dalam aliran ini, karena dalam prosesnya aliran ini
dibutuhkan banyak elemen guna keperluan iklan. Jadi bisa dikatakan
fotografer yang berkecimpung di dunia commercial advertising ini
tidak hanya mahir dalam bidang fotografi, namun juga mahir dalam
olah digital di dalam komputer.
9 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka
Baru Press), hal. 80.
-
19
4. Wedding Photography adalah aliran yang dilakukan oleh fotografer
yang sudah ahli atau professional karena dalam aliran ini dibutuhkan
kecepatan dan ketepatan disetiap momen-momennya yang penting
serta bersejarah. Seperti namanya aliran ini ada disegala macam
aktifitas pernikahan, tantangan dalam aliran ini yaitu mampu
mendapatkan momen-momen sakral saat proses pernikahan terjadi
karena momen tersebut tidak dapat diulang kembali.
5. Fashion photography hampir mirip dengan aliran commercial
advertising photography yaitu untuk mempromosikan produk atau
perlengkapan-perlengkapan berbusana. Yang membedakan dalam
aliran ini adalah barang yang ditampilkan adalah barang-barang
fasion seperti pakaian dan barang-barang perlengkapan yang
dikenakan oleh model. Fasion photography menggunakan model
sebagai pemanis dan penunjang produk tersebut.
6. Food photography adalah aliran fotografi yang dibutuhkan untuk
iklan sebuah makanan atau minuman serta pengemasannya. Dalam
pengambilan foto food photography dibutuhkan alat dan
keterampilan yang lebih karena tujuan dari aliran ini membuat siapa
saja yang melihat tertarik dan ingin mencoba hidangan tersebut,
selain berfungsi sebagai promosi sebuah hidangan, foto aliran ini
juga sering dijumpai di dalam menu-menu untuk memudahkan
konsumen dalam memilih hidangan.
7. Landscape photography adalah aliran fotografi yang menunjukan
keindahan-keindahan alam, aliran ini dikategorikan menjadi empat
-
20
bagian, yaitu foto landscape yang menampilkan pemandangan alam
di daratan, foto seascape yang menampilkan pemandangan lautan,
skyscape yang menampilkan pemandangan langit, dan terakhir
cityscape yang menampilkan foto pemandangan di kota atau di desa.
Kategori ini banyak diminati oleh beberapa fotografer dan penikmat
foto itu sendiri, karena dalam foto ini pembaca bisa menikmati
keindahan alam tanpa harus berpergian jauh ke suatu tempat.
8. Cinemagraph photograpy adalah aliran yang menampilkan foto yang
mampu bergerak. Dalam aliran ini perlu keahlian khusus dalam
pengambilan serta mengolah fotonya, dalam pengolahannya foto
diolah menjadi file GIF yang membuat gambar mampu bergerak
seperti layaknya video.
9. Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto
aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam, aliran
ini tergolong berbahaya karena objek fotonya adalah binatang-
binatang yang menarik di alam bebas. Lensa tele (zoom) menjadi
lensa yang sering dipakai dalam aliran ini, karena memudahkan
fotografer mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh untuk
alasan keamanan.
10. Street photography biasanya aliran ini mengambil gambar secara
diam-diam atau biasa dikenal dengan snapshoot. Lokasi
pengambilan gambar bisa dimana saja, tentunya di luar ruangan.
Foto aliran ini biasanya berisi mengenai kehidupan di jalanan dan
sekitarnya, untuk mendapatkan hasil yang baik seorang fotografer
-
21
dalam aliran ini harus mampu mengambil gambar tanpa diketahui
oleh objek, agar gambar dihasilkan natural.
11. Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut.
Aliran ini memiliki dua golongan yaitu macro photography yang
menggambarkan keadaan laut secara dekat dan detail seperti ikan,
siput, rumput laut, dan biota laut lainnya. Sedangkan wide angle
photography yang menampilkan keindahan pemandangan bawah
laut secara luas. Fotografi aliran ini terbilang cukup menguras biaya
jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal, karena untuk
kameranya harus menggunakan pelapis anti air, serta perangkat
lainnya seperti lampu sebagai penerangan di bawah laut yang juga
harus memakai lampu pelindung anti air, dimana kedua aksesoris
tersebut tergolong cukup mahal.
12. Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua
kamera bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan
pengaturan di dalam kamera yang memiliki sensitif pada cahaya
inframerah. Foto yang dihasilkan akan berbeda dengan warna aslinya
karena yang tampil dari hasil foto tersebut akan palsu warna atau
hitam putih.
13. Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan
jarak sangat dekat serta sangat detail pada bagian tertentu dari
sebuah objek. Dalam aliran ini diperlukan lensa khusus yang biasa
disebut dengan lensa makro.
-
22
B. Fotografi Jurnalistik
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik
Dalam sebuah media, baik cetak maupun online sering kali kita
menemukan foto di dalamnya. Selain pelengkap berita, foto dalam
sebuah media juga sebagai penarik pembaca agar tidak jenuh melihat
kumpulan-kumpulan teks saja. Menurut Wijaya dalam bukunya
menjelaskan, foto jurnalistik adalah foto yang berisikan nilai berita dan
menarik untuk dibaca dan informasi tersebut disampaikan secara singkat
pada khalayak.10
Kobre dalam bukunya yang berjudul Photojournalism The
Professionals Approach menjelaskan bahwa sebuah foto jurnalistik
merupakan laporan yang mempergunakan kamera untuk menghasilkan
bentuk visual. Seorang jurnalis foto hendaklah mampu menggabungkan
antara keahlian membuat laporan investigasi dan membedakan dengan
penulisan feature.11
Dengan demikian kobre menegaskan bahwa foto
jurnalistik adalah pelaporan visual yang menginterpretasikan berita lebih
baik dibanding tulisan. Sederhanya yang dimaksud foto jurnalistik adalah
foto yang bernilai berita atau foto yang menarik bagi pembaca tertentu,
dan informasi tersebut disampaikan kepada masyarakat sesingkat
mungkin.12
Hal tersebut menjelaskan bahwa ada pesan tertentu yang terdapat
dalam foto, sehingga layak untuk disiarkan kepada masyarakat. Secara
10
Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 5. 11
Kenneth Kobre, Photojournalism The Professionals Approach (Burlington, USA:
Focal Press Elsevier, 1991), hal. Viii. 12
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 17.
-
23
umum, foto jurnalistik merupakan gambar yang dihasilkan lewat proses
fotografi untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita suatu
peristiwa yang menarik bagi publik dan disebarluaskan lewat media
massa.13
2. Sejarah Foto Jurnalistik
Pertama kali foto muncul di dalam sebuah media yaitu pada
tanggal 16 April 1877 di surat kabar harian The Daily Graphic, New York.
Saat itu gambar yang muncul dalam media tersebut adalah sketsa
peristiwa kebakaran sebuah salon dan hotel. Seorang fotografer adalah
seorang seniman karena dalam pembuatan foto dibutuhkan keterampilan
khusus.14
Perkembangan foto jurnalistik kian melesat sejak saat itu hingga
masuk ke era foto jurnalistik modern yang dikenal dengan golden age
(1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports Illustrated, Vu, dan Life
menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada
era itu muncul nama-nama jurnalis foto seperti Robert Capa, Alfred
Eisenstaedt, Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W. Eugene
Smith. Lalu Henri Cartier-Bresson dengan gaya candid dan
dokumenternya.15
Carter-Bresson, bersama Robert Capa, David Seymour, dan George
Rodger kemudian mendirikan Magnum Photos pada tahun 1947. Magnum
13
Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 47. 14
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 1. 15
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 4-5.
-
24
adalah agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari
berbagai isu dan belahan dunia.16
Sementara di Indonesia sendiri kemunculan foto jurnalistik diawali
oleh Kassian Cephas, seorang pribumi anak angkat pasangan dari Belanda
dengan foto pertama yang diidentifikasi bertahun 1875. Kemudian pada
tahun 1942 munculah nama Alex Mendur17
yang bekerja sebagai kepala
divisi foto, di kantor berita Domei. Alex Mendur, Frans Soemarto Mendur,
JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda kemudian
mendirikan IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) pada 2 oktober
1946 di Jakarta.18
Perkembangan foto jurnalistik di Indonesia semakin konsisten dan
berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto
Jurnalistik Antara (GFJA) tahun 1992, galeri pertama yang fokus pada foto
jurnalistik. Dengan kelas fotografinya Antara menjadi katalis lahirnya
jurnalis foto muda.19
Kelahiran foto jurnalistik tidak dapat dipisahkan oleh rasa
keingintahuan manusia. Apalagi salah satu keunggulan foto, yaitu
dianggap tidak dapat berbohong dan dapat menangkap setiap detail
16
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 5. 17
Karya fenomenal yang dibuat oleh Mendur bersaudara yaitu Alex dan Frans Mendur
adalah imaji proklamasi 17 agustus 1945, saat presiden Soekarno sedang membacakan teks
proklamasi. Tentara Jepang yang mengetahui adanya pendokumentasian peristiwa proklamasi
kemudian merampas dan menghancurkan negatif milik Alex Mendur. Namun Frans lebih
beruntung, ia berhasil menguburkan negatif miliknya sebelum digeledah oleh tentara Jepang.
Berkat karya Frans inilah, sehingga kini masyarakat Indonesia mempunyai bukti nyata bahwa
Indonesia pernah merdeka. (Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 10.) 18
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 8-9. 19
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 13.
-
25
peristiwa yang disajikan sehingga bisa menggambarkan perkembangannya
dengan cepat.20
Menurut Frank P. Hoy, dari sekolah Jurnalistik dan
Telekomunikasi Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada bukunya yang
berjudul Photojournalism The Visual Approach, terdapat delapan karakter
foto jurnalistik, yaitu:21
1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto
(communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan
mengekspresikan pandangan wartawan terhadap suatu subjek, tetapi pesan
yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi, 2. Medium foto
jurnalistik adalah media cetak koran atau majalah, dan media kabel atau
satelit juga internet seperti kantor berita (wire services), 3. Kegiatan foto
jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita, 4. Foto jurnalistik adalah
paduan dari foto dan teks foto, 5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia.
Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto jurnalistik, 6. Foto
jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini
berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima
orang yang beraneka ragam, 7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja
editor foto, 8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak
penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen kebebasan
berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).
Foto Jurnalistik setidaknya harus mempunyai sifat-sifat yang sama
seperti halnya berita tulis yaitu memuat unsur-unsur apa (what), siapa
(who), di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya
20
Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 92. 21
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 4.
-
26
dalam bentuk visual, foto berita mempunyai kelebihan dalam
menyampaikan unsur (how), yaitu bagaimana kejadian itu berlangsung.
Meskipun dalam suatu peristiwa itu unsur (how) bisa terjawab dalam
tulisan (berita tulis) tetapi dalam sebuah foto, unsur how lebih dapat
menguraikan secara lebih baik lagi.22
Audy Mirza Alwi menjelaskan bahwa foto jurnalistik terbagi
menjadi dua kategori yaitu foto berita dan foto feature.23
Foto berita adalah
foto yang harus sesegera mungkin disampaikan kepada pembaca. Tema
foto berita umumnya meliputi informasi yang selalu ingin diketahui
perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca, seperti berita
politik, kriminal, olahraga, dan ekonomi. Sementara itu foto feature adalah
foto yang dalam penyiarannya dapat ditunda kapan saja. Tema berita yang
terdapat dalam foto feature pada umumnya lebih kepada masalah ringan
yang menghibur dan tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi
pembacanya serta mudah dicerna.24
22
Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, hal. 23. 23
Wilson Hicks Editor majalah Life mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik
adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya yang disebut single picture. Foto tunggal bisa
berdiri sendiri serta dapat menyertai suatu berita atau feature. Selain foto tunggal terdapat pula
foto seri atau foto essay. Foto seri atau esai adalah foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto
tetapi masih dalam satu tema pemberitaan. Baik foto seri atau esai pembuatanya memakan waktu
yang cukup lama. Namun, keduanya memudahkan fotografer dalam menjelaskan suatu peristiwa
ke dalam beberapa foto. Baik foto berita maupun foto feature bisa disiarkan dalam bentuk satu
foto tunggal disertai teks yang disebut foto tunggal (single picture), dan foto seri/foto esai (photo
story/photo essay). (Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa, hal. 6.) 24
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, hal. 5.
-
27
3. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik
Mengacu pada Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo
Foundation), Audy Mirza Alwi membagi jenis foto Jurnalistik kedalam
sembilan kategori, diantaranya:25
a. Spot Photo
Spot Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal
atau tidak terduga yang diambil oleh fotografer langsung di lokasi
kejadian. Misalnya, foto peristiwa kecelakaan, kebakaran, perkelahian,
dan perang. Karena dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi dan
menampilkan konflik serta ketegangan, foto spot harus segera
disiarkan.
b. General News Photo
General news photo adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa
yang terjadwal, rutin, dan biasa. Pada umumnya bertemakan politik,
ekonomi, dan humor
c. People in the News Photo
Prople in the news photo adalah foto tentang orang atau masyarakat
dalam suatu berita, yang ditampilkan merupakan pribadi atau sosok
orang yang menjadi berita itu.
d. Daily Life Photo
Daily life photo adalah tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
25
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, hal. 7.
-
28
e. Portrait
Portrait adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close
up. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki
atau kekhasan lainnya.
f. Sport Photo
Sport photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga.
g. Science and Technology Photo
Science and technology photo adalah foto yang diambil dari peristiwa-
peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h. Art and Culture Photo
Art and culture photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan
budaya.
i. Social and Environment
Social and environment adalah foto tentang kehidupan sosial
masyarakat serta lingkungan hidupnya.
4. Etika Fotografi Jurnalistik
Dalam membuat foto jurnalistik terdapat etika-etika yang harus
dipatuhi. Walaupun jadi seorang wartawan memiliki izin yang luas tapi
seorang wartawan diharuskan mempunyai sopan santun dalam setiap
aktifitas meliput dan bentuk liputan. Etika ini dimaksudkan untuk
mendapatkan respon yang baik dan menghasilkan hal positif dari
hasil liputan yang disajikan.
Dalam urusan etika, kadang foto jurnalistik dikaitkan dengan hal-
hal etis seperti kesopanan dan pantas atau tidak pantasnya sebuah foto itu
-
29
ditayangkan.26
Tidak hanya bersikap, dalam penampilan foto pun harus
diperhatikan masalah kesopanan foto itu sendiri, sebenarnya tidak ada
larangan dalam menampilkan sebuah foto tapi terdapat hal-hal pantas
dan tidak pantas yang dibutuhkan kebijakan fotografer untuk
memilihnya sebelum naik cetak.
Dengan adanya etika diharapkan fotografer bisa membatasi dirinya
saat bekerja dilapangan dan saat mengolah gambar tersebut.27
Sebagai
seseorang yang bekerja untuk media yang menaunginya seorang
wartawan foto harus bekerja profesional, tapi tidak jarang aksi
profesionalnya melewati batas kesopanan demi mendapatkan foto yang
diinginkan oleh fotografer atau media itu sendiri. Setelah fotografer
mendapatkan gambar barulah ia memilih dan mengolah ulang foto
tersebut, dalam mengolah doto ini pun harus diperhatikan mengenai
kejujuran fotografer agar tidak memalsukan hasil fotonya.
Salah satu yang tidak diizinkan seorang wartawan foto yaitu
mengambil gambar yang berhubungan dengan perlindungan, misalnya foto
pekerja seks, pelaku kejahatan anak, korban tindak asusila dan aksi bunuh
diri untuk menghindari kesan yang berkelanjutan dikemudian hari.28
Mengenai pantas atau tidak pantasnya foto seorang wartawan foto tidak
seharusnya mengangkat foto-foto vulgar dan sadis seperti korban dari
kecelakaan atau pembunuhan, hal ini akan membuat jijik pembaca dan
menjadi sebuah permasalahn untuk media yang mengangkatnya.
Kita
ambil contoh saja pada diri kita apabila kita sedang makan dan membaca
26
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 83. 27
Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu, hal. 158. 28
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 84.
-
30
berita di salah satu media yang memperlihatkan gambar-gambar sadis
seperti darah dan hal sadis lainnya, tentu saja kita akan merasa mual dan
kehilangan selera makan. Media-media yang tetap mengangkat gambar-
gambar seperti ini biasanya menyiasatinya dengan mengaburkan gambar
atau menjadikannya hitam putih.29
C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semion yang berarti
tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda.30
Dalam prakteknya semiotika
berfungsi sebagai ilmu atau metode analisis yang digunakan untuk mengkaji
tanda.31
Seperti pada penelitian ini, peneliti menggunakan semiotika sebagai
alat untuk mengkaji tanda-tanda dalam foto karya Dwianto Wibowo yang
berjudul Habitus Habib, guna melihat makna yang tersirat dan tersurat dalam
foto tersebut.
Dalam sejarah linguistik, selain istilah semiotika dan semiologi
terdapat pula istilah semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada
bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.
Sesungguhnya kedua isltilah semiotika dan semiologi mengandung
pengertian yang sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah
tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang
bergabung dengan Pierce menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka
yang tergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun ada
kecendrungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi
29
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 85. 30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 16. 31
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 15.
-
31
sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya. Baik
semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu
tentang tanda. Satu-satunya perbedaan antara keduannya, adalah bahwa
istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika
cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Dengan kata lain,
penggunaan kata semiologi menunjukan pengaruh kubu Saussure, sedangkan
semiotika lebih tertuju pada kubu Pierce.32
Mengacu kepada penjelasan di atas, pada penelitan ini penulis akan
menggunakan kata semiotika dalam penulisan selanjutnya, karena selain
memiliki arti yang sama, istilah semiotika juga lebih populer ketimbang
semiologi, sehingga penelitian ini akan mudah dicerna oleh para pembaca.
Terdapat tiga tokoh besar dalam ilmu Semiotika, yaitu: (1) Ferdinand de
Saussure; (2) Roland Barthes; (3) Charles Sanders Pierce.
1. Semiotika Ferdinand de Saussure
Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, semasa
hidupnya ia berada dalam satu zaman dengan Sigmund Freud dan Emile
Durkheim. Saussure hidup dalam keluarga yang sangat terkenal di kota
Jenewa karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Selain sebagai ahli
linguistik, ia juga adalah seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan
sansakerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu
sosial dan kemanusiaan.33
32
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 11-12. 33
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 45.
-
32
John Lyons mengatakan:
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de
Saussure”. 34
Dalam definisi Saussure, semiotika merupakan sebuah ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat serta menjadi
bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan
bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang
mengaturnya.35
Menurutnya bahasa itu adalah suatu tanda, dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).
Bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara, baik suara
manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai
bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut
mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, dan
pengertian-pengertian tertentu.36
Tanda adalah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide atau
petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna. Dengan kata lain, penanda adalah aspek material dari bahasa,
apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Dengan
kata lain, petanda adalah aspek mental dari bahasa.37
Jadi bisa diartikan ke
dalam bentuk yang sederhana bahwa, penanda adalah bentuk dari tanda itu
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 43. 35
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 12. 36
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 46. 37
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 46.
-
33
sendiri. Sedangkan petanda adalah orang yang memaknai bentuk dengan
pengetahuan yang ia miliki sesuai norma yang berlaku di masyarakat.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis
yang sering mempraktekkan model linguistik dan semiotik Saussurean. Ia
juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen
penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.38
Dalam teori
semiotikanya Barthes telah mengembangkan pendekatan struktural untuk
membaca sebuah fenomena gambar yang mengandung tahapan-tahapan
dan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk membedah penandaan
dalam karya fotografi.
Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherbourg. Ayahnya, adalah seorang perwira angkatan laut
yang gugur dalam pertempuran di Laut Utara sebelum usia Barthes
menginjak satu tahun. Sepeninggalan ayahnya, ia kemudian diasuh oleh
ibu, kakek, dan neneknya. Di usia sembilan tahun ia pindah ke Paris
bersama ibunya yang bergaji kecil sebagai penjilid buku. Menginjak
dewasa, Barthes menderita penyakit tuberkulosa (TBC). Di tengah-tengah
masa pemulihannya, Barthes menghabiskan waktu untuk membaca banyak
hal, dan menerbitkan beberapa artikel. Dari masa itulah karir Barthes terus
berkembang hingga namanya menjadi populer bersama karya-karyanya.39
Bagi Barthes perspektif semiotika adalah semua sistem tanda,
entah apapun substansinya serta batasannya (limit), yakni berupa: gambar,
38
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63. 39
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.
-
34
gerak tubuh, bunyi, melodi, benda-benda, dan berbagai kompleks yang
tersusun oleh substansi yang merupakan sistem signifikasi (pertandaan),
kalau bukan merupakan ‘bahasa’ (language).40
Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya
berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes
mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,
yaitu tingkat denotasi dan konotasi.41
Tabel 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes42
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier
(penandaan konotatif)
5. Connotative
signified
(petandaan
konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut
merupakan unsur material.43
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak
40
Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 3. 41
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 42
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 43
Paul Cobley dan Litza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem
Books, 1999), hal. 51.
-
35
sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.44
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas
yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan
konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dengan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang
implisit, tidak langsung dan tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai
kemungkinan. Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk
ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti
perasaan, emosi atau keyakinan.45
Barthes menjelaskan untuk memaknai konotasi yang terkandung
dalam sebuah foto, harus melewati prosedur-prosedur sebagai berikut,
diantaranya:46
a. Trick effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita, seorang wartawan foto akan memilih objek
yang sedang diambil.
c. Object, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke
dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI)
pada sebuah gambar/foto.
44
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 45
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261. 46
Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 7.
-
36
d. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), Panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze
(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek), dan
sebagainya.
Tabel 2.2: Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto47
TANDA MAKNA KONOTASI
Photogenia Teknis Fotografi
Pemilihan
Lensa
Normal Normalitas keseharian
Lebar Dramatis
Tele Tidak personal, voyeuritis
Shot size Close up Intimate, dekat
Medium up Hubungan personal dengan
subjek
Full shot Hubungan tidak personal
Long shot Menghubungkan subjek dengan
konteks, tidak personal
Sudut pandang High angle Membuat subjek tampak tidak
berdaya didominasi, dikuasai,
kurang otoritas
Eye level Khalayak tampil sejajar dengan
subjek, memberi kesan sejajar,
47
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.
43.
-
37
kesamaan, sederajat
Low angle Menambah kesan subjek
berkuasa, mendominasi, dan
memperlihatkan otoritas
Pencahayaan High key Kebahagiaan, cerah
Low key Suram, muram
Datar Keseharian, realistis
Penempatan
subjek/objek
pada bidang
foto
Atas Memberi kesan subjek berkuasa
Tengah Subjek penting
Bawah Subjek tidak penting
Pinggir Subjek tidak penting
e. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
f. Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Adapun fungsi
caption itu sendiri selain untuk membatasi pokok pikiran pesan yang
ingin disampaikan, juga berfungsi supaya maksud dari pesan itu cepat
tersampaikan.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebutkannya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan
dan memberikan pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam
-
38
suatu periode tertentu.48
Dalam pandangan Barthes mitos adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.49
Mitos juga dapat diartikan sebagai sesuatu hasil dari tahap
konotasi yang telah sangat dipercayai dan menyebar dalam masyarakat.50
Mitos juga merupakan hasil dari kelas sosial yang sudah memiliki
dominasi dan hal ini berkaitan dengan realitas atau gejala alam.51
Sehingga
dapat dikatakan mitos adalah tahapan pencarian makna berdasarkan
ideologi atau pemikiran yang sedang berkembang di masyarakat.
Pada zaman dahulu contoh mitos yang berkembang dalam
masyarakat tentang kehidupan atau kematian, tentang dewa-dewa, atau
kepercayaan, hal ini jelas berbeda dengan mitos yang berkembang dalam
masyarakat zaman ini yaitu tentang ilmu pengetehuan, kesuksesan, gender,
dan hal semacan itu.52
Mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos
bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan
irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.
Tetapi menurut Barthes mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya
bicara) seseorang. Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala
kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan
48
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 71. 49
Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia), hal. 94. 50
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Universitas
Indonesia, 2008), hal. 5. 51
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2011), hal. 17. 52
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hal. 22.
-
39
menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang
tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).53
3. Semiotika Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Pierce adalah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional, selain itu Pierce juga dikenal sebagai
seorang pemikir yang argumentatif. Pierce lahir di keluarga intelektual
pada tahun 1839. Ayahnya Benjamin adalah seorang professor matematika
di Harvard.54
Sumbangan pemikiran Pierce pada ilmu logika filsafat dan
matematika khususnya semiotika, berpendapat bahwa teori semiotikanya
hingga karyanya tentang tanda adalah hal yang tidak terpisahkan dari
logika.55
Pierce menjelaskan bahwa tanda adalah hal yang mewakili sesuatu
bagi seseorang.56
Dengan kata lain tanda yang diciptakan oleh sesorang
adalah bentuk lain dari media penyampai pesan, yang mewakili informasi
yang ingin di sampaikan kepada orang lain.
Pierce Membedakan tipe-tipe tanda menjadi tiga bentuk, antara
lain:57
a. Ikon
Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda
itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon biasanya
sesorang cukup dengan ‘melihat’ saja, agar dapat mengartikan makna
53
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 127. 54
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 39. 55
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 40. 56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 39. 57
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hal. 14.
-
40
dalam sebuah tanda. Contohnya adalah bentuk dari rambu lalu lintas
yang memiliki kesamaan dengan objek yang sebenarnya.
b. Indeks
Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan antara penanda dengan
petanda, atau bisa dikatakan memiliki hubungan sebab akibat. Di
dalam indeks seseorang harus memprkirakan suatu hubungan sebab
akibat, agar dapat memaknai sebuah tanda. Contohnya adalah adanya
asap karena api.
c. Simbol
Simbol merupakan jenis tanda yang dihasilkan dari kesepakatan oleh
sejumlah orang atau masyarakat. Di dalam simbol seseorang harus
mempelajari terlebih dahulu tanda tersebut, agar dapat memaknai
sebuah tanda. Contohnya adalah rambu-rambu lalu lintas yang sudah
bersifat simbolik, atau sudah dikenal oleh masyarakat luas. Rambu-
rambu lalu lintas tersebut sudah dapat dikatakan simbol.
Pada penelitian ini, penulis akan memakai teori semiotika Roland
Barthes dengan memaknai sebuah tanda melalui tiga tahapan, yaitu
denotasi, konotasi, dan mitos. Selain itu, semiotika Barthes juga dapat
memaknai tanda-tanda di dalam sebuah foto secara lebih mendalam
dengan memakai batasan-batasan seperti, efek tiruan, pose, objek,
fotogenia, estetisme dan sintaksis.
D. Konstruksi Identitas
Pengertian identitas sendiri menurut Chris Barker adalah soal
kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang
-
41
kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang
kesamaan individu dengan sejumlah orang dana apa yang membedakan
individu dengan orang lain.58
Dilihat dari bentuknya, setidaknya ada tiga bentuk identitas. Pertama,
identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu
merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran
tentang penerimaan tradisi, sifat bawaan, agama, dan keturunan dari suatu
kebudayaan. Kedua, identitas sosial terbentuk akibat dari keanggotaan
seseorang itu dalam suatu kelompok kebudayaan. Tipe kelompok itu antara
lain, umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, dan tempat, identitas sosial
merupakan identitas yag diperoleh melalui proses pencarian dan pendidikan
dalam jangka waktu lama. Ketiga, identitas pribadi didasar kan pada
keunikan karakteristik pribadi seseorang. Seperti karakter, kemampuan,
bakat, dan pilihan..
Sementara pengertian konstruksi identitas menurut Chris Barker
adalah bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya
dan kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita
dari orang lain.59
Sedangkan menurut Stuard & Sundeen konstruksi identitas adalah
kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian,
yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat
maka akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak
58
Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
, hal. 172. 59
Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, hal. 172.
-
42
ada duanya. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan
memandang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpisah dari orang
lain dan individu tersebut akan mempertahankan identitasnya walau dalam
kondisi sesulit apapun.60
Adapun dalam mengkonstruk identitasnya seseorang harus melewati
beberapa tahapan, yaitu:
1. Konsep Diri
Konsep diri atau self concept dapat diartikan sebagai (a) persepsi
keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya, (b) kualitas
pensifatan individu tentang dirinya, (c) suatu sistem pemaknaan individu
dan pandangan orang lain tentang dirinya.
Selft concept ini mempunyai tiga komponen, yaitu: (a) perceptual
atau physical self concept, citra seseorang tentang penampilan dirinya
(kemenarikan tubuhnya), seperti: kecantikan, keindahan atau kemolekan
tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self concept, konsep
seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan tidakmampuan
(kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi juga kualitas
penyesuaian hidupnya: honesty, self confidence, indepedence, dan
couragie; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang
tentang dirinya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan
keterhinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa keyakinan, nilai-
nilai, idealitas, aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat hidupnya.
60
Ismail Marzuki, Konstruksi Indentitas Dahlan Iskan Dalam Manufacturing Hope
Harian Jawa Pos. (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2014), hal. 23.
-
43
Dilihat dari jenisnya, self concept ini terdiri atas beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut:
a. The basic self-concept, James menyebutnya “real-self” yaitu konsep
seseorang tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang
tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang tentang
penampilan dirinya, kemapuan dan ketidak mampuannya, peranan
danb status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta
aspirasinya.
b. The transitory self-concept. Ini artinya bahwa seseorang
memilki “self concept” yang pada suatu saat di memegangnya,
tetapi pada saat lain dia akan melepaskannya. “self concept” ini
mungkin menyenagkan, tetapi juga tidak menyenangkan.
Kondisinya sangat sitiasional, sangat dipengaruhi oleh suasana
perasaan (emosi), atau pengalaman yang telah lalu.61
c. The social self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara
individu mempercayai orang lain yang mempersepsikan
dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini
sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika
kepada seseorang secara terus menerus dikatakan bahwa
dirinya nakal, maka dia akan mengembangkan konsep dirinya
sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri seseorang
dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial tempat dia hidup, baik
keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild
61
Syamsu ln & Nurihsan Juntika, Teori Kepribadian (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008), hal. 7.
-
44
mengatakan, apabila seseorang diterima, dicintai, dan dihargai oleh
orang-orang yang berarti baginya, maka seseorang tersebut
akan mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargsi
dirinya sendiri. Namaun apabila orang-orang yang berarti
(significant people) itu menghina, menyalahkan, dan
menolaknya, maka ia akan mengem-bangkan sikap-sikap yang tidak
menyenagankan bagi dirinya sendiri.
d. The ideal selft-concept, konsep diri ideal merupakan persepsi
seseorang temtang apa yang diinginkan menegenai dirinya, atau
keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep
ini diri ideal ini semakin berkembang seiring bertambahnya umur
seseorang.62
2. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial sangat mempengaruhi terhadap identitas
seseorang, seperti yang dikatakan J.M Baldwin, ia menyebutkan bahwa,
“Self” sendiri sebagai “an actively origanized concept” yang artinya
“self” itu sebagai konsep yang tersusun rapi. Selanjutnya ia
mengemukakan bahwa:
.Pada dasarnya, anak-anak bukanlah konsep atas diri sendiri,
namun konsep yang berkembang satu persatu seiring dengan
perkembangan konsepsi orang lain.
Robert E. L. Faris, berkata.
Manusia tidak dilahirkan dengan sendirinya atau dengan
kesadaran atas dirinya sendiri, setiap orang menjadi objek
untuk dirinya sendiri berdasarkan proses aktif penemuan-
penemuan material untuk membangun konsepsi diri yang
62
Syamsu ln & Nurihsan Juntika, Teori Kepribadian, hal. 8-9.
-
45
diperoleh dalam proses interaksi dengan orang lain, diri itu
ditentukan dalam reaksi terhadap orang lain.
Dua pendapat diatas, menunjukkan bahwa “self” tidak ada atau
belum ada pada saat manusia dilahirkan, atau pada waktu masih
anak-anak. “Self” selanjutnya akan lahir dan terbentuk sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan sosialnya, Misalnya: ibunya, ayahnya,
kakaknya dan sebagainya dengan siapa dia selalu berhubungan tiap hari.
Dengan kata lain “self” adalah produk daripada sosial.63
Maka, individu tidak akan menemukan identitas dirinya tanpa
adanya benturan atau interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan
sosial berpengaruh besar terhadap identitas individu tersebut. Karena,
Melalaui interaksi-interaksi dengan lingkungan tersebut ia senantiasa
selalu mengkonstruk identitasnya seperti apa yang ia hasilkan dari
interaksi dengan lingkungan sosial sekitar.
E. Tinjauan Umum Tentang Habib
Ha