bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan teori 1. malaria
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium, yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam
kelompok protozoa. Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina yang mengandung Plasmodium di dalamnya. Plasmodium yang
terbawa melalui gigitan nyamuk akan hidup dan berkembang biak dalam sel
darah merah manusia (Info Datin Malaria, 2016). Penyakit ini dapat
menyerang segala ras, usia, dan jenis kelamin. Malaria masih merupakan
penyakit endemis di beberapa daerah (Irianto, 2009).
Penyakit ini paling penting diantara penyakit parasit pada manusia yang
menjangkit 103 negara yang endemis dengan jumlah populasi lebih dari 2,5
milyar orang dan menyebabkan 1 hingga 3 juta kematian setiap tahunnya
(Isselbacher, 2000). Sebagian besar nyamuk Anopheles akan menggigit pada
waktu senja atau malam hari, pada beberapa jenis nyamuk puncak gigitannya
adalah tengah malam sampai fajar (Widoyono, 2011).
Penyakit malaria pada manusia disebabkan oleh genus Plasmodium
yang terdiri atas empat spesies, yaitu (1) Plasmodium vivax, menimbulkan
malaria tertiana benigna atau malaria vivax. (2) Plasmodium falciparum,
menimbulkan malaria tertiana maligna atau malaria falciparum. (3)
Plasmodium malariae, menimbulkan malaria kuartana atau malaria malariae.
(4) Plasmodium ovale, menimbulkan malaria tertiana benigna ovale atau
malaria ovale (Natadisastra, 2014).
Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax atau malaria tertian benigna
yang ditemukan oleh Grassi dan Feletti pada tahun 1890. Terdapat di daerah
tropik dan iklim dingin. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria
falciparum atau malaria maligna yang ditemukan oleh Welch pada tahun
1897. Terdapat di daerah tropik (Natadisastra, 2014).
Plasmodium malariae menyebabkan malaria malariae atau malaria quartana
yang ditemukan oleh Leveran pada tahun 1881. Terdapat di daerah tropik dan
7
iklim dingin tetapi dalam frekuensi rendah. Plasmodium ovale menyebabkan
malaria ovale atau malaria tertiana benigna ovale yang ditemukan oleh
Stephen pada tahun 1922. Terdapat di daerah terutama Afrika (Natadisastra,
2014).
a. Epidemiologi (penyebaran)
Malaria ditemukan pada 60o Lintang Utara sampai 32
o Lintang
Selatan, dari daerah ketinggian 2.666 m (Bolivia 2.591 m) sampai daerah 433
m dibawah permukaan laut (Dead Sea). Daerah yang sejak semula bebas
malaria ialah Pasifik Tengah dan Selatan (Hawaii, Selandia Baru). Di daerah
tersebut siklus hidup parasit tidak dapat berlangsung karena tidak ada
vektornya (Natadisastra, 2014).
Pada negara yang beriklim dingin sudah tidak ditemukan lagi daerah
endemik malaria. Namun demikian, malaria masih merupakan persoalan
kesehatan yang besar di daerah tropis dan subtropis di seperti di Brazil, asia
tenggara, dan seluruh sub-sahara afrika (Widoyono, 2011).
Di Indonesia, malaria ditemukan hampir di semua wilayah. Pada tahun
1996 ditemukan kasus malaria di Jawa-Bali dengan jumlah penderita
sebanyak 2.341.401 orang, Slide Positive Rate (SPR): 9215, Annua lParacitic
Incidence (API): 0,08. CFR di rumah sakit sebesar 10-50%. Menurut laporan
di provinsi Jawa Tengah tahun 1999: API sebanyak 0,35% sebagian besar
disebabkan Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Angka prevalensi
malaria di Jawa Tengah terus menurun menjadi 0,15 dan berkurang lagi
menjadi 0,07 pada tahun 2005. Plasmodium malariae banyak ditemukan di
Indonesia Timur, sedangkan Plasmodium ovale di Papua dan NTT
(Widoyono, 2011).
Malaria secara epidemiologi merupakan penyakit menular yang lokal
spesifik, pada sebagian daerah provinsi Lampung merupakan daerah endemis
yang berpotensi untuk berkembangnya penyakit malaria seperti pedesaan yang
mempunyai rawa-rawa, genangan air payau di tepi laut dan tambak-tambak
ikan yang tidak terurus. Desa endemis malaria di Lampung berjumlah 223
desa atau 10% dari seluruh jumlah desa, angka kesakitan malaria per tahun 0,4
per 1.000 penduduk. Angka kesakitan malaria atau Annual Parasite Incidence
8
(API) di Kabupaten/Kota Bandar Lampung pada tahun 2015 tertinggi ada di
Kabupatan Pesawaran, Kota Bandar Lampung, dan Pesisir Barat. Berdasarkan
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2015, Annual Paracite
Incidence (API) di Kota Bandar Lampung mencapai 0,58% (Dinkes Lampung,
2015).
b. Morfologi
Bentuk Plasmodium yang ditemukan dalam sel parenkim hati adalah
skizon (Widoyono, 2011). Sel darah merah yang diinfeksi tidak membesar.
Adanya bentuk cincin halus yang khas, dengan titik kromatin rangkap. Dua
titik kromatin (nukleus) sering dijumpai pada bentuk cincin Plasmodium
falciparum. Skizonnya bulat atau lonjong, jarang sekali diteumukan dalam sel
darah. Skizon tidak mengisi seluruh eritrosit. Skizon matang biasanya
mengandung 16-24 merozoit kecil. Gametosit yang muda mempunyai bentuk
lonjong hingga menyebabkan dinding sel memanjang. Setelah mencapai
perkembangan akhir, sel mempunyai bentuk pisang yang khas yang disebut
“sabit” (crescent) (Irianto, 2009).
Warna eritrosit yang dihinggapi oleh Plasmodium vivax menjadi pucat
karena kekurangan hemoglobin dan membesar. Trofozoit muda tampak
sebagai cakram dengan inti pada satu sisi, sehingga merupakan cincin stempel.
Bila trofozoit tumbuh, bentuknya menjadi tidak teratur, berpigmen halus, dan
menunjukkan gerakan ameboid yang jelas. Setelah 36 jam ia mengisi lebih
dari setengah sel darah yang membesar. Intinya membelah dan menjadi
skizon. Sel darah merah membengkak, mengandung pigmen yang tertimbun
dalam sitoplasma. Setelah hampir 48 jam, skizon mencapai ukuran maksimum
sekitar 8-10 mikron dan mengalami segmentasi. Pigmen berkumpul di pinggir,
inti yang membelah membentuk 16-18 sel yang berbentuk bulat atau lonjong
yang disebut merozoit (Irianto, 2009).
9
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.1 Morfologi Plasmodium ovale
10
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.2 Morfologi Plasmodium malariae
11
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.3 Morfologi Plasmodium vivax
12
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.4 Morfologi Plasmodium falciparum
13
c. Siklus Hidup
Pada tahun 1880, Charles Laveran dan Grassi berhasil mengungkapkan
daur hidup Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria. Dalam daur
hidupnya, Plasmodium mempunyai dua hospes, yaitu vertebrata (manusia)
dan nyamuk. Di dalam hospesvertebrata (manusia) melangsungkan daur
aseksual dikenal sebagai skizogoni dan daur seksual membentuk sporozoit di
dalam nyamuk sebagai sporogoni (Irianto, 2009).
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.5 Siklus Hidup Plasmodium
14
1) Siklus hidup aseksual (Skizogoni)
Sporozoit yang infektif dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles,
ditusukkan ke dalam aliran darah hospesvertebrata (manusia). Sporozoit
dalam waktu 30 menit memasuki sel parenkim hati untuk memulai stadium
ekso-eritrosit karena belum masuk ke dalam sel darah merah (Irianto, 2009).
Di hati, sporozoit matang menjadi skizon yang akan pecah dan melepaskan
merozoit jaringan. Merozoit akan memasuki aliran darah dan menginfeksi
eritrosit untuk memulai siklus eritrositer (Widoyono, 2011).
Dalam sel darah merah mulai tampak adanya kromatin kecil yang
dikelilingi oleh sitoplasma tipis Plasmodium yang membentuk cincin. Bentuk
cincin ini kemudian berkembang menjadi bentuk ameboid. Bentuk cincin dan
ameboid adalah bentuk tropozoit dalam sel darah merah tumbuh menjadi
skizonmerozoit. Sel darah merah yang penuh dengan merozoit akan pecah.
Parasit yang menghindari fagositosis memasuki sel darah merah kembali
untuk mengulangi daur skizogoni. Merozoit yang masuk sel darah merah baru
kemudian membentuk gametosit untuk memasuki stadium seksual (Irianto,
2009). Diantaramerozoit-merezoit tersebut akan ada yang berkembang
membentuk gametosit untuk memulai siklus seksual menjadi mikrogamet
(jantan) dan makrogamet (betina) (Widoyono, 2011).
2) Siklus hidup seksual (Sporogoni)
Sporogoni merupakan stadium seksual yang terjadi dalam tubuh
nyamuk. Pada saat nyamuk mengisap darah gametosit ditelan bersama.
Berbeda dengan skizon, gametosit tidak dicerna bersama sel-sel darah (Irianto,
2009). Siklus seksual dimulai dengan bersatunya gamet jantan dan gamet
betina untuk membentuk ookinet dalam perut nyamuk (Widoyono, 2011).
Fertilisasi terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk
membentuk zigot. Dalam 12-24 jam setelah nyamuk menghisap darah, zigot
berubah bentuk menjadi seperti cacing yang disebut ookinet yang dapat
menembus dinding lambung nyamuk yang selanjutnya tumbuh menjadi
ookista yang berbentuk bulat. (Irianto, 2009).
Di dalam ookista, terbentuk ribuan sporozoit sehingga menyebabkan
ookista pecah. pecahnya ookista menyebabkan sporozoit dilepaskan ke dalam
15
rongga badan dan selanjutnya bergerak ke seluruh jaringan nyamuk. Beberapa
sporozoit mencapai kelenjar ludah nyamuk. Jika nyamuk menusuk kulit
manusia, maka sporozoit masuk ke dalam darah dan jaringan bersama air
ludah, kemudian mulailah daur pra-eritrositik. Daur sporogoni di dalam
nyamuk berlangsung selama 8-12 hari (Irianto, 2009).
d. Gejala Klinis
Gejala klinis utama yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang
menginfeksi manusia adalah demam yang khas yang diikuti dengan
splenomegali dan anemia yang dikenal sebagai trias malaria (Natadisastra,
2009). Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa:
kelesuan, sakit kepala, nyeri pada tulang (arthralgia) atau otot, anorexia
(hilang nafsu makan), perut tidak enak, diare ringan, dan kadang merasa
dingin di punggung.
1) Demam
Serangan demam yang khas terdiri dari bebrapa stadium:
a) Stadium menggigil, dimulai dengan perasaan dingin sekali sehingga
menyebabkan menggigil. Nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari tangan
menjadi biru, kulit kering dan pucat, kadang disertai muntah, pada anak sering
disertai kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
b) Stadium puncak semam dimulai saat perasaan dingim sekali berubah
menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa seperti
terbakar, sakit kepala semakin hebta, biasanya disertai mual dan muntah, nadi
berdenyut kencang. Stadium ini berlangsung selama 2 sampai 6 jam.
c) Stadium berkeringat dimulai dengan penderita berkeringat banyak. Suhu
turun dengan vepat, kadang-kadang sampai dibawah normal. Penderita
biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun merasa lemah tetapi sehat.
Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam. Stadium menggigil, stadium puncak,
dan stadium berkeringat biasanya dimulai antara jam 08.00-12.00 (Soedarto,
2009).
16
2) Splenomegali
Pembesaran limfa merupakan gejala khas terutama pada malaria
menahun. Perubahan pada limfa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi
kemudian limfa berubah berwarna hitam karena pigmen yang ditimbun dalam
ertirosit mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Pada malaria
menahun jaringan ikat makin bertambah sehingga konsistensi limfa menjadi
keras (Gandahusada, 2006).
3) Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkan.
Anemia disebabkan oleh:
a) Sel darah merah lisis akibat siklus hidup parasit
b) Penghancuran sel darah merah yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi di
dalam limfa
c) Penghancuran sel darah merah oleh auto imun
d) Berkurangnya pembentukan heme
e) Meningkatnya fragilitas sel darah merah
f) Berkurangnya produksi sel darah merah dari sumsum tulang belakang
(Soedarto, 2009).
e. Faktor yang mempengaruhi
Malaria di suatu daerah dapat berbeda dengan daerah lain, tergantung
pada adanya manusia penderita penyakit malaria (Host), adanya nyamuk
(vektor), adanya parasit (Agent), serta dapat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan (Natadisastra, 2014).
1) Manusia (Host)
Manusia sebagai pengandung gametosit (gametocytecarrier). Manusia
dapat meneruskan siklus hidup parasit dalam nyamuk (Natadisastra, 2014).
2) Nyamuk (Vektor)
Dari sekitar 3.450 spesies nyamuk, genus Anopheles meliputi 400
spesies, tetapi hanya sekitar 70 spesies yang menjadi vektor malaria. Di
Indonesia, terdaftar 24 spesies yang menjadi vektor penting malaria. Nyamuk
Anopheles yang menjadi vektor berbeda-beda menurut daerah (Natadisastra,
2014).
17
3) Parasit (Agent)
Di beberapa daerah, parasit telah resistes terhadap obat anti malaria
(terutama strain Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin)
(Natadisastra, 2014).
4) Pengaruh Lingkungan
Di daerah yang tidak baik untuk biologis vektor, kemungkinan adanya
malaria lebih kecil. Perubahan lingkungan dapat memengaruhi biologi
nyamuk, dapat pula memengaruhi keadaan penyakit malaria. Kemampuan
suatu spesies nyamuk Anopheles untuk berperan sebagai vektor malaria
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:
(a) Kecocokan fisiologis antara nyamuk sebagai hospes dan parasit malaria
yang menumpanginya.
(b) Umur nyamuk, semain panjang umur nyamuk semakin panjang
kesempatan parasit malaria untuk menyelesaikan masa ekstrinsik, dari
gametosit hingga sporozoit di kelenjar liur.
(c) Nyamuk lebih suka mengisap darah manusia, sehingga menyebabkan
nyamuk menularkan parasit malaria antar manusia.
(d) Kepadatan nyamuk yang cukup tinggi, menyebabkan frekuensi kontak
antara nyamuk dengan manusia menjadi lebih tinggi sehingga
memperbesar resiko penularan malaria.
(Natadisastra, 2014).
f. Patogenesis Malaria Berat
Malaria berat adalah penyakit malaria yang diakibatkan oleh
Plasmodium falciparum. Invasi merozoit ke dalam eritrosit menyebabkan
eritrosit mengandung parasit (Eritrosit Parasit/EP) (Harijanto, 2009). Setelah
invasi, parasit yang sedang tumbuh akan mengkonsumsi serta menguraikan
protein intraseluler secara progresif, terutama hemoglobin, dan mengubah
membran sel darah merah melalui perubahan sifat pengangkutannya
(Harrisons, 2000).
1) Sitoadherens
Sitoadherens adalah ikatan antara ertrosit yang terinfeksi parasit (EP)
dengan endotel vaskuler terutama pada kapiler post-venula (Harijanto, 2012).
18
2) Roseting
Roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan
beberapa eritrosit yang tidak terinfeksi, membentuk suatu gumpalan yang
disebut dengan roset (Harijanto, 2012).
3) Autoaglutinasi
Autoaglutinasiatau clumping adalah ikatan antara eritrosit yang yang
terinfeksi parasit membentuk agregat yang tidak melibatkan eritrosit yang
tidak terinfeksi. Beberapa agregat roset dapat saling berikatan dengan eritrosit
terinfeksi membentuk giantroseting(Harijanto, 2012).
g. Diagnosa Laboratorium Malaria
Pemeriksaan laboratorium Malaria dilakukan untuk menegakkan
diagnosa laboratorium dengan menemukan Plasmodium sp. di dalam eritrosit.
Sediaan darah sebaiknya dibuat setelah puncak demam, terutama pada infeksi
oleh Plasmodium falciparum sebab untuk Plasmodium lainnya dapat dibuat
setiap saat. Untuk menemukan parasit dalam sediaan darah, tergantung pada
derajat parasitemia (parasitecount) dan ambang mikroskopik (Natadisastra,
2014).
Pemeriksaan darah dilakukan pada setiap kasus yang diduga
malaria pada saat pertama kali berobat. Jika hasilnya negatif, diulang setiap 6
jam dan baru dinyatakan negatif jika setelah 3-4 hari dilakukan pemeriksaan
tidak ditemukan parasitnya. Pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan dengan 2
cara, yaitu apus darah (sediaan darah tipis) dan tetes darah tebal (sediaan
darah tebal) (Natadisastra, 2009).
Pemeriksaan sediaan darah tipis dilakukan selama 30 menit
sedangkan tetes darah tebal selama 15 menit setelah dilakukan pengecatan.
Sediaan darah tipis berhasil baik pada kasus malaria berat dan sedang karena
pada kasus ringan parasit dalam eritrosit jumlahnya masih sedikit, sedangkan
sediaan darah tebal dapat dilakukan pada malaria ringan (Natadisastra, 2009).
19
2. Darah
Darah merupakan jaringan ikat khusus yang terdiri atas elemen
berbentuk sel-sel darah dan trombosit yaitu suatu substansi interseluler cair
plasma darah. Volume darah pada manusia dewasa yang sehat lebih dari 5
liter, sekitar 8% dari berat badan (Syaifuddin, 2009).
Darah didistribusikan melalui pembuluh darah dari jantung
keseluruh tubuh dan akan kembali lagi menuju jantung. Sistem ini berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan sel atau jaringan akan nutrisi dan oksigen, serta
membawa sisa metabolisme sel atau jaringan keluar dari tubuh (Nugraha,
2015).
Salah satu fungsi darah di dalam tubuh yaitu sebagai sistem
pertahanan tubuh terhadap infeksi yang dilakukan oleh salah satu jenis sel
yaitu sel leukosit. (Nugraha, 2015).
Pertahanan dilakukan dengan cara menghancurkan antigen (kuman,
virus, dan toksin) dan dikerahkan ke tempat-tempat infeksi ddngan jumlah
berlipat ganda (Syaifuddin, 2009).
a. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih memiliki inti, bentuknya lebih besar
daripada eritrosit, dapat berubah-ubah, dan bergerak menggunakan perantara
kaki palsu (pseudopodia). Nilai normal 6.000-9.000/mm3 dalam tubuh.
Fungsi utama leukosit adalah sebagai pertahanan tubuh dengan cara
menghancurkan antigen (kuman, virus, dan toksin) (Syaifuddin, 2009).
Leukosit bersama sistem makrofag jaringan atau sel retikuloendotel
dari hepar, limfa, sumsum tulang, alveoli paru, mikroglia otak, dan kelenjar
getah bening melakukan fagositosis terhadap kuman dan virus yang masuk
(Syaifuddin, 2009).
Leukosit berfungi untuk membantu tubuh melawan berbagai
penyakit infeksi sebagai bagian dari sisem kekebalan tubuh. Leukosit lebih
banyak melakukan fungsinya di jaringan. Apabila terjadi peradangan pada
jaringan tubuh, leukosit akan bermigrasi menuju jaringan yang mengalami
radang dengan cara menembus dinding pembuluh darah (Kiswari, 2014).
20
Ada dua golongan leukosit, yaitu leukosit granular dan leukosit
agranular. Leukosit agranular mempunyai situplasma yang tampak homogen
intinya dan berbentuk bulat. Leukosit agranular terbagi menjadi limfosit dan
monosit. Leukosit granular terbagi menjadi neutrofil, eosinofil, dan basofil
(Syaifuddin, 2009).
b. Jenis-jenis Leukosit
1) Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya, yaitu
kira-kira <2% dari jumlah keseluruhan leukosit. Basofil merupakan sel
leukosit yang mengandung granula kasar berwarna ungu atau biru tua dan
sering menutupi inti sel. Inti sel basofil bersegmen. Granula pada basofil
mengandung heparin, histamin, dan substansi anafilaksis. Basofil berperan
dalam reaksi hipersensitivitas yang berhubungan dengan imunoglobulin E
(IgE) (Kiswari, 2014).
Sumber: Freund, 2013
Gambar 2.6 Sel Basofil.
2) Eosinofil
Eosinofil mengandung granula kasar yang berwarna merah-oranye yang
tampak pada apusan darah tepi. Intinya bersegmen (umumnya dua lobus).
Fungsi eosinofil sebagai fagositosis dan menghasilkan antibodi terutama
terhadap antigen yang dikeluarkan oleh parasit. Jumlah eosinofil normal
adalah 2-4% dan akan meningkat jika terjadi reaksi alergi atau infeksi parasit
(Kiswari, 2014).
21
Sumber: Freund, 2013
Gambar 2.7 Sel Eosinofil.
3) Neutrofil
Neutrofil adalah jenis leukosit yang paling banyak diantara jenis-
jenis leukosit. Ada dua jenis neutrofil yaitu neutrofilstab (batang) dan
neutrofil segmen (polimorfonuklear). Neutrofil segmen mempunyai beberapa
segmen pada intinya dan dihubungkan dengan benang kromatin. Jumlah
neutrofil segmen kira-kira 50-70% dari keseluruhan leukosit. Neutrofil stab
merupakan bentuk muda dari neutrofil segmen. Seiring dengan proses
pematangan, bentuk intinya akan bersegmen dan menjadi neutrofil segmen.
Neutrofil merupakan bentuk pertahanan tubuh yang utama untuk melawan
bakteri (Kiswari, 2014).
Sumber: Freund, 2013
Gambar 2.8 Sel Neutrofil Stab
22
Sumber: Freund, 2013
Gambar 2.9 Sel Neutrofil Segmen
4) Limfosit
Limfosit merupakan sel berbentuk bulat kecil dan intinya relatif
besar. Dikelilingi sedikit sitoplasma dengan kromatin yang sangat padat
(Syaifuddin, 2009). Limfosit memiliki jumah kedua terbanyak setelah
neutrofil (20-40%) dari total leukosit. Jumlah limfosit pada anak-anak relatif
lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Limfosit meningkat bila
terjadi infeksi virus (Kiswari, 2014).
Berdasarkan fungsinya, limfosit dibagi atas sel B dan sel T. Sel B
terutama berefek pada sistem imun humoral yang berkembang dalam sumsum
tulang. Setelah terjadi rangsangan dari antigen, sel B akan berkembang
menjadi sel plasma yang dapat memproduksi antibodi (Kiswari, 2014).
Sumber: Freund, 2013
Gambar 2.10 Sel Limfosit.
23
5) Monosit
Monosit adalah jenis leukosit yang paling besar. Inti sel
mempunyai bergranula kromatin halus yang menekuk berbentuk menyerupai
ginjal/biji kacang. Monosit mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fagosit
mikroorganisme (khususnya bakteri dan jamur) dan benda asing lainnya, serta
berperan dalam reaksi imun (Kiswari, 2014).
Sumber: Freund, 2013
Sumber: Freund, 2013
Gambar 2.11 Sel Monosit.
3. Hitung Jenis Leukosit
Hitung jenis leukosit (leukocyte different count) bertujuan untuk
menghitung persentase jenis-jenis leukosit di dalam darah tepi. Leukosit yang
dihitung dari apusan darah tepi sebanyak 100-200 sel. Lima jenis leukosit
yang dihitung yaitu neutrofil (stab dan segmen), limfosit, monosit, eosinofil,
dan basofil. Pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat menggambarkan
kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit yang
disebabkan parasit (Kiswari, 2014).
24
Tabel 2.1 Persentase Jenis-jenis Leukosit
Jenis Sel %
Basofil
Eosinofil
Neutrofil Stab
Neutrofil Segmen
Limfosit
Monosit
1
2-4
2-6
50-70
20-40
2-9
Sumber: Kiswari, 2014
4. Hubungan Malaria dengan Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang memiliki fungsi utama sebagai
pertahanan tubuh dengan cara menghancurkan antigen (kuman, virus, dan
toksin) dan dikerahkan ke tempat-tempat infeksi dengan jumlah yang berlipat
ganda (Syaifuddin, 2009).
Leukosit melindungi tubuh dari mikroorganisme dengan
memfagosit (menyerang) semua jenis bakteri atau antigen yang masuk dan
merupakan sistem imun non spesifik. Sistem imun non spesifik dalam tubuh
berfungsi unutk pertahanan tubuh terhadap serangan berbagai
mikroorganisme dengan memberikan respon langsung (Rohan, 2014).
Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah putih yang
merupakan suatu respon terhadap adanya infeksi atau peradangan. Jumlah
leukosit yang tinggi pada infeksi malaria menandakan adanya proses infeksi
aktif dan infeksi sekunder di dalam tubuh (Anggriani, 2018).
Penderita yang terinfeksi Plasmodium, akan mengalami
limfositosis yang diperankan oleh sel T helper 1 yang spesifik terhadap
antigen Plasmodium yang berproliferasi berlebihan (Mau, 2017).
Peningkatan limfosit terjadi sebagai tanda semakin ganasnya
parasit dalam tubuh penderita. Respon imun terhadap infeksi malaria tampak
jelas karena respon imun tiap stadium sangat khas (Bratawidjaja, 2010).
Monosit adalah jenis sel leukosit yang menyerang dan
menghancurkan bakteri, virus penyerangan, dan agen penimbul cedera
lainnya (Guyton, 1990).
25
Peningkatan jumlah monosit terjadi pada infeksi malaria karena
monosit merupakan sel fagosit yang memproduksi interferon yang merupakan
imunostimulan tubuh (Anggriani, 2018).
Peningkatan jumlah eosinophil akan terjadi apabila penderita
mengalami reaksi alergi. Peningkatan basophil dapat dijumpai pada fase
penyembuhan radang dan radang kronis. Peningkatan neutrophil disebabkan
oleh infeksi bakteri akut dan trauma (Anggriani, 2018).
26
B. Kerangka Teori
: yang diteliti Sumber: Syaifuddin, 2009; Kiswari, 2014.
Malaria
Infeksi Plasmodium
Plasmodium
falciparum
Plasmodium vivax
Respon Imun
Pembentukan Leukosit
Granulosit Agranulosit
Basofil Eosinofil Neutrofil Limfosit Monosit
Limfosit T Limfosit B
Imunitas
terhadap
Parasit,
Virus, Jamur,
Keganasan
Imunitas
terhadap
Mikroba
Imunitas
terhadap
Infeksi
Imunitas reaksi
hipersensitifitas
Imunitas
terhadap parasit
Imunitas
terhadap bakteri
27
C. Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Ha: ada perbedaan hitung jenis leukosit pada penderita malaria falciparum
dengan malaria vivax
Preparat Penderita
Malaria falciparum
dengan Preparat
Penderita
Malaria vivax
Hitung Jenis Leukosit:
Basofil
Eosinofil
Neutrofil Batang
Neutrofil Segmen
Limfosit
Monosit