bab ii lembaga bimbingan belajar melengkapi...

26
12 BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI PENDIDIKAN FORMAL Bab II merupakan tinjauan pustaka. Bab ini terbagi-bagi dalam beberapa sub-bab. Dalam bab ini penulis menguraikan secara lebih terperinci buku-buku rujukan dan artikel-artikel mengenai materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut diantaranya konsep dasar pendidikan nonformal, sejarah perkembangan pendidikan nonformal, dan upaya pencerdasan bangsa dan pengembangan kewirausahaan. A. Konsep Dasar Pendidikan Nonformal Untuk buku-buku rujukan yang membahas konsep-konsep dasar pendidikan luar sekolah atau nonformal yang meliputi pengertian pendidikan nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat pendidikan nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, penilaian pendidikan nonformal, dan kaitan bimbingan belajar dengan pendidkan nonformal, diantaranya: Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah” karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca untuk memahami konsep-konsep dasar mengenai pendidikan luar sekolah atau nonformal. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab. Salah satunya

Upload: hakhue

Post on 14-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

12

BAB II

LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI

PENDIDIKAN FORMAL

Bab II merupakan tinjauan pustaka. Bab ini terbagi-bagi dalam beberapa

sub-bab. Dalam bab ini penulis menguraikan secara lebih terperinci buku-buku

rujukan dan artikel-artikel mengenai materi-materi yang berhubungan dengan

permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

diantaranya konsep dasar pendidikan nonformal, sejarah perkembangan

pendidikan nonformal, dan upaya pencerdasan bangsa dan pengembangan

kewirausahaan.

A. Konsep Dasar Pendidikan Nonformal

Untuk buku-buku rujukan yang membahas konsep-konsep dasar

pendidikan luar sekolah atau nonformal yang meliputi pengertian pendidikan

nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri pendidikan

nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat pendidikan

nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, penilaian pendidikan nonformal,

dan kaitan bimbingan belajar dengan pendidkan nonformal, diantaranya:

Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah”

karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca

untuk memahami konsep-konsep dasar mengenai pendidikan luar sekolah atau

nonformal. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab. Salah satunya

Page 2: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

13

adalah bab mengenai pendidikan luar sekolah. Dalam bab tersebut, dibahas secara

definitif dan terperinci mengenai pengertian pendidikan luar sekolah atau

nonformal, ciri-ciri pendidikan nonformal, dan satuan/wadah kegiatan pendidikan

nonformal. Upaya ini memudahkan pembaca dan penulis untuk mengidentifikasi

secara jelas mengenai apa itu pendidikan nonformal dan apa saja konsep yang

berhubungan dengan pendidikan nonformal. Buku tersebut memberikan

kontribusi terhadap penelitian ini yaitu dalam menjelaskan konsep dasar

pendidikan nonformal.

Bimbingan belajar merupakan bentuk satuan pendidikan nonformal.

Pengertian dari pendidikan nonformal seperti yang dijelaskan pada Komunikasi

Pembaruan Nasional Pendidikan dalam Joesoef (2004: 50), yaitu:

“Setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya”. Bimbingan belajar juga merupakan bentuk satuan pendidikan nonformal

yang memiliki beberapa ciri khusus. Ciri-ciri pendidikan nonformal seperti

dijelaskan dalam Joesoef (2004: 72-73), yaitu:

1. Diselenggarakan oleh pemerintah dan atau pihak swasta.

2. Pada umumnya tidak dibagi atas jenjang.

3. Waktu penyampaian diprogram lebih pendek.

4. Usia siswa di sesuatu kursus tidak perlu sama.

Page 3: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

14

5. Para siswa umumnya berorientasi studi jangka pendek, praktis, agar segera

dapat menerapkan hasil pendidikannya.

6. Materi mata pelajaran pada umumnya lebih banyak bersifat praktis dan

khusus.

7. Merupakan respon daripada kebutuhan khusus yang mendesak.

8. Credentials (ijazah, dan sebagainya) umumnya kurang memegang peranan

penting terutama bagi penerimaan siswa.

Menurut Joesoef (2004: 63), terdapat banyak satuan/wadah kegiatan

pendidikan nonformal ada tiga salah satunya yaitu bimbingan belajar. Bimbingan

belajar adalah suatu lembaga kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan dalam

jangka waktu tertentu. Bimbingan belajar tetap memenuhi unsur belajar mengajar

seperti warga belajar, sumber belajar, program belajar, tempat belajar, dan

fasilitas belajar. Sistem pengajaran dapat berupa ceramah, diskusi, latihan,

praktek, dan penugasan. Dan pada akhir kegiatan bimbingan belajar ada evaluasi

untuk menentukan keberhasilan.

Menurut penulis, buku yang pertama cukup informatif untuk menjelaskan

mengenai konsep dasar pendidikan nonformal. Namun, pengarangnya tidak

memberikan penjelasan yang definitif dan terperinci mengenai persamaan antara

pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Pengarangnya menjelaskan

bahwa pendikan nonformal dan informal sama dengan pendidikan luar sekolah.

Ketidakjelasan ini membuat penulis sedikit kesulitan dalam hal menentukan

apakah pendidikan luar sekolah itu sama dengan pendidikan nonformal atau tidak.

Page 4: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

15

Sama halnya dengan buku kedua yang berjudul “Filsafat Pendidikan

Nonformal” karya Oong Komar. Dalam buku tersebut, Oong Komar menjelaskan

secara definitif dan terperinci mengenai konsep dasar pendidikan nonformal.

Pengarangnya membagi buku tersebut ke dalam tiga bagian. Salah satunya adalah

bagian ketiga yang terdiri dari enam bab. Beberapa bab dari bab-bab tersebut

berisi pembahasan mengenai konsep dasar pendidikan nonformal yaitu pengertian

pendidikan nonformal, tujuan pokok dan fungsi pendidikan nonformal, program

pendidikan nonformal, dan satuan pendidikan nonformal.

Menurut Komar (2006: 216), definisi operasional Pendidikan Nonformal

dalam bentuk satuan bimbingan belajar adalah usaha sadar untuk mengembangkan

diri melalui kegiatan pengajaran dan pelatihan yang berlangsung di luar satuan/

jalur kegiatan pendidikan sekolah (TK, SD, SMP, SLTA dan PT), baik yang

dilembagakan maupun tidak, baik peningkatan kemampuan kerja dan mengikuti

kemajuan zaman.

Hoxeng (1973) dan Srinivasan (1977) dalam Komar (2006: 236)

mengklasifikasikan program pendidikan nonformal atas dasar pendekatan

pembelajaran yang digunakan, yakni: (a) pembelajaran yang memusatkan pada

bahan belajar, (b) pembelajaran yang memusatkan pada pemecahan masalah, (c)

pembelajaran yang memusatkan pada perubahan keadaan masyarakat, dan (d)

pembelajaran yang memusatkan pada kreativitas perencanaan dan pengembangan

sumber daya manusia. Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa bimbingan belajar

merupakan satuan pendidikan nonformal yang programnya didasari atas

pendekatan pembelajaran yang memusatkan pada bahan belajar.

Page 5: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

16

Menurut Pasal 7, SK Mendikbud Nomor: 015a/U/1981 dalam Komar

(2006: 238-239), bimbingan belajar termasuk ke dalam rumpun kursus khusus.

Berbeda dengan buku yang pertama, buku yang kedua berisi pembahasan

yang lebih definitif dan terperinci karena banyak mengutip dari banyak ahli baik

dari dalam maupun luar negeri serta lebih jelas dibandingkan dengan buku yang

pertama karena pengarangnya menjelaskan persamaan antara konsep pendidikan

luar sekolah dengan pendidikan nonformal sehingga tidak terjadi ketidakjelasan.

Namun, pengarangnya tidak menjelaskan perbedaan antara pendidikan nonformal

dengan pendidikan-pendidikan yang lainnya (pendidikan formal dan pendidikan

informal) sehingga penulis tidak bisa memahami perbedaan pendidikan formal,

pendidikan nonformal dengan pendidikan informal secara jelas.

Buku yang ketiga berjudul “Pedoman Pendidikan Luar Sekolah” karya W.

P. Napitupulu. Dalam buku tersebut, W. P. Napitupulu membahas mengenai

konsep dasar pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi bukunya ke dalam

dua bab. Dalam bab yang kedua berisi pembahasan mengenai peraturan

pemerintah Republik Indonesia tentang pendidikan luar sekolah atau pendidikan

nonformal.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun

1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB I Pasal 1 ayat (1) dan

(4) dalam Napitupulu (1992: 37):

1. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan luar sekolah adalah pendidikan

yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak.

Page 6: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

17

4. Bimbingan belajar adalah satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas

sekumpulan warga masyarakat yang memberikan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap mental tertentu bagi warga belajar.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun

1991 tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB II Pasal 2 dalam

Napitupulu (1992: 38), penyelenggaraan bimbingan belajar sebagai satuan

pendidikan nonformal bertujuan:

1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini

mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu

kehidupannya;

2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan

sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari

nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan / atau jenjang pendidikan yang

lebih tinggi; dan

3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam

jalur pendidikan sekolah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991

tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB IX Pasal 14 ayat (1) dalam

Napitupulu (1992: 41), bentuk satuan pendidikan nonformal, yaitu:

1. Bimbingan belajar diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan

bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau

melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Page 7: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

18

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991

tentang Pendidikan Luar sekolah (Nonformal) BAB IX Pasal 20 ayat (1) dan (2)

dalam Napitupulu (1992: 43), penilaian/evaluasi dari bimbingan belajar sebagai

satuan pendidikan nonformal, diantaranya:

1. Terhadap hasil belajar warga belajar dapat diadakan penilaian yang dapat

dinyatakan dengan surat keterangan lulus, ijasah, atau sertifikat.

2. Terhadap satuan pendidikan yang memerlukan pengesahan dari

Pemerintah diadakan penilaian.

Ada hal yang menurut penulis merupakan nilai tambah dalam buku

tersebut yaitu berisi tentang status hukum dari keberadaan pendidikan nonformal

itu sendiri di Indonesia. Dalam buku tersebut, dinyatakan bahwa perencanaan,

pendirian, dan pelaksanaan dari bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan

nonformal di Indonesia telah disahkan secara legal menurut undang-undang yakni

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991. Jadi, dalam buku tersebut penulis

dapat mengetahui status hukum dari bimbingan belajar.

Hal ini sejalan dengan pendapat S. Joesoef dalam buku yang pertama. S.

Joesoef juga mencantumkan peraturan-peraturan yang merupakan pedoman dari

pendidikan nonformal yaitu berdasarkan Pembukaan dan UUD 1945, Garis-garis

Besar Haluan Negara, dan Pelita, sehingga penulis dapat lebih memahami tentang

status hukum dari pendidikan nonformal. Namun, menurut penulis buku yang

ketiga merupakan buku yang paling tidak lengkap dan paling sedikit memberikan

kontribusi untuk penelitian dibandingkan buku-buku yang lainnya karena sedikit

membahas mengenai konsep dasar pendidikan nonformal.

Page 8: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

19

Dalam buku yang keempat yang berjudul “Pendidikan Nonformal:

Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas”

karya Djudju Sudjana, menurut penulis merupakan buku yang paling lengkap dan

paling banyak memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan

buku-buku yang lainnya. Djudju Sudjana membagi bukunya ke dalam tujuh bab.

Salah satu dari bab tersebut yaitu bab 1 membahas secara lebih definitif dan

terperinci mengenai konsep dasar pendidikan nonformal, seperti: pengertian

pendidikan nonformal, tujuan dan fungsi pendidikan nonformal, ciri-ciri

pendidikan nonformal, satuan/wadah kegiatan pendidikan nonformal, sifat-sifat

pendidikan nonformal, syarat-syarat pendidikan nonformal, dan lain-lain.

Menurut Sudjana (2004: 22) bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan

nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem

persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian

penting penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk

melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.

Definisi yang diusulkan oleh Coombs dan teman sekerjanya telah diterima

secara umum. Mereka mendefinisikan bimbingan belajar sebagai salah satu

bentuk satuan pendidikan nonformal sebagai berikut:

“Suatu aktivitas pendidikan yang diatur di luar sistem pendidikan formal baik yang berjalan tersendiri ataupun sebagai suatu bagian yang penting dalam aktivitas yang lebih luas yang ditujukan untuk melayani sasaran didik yang dikenal dengan tujuan-tujuan pendidikan.”

Page 9: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

20

Bimbingan belajar sebagai satuan pendidikan nonformal (luar sekolah)

memiliki ciri-ciri tertentu yang hal ini dikemukakan oleh Sudjana (2004: 29-32)

yaitu antara lain:

1. Dilihat dari tujuan, bimbingan belajar bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan

masa depan

2. Dilihat dari waktu, pelaksanaan bimbingan belajar relatif singkat dan

tergantung dari kebutuhan warga belajar

3. Dilihat dari proses belajar mengajar, yang mana proses belajar dalam

bimbingan belajar dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga serta

struktur program yang sifatnya fleksibel

4. Dilihat dari isi program. Dalam hal ini kurikulum yang beragam dan

berpusat pada kepentingan peserta didik dengan mengutamakan aplikasi

5. Dilihat dari pengendalian program, yang mana dilakukan oleh pelaksana

program dan peserta didik

Sehubungan dengan pembahasan di atas, lembaga bimbingan belajar baik

Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri, maupun Sony Sugema College

(SSC) merupakan sebuah lembaga/satuan pendidikan nonformal yang memiliki

ciri-ciri sebagai berikut: (a) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu

yakni meningkatkatkan prestasi dan membatu memasuki sekolah atau perguruan

tinggi negeri favorit, (b) waktunya disesuaikan dengan kebutuhan (relatif singkat),

(c) proses belajar mengajar dipusatkan di suatu lembaga bimbel, dan (d)

kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan lebih praktis.

Page 10: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

21

Menurut penulis, dalam buku yang keempat pengarangnya tidak

membahas mengenai konsep-konsep dasar pendidikan nonformal tersebut secara

klasifikatif sehingga penulis kesulitan dalam mengklasifikasi dan

mengidentifikasi konsep-konsep tersebut.

B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Nonformal

Untuk buku-buku rujukan yang membahas mengenai sejarah

perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia yang meliputi asal-usul/latar

belakang pendidikan nonformal, faktor pendukung perkembangan pendidikan

nonformal, dan perencanaan pendidikan nonformal diantaranya:

Buku yang pertama berjudul “Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah”

karya S. Joesoef. Dalam buku tersebut, S. Joesoef mencoba mengajak pembaca

untuk memahami asal-usul atau latar belakang dari pendidikan luar sekolah atau

nonformal di Indonesia. Pengarang membagi bukunya menjadi beberapa bab.

Salah satunya adalah bab mengenai pendidikan luar sekolah. Dalam bab tersebut,

dibahas secara terperinci mengenai alasan-alasan timbulnya sistem pendidikan

luar sekolah. Pengarangnya mengklasifikasi dan mengidentifikasi alasan-alasan

tersebut ke dalam tiga segi yaitu: (1) Alasan dari segi faktual – historis, yang

meliputi kesejarahan, kebutuhan pendidikan, keterbatasan sistem persekolahan,

potensi sumber belajar, dan keterlantaran pendidikan luar sekolah, (2) Alasan dari

segi analitis – perspektif, yang meliputi pelestarian identitas bangsa dan

kecenderungan belajar individual, dan (3) Alasan dari segi formal – kebijakan

Page 11: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

22

yang meliputi Pembukaan dan UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, dan

Pelita.

Selain itu, dalam bab berikutnya yaitu bab mengenai pendidikan informal,

formal, dan nonformal, pengarangnya juga mengklasifikasi dan mengidentifikasi

pendapatnya mengenai latar belakang dari pendidikan nonformal. Dalam bagian

tersebut, pengarangnya membagi latar belakang pendidikan nonformal ke dalam

dua sudut tinjauan yaitu peningkatan pendidikan informal dan kelengkapan

pendidikan formal. Upaya ini memudahkan pembaca untuk mengklasifikasi dan

mengidentifikasi secara jelas mengenai apa itu pendidikan nonformal, apa saja

konsep yang berhubungan dengan pendidikan nonformal, dan bagaimana sejarah

perkembangan/latar belakang pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal.

Dan buku tersebut memberikan kontribusi terhadap penelitian yaitu membantu

penulis dalam mencari sumber mengenai sejarah perkembangan pendidikan

nonformal.

Menurut Joesoef (2004: 67-69), latar belakang diselenggarakannya

pendidikan nonformal dapat ditinjau dari dua sudut tinjauan yaitu:

1. Peningkatan pendidikan informal

Dalam masyarakat yang sudah kompleks dengan sistem pembagian kerja

yang tajam, pendidikan informal kurang memberikan kepuasan pada

manusia akan kebutuhan pendidikan yang harus dimiliki/diperlukan. Dan

pendidikan informal yang selama ini berlangsung sudah dirasa kurang

efektif dan efisien baik bagi anak didik maupun pendidikan sehingga perlu

peningkatan.

Page 12: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

23

2. Kelengkapan pendidikan formal

Pendidikan formal mengakibatkan manusia terus menerus berada dalam

setting buatan, yang bersifat modern, yang kadang-kadang membahayakan

anak didik sendiri yakni “menjadi golongan manusia tersendiri dalam

masyarakatnya”. Selain itu, pendidikan formal yang semakin terperinci

menjadikan seseorang hanya menguasai bidang tertentu.

Menurut penulis, buku yang pertama cukup informatif untuk menjelaskan

mengenai sejarah perkembangan pendidikan luar sekolah dan nonformal. Namun,

pengarangnya tidak memberikan penjelasan yang definitif dan terperinci

mengenai persamaan antara pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal.

Pengarangnya menjelaskan bahwa pendikan nonformal dan informal sama dengan

pendidikan luar sekolah. Ketidakjelasan ini membuat penulis sedikit kesulitan

dalam hal menentukan apakah pendidikan luar sekolah itu sama dengan

pendidikan nonformal atau tidak.

Selain itu, kekurangan dari buku yang pertama yaitu tidak dicantumkannya

periode dalam pembahasan mengenai sejarah pendidikan luar sekolah dan latar

belakang pendidikan nonformal, sehingga penulis tidak mengetahui secara pasti

kapan pertama kali pendidikan nonformal itu muncul di Indonesia.

Dalam buku yang pertama juga tidak dibahas secara spesifik mengenai

sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia

sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang

dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia.

Page 13: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

24

Sama halnya dengan buku kedua yang berjudul “Filsafat Pendidikan

Nonformal” karya Oong Komar. Dalam buku tersebut, Oong Komar menjelaskan

secara definitif dan terperinci mengenai sejarah perkembangan pendidikan

nonformal di Indonesia. Pengarangnya membagi buku tersebut ke dalam tiga

bagian. Salah satunya adalah bagian ketiga yang terdiri dari enam bab. Bab 14

dalam buku tersebut berisi pembahasan mengenai sejarah perkembangan

pendidikan nonformal di Indonesia dari mulai masa sebelum penjajahan, masa

penjajahan, masa revolusi fisik, awal kemerdekaan dan masa agresi, orde

pembangunan, sampai era reformasi.

Sama halnya seperti buku yang pertama, dalam buku yang kedua juga

tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang berdirinya

lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan dalam meneliti

dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga bimbingan belajar

di Indonesia.

Berbeda dengan buku yang pertama, buku yang kedua berisi pembahasan

yang lebih terperinci jika dibandingkan dengan buku yang pertama karena buku

yang kedua membahas sejarah perkembangan pendidikan nonformal di Indonesia

dari periode yang paling awal sampai periode yang paling akhir. Dalam hal ini,

pengarangnya mengklasifikasi dan mengidentifikasi perkembangan pendidikan

nonformal secara periodik (berdasarkan waktu/zaman). Upaya ini memudahkan

pembaca dan penulis untuk mengklasifikasi dan mengidentifikasi secara jelas

mengenai kapan pendidikan nonformal muncul di Indonesia dan kapan pendidikan

nonformal berkembang dan berperan di Indonesia. Namun, menurut penulis buku

Page 14: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

25

yang kedua memiliki kekurangan yang sama dengan buku yang pertama yaitu

pengarangnya tidak membahas mengenai praktisi-praktisi pendidikan nonformal

dan pengkritik-pengkritik persekolahan (pendidikan formal).

Buku yang ketiga berjudul “Perencanaan Pendidikan Nonformal” karya M.

Sardjan Kadir. Dalam buku tersebut, M. Sardjan Kadir membahas mengenai

perkembangan pendidikan nonformal yang lebih difokuskan kepada pembahasan

mengenai perencanaan pendidikan nonformal. Pengarangnya membagi bukunya

ke dalam tiga bab. Dalam bab yang kedua berisi pembahasan secara terperinci

mengenai perkembangan pendidikan nonformal yang meliputi praktisi-praktisi

pendidikan nonformal, pengkritik-pengkritik persekolahan (pendidikan formal),

dan pengkritik pendidikan nonformal.

Menurut Kadir (1982: 97-99), selain terdapat kritik-kritik terhadap

pendidikan formal (persekolahan), terdapat juga kritik-kritik terhadap pendidikan

nonformal, diantaranya:

1. Aktivitas-aktivitas pendidikan nonformal biasanya bukan suatu proses

untuk memberikan suatu penghargaan dan karena itu lulusannya tidak

dapat bersaing secara efektif dengan lulusan pendidikan formal untuk

mendapatkan suatu pekerjaan.

2. Orang-orang yang masuk program-program pendidikan nonformal secara

relatif memiliki harapan yang lebih rendah daripada orang-orang yang

masuk sekolah.

Ada hal yang menurut penulis merupakan nilai tambah dalam buku

tersebut dan tidak dibahas dalam buku-buku yang lainnya yaitu berisi tentang

Page 15: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

26

kritik mengenai pendidikan nonformal itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa

pengarang dalam buku tersebut bersifat netral. Namun, menurut penulis buku

yang ketiga merupakan buku yang paling tidak lengkap dan paling sedikit

memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan buku-buku

yang lainnya karena dalam buku tersebut sedikit membahas mengenai sejarah

perkembangan pendidikan nonformal, khususnya tidak membahas secara

kronologis/periodik mengenai awal mula lahirnya pendidikan nonformal sampai

pada perkembangan terakhirnya.

Sama halnya seperti buku yang pertama dan buku yang kedua, dalam buku

yang ketiga juga tidak dibahas secara spesifik mengenai sejarah dan latar belakang

berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia sehingga penulis kesulitan

dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang dan peranan lembaga

bimbingan belajar di Indonesia.

Dalam buku yang keempat yang berjudul “Pendidikan Nonformal:

Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas”

karya Djudju Sudjana, menurut penulis merupakan buku yang paling lengkap dan

paling banyak memberikan kontribusi untuk penelitian jika dibandingkan dengan

buku-buku yang lainnya. Djudju Sudjana membagi bukunya ke dalam tujuh bab.

Salah satu dari bab tersebut yaitu bab 2 membahas secara lebih terperinci

mengenai sejarah perkembangan pendidikan nonformal yang meliputi: (1) Asal-

usul Pendidikan Nonformal yang terdiri dari pengaruh pendidikan informal,

pengaruh tradisi masyarakat, dan pengaruh agama dan (2) Faktor Pendukung

Pendidikan Nonformal yang terdiri dari para praktisi di masyarakat,

Page 16: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

27

berkembangnya kritik terhadap pendidikan formal, dan para perencana pendidikan

untuk pembangunan.

Menurut Sudjana (2004: 71-80), faktor-faktor pendukung Pendidikan

Nonformal, di antaranya:

1. Sebagai pelengkap atau komplemen pendidikan sekolah. Bimbingan

belajar/kursus berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik

dengan memberikan pengalaman belajar yang tidak diperoleh dalam

kurikulum pendidikan formal

2. Sebagai penambah atau suplemen pendidikan sekolah. Bimbingan

belajar/kursus juga bertujuan untuk menyediakan kesempatan belajar

dalam rangka memperdalam pemahaman dan penguasaan materi tertentu

yang sudah diperoleh dalam program pendidikan

3. Sebagai pengganti atau substitusi pendidikan sekolah. Bimbingan

belajar/kursus menyediakan kesempatan belajar bagi masyarakat yang

dengan berbagai alasan tidak memperoleh kesempatan untuk sekolah

sekalipun memasuki sekolah dasar.

Dalam hal ini, lembaga-lembaga bimbingan belajar baik Primagama,

Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri, maupun Sony Sugema College (SSC)

memiliki fungsi sebagai pelengkap dan penambah pendidikan formal (sekolah).

Sudjana (2004: 81-97) juga menjelaskan bahwa sejumlah praktisi dan

pakar pendidikan melontarkan kritik terhadap pendidikan formal, diantaranya:

a. Phillip H. Coombs

Page 17: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

28

Menurut Coombs, pendidikan formal memiliki empat kelemahan.

Pertama, sebagai akibat pertambahan penduduk yang makin pesat maka

keinginan masyarakat untuk memperoleh kesempatan pendidikan makin

meningkat sehingga menyebabkan beban yang dipikul oleh pendidikan formal

semakin berat. Kedua, sumber-sumber yang digunakan untuk pendidikan kurang

memadai sehingga pendidikan formal mengalami hambatan untuk merespons

secara tepat terhadap kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Ketiga,

kelambatan sistem pendidikan formal itu sendiri untuk menyesuaikan dengan

perkembangan yang terjadi di luar pendidikan. Keempat, kelambanan masyarakat

itu sendiri dalam memanfaatkan lembaga dan lulusan pendidikan formal sehingga

jurang perbedaan antara jumlah dan kemampuan para lulusan dengan lapangan

kerja semakin melebar.

b. Ivan Illich

Menurut Illich, sekolah memonopoli pendidikan dan lebih menitikberatkan

produknya berupa lulusan yang hanya didasarkan atas hasil penilaian dengan

menggunakan angka-angka dan ijazah.

c. Paulo Freire

Menurut Freire, guru cenderung bertindak sebagai penekan (guru sebagai

pusat belajar) dan sekolah tidak berhasil dalam untuk mengembangkan situasi

pembelajaran yang memberikan kemampuan kepada para peserta didik untuk

berpikir kritis sehingga mereka dapat mengenali, menganalisis, dan memecahkan

masalah yang timbul dalam dunia kehidupannya.

d. Carl Rogers

Page 18: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

29

Menurut Rogers, proses pembelajaran dalam pendidikan formal lebih

berpusat pada guru sehingga tidak ada kebebasan peserta didik dalam

mengeluarkan pendapat dan bertukar pengalaman.

e. Abraham H. Maslow

Menurut Maslow, kegiatan pembelajaran di sekolah cenderung tidak

didasarkan atas kebutuhan peserta didik. Menurutnya, taraf kehidupan peserta

didik yang terus meningkat dan disertai dengan telah berkembang kemampuan

untuk mengenali kenyataan diri melalui interaksi dengan lingkungannya melalui

penggunaan cara-cara baru tidak didukung sepenuhnya oleh sekolah dalam hal

pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri peserta didik.

f. Jerome S. Bruner

Menurut Brunner, proses pembelajaran pengetahuan akan berjalan dengan

baik apabila didasarkan atas dorongan yang tumbuh dari dalam diri peserta didik,

adanya kebebasan peserta didik untuk memilih dan berbuat dalam kegiatan

belajar, dan tidak adanya keterikatan peserta didik oleh pengaruh ganjaran dan

hukuman yang datangnya dari luar dirinya yaitu guru.

g. B. F. Skinner

Menurut Skinner, pada umumnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan

dalam pendidikan tidak didasarkan atas perkembangan lingkungan dan lebih

didominasi oleh pendidik (guru) dan bukan oleh bahan dan cara belajar.

h. Malcolm S. Knowles

Menurut Knowles, pendidik tidak perlu memaksakan pendapat dan

keinginannya sendiri kepada para peserta didik, melainkan ia harus lebih banyak

Page 19: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

30

melimpahkan tanggung jawab pengelolaan kegiatan belajar kepada para peserta

didik.

Sama seperti buku yang ketiga, pengarang dalam buku yang keempat

membahas pendapat-pendapat para ahli mengenai kritik mereka terhadap

pendidikan formal. Namun, sama halnya seperti buku yang pertama, buku yang

keempat pun pengarangnya tidak mencantumkan periode dalam pembahasan

mengenai asal-usul pendidikan nonformal sehingga penulis tidak mengetahui

secara pasti kapan pertama kali pendidikan nonformal itu muncul di Indonesia.

Dalam buku yang pertama juga tidak dibahas secara spesifik mengenai

sejarah dan latar belakang berdirinya lembaga bimbingan belajar di Indonesia

sehingga penulis kesulitan dalam meneliti dan membahas mengenai latar belakang

dan peranan lembaga bimbingan belajar di Indonesia.

C. Upaya Pencerdasan Bangsa dan Pengembangan Kewirausahaan

Untuk buku-buku yang mengkaji/membahas mengenai Upaya Pencerdasan

Bangsa dan Pengembangan Kewirausahaan, diantaranya:

Buku pertama yang mengemukakan tentang kewirausahaan adalah buku

berjudul Kewirausahaan (1999), yang ditulis oleh Buchari Alma, dalam buku

tersebut memaparkan hal sebagai berikut:

Sehubungan dengan pengertian wiraswasta menurut Hisrich-Petters

(1995:10) yang dikutif Buchari Alma (1999:36) adalah:

“entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social risks, and receiving the

Page 20: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

31

resulting rewards of monetary and personal satisfaction and indefendence.” Artinya kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain

dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta

menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi.

Sehubungan dengan konsep kewirausahaan yang berasal dari bahasa

Inggris yaitu entrepreneurship, Raymond Kao (1993) mengemukakan pengertian

kewirausahaan sebagai suatu proses melakukan sesuatu yang baru dan berbeda

dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberikan

tambahan nilai pada masyarakat”. Entrepreneur sendiri yang dalam bahasa

Indonesia diterjemahkan menjadi wirausaha didefinisikan sebagai “orang yang

menciptakan kemakmuran dan juga proses peningkatan nilai tambah melalui

gagasan yang dimilikinya, serta memadukan berbagai sumber daya yang ada dan

membuat gagasan menjadi kenyataan.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diungkapkan diatas, penulis dapat

menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kewirausahaan merupakan sikap

mental yang senantiasa berusaha untuk memanfaatkan sesuatu, baik barang

maupun situasi tertentu agar memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi untuk

meningkatkan penghasilan melalui keterampilan yang dimilikinya. Selain itu,

seorang wirausaha juga harus mampu melihat suatu peluang dan memanfaatkan

untuk mencapai kelangsungan hidupnya dengan cara mengkoordinasikan dan

memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya, modal dan teknologi untuk

mencapai tujuan.

Page 21: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

32

Seseorang yang memiliki jiwa wirausaha akan selalu berusaha untuk

mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memanfaatkan peluang dan datang

untuk mengembangkan diri dalam lingkungannya. Dengan keberanian dalam

mengambil resiko dan kreativitas serta kemampuan mengorganisasikan sumber

daya yang dimilikinya secara tepat guna dan efisien.

Berikut penulis uraikan karakteristik kewirausahaan menurut pendapat ahli

sebagai gambaran karakter yang mencerminkan jiwa wirausaha yang berpotensi

dalam mengembangkan diri menuju keberhasilan dalam mencapai tujuan.

Karakteristik kewirausahaan menurut M. Scarborough dan Thomas W

Zimmer (Suryana, 2000: 8-9) adalah:

1. Disire for responsibility: memiliki rasa taggung jawab baik dalam mengontrol sumber daya yang digunakan maupun tanggung jawab terhadap keberhasilan berwirausaha juga atas usaha-usaha yang dilakukannya. Orang yang memiliki tanggung jawab akan selalu mawas diri secara internal.

2. Preference for moderate risk: lebih memilih resiko mederat, artinya menghindari resiko yang rendah dan tinggi. Wirausaha harus balajar untuk mengelola resiko.

3. Desire for immediate feed back: menghendaki umpan balik yang segera. Ia selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, ia selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan selalu belajar dari kegagalan.

4. Confidence in their ability to success: ia cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil.

5. High level energy: memiliki tingkat energi yang tinggi di atas rata-rata orang lainnya. Ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama. Memiliki semangat dan suka kerja keras untuk mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.

6. Future orientation: berorientasi pada masa depan, persfektif dan berwawasan jauh kedepan untuk tumbuh dan berkembang.

7. Skill at organizing: memilki keterampilan dalam mengorganisasikan sumber daya untuk menciptakan nilai tambah. Memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan (power), memiliki taktik mediator dan negotiator daripada dictator.

8. Value of achievement over money: selalu menilai prestasi dengan uang. Uang baginya berarti penghargaan bagi keberhasilan yang diraihnya.

Page 22: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

33

Wirausahawan selalu berusaha untuk menjaga komitmennya dalam

melakukan tugasnya sampai berhasil. Ia tidak setengah-setengah dalam

melakukan pekerjaannya. Karena itu, ia selalu tekun, ulet, dan pantang menyerah,

sebelum tujuannya tercapai. Dalam melakukan pekerjaanya tersebut, wirausaha

tidak bertindak spekulatif, tetapi selalu penuh perhitungan. Ia berani mengambil

resiko terhadap pekerjaanya karena sudah diperhitungkan. Oleh sebab itu

wirausaha selalu berani mengambil resiko yang moderat atau resiko yang tidak

tinggi maupun tidak rendah, artinya resiko yang didukung oleh komitmen yang

kuat, hal ini akan menjadi pendorong untuk terus berjuang mencari peluang

sampai ada hasil.

Bagi penulis, buah karya Buchari Alma tersebut memberikan kontribusi

yang cukup besar. Kelebihan buku tersebut yaitu selain lugas membahas

pengertian wirausaha secara lengkap dan terperinci, tiap sub-bab yang terkandung

di dalamnya juga dinilai memiliki korelasi yang baik antara satu sama lain,

sehingga secara keseluruhan mampu memberikan gambaran dan pemahaman yang

jelas bagi penulis.

Buku kedua yang membahas mengenai kewirausahaan adalah buku karya

Suhono Harso dengan judul Entrepreneurial Economic Development (2004). Pada

dasarnya pembahasan dalam buku tersebut, hampir sama dengan apa yang

dikemukakan oleh Buchari Alma, terutama mengenai pengertian kewirausahaan.

Kontribusi buku Entrepreneurial Economic Development dapat membantu

penulis dalam memahami kewirausahaan. Kekurangan dari Entrepreneurial

Economic Development yaitu kurang terperincinya penjelasan mengenai

Page 23: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

34

kewirausahaan. Hal tersebut dikarenakan buku tersebut memuat beberapa bab

yang terdiri dari jurnal-jurnal penelitian, yang mana jurnal-jurnal tersebut kurang

sinergis karena tidak hanya terfokus kepada aspek kewirausahaan.

Dan buku ketiga yang memuat kewirausahaan yaitu karyanya Thoby

Multis dengan judul Kewirausahaan yang Berproses (1995). Buku tersebut

memaparkan pendapat para ahli sebagai berikut:

Ahli ekonomi Adam Smith dan Jean Baptiste Say mengatakan, bahwa

seorang wirausaha adalah seorang yang menyatukan faktor-faktor produksi.

Pendapat tersebut kemudian dilengkapi oleh Joseph Schumpeter Ahli ekonomi

Austria yang menambahkan inovasi dan pemanfaatan peluang usaha sebagai

bagian dari aktivitas wirausaha. Adapun Jose Carlos Jarillo Mossi mendefinisikan,

kewirausahaan sebagai “seorang yang merasakan adanya peluang, mengejar

peluang-peluang yang ada sesuai dengan situasi dirinya, dan percaya bahwa

kesuksesan merupakan suatu hal yang bisa dicapai.”

Sementara itu Heru Sutojo menegaskan pendapat dari J.A. Schumpeter

yang mengatakan, bahwa entrepreneur adalah orang yang bisa mengadakan

kombinasi baru, di mana kombinasi itu merupakan fenomena yang fundamental

bagi pembangunan ekonomi, dengan sifat-sifat entrepreneur sebagai berikut:

selalu memiliki prakarsa otoritas, melihat ke masa depan, mempunyai intuisi yang

kuat, mempunyai kebebasan mental, mempunyai jiwa kepemimpinan dan

pemberontak sosial (social deviance).

Entrepreneurship adalah sikap untuk melakukan suatu usaha karena ada

suasana yang mendukung untuk merealisasikannya. Seorang entrepreneur akan

Page 24: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

35

selalu berpikir untuk bertindak mencari pemecahan (looking at solution), sesuai

dengan inisiatif yang muncul untuk meraih target dengan kedinamisan tertentu.

Sementara itu, Mc. Clelland berpendapat bahwa entrepreneur adalah orang yang

mengorganisasikan badan usaha dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas

produktifnya.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang diungkapkan di atas, penulis

dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya para ahli telah berusaha

mengidentifikasi ciri-ciri pribadi para wirausaha. Di antaranya yang paling sering

diungkapakan adalah adanya kebutuhan untuk mencapai sesuatu (achievement),

adanya kebutuhan akan kontrol, orientasi intuitif dan kecenderungan untuk

mengambil resiko.

Kelebihan sumber buku kewirausahaan yang berproses yakni mampu

melengkapi pemaparan dalam buku kewirausahaan karya Buchari Alma.

Dalam buku tersebut dikemukakan banyak pendapat dari para ahli,

sehingga membantu penulis untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengertian

kewirausahaan. Akan tetapi meskipun buku tersebut memberikan banyak

pencerahan terhadap penulis, pembahasan dalamya terlalu luas.

Masih dalam buku yang sama, dikemukakan bahwa munculnya jiwa

kewirausahaan sesungguhnya adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi

gemilang yang dikerjakan melalui penampilan kerja yang baik. Bagi Mc. Clelland,

nilai kerja yang baik khususnya dalam era pembangunan terletak pada “spirit”

atau “semangat” seseorang dalam menghadapi pekerjaanya. Inilah yang oleh Mc.

Clelland disebut sebagai motivasi berprestasi.

Page 25: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

36

Adapun ciri pikiran dan tingkah laku yang menggambarkan adanya motif

berprestasi tinggi pada seseorang adalah:

1. Menyatakan kebutuhan akan prestasi

2. Mengharapkan atau memperkirakan keberhasilan

3. Membayangkan atau memperkirakan kegagalan

4. Antisipasi hambatan luar dalam diri

5. Mengharapkan bantuan dan dorongan dari orang lain

6. Memiliki pikiran atau perasaan positif dan negatif

7. Mengaitkan atau memikirkan masa depan. (McClelland dalam Soewarsono,

1994:31).

Sehubungan dengan teori tersebut, Lembaga bimbingan belajar baik

Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri (NF), maupun Sony Sugema

College (SSC) merupakan sebuah lembaga yang terbentuk dari semangat dan

keinginan kuat dari setiap pendirinya/pemiliknya untuk mencapai keberhasilan

melalui perencanaan yang matang.

Buku yang terakhir adalah Pedoman Pendidikan Luar Sekolah karya W. P.

Napitupulu (1992). Dalam bukunya dijelaskan bahwa keberadaan lembaga

bimbingan belajar semakin kuat dengan hadirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun

1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu hal yang ditekankan dalam

UU Nomor 2 tahun 1989 adalah terkait dengan tanggung jawab penyelenggaraan

pendidikan, yakni bahwa pada dasarnya beban penyelenggaraan pendidikan tidak

saja dipikul oleh pemerintah saja, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat

(Napitupulu, 1992: 37).

Page 26: BAB II LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR MELENGKAPI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_044359_bab_ii.pdfpermasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa sub-bab tersebut

37

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembaga

bimbingan belajar baik Primagama, Ganesha Operation (GO), Nurul Fikri (NF),

maupun Sony Sugema College (SSC) merupakan lembaga yang ikut serta

program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa disamping mengembangkan kewirausahaan

(entrepreneurship) mereka.