bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · (visual, vestibular, proprioseptive) dan...

29
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Lanjut usia adalah periode dimana organisme telah mencapai masa keemasan atau kejayaannya dalam ukuran, fungsi, dan juga beberapa telah menunjukkan kemundurannya sejalan dengan berjalannya waktu. Pertambahan umur ditandai dengan adanya penurunan massa otot serta kekuatan otot, dimana semua makhluk hidup memiliki siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses kelahiran, kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak selanjutnya menjadi tua dan akhirnya akan meninggal (Napitupulu, 2013). Menurut WHO, batasan usia lanjut dikelompokkan sebagai berikut : pertengahan usia (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun (WHO, 1989). Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses alamiah yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi. Proses menua akan mengakibatkan terjadinya perubahan

Upload: trinhnhi

Post on 26-Apr-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Lanjut usia adalah periode dimana organisme telah mencapai masa keemasan

atau kejayaannya dalam ukuran, fungsi, dan juga beberapa telah menunjukkan

kemundurannya sejalan dengan berjalannya waktu. Pertambahan umur ditandai

dengan adanya penurunan massa otot serta kekuatan otot, dimana semua makhluk

hidup memiliki siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses kelahiran,

kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak selanjutnya menjadi tua dan

akhirnya akan meninggal (Napitupulu, 2013). Menurut WHO, batasan usia lanjut

dikelompokkan sebagai berikut : pertengahan usia (middle age) ialah 45-59 tahun,

lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia

sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun (WHO, 1989).

Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses alamiah yang

tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau

mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat

bertahan terhadap infeksi. Proses menua akan mengakibatkan terjadinya perubahan

10

pada semua sistem tubuh, termasuk sistem neuromuskuler dan sistem

muskuloskeletal (Isma, 2011).

2.1.2 Epidemiologi Ganguan Keseimbangan Pada Lansia

Insiden jatuh pada lansia sangat merugikan karena dapat menyebabkan

hilangnya fungsi fisik, kemandirian, menyebabkan kematian serta hilangnya

pemanfaatan kesehatan (Nurhayati, 2013). Insiden jatuh pada lansia salah satunya

diakibatkan karena adanya gangguan keseimbangan yang sering dialami oleh lansia.

Faktor yang menyebabkan jatuh pada lansia yaitu, faktor intrinsik dan faktor

ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi: permasalahan keseimbangan dan berjalan,

kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan

penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan kognitif. Faktor ekstrinsik

meliputi: kondisi lantai yang tidak rata, licin, barang berserakan dilantai, kamar tidur

yang tidak stabil, tempat berpegangan yang tidak kuat, penerangan yang tidak baik

(Rahmanto, 2008).

Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti

berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali jatuh terjadi

pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau

olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan

olahraga, mungkin di sebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih

banyak (Nurhayati, 2013). Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia

yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Jatuh dan osteoporosis secara

bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38%

11

lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90%

kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas. Sekitar satu

per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13% populasi

lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang mengalami jatuh

cenderung akan terjadi jatuh yang berulang (Nugraha, 2015).

2.2 Keseimbangan

2.2.1 Pengertian Keseimbangan

Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol

pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap

bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di

setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem musculoskeletal dan bidang

tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan

membuat manusia mampu untuk beraktifitas secara efektif dan efisien.

Keseimbangan sangat penting bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas fungsional

seperti fungsi mobilitas (Sibley et al, 2013).

Keseimbangan merupakan integrasi yang komplek dari sistem somatosensorik

(visual, vestibular, proprioseptive) dan motorik (musculoskeletal, otot, sendi jaringan

lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh

internal dan eksternal tubuh (Meylisa, 2012). Kemampuan tubuh untuk

mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak

dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam

pembentukan keseimbangan. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan adalah

12

menyangga tubuh dalam melawan gravitasi dan untuk mempertahankan pusat massa

tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian

tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Yuliana, 2014).

Terdapat dua macam keseimbangan yaitu :

a. Keseimbangan statis

Kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana titik pusat gravitasi

tidak berubah. Dalam keseimbangan statis, ruang geraknya sangat kecil, misalnya

berdiri di atas dasar yang sempit, melakukan hand stand, mempertahanan

keseimbangan setelah berputar-putar di tempat (Permana, 2012).

b. Keseimbangan dinamis

Kemampuan orang untuk bergerak dari satu titik atau ruang kea lain titik

dengan mempertahankan keseimbangan, misalnya berjalan, duduk ke berdiri,

mengambil benda di bawah dengan posisi berdiri dan sebagainya (Permana, 2012)

2.2.2 Fisiologi keseimbangan

Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan

postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan

sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh

mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan

faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang

dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain

bergerak (Yuliana, 2014).

13

Bagian yang paling penting untuk menjaga keseimbangan adalah

proprioseptive. Proprioseptive dihasilkan melalui respon secara simultan, visual,

vestibular, dan system sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting

dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan

propriseptive adalah fungsi dari sistem sensorimotor. Fisiologi keseimbangan dimulai

sejak informasi keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual

dan propioseptik. Dari ketiga jenis reseptor tersebut, reseptor vestibuler yang punya

kontribusi paling besar ( >50% ) kemudian reseptor visual dan yang paling kecil

konstibusinya adalah propioseptik. Ketika terjadi gerakan atau perubahan dari kepala

atau tubuh, cairan endolimfe pada labirin akan berpindah sehingga hair cells

menekuk. Terjadilah permeabilitas membran sel berubah sehingga ion kalsium

menerobos masuk kedalam sel (influx), Influx Ca menyebabkan depolarisasi dan juga

merangsang pelepasan NT eksitator (glutamat), saraf aferen (vestibularis) dan pusat-

pusat keseimbangan di otak (Yuliana, 2014).

Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata

menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di

sendi dan otot menerima masukan proprioseptif, reseptor di kanalis semikularis dan

organ otolit menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang

diterima di salurkan ke nukelus vestibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi

pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan

kembali ke nukleus vestibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik

otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang

14

diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata ekternal berupa kontrol gerakan

mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme

tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan dinamis

yang optimal (Astriyana, 2012).

Terdapat dua jenis motor ouput, yaitu disadari dan tidak disadari. Sebuah

tanggapan refleks mencakup beberapa gerakan ritmis seperti menelan, mengunyah,

menggaruk, dan berjalan. Sebagian besar gerakan reflek tidak disadari namun dapat

menyesuaikan gerakan yang disadari dan terkontrol. Untuk memindahkan anggota

badan, otak harus merencanakan gerakan, mengatur gerakan yang sesuai di berbagai

sendi pada saat yang sama, dan menyesuaikan gerakan dengan membandingkan

rencana dengan kinerja. Sistem motor "learn by doing" dan meningkatkan kinerja

dengan pengulangan. Hal ini melibatkan plastisitas sinaptik (Yuliana, 2014).

Perintah untuk gerakan yang disadari berasal dari daerah asosiasi kortikal.

Mutasi yang direncanakan di korteks serta dalam ganglia basal dan bagian lateral

hemisfer cerebellar, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas listrik

sebelum gerakan. Thalamus akan mengatur informasi yang diterima kemudian

diteruskan ke ganglia basal, saluran otak kecil lalu diteruskan ke pre-motor dan

korteks motor. Perintah motor dari korteks motorik diteruskan sebagian besar melalui

saluran kortikospinalis ke sumsum tulang belakang dan saluran kortikobulbar yang

sesuai untuk motor neuron di batang otak. Jalur collateral dan koneksi langsung dari

beberapa korteks motor berakhir pada batang otak. Jalur ini juga dapat memediasi

gerakan yang disadari. Perubahan gerakan adalah pengaruh dari masukan sensorik

15

melalui indera dan dari otot, tendon, sendi, dan kulit. Informasi umpan balik ini dapat

menyesuaikan dan menghaluskan gerakan. Jalur batang otak yang berkaitan dengan

postur tubuh dan koordinasi adalah saluran rubrospinal, reticulospinal, tectospinal,

dan vestibulospinal (Yuliana, 2014).

Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh sistem indera yang terdapat di tubuh

manusia bekerja secara bersamaan jika salah satu sistem mengalami gangguan maka

akan terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh, sistem indera yang mengatur dan

mengontrol keseimbangan seperti, visual, vestibular, dan somatosensoris.

2.2.3 Komponen-komponen pengontrol keseimbangan

1) Sistem informasi sensoris

Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.

a) Visual

Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Keseimbangan

akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus

pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor

tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan merupakan

sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada,

penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur

jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan merupakan

sumber utama informasi tentang lingkungan dan penglihatan berperan dalam

mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan tempat kita berada.

16

Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek

sesuai jarak pandang (Kisner & Colby, 2007). Masukan reseptor visual

berperan penting terutama pada landasan penunjang yang tidak stabil,

misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan anteroposterior pada

tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan dengan mata

tertutup. Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga

keseimbangan. Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi

dengan sistem vestibular (Nugraha, 2015).

b) Sistem Vestibular

Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting

dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris

vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada system vestibular meliputi

kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Kanalis semisirkularis

berfungsi terhadap gerakan kepala yang cepat, seperti ketika berjalan atau

dalam keadaan tidak seimbangan, sedangkan respon otoliths (utrikulus dan

sakulus) begitu lamban pada pergerakan kepala, seperti pada saat postur

berjalan (Kisner & Colby, 2007).

Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth,

reticular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular

menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron

yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-

otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat

17

sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan

mengontrol otot-otot postural (Guyton, 2008).

c) Somatosensoris

Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta

persepsikognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna

dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif

menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui

lemniskus medialis dan talamus (Willis, 2007). Input-input somatosensori

terdiri dari aktivitas serabut otot, proprioseptif, dan reseptor kutaneus ada

ektremitas bagian bawah, ditambah dengan sensasi vibrasi. Input propriseptif

dan kutaneus merupakan informasi sensoris yang utama untuk memelihara

keseimbangan (Kisner & Colby, 2007).

Macam-macam reseptor dalam sistem proprioseptif yaitu: korpus

vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian bawah kulit dan jaringan ikat,

organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi, muscle spindle ada dalam otot

berfungsi sebagai stretch reseptor, piring Golgi-Massoni ada dalam kulit

untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005).

2) Efektor

a) Respon otot-otot postural yang sinergis

Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak

dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan

18

keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada

ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri

tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan.

Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan

jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari

perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot

yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan

kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi

gerak tertentu. Gerak dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan

gerak yang diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan

dan kecepatan yang sesuai (Kisner & Colby, 2007).

b) Kekuatan Otot

Kekuatan otot sangat diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua

gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan

tagangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan

sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal

(eksternal force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot sangat

berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan

sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin

banyak serabut otot teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang

dihasilkan otot tersebut (Kisner & Colby, 2007).

19

Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk

mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan

otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan

gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus

mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak

dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan

baik saat statis maupun dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot

memiliki kekuatan dengan besaran tertentu (Kisner & Colby, 2007).

c) Lingkup gerak sendi (Range of motion)

Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa

dilakukan oleh sendi. ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot

dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang

secara penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan. ROM

menentukan kemampuan sendi dalam membantu gerak tubuh dan

mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan

yang tinggi, serta keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi

kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013)

3. Sistem saraf pusat (Central processing)

Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan

aligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor

yang dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan sistem saraf

pusat berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf

20

pusat menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan

kemudian menghubungkan ke sistem neuromuskular untuk memberikan

output motorik yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan

yang baik ketika dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak

(dinamis). Komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol

postural yaitu: corteks, thalamus, basal ganglia, nuckelus vestibular, dan

cerebellum (Suadnyana, 2013).

2.2.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kesimbangan

1. Pusat gravitasi (Center of Gravity – COG)

Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan

massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh

dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya

perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada

manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat

gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara

depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk

mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat

dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam

area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas

area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan

tumpuan (Bishop, 2009). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.1.

21

Gambar 2.1 Center of gravity

(Sumber : Nugraha, 2015)

2. Garis gravitasi (Line of Gravity – LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat

gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi

dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi

pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada

tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan

anterior knee dan ankle, seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2 (Neumann,

2000).

22

Gambar 2.2 Line of gravity

(Sumber : Nugraha, 2015)

3. Bidang tumpu (Base of Support – BOS)

Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan

tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam

keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu.

Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan

kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support

pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin

23

dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi

(Wen Chang et al, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Base of Support

(Sumber : Nugraha, 2015)

2.2.5 Penyusunan Keseimbangan Postural

Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistem atau set dalam

meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural

dianggap sebagai keterampilan motorik yang kompleks berasal dari interaksi antara

berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural

yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural dipengaruhi

oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan penyangga, sistem

visual, dan informasi internal. Orientasi spasial pada kontrol postural bergantung

pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan somatosensoris. Keseimbangan

24

postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor untuk menstabilkan center of mass

dan penjalaran eksternal pada stabilitas postural.

Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem

kontrol postural. Penurunan kemampuan pada salah satu komponen dapat

menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan meningkatkan kejadian jatuh

pada lansia.

1) Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints)

Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan adalah

ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki. Keterbatasan

pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki akan

mempengaruhi keseimbangan (Tinetti et al, 1998). Pada posisi berdiri, terdapat

area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan seseorang

dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa

merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989) seperti terlihat pada Gambar

2.4.

25

Gambar 2.4 Normal dan Abnormal Limits of Stability

(Sumber : Horak, 2006)

Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha

menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas

stabilitas, sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan

multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah

depan tanpa melewati batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita

dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi

tubuh ke belakang, tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk

melebarkan bidang tumpu. Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai

kemampuan untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah

anteroposterior atau mediolateral tanpa memindahkan bidang tumpu (Sibley et

al, 2015).

Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas

kerucut dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam

26

mengontrol keseimbangan. Pada sebagian besar lansia dengan defisit

keseimbangan, stabilitas kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem

saraf pusat terhadap stabilitas kerucut mengalami penurunan (Duncan et al,

1990).

2) Strategi Gerakan (Movement Strategies)

Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah

tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon

postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan

dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang

dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback

dan feedforward. Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem

saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan

posisi tertentu. Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan

menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat

gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi

keadaan ini dengan mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka

menstabilisasi pusat gravitasi tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan

terhadap stimulus yang diberikan akan menjadi akurat. Sementara, feedback

berhubungan dengan situasi dimana tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti:

tergelincir atau terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf

pusat berperan dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat

27

gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu. Respon yang diberikan dapat berupa

respon protektif atau respon korektif (Nugraha, 2015).

Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon

neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback. Bentuk

gerakan yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika

pasien berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu

dalam melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot).

Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam

mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy

digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini,

aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot

bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan

keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali

yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m.

abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan

maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m.

paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi

tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang

tidak stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh

terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal.

Pada forward sway akan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps,

sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring.

28

(3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu

pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk

memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan

(Nugraha, 2015).

3) Strategi Sensoris (Sensory Strategies)

Informasi sensoris dari somatosensori, visual, dan vestibular, harus

diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan. Dalam lingkungan

yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat

mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular

(20%). Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil,

mereka meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual

mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi

postural (Peterka, 2002).

Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight

sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga

stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang

lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem

vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam

kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang

jatuh lebih tinggi (Horak, 2006).

29

4) Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space)

Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan

gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen

penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah

cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang

yang sehat dapat mengidentifikasi gravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak 0,5°.

Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atau tegak, mungkin

memiliki beberapa representasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal

visual atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam

gelap, tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal;

misalnya kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual.

Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan

keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan

membuat seseorang tidak stabil (Nugraha, 2015).

5) Kontrol Dinamik (Control of Dynamics)

Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu

postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh.

Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis

dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter

et al, 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan

ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal

30

dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral

(Bauby & Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung

memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta

penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al, 1997).

6) Proses Kognitif (Cognitive Processing)

Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural. Bahkan

berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapat dilihat oleh

peningkatan waktu reaksi pada orang berdiri dibandingkan dengan mereka yang

duduk dengan dukungan. Semakin sulit tugas postural, semakin pengolahan

kognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam tugas

kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale &

Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dan sumber lain berbagi proses kognitif,

kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al,

1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbatas karena gangguan

neurologis dapat menggunakan lebih dari proses kognitif yang tersedia untuk

mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang tidak

cukup untuk mengontrol postur sementara sibuk dengan tugas kognitif sekunder

lainnya (Horak, 2006).

2.3 Proses Penurunan Keseimbangan Pada Lansia

Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di

antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf

pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi

31

mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem

sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen

motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang

berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem

visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).

Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses

penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi

serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa

dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam

persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang

diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006).

Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular.

Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium

sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif

mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan

penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan

pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan

jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20%

jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis

(Barnedh, 2006).

Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak

dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot.

32

Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap

aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang

dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran

reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan

dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).

Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini

berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi,

dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap

keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan

penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan

langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat

menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk

tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih

berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi

faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir

seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya

disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan

serebelum (Rohana, 2009). Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada

lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan.

33

2.4 Balance Strategy Exercise

1) Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise)

Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari

ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi

tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap

permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk

menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan

arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki.

Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini

mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang

tubuh Pada respon goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior,

otot quadrisep diikuti otot abdominal (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise

dijabarkan melalui Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Ankle strategy exercise

(Sumber: Yuliana, 2014)

34

2) Latihan strategi panggul (hip strategy exercise)

Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari

pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip

strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk

membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga

untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan

penyangga digerakkan ke belakang, subyek miring ke depan pada sendi panggul

dengan mengaktifkan otot-otot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior.

Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas,

atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan

pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui

Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Hip strategy exercise

(Sumber: Yuliana, 2014)

35

3) Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise)

Stepping strategy exercise menggambarkan tahapan dengan kaki atau

menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan

penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui

landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam

merespon gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas

stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk

mendapatkan kembali keseimbangan (Yuliana, 2014). Stepping strategy

exercise dijabarkan melalui Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Stepping strategy exercise

(Sumber: Yuliana, 2014)

2.5 Intervensi Four Square Step

Latihan four square step adalah suatu bentuk latihan keseimbangan berdiri

secara dinamik yang tidak memerlukan ruangan luas dan tidak memerlukan alat bantu

36

khusus, cukup menggunakan empat buah balok kayu berukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 90

cm. Latihan ini merupakan bentuk pengembangan dari suatu uji keseimbangan

menjadi bentuk latihan. Prinsip dasar latihan four squre step pada lanjut usia

mengacu pada prinsip dasar latihan keseimbangan yang mencakup komponen

biomekanik, koordinasi motorik dan organisatorik yang merupakan komponen

kontrol postural yang di dalamnya terkandung aspek : kekuatan otot, ketahanan otot,

kesegarisan postur, somatosensory, visual, vestibular, dan hubungan diantara aspek-

aspek tersebut. (Gunarto, 2005).

Gerakan four square step melibatkan perubahan arah gerakan mata dengan

pergeseran kepala ketika melangkah, dimana perubahan lingkungan penglihatan dapat

menjadi pemicu ketidakseimbangan sehingga latihan yang intensif akan membuat

mata dan kepala terbiasa dengan kemponsesi yang dilakukan untuk tetap berada pada

posisi seimbang (Gunarto, 2005).

2.6 Berg Balance Scale

Berg Balance Scale (BBS) dibuat pada tahun 1989 dirancang untuk

memberikan tantangan terhadap pasien untuk menjaga keseimbangan secara bertahap

untuk mengurangi basis penyangga tubuh. BBS menggunakan 14 item pengukuran

dengan skala 0 sampai 4. Nilai 0 diberikan apabila pasien tidak mampu melakukan

tugas yang diberikan dan nilai 4 diberikan apabila pasien mampu melengkapi tugas

sesuai kriteria yang diberikan. Nilai maksimum untuk pengukuran ini adalah 56. Tes

ini cukup mudah untuk dilakukan dan hanya membutuhkan stop watch, penggaris, 2

jenis kursi, dan bangku kecil (untuk melangkah). Berg Balance Scale dinilai sebagai

37

prediktor yang paling efektif untuk jatuh dan gangguan keseimbangan serta sudah

beberapa kali divalidasi (Neuls et al, 2011).

Lima penelitian menginvestigasi hubungan BBS dengan populasi pada lansia.

Empat penelitian menggunakannya pada komunitas lansia sedangkan 1 penelitian

pada nursing home care. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa range sensitivitas

antara 53% - 88,2%, spesifisitas antara 53% - 96%, dan cutoff scores antara 46 – 54.

Peneliti juga menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki score BBS dibawah 46

kemungkinan memiliki resiko yang besar untuk mengalami jatuh (Nugraha, 2015).

Studi lainnya juga menunjukkan bahwa BBS memiliki sensitivitas sebesar

82,5% dan spesifisitas sebesar 93%. Peneliti menyimpulkan bahwa lansia yang

memiliki skor BBS sebesar 50 cenderung memiliki resiko jatuh sebesar 10 % dan

apabila skor BBSnya sebesar 38 atau kurang, maka lansia memiliki risiko jatuh

sebesar 90%. Peneliti menjelaskan bahwa berdiri dengan satu kaki merupakan

prediktor terbaik dalam memprediksi jatuh pada lansia (Lajole, 2004).