tinjauan pustaka malaria

67
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis (Sudoyo dkk., 2009). 2.2 Etiologi Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah

Upload: vera-carolina

Post on 25-Jul-2015

859 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka Malaria

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium

yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di

dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil,

anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria

dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang

dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai malaria

ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis (Sudoyo dkk., 2009).

2.2 Etiologi

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia

juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia.

Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium ini pada

manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami pembiakan

aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh

nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100

plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil serta 22

pada binatang primata) (Sudoyo dkk., 2009).

Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falsiparum yang merupakan

malaria yang dapat mengakibatkan hal yang paling serius dan dapat berakibat fatal

apabila tidak segera diobati pada individu yang tidak kebal. Tiga spesies lainnya

Page 2: Tinjauan Pustaka Malaria

8

yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax (tertiana) yang tersebar luas

tapi jarang fatal, meskipun gejala selama serangan utama mungkin parah;

Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartan yang umumnya ringan,

tetapi dapat menyebabkan nefrosis fatal; dan Plasmodium ovale menyebabkan

malaria ovale (Sweetman, 2009).

2.3 Morfologi dan Siklus Hidup Plasmodium

Setiap siklus hidup Plasmodium memiliki beberapa bentuk morfologi yang

berbeda-beda pada tiap fasenya (Kasper, et all, 2005). Adapun morfologi atau

bentuk-bentuk dari Plasmodium falciparum dapat dilihat pada gambar 2.1 dimana

bentuk-bentuknya dijelaskan sebagai berikut:

1. Sporozoit

Bentuk sporozoit ini merupakan bentuk infektif dari parasit yang berada

dalam kelenjar ludah nyamuk yang dibentuk dalam ookista melalui proses

sporogoni.

2. Tropozoit muda

Pada bentuk tropozoit muda dapat dilihat adanya cincin berbentuk halus

dengan 2 - 3 bintik kromatin kecil, mengandung sedikit sitoplasma yang

mengelilingi vakuola. Bentuk tropozoit merupakan suatu bentuk aseksual

yang dapat ditemukan dalam eritrosit.

3. Tropozoit tua

Pada bentuk ini ditemukan cincin yang semakin besar dan tidak teratur.

Page 3: Tinjauan Pustaka Malaria

9

4. Skizon

Pada bentuk ini bintik yang ada didalam sel tersebut merupakan suatu

merozoit, yang mana apabila skizon yang ada telah matang maka skizon yang

ada akan pecah dan melepaskan merozoit yang terkandung dalamnya.

5. Makrogametosit

Bentuk makrogamet ini merupakan suatu bentuk gametosit betina yang

hanya membentuk satu makrogamet. Pada bentuk ini ditemukan adanya

sitoplasma yang berwarna kebiruan dengan kromatin yang padat. Bentuk dari

makrogamet ini menyerupai bulan sabit.

6. Mikrogametosit

Pada bentuk ini ditemukan adanya warna dari sitoplasma yang

kemerahan dengan kromatin yang tidak padat.

Tropozoit muda Tropozoit tua Pigment dalam sel

polimononuklear dan tropozoit

Page 4: Tinjauan Pustaka Malaria

10

Skizon Makrogametosit Mikrogametosit

Gambar 2.1. Morfologi Plasmodium falciparum

(Kasper, et all.editors, 2005)

Plasmodium memiliki 2 hospes untuk melangsungkan hidupnya yaitu pada

manusia dan nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut

skizogoni dan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk disebut

sporogoni (Zein, 2005).

Gambar 2.2. Siklus hidup Plasmodium

(Zein, 2005)

Page 5: Tinjauan Pustaka Malaria

11

Siklus aseksual dimulai dari sporozoit infeksius daari kelenjar ludah nyamuk

anopheles betina dimasukkan ke dalam darah manusia melalui tusukan nyamuk

tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit jasad tersebut memasuki sel-sel parenkim

hati dan dimulai stadium eksoeritrositik dari pada daur hidupnya. Di dalam sel

hati parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati

yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian di

fagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka disebut

stadium preeritrositik atau eksoeritrositiki. Siklus eritrositik dimulai saat merozoit

memasuki sel-sel darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi

oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk

tropozoit, tropozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang

menjadi skizon matang dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan

selesainya pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan

sisa sel keluar dan memasuki plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah

lainnya untuk mengulangi siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit

dan membentuk skizon dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual

(Zein, 2005).

Siklus aseksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang bersama darah

tidak dicerna oleh sel-sel lain. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi

menjadi 6-8 inti yang bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen

dibentuk menjadi seperti cambuk dan bergerak aktif seperti mikrogamet.

Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam makrogamet untuk

membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet

Page 6: Tinjauan Pustaka Malaria

12

yang dapat menembus lapisan epitel dan membrane basal dinding lambung. Di

tempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk

ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila

nyamuk menggigit atau menusuk manusia maka sporozoit masuk ke dalam darah

dan mulailah siklus pre eritrositik (Zein, 2005).

2.4 Patogenitas dan Gejala Klinis

Perjalanan penyakit malaria berbeda antara orang yang tidak kebal (tinggal di

daerah non-endemis) dan orang yang kebal (tinggal di daerah endemis malaria).

Kesalahan atau keterlambatan diagnosis malaria pada orang non-imun, akan

menyebabkan risiko tinggi terjadinya malaria berat atau malaria dengan

komplikasi (Sutanto dkk., 2008).

Perjalanan penyakit malaria dimulai dari serangan demam dengan disertai

oleh gejala lainnya dimana dalam perjalanan ini akan diselingi oleh periode bebas

penyakit juga. Gejala khas demamnya adalah periodisitasnya. Masa tunas

instrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam badan hospes

sampai timbulnya gejala demam, biasanya berlangsung antara 8- 37 hari,

tergantung pada spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum, terpanjang untuk

P. malariae), pada beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada

derajat imunitas hospes. Di samping itu juga tergantung pada cara infeksi, yang

mungkin disebabkan oleh tusukan nyamuk atau secara induksi, misalnya melalui

transfusi darah yang mengandung stadium aseksual (Gandahusada dkk., 1998).

Waktu terjadinya infeksi pertama kali sampai timbulnya gejala penyakit

disebut masa inkubasi. Masa inkubasi maupun periode prapaten ditentukan oleh

Page 7: Tinjauan Pustaka Malaria

13

jenis plasmodiumnya. Masa prapaten berlangsung sejak saat infeksi sampai

ditemukan parasit malaria dalam darah untuk pertama kali, karena jumlah parasit

telah melewati ambang mikroskopik (microscopic threshold) (Gandahusada dkk.,

1998). Berikut tabel periode prapaten dan masa inkubasi plasmodium:

Tabel 2.1 Periode Prapaten dan Masa Inkubasi Plasmodium

Jenis Plasmodium Periode Prapaten Masa Inkubasi

P. Vivax 12,2 hari 12-17 hari

P. Falciparum 11 hari 9-14 hari

P. malariae 32,7 hari 18-40 hari

P. Ovale 12 hari 16-18 hari

Umumnya manifestasi klinis yang disebabkan P.falciparum lebih berat dan

lebih akut dibandingkan dengan jenis plasmodium yang lain, sedangkan gejala

yang disebabkan oleh P.malariae dan P.ovale adalah yang paling ringan.

Gambaran khas dari penyakit malaria ialah adanya demam yang periodik,

pembesaran limpa (splenomegali), dan anemia (turunnya kadar hemoglobin dalam

darah) (Depkes RI, 2008a).

1. Demam

Sebelum timbul demam biasanya penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit

kepala, nyeri tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak di bagian perut,

diare ringan, dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Umumnya keluhan

seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan P.vivax dan P.ovale, sedangkan

Page 8: Tinjauan Pustaka Malaria

14

pada malaria karena P.falciparum dan P.malariae, keluhan-keluhan tersebut tidak

jelas (DepKes RI, 2008a).

Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang

mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel

makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin,

antara lain TNF (tumor nekrosis faktor). TNF akan dibawa aliran darah ke

hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam

(DepKes RI, 2008b).

Pada orang non imun biasanya demam terjadi lebih kurang 2 minggu setelah

kembali dari daerah endemis malaria. Demam atau riwayat demam dengan suhu

tubuh lebih dari 38°C biasanya ditemukan pada penderita malaria. Pada

permulaan penyakit, biasanya demam tidak bersifat periodik, sehingga tidak khas

dan dapat terjadi setiap hari. Demam dapat bersifat remiten (febris remitens) atau

terus menerus (febris kontinua) (Sutanto dkk., 2008).

Demam pada malaria bersifat periodik dan berbeda waktunya, tergantung dari

plasmodium penyebabnya. P.vivax menyebabkan malaria tertiana yang timbul

teratur tiap tiga hari. P.malariae menyebabkan malaria quartana yang timbul

teratur tiap empat hari dan P.falciparum menyebabkan malaria tropika dengan

demam yang timbul secara tidak teratur tiap 24 – 48 jam. Serangan demam yang

khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung selama 8 – 12 jam.

Lamanya serangan demam berbeda untuk tiap spesies malaria (DepKes RI,

2008a).

Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium, yaitu :

Page 9: Tinjauan Pustaka Malaria

15

a. Stadium menggigil

Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering

membungkus badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil seluruh

tubuhnya bergetar, denyut nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru,

serta kulit pucat. Pada anak-anak sering disertai kejang-kejang. Stadium ini

berlangsung 15 menit – 1 jam dan dengan meningkatnya suhu badan.

b. Stadium puncak demam

Penderita berubah menjadi panas tinggi. Wajah memerah, kulit kering dan

terasa panas seperti terbakar, frekuensi napas meningkat, nadi penuh dan

berdenyut keras, sakit kepala semakin hebat, muntah-muntah, kesadaran menurun,

sampai timbul kejang (pada anak-anak). Suhu badan bisa mencapai 41°C. Stadium

ini berlangsung selama 2 jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.

c. Stadium berkeringat

Seluruh tubuhnya berkeringat banyak, sehingga tempat tidurnya basah. Suhu

badan turun dengan cepat, penderita merasa sangat lelah, dan sering tertidur.

Setelah bangun dari tidur, penderita akan merasa sehat dan dapat melakukan tugas

seperti biasa. Padahal, sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuhnya.

Stadium ini berlangsung 2-4 jam.

(DepKes RI, 2008a)

2. Pembesaran limpa

Limpa merupakan organ retikuloendotel, dimana parasit malaria dieliminasi

oleh sistem kekebalan tubuh hospes. Pada keadaan akut limpa membesar dan

tegang, penderita merasa nyeri di perut kwadran kiri atas. Pada perabaan

Page 10: Tinjauan Pustaka Malaria

16

konsistensinya lunak. Bila sediaan limpa diwarnai terlihat stadium parasit lanjut

dan pigmen hemozoin yang tersebar bebas atau dapat juga ditemukan dalam

monosit. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti. Kemudian

limpa berubah berwarna hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang

mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Eritrosit yang tampaknya normal

mengandung parasit dan butir hemozoin tampak dalam histosit di pulpa dan sel

epitel sinusoid. Hiperplasia, sinus melebar dan kadang-kadang trombus dalam

kapiler dan fokus nekrosis tampak dalam pulpa limpa (Sutanto dkk., 2008).

Dengan meningkatnya imunitas, limpa yang mula-mula kehitaman karena

banyaknya pigmen menjadi keabuan karena pigmen dan parasit menghilang

perlahan-lahan. Hal ini diikuti dengan berkurangnya kongesti limpa, sehingga

ukuran limpa mengecil dan dapat menjadi fibrosis. Pada malaria menahun

konsistensi limpa menjadi keras (Sutanto dkk., 2008).

3. Anemia

Pada malaria terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies parasit

yang menyebabkannya. Anemia tampak jelas pada malaria falsiparum dengan

penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat yaitu pada malaria akut dan berat.

Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. Jenis anemia pada

malaria adalah hemolitik, normokrom dan normositik atau hipokrom. Dapat juga

makrositik bila terdapat kekurangan asam folat. Pada darah tepi selain parasit

malaria, dapat ditemukan polikromasi, anisositosis, poikilositosis, sel target,

basophilic stippling pada sel darah merah. Pada anemia berat dapat terlihat

Cabot’s ring, Howel Jolly bodies dan sel darah merah yang berinti. Dapat terjadi

Page 11: Tinjauan Pustaka Malaria

17

trombositopenia baik pada infeksi P. falciparum dan P. vivax. Leukopenia

ditemukan dalam penderita malaria tanpa komplikasi dan leukositosis pada

penderita malaria berat. Pigmen malaria (hemozoin) dapat ditemukan dalam sel

monosit atau sel PMN (Sutanto dkk., 2008).

Anemia disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung

parasit terjadi di dalam limpa. Dalam hal ini, faktor autoimun memegang

peranan.

b. Reduced survival time (eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak

dapat hidup lama)

c. Diseritropoesis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi

eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dilepaskan dalam

peredaran perifer).

(Sutanto dkk., 2008)

Perbedaan yang penting antara P. falciparum dan lainnya adalah bahwa P.

falciparum dapat memodifikasi permukaan eritrosit yang terinfeksi sehingga

stadium aseksual dan gametosit dapat melekat ke endotel kapiler alat dalam dan

plasenta. Akibatnya hanya bentuk cincin P. falciparum yang dapat ditemukan

dalam sirkulasi darah tepi. Permukaan eritrosit yang terinfeksi trofozoit dan

skizon P. falciparum akan diliputi dengan tonjolan yang merupakan tempat

parasit melekat dengan sel hospes. Bila parasit melekat pada sel endotel, maka

parasit tersebut tidak akan dibawa aliran darah ke limpa yang merupakan tempat

eliminasi parasit. Reseptor endotel pada hospes sangat bervariasi dan parasit yang

Page 12: Tinjauan Pustaka Malaria

18

berbeda dapat melekat dan pada berbagai kombinasi reseptor tersebut. Suatu

protein yang dikenal sebagai P. falciparum erythrocyte membrane protein-1

(PfEMP1) diekspresikan pada permukaan eritrosit yang terinfeksi dikode oleh

famili gen var yang cukup besar dan sangat bervariasi. Gen ini dikatakan

memegang peranan penting dalam patogenesis P. falciparum (Sutanto dkk.,

2008).

Pada sebagian besar kasus malaria falsiparum, ikatan antara knob dengan

endotel hospes tidak selalu menyebabkan malaria berat. Penyebab infeksi P.

falciparum tanpa komplikasi menjadi malaria berat seperti malaria otak, sampai

saat ini belum diketahui secara pasti. Kemungkinan adalah ekspresi reseptor

hospes yang berbeda pada sekuestrasi akan mempengaruhi terjadinya patogenesis

tertentu (Sutanto dkk., 2008).

Secara garis besar eritrosit yang terinfeksi dapat menimbulkan 3 jenis

gangguan yaitu hemodinamik, imunologik dan metabolik. Gejala klinis malaria

yang kompleks merupakan keseluruhan interaksi ketiga gangguan tersebut.

Eritrosit yang terinfeksi parasit akan bersifat mudah melekat. Eritrosit cenderung

melekat pada eritrosit di sekitarnya yang tidak terinfeksi, sel trombosit dan

endotel kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan pembentukan roset dan gumpalan

dalam pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi. Akibatnya

secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak dan syok. Kelainan

metabolik yang berhubungan dengan infeksi Plasmodium merupakan konsekuensi

dari gangguan pada membran eritrosit, kebutuhan nutrisi parasit,peningkatan

Page 13: Tinjauan Pustaka Malaria

19

gangguan hemodinamik dan imunologik dan efek pengobatan (Sutanto dkk.,

2008).

Penderita malaria falsiparum berat biasanya datang dalam keadaan

kebingungan atau mengantuk dan keadaanya sangat lemah (tidak dapat duduk

atau berdiri). Pada pemeriksaan darah ditemukan P. falciparum stadium aseksual

(trofozoit atau skizon) dan penyebab lain (infeksi bakteri atau virus) disingkirkan.

Selain itu, dapat ditemukan satu atau lebih keadaan di bawah ini:

1. Malaria otak dengan koma

2. Anemia normositik berat

3. Gagal ginjal akut

4. Asidosis metabolik dengan gangguan pernapasan

5. Hipoglikemia

6. Edema paru akut (acute respiratory distress syndrome)

7. Syok dan sepsis (malaria algida)

8. Pendarahan abnormal

9. Kejang umum yang berulang

10. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

11. Jaundice (ikterus)

12. Haemoglobinuria

13. Demam tinggi

14. Hiperparasitemia

(Sutanto dkk., 2008)

Page 14: Tinjauan Pustaka Malaria

20

Kelompok risiko tinggi untuk menderita malaria berat adalah di daerah

hiper/holoendemik yaitu anak berumur lebih dari 6 bulan (angka kematian

tertinggi pada 1-3 tahun) dan ibu hamil. Selain itu, di daerah hipo/mesoendemik

yaitu anak-anak dan orang dewasa. Pendatang (transmigran) dan pelancong

(travellers) juga memiliki risiko tinggi (Sutanto dkk., 2008).

Mortalitas malaria berat masih cukup tinggi, yaitu 20-50% dan hal ini

tergantung umur penderita, status imun, asal infeksi, fasilitas kesehatan serta

kecepatan menegakkan diagnosis dan pengobatan. Prognosis penderita malaria

falsiparum berat akan jauh lebih baik bila penderita sudah ditangani dalam 48 jam

sejak masuk ke stadium malaria berat (Sutanto dkk., 2008).

2.5 Malaria Berat

Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi P.falciparum yang

disertai gangguan berbagai sistem/organ tubuh. Kriteria diagnosis malaria berat

yang ditetapkan WHO, yaitu adanya satu atau lebih komplikasi, seperti malaria

serebral, anemia berat, gagal ginjal akut, edema paru, hipoglikemia (kadar gula

<40 mg%), syok, pendarahan spontan dari hidung, gusi, dan saluran cerna, kejang

berulang, asidemia dan asidosis (penurunan pH darah karena gangguan asam-basa

di dalam tubuh), serta hemoglobinuria makroskopik (adanya darah dalam urine)

(DepKes RI, 2008a).

Infeksi malaria falciparum pada ibu hamil dapat menyebabkan anemia pada

ibu dan janinnya, dan bayi yang dilahirkannya akan mempunyai berat badan

rendah. Tentu hal ini dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi.

Komplikasi infeksi malaria pada kehamilan dapat berupa abortus, bayi dengan

Page 15: Tinjauan Pustaka Malaria

21

berat badan lahir rendah (BBLR), anemia, edema paru oleh karena penimbunan

cairan di jaringan paru-paru, gangguan fungsi ginjal, dan malaria kongenital. Oleh

karena itu, pemberian obat pencegah malaria pada ibu hamil yang tinggal di

daerah endemis malaria sangat penting (DepKes RI, 2008a).

Meskipun hanya 1-2% penderita malaria falciparum yang mengalami malaria

berat, tetapi sering menimbulkan kematian. Sekurang-kurangnya 2 juta orang

setiap tahun di seluruh dunia meninggal terutama oleh malaria serebral (DepKes

RI, 2008a).

Berikut ini beberapa komplikasi malaria berat:

1. Malaria serebral

Malaria serebral adalah malaria falciparum yang mengenai otak, yang disertai

kejang-kejang dan koma tanpa penyebab lain dari koma. Malaria serebral

merupakan komplikasi yang paling sering menimbulkan kematian. Diduga

penyebabnya adalah sumbatan kapiler pembuluh darah otak oleh sel darah merah

yang mengandung parasit malaria sehingga otak kekurangan oksigen (anoksia

otak). Gejala dapat timbul secara lambat atau mendadak. Biasanya didahului oleh

sakit kepala dan rasa mengantuk, disusul dengan gangguan kesadaran, kelainan

saraf, dan kejang-kejang. Penurunan tingkat kesadaran bisa berupa gangguan

ringan (seperti apatis, somnolen, delirium, dan perubahan tingkah laku) sampai

berat (keadaan koma). Biasanya, koma pada anak berlangsung satu hari,

sedangkan pada orang dewasa bisa 2-3 hari.

2. Gagal ginjal akut

Page 16: Tinjauan Pustaka Malaria

22

Pada malaria falsiparum yang berat, kelainan fungsi ginjal sering terjadi

terutama pada penderita dewasa, jarang pada anak-anak. Angka kematian pada

malaria berat dengan gangguan fungsi ginjal dapat mencapai 45%, dibandingkan

tanpa kelainan fungsi ginjal yang hanya 10%. Diduga gangguan pada ginjal

diakibatkan oleh sumbatan pada kapiler darah ginjal oleh parasit malaria sehingga

menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal. Akibatnya, terjadi penurunan

filtrasi pada glomerulus ginjal. Komplikasi gagal ginjal akut dapat menimbulkan

asidosis metabolik, hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat dalam darah),

gagal jantung kongestif, aritmia jantung (gangguan irama jantung), dan

perikarditis (peradangan pada perikardium jantung).

3. Demam kencing hitam (black water fever)

Black water fever adalah sindroma dengan gejala serangan akut, berupa

demam, menggigil, penurunan tekanan darah, hemolisis (penghancuran sel darah

merah) intravaskuler, hemoglobinuria (adanya darah dalam urine), dan gagal

ginjal. Namun, parasit malaria yang dijumpai dalam darah hanya sedikit.

Penderita adalah orang yang tidak kebal malaria, yang terinfeksi P.falciparum

secara berulang-ulang, dan pernah mendapat pengobatan dengan kina secara tidak

teratur. Biasanya, penderita mengeluh nyeri pinggang, muntah, diare, gangguan

berkemih, dan kencing yang berwarna hitam. Mekanisme timbulnya black water

fever sampai saat ini masih belum jelas, mungkin disebabkan oleh sumbatan dan

gangguan mikrosirkulasi di ginjal.

4. Anemia berat

Page 17: Tinjauan Pustaka Malaria

23

Anemia berat timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan

hebat. Anemia berat lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak. Pada 30%

kasus malaria dengan anemia diperlukan transfusi darah. Anemia berat sering

memberikan gejala serebral, seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai

koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-paru. Diagnosis anemia ditentukan

dengan pemeriksaan kadar hemoglogin dalam darah. Anemia paling berat adalah

yang disebabkan oleh P.falciparum.

5. Gangguan fungsi hati

Pada gangguan fungsi hati akibat infeksi malaria falciparum, timbul ikterus

(kuning pada kulit, selaput lendir, mata dan mukosa) akibat peningkatan kadar

bilirubin dalam darah. Jika gangguan fungsi hati disertai gangguan organ vital lain

seperti gagal ginjal akut, maka prognosisnya lebih buruk. Gangguan fungsi hati

dapat menyebabkan hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan metabolisme

obat di dalam tubuh.

6. Komplikasi lain

Malaria berat juga dapat menimbulkan komplikasi lainnya, seperti edema

paru, pendarahan spontan, hiperpireksia (suhu tubuh di atas 41ºC), dan sepsis

(timbulnya reaksi inflamasi yang mengenai seluruh tubuh akibat adanya infeksi).

(DepKes RI, 2008a)

2.6 Diagnosis Malaria

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah

Page 18: Tinjauan Pustaka Malaria

24

secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat (RDT-Rapid Diagnostik Test).

Diagnosis malaria dapat sulit dilakukan, bila :

a. Malaria bukan merupakan penyakit endemik (seperti di AS). Petugas

kesehatan tidak familiar dengan penyakit ini. Petugas kesehatan yang

memeriksa dapat lupa untuk mempertimbangkan adanya penyakit tersebut dan

tidak meminta dilakukan tes diagnostik. Petugas laboratorium dapat kurang

berpengalaman terhadap malaria dan gagal mendeteksi parasit saat meneliti

sampel darah dalam mikroskop.

b. Di beberapa area penyebaran malaria cukup besar, sehingga sebagian besar

populasi terinfeksi tetapi penderita tidak sampai sakit. Beberapa pembawa

(carier) mempunyai cukup imunitas untuk melindungi dari sakit malaria,

tetapi tidak dari infeksi malaria.

c. Pada banyak daerah endemik malaria, kurangnya sumber daya merupakan

hambatan besar untuk menentukan diagnosis. Petugas kesehatan kurang

terlatih, kurang cukup perlengkapan dan kurang mendapat imbalan. Mereka

juga harus membagi perhatian untuk malaria dan penyakit lain seperti

pneumonia, diare, TB dan HIV/AIDS.

(DepKes RI, 2008a)

2.6.1 Anamnesis

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

a. Keluhan utama: demam, menggigilm berkeringat dan dapat disertai sakit

kepala,mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau pegal-pegal.

Page 19: Tinjauan Pustaka Malaria

25

b. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik

malaria.

c. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.

d. Riwayat sakit malaria.

e. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.

f. Riwayat mendapat transfusi darah.

Selain hal di atas pada penderita tersangka malaria berat, dapat ditemukan

keadaan di bawah ini:

a. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.

b. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk atau berdiri).

c. Kejang-kejang.

d. Panas sangat tinggi.

e. Mata atau tubuh kuning.

f. Pendarahan hidung, gusi, atau saluran pencernaan.

g. Nafas cepat dan atau sesak nafas.

h. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.

i. Warna air seni seperti the tua dan dapat sampai kehitaman.

j. Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria).

k. Telapak tangan sangat pucat.

(DepKes RI, 2008b)

2.6.2 Pemeriksaan fisik

1. Demam (pengukuran dengan termometer 37,5°C).

2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat.

Page 20: Tinjauan Pustaka Malaria

26

3. Pembesaran limpa (splenomegali).

4. Pembesaran hati (hepatomegali).

Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:

1. Temperatur rektal 40ºC.

2. Nadi cepat dan lemah atau kecil.

3. Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak-anak

<50mmHg.

4. Frekuensi nafas >35 kali per menit pada orang dewasa atau > 40 kali per

menit pada balita, anak di bawah 1 tahun > 50 kali per menit.

5. Penurunan derajat kesadaran dengan Glasgow coma scale (GCS) < 11.

6. Manifestasi pendarahan (petekie, purpura, hematom).

7. Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor, dan elastisitas kulit berkurang, bibir

kering, produksi air seni berkurang).

8. Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah

pucat dan lain-lain).

9. Terlihat mata kuning atau ikterik.

10. Adanya ronki pada kedua paru.

11. Pembesaran limpa dan atau hepar.

12. Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.

13. Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologik).

(DepKes RI, 2008b)

2.6.3 Diagnosis atas dasar pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan dengan mikroskop

Page 21: Tinjauan Pustaka Malaria

27

Tetesan preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan

parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah

tipis. Sediaan mudah dibuat khusunya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam

membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Tetesan darah

tipis digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah

tebal sulit ditentukan. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman’s

atau Field’s dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pda

beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang

cukup baik (Sudoyo dkk., 2009).

Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di puskesmas/lapangan/rumah

sakit untuk menentukan:

a. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).

b. Spesies dan stadium plasmodium

c. Kepadatan parasit:

1. Semi kuantitatif

(-) = Negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang

besar)

(+) = positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)

(++) = positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)

(+++) = positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB)

(++++) = positif 4 (ditemukan > 10 parasit dalam 1 LPB)

2. Kuantitatif

Page 22: Tinjauan Pustaka Malaria

28

Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal

(leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh:

a. Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit

8.000/µl maka hitung parasit= 8.000/200 x 1500 parasit= 60.000 parasit/µl.

b. Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5% dan jumlah eritrosit 450.000

maka hitung parasit= 450.000/1000 x 50 = 225.000 parasit/µl.

Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

a. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap

6 jam sampai 3 hari berturut-turut.

b. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak

ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.

(DepKes RI, 2008b)

2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)

Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan

menggunakan metode imunokromatografi, dalam bentuk dipstick. Tes ini sangat

bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di

daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survei tertentu. Tes

yang tersedia di pasaran saat ini mengandung:

a. HRP-2 (Histidine rich protein 2) yang diproduksi oleh trofozoit, skizon dan

gametosit muda P. falciparum.

Page 23: Tinjauan Pustaka Malaria

29

b. Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang

diproduksi oleh parasit bentuk aseksual atau seksual Plasmodium falciparum,

P. vivax, P. ovale dan P. malariae.

Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis yaitu:

a. Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium falciparum.

b. Combo yang mampu mendiagnosis infeksi Plasmodium falciparum dan non

falsiparum.

Oleh karena teknologi baru sangat perlu untuk memperhatikan kemampuan

sensitivitas dan spesifisitas dari alat ini. Dianjurkan untuk menggunakan rapid test

dengan kemampuan minimal sensitifitas 95% dan spesifisitas 95% . Hal yang

penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi

tidak dalam frezzer pendingin (DepKes RI, 2008b).

Kelemahan rapid test adalah:

a. Kurang sensitive bila jumlah parasit dalam darah rendah (kurang dari 100

parasit/µl darah).

b. Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif).

c. Antigen yang masih beredar beberapa hari-minggu setelah parasit hilang

memberikan reaksi positif palsu.

d. Gametosit muda (immature), bukan yang matang (mature) mungkin masih

dapat dideteksi.

e. Biaya tes ini masih cukup mahal.

f. Tidak stabil pada suhu ruang di atas 30ºC.

(Sutanto dkk., 2008)

Page 24: Tinjauan Pustaka Malaria

30

3. Tes serologi

Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik

indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi

spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes

ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah

beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian

epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagi

infeksi baru dan tes > 1:20 dinyatakan positif. Metode-metode tes serologi antara

lain indirect haemagglutination test, immuno-precipitation technique, ELISA

test, dan radio-immunoassay (Sudoyo dkk., 2009).

4. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA,

waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi.

Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan

hasil positif. Tes ini baru dipakai sebaga sarana penelitian dan belum untuk

pemeriksaan rutin (Sudoyo dkk., 2009).

5. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:

a. Hemoglobin dan hemotokrit.

b. Hitung jumlah leukosit dan trombosit.

c. Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali

fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis

gas darah).

d. EKG.

Page 25: Tinjauan Pustaka Malaria

31

e. Foto toraks.

f. Analisis cairan serebrospinalis.

g. Biakan darah dan uji serologi.

h. Urinalisis.

(DepKes RI, 2008b)

2.6.4 Diagnosis banding Malaria

Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga

dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistem

respiratorius, influenza, bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi

bakterial lainnya seperti pneumonia, infeksi saluran kencing, dan tuberkulosis.

Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita dengan imunitas yang tinggi

sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis

malaria. Pada malaria berat diagnose banding tergantung manifestasi malaria

beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnose banding ialah demam tifoid

dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat

timbul ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria serebral harus

dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid

ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada

gangguan metabolic (diabetes, uremi), gangguan serebrovaskular (stroke),

eklampsia, dan tumor otak (Sudoyo, dkk., 2009).

2.7 Pencegahan dan Vaksin Malaria

Page 26: Tinjauan Pustaka Malaria

32

Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang

non-imun, khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaksis

yang dianjurkan ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh

karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan

untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:

1. Tidur dengan kelambu, sebaiknya dengan kelambu impregnated (kelambu

yang dicelup dengan pemethrin atau deltamethrin).

2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk baik dalam bentuk spray, lotion, asap,

atau elektrik.

3. Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk akan dapat menggigit dan

harus memakai proteksi (baju lengan panjang, kaos kaki/stocking). Nyamuk

akan menggigit di antara jam 18.00 sampai jam 06.00. Nyamuk jarang pada

ketinggian di atas 2.000m.

4. Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dengan kawat anti nyamuk.

(Sudoyo dkk., 2009)

Tabel 2.2 Obat-obat untuk mencegah malaria pada wisatawan

No Nama Obat Penggunaan Dosis Dewasa

1

2

3

Klorokuin

Meflokuin

Doksisiklin

Klorokuin

Daerah tanpa P.falciparum

resisten

Daerah dengan P.falciparum

resisten kloroquin

Daerah dengan P.falciparum

resisten multiobat

Regimen alternatif

500 mg setiap minggu

250 mg setiap minggu

100 mg setiap hari

500 mg kloroquin setiap

Page 27: Tinjauan Pustaka Malaria

33

4

5

ditambah

Proguanil

Primakuin

menggantikan meflokuin

Profilaksis terminal infeksi

P.vivax dan P.ovale

minggu ditambah 200

mg proguanil setiap hari

26,3 mg (15 mg base)

setiap hari selama 14

hari setelah perjalanan

(Katzung, 2006)

Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi terhadap klorokuin,

maka doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin diberikan

setiap hari dimulai 1-2 hari sebelum pergi ke daerah endemis malaria dengan

dosis 2 mg/kg BB selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh

diberikan pada anak umur <8 tahun dan ibu hamil (DepKes RI, 2008a).

Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang

menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada

masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang

berbahaya adalah adalah P. falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan

vaksin untuk proteksi terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin

yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap

bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk

gametosis (Sudoyo dkk., 2009)

2.8 Pengobatan Malaria Falciparum

Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya

plasmodium aseksual di dalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukan parasit

dalam darahnya perlu diobati. Prinsip pengobatan malaria:

Page 28: Tinjauan Pustaka Malaria

34

1. Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria

berat atau dengan komplikasi. Penderita dengan komplikasi atau malaria

berat memakai obat parenteral, malaria biasa diobati dengan per oral.

2. Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi

kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan

pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy).

3. Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan

malaria yang positif dan dilakukan monitoring efek atau respon pengobatan.

4. Pengobatan malaria klinis atau tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai

obat non-ACT.

(Sudoyo dkk., 2009)

Menurut Gandahusada, dkk. (1998) ada lima golongan obat yang dapat

digunakan pada pengobatan kausal berdasarkan mekanisme kerjanya, kelima

golongan itu adalah :

1. Skizontosida jaringan primer

Obat – obat ini mampu membasmi praeritrosit sehingga mencegah parasit ini

untuk masuk ke dalam eritrosit. Biasanya digunakan sebagai profilaksis kausal,

yaitu pengobatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi atau

timbulnya gejala. Contoh obat golongan ini, yaitu pirimetamin, proguanil

2. Skizontosida jaringan sekunder

Obat ini mampu membasmi parasit pada daur hidup eksoeritrosit dan

digunakan untuk pengobatan radikal infeksi sebagai obat anti relaps. Namun

dalam pengobatan malaria Tropikana ini, obat yang termasuk dalam golongan ini

Page 29: Tinjauan Pustaka Malaria

35

tidak dapat digunakan sebab parasit Plasmodium falciparum tidak mengalami fase

eksoeritrosit. Contoh obatnya adalah primakuin.

3. Skizontosida darah

Obat- obat ini memiliki kemampuan dalam membasmi parasit pada stadium

eritrosit dengan cara mengakhiri serangan yang terjadi, dimana hal ini

berhubungan dengan penyakit akut yang disertai gejala klinis. Obat golongan ini

dibagi menjadi 2 yaitu yang kerjanya lambat dan yang kerja cepat.

Contoh obat golongan skizontosida kerja lambat yaitu; golongan penghambat

sintesis folat dan antibiotik kecuali antibiotik golongan sepalosporin dan Contoh

obat skizontosida kerja cepat yaitu: derivate artemisin, amodiaquin, chloroquin,

kinin dan kinidin, antibiotik golongan sepalosporin, meflokuin, atovaquone, dan

halofantrin.

4. Gametositosida

Obat ini memiliki kemampuan dalam penghancuran semua bentuk seksual

termasuk pada stadium gametosit sehingga transmisinya menuju ke nyamuk dapat

dicegah. Contoh obatnya adalah primakuin.

5. Sporontosida:

Obat ini memiliki kemampuan dalam mencegah atau menghambat gametosit

dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles.

Contoh obatnya adalah primakuin dan proguanil.

Obat-obat malaria yang ada, dapat dibagi dalam 9 golongan menurut rumus

kimianya, yaitu:

1. 4-aminoquinolons contohnya kloroquin dan amodiaquin.

Page 30: Tinjauan Pustaka Malaria

36

2. Diaminopiridins contohnya pirimetamin, trimetoprim.

3. Biguanida contohnya proguanil dan klorproguanil.

4. 8-aminoquinolon contohnya Primakuin.

5. Alkaloid cinchonae contohnya quinin dan quinidin.

6. Sulfon dan Sulfonamida contohnya sulfadoksin.

7. Kuinolinmetanol dan fenantrenmetanol contohnya meflokuin.

8. Antibiotik contohnya tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, dan minosiklin.

9. 9-aminoakridin contohnya mepakrin.

(Gandahusada dkk., 1998)

2. 8.1 Penatalaksanaan terapi malaria falsiparum menurut DepKes RI (2008)

Di Indonesia saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan oleh program

malaria, yaitu Artesunate – Amodiaquin serta Dihydroartemisinin - Piperaquin

1. Pengobatan lini pertama

Saat ini Pada Program Malaria untuk pengobatan lini pertama Malaria

falsiparum digunakan obat Artemisinin Combination Therapy (ACT), yaitu

Artesunat + Amodiakuin + Primakuin atau Dihydroartemisinin + Piperakuin +

Primakuin.

Obat program yang tersedia saat ini adalah sediaan artesunate – amodiaquin

dan dihydroartemisinin – piperaquin. Setiap kemasan artesunate – amodiaquin

terdiri dari 2 blister, yaitu blister amodiakuin 200 mg ( setara amodiakuin basa

153 mg) 12 tablet dan blister artesunat 50 mg 12 tablet. Obat diberikan selama 3

hari dengan dosis tunggal harian amodiakuin basa 10 mg/kg BB dan artesunat 4

mg/kg BB, primakuin 0,75 mg/kg BB.

Page 31: Tinjauan Pustaka Malaria

37

Tabel 2.3 Pengobatan lini pertama malaria falsiparum dengan artesunat-

amodiakuin-primakuin berdasarkan umur

Dosis menurut Berat Badan:

a. Amodiakuin basa 10 mg/kg BB

b. Artesunat 4 mg/kg BB

c. Primakuin 0,75 mg/kg BB

Artesunat + Amodiakuin + Primakuin, untuk anak umur kurang dari satu

tahun dan ibu hamil serta penderita defisiensi G6PD tidak boleh menerima

primakuin. Obat program untuk dihidroartemisinin - piperakuin adalah Fixed

Dose combination (FDC) setiap kemasan terdapat 8 tablet, setiap tablet

mengandung dihydroartemisinin 40 mg dan piperakuin 320 mg. Dosis obat

Page 32: Tinjauan Pustaka Malaria

38

Dihydroartemisinin 2-4 mg/kg BB, piperakuin 16-32 mg/kgBB, dan primakuin

0,75 mg/kg BB. Sebaiknya dosis ditentukan berdasarkan berat badan. Regimen

dosis untuk anak berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. 4 Pengobatan lini pertama malaria falsiparum dengan dihidroartemisinin

– piperakuin- primakuin berdasarkan umur

Anak dengan berat badan dibawah 10 kg diberikan sesuai dengan dosis

dengan melarutkan 1 tablet dengan 5 ml air minum atau sirup.

2. Pengobatan lini kedua

Bila pengobatan lini pertama tidak efektif, gejala klinis tidak memburuk tapi

parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi)

maka diberikan pengobatan lini kedua malaria falsiparum. Obat lini kedua adalah

kombinasi Kina + Doksisiklin /Tetrasiklin + Primakuin.

Kina diberikan per oral, 3 kali sehari dengan dosis 10 mg/kg BB/hari selama

7 hari. Dosis maksimal kina adalah 9 tablet untuk dewasa. Kina yang beredar di

Indonesia adalah tablet yang mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat.

Doksisiklin yang beredar di Indonesia adalah kapsul atau tablet yang mengandung

Page 33: Tinjauan Pustaka Malaria

39

50 mg dan 100 mg Doksisiklin HCl. Doksisiklin diberikan 2 kali perhari selama 7

hari, dengan dosis orang dewasa adalah 4 mg/kg BB/hari. Sedangkan untuk anak

usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg BB/hari. Bila tidak ada doksisiklin dapat

digunakan tetrasiklin.Tetrasiklin diberikan 4 kali sehari selama 7 hari dengan

dosis 4-5 mg/kg BB. Doksisiklin maupun Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada

anak dibawah 8 tahun dan ibu hamil.

Primakuin diberikan seperti pada lini pertama. Dosis maksimal primakuin 3

tablet untuk penderita dewasa. Pengobatan lini kedua untuk anak berdasarkan

umur dapat dilihat pada table 5 dan 6 dibawah ini.

Tabel 2. 5 Pengobatan lini kedua malaria falsiparum kombinasi kina – doksisiklin

berdasarkan umur

Keterangan: * Dosis di berikan dalam kg/BB

** 2x 50 mg doksisiklin

*** 2 x 100 mg doksisiklin

Page 34: Tinjauan Pustaka Malaria

40

Tabel 2.6 Pengobatan lini kedua malaria falsiparum kombinasi kina – tetrasiklin

berdasarkan umur

Keterangan: * Dosis di berikan dalam kg/BB

** 4 x 250 mg tetrasiklin

2.8.2 Kombinasi Artesunat dan Amodiaquin

Kombinasi obat malaria adalah pemberian secara bersamaan dua atau lebih

obat skizontosida darah yang mempunyai cara kerja atau target biokimia yang

berbeda. Kombinasi berbasis artemisin adalah kombinasi yang menggunakan

artemisin sebagai salah satu komponen obat kombinasi. Terapi kombinasi dapat

berupa fixed combination dimana semua komponen diformulasikan dalam satu

tablet atau kapsul yang sama, atau setiap komponen berupa tablet atau kapsul

yang berbeda, tetapi diberikan secara bersamaan (co-administrated) (Sutanto,

2008).

Page 35: Tinjauan Pustaka Malaria

41

Terapi kombinasi berbasis derivat artemisin seperti direkomendasikan oleh

WHO berdasarkan adanya argumentasi:

a. Obat-obat dengan mekanisme kerja yang berbeda dapat meningkatkan

efikasi.

b. Obat-obat ini dapat meningkatkan efikasi yang lebih tinggi dan penurunan

jumlah gametosit dan menurunkan penyebaran malaria.

c. Obat-obat ini dapat memperlambat resistensi oleh karena kemungkinan

resistensi parasit terhadap obat-obat ini lebih rendah dan oleh karena

artesunat dengan cepat mengurangi resistensi multidrug parasit, dapat

membunuh parasit dengan konsentrasi yang tinggi dari obat kombinasi ini.

(Zein, 2005)

Hasil studi Adjuik tahun 1999 di Gabon, menunjukkan bahwa kombinasi

artesunat dan amodiaquin dapat meningkatkan efikasi pengobatan di Gabon dan

Kenya dan juga di Senegal. Kombinasi artesunat dan amodiaquin merupakan

kombinasi yang efektif dan ditoleransi dengan baik. Angka kesembuhan parasit

selama 14 hari pemberian kombinasi > 90% pada semua tempat studi. Kombinasi

artesunat dengan amodiaquin merupakan pilihan pada daerah dimana efikasi

klorokuin sudah diketahui (Zein, 2005).

2.8.2.1 Artesunat

Artesunat merupakan salah satu derivat dari artemisin. Qinghaosu (artemisin)

merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton yang bersifat

skizontosida darah untuk P. falsiparum dan P. vivax. Sebenarnya obat ini

merupakan obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak

Page 36: Tinjauan Pustaka Malaria

42

tumbuhan Artemesia annua (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu.

Obat ini terutama digunakan untuk pengobatan malaria falsiparum resisten

klorokuin atau multidrug dan malaria berat atau dengan komplikasi karena efek

obat yang sangat cepat dan toksisitas rendah (Tjitra, 1994).

Artesunat terikat sangat kuat dengan parasit pada membrane eritrosit. Gugus

fungsi yang bertanggung jawab pada aktifitas antimalaria dari artesunat ini adalah

adanya ikatan endoperoksid. Dihasilkannya oksigen aktif dari ikatan inilah yang

membunuh parasit jika terakumulasi dalam sel eritrosit. Oksigen aktif ini juga

menekan produksi atau aktifitas dari enzim antioksidan dalam eritrosit sehingga

menyebabkan lisis pada sel parasit akibat adanya radikal bebas (Hardman, et all.

2001).

Artemisin khususnya artesunat dan artemeter memainkan peranan penting

dalam mengobati malaria tropika yang resisten terhadap berbagai macam obat

dimana obat golongan ini merupakan satu-satunya obat yang efektif terhadap

strain yang resisten kinin. WHO merekomendasikan pengunaan artesunat untuk

malaria falsiparum tanpa komplikasi. Artesunat ketika digunakan dengan obat

antimalaria lainnya (amodiakuin, meflokuin atau pirimetamin-sulfadoksinj)

diberikan secara oral kepada dewasa dan anak-anak dengan dosis 4 mg/kg)

(Sweetman, 2009).

a. Spektrum aktifitas

1. Skizontisida darah

Artesunat efektif terhadap stadium aseksual Plasmodium falciparum,

Plasmodium vivas, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Artesunat

Page 37: Tinjauan Pustaka Malaria

43

mempunyai waktu paruh yang pendek dan obat bekerja sangat cepat sehingga

penggunaan artesunat harus dikombinasikan dengan obat anti malaria lainnya,

seperti amodiakuin (Menkes RI, 2006).

2. Gametosida

Artesunat membunuh stadium gametosit muda Plasmodium falciparum.

Untuk pengobatan radikal penderita malaria falsiparum diperlukan penambahan

primakuin. Sama dengan artemisin, efektif melawan Plasmodium falciparum yang

resisten terhadap obat anti malaria lainnya. Tidak bersifat hipnozoidal tetapi

menurunkan angka gametosit karier artemisin potent dan aktifitasnya cepat

terhadap skintosida darah, waktu parasit menghilang lebih pendek daripda

klorokuin/kinina dan respon simptomatik yang cepat. Derivat artemisin ini hanya

sedikit larut dalam minyak. Beberapa studi menunjukkan bahwa artemisin efektif

melawan parasit yang resisten terhadap penggunaan seluruh obat antimalaria.

Senyawa ini tidak bersifat hipnozoitisidal dan menurunkan gametosid bawaan

atau carrier (Menkes RI, 2006).

b. Penggunaan

Artesunat (tablet) digunakan sebagai bagian dari kombinasi artesunat dan

amodiakuin. Obat ini menggantikan klorokuin sebagai lini pertama untuk malaria

falsiparum tanpa komplikasi. Khusus artesunat injeksi digunakan untuk

pengobatan penderita malaria berat atau malaria dengan komplikasi terutama di

Rumah Sakit. Pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi di

fasilitas kesehatan lainnya menggunakan artemeter intramuscular atau kina

Page 38: Tinjauan Pustaka Malaria

44

parenteral (intramuscular atau intravena). Sebagai bagian dari kombinasi artesunat

untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi digunakan artesunat dengan dosis

harian tunggal 4mg/kgBB selama 3 hari dengan amodiakuin basa dosis harian

tunggal 10 mg/kgBB selama 3 hari. Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang

berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi

0,6 ml natrium bikarbonat 5% (Menkes RI, 2006).

c. Farmakokinetik

Farmakokinetik artesunat menyerupai artemeter, setelah pemberian oral atau

parenteral, artesunat dengan cepat dihidrolasi menjadi metabolit aktif yaitu

dihidroartemisin. Pada pemberian oral penyerapan obat sangat cepat dan hanya

mencapai 60%. Kemudian obat tersebut terakumulasi dalam jaringan hati,

sedangkan sebagian kecil pada kulit dan mata. Konsentrasi puncak dalam plasma

tercapai 1-2 jam setelah pemberian oral (Menkes RI, 2006).

d. Toksisitas dan efek samping

Artemisin dan turunannya umumnya dapat ditoleransi dengan baik, meskipun

terdapat laporan gangguan pencernaan ringan (termasuk muak, muntah, diare dan

sakit perut), pusing, sakit kepala, tinnitus, neutropenia, nilai enzim hati yang

tinggi dan abnormalitas ECG termasuk perpanjangan interval QT. Bukti

neurotoksisitas parah telah terlihat pada hewan bila diberikan pada dosis tinggi

(Sweetman, 2009).

e. Kontraindikasi

Seperti artemeter yaitu tidak diberikan pada kehamilan trisemester 1

(MenKes RI, 2006).

Page 39: Tinjauan Pustaka Malaria

45

2. 8. 2. 2 Amodiakuin

a. Spektrum aktifitas obat

Amodiakuin adalah senyawa 4 aminokuinolin merupakan obat antimalaria

dimana struktur dan aktivitasnya mirip dengan klorokuin yaitu:

1. Skizontisida darah

Efektif terhadap stadium aseksual Plasmodium falciparum, Plasmodium

vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.

2. Gametositosida

Membunuh stadium gametosit Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan

Plasmodium malariae. Seperti klorokuin, senyawa ini juga mempunyai efek

antipiretik dan antiradang. Pada beberapa studi di Afrika menunjukan bahwa

bereaksi baik terhadap Plasmodium falciparum yang telah resisten terhadap

klorokuin. Sebagai bagian dari kombinasi artesunat untuk pengobatan malaria

tanpa komplikasi digunakan artesunat dengan dosis harian tunggal 4mg/kgBB

selama 3 hari dengan amodiakuin basa dosis harian tunggal 10 mg/kgBB selama 3

hari.

b. Penggunaan:

Amodiakuin digunakan bersama artemisinat terutama untuk pengobatan

malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau resisten

Page 40: Tinjauan Pustaka Malaria

46

multidrug. Kombinasi artesunat dan amodiakuin dipilih sebagai pengganti

klorokuin untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi. Khusus untuk

darah yang mempunyai masalah dengan Plasmodium vivax yang resisten

klorokuin (antara lain Papua, Lampung), kombinasi obat ini dapat juga digunakan

sebagai pengganti.

c. Farmakokinetik

Penyerapan melalui usus cepat dan sempurna, dan segera diubah dalam hati

menjadi metabolit aktif desetilamodiakuin. Metabolit ini memiliki efek sebagai

antimalaria. Data kurang lengkap tentang eliminasi waktu paruh dalam plasma

dari desetilamodiakuin. Amodiakuin dan desetilamodiakuin dapat dideteksi

melalui urine beberapa bulan setelah minum obat.

d. Toksisitas dan efek samping

Toksisitas amodiakuin sama dengan klorokuin. Amodiakuin mempunyai rasa

yang lebih enak daripada klorokuin, namun resiko yang tinggi untuk terjadi

agranulositosis letal, hepatitis toksik bila digunakan sebagai profilaksis yaitu

terjadi 1:1000 dan 1:5000. Belum jelas apakah resiko lebih rendah bila

amodiakuin digunakan sebagai pengobatan. Dosis yang berlebihan dapat

menimbulkan kardiotoksik tapi kasus lebih kecil dibandingkan klorokuin, spastic,

pingsan, konvulsi, gerakan involunter. Efek samping pengobatan (dosis standard)

untuk terapi malaria adalah sama dengan klorokuin seperti mual, muntah, sakit

perut, diare dan gatal-gatal. Penanganan efek samping dengan pengobatan

simtomatik.

e. Kontraindikasi

Page 41: Tinjauan Pustaka Malaria

47

Penderita dengan hipersensitif terhadap amodiakuin, klorokuin dan gangguan

hepar.

f. Interaksi obat

Tidak ada data yang cukup tentang interaksi obat.

(MenKes RI, 2006)

2. 8. 3 Kombinasi Dihydroartemisinin dan Piperaquin

Hasil penelitian di Timika ( Papua) Obat antimalaria Dihydroartemisinin –

Piperaquin, efikasinya lebih dari 95 % dan efek samping yang lebih rendah

/sedikit dibanding Artesunat–Amodiakuin. Selanjutnya obat tersebut diharapkan

dapat digunakan di seluruh Indonesia, terutama jika terjadi efek samping terhadap

obat Artesunat – Amodiakuin (Depkes RI, 2008a).

2. 8. 3. 1 Dihydroartemisin

Dihydroartemisinin adalah metabolit aktif utama derivat artemisinin, tetapi

dihidroartemisinin dapat juga diberikan langsung secara oral atau melalui rektal.

Dihidroartemisinin relatif tidak larut dalam air dan membutuhkan bahan tambahan

lain untuk menjamin absorpsinya. Efektifitas pengobatannya sebanding dengan

artesunat oral. Saat ini, kombinasi fixed-dose dihydroartemisinin dengan

piperakuin sedang dievaluasi sebagai kombinasi berbasis artemisinin (ACT) baru

yang menjanjikan (DepKes RI, 2008a).

Dihydroartemisin cepat diabsorbsi bila diminum oral, puncak level dicapai

setelah 2,5 jam. Absorbsi melalui rektal lambat, dengan puncak level terjadi ± 4

Page 42: Tinjauan Pustaka Malaria

48

jam setelah digunakan. Ikatan protein plasma sekitar 55%. Eliminasi waktu paruh

45 menit melalui usus dan glukuronidase hepatik (Depkes RI, 2008b).

Artemisin dan turunannya umumnya dapat ditoleransi dengan baik,

meskipun terdapat laporan gangguan pencernaan ringan (termasuk muak, muntah,

diare dan sakit perut), pusing, sakit kepala, tinnitus, neutropenia, nilai enzim hati

yang tinggi dan abnormalitas ECG termasuk perpanjangan interval QT. Bukti

neurotoksisitas parah telah terlihat pada hewan bila diberikan pada dosis tinggi

(Sweetman, 2009).

2. 8. 3. 2 Piperaquin

Piperaquin adalah derivate bisquinoline yang pertama disintesa pada tahun

1960 dan digunakan luas di China dan Indochina sebagai profilaksis dan

pengobatan selama lebih dari 20 tahun. Sejumlah penelitian dari China

melaporkan bahwa ini ditoleransi baik pada chloroquine untuk membunuh

Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Obat ini merupakan salah satu

campuran yang aman untuk ACT (Artemisinin Combination Therapy), dimana

mempunyai keuntungan antara lain murah, terapi jangka pendek dengan

penyembuhan yang sangat baik dan toleransi yang baik dan dapat menurunkan

transmisi dan munculnya resistensi parasit (DepKes RI, 2008b).

Beberapa studi melaporkan hasil efikasi kombinasi Dihydroartemisinin-

Piperaquin kombinasi (cure rate 28 hari > 95%) dan regimen tidak berhubungan

dengan sifat kardiotoksik dan efek samping yang lain. Karakteristik piperaquin

baru-baru ini diungkapkan bahwa obat ini larut dalam minyak dengan volume

yang besar untuk didistribusikan saat bioavaibilitas, waktu paruh yang panjang

Page 43: Tinjauan Pustaka Malaria

49

yang terjadi pada anak dibandingkan dengan dewasa. Toleransi, efikasi, profil dan

biaya murah dari piperaquin membuatnya menjanjikan sebagai partner ACT

(DepKes RI, 2008b).

2. 8. 4 Primakuin

Termasuk golongan 8 aminokuinolin yang mempunyai aktivitas

gametositosida terhadap 4 strain Plasmodium dan hipnozoitisida terhadap P. vivax

dan P. ovale. Merupakan satu-satunya obat di pasaran yang dapat digunakan

untuk mencegah relaps. Derivat lainnya yaitu bulakuin dan tafenokuin masih

dalam penelitian. Pemakain primakuin untuk profilaksis masih dalam penelitian

(Sutanto dkk., 2008)

Primakuin diberikan secara oral dan diabsorpsi baik dari saluran cerna.

Metabolismenya terjadi cepat dan sangat sedikit obat yang tertinggal dalam tubuh

setelah 10-12 jam. Waktu paronya 3-6 jam. Tafenokuin terurai lebih lambat

sehingga menguntungkan dan dapat diberikan per minggu. Pada dosis terapi

primakuin menyebabkan nyeri abdominal jika diberikan dalam keadaan lambung

kosong. Efek samping lain meliputi anemia dan leukositosis ringan. Overdosis

dapat menimbulkan leukopenia, agranulositosis, simptom saluran cerna, anemia

hemolitik dan methemoglobinemia dengan sianosis. Hindari penggunaan

primakuin bersama obat-obat yang dapat meningkatkan risiko hemolisis atau yang

mensupresi sumsum tulang (DepKes RI, 2008a).