bab ii pembahasan.docx

28
4 lafadz dan suara yang berbentuk dalam ayat-ayat al- Qur’an. Ayat al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al- Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an. Maka populer dikalangan ahli- ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia [ 4 ] Kalam Allah adalah hukum baik langsung. Seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah itu di bidang Tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga. 4 Ibid.,

Upload: risda-raudhatul

Post on 17-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II pembahasan.docx

4

lafadz dan suara yang berbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an

merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat

al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan

petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena

yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk

ayat-ayat Al-Qur’an. Maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa

yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang

mengatur amal perbuatan manusia [4]

Kalam Allah adalah hukum baik langsung. Seperti ayat-ayat hukum dalam

Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam

sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum

dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang

diucapkan Rasulullah itu di bidang Tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari

Allah juga.

Dengan demikian, apa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah teks

ayat-ayat Ahkam dan teks hadis Ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian

ulama, antara lain, Abdul Karim Zaidan [5], secara langsung menafsirkan

pengertian Khitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara

langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara

tidak langsung seperti sunnah Rasulullah, ‘Ijma’ dan dalil-dalil Syara’ lain

yang dijadikan Allah Sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukumnya.

Sunnah Rosulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena

4 Ibid.,5 Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 37

Page 2: BAB II pembahasan.docx

5

merupakan petunjuknya juga sesuai dengan firman Allah dalam surat An-

Nazm ayat 2-3 :

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya)”

Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa Rosulullah tidak mengucapkan

sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian juga dengan

ijma harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah.

Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai

dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan

demikian, khitab Allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil-

dalil hukum yang diakui oleh Syara’, sehingga apa yang dimaksud Khitab

dalam definisi diatas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misalnya

fiirman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat [6]

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan

bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang

demikian itu) dengan tidak menghalalkan ketika berburu ketika kamu sedang

mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut

yang dikehendakinya”.

Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban

memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks

6 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta 1989 Hal. 156

Page 3: BAB II pembahasan.docx

6

ayat atau sunnah rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang

populer disebut dengan ayat-ayat ahkam dan hadis ahkam.

Bila dicermati definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau

hadis-hadis hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam [7] :

a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang

diperintahkan itu sifatnya wajib.

b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang dilarang

itu sifatnya haram

c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan

untuk dilakukan itu sifatnya mandub

d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan

untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.

e. Memberi kebebsan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan,

dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu

sifatnya mubah

f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab

g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat

h. Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang)

i. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal

j. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan Rukhshah

B. Sumber Hukum Yang Disepakati Ulama

1. Al-Qur’an

7 Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 38

Page 4: BAB II pembahasan.docx

7

Menurut bahasa Al-Qur’an berarti “bacaan”, yaitu bentuk masdar dari kata

Qara’a. Adapun pengertian Al-Qur’an , menurut istilah antara lain :

لتواتر با المنقول المعجز وسلم الله صل محمد عل المنزل الله م كال هو القران

وته بتال المتعبد

Artinya :

Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang iturunkan kepada nabi Muhammad

saw yang mengandung nilai mukjizat (sebagai bukti kebenaran kenabian

Muhammad saw) yang ditulis dalam mushaf yang diturunkan secara mutawatir

dan membacanya di nilai sebagai ibadah.

Arti pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu

Allah yang diturunkan kepada anbi Muhammad saw untuk dijadikan peoman

hidup, sumber hukum dan petunjuk bagi umatnya guna mencapai kebahagiaan

dunia dan akhirat.

2. As-sunah

As-sunah menurut bahasa ialah (kebiasaan) السرة atau (jalan/dijalani).

Sedangkan sunnah menurut istilah syar’i ialah :

تقرير او فعل أو قول من م ص الله رسول عن صدر ما هي

“sunah adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw baik berupa

perkataan , perbuatan maupun penetapan pengakuan “

Adapun kedudukan As-sunah sebagai sumber hukum Islam diantaranya :

a. Sunah sebagai penjelas dan merinci ayat-ayat Al-qur’an yang masih

global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam

pelaksanaannya belum ada batasan.

Page 5: BAB II pembahasan.docx

8

b. Sunah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya didalam

Al-Qur’an.

c. Sunah memperkuat ketentuen-ketentuen yeng telah ditetapkan dalam

nash Al-Quran.

3. Ijma’

Ijma’ berarti sepakat , setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah

yang dimaksud dengan ijma’ ialah :

األعصر من عصر فى وفاته بعد سلم و عليه الله صل محمد مجتحيدى ق اتفا

األمور من أمر على

“kesamaan pendapat para mujtahidin umat nabi Muhammad saw, setelah

beliau wafat suatu pada masa tertentu tentang masalah tertentu.

4. Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti memperbandingkan atau mempersamakan

sesuatu dengan yang lainnya dikarnakan adanya persamaan. Seangkan

menurut istilah qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang belum aa

ketentuan hukumnya dalam nash engan mempersamakan sesuatu yang telah

ada status hukumnya dalam nash.

C. Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati Ulama

1. Istihsan

Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut

istilah ahli ushul yang yang dimaksud denagn istihsan ialah berpindahnya

seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas)

kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar) atau dari

Page 6: BAB II pembahasan.docx

9

hukum kully(umum) kepada hukum yang bersifat khusus dan istina’i

(pengecualian) karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.

2. Istishab

Yang dimaksud istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau

ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya

sebelum ada hukum yang mengubahnya.

3. Mushalih Al-Mursalah

Mashalih bentuk jamak dari maslahah yang artinay kemaslahatan,

kepentingan . Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mushalih al-

mursalah kemaslahatan yang terlepas maksudnya yakni penetapan hukum

berdasarkan kepada kemaslahatan yaitu manfaat bagi manusia atau

menolak kemadharatan atas mereka, sedangkan dalam syara’ belum atau

tidak ada ketentuannya.

4. Al – ‘Uruf

Ialah segala sesuatu yang sudah menjadi adat yaitu segala sesuatu yang

sudah dikenal dan dijalankan oleh masyarakat secara turun temurun.

Misalnya, jual-beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan

tidak mengucapkan sighat.

5. Syar’u Man Qablana

Page 7: BAB II pembahasan.docx

10

Ialah syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, lalu

dilanjutkan pada masa Nabi Muhammad saw. misalnya penyembelihan

hewan qurban.

6. Madzhab Shahabi

Ialah fatwa – fatwa sahabat mengenai berbagai masalah setelah Rasulullah

wafat, misalnya pendapat sahabat bahwa pembagian harta warisan untuk

nenek adalah 1/6.

7. Dalalat Al-Iqtiran

Ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang

disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain, misalnya ayat Al-Quran

yang memerintahkan agar menyempurnakan haji dan umrah (Qs. Al-

Baqarah/2:196). Dengan dalil ini menunjukan bahwa hukum umrah sama

dengan haji, yaitu wajib.

D. Pembagian Hukum Syara’

Secara garis besar para ulama Ushul fiqh membagi hukum kepada dua

macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut para

ahli Ushul Fiqh adalah ”ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-nya yang

berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk

perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan,

atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak

berbuat [8]”

8 Ibid..hal 41

Page 8: BAB II pembahasan.docx

11

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah “ketentuan-

ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu

yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi)”

Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat

diketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua

macam hukum tersebut:

a.  Hukum Taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan,

atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf, sedangkan hukum

wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum

taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib

dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu

matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya

seseorang menunaikan shalat dzuhur.

b.  Hukum taklifi dapat berbagai macamnya selalu berada dalam batas

kemampuan seorang mukallaf. Sedangkan hukum Wadh’i sebagiannya

ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas

manusia. Misalnya, seperti dalam contoh diatas tadi. Keadaan tergelincir

matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan

aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena

Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya

waktu shalat dzuhur.

Page 9: BAB II pembahasan.docx

12

a. Hukum Taklifi

Seperti dikemukakan diatas. Istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada

asalnya adalah teks ayat atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum

yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk:

1)  Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang

mengaharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang

memerintahkan untuk melakukan shalat.

2) Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang

menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.

3) Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti

untuk melakukan suatu perbuatan.

4) Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan

suatu perbuatan.

5) Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk

melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.

Pembagian hukum tersebut di atas adalah hukum dilihat sebagai dalil

hukum. Selanjutnya, dalam membicarakan pembagian hukum taklifi ini, seperti

pernah disinggung sebelumnya, istilah hukum digunakan kepada sifat

perbuatan mukallaf. Dari sisi ini hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul

Wahab Khalaf, terbagi kepada lima macam, yaitu : 1) wajib, b) Mandub, c)

Haram, d) makruh, e) mubah. Dasar pembagian tersebut adalah, bahwa

ketentuan Allah dan Rasulnya yang berupa perintah terhadap suatu perbuatan

maka perbuatan itu hukumnya wajib, ketentuan yang berupa anjuran untuk

Page 10: BAB II pembahasan.docx

13

melakukan menimbulkan hukum mandub, suatu larangan menimbulkan hukum

haram, anjuran untuk meninggalkan perbuatan menimbulkan hukum makruh,

dan ketentuan yang memberi kebebasan untuk melakukan dan tidak melakukan

menimbulkan hukum mubah.

As-Syaukani menyebutkan keempat macam hukum wajib, mandub, haram,

makruh disebut sebagai hukum taklifi karena syari’ menuntut para mukallaf

untuk mentaatinya. Sedang mubah disebut hukum Takhyiri karena syari’

memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya atau tidak melakukannya.

Sementara sebab, syarat dan mani’ disebut sebagai hukum Wadh’i karena

ketiganya menjadi tanda penentu ada atau tidak adanya, serta sah atau tidaknya

perbuatan-perbuatan taklifi.

b. Hukum Wadh’i

seperti telah disinggung diatas, hukum Wadh’i adalah ketentuan syari’at

dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, sebagai mani’.

Dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu:

1. Sebab

Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang

kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan

Abdul Karim Zaidan, sebab berarti :

“sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi hukum, dan tidak

adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum ”.

Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib

dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan)

Page 11: BAB II pembahasan.docx

14

bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai

sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada

pemiliknya.

Secara umum, sebab terbagi dua , yaitu sebab yang timbul bukan dari

perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta

mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian,

keadaan dharurah yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang.

Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti

melakukan perjalanan Jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya

tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi

sebab bolehnya melakukan hubungan seksual.

2. Syarat

Menurut bahasa kata Syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya

sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti

yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zeidan, Syarat adalah :

“sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada

siluar dari hakikat sesuatu itu”

Misalnya, Wudu adalah sebagai syarat bagi syahnya shalat dalam arti

adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu

itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara

kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi syahnya akad nikah, namun

kedua orang saksi itu merupakan bagian dari akad nikah. Yang disebut

terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara syarat danrukun.

Page 12: BAB II pembahasan.docx

15

Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain

kepadanya, namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi

suatu ibadah misalnya seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian

dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut, sedangkan rukun adalah bagian

dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu

rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan

shalat.

Syarat ada dua macam , yaitu Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti

haul (genap setahun) yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus

juga menjadi penyempurna ibadah nishab, yang merupakan sebab wajibnya

zakat. Atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya pelaksanaan had

potong tangan, namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang

dicurinya itu diambil dari tempat penyimpanannya yang rapi serta terjaga

secara ketat. Kedua, syarat yang menyempurnakan musabab, seperti wudhu,

menutup aurat dan menghadap kiblat dalam shalat.

3. Mani’

Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara

terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, kata mani’

berarti:

“sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum

atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab”

Sebuah akad misalnya dianggap syah bilaman telah mencukupi syarat-

syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak

Page 13: BAB II pembahasan.docx

16

terdapat padanya suatu penghalang (mani’). Misalnya, akad perkawinan

yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab

bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang

disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan

pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak

suami untuk mewarisi istrinya, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak

ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.

4. Rukhsah dan Azimah

Rukhsah ialah hukum keringanan yang elah disyariatkan oleh Allah swt

kepada orang mukhallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan azimah

ialah hukum-hukum umum yang sejak semula telah disyariatkan oleh Allah

swt dan tidak dikhususkan pada kondisi atau mukallaf tertentu.

5. Benar dan Batal

Perbuatan mukallaf yang dituntut syara’ dan disyariatkan baik berupa sebab

maupun syarat apabila telah dilaksanakan maka syara’ mungkin

menghukuminya benar (shihhah) atau batal (buthlan). Jika suatu perbuatan

sudah sesuai dengan ketentuan syari misalnya telah dipenuhi syarat

rukunnya, maka oleh syara’ perbuatan itu dihukumi benar.

E. Unsur-Unsur Hukum Syara’

1. Mahkum fih

Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungna dengan hukum ا

: ءده ( الما بلعقود أوفوا امنوا ين الذ )1يايها

“wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji” (QS.Al-Maidah:1)

Page 14: BAB II pembahasan.docx

17

Hukum wajib yang diambil dari ayat di atas berhubungan dengan

perbuaatan mukallaf yaitu memenuhi janji. Memenuhi janji itu lalu

dijadikan wajib.

Tuntutan syara’ terhadap perbuatan mukallaf menjadi sah apabila

memenuhi tiga syarat yaitu :

1. Perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf, sehingga ia

dapat menunaikan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan.

2. Harus diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang mempunyai

wewenang menuntut atau dari orang yang harus diikuti hukum-

hukumnya oleh mukallaf.

3. Perbuatna yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin dilakukan

atau ada potensi bagi mukallaf untuk mengerjakan atau menolaknya.

2. Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan

dengan hukum syara’. Dalam syara’ sahnya memberikan beban kepada

mukallaf disyaratkan dua hal :

1. Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan) , yakni

ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al-

Quran dan As-sunah, baik yang langsung maupun melalui perantaraan.

Sebab orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil taklif tidak akan

dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan tidak memahami

maksudnya.

Page 15: BAB II pembahasan.docx

18

2. Mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang ddibebankan

kepadanya. Pengertian ahli secara etimologis ialah mempunyai

kelayakan untuk menerima beban. Menurut ulama ushul, ahli (layak)

itu dibagi kepada dua bagian yaitu ahli wajib dan ahli melaksanakan.

3. Awaridhul Ahliyah

Awaridhul awaliyah artinya penghalang-penghalang keahlian, yaitu

penghalang keahlian seseorang untuk melaksanakan ketentuan syar’i

sehingga seorang manusia tiak mengerjakan ketentuan atau mendapat

keringanan. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa manusia itu

mempunyai keahlian, tetapi pada saat tertentu keahlian itu tidak ada atau

berkurang atau dengan kata lain terdapat adanya penghalang-penghalang

keahlian. Penghalang tersebut adalah :

1. Penghalang-penghalang yang datang yang dapat menghalangi sama

sekali ahyatul adanya.

2. Penghalang yang datang kepada manusia yang tidak menghalangi

keahlian sama sekali yaitu sifat kurang akal.sifat yang kurang akalnya

ini sebagian perjanjianan pengelolaanya dapat dianggap sah namun

sebagiab yang lainnya dianggap tidak sah misalnya yang terjadi pada

anak laki-laki remaja.

3. Penghlang yang datang kepada manusia tetapi tidak mempengaruhi

keahlian , tidak menghilangkan dan tidak mengurangi , akan tetapi

merubah sebahagian hukum-hukum , karna adanya anggapan dan

Page 16: BAB II pembahasan.docx

19

keuntungan yang menghendaki perubahan ini. Misalnya ketidaktahuan

dan lupa.

F. Jumlah Ayat-Ayat dan Hadist-Hadist Hukum

Dalam buku Sejarah dan Ilmu Tafsir, karangan Prof. Dr. TM. Hasbiy Ash-

Shiddiqie , Ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua

bagian :

a. Hukum-hukum ibadat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk

mengatur perhubungan hamba dengan Tuhannya. Ibadat ini terbagi kepada :

(1)   Ibadah badaniyah, seperti shalat dan shaum.

(2)   Ibadah maliyah, ijtimaiyah, yaitu zakat dan sedekah.

(3)   Ibadah ruhiyah, badaniyah, yaitu haji, jihad, dan nadzar.

b. Hukum-hukum muamalat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk

m9enyusun dan mengatur perhubungan manusia satu sama lainnya, serta

perikatan antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan

masyarakat, atau perseorangan dengan negara. Muamalat dibagi kepada:

(1) Hukum-hukum ahwal syakhsyiyah, yaitu : hukum-hukum yang rapat

perhubungannya dengan pribadi manusia sendiri sejak lahir hingga matinya,

yaitu kawin, cerai, iddah, hubungan kekeluargaan, penyusuan, nafkah,

wasiat dan pusaka.

(2) Hukum-hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan

dengan perseorangan dan juga masyarakat. Seperti jual-beli, sewa-

menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan.

9

Page 17: BAB II pembahasan.docx

20

(3) Hukum-hukum pidana, yaitu : hukum-hukum yang disyari’atkan untuk

memelihara hidup manusia, kehormatan dan harta. Hukum-hukum ini

diterangkan secara terperinci dalam Al-Qur’an. Perbuatan manusia yang

diterangkan Al-Qur’an, ialah : pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan

tidak disengaja, mencuri, merampok, zina, dan qodzaf.

(4) Hukum-hukum ketatanegaraan, umum dan khusus. Masuk ke dalamnya

hukum-hukum yang disyari’atkan untuk jihad, aturan-aturan perang,

perhubungan antara ummat Islam dengan ummat lain, hukum-hukum

tawanan dan rampasan perang.

(5) Hukum-hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan

kesaksian dan sumpah.

(6) Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak orang miskin pada harta

orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang

kaya, antara negara dengan perorangan.

(7) Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan

pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan

antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak

masyarakat.

Jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit, bahkan tidak

mencapai 1/10 dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Diperkirakan jumlah ayat

hukum lebih kurang 250 ayat, ada pula yang menyatakan 200 ayat seperti yang

dikemukakan oleh Ahmad Amin, dan 400 ayat dalam Ahkam al-Quran Ibn al-

Arabi. Sedangkan menurut penghitungan Abdul Wahhab Khallaf, jumlahnya

Page 18: BAB II pembahasan.docx

21

sekitar 228 ayat. Bahkan jika pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia

mengatakan ayat hukum di dalam Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat. Lepas dari

perbedaan jumlah ayat hukum, apakah 150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu,

namun yang jelas ada semacam kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat

hukum tidak lebih dari 500 ayat.

Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang

berhubungan dengan masing-masing tersebut berjumlah :

a. Yang berhubungan dengan ibadah, sebanyak 140 Ayat.

b. Yang mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.

c. Yang berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.

d. Yang berhubungan dengan perdata, sebanyak 70 Ayat.

e. Yang berhubungan dengan hubungan Islam dan bukan Islam, sebanyak

25 Ayat.

f. Yang berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.

g. Yang mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.

h. Yang mengenai hubungan kaya dan miskin, sebanyak 10 Ayat.