bab ii tinjauan pustaka a. konsep lupus eritematosus

48
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus Sistemik (LES) 1. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio dkk, 2009). LES adalah suatu penyakit multisystem yang berkaitan dengan sejumlah kelainan imunologik, termasuk pembentukan autoantibodi, hipergamaglobulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar komplemen serum, dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah (Harrison, 2012). Lupus adalah penyakit sistemik yang menampilkan spektrum yang luas dari manifestasi klinis dan imunologi. Penyakit ini disebabkan oleh satu set kompleks interaksi antara gen, hormon dan lingkungan, yang mengakibatkan kelainan utama dari sistem kekebalan tubuh (Koroma A, 2012). LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan vaskular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

1. Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang

ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau

sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi

dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio dkk,

2009).

LES adalah suatu penyakit multisystem yang berkaitan dengan sejumlah

kelainan imunologik, termasuk pembentukan autoantibodi,

hipergamaglobulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar komplemen

serum, dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah (Harrison, 2012).

Lupus adalah penyakit sistemik yang menampilkan spektrum yang luas dari

manifestasi klinis dan imunologi. Penyakit ini disebabkan oleh satu set

kompleks interaksi antara gen, hormon dan lingkungan, yang mengakibatkan

kelainan utama dari sistem kekebalan tubuh (Koroma A, 2012).

LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan

vaskular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

14

LES merupakan kelainan reumatik autoimmune dengan etiologinya yang

belum jelas benar dengan gambaran klinik yang sangat bervariasi dari kelainan

berupa rash (kemerahan) pada kulit, anemia, trombositopenia,

glomerulonephritis dan dapat mengenai organ lainnya dalam tubuh. (Suntoko,

2015)

Perjalanan penyakitnya LES bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode

sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ

yang berbeda - beda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang

ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah

dan jenis antibody yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit

LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Penyebab terjadinya

LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi

sistem imun.

2. Etiologi

Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti, ada dugaan melibatkan

interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara hormone, variasi genetik dan

faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan paling penting dalam

predisposisi penyakit ini. Banyak kasus LES yang terjadi secara sporadic tanpa

identifikasi dari tanda dan gejala, ada juga kasus dimana seseorang terkena

LES yang sembuh dengan sendirinya (Isbagio dkk, 2009). Penelitian

epidemiologis telah dilakukan pada hampir semua penyakit autoimmune

mengarah pada kerentanan genetic paling penting berada pada

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

15

histokompabilitas mayor (major histocompability complex) MHC, merupakan

suatu seri gen kromosom 6 yang mengkode untuk antigen, termasuk system

human leukocyte antigen (HLA) (Grennstein & Wood, 2010).

Serangan pertama kali LES pada wanita jarang terjadi pada usia prepubertas

dan setelah menopause, LES lebih banyak menyerang wanita usia produktif

antara 15-45 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat adanya

hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun

(Suarjana, 2015). Salah satu peranan penting estrogen dalam kehidupan

seorang wanita adalah selama masa pubertas. Selama periode ini, peningkatan

kadar estrogen mendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita.

Estrogen atau hormone wanita juga dapat meningkatkan autoimmunity dan

secara tidak langsung menimbulkan peradangan serta meningkatkan resiko

terjadinya LES. Sifat estrogen berkebalikan dengan hormone androgen atau

hormone pria yang berfungsi untuk menekan autoimmunity (Wallace DJ, 2007)

dan (Mansjoer dkk, 2009). Konsenstrasi testosterone plasma yang rendah dan

meningkatnya luitenizing hormone (LH) ditemukan pada laki-laki, estrogen

yang berlebihan dengan aktifitas androgen yang tidak adekuat pada laki-laki

dan perempuan ditengarai bertanggung jawab terhadap perubahan proses imun.

Estrogen diproduksi oleh ovarium selama maturasi folikel, dan menstimulasi

proliferasi kelenjar pada bagian dalam atau endometrium uteri dengan cara

FSH (follicle stimulating hormone) yang memacu pertumbuhan folikel dan

menginduksi reseptor LH (luteinizing hormone) selanjutnya menstimulasi

produksi estrogen (Grennstein & Wood, 2010). Hormone estrogen selain

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

16

berfungsi sebagai pendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita,

estrogen juga berfungsi untuk mengaktivasi sel B poliklonal sehingga

mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (Murray &

May, 2003). Selain itu estrogen juga memperburuk penderita LES dengan

memperpanjang hidup sel-sel autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel T

dan menstimulus sel B untuk memproduksi autoantibodi (Suarjana, 2015).

Persentase kejadian LES yang juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada kembar

monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan

frekuensi LES pada keluarga penderita LES dibandingkan dengan control sehat

dan peningkatan prevalensi LES pada kelompok etnik tertentu, menguatkan

dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis LES (Suarjana,

2015). Menurut Hahn dalam Isselbacher dkk (2012) frekuensi terjadinya LES

akan semakin besar apabila pasien memiliki lebih dari satu anggota keluarga

berpenyakit serupa dan korelasi gen tertentu juga mempengaruhi, terutama

dengan penyakit dan autoantibodi.

Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada banyak sekali gen (lebih dari 100

gen) yang berperan, terutama pada gen yang mengkode unsur-unsur sistem

imun. Dugaan yang berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada

kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 (ras Asia/Jepang)

dan HLA-DR3 (ras Kaukasia) serta dengan komponen komplemen yang

berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2)

telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

17

mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Mok & Lau, 2003 dan

Wachjudi dkk, 2006). LES ditandai oleh banyaknya gangguan dalam system

imun yang meliputi sel B, SEL T dan turunan dari sel-sel monositik yang

mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel inilah yang

memproduksi antibody, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan

pembentukan kompleks imun (Suarjana, 2015). Autoantibodi yang lain seperti

anti-Sm(small nuclear ribonuclear protein) dan anti-nRNP (nuclear

ribonuklear protein) muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis

SLE. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada dipertengahan antara kedua

kelompok autoantibodi tersebut (Isbagio dkk, 2009 dan Suarjana, 2015).

Sifat sel T pertama kali diperlihatkan dengan jelas adalah sifat yang membantu

sel B untuk membentuk autoantibodi. Bantuan oleh sel T diperlukan untuk

sekresi sebagian besar antibody oleh sel B, salah satunya adalah untuk

mengaktivasi makrofag guna membunuh pathogen intraselular (Playfair &

Fair, 2012). Ditemukan juga bukti bahwa aktivasi sel B oleh sel T pada

penderita LES lebih sensitive terhadap efek stimulasi dari sitokin seperti IL-6

(mediator penting dalam respon fase akut inflamasi) dibandingkan dengan sel

B bukan penderita LES, sitokin sangat berperan penting dalam regulasi

aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang berbeda pada LES (Suarjana,

2015).

Faktor lingkungan juga dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, bahan kimia, bakteri dan virus. Ada

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

18

keterkaitan erat antara lupus dan sinar matahari. Matahari memancarkan sinar

ultraviolet dalam tiga berkas yang dikenal dengan A, B, dan,C. dua yang

pertama, ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) sangat berbahaya bagi penderita

lupus. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika berkas-berkas sinar

ultraviolet tersebut mangenai kulit, mereka bisa merusak lapisan atas DNA

(Wallace, 2007).

Simard JF (2011) dalam Suntoko (2015) mengatakan paparan sinar UV akan

mencetuskan flare up penyakitnya termasuk didalamnya foto sensitifitas,

demam, dan gejala sistemik lainnya. Hahn (2012) dalam Isselbacher dkk

(2012) juga menuturkan bahwa radiasi sinar UV bisa mencetuskan dan

mengekserbasi ruam fotosintesis pada LES, telah ditemukan bukti bahwa sinar

UV memang dapat merubah struktur DNA yag menyebabkan terbetuknya

autoantibodi sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia

yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan

sel (Suarjana, 2015).

Aromatic amine atau amino lipogenik aromatik adalah perantara kimia yang

dapat menyebarkan atau memeprburuk penyakit pada LES, termasuk

didalamnya adalah asap rokok, pewarna rambut, dan tartazine (pewarna

makanan atau bahan pengawet makanan. Sifat dari aromatic amine yang

mudah melebur di dalam tubuh melalui sebuah proses yang dinamakan

acetylation. Mekanisme pasti dimana aromatic amine menyebabkan reaksi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

19

imunologis kurang dipahami dan hanya sebagian kecil orang yang terkena

aromatic amine mengalami penyakit kekebalan klinis (Wallace, 2007).

Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.

NSAIDS (Nonsteroidal Anti inflammatory Drugs) tertentu membuat

pemakainya sesnsitif dengan sinar matahari dan radiasi racun telah dilaporkan

dalam beberapa kasus. Berhati-hatilah terhadap penggunaan piroxicam

(feldene), senyawa phenylbutazone dilaporkan telah menyebabkan reaksi

hipersensitif pada pasien lupus, yang mungkin mengakibatkan kekambuhan

(Wallace, 2007). Penderita LES juga harus diingatkan untuk menghindari

pemakaian antibiotika tertentu seperti sulfonamide, Echinacea (obat flu

alternative yang berupa stimulant system imun) karena dapat menimbulkan

flare up (Wachjudi, 2006).

3. Klasifikasi

Klasifikasi lupus eritematosus menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus

eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu: pertama Chronic

Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe

Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi kembali dalam tiga subtipe yang

jarang terjadi, palmar-palmar lupus erythematosus, oral discoid lupus

erythematosus dan lupus erythematosus panniculitis dan subtype kedua dari

CCLE adalah Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE). Kedua Subacute

Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang jarang terjadi

yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE). Ketiga Systemic Lupus

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

20

Erythematosus (SLE) dan yang terakhir Drug-Induced Lupus Erythematosus

(DILE).

Sedangkan Menurut European Assosiation of Oral Medicine, (2005) lupus

eritematosus diklasifikasikan menjadi 9 jenis : Discoid Lupus Erythematosus

(DLE), Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Bullous form, Neonatal form

(NLE), Acute Cutaneous form (ACLE), Subacute Cutaneous form (SCLE),

Chronic Cutaneous form (CCLE), Childhood onset (CSLE) dan Drug Induced

(DILE)

4. Manifestasi klinis

Penyakit LES atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki manifestasi

klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan yaitu sekitar 80% melibatkan

persendian, kulit, dan darah, sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem

saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena (Manzi S,

2001). Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada

keadaan awal tidak dikenai sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena

manifesati klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.

Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang

berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh

manifestasi klinis lainnya seperti fotosintesitas dan sebagainya yang pada

akhirnya akan memenuhi kriteria LES. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau

musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus LES, walaupun artritis sebagai

manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. Kecurigaan akan penyakit

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

21

LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana

tercantum di bawah ini, yaitu :

a. Gejala konstitusional

Gejala seperti demam, lesu, nafsu makan turun, dan penurunan berat

badan adalah kondisi yang dialami pasien LES pertama kali dan sangat

sering dijumpai (Wallace, 2007). Keluhan demam pada pasein LES

menurut Dubois (2011) dalam Suntoko (2015) berkiar antara 41-83%,

kasus-kasus LES yang dikumpulkan selama periode tahun 1950-1980an

terlihat kecenderungan demam semakin menurun pada tiap dekede ini

dikarenakn kemampuan dokter dalam memahami penyakit dan

kesempatan menggunakan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).

Keluhan lainnya pada penderita LES adalah atralgia (pegal dan linu di

dalam sendi) bisa juga terjadi artritis akut pada dua atau lebih sendi

perifer, biasanya berlangsung selama beberapa hari, lokasi terjadinya

artritis biasanya pada sendi tangan, pergelangan tangan, lutut dan biasanya

simetris pada satu tubuh (Mansjoer dkk, 2000). Kelelahan dan malaise

(rasa tidak enak badan) sering timbul bila keadaan penyakitnya yang

masih aktif, penderita cepat lelah dan tidak enak badan merupakan proses

dari inflamasinya yang sedang berjalan (Isbagio dkk, 2009 dan Suntoko,

2015)

b. Manifestasi muskuloskeletal

Hampir 90% pasien LES memiliki keluhan nyeri sendi, sendi kaku, dan

encok pada pinggang (Wallace, 2007). Kekakuan sendi pada pasien LES

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

22

banyak muncul pada pagi hari (Smeltzer dkk, 2008). Keluhan nyeri otot

(myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana

tampak jelas adanya bukti inflamasi sendi (Isbagio dkk, 2009). Keluhan

ini sering kali dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena

keterlibatan sendi yang banyak dan simetris (D’Cruz dkk, 2010). Hanh

(2005) dalam Isselbacher dkk (2012) dan Sukanto (2015) mengungkapkan

bahwa 10% pasien LES mengalami deformitas leher angsa (swan neck)

hal ini terjadi bukan karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada

kapsul sendi yang mengalami kekenduran jaringan ikat sendi. Nyeri yang

muncul karena adanya inflamasi sendi, paling sering mengenai sendi

antarfalang proksimal (AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan,

pergelangan tangan dan lutut biasa disebut dengan fusiform joint. Pada

pemeriksaan radiologi tidak dijumpai kelainan erosi dan destruksi pada

sendi meskipun inflamasi sudah berlangsung lama hingga bertahun-tahun.

c. Manifestasi kulit

Gejala yang paling khas yang diderita lebih dari 50% pasien LES adalah

kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES yaitu fotosensitivitas,

butterfly rash, lesi discoid serta lesi mukokutan pada mulut (Smeltzer dkk,

2008). Kelainan kulit paling ringan adalah fotosensitivitas dimana dapat

dirasakan langsung oleh penderita seperti rasa terbakar. Paparan langsung

sinar matahari juga dapat menmunculkan rash atau ruam pada kulit

terkhusus pada wajah, mulai dari pipi hingga ke pangkal hidung terkadang

meluaas ke dagu dan telinga, ruam tidak menimbulkan jaringan parut tapi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

23

dapat menimbulkan talangiektasia, ruam akan berkurang sampai hilang

setelah paparan sinar matahari dihindari (Sukanto, 2015). Menurut Hanh

(2005) dalam Isselbacher dkk (2012), lesi discoid yang diderita oleh

penderita LED (lupus Eritematosus DIskoid) merupakan ruam kronis yang

dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak tertangani secara tepat, lesi ini

terjadi pada sekitar 20% penderita LES. Lesi discoid mempunyai ciri

khusus berbentuk lingkaran berwarna kemerahan dan ditandai oleh batas

eritematosus yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan

talangiektasia. Lesi ini bisa muncul di kulit kepala, telinga, wajah, dan

bagian terpajan dari wajah, leher, kulit belakang kepala, lengan,

punggung, dan dada. Lesi discoid dapat menyebabkan pembentukan

jaringan parut dan perubahan pigmentasi kulit (Smeltzer dkk, 2008). Lesi

kulit pada penderita LES yang lebih jarang adalah vaskulitis, eritema,

tromboplebitis, petekie, purpura, psoriasis, bulae, urtikaria, ulkus kaki,

alopesia, dan sklerodaktili (Wallace, 2007, Siregar, 2013 dan Sukanto,

2015).

d. Manifestasi paru

Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus,

pneumonitis (radang interstitial parenkim paru), perdarahan paru, emboli

paru dan hipertensi pulmonal. Pleuritis merupakan manifestasi tersering

pada penderita LES sekitar 41-56%, ciri khas gejala adanya demam, batuk,

sesak, nyeri dada baik pada satu atau pada kedua sisi, umumnya akan

menjadi efusi pleura (Sukanto, 2015). Penyebab tersering terjadinya

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

24

infiltrate paru pada pasien LES adalah infeksi. Pneumonitis lupus dapat

terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya

penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di

daerah basal paru. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun

pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak

(Isbagio, 2009). Perdarahan pada paru sebenarnya terjadi karena adanya

vaskulitis yang massif pada kapiler paru dan arteri kecil paru. Meskipun

jarang dilaporkan kasus pada penderita LES tetap saja perdarahan paru

merupakan keadaan yang sangat serius dan merupakan salah satu

penyebab kematian 50-90% pada penderita LES, meskipun tidak

signifikan perdarahan paru pada penderita LES ditandai dengan sesak

secara mendadak, batuk, demam dan ronkhi menyeluruh pada lapang paru

serta hemoglobin yang turun dengan cepat disebabkan adanay perdarahan

intraalveolar masif. (Smeltzer dkk, 2008) dan (Sukanto, 2015). Hanh

dalam Isselbacher dkk (2012) dan Kasron (2012), Hipertensi pulmonal

mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung yang pada akhirnya akan

meningkatkan beban kerja jantung, hipertensi pulmonal merupakan

manifestasi yang paling berat dan paling jarang terjadi pada penderita

LES, namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi karena

menyebabkan distress pernapasan pada penderita. Sepertiga pasien lupus

juga memiliki antibodi antiphospolipid, dan sepertiga dari jumlah tersebut

memiliki gumpalan atau fase thrombolytic selama masa penyakit mereka

gumpalan darah yang bergerak melalui pembuluh darah di paru disebut

sebagai pulmonary emboli atau emboli paru, dilaporkan bahwa 5-10%

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

25

penderita LES akan mengalami emboli paru. Manifestasi klinik dari pasien

yang mengalami emboli paru akan mengeluhkan sesak napas, sianosis, dan

nyeri dada akut, dalam beberapa hari akan menunjukan adanya infarction

(jaringan sel yang mati) (Wallace, 2007).

e. Manifestasi kardiologi

Kelainan kardiovaskular pada LES dapat mengenai pericardium,

miokardium, system kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh

darahnya (Sukanto, 2015). Pericarditis merupakan gejala yang paling

banyak muncul pada penderita LES dengan berupa perikarditis ringan,

efusi perikardial sampai penebalan pericardial. Pada pericarditis, cairan

pericardial mngandung ribuan sel darah putih dan pada beberapa bagian

membrane menunjukan bahwa limfosit dan sel plasma muncul di jaringan

sel pericardial, pemeriksaan dengan menggunakan auskultasi dokter bisa

mendengar adanya suara gesekan (Wallace, 2007).

Hanh dalam Isselbacher dkk (2012) menjelaskan bahwa trombosis pada

pembuluh darah dengan segala ukuran dapat menimbulkan masalah serius,

ada penelitian yang menunjukan vaskulitis merupakan penyebab dasar dari

thrombosis. Perubahan degenerative pada pembuluh darah setelah

bertahun - tahun terpajan kompleks imun dalam darah bisa menimbulkan

arteri coroner degenerative. Dalam penelitain yang dilakukan oleh Diaz

dkk (2012) mengatakan coronary artery calcifications (pengerasan

pembuluh darah arteri coroner) bisa menyerang siapa saja baik laki-laki

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

26

maupun wanita penderita LES, wanita yang sudah mengalami post

menopaused merupakan kelompok paling beresiko tinggi. Penyakit

jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan

bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung

kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia

muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid

jangka panjang (Isbagio dkk, 2009).

f. Manifestasi renal

Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum

terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan

ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal. Namun demikian

adanya proteinuria, piuria serta buruknya bersihan kreatinin dapat

diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonephritis, efek toksik obat

pada ginjal (Isbagio dkk, 2009). Ciri khas lupus pada ginjal adalah adanya

pembengkakan ringan pada pergelangan kaki, para pasien mungkin

mengeluhkan bengkak yang tidak nyaman pada keaki mereka.

Pemeriksaaan laboratoirum protein pada urine penderita LES dalam 24

jam terjadi kenaikan 3,5 gram, pemeriksaan lain yang menandakan

seseorang terkena syndrome nefrotik adalah kadar albumin yang jatuh di

bawah 2,8 gram perdesiliter (Wallace, 2007)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

27

g. Manifestasi gastrointestinal

Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,

secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric

valkulitis, inflamantory bowel syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit

hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,

splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan

SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis

autoimun (Isbagio dkk, 2009). Pada beberapa kekeluhan nyeri abdomen

ditemukan pre-rektum baik pada usus besar maupun usus halus dan bila ini

terjadi diperlukan investigasi lebih seksama untuk mencegah terjadinya

perforasi (Kasjmir dkk, 2015). Wallace (2007 menambahkan 1% dari

penderitaa LES mengalami malabsorpsi nutrisi, diare serius dengan jumlah

serum protein (albumin) yang sangat rendah jarang dialami pasien LES,

akan tetapi bila ini terjadi dan tidak segera di obati pasien tersebut akan

menderita protein losing enteropathy (protein hilang melalui malabsorpsi).

h. Manifestasi hematologik

Anemia akibat penyakit kronik terjadi pada sebagian penderita LES yang

aktif dibuktikan dengan Coombs test (pemeriksaan antibody pada sel darah

merah) menunjukan hasil positif. Leukopenia juga sering ditemukan tetapi

jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak memerlukan terapi ditandai

dengan penurunan leukosit <4.000/mm3. Trombositopenia ringan sampai

berat disertai perdarahaan dan purpura terjadi pada 5% pasien, ditandai

dengan penurunan trombosit dibawah 100.000/mm3, dan harus dilakukan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

28

terapi glukokortikoid dosis tinggi, untuk perbaikan jangka pendek dapat

dicapai dengan pemberian globulin gama intravena (Hahn dalam

Isselbracher, 2012) dan (Wahjudi 2007). Pada LES, terjadi peningkatan

Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik

normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit

ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik

autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-

80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.

Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang

mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP),

seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan

gambaran LES yang lain (D’Cruz dkk 2010).

Diperkirakan sepertiga pasien LES memiliki antibodi antiphospolipid

karena adanya faktor-faktor kecenderungan yang unik itulah menyebabkan

penggumpalan abnormal pada penderita LES, sepertiga dari mereka juga

mengalami komplikasi akibat antibody ini, karena antibody ini bisa

menyebabkan penggumpalan darah dulu penyakit ini disebut sindrom

anticardiolipin. Antibodi antiphospolipid dan lupus anticoagulant bisa

menyebabkan penggumpalan darah dan penggumpalan darah bisa terjadi

di bagian tubuh mana saja, khususnya pada pembuluh darah vena dan

arteri. Jika gumpalan terjadi di otak bisa mengakibatkan stroke (Wallace,

2007).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

29

i. Manifestasi neuropsikiatrik

Manifestasi neurologi pada LES yang sering adalah disfungsi kognitif

(gangguan daya ingat, abstrak, dan pengambilan keputusan) hal ini cukup

seering terjadi pada pasien lupus, untuk mengetahuinya bisa dilakukan tes

batere neuropsikologi. Stroke juga menjadi salah satu manifestasi

neurologi pada penderita LES, stroke pada penderita LES disebabkan oleh

suatu antibody antiphospolipid beberapa literature menyebutkan

kebanyakan serangan stroke ini muncul dalam lima tahun pertama

penyakit (Smeltzer dkk, 2008). Wijaya (2015) juga menyebutkan

manifestasi lain yaitu kejang terjadi pada 10-20% pasien, kejang yang

terjadi dapat berupa kejang umum dan parsial kejang dapat merupakan

manifestasi awal lupus atau dapat muncul dalam perjalanan penyakitnya,

penyebab kejang sangat bervariasi dapat diakibatkan oleh adanya

inflamasi atau kerusakan jaringan cerebri. Nyeri kepala, gangguan

neuropati, psikosis adalah gangguan proses berpikir yang aneh diiringi

dengan sering munculnya delusi atau halusinasi (Wachjudi, 2007).

Gejala lain seperti ansietas dan depresi juga sering muncul pada penderita

LES terutama pada mereka yang belum bisa menerima penyakit tersebut.

Depresi dan kecemasan akan merefleksikan reaksi atau pandangan pasien

terhadap penyakit kronis dan konsekuensi yang akan dia hadapi dalam

hidupnya, keterbatasan gaya hidup yang harus dijalani, ketegantungan

dengan orang lain, termasuk kesulitan kehamilan, mudah lelah,

keterbatasan dengan dengan paparan sinar matahari serta pemikiran untuk

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

30

minum obat setiap hari seumur hidup. ODAPUS (orang dengan lupus)

biasanya akan membaik dalam kurun waktu 1 tahun, tentu saja dengan

dukungan dari keluarga, pemberian informasi mengenai dari dokter,

perawat dan petugas kesehatan lainnya (Wallace, 2007) dan (Isbagio dkk,

2009).

5. Diagnosis

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) menuturkan bahwa

kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih

kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan

penurunan berat badan.

c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis

d. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,

alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi pada parenkhim paru.

h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.

i. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegaly

j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis

transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

31

Tabel 2.1 kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik menurut American

College of Rheumatology (ACR) yang sudah di revisi pada tahun (1997) dalam

Baratawidjaja & Rengganis, (2014) adalah sebagai berikut :

No Kelainan Batasan

1 Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol,

pada daerah malar dan Cenderung tidak

melibatkan lipat nasolabial.

2 Ruam diskoid

Plak eritema menonjol dengan keratotik dan

sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat

ditemukan parut atrofik

3 fotosensitivitas

Ruam kulit yang diakibatkan reaksi

abnormal terhadap sinar matahari, baik dari

anamnesis pasien atau yang dilihat oleh

dokter pemeriksa

4 Ulkus mulut

Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak

nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.

5 Artitritis

Artritis non erosif yang melibatkan dua atau

lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan,

bengkak atau efusia.

6 serositis

a. Pleuritis

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction

rub yang didengar oleh dokter pemeriksa

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

32

b. Perikarditis

atau terdapat bukti efusi pleura.

Terbukti dengan rekaman EKG atau

pericardial friction rub atau terdapat bukti

efusi perikardium

7 Gangguan renal

Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau

>3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan

kuantitatif. atau Silinder seluler : - dapat

berupa silinder eritrosit, hemoglobin,

granular, tubular atau campuran.

8 Gangguan neurologi

a. Kejang yang bukan disebabkan oleh

obat-obatan atau gangguan metabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau

ketidak-seimbangan elektrolit). atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh

obat-obatan atau gangguan metabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau

ketidak-seimbangan elektrolit).

9 Gangguan hematologi

a. Anemia hemolitik dengan retikulosis.

atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih.

atau

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

33

pemeriksaan atau lebih.

atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa

disebabkan oleh obat-obatan

10 Gangguan imunologik

a. Anti -DNA: antibodi terhadap native

DNA dengan titer yang abnormal.

atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap

antigen nuklear Sm.

atau

c. Temuan positif terhadap antibodi anti

fosfolipid yang didasarkan atas: 1)

kadar serum antibodi anti kardiolipin

abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes

lupus anti koagulan positif

menggunakan metoda standard, atau 3)

hasil tes serologi positif palsu terhadap

sifi lis sekurangkurangnya selama 6

bulan dan dikonfi rmasi dengan test

imobilisasi Treponema pallidum atau tes

fluoresensi absorpsi antibodi

treponemal.

11 Antibodi antinuclear

positif (ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear

berdasarkan pemeriksaan imunofluoreseni

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

34

atau pemeriksaan setingkat pada setiap

kurun waktu perjalanan penyakit tanpa obat.

Klasifikikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4

dari kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang

waktu. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki

sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi

klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang

diperlukan (Kasjmir, 2015)

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan

monitoring yang direkomendasikan oleh, Perhimpunan Reumatologi Indonesia

(2011) :

a. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) khusus

pemeriksaan LED dlakukan setiap 3-6 bulan bila stabil.

b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila

diperlukan kreatinin urin.

c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) dilakukan setiap 3-

6 bulan sekali bila stabil.

d. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

35

e. Serologi ANA (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan

untuk monitoring), anti-dsDNA (Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan

penyakit ginjal aktif), komplemen †(C3,C4).

f. Foto polos thorax

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin

time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu

pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

Pemeriksaan Serologi pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) meliputi tes

imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah tes

ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan / diperiksa

hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES (Kasjmir,

2015) pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,

akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang

mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis

(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease

(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang

normal (Kavanaugh dkk, 2000).

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,

tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis

dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan

datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Beberapa

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

36

tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi

terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA),

La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil

ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang

didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-

dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan

dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi

pada pasien yang bukan LES (Kavanaugh dkk, 2000 dan Wachjudi, 2006)

Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang

diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan

adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien LES, tes ini

jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif

spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm

yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang

negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Kavanaugh dkk, 2000 dan Kasjmir,

2015)

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) juga menyatakan bahwa test ANA

merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk LES. Test ANA

dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap LES. Test Anti dsDNA

positif menunjang diagnosis LES, namun jika negatif tidak menyingkirkan

diagnosis LES.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

37

7. Penatalaksanaan

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) baik untuk LES ringan,

sedang ataupun berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut

pilar pengobatan. Pilar pengobatan LES ini sseharusnya dilakukan secara

bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Tiga faktor

penting pilar pengobatan lupus eritematosus sistemik tersebut adalah edukasi

dan konseling, program rehabilitasi dan pengobatan medikamentosa, seperti

yang sudah dijelaskan dibawah ini :

a. Edukasi/konseling

Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar dan

dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu

dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien

memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau

mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar

matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi;

melakukan latihan secara teratur (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,

2011). Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi, karena infeksi

sering terjadi pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan

bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada

penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obatan

sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di

kulit dan mukosa (Kasjmir, 2015 dan Wallace, 2007) Perlu pengaturan diet

agar tidak terjadi kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi

dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

38

organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian

obat-obatan (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Profilaksis

antibiotika juga diperlukan dan harus dipertimbangkan pada penderita SLE

yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur

invasive lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE

terutama penderita yang mendapat obat-obatan kontraindikasi untuk

kehamilan seperti anti-malaria atau siklofosfamid. (Isbagio 2009).

Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE,

maka setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik

maupun sosial. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di RSCM

(2010) ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%.

Adanya stigma pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih

lanjut. Namun adanya gangguan•fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat

memberikan dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan sosialnya baik

ditempat kerja atau dirumah (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

Seperti yang diungkapkan oleh Friedman (2010) salah satu fungsi pokok

keluarga adalah fungsi sosialisasi dan fungsi penempatan sosial dimana

terjadi proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat

anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan.

Secara lebih spesifik keberadaan dukungan social yang adekuat terbukti

menurunkan angka mortalitas, memotivasi untuk sembuh dari sakit,

mencegah penurunan fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

39

(Hernilawati, 2013) Edukasi pada keluarga diarahkan untuk memangkas

dampak stigma psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE,

memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan.

Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak

keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

b. Terapi rehabilitasi

Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga

30% apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas

selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan

terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan

diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas•fisik

seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa

nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas

lainnya seperti Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau

kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis

pelaksanaan program rehabilitasi adalah istirahat, terapi fisik (umumnya

bersama dengan fisioterapi), terapi dengan modalitas, ortotik, dan lain-lain

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

40

c. Terapi medikamentosa/Pengobatan

Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang banyak dipakai pada penderita

LES serta pemantauannya berdasarkan rekomendasi Perhimpunan

Reumatologi Indonesia, (2011) dan Kasjmi dkk (2015) dapat dilihat pada

tabel 2.2 dibawah ini :

Jenis Obat Dosis Jenis

toksisitas

Evaluasi

Awal

Pemantauan

Klinis Laborat

orik

OAINS

Tergant

ung

OAINS

Perdarahan

saluan

cerna,

hepatotoksi

k, sakit

kepala,

hipertensi,

aseptik

meningitis,

nefrotoksik.

Darah

rutin,

kretinin,

urin

rutin,

AST/AL

T*.

Gejala

gastrointest

inal

Darah

rutin,

kreatini

n,

AST/AL

T*

setiap 6

bulan.

Kotikosteroid Tergant

ung

derajat

SLE

Cushingoid,

hipertensi,

dislipidemia

,

osteonekros

Gula

darah,

profil

lipid,

DXA,

Tekanan

darah

Glukosa

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

41

is,

hiperglisemi

a, katarak,

osteoporosis

.

tekanan

darah.

Klorokuin

Hidroksikloro

kuin

*hidroksiklor

okuin saat ini

belum

tersedia di

Indonesia

250

mg/hari

(3,5-4

mg/kg

BB/hr)

200-400

mg/ hari

Retinopati,

keluhan

GIT, rash,

mialgia,

sakit kepala,

anemia

hemolitik

pada pasien

dengan

defisiensi

G6PD.

Evaluasi

mata,

G6PD

pada

pasien

berisiko.

Funduskop

i dan

lapangan

pandang

mata setiap

3-6 bulan.

Azatioprin 50-150

mg per

hari,

dosis

terbagi

Mielosupres

if,

hepatotoksi

k, gangguan

limfoprolife

Darah

tepi

lengkap,

kreatinin

, AST /

Gejala

mielosupre

sif

Darah

tepi

lengkap

setiap 1-

2

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

42

1-3,

tergantu

ng berat

badan.

ratif. ALT*. minggu

dan

selanjut

nya 1-3

bulan

interval.

AST

tiap

tahun

dan pap

smear

secara

teratur.

Siklofosfami

d

Per oral:

50-150

mg per

hari. IV:

500-750

mg/m2

dalam

Dextros

e 250

ml,

infus

Mielosupres

if, gangguan

limfoprolife

ratif,

keganasan,

imunosupre

si, sistitis

hemoragik,

infertilitas

sekunder.

Darah

tepi

lengkap,

hitung

jenis

leukosit,

urin

lengkap

Gejala

mielosupre

sif,

hematuria

dan inferti

litas.

Darah

tepi

lengkap

dan urin

lengkap

setiap

bulan,

sitologi

urin dan

pap

smear

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

43

selama

1 jam.

tiap

tahun

seumur

hidup.

Metotreksat 7.5 – 20

mg /

minggu,

dosis

tunggal

atau

terbagi

3. Dapat

diberika

n pula

melalui

injeksi.

Mielosupres

if, fi brosis

hepatik,

sirosis, infi

ltrat

pulmonal

dan fibrosis.

Darah

tepi

lengkap,

foto

toraks,

serologi

hepatitis

B dan C

pada

pasien

risiko

tinggi,

AST,

fungsi

hati,

kreatinin

.

Gejala

mielosupre

sif, sesak

nafas, mual

dan

muntah,

ulkus

mulut.

Darah

tepi

lengkap

terutama

hitung

trombos

it tiap 4-

8

minggu,

AST /

ALT*

dan

albumin

tiap 4-8

minggu,

urin

lengkap

dan

kreatini

n.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

44

Siklosporin A 2.5–5

mg/kg

BB,

atau

sekitar

100 –

400 mg

per hari

dalam 2

dosis,

tergantu

ng berat

badan.

Pembengka

kan, nyeri

gusi,

peningkatan

tekanan

darah,

peningkatan

pertumbuha

n rambut,

gangguan

fungsi

ginjal, nafsu

makan

menurun,

tremor.

Darah

tepi

lengkap,

krea•

nin, urin

lengkap,

LFT*.

Gejala

hipersensiti

fitas

terhadap

castor oil

(bila obat

diberikan

injeksi),

tekanan

darah,

fungsi hati

dan ginjal.

Kreatini

n, LFT,

Darah

tepi

lengkap.

Mikofenolat

mofetil

1.000 –

2.000

mg

dalam 2

dosis.

Mual, diare,

leukopenia.

Darah

tepi

lengkap,

feses

lengkap

Gejala

gastrointest

inal seperti

mual,

muntah.

Darah

tepi

lengkap

terutama

leukosit

dan

hitung

jenisnya

.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

45

Keterangan :

OAINS: Obat Anti Inflamasi Non Steroid, AST/ALT: Aspartate Serum

Transaminase / Alanine Serum Transaminase, dan LFT: Liver Function Test

B. Peran Dan Fungsi Perawat

Mubarak & Chayatin (2013), Andarmoyo (2012), dan (Friedman, 2010)

manjelaskan Peran perawat baik pada individu, keluarga maupun komunitas terbagi

menjadi lima peran penting yaitu, perawat sebagai pelaksana kesehatan, peran ini

mencakup seluruh kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan puskesmas dalam

mencapai tujuan kesehatan yang komprehensif melalui kerja sama lintas sektoral

dengan tim kesehatan lain. Perawat sebagai pendidik, peran ini dapat dilakukan oleh

perawat komunitas, perawat keluarga atau petugas kesehatan lain, pembelajaran

yang diberikan bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan

individu, keluarga, maupun masyarakat dari yang tidak sehat menjadi sehat atau

menjadi lebih sehat lagi. Perawat sebagai administrator, perawat membantu

keluarga dalam melihat masalah objektif akan keuntungan dan kerugian yang

ditimbulkan dari maslah tersebut, ia juga bertanggung jawab melakukan

pengelolaan suatu kasus atau permasalahan yang terjadi di dalam suatu keluarga

atau masyarakat, memecahkan masalah dan mengambil keputusan atas

permasalahan tersebut. Perawat sebagai konselor atau konsultan, perawat dijadikan

sebagai sumber informasi kesehatan oleh individu, keluarga dan masyarakat guna

mengatasi masalah – masalah kesehatan yang ada, sebagai konselor perawat harus

menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan

klien, serta harus melibatkan sumber-sumber lain (Potter & Perry, 2010). Perawat

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

46

sebagai peneliti, perawat melakukan identifikasi terhadap fenomena yang terjadi di

masyarakat, mencari faktor pencetus dan penyebab yang dapat mempengaruhi

penurunan kesehatan bahkan mengancam kesehatan

Fungsi perawat kesehatan keluarga tidak hanya fungsi esensial dan dasar dari

keluarga, fungsi yang sebenarnya adalah untuk mengemban fokus sentral dalam

keluarga yang berfungsi dengan baik dan sehat. Pemenuhan fungsi keluarga dapat

menjadi sulit bilamana mempengaruhi faktor internal dan eksternal seperti struktur

keluarga dan system pelayanan kesehatan. Agar keluarga bisa menjadi sumber

kesehatan utama (primer), keluarga harus dilibatkan dalam proses terapi dan

menjadi bagian tim kesehatan. Sejalan dengan peran perawat sebagai pelaksana

kesehatan peran serta keluarga inilah yang sangat dibutuhkan guna peningkatan

kesehatan (promotif), pencegahan terjadinya penyakit (preventif), dan pengobatan

(kuratif) (Mubarak & Chayatin, 2013) dan (Friedman, 2010).

Saat perawat melakukan pengkajian pada sebuah keluarga terutama saat ada

anggota keluarga yang sakit atau mengalami masalah kesehatan, perawat tersebut

harus mengkaji kemampuan keluarga dalam membarikan perawatan diri, motivasi

keluarga, dan kemampuan keluarga dalam menangani masalah kesehatan. Keluarga

perlu diberi pemahaman mengenai status kesehatan, dan masalah kesehatannya

sendiri serta langkah tindakan yang ddiperlukan guna memperbaiki atau

memelihara kesehatan keluarga dalam upaya tanggung jawab terhadap perawatan

dirinya sendiri (Friedman, 2010)

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

47

C. Definisi Keluarga

Potter & Perry (2010) mendefinisikan keluarga sebagai dua atau lebih individu yang

bekerja sama dengan ikatan saling berbagi dan kedekatan emosi dan keluarga

adalah unit yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka dan memperlihatkan

pembagian kerja menurut jenis kelamin

Menurut Duval, 1972 dalam Zaidin Ali. H, (2010) dan Hernilawati, (2013)

menuturkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh

ikatan perkawinan, adopsi kelahiran yang bertujuan menciptakan dan

mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental,

emosional dan social dari tiap anggota keluarga.

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan

kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari

keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal

bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan hanya

terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedman, 2010).

D. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma (2004) merupakan

bantuan/sokongan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga

lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah

keluarga.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

48

Friedman (2010) menyatakan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan

penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika di perlukan.

Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah

akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih

berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak

memiliki dukungan (Taylor, 2006).

Pendapat diatas diperkuat oleh pernyataan dari (Commission on the Family, 1998

dalam Dolan dkk, 2006) bahwa dukungan keluarga dapat memperkuat setiap

individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri

sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh

keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai

relevansi dalam masyarakat yang berada dalam lingkungan yang penuh dengan

tekanan. Dukungan keluarga juga merupakan suatu proses hubungan antara

keluarga dengan lingkungan (Setiadi, 2008). Dukungan keluarga merupakan juga

menjadi salah satu faktor penguat atau pendorong terjadinya suatu perilaku (Green,

1980 dalam Notoatmodjo, 2007).

Kaplan (2010) dan Friedman (2010) menyatakan keluarga sebagai sistem

pendukung yang berarti sehingga dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

49

mental, fisik dan emosi lanjut usia. Dukungan keluarga itu dapat dibagi menjadi

empat aspek yaitu dukungan penilaian/penghargaan, dukungan instrumental (nyata),

dukungan informasional dan dukungan emosional.

Komponen pendukung keluarga menurut Friedman, (2010) yaitu :

1. Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan meliputi pertolongan pada individu untuk memahami

kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang

dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga merupakan

dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap

individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang

masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengaharapan positif individu kepada

individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan

seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya

orang yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan

strategi koping individu dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan

pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek tertentu dengan cara pemberian

umpan balik (fedd back) yang positif (Bomar, 2004) dan (Friedman, 2010)

House, (1994) dalam Setiadi, (2008) menuturkan bahwa bantuan penilaian yaitu

suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain

berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita, penilaian tersebut bisa bermakna

positif atau negative yang mana pengaruhnya bisa sangat berarti bagi seseorang,

akan tetapi penilaian yang sangat berpengaruh adalah penilaian yang positif.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

50

Friedman, (2010) menunjukan bahwa dukungan penilaian/penghargaan juga

merupakan bentuk fungsi afektif keluarga yang meningkatkan status psikososial

pada keluarga yang sakit

2. Dukungan nyata (instrumental)

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,

bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support and

material support), suatu kondisi dimana barang atau jasa yang akan membantu

memecahkan masalah, termasuk di dalam dukungan nyata adalah bantuan

langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu

pekerjaan tugas sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi,

menjaga dan merawat saat sakit ataupun saaat mengalami depresi yang dapat

membantu memecahkan masalah. Pada dukungan nyata keluarga sebagai

sumber utama untuk mencapai tujuan praktis dan tujuannya (Friedman, 2010).

Dukungan instrumental merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh

keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, finansial, mapun sarana

dan prasarana serta menyediakan waktu luang untuk melayani dan

mendengarkan keluarga yang sakit dalam menyampaikan perasaannya (Peterson

& Bredow, 2004) dan (Bomar, 2004).

Dukungan instrumental ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam

melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan yang tengah dihadapinya,

atau menolong secara langsung kesulitan yang tengah dihadapi, misalnya

dengan menyediakan obat-obatan yang rutin diminum (Setiadi, 2008). Dengan

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

51

adanya dukungan instrumental ini pada penderita LES ini diharapkan kondisi

ODAPUS (orang dengan lupus)dapat terjaga dengan baik sehingga dapat

meningkatkan status kesehatannya.

Dukungan instrumental ini termasuk kedalam lima fungsi utama keluarga

menurut Friedman, yaitu fungsi kesehatan keluarga dan fungsi ekonomi, yang

mana keluarga harus mampu memberikan pemenuhan sandang, pangan, dan

papan serta mampu merawat anggota keluarga yang sakit dan sejauh mana

keluarga mengetahui tentang masalah kesehatan yang sedang dialami. Dari segi

ekonomi keluarga berfungsi untuk menyediakan sumber dana yang cukup,

pengalokasian dana dan alokasi efektif misalnya dengan membuat asuransi

kesehatan keluarga (Andarmoyo, 2012).

3. Dukungan informasi

Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama,

termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat,

pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang.

Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter,

terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk

melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari

masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga

dengan menyediakan feed back (Sheiley, 1995). Pada dukungan informasi ini

keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

52

Bomar (2004) mengatakan dukungan informasi keluarga merupakan suatu

dukungan atau bantuan yang diberikan keluarga dalam bentuk memberikan

saran atau masukan, nasehat atau arahan, dan memberikan informasi-informasi

penting yang dibutuhkan keluarga yang sakit dalam upaya meningkatkan status

kesehatannya. Dukungan informasi yang diberikan keluarga merupakan salah

satu bentuk fungsi perawatan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit,

keluarga memberi promosi kesehatan dan perawatan kesehatan preventif, serta

berbagai perawatan bagi anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010).

Bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam

menanggulani persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat,

pengarahan serta ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi

tersebut harus bisa disampaikan kepada orang lain yang mungkin saja

mengalami permasalahan yang sama (Setiadi, 2008).

Pada penderita LES sangat membutuhkan dukungan dari orang lain dalam arti

dukungan informasi bisa diberikan oleh keluarga, masyarakat, dokter, perawat

dan tenaga kesehatan lainnya, dukungan informasi dapat berupa pemberian

informasi yang dibutuhkan terkait dengan kondisi kesehatannya, kapan dan

waktu yang tepat minum obat, saran- saran kesehatan hingga informasi

mengenai kelompok atau perkumpulan yang memiliki kondisi yang hampir

sama.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

53

4. Dukungan emosional

Dukungan emosional selama depresi berlangsung, individu sering menderita

secara emosional, sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi

mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan

emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat

mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya,

perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada

dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan

semangat.

Peterson & Bredow (2004) menyatakan dukungan emosional melibatkan aspek

kekuatan jasmaniah dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga

orang tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Seperti

yang dikatakan Duvall (1977) dalam Friedman (2010) kebahagian keluarga

diukur oleh kekuatan cinta keluarga. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih

sayang anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga

ke anggota keluarga yang lain memberikan dasar penghargaan pada kehidupan

keluarga.

Memberikan dukungan emosional pada penderita LES merupakan salah satu

fungsi afektif keluarga, fungsi afektif ini berhubungan dengan fungsi di dalam

keluarga itu sendiri guna memberikan perlindungan psikososial dan dukungan

terhadap anggota keluarga yang sakit. Friedman (2010) menyatakan bahwa

adanya dukungan emosional dalam keluarga secara positif akan bisa

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

54

mampengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggota dalam keluarga

tersebut.

Nugroho (2000) juga mengatakan bahwa dukungan emosional merupakan

bentuk dukungan berupa rasa aman, cinta kasih, memberikan semangat,

mengurangi perasaan putus asa, mengurangi rasa rendah diri dan keterbatasan

terhadap ketidak kemampuan fisik atau penurunan fisik yang tengah dialami.

House (1994) dalam setiadi (2008) mengatakan bahwa bentuk dukungan

emosional berupa dukungan simpati, dan empati, cinta, kepercayaan dan

penghargaan. Dengan demikian dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati

dan perhatian terhadap seseorang sehingga merasa lebh baik, memperoleh

kembali keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai pada saat stress.

Komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga yang lain sangat diperlukan

untuk memahami situasi anggota keluarga. Bila nanti muncul masalah depresi

pada pasien bantuan medis atau tenaga ahli mungkin dibutuhkan. Akan tetapi

yang tidak kalah pentingnya adanya dukungan keluarga mendorong pasien

dapat mengendalikan emosi dan waspada terhadap hal yang mungkin terjadi.

E. Definisi Kepatuhan

Sarafino (1990) dalam Slamet B (2007), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan)

sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh dokter atau orang lain.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

55

Menurut kamus besar bahasa Indonesia patuh adalah suka menurut perintah, taat

pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin

(Pranoto, 2007),

Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah pada

tujuan yang telah ditentukan (Bastable, 2002).

Kepatuhan (obedience) merupakan satu jenis dari pengaruh social, dimana

seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan teingkah

laku tertentu karena adanya unsur power (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008

dalam Sarwono dan Meinarno, 2009).

Kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif penderita dalam

mencapai tujuan terapi (Degresi, 2005)

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat

medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaaan obat sesuai dengan

petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar

(Siregar, 2006)

Kepatuhan sebutan ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti

anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan, 1997 dalam Safitri, 2013).

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

56

Jadi dari beberapa definisi kepatuhan diatas peneliti menyimpulkan kepatuhan

adalah sikap dan perilaku seseorang baik secara pasrah atau karena unsur paksaan,

yang mengikuti dan mentaati anjuran dan saran nasehat medis dalam upaya

memperbaiki derajat kesehatan.

Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan

dengan begitu dapat langsung diukur. Dalam literature keperawatan-kesehatan

mengemukakan bahwa kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang dicapai

pada program pengobatan yang telah ditentukan (Bastable, 2002). Menurut Eraker

dkk, (1984), Levanthal & Cameron (1987) dalam Bastable (2002), menuturkan

bahwa kepatuhan pasien program kesehatan dapat ditinjau dari berbagai perspektif

teoritis pertama biomedis yang mencakup demografi pasien, keseriusan penyakit,

dan kompleksitas program pengobatan, kedua adalah teori perilaku/pembelajaran

sosial, yang menggunakan pendekatan behavioristic dalam hal reward (hadiah),

petunjuk, kontrak, dan dukungan sosial, ketiga adalah perputaran umpan balik

komunikasi dalam hal mengirim, menerima, memahami, menyimpan dan

penerimaan, keempat adalah teori keyakinan rasional, yang menimbang manfaat

pengobatan dan risiko penyakit melalui penggunaan logika cost benefit, dan terakhir

yang kelima adalah system pengaturan diri, pasien dilihat sebagai pemecah masalah

yang mengatur perilakunya berdasarkan persepsi atas penyakit, keterampilan

kognitif, dan pengalaman masa lalu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk

membuat rencana dan mengatasi penyakit.

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

57

Secara umum, hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipahami dalam meningkatkan

kepatuhan adalah pasien membutuhkan dukungan keluarga bukan disalahkan,

konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tercapainya

tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, peningkatan kepatuhan

pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat kepatuhan merupakan

faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu system

kesehatan, memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam

penanganan secara efektif suatu penyakit kronis, system kesehatan harus terus

berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru, diperlukan

pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan ketidakpatuhan(WHO, 2003)

F. Definisi Ketidakpatuhan

Ketidakpatuhan menggambarkan penolakan seseorang mengikuti program yang

telah ditentukan (Bastable, 2002). Menurut Niven (2012) faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian :

1. Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang

instruksi yang diberikan padanya. Anderson (1986) dalam Niven (2012),

mengungkapkan penelitian tentang komunikasi dokter dan pasiennya di

Hongkong, mendapatkan bahwa pasien yang rata-rata diberi 18 jenis informasi

untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu mengingat sebanyak 31%

saja.

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

58

2. Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian

yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan (Niven, 2012). Pentingnya

keterampilan interpersonal dalam memacu kepatuhan terhadap pengobatan di

ungkapkan oleh DiNicola dan DiMatteo (1984): Riset tentang faktor-faktor

interpersonal yang mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan menunjukan

pentingnya sensitifitas dokter terhadap kounikasi verbal dan nonverbal pasien,

dan empati terhadap peerasaan pasien, akan menghasilkan suatu kepatuhan

sehingga akan menghasilkan suatu kepuasan.

3. Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang

program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2012). Isolasi sosial

merupakan suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan

bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya,

pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu

membina hubungan dengan orang lain (Anna K, 2006 )

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Becker et al (1979) dalam Neil Niven (2012) telah membuat suatu usulan bahwa

model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya

ketidakpatuhan. Mereka menggambarkan kegunaan model tersebut dalam suatu

penelitian bersama Hartman dan Becker (1978) dalam Neil Niven (2012)

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

59

memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien hemodialisa

kronis. 50 orang pasien dengan gagal ginjal kronis tahap akhir yang harus

mematuhi program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan

cairan, pengobatan dan dialisa. Penelitian tersebut menemukan bahwa

pengukuran dari tiap-tiap dimensi yang utama dari model tersebut sangat

berguna sebagai peramal dari kepatuhan terhadap pengobatan. Jadi memang ada

bukti hasil penelitian yang penting bahwa hubungan antara professional

kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan

kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap

anjuran pengobatan

Menurut Bastable, (2002) kadang – kadang perilaku ketidakpatuhan mungkin

diinginkan dan dapat dianggap sebagai respon defensive yang diperlukan terhadap

situasi yang penuh tekanan.

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus

60

G. Kerangka Teoritis

Lupus

Eritematosus

Sistemik

Etiologi

Hormon

Genetik

Lingkungan Manifestasi umum

1. Butterfly rush di

wajah

2. Kelelahan

3. Fotosensitifitas

terhadap matahari

Penatalaksanaan

1. Edukasi

2. Rehabilitasi

3. pengobatan

Pemeriksaan

penunjang

1. Darah Lengkap

2. Urine rutin

3. Kimia darah

(ureum,

kreatinin, fungsi

hati, profil lipid

4. Pemeriksaan

masa pembekuan

darah

5. ANA test

6. Foto thorax Kepatuhan Minum Obat

Support System

Keluarga

1. Dukungan

penghargaan

2. Dukungan

nyata/instrumental

3. Dukungan

Sumber: Modifikasi: Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), Isbagio, dkk (2015),

Friedman (2010), Wallace (2007)