bab ii tinjauan teori 2.1. gangguan psikososial
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep gangguan psikososial, konsep kecemasan,
pengukuran kecemasan dan konsep tentang penyakit Diabetes Mellitus.
2.1. Gangguan Psikososial
2.1.1. Pengertian Psikososial
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat
psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. masalah
kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai
akibat terjadinya perubahan sosial atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa (Depkes, 2011).
Psikososial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia.
Disini pengarang lebih menitik beratkan pada tingkah laku individu, bukan tingkah
laku social. Tingkah laku itulah yang pokok yang menjadi sasaran utama dalam
mempelajari psikososial (Robert S. Feldman, 2012).
Gangguan psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang
bersifat psikologis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik dan
dianggap berpotensi cukup besar, bisa menyebabkan gangguan perasaan seperti
depresi dan cemas, gangguan fungsi tubuh, atau gangguan penampilan sebagai
faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa atau gangguan kesehatan secara nyata,
8
atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial
(Keliat, 2011).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa gangguan psikososial dapat
menyebabkan gangguan perasaan seperti depresi dan cemas.
2.1.2. Masalah-Masalah Gangguan Psikososial
Masalah-masalah psikososial menurut (Nanda, 2012) yaitu:
a. Berduka
b. Keputusasaan
c. Ansietas
d. Ketidakberdayaan
e. Gangguan citra tubuh
f. Koping tidak efektif
g. Koping keluarga tidak efektif
h. HDR situasional
2.1.3. Ciri-Ciri Gangguan Psikososial
Menurut Keliat (2011), ciri-ciri gangguan psikososial adalah sebagai berikut:
a. Cemas, khawatir berlebihan, takut
b. Mudah tersinggung
c. Sulit konsentrasi
d. Bersifat ragu-ragu
e. Merasa kecewa
f. Pemarah dan agresif
g. Reaksi fisik seperti jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala.
9
2.2. Kecemasan
2.2.1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin
“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik (Trismiati,
2004). Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut yang
penyebabnya tidak diketahui. Sedangkan rasa takut mempunyai penyebab yang
jelas dan dapat dipahami (Stuart, 2007).
Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika merasa cemas, individu merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau
takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak
mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang
dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas. Ansietas merupakan alat peringatan
internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu (Videbeck, 2008).
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang sama disertai
respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya
bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Nurarif
& Kusuma, 2013).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan perasaan tidak nyaman
dan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
10
2.2.2. Tanda-Tanda Kecemasan
Tanda-tanda kecemasan melalui beberapa teori yaitu:
a. Tanda perilaku
Menurut Stuart & Sundeen (1998) tanda-tanda perilaku dari kecemasan yaitu:
kegelisahan, ketegangan fisik, tremor, terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi,
menarik dan menahan diri, menghindar, dan tampak waspada.
b. Tanda afektif
Menurut Nurarif & Kusuma (2013) tanda-tanda afektif dari kecemasan yaitu:
distres, kesedihan yang mendalam, ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus
pada diri sendiri, peningkatan kewaspadaan, iritabilitas, gugup senang
berlebihan, rasa nyeri yang meningkatkan ketidakberdayaan, peningkatan rasa
ketidakberdayaan yang persisten, bingung, menyesal, ragu/tidak percaya diri
dan khawatir.
c. Tanda fisiologis
Menurut Sundeen (1998) tanda-tanda fisiologis dari kecemasan yaitu:
1) Pada sistem kardiovaskuler terjadi: jantung berdebar, tekanan darah
meningkat, rasa mau pingsan, denyut nadi dan tekanan darah turun
2) Pada sistem saluran pernafasan terjadi: nafas cepat, pernafasan dangkal, rasa
tertekan pada dada, pembengkakan pada tenggorokan, rasa tercekik dan
terengah-engah
3) Pada sistem neuromeskuler terjadi: insomnia, ketakutan, gelisah, wajah
tegang dan kelemahan secara umum
4) Pada sistem gastrointestinal terjadi: kehilangan nafsu makan, menolak
maka, dan diare.
11
d. Tanda kognitif
Hasil penelitian dari Siti (2015) menemukan bahwa tanda-tanda kognitif dari
kecemasan yaitu: perhatian terganggu, kesulitan berkonsentrasi, pelupa,
kesalahan dalam penilaian, hambatan berpikir, rendahnya kreatifitas, bingung,
takut saat kehilangan control, ketakutan akan cedera atau kematian,
produktivitas berkurang (Stuart, 1998)
2.2.3. Teori-Teori yang Berkaitan dengan Kecemasan
Teori-teori yang mempengaruhi kecemasan menurut beberapa teori yaitu:
a. Faktor predisposisi kecemasan
Penyebab kecemasan dapat dipahami melalui beberapa teori yaitu:
1) Teori psikoanalitik
Pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi
antara dua elemen kepribadian: id dan superego. Id mewakili dorongan
insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani
dan dikendalikan oleh norma budaya (Stuart, 2006).
2) Teori interpersonal
Menurut Stuart & Sundeen (1998) teori ini dihubungkan dengan trauma
pada masa pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan
seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga diri
rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami kecemasan yang sangat
berat.
12
3) Teori keluarga
Menurut Stuart (2007) pada teori keluarga pada kecemasan menunjukkan
bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu
keluarga dan juga terkait dengan tugas perkembangan individu dalam
keluarga.
4) Teori biologis
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) kajian biologi menunjukkan bahwa
otak mengandung reseptor khusus untuk Benzodiazepines. Reseptor ini
mungkin membantu magatur kecemasan. Pemghambat asam aminobutirik-
gamma neroregulator (GABA) dan endorfin juga memainkan peran utama
dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan.
b. Faktor presipitasi kecemasan
Faktor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Ada dua
kategori faktor pencetus kecemasan, yaitu ancaman terhadap integritas fisik dan
terhadap sistem diri (Stuart, 2007):
1) Ancaman terhadap integritas fisik
Ancaman pada kategori ini meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan
datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-
hari. Sumber internal dapat berupa kegagalan mekanisme fisiologis seperti
jantung, sistem imun dan regulasi temperature. Sumber eksternal dapat
berupa infeksi virus atau bakteri, zat polutan, luka truma.
13
2) Ancaman terhadap sistem tubuh
Ancaman pada kategori ini dapat membahayakan identitas, harga diri dan
fungsi sosial seseorang. Sumber internal dapat berupa kesulitan melakukan
hubungan interpersonal dirumah dan dimasyarakat. Sumber eksternal dapat
berupa kehilangan pasangan, orangtua, teman, perubahan status pekerjaan,
dilema etik yang timbul dari aspek religius seseorang, tekanan dari
kelompok sosial atau budaya. Ancaman terhadap sistem diri terjadi saat
tindakan operasi akan dilakukan sehingga akan menghasilkan suatu
kecemasan.
c. Penilaian Stressor
Pemahaman tentang ansietas perlu integrasi banyak faktor, termasuk
pengetahuan dari perspektif psikoanalitis, interpersonal, perilaku, genetik dan
biologis. Penilaian mendorong pengkajian perilaku dan persepsi pasien dalam
mengembangkan intervensi keperawatan yang tepat. Penilaian juga
menunjukkan berbagai faktor penyebab dan menekankan hubungan timbal balik
antara faktor-faktor tersebut dalam menjelaskan perilaku yang terjadi. Dengan
demikian, pemahaman yang benar tentang ansietas bersifat holistic.
d. Sumber Koping
Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber
koping di lingkungan. Sumber koping tersebut yang berupa model ekonomi,
kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya
dapat membantu individu mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan
stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
14
e. Mekanisme Koping
Menurut (Stuart, 2007) ketika mengalami ansietas, individu menggunakan
berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya; ketidakmampuan
mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya
perilaku patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi
ansietas ringan cenderung tetap domain ketika ansietas menjadi lebih intens.
Ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping:
1) Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntutan situasi stress secara
realistis.
Perilaku menyerang digunakan untuk menghilangkan atau mengatasi
hambatan pemenuhan kebutuhan
Perilaku menarik diri digunakan untuk menjauhkan diri dari sumber
ancaman, baik secara fisik maupun psikologis
Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara yang biasa
dilakukan individu, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek
kebutuhan personal
2) Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan
sedang. Tetapi karena mekanisme tersebut berlangsung secara relatif pada
tingkat sadar dan mencakup penipuan diri dan distorsi realitas, mekanisme
ini dapat menjadi respons maladaptif terhadap stress.
15
Hasil penelitian dari Wahdaniyah (2010) Mekanisme koping mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Fase
berduka terhadap kehilangan (Kubbler Ross, 1969) yaitu:
Tahap: Denial (Mengikari kenyataan), Reaksi respon: menolak
mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan mengisolasi
diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak nafas dan nadi cepat.
Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak
percaya suami saya pasti nanti kembali".
Tahap: Anger (Marah), Reaksi respon: timbul kesadaran akan
kenyataan kehilangan. kemarahan meningkat kadang diproyeksi ke
orang lain, tim kesehatan atau lingkungan. Reaksi fisik: nadi cepat,
tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif.
Contoh: "Saya benci dengan dia karena......, "Ini terjadi karena dokter
tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannnya".
Tahap: Bergaining (Tawar menawar, Penundaan realita kehilangan),
Reaksi respon: klien berunding dengan cara halus untuk mencegah
kehilangan dan perasaan bersalah. Memohon pada Tuhan. Klien juga
mempunyai keinginan untuk melakukan apa saja untuk mengubah apa
yang sudah terjadi. Contoh: "Kalau saja saya sakit, bukan anak saya....",
"Kenapa saya ijinkan pergi. Kalau saja dia dirumah ia tidak akan kena
musibah ini"., "Seandainya saya hati-hati, pasti hal ini tidak akan
terjadi".
Tahap: Depresi, Reaksi respon: sikap menarik diri, perasaan kesepian,
tidak mau bicara dan putus asa. Individu bisa melakukan percobaan
bunuh diri atau penggunaan obat berlebihan. Reaksi fisik: susah tidur,
16
letih, menolak makan, dorongan libido menurun. Contoh: "Biarkan saya
sendiri"., "Tidak usah bawa ke rumah sakit, sudah nasib saya".
Tahap: Acceptance (Menerima), Reaksi respon: reorganisasi perasaan
kehilangan, mulai menerima kehilangan. Pikiran tentang kehilangan
mulai menurun. Mulai tidak tergantung dengan orang lain. Mulai
membuat perencanaan. Contoh: "Ya sudah, saya iklaskan dia pergi.",
"Apa yang harus saya lakukan supaya saya cepat sembuh". "Ya pasti
dibalik bencana ini ada hikmah yang tersembunyi".
2.2.4. Tingkat Kecemasan
Rentang respons ansietas menurut Stuart (2007) sebagai berikut:
Gambar 2.1. Rentang respon ansietas
Stuart (2007) membagi tingkat kecemasan menjadi empat tingkat antara lain:
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,
kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan
lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreativitas. Respon fisiologis ditandai dengan sesekali nafas
pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka
berkerut, bibir bergetar. Respon kognitif merupakan lapang persepsi luas,
Respon adaptif Respon maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
17
mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah,
menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi seperti tidak
dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meningkat.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Respon
fisiologis: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut
kering, diare dan gelisah. Respon kognitif; lapang persepsi menyempit,
rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi
perhatiannya. Respon perilaku dan emosi; meremas tangan, bicara banyak dan
lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak.
c. Kecemasan Berat
Sangat mengurangi lapang persepsi seseorang terhadap sesuatu yang terinci dan
spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan
untuk menghentikan ketegangan individu dengan kecemasan berat memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area lain.
Respon fisiologi: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat,
ketegangan dan sakit kepala. Respon kognitif: lapang persepsi amat sempit,
tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi: perasaan
ancaman meningkat.
18
d. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Hilangnya kontrol,
menyebabkan individu tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan
perintah. Respon fisologis: nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat,
hipotensi, koordinasi motorik rendah. Respon kognitif: lapang persepsi sangat
sempit, tidak dapat berpikir logis. Respon perilaku dan emosi: mengamuk dan
marah, ketakutan, kehilangan kendali.
2.2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
Menurut (Stuart, 2007), tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
meliputi hal berikut:
a. Potensi Stressor
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa
mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.
b. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi. Tingkat
pendidikan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut
mudah mengalami kecemasan dibanding dengan mereka yang tingkat
pendidikannya tinggi. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan
berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan
akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk
dalam menguraikan masalah yang baru (Sarwono, 2000). Menurut
Kemendikbud (2013), dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
19
Nasional, pendidikan di Indonesia dibagi menjadi 2 tingkat yaitu tingkat
pendidikan dasar 9 tahun (SD, SMP) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA, PT).
c. Status Ekonomi
Status ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut
mudah mengalami kecemasan dibanding dengan mereka yang status
ekonominya tinggi.
d. Usia
Waktu hidup seseorang selama masa hidup di dunia dihitung dari manusia itu
lahir, Ada yang berpendapat bahwa faktor usia muda lebih mudah mengalami
kecemasan dari pada usia tua, tetapi ada yang berpendapat sebaliknya.
e. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki dan
perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam
menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Cahya, 2012). Menurut
Sadock (2010), perempuan lebih cenderung mengalami gangguan kecemasan
dari pada laki-laki.
f. Riwayat Penyakit
Faktor genetika atau riwayat keluarga juga menjadi salah satu penyebab
gangguan kecemasan (anxiety disorder) ini. Orang dengan riwayat keluarga
menderita gangguan kecemasan (anxiety disorder) memiliki kerentanan untuk
meneruskan gangguan ini ke keturunannya (www.binauralbeats.co.id diakses
pada tanggal 07 Desember 2017, pukul 10.00 WIB)
20
g. Lamanya Menderita Penyakit
Hasil penelitian dari Raudatussalamah (2012) lamanya durasi penyakit
menunjukkan berapa lama pasien tersebut menderita penyakit sejak ditegakkan
diagnosis penyakit tersebut. Kualitas hidup pasien dapat dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor yaitu faktor demografi yang terdiri dari usia dan status
pernikahan, kemudian faktor medis yang meliputi dari lama menderita dan
komplikasi yang dialami dan faktor psikologis yang terdiri dari kecemasan dan
depresi.
2.2.6. Penatalaksanaan Kecemasan
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut Hawari (2008) beberapa jenis obat-obatan biasanya dapat digunakan
untuk mengatasi dan mengurangi ansietas, dan masing-masing obat memiliki
keuntungan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan suatu zat dalam
jangka waktu yang lama pun tidak akan membuahkan hasil yang baik untuk
kesehatan fisik sang pasien sendiri. Obat-obatan yang paling sering digunakan
dalam mengatasi ansietas adalah benzodiazepine. Adapun beberapa jenis obat
yang biasa digunakan adalah:
Diazepam:
- 2mg 3x/hari/tab
- Diazepam injeksi atau ampul: 2-5 mg (cemas sedang) atau 5-10 mg
(cemas berat) 1 kali dosis. Dapat diulang dalam 3-4 jam, jika
dibutuhkan.
21
Lorazepam
- 1 mg 3x/hari/tab
- Lorazepam injeksi atau ampul: 2 mg (cemas ringan).
Alprazolam
- 0,25-0,5 mg 3x/hari/tab.
Propanolol
- Propranolol adalah obat beta-blocker dengan fungsi untuk menangani
tekanan darah tinggi, detak jantung tak teratur, gemetar (tremor), dan
kondisi lainnya.
- 40 mg diminum langsung 2x/hari
Amitriptilin
- 25-100 mg per hari dalam 3-4 dosis terbagi
b. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1) Berpikir Positif
Hasil penelitian dari Sonya (2012), pelatihan berpikir positif yang akan
diberikan berdasarkan teori dari Seligman (1991) menjelaskan bahwa orang
yang berpikir positif cenderung menafsirkan permasalahan mereka sebagai
hal yang sementara, terkendali, dan hanya khusus untuk satu situasi, orang
yang berpikir negatif sebaliknya yakin bahwa permasalahan mereka
berlangsung selamanya, menghancurkan segala yang mereka lakukan dan
tidak terkendali. Pelatihan berpikir positif cukup efektif untuk mengelola
beberapa hal yang berkenaan dengan permasalahan psikologis seperti
depresi (Susilawati, 2008). Fordyce (dalam Dwitantyanov 2010) juga
menemukan bahwa kondisi psikologis yang positif pada diri individu dapat
meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan beragam masalah dan
22
tugas. Rahayu (2004) juga menyebutkan bahwa terjadi penurunan
kecemasan berbicara di depan umum setelah diberikan pelatihan berpikir
positif.
2) Relaksasi
Lin (2004) dalam Siahaan (2013), menjelaskan untuk mengatasi kecemasan
dapat digunakan teknik relaksasi yaitu relaksasi dengan melakukan
pijat/pijatan pada bagian tubuh tertentu dalam beberapa kali akan membuat
peraaan lebih tenang, mendengarkan musik yang menenangkan, dan
menulis catatan harian. Selain itu, terapi relaksasi lain yang dilakukan dapat
berupa meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi progresif
(Isaacs, 2005).
3) Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan cara
mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap
cemas yang dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan
pelepasan endorfin yang bisa menghambat stimulus cemas yang
mengakibatkan lebih sedikit stimuli cemas yang ditransmisikan ke otak
(Potter & Perry, 2005).
Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan dukungan
spiritual (membacakan doa sesuai agama dan keyakinannya), sehingga
dapat menurunkan hormon-hormon stressor, mengaktifkan hormon
endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian
dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga
menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,
23
denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih
dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan,
kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih
baik.
2.2.7. Pengukuran Kecemasan
Untuk menilai tingkat kecemasan yaitu dengan menggunakan DASS (Depression
Anxiety Stress Scale 42). Skala depresi, anxiety dan stress masing-masing terbagi
atas 14 pernyataan. Depression Anxiety Stress Scale mempunyai empat parameter
penilaian tingkat kecemasan, yaitu tak ada atau tidak pernah, sesuai yang dialami
sampai tingkat tertentu/kadang-kadang, sering dan sangat sesuai dengan yang
dialami atau hampir setiap saat. Adapun rentang penilaian tingkat kecemasannya
adalah:
a. Penilaian:
0: tidak ada atau tidak pernah
1: sesuai yang dialami sampai tingkat tertentu/kadang-kadang
2: sering
3: sangat sesuai dengan yang dialami/hamper setiap saat
b. Penilaian derajat kecemasan:
Skor 0-7: tidak ada kecemasan (normal)
Skor 8-9: kecemasan ringan
Skor 10-14: kecemasan sedang
Skor 15-19: kecemasan berat
Skor >19: sangat berat
(Lovibond, 1995). Contoh kuesioner terlampir
24
2.3. Diabetes Mellitus
2.3.1. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya dan menurut kriteria diagnostic (American Diabetes
Association, 2005). Seseorang dikatakan menderita DM jika memiliki kadar GDP
≥ 126 mg/dl atau GDS ≥ 200 mg/dl (Perkeni, 2011).
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran
basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskopik electron (Mansjoer, 2001).
Diabaetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddarth,
2000).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus adalah penyakit
kronik ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah
2.3.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Dalam buku ajar Keperawatan Medikal-Bedah oleh Brunner & Sunddarth dalam
corwin (2009), dijelaskan bahwa klasifikasi Diabetes Mellitus adalah sebagai
berikut:
25
a. Diabetes Mellitus tipe I atau Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM)
Diabetes tipe ini disebabkan karena destruksi sel beta pankreas yang bertugas
menghasilkan insulin. Tipe ini menjurus ke defisiensi insulin absolut. Proses
destruksi ini dapat terjadi karena proses imunologik maupun idiopatik.
b. Diabetes melitus tipe II atau Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin
(NIDDM)
Tipe ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin.
2.3.3. Etiologi Diabetes Mellitus
Menurut Brunner & Sunddarth dalam corwin (2009), dijelaskan bahwa etiologi
Diabetes Mellitus adalah sebagai berikut:
a. Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM)
Kombinasi faktor genetik, imunologi, dan mungkin pula lingkungan, diabetes
ini biasanya terjadi pada usia 30 tahun.
1) Faktor Genetika
Dalam buku patofisiologi Sylvia A. Price, dijelaskan bahwa bukti untuk
determinan genetik diabetes tipe I adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe
histokompatibilitas (Human Leukocyte Antigen) spesifik. Tipe gen ini
berkaitan dengan DM tipe I yakni memberi kode kepada protein-protein
yang berperan penting dalam interaksi monosit-limposit. Protein-protein ini
mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respon imun.
Jika terjadi kelainan, fungsi limposit T yang terganggu akan berperan
penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau langerhans. Selain itu
26
juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi terhadap sel-sel pulau
langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel
beta.
2) Faktor Imunologi
Pada Diabetes type I terdapat bukti adanya suatu proses autoimun. Respon
ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya saolah-olah sebagai jaringan asing. autoantibodi terhadap sel-
sel pulau langerhans dan insulin endogen (interna) terdeteksi pada saat
diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda
klinis diabetes type I.
3) Faktor Lingkungan
Infeksi virus misalnya Coxsackie B4, gondongan (mumps), rubella,
sitomegalovirus dan toksin tertentu misalnya golongan nitrosamin yang
terdapat pada daging yang diawetkan dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta pankreas.
b. Non Insulim Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan HLA tidak nampak berperan dalam proses terjadinya NIDDM. Akan
tetapi faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Selain itu terdapat
pula faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya DM
Type II yaitu usia, obesitas, riwayat keluarga, dan kelomok etnik tertentu.
27
1) Usia
Resistensi insulin cenderung terjadi pada usia diatas 65 tahun.
Meningkatnya usia merupakan faktor resiko yang menyebabkan fungsi
pankreas menjadi menurun sehingga produksi insulin oleh sel beta pankreas
juga ikut terganggu.
2) Obesitas
Riset melaporkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor determinan
yang menyebabkan terjadinya NIDDM, sekitar 80% klien NIDDM adalah
individu dengan masalah kegemukan atau obesitas (20% diatas BB ideal)
karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin sehingga akan timbul
kegagalan toleransi glukosa.
Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme tubuh.
Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin
sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau
mengalami kelainan dalam pengikatan dengan insulin. Kondisi seperti ini
apabia berlangsung dalam waktu yang lama maka akan menye-babkan
terjadinya resistensi insulin.
3) Riwayat Keluarga
Pasien dengan riwayat keluarga menderita DM akan berisiko lebih besar.
Faktor keturunan atau genetik punya kontribusi yang tidak bisa diremehkan
untuk seseorang terserang penyakit diabetes. Menghilangkan faktor genetik
sangatlah sulit. Yang bisa dilakukan untuk seseorang bisa terhindar dari
penyakit diabetes melitus karena sebab genetik adalah dengan memperbaiki
28
pola hidup dan pola makan. Dengan memperbaiki pola makan dan pola
hidup insya Allah Anda akan terhindar dari penyakit yang mengerikan ini.
2.3.4. Kelompok Resiko Diabetes Mellitus
a. Kelompok usia dewasa tua (≥ 45th)
b. Punya riwayat keluarga penderita diabetes mellitus
c. Obesitas dan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
d. Riwayat melahirkan bayi ≥ 4000 gr
e. Dislipidemia (kadar HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserid > 250 mg/dl)
(Suyono, 2006)
2.3.5. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Menurut Waspadji (2003) dari sudut pasien diabetes melitus sendiri, hal yang paling
sering menyebabkan pasien datang berobat ke pelayanan kesehatan dan kemudian
di diagnosis sebagai diabetes melitus ialah keluhan:
a. Kelainan kulit: gatal, bisul-bisul
b. Kelainan ginekologi: keputihan
c. Kesemutan, rasa baal
d. Kelemahan tubuh
e. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
f. Infeksi saluran kemih
Pada pasien dengan diabetes melitus, sering terdapat keluhan yang berbeda-beda.
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi pada daerah genital, ataupun daerah
lipatan kulit lain seperti diketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat
tumbuhnya jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka yang
29
lama tidak mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka
lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Pada perempuan, keputihan
merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan pasien datang ke
pelayanan kesehatan dan sesudah diperiksa lebih lanjut ternyata diabetes melitus
yang menjadi latar belakang keluhan tersebut. Rasa baal dan kesemutan akibat
sudah terjadinya neuropati, juga merupakan keluhan pasien, disamping keluhan
lemah dan mudah merasa lelah. Pada pasien laki-laki terkadang keluhan impotensi
menjadi alasan untuk datang berobat. Keluhan lain yang mungkin menyebabkan
pasien datang berobat ialah keluhan mata kabur yang disebabkan katarak, ataupun
gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa yang disebabkan
hiperglikemia. Keluhan kabur tersebut mungkin pula disebabkan kelainan pada
corpus vitreum. Diplopia binokuler akibat kelumpuhan sementara bola mata dapat
pula merupakan salah satu sebab pasien berobat ke pelayanan kesehatan (Waspadji,
2003). Sedangkan menurut Mansjoer (2001), manifestasi Diabetes Mellitus adanya
gejala yaitu:
a. Poliuri (sering kencing dalam jumlah banyak)
b. Polidipsi (banyak minum)
c. Polifagi (rasa lapar yang semakin besar)
d. Lemas
e. Berat Badan Menurun
f. Kesemutan
g. Mata kabur
h. Impotensi pada pria
i. Gatal (Pruritus) pada vulva
j. Mengantuk yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu.
30
2.3.6. Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi DM terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik
menurut Smeltzer (2002) yaitu:
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut adalah komplikasi pada DM yang penting dan berhubungan
dengan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek, ketiga
komplikasi tersebut adalah:
1) Diabetik KetoAsidosis (DKA)
Ketoasidosis diabetik merupakan defesiensi insulin berat dan akut dari suatu
perjalanan penyakit DM. Diabetik ketoasidosis disebabkan oleh tidak
adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata.
2) Koma Hipersomolar Nonketotik (KHN)
Koma Hipermosolar Nonketonik merupakan keadaan yang didominasi oleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat
kesadaran. Salah satu perubahan utamanya dengan DKA adalah tidak
tepatnya ketosis dan asidosis pada KHN.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi kalau kadar gula dalam darah turun dibawah 50-60
mg/dl keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian preparat insulin atau
preparat oral berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit.
31
b. Komplikasi Kronik
Efek samping Diabetes Mellitus pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh
darah diseluruh bagian tubuh (Angiopati Diabetik) dibagi menjadi 2:
1) Komplikasi Mikrovaskular
Penyakit ginjal
Salah satu akibat utama dari perubahan–perubahan mikrovaskuler
adalah perubahan pada structural dan fungsi ginjal. Bila kadar glukosa
dalam darah meningkat, maka sirkulasi darah keginjal menjadi menurun
sehingga pada akhirnya bisa terjadi nefropati.
Penyakit Mata
Penderita DM akan mengalami gejala penglihatan sampai kebutaan
keluhan penglihatan kabur tidak selalu disebabkan retinopati. Katarak
juga dapat disebabkan karena hiperglikemia yang berkepanjangan
menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi saraf- saraf perifer, sistem saraf otonom
medulla spinalis atau system saraf pusat. Akumulasi sorbitol dan
perubahan-perubahan metabolic lain dalam sintesa fungsi myelin yang
dikaitkan dengan hiperglikemia dapat menimbulkan perubahan kondisi
saraf.
2) Komplikasi Makrovaskular
Penyakit jantung coroner
Akibat diabetes maka aliran darah akan melambat sehingga terjadi
penurunan kerja jantung untuk memompakan darahnya ke seluruh tubuh
32
sehingga tekanan darah akan naik. Lemak yang menumpuk dalam
pembuluh darah menyebabkan mengerasnya arteri (arteriosclerosis)
dengan resiko penderita penyakit jantung koroner atau stroke.
Pembuluh darah kaki
Timbul karena adanya anesthesia fungsi saraf- saraf sensorik keadaan
ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya
infeksi yang menyebabkan ganggren. Infeksi di mulai dari celah-celah
kulit yang mengalami hipertropi, pada sel-sel kuku kaki yang menebal
dan kalus demikianjuga pada daerah –daerah yang terkena trauma.
2.3.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Penatalaksanaan Diabetes mellitus secara teori menurut Sarwono (1998) adalah:
a. Pengobatan
1) Obat Hipoglikemik Oral
Golongan sulfonylurea
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan dengan
obat golongan lain, yaitu biguanid inhibitor alfa.
Golongan binguanad
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati,
memperbaiki pengambilan glukosa dari jaringan (glukosa perifer)
dianjurkan sebagai obat tinggal pada pasien kelebihan berat badan.
Golongan inhibitor alfa glikosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran
pencernaan sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan.
33
Bermanfaat untuk pasien dengan kadar gula puasa yang masih
normal.
2) Pemberian Insulin
Jenis insulin
Pengidap diabetes tipe I memerlukan terapi insulin. Tersedia
berbagai jenis insulin dengan asal dan kemurnian yang berbeda-
beda. Insulin juga berbeda-beda dalam aspek saat kerja, waktu
puncak kerja, dan lama kerja. Hormon insulin yang digunakan untuk
terapi yaitu:
- Insulin kerja cepat (2-4 jam): jenisnya adalah reguler insulin
cristalin zink, dan semilente
- Insulin kerja sedang (6-12 jam): Jenisnya adalah NPH (Netral
Protamine Hagerdon)
- Insulin kerja lambat (18-24 jam): Jenisnya adalah PZI
(Protamine Zinc Insulin) dan Monotard Ultralente.
Pengobatan dengan hormon insulin biasa diberikan kepada pasien
muda yang gagal disembuhkan dengan terapi oral, atau pada wanita
hamil dan pada penderita dengan infeksi akut atau komplikasi ginjal.
Preparat insulin yang sudah banyak beredar pada saat ini, sudah
dibuat Human Mono Companent, sehingga memiliki toleransi yang
lebih tinggi dengan kemungkinan alergi yang lebih kecil.
34
b. Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makanan
walaupun telah mendapat penyuluhan perencanaan makanan, lebih dari 50%
pasien tidak melaksanakannya. Penderita DM sebaiknya mempertahankan
menu yang seimbang dengan komposisi Idealnya sekitar 68% karbohidrat,
20% lemak dan 12% protein. Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan
dan mencegah agar berat badan ideal dengan cara: kurangi kalori, kurangi
lemak, kurangi karbohidrat komplek, hindari makanan manis, perbanyak
konsumsi serat.
Pasien yang memerlukan insulin untuk membantu mengendalikan kadar gula
darah, dapat mempertahankan konsistensi jumlah kalori dan karbohidrat
yang dikonsumsi pada jam-jam makan yang berbeda. Di samping itu
konsistensi interval waktu diantara jam makan dengan mengkonsumsi
cemilan juga dapat dilakukan, ini akan membantu mencegah reaksi
hipoglikemia dan pengendalian keseluruhan kadar glukosa darah.
Terapi diet merupakan komponen penting pada pengobatan diabetes baik itu
tipe I maupun tipe II. Rencana diet diabetes dihitung secara individual
bergantung pada kebutuhan pertumbuhan, rencana penurunan berat badan,
dan tingkat aktivitas. Sebagian pasien diabetes tipe II mengalami pemulihan
kadar glukosa darah mendekati normal hanya dengan intervensi diet.
35
c. Olahraga
Olahraga selain dapat mengontrol kadar gula darah karena membuat insulin
bekerja lebih efektif. Olahraga juga membantu menurunkan berat badan,
memperkuat jantung dan mengurangi stress. Bagi pasien Diabetes Mellitus
melakukan olahraga dengan teratur akan lebih baik tetapi jangan melakukan
olah raga terlalu berat.
Pengidap diabetes tipe I harus berhati-hati sewaktu berolahraga karena dapat
terjadi penurunan glukosa darah yang mencetuskan hipoglikemia. Hal ini
terjadi apabila pemberian insulin tidak disesuaikan dengan program olah
raga.
d. Penyuluhan kesehatan DM
Penyuluhan kesehatan harus sering diberikan oleh dokter atau perawat
kepada para penderita Diabetes Mellitus. Penyuluhan tersebut meliputi
beberapa hal, antara lain pengetahuan mengenai perlunya diet secara ketat,
latihan fisik, minum obat, dan juga pengetahuan tentang komplikasi,
pencegahan, maupun perawatannya. Penyuluhan dapat diberikan langsung
baik secara perorangan maupun kelompok, atau melalui poster/selebaran.
Penyuluhan ini juga dapat dilakukan antara penderita diabetes dengan cara
berbagi pengalaman mengenai segala hal yang berkaitan dengan penyakit
yang mereka derita tersebut.