bab ii tinjauan pustaka 2.1 lanjut usia...bab ii tinjauan pustaka . 2.1 lanjut. usia. menurut...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 13 tahun
1998 dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan lanjut usia adalah individu yang berusia 60 tahun ke
atas. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh World Health
Organization (WHO), usia lanjut diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
usia pertengahan (middle age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia
(elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 –
90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
(Nugroho, 2008).
Perkembangan pada lansia mencirikan tahap akhir dari
proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses
penuaan. Pada masa tersebut, seorang mengalami penurunan
dan kemunduran fisik, psikis, dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga dalam melakukan tugas sehari-harinya lansia
membutuhkan oranglain. Penuaan merupakan perubahan
kumulatif pada mahkluk hidup, termasuk jaringan, tubuh dan sel
yang mengalami penurunan kapasitas secara fungsional
(Desmita, 2005).
Lansia yang mengalami penurunan kondisi sosial, fisik,
psikologis, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit
9
degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, hipertensi dan
salah satunya Stroke (Papalia, 2009).
2.2 Stroke
2.2.1 Definisi Stroke
Stroke atau cidera serebrovaskular (CVA) didefinisikan
sebagai kondisi otak kehilangan fungsinya, yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak,
sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik (Smeltzer &
Bare, 2002). Stroke merupakan suatu gangguan fungsi
serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi
mendadak dan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam yang
disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah
(Ginsberg, 2005). Faktor resiko yang dapat menyebabkan
stroke yaitu hipertensi, penyakit kardioavaskular, kolestrol
tinggi, obesitas, diabetes, merokok, konsumsi alkohol
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.2 Klasifikasi Stroke
Menurut Sustrani, dkk (2003), secara garis besar
stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke Hemoragik dan
Stroke Non-Hemoragik atau iskemik. Stroke hemoragik
merupakan stroke yang terjadi karena pecahnya
pembuluh darah di otak sehingga otak mengalami
hipoksia karena darah tidak dapat mengalir secara
10
semestinya. Menurut letaknya, stroke hemoragik dibagi
menjadi 2 jenis: pertama, hemoragik intraserebral, yaitu
perdarahan terjadi dalam jaringan otak. Biasanya
mengenai basal ganglia, otak kecil, batang otak, dan otak
besar. Pada kasus ini, sebagian besar orang yang
mengalaminya bisa menderita lumpuh dan susah diobati.
Kedua, hemoragik subaraknoid ruang sempit antara
permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak
Sustrani, dkk (2003).
Masih dari sumber yang sama, Stroke Non-hemoragik
(Iskemik) dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis
serebral. Stroke terjadi secara tiba-tiba bisa saat setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari.
Tidak terjadi perdarahan, akan tetapi terjadi iskemia yang
dapat menimbulkan hipoksia serta dapat timbul edema
sekunder. Stroke iskemik terjadi pada sel-sel otak,
sehingga otak kekurangan oksigen dan nutrisi yang
disebabkan penyempitan ataupun penyumbatan pada
pembuluh darah (arteriosklerosis). Arteriosklerosis terjadi
akibat timbunan lemak pada arteri yang menyebabkan
luka pada dinding arteri. Luka ini akan menimbulkan
gumpalan darah (trombus) yang mempersempit arteri.
Stroke hemoragik terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: pertama,
11
stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan
terbentuknya trombus yang membuat penggumpalan.
Kedua, stroke embolik merupakan jenis stroke yang
disebabkan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan.
Ketiga, Hipoperfusion sistemik merupakan jenis stroke
yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke seluruh
bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
2.2.3 Penyebab Stroke
Stroke dapat terjadi bila pasokan darah ke otak
mengalami hambatan, sehingga jaringan pada otak tidak
dapat memperoleh darah ataupun oksigen. Padahal otak
merupakan salah satu organ tubuh yang sangat
membutuhkan oksigen.
Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat
kejadian, menurut Smeltzer dan Bare (2002) penyebab
stroke adalah: (1) trombosis (bekuan darah di dalam
pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral
(bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain), (3) iskemia (penurunan aliran
darah ke area otak), dan (4) hemoragi serebral (pecahnya
pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah
penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan
12
kehilangan permanen atau sementara gerakan, berpikir,
memori, bicara, atau sensasi.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke yaitu
hipertensi, penyakit kardioavaskular, kolestrol tinggi,
obesitas, diabetes, merokok, konsumsi alkohol (Smeltzer
dan Bare, 2002).
2.2.4 Dampak Stroke
Pasien pasca stroke biasanya mengalami perubahan
seperti perubahan fisik, sosial, dan psikologi (Ginsberg,
2005). Menurut Smeltzer dan Bare (2002) stroke
menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung
pada lokasi lesi dan luasnya kerusakan neuron pada fokal
otak ataupun secara global (pembuluh darah yang
tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat
dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesoris). Selanjutya, menurut Sustrani (2003) akibat
stroke ditentukan oleh bagian otak mana yang cedera,
tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah stroke,
baik yang mempengaruhi bagian kanan atau kiri otak
pada.
13
Dampak stroke umumnya adalah sebagai berikut
(Ginsberg, 2005):
1. Gangguan Fisik
Gangguan fisik stroke seperti kelumpuhan sebelah
sebagian tubuh (hemiplegia) adalah cacat yang paling
umum akibat stroke. Stroke yang menyerang bagian
kiri otak, terjadi hemiplegia kanan. Kelumpuhan terjadi
dari wajah bagian kanan hingga kaki sebelah kanan
termasuk tenggorokan dan lidah. Dampaknya lebih
ringan, biasanya bagian yang terkena dirasakan tidak
bertenaga (hemeparesis kanan). Bila yang terserang
adalah bagian kanan otak, yang terjadi adalah
hemiplegia kiri dan yang lebih ringan disebut
hemiparesis kiri. Pasien stroke hemiplegia kesulitan
melaksanakan kegiatan sehari-harinya seperti
berjalan, berpakaian, makan, buang air besar atau
kecil (Sustrani, 2003).
Apabila kerusakan terjadi pada bagian bawah otak
(cerebellum), kemampuan seseorang untuk
mengkoordinasikan gerak tubuh berkurang. Tentunya
hal ini akan berpengaruh pada kesulitan melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan sehari-
hari, misalnya bangun dari tempat tidur atau duduk,
14
berjalan atau meraih gelas. Ada juga pasien stroke
yang mengalami kesulitan untuk makan dan menelan,
disebut disfagia (dysphagia), karena bagian otak yang
mengendalikan otot-otot yang terkait telah rusak dan
tidak berfungsi (Sustrani, 2003).
2. Gangguan komunikasi
Paling tidak seperempat dari semua pasien stroke
mengalami gangguan komunikasi, yang berhubungan
dengan mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan
bahkan bahasa isyarat dengan gerak tangan. Menurut
Smeltzer & Bare (2002), gangguan komunikasi yang
timbul dapat berupa afasia ekspresif (kesulitan untuk
menyampaikan kata-kata maupun tulisan, seringkali
kata-kata yang terpikir dapat terucapkan tetapi tidak
dapat dipahami), afasia reseptif (pasien stroke
mengalami kesulitan untuk mengerti bahasa lisan
maupun tulisan), afasia global (tidak mampu memahami
bahasa sehingga tidak dapat menyampaikan
pikirannya), disartia (mampu memahami bahasa verbal,
tapi tidak dapat bicara atau bisu) (Sustrani, 2003).
3. Gangguan Emosional
Pada saat individu mengalami penyakit kronis seperti
stroke, maka individu dan keluarganya akan mengalami
15
guncangan dan ketakutan, hal ini disebabkan sesuatu
yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya (Sustrani,
2003). Dampak psikologi stroke juga terlihat pada
penelitian yang dilakukan oleh Hama dkk., (2011)
mengungkapkan bahwa pasien pasca stroke yang
menderita kelumpuhan mengalami kedukaan dan rentan
terhadap stres serta depresi. Respon emosional seperti
stress dan depresi itu juga mengganggu pemulihan pada
pasien selama rehabilitasi. Dalam membantu pemulihan
pada pasien pasca stroke memerlukan pendekatan
multidisiplin, difokuskan pada emosional dan fisik
(rehabilitasi).
Ginsberg (2005) menyatakan bahwa penyakit stroke
dapat mempengaruhi psikologis penderita pasca stroke,
ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh
penderita pasca stroke yaitu:
1) Kemarahan
Menurut Ginsberg (2005) kebanyakan penderita
stroke, mengekspresikan amarahnya bahkan
seringkali tidak patuh, melawan perawat, dokter dan
ahli terapinya. Selanjutnya, Ginsberg (2005) penderita
juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang
16
menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga
sering memiliki amarah yang meledak-ledak.
2) Isolasi
Menurut Ginsberg (2005) penderita kelumpuhan
yang diakibatkan oleh stroke dapat mengakibatkan
individu melakukan penarikan diri terhadap lingkungan,
karena perasaan mereka sering terluka karena sering
tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali teman-
teman mereka meninggalkan mereka sendirian karena
tidak tahu bagaimana harus bereaksi dengan
penderita kelumpuhan tersebut.
3) Kelabilan Emosi
Menurut Ginsberg (2005) penderita stroke memiliki
reaksi-reaksi emosional yang membingungkan.
Kelabilan emosi merupakan gejala yang aneh
terkadang penderita stroke tertawa atau menangis
tanpa alasan yang jelas.
4) Kecemasan yang Berlebihan
Menurut Ginsberg (2005) sebagian penderita
mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika
keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal
ini terjadi karena mereka merasa malu ketika bertemu
dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya.
17
Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya
gangguan pada kemampuan bicara dan
kelumpuhannya.
5) Depresi
Menurut Ginsberg (2005) depresi adalah perasaan
marah yang berlangsung di dalam batin, beberapa
depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita
kelumpuhan pasca stroke akan bereaksi terhadap
semua kehilangannya dan merasa putus asa.
Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang
paling sering dikaitkan dengan stroke.
2.3 Sumber Stressor
Secara umum keadaan yang dapat menimbulkan stres
adalah stressor. Menurut Maramis (1999) dalam Jaya (2015)
stresor adalah keadaan atau kejadian yang menimbulkan stres
sehingga memunculkan reaksi stres seperti ketakutan,
kecemasan, dan kemarahan. Sumber stres dapat di timbulkan
dari lingkungan sekitar misalnya keluarga, penyakit kronis dan
lain-lain yang di sebut stresor psikososial.
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa
yang menyebabkan perubahan pada individu, sehingga individu
perlu mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya (Hawari, 2008). Apabila seseorang yang
18
menerima stresor ini tidak dapat melakukan adaptasi dan
mengatasi stresor tersebut, akan timbul berbagai keluhan, yaitu
stres.
Berikut adalah jenis stresor psikososial Hawari (2008):
1. Problem orangtua: Menjadi orangtua pada zaman
sekarang ini tidak semudah seperti zaman dahulu. Hal
ini disebabkan tatanan sosial dan ekonomi sudah jauh
berbeda.
2. Hubungan interpersonal (antarpribadi): Hubungan antar-
sesama (perorangan atau individual) yang tidak baik
dapat merupakan sumber stres seperti hubungan yang
tidak serasi atau harmonis, tidak baik atau buruk,
dengan teman atau sesama rekan, atasan dan
bawahan, pengkhianat dan lainnya. Berinteraksi dengan
lingkungan baru, bertemu macam-macam orang
seringkali membuat seseorang harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan. Namun apabila gagal dalam
menyesuaikan dengan lingkungan yang baru hanya
akan membuat seseorang tertekan dan menimbulkan
stress bahkan depresi.
3. Pekerjaan: tidak bekerja ataupun kehilangan pekerjaan
karena di PHK, akan berdampak pada gangguan
kesehatan bahkan bisa sampai pada kematian. Ataupun
19
juga seseorang yang terbiasa bekerja apabila tiba-tiba
kehilangan pekerjaan biasanya mengalami kejenuhan
dan ketidak berdayaan, merasa tidak berguna terhadap
dirinya, sehingga dapat menumbulkan stres.
4. Lingkungan hidup: Kondisi lingkungan hidup yang buruk,
akan berpengaruh besar bagi kesehatan seseorang
dimana seseorang yang baru tinggal dilingkungan baru
perlu menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan
lingkungannya, sehingga jika seseorang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya bisa membuat
orang menjadi stres sehingga berpengaruh terhafdap
kondisi kesehatannya.
5. Keuangan: Masalah keuangan salah satu masalah
utama karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
orang membutuhkan uang. Apabila kebutuhan
fundamental seperti kesehatan tidak dapat terpenuhi
karena keterbatasan untuk memperoleh uang seseorang
cenderung melakukan hal-hal negative seperti
keingingan untuk bunuh diri. Stres inilah yang pada
akhirnya memunculkan perilaku-perilaku yang destruktif
seperti tersebut di atas. Misalnya pendapatan lebih kecil
dari pengeluaran, terlibat utang, kebangkrutan usaha,
dan lain sebagainya.
20
6. Perkembangan: Yang dimaksud disini adalah tahapan
perkembangan baik fisik maupun mental seseorang
(siklus kehidupan). Misalnya menopause, masa remaja,
masa dewasa, masa dewasa, usia lanjut dan lain
sebagainya.
7. Penyakit fisik dan cidera: Berbagai penyakit fisik
terutama yang kronis atau cedera dapat menyebabkan
stres bahkan depresi pada diri seseorang, sebagai
contoh misalnya penyakit jantung, paru-paru, stroke,
kanker, HIV atau AIDS, dan lain sebagainya. Stres bisa
memperparah penyakit yang derita, karena penyakit
yang tak kunjung sembuh, pengobatan yang mahal, atau
pikiran bahwa semakin hari sakit yang diderita semakin
merepotkan diri dan keluarga. Stres pun muncul,
akibatnya penyakit semakin parah. Stres bisa menjadi
penyebab sekaligus akibat bagi penyakit.
8. Faktor keluarga: Sikap dan perilaku yang keluarga
tunjukkan yang dapat menimbulkan stres atau tekanan
pada seseorang seperti sikap acuh tak acuh, tidak
perhatian, sering marah, kurang komunikasi dan lain-
lain.
21
9. Trauma: Seseorang yang mengalami bencana alam,
pemerkosaan, kebakaran, peperangan, kekerasan,
perampokan dan lain sebagainya.
2.4 Konsep Koping
2.4.1 Mekanisme Koping
Mekanisme koping setiap individu berbeda-beda
dalam menghadapi masalah yang dihadapi dalam
hidupnya. Mekanisme koping diartikan menurut Keliat
(1999, dalam Jaya, 2015), mekanisme Koping yaitu cara
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah,
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon
terhadap situasi yang mengancam. Pengertian
mekanisme koping lainnya adalah usaha individu dalam
mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang
diterima tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres.
Apabila mekanisme koping ini berhasil, seseorang akan
dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban
tersebut.
Mekanisme koping dapat berupa positif ataupun
negatif. Mekanisme koping positif memungkinkan
perubahan diri saat lansia merenungkan pengalaman
hidup dan pengetahuan yang sudah dia peroleh selama
bertahun-tahun. Mekanisme koping negatif
22
memperlihatkan bahwa mereka berfokus pada kehilangan
dan dalam pikiran mereka terbenam dalam masa lalu
(Jaya, 2015).
2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi koping
Setiap individu mempunyai cara masing-masing dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Lazarus
& Folkman (1995, dalam Jaya, 2015) dalam mengahadapi
masalah mengidentifikasikan sumber koping yang
menolong manusia untuk beradaptasi terhadap stres
ataupun menyesuaikan diri dengan perubahan
situasi/kondisi, sumber koping tersebut meliputi:
1) Kesehatan fisik: kesehatan merupakan hal yang
penting, karena dalam usaha mengatasi stres individu
dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
2) Keyakinan positif: keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting untuk seseorang tetap
optimis atau yakin.
3) Keterampilan memecahkan masalah: keterampilan ini
meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisis keadaan dan masalah dengan tujuan
untuk menghasilkan tindakan, kemudian
mempertimbangkan cara tindakan untuik mencapai
tujuan dengan menghasilkan rencana yang tepat
23
4) Keterampilan Sosial: keterampilan yang terkait dengan
komunikasi serta bertindak melalui cara yang sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
5) Dukungan sosial: dukungan ini meliputi pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu
yang diberikan keluarga, saudara, teman dan
lingkungan sekitar tempat tinggal.
6) Materi: materi biasanya berkaitan dengan barang,
uang atau layanan.
2.4.3 Jenis Koping
Menurut Lazzarus & Folkman (1995, dalam Jaya, 2015)
ada dua jenis coping yaitu:
2.4.3.1 Emotion-Focused Coping yaitu coping yang
digunakan dalam mengontrol respon emosional
dari masalah yang dihadapi. Koping ini biasanya
dilakukan melalui pendekatan perilaku atau
kognitif. Strategi koping ini biasanya digunakan
ketika seseorang yakin bahwa mereka tidak
mampu untuk merubah lingkungan. Biasanya
strategi koping ini digunakan untuk penghindaran
masalah. Yang termasuk dalam emotion-focused
coping yaitu:
24
1. Seeking emotional support (mencari dukungan
emosional): Untuk mendapatkan kenyamanan
emosional, seseorang mencari dukungan
moral, simpati, pengertian dengan
mengungkapkan perasaannya kepada orang
lain untuk mambangkitkan empati dan mencari
teman untuk bicara.
2. Positive reinterpretation (menginterpretasikan
kembali secara positif): menginterpretasikan
situasi stres dengan pandangan positif dan
berusaha mencari makna positif atau
melibatkan diri pada hal-hal yang religius dalam
menghadapi masalah dengan terfokus pada
pengembangan diri.
3. Acceptance (penerimaan): usaha untuk
menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam
permasalahan yang dihadapi dan berusaha
membuat semua menjadi lebih baik dengan
menerimanya dengan tulus.
4. Seeking meaning (mencari arti): mencoba
mencari segi-segi yang menurutnya penting
dalam hidupnya ketika mengalami kegagalan.
25
ketika mengalami kegagalan individu mencari
pelajaran atau hikmah yang positif.
5. Distancing: usaha untuk tidak terlibat dengan
suatu masalah, seperti menciptakan
pandangan positif dengan menganggap bahwa
tidak ada permasalahan yang dihadapi seperti
menganggap masalah tidak begitu berat.
6. Denial (pengingkaran): Denial (pengingkaran):
penolakan untuk percaya adanya stresor atau
berusaha untuk bertindak seolah-olah stresor
tidak nyata.
7. Self-blame (menyalahkan diri sendiri):
merupakan strategi yang bersifat pasif yang
lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha
untuk keluar dari masalah atau
ketidakberdayaan atas masalah yang dihadapi
dengan menyalahkan diri sendiri tanpa evaluasi
diri secara optimal
8. Wishfull thinking: larut dalam kesedihan yang
mendalam karena ideal diri yang terlalu tinggi
sehingga sulit untuk menerima perubahan pada
dirinya.
26
2.4.3.2 Problem-Focused Coping yaitu koping bertujuan
untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang
menekan atau memperluas sumber yang dimiliki
untuk menutupi tuntutannya. Biasanya digunakan
ketika seseorang yakin bahwa tuntutan atau
sumber yang ada bisa diubah. Yang termasuk
dalam problem-focused coping,
1. Active coping (koping aktif) mencakup
memulai tindakan secara langsung, dalam
meningkatkan usaha seseorang untuk
mengatasi stres.
2. Seeking sosial support for instrumental reason
(membutuhkan dukungan untuk peran):
meliputi mendapatkan nasihat/saran, bantuan
dan informasi ketika berhadapan dengan stres
yang dialami. Tindakan individu yang
diarahkan pada penyelesaian masalah secara
langsung, serta menyusun langkah yang akan
dilakukannya.
3. Planning (merencanakan): mencakup
menghasilkan strategi-strategi tindakan,
memikirkan langkah apa yang mau diambil
dan cara terbaik untuk mengatasi masalah.
27
4. Confrontative coping: melakukan tindakan
secara agresif untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan, dengan ingkat kemarahan
yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
5. Behavioral disengagement (perilaku
ketidakpedulian): acuh tak acuh dengan
keadaan cenderung pasrah tanpa ada usaha
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
dan berdalih pada hal lain seperti makan,
minum, merokok, atau menggunakan obat-
obatan.
2.4.4 Penggolongan Mekanisme Koping
Menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Jaya,
2015), mekanisme koping dapat digolongkan menjadi dua
yaitu :
2.4.4.1 Mekanisme koping Adaptif
Mekanisme koping adaptif merupakan
mekanisme koping yang mendukung pertumbuhan,
fungsu integrasi, belajar dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,
untuk memecahkan masalah dengan cara yang
efektif, teknik relaksasi dan aktivitas konstruktif
yaitu menerima, berhubungan dengan orang lain,
28
melakukan aktivitas sehari-hari dan terpenuhi
kebutuhan fisik.
Menurut Lazarus & Folkman (2006) ada 8
strategi coping adaptif yaitu: Active coping (coping
aktif), seeking emotional support (mencari
dukungan emosional), seeking sosial support for
instrumental reason (membutuhkan dukungan
untuk peran), positive reinterpretation
(menginterpretasikan kembali secara positif),
planning (merencanakan), distancing, acceptance
(penerimaan, seeking meaning (mencari arti).
2.4.4.2 Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping maladaptif adalah
mekanisme coping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan
otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak
makan, bekerja berlebihan, menghindar dan
aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan
melakukan pengelakan terhadap solusi) ataupun
koping tidak efektif yang menyebabkan marah-
marah, menyendiri, merasa tidak berguna, sedih.
29
Menurut Gillen (2006) ada beberapa strategi
koping maladaptif yaitu: Denial (pengingkaran),
behavioral disengagement (perilaku
ketidakpedulian), self-blame (menyalahkan diri-
sendiri), wishfull thinking, confrontative coping.
30
2.5 Kerangka Teori
Lansia: Mengalami kemunduran
kondisi fisik, sosial, dan psikologis
Stroke Non-
Hemoragik
Stroke
Hemoragik
Stroke
Penyakit
Degeneratif
Dampak: Gangguan
komunikasi,
emosional, dan fisik
Emotion Focused Coping
Adaptif
Active Coping.
Seeking Emotional Support.
Seeking Sosial Support For
Instrumental Reason.
Positive Reinterpretation.
Planning
Distancing,
Acceptance
Seeking Meaning
Maldaptif
Denial
Behavioral Disengagement
Self-Blame
Wishfull Thinking,
Confrontative Coping.
Problem Focused Coping
Active Coping
Seeking social support
Planning
Confrontative coping
Behavioral disangagement
Seeking emotional focused
Positive reinterpretation
Acceptance
Seeking meaning
Distancing
Denial
Self-blame
Wishfull thinking
Ket: - - - (garis putus-putus): Fokus penelitian
GAMBAR 2.5 Kerangka Teori