bab ii pbl

15
BAB II LANDASAN TEORI I. Hubungan Interpersonal Berdasarkan teori dari Coleman dan Hammen, Jalaludin Rakhmat (1996: 120-124) menyebutkan ada empat buahh teori atau model hubungan interpersonal, yaitu: 1. Model pertukaran sosial, 2. Model peranan, 3. Model permainan , 4. Model interaksional. 1. Model pertukaran sosial Model ini memandang bahwa hubungan interpersonal menyerupai transaksi dagang. Hubungan interpersonal (antar manusia) itu mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan atau malah merugi. Jika merasa memperoleh keuntungan maka hubungan interpersonal berjalan mulus, tetapi jika merasa rugi hubungan itu akan terganggu, putus atau bahkan berubah menjadi permusuhan. Jalaludin Rakhmat (1996: 121) menjelaskan ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari hubungan. Dalam perspektif sosial ini, seseorang menajlin hubungan intepersonal dengan orang lain, maka akan selalu melakukan tentang hasil atau laba dari sebuah hubungan. 2. Model Peranan Jalaludin Rakhmat (1996: 122) mengatakan, apabila model pertukaran sosial memandang interpersonal sebagai transaksi dagang, maka peranan melihatnya sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang harus memainkan peranan sesuai dengan “skenario” yang dibuat oleh masyarakat. Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahkan skenario, maka ia akan dicemooh. Asumsi peranan mengatakan bahwa hubungan interpersonal akan berjalan harmonis mencapai kadar hubungan yang baik ditandai dengan ekspedisi peranan, tuntutan peranan dan

Upload: inez-hanindra-halim

Post on 10-Dec-2015

227 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

PBL

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PBL

BAB II

LANDASAN TEORI

I. Hubungan Interpersonal

Berdasarkan teori dari Coleman dan Hammen, Jalaludin Rakhmat (1996: 120-124) menyebutkan ada empat buahh teori atau model hubungan interpersonal, yaitu: 1. Model pertukaran sosial, 2. Model peranan, 3. Model permainan , 4. Model interaksional.

1. Model pertukaran sosial

Model ini memandang bahwa hubungan interpersonal menyerupai transaksi dagang. Hubungan interpersonal (antar manusia) itu mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan atau malah merugi. Jika merasa memperoleh keuntungan maka hubungan interpersonal berjalan mulus, tetapi jika merasa rugi hubungan itu akan terganggu, putus atau bahkan berubah menjadi permusuhan.

Jalaludin Rakhmat (1996: 121) menjelaskan ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari hubungan. Dalam perspektif sosial ini, seseorang menajlin hubungan intepersonal dengan orang lain, maka akan selalu melakukan tentang hasil atau laba dari sebuah hubungan.

2. Model Peranan

Jalaludin Rakhmat (1996: 122) mengatakan, apabila model pertukaran sosial memandang interpersonal sebagai transaksi dagang, maka peranan melihatnya sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang harus memainkan peranan sesuai dengan “skenario” yang dibuat oleh masyarakat. Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahkan skenario, maka ia akan dicemooh.

Asumsi peranan mengatakan bahwa hubungan interpersonal akan berjalan harmonis mencapai kadar hubungan yang baik ditandai dengan ekspedisi peranan, tuntutan peranan dan terhindar dari konflik peranan. Ekspedisi peranan atau peranan yang diharapkan, artinya hubungan interpersonal berjalan baik apabila masing-masing individu dapat memainkan peranan sebagaimana yang diharapkan.

Tuntutan peranan adalah keadaan yang memaksa individu memainkan peranan tertentu yang sebenarnya tidak di harapkan. Dalam hubungan interpersonal, kadang-kadang seseorang dipaksa untuk memainkan peranan tertentu, meskipun tidak diharapkan. Apabila tuntutan peranan tersebut dapat dilaksanakan, hubungan interpersonal masih akan bisa tetap dijaga dengan baik. Konflik peranan terjadi ketika individu tidak sanggup mempertemukan berbagai tuntutan perana yang kontradikitif.

Page 2: BAB II PBL

3. Model permainan

Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu dibagi tiga, yaitu anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Suasan rumah tangga, dan hubungan antarmanusia dalam masyarakat juga ditentukan oleh bagaimana kesesuaian orang dewasa dan orang tua dengan perilaku yang semestinya ditunjukan oleh sifat yang sudah kodratnya.

4.Model Interaksional

Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem dengan beberapa subsistem atau komponen yang saling bergantung dan bertindak bersama suatu kesatuan untuk mencapai tujuan tertentu. Johnson, Kast & RosenZweig (1963: 81-82) menjelaskan ada tiga kompomem sistem, yaitu input, proses (mengolah),output. Input merupakan komponen penggerak, proses (mengolah) merupakan suatu sistem operasi, output menggambarkan hasil-hasil kerja sistem.

Proses:

Interaksi Interpersonal

OUTPUT:

Pengalaman, kesenangan, dan lain-

lain

INPUT:

Harapan, kepentingan dan lain-lain

Page 3: BAB II PBL

II. Komunikasi Interpersonal

Secara konsektual, komunikasi interpersonal digambarkan sebagai suatu komunikasi atara dua individu atau sedikit individu, yang mana saling berinteraksi, saling memberikan umpan balik satu sama lain. Namun, memberikan definisi konsektual saja tidak cukup untuk menggambarkan komunikasi interpersonal karena setiap interaksi antara satu individu dengan individu lain berbeda-beda.

Menurut Arni Muhammad (2005) menyatakan “komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya.”

Mulyana (2000) menyatakan bahwa “komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami-istri, dua sejawat, dua sahabat, guru-murid dan sebagainya.”

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian informasi, pikiran dan sikap tertentu antara dua orang atau lebih yang terjadi pesan baik sebagai komunikan maupun komunikator dengan tujuan untuk mencapao saling pengertian, mengenai masalah yang akan dibicarkan yang akhirnya diharapkan terjadi perubahan perilaku.

Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal

Dari pengertian komunikasi interpersonal yang telah diuraikan diatas, dapat diindentifikasi beberapa komponen yang harus ada dalam komunikasi interpersonal. Menurut Suranto A.W (20011) komponen –komponen komunikasi interpersonal yaitu:

a) Sumber/komunikatorMerupakan hasil orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasuonal dengan orang lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain. Dalam konteks komunikasiinterpersonal komunikator adalah individu yangmenciptakan, memformulasikan, dan menyampaikanpesan.

2) EncodingEncoding adalah suatu aktifitas internal pada komunikatordalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbolsimbol verbal dan non verbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengankarakteristik komunikan.

Page 4: BAB II PBL

3) PesanMerupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat simbol-simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili keadaan khususkomunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan diinterpretasi oleh komunikan.

4) SaluranMerupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke oranglain secara umum. Dalam konteks komunikasi interpersonal, penggunaan saluran atau media semata-mata karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara tatap muka.

5) Penerima/ komunikanAdalah seseorang yang menerima, memahami, dan menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi interpersonal, penerima bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah seorang komunikator akan dapat mengetahui keefektifan komunikasi yang telah dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara bersama oleh kedua belah pihak yakni komunikator dan komunikan.

6) DecodingDecoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima. Melaui indera, penerima mendapatkan macammacam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam pengalamanpengalaman yang mengandung makna. Secara bertahap dimulai dari proses sensasi, yaitu proses di mana inderamenangkap stimuli.

7) ResponYakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral, maupun negatif.Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki komunikator. Netral berarti respon itu tidak menerima ataupun menolak keinginan komunikator. Dikatakanrespon negatif apabila tanggapan yang diberikan bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator.

8) Gangguan (noise)Gangguan atau noise atau barier beraneka ragam, untuk itu harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi di dalam komponen-komponen manapun dari sistemkomunikasi. Noise merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk yang bersifat fisik dan psikis.

Page 5: BAB II PBL

9) Konteks komunikasiKomunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu, dan nilai. Konteks ruang menunjuk pada lingkungan konkrit dannyata tempat terjadinya komunikasi, seperti ruangan, halaman dan jalanan. Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan, misalnya:pagi, siang, sore, malam. Konteks nilai, meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi suasana komuniasi seperti: adat istiadat, situasi rumah, norma pergaulan, etika, tata krama dan sebagainya.

Komunikasi interpersonal merupakan suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Orang yang saling berkomunikasi tersebut adalah sumber dan penerima. Sumber melakukan encoding untuk menciptakan dan memformulasikan menggunakan saluran. Penerima melakukan decoding untuk memahami pesan, dan selanjutnya menyampaikan respon atau umpan balik. Tidak dapat dihindarkan bahwa proses komunikasi senantiasa terkait dengan konteks tertentu, misalnya konteks waktu. Hambatan dapat terjadi pada sumber, encoding, pesan, saluran, decoding, maupun pada diri penerima.

d. Tujuan Komunikasi Interpersonal

Arni Muhammad (2005:168) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1) Menemukan Diri Sendiri

Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah menemukan personal atau pribadi. Bila kita terlibat dalam pertemuan interpersonal dengan orang lain kita belajar banyak sekali tentang diri kita maupun orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara tentang apa yang kita sukai, atau mengenai diri kita. Adalah sangat menarik dan mengasyikkan bila berdiskusi mengenai perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita sendiri. Dengan membicarakan diri kita dengan orang lain, kita memberikan sumber balikan yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita.

2) Menemukan Dunia Luar

Hanya komunikasi interpersonal menjadikan kita dapat memahami lebih banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi dengan kita. . Banyak informasi yang kita ketahui datang dari komunikasi interpersonal, meskipun banyak jumlah informasi yang datang kepada kita dari media massa hal itu seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajari atau didalami melalui interaksi interpersonal.

Page 6: BAB II PBL

3) Membentuk Dan Menjaga Hubungan Yang Penuh Arti

Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain. Banyak dari waktu kita pergunakan dalam komunikasi interpersonal diabadikan untuk membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain.

4) Berubah Sikap Dan Tingkah Laku

Banyak waktu kita pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku orang lain dengan pertemuan interpersonal. Kita boleh menginginkan mereka memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang baru, membeli barang tertentu, melihat film, menulis membaca buku, memasuki bidang tertentu dan percaya bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kita banyak menggunakan waktu waktu terlibat dalam posisi interpersonal.

5) Untuk Bermain Dan Kesenangan

Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah mencari kesenangan. Berbicara dengan teman mengenai aktivitas kita pada waktu akhir pesan, berdiskusi mengenai olahraga, menceritakan cerita dan cerita lucu pada umumnya hal itu adalah merupakan pembicaraan yang untuk menghabiskan waktu. Dengan melakukan komunikasi interpersonal semacam itu dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan rileks dari semua keseriusan di lingkungan kita.

6) Untuk Membantu

Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakkan komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan kliennya. Kita semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi interpersonal kita sehari-hari. Kita berkonsultasi dengan seorang teman yang putus cinta, berkonsultasi dengan mahasiswa tentang mata kuliah yang sebaiknya diambil dan lain sebagainya.Dapat disimpulkan bahwa ketika melakukan komunikas interpersonal, setiap individu dapat mempunyai tujuan yang berbedabeda, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

III. Impression Management

Kesan pertama atau first impression yang baik merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Cara kita berbicara dan memilih pemakaian kata, cara kita bersikap, kepercayaan diri kita serta perilaku kita merupakan sebagian besar faktor yang dapat menciptakan kesan pertama.

Sebelumnya mari kita melihat pemaparan teori Proses Pembentukan Kesan oleh Jalaludin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi)

1. Stereotyping

Ketika seseorang menghadapi sosok-sosok dengan beraneka ragam perilaku, maka seseorang tersebut akan mengkategorikan mereka pada konsep-konsep tertentu; cerdas, tampan, bodoh, cantik, berwibawa, dll. Dengan begitu seseorang ini lebih mudah

Page 7: BAB II PBL

menyederhanakan persepsi yang lahir dari prilaku Orang lain yang menjadi objek penilaiannya.

Menurut Jalaludin Rahmat, dalam psikologi kognitif pengalaman-pengalaman baru akan dimasukkan kedalam laci kategori yang ada dalam memorinya, berdasarkan kesamaan dengan pengalaman indra masa lalu. Sehingga dengan cepat seseorang tersebut dapat meramalkan dan menyimpulkan stimulus yang baru baginya. Contoh kasus;

Joko, 18 tahun, berasal dari daerah, diterima di fakultas kedokteran di Jakarta. Orang tuanya sangat bangga karena keinginan anak tunggalnya menjadi dokter segera tercapai. Karena ada fasilitas asrama, orang tua menganjurkan Joko untuk tinggal diasrama agar bisa konsentasi belajar. Semenjak kecil Joko sangat dimanja oleh orang tuanya, semua kebutuhannya selalu dipenuhi oleh keluarganya. Saat diasrama Joko harus tinggal sekamar dengan tiga orang lainnya yang berasal dari berbagai daerah. Dengan kondusi ini Joko merasa tidak nyaman dan sering tidak tinggal diasrama, jarang kuliah, serta jarang mengerjakan tugas. Sering menyalahkan teman, mengatur sesuai kemauannya dan jarang berbagi rasa. Joko merasa bingung bagaimana cara bergaul dengan teman-temannya

Maka, kesan pertama terbentuk. Kesimpulan sementara kita terhadap Joko adalah Joko seorang anak tunggal yang selalu dimanja dan pada saat dia diasrama, Joko bingung cara bergaul dengan temannya dikarenakan Joko yang tidak nyaman, menyuruh temannya semuanya. Tidak heran memang karena dirumah dia terbiasa semua keinginan dia ada tapi diasrama dia tidak bisa berbuat seenaknya.

Stereotyping menjelaskan 2 hal. Pertama, pembentukan “kesan pertama” saya terhadap Joko . kesan itulah yang akan menentukan pengkategorian dalam otak saya. Kedua, stimuli yang saya senangi atau tidak senangi telah mendapat kategori tertentu yang positif ataupun negatif dan ia akan memasukkan kategori tersebut pada memori kategori yang positif atau negatif pula. Tempat semua sifat-sifat yang positif atau negatif. Setelah itu barulah saya menyimpulkan Joko adalah anak yang cerdas dalam akademik karena dia berhasil lulus tes menjadi mahasiswa FK tapi dia harus di dekati secara baik dengan komunikasi efektif dan simpatik agar Joko mau merubah sikapnya menjadi yang lebih baik.

2. Implisit Personality Theory

Implisit Personality theory adalah sebuah konsepsi yang tak butuh diungkapkan. Karena dalam prosesnya ia berlangsung secara alamiah, berdasarkan pengalamannya selama ada dalam kehidupan.

3. Atribusi

Atribusi adalah proses menyimpulakan motif, maksud dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilaku yang tampak. (Baron & Byrne, 1979:56)

Selanjutnya kita akan bertanya “Ada apa dibalik itu semua?”

Page 8: BAB II PBL

Pemaparan tentang teori “Proses Pembentukan Kesan” Jalalludin Rakhmat diatas setidaknya membuktikan bahwa Kesan pertama itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan Kesan dalam diri seseorang untuk orang lain.

Jadi hal ini sudah sangat cukup untuk membuktikan bagaimana pentingnya kesan pertama itu sebagai sebuah senjata dalam melakukan komunikasi dengan orang lain. Gerak tubuh dan kepekaan, Penampilan, Raut wajah, kontak mata, fokus pada masalah dan cara penyampaian yang tepat situasi dan kondisi merupakan beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh seorang Public Relations.

IV. Konsep Diri

Elizabeth B. Hurlock (1978) mengatakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi terdiri atas “Konsep Diri (self-concept)” sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan “Sifat-sifat (traits)” sebagai struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon.

1. Konsep Diri (Self-concept)

Konsep Diri (Self-concept) ini dapat diartikan sebagai (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas penyikapan individu tentang dirinya sendiri; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.

Konsep Diri (Self-concept) ini memiliki tiga komponen, yaitu:

1. perceptual atau physical self-concept: Citra seseotang tentang penampilan dirinya (kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan, keindahan, atau kemolekan tubuhnya.

2. Conceptual atau psychological self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self-confidence, independence, dan courage.

3. Attitudinal: menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa, komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek: keyakinan, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of life hidupnya.

Page 9: BAB II PBL

Dilihat dari jenisnya, Konsep Diri (Self-concept) ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

The Basic Self-concept. Jane menyebutnya “real-self”, yaitu konsep seseorang tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.

The Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki “self-concept” yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. “self-concept” ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang lalu.

The Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya “naughty” (nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal.

Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru, dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.

The Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang sudah masuk usia dewasa).

Perkembangan Konsep Diri (Self-concept) dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tertera pada gambar berikut ini.

Kepribadian Individu - Elizabeth B. Hurlock2. Sifat-sifat (Traits)

Sifat-sifat (Traits) ini berfungsi untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap, dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa, dan bertindak. Sementara konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan kapasitas-kapasitas psikologis dan prakarsa-prakarsa kegiatan.

Sifat-sifat (Traits) dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Dapat diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.

Page 10: BAB II PBL

Deskripsi dan definisi Sifat-sifat (Traits) di atas menggambarkan bahwa Sifat-sifat (Traits) merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi dan (b) mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.

Setiap Sifat-sifat (Traits) mempunyai tiga karakteristik: (a) Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness, yaitu bahwa trait itu ada yang disenangi (liked) dan ada yang tidak disenangi (disliked), sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan atau ketidakharmonisan, kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits tersebut. Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih sayang, peduli, dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti: egois, tidak sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang terhadap traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency, artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara ajeg.

Sama halnya dengan “Konsep Diri (Self-concept)”, “Sifat-sifat (Traits)” pun dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh orang tua, dan (b) imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya.

Beberapa trait dipelajari secara “trial dan error”, artinya belajar anak lebih bersifat kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut.

Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti “unjuk rasa” sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan atau menuntut kenaikan gaji kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan aksi protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk mengintimidasi para pengambil kebijakan.

Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, disiplin, tanggung jawab, dan sikap apresiatif.