bab ii landasan teori dan pengembangan hipotesis …thesis.binus.ac.id/asli/bab2/2011-2-00041-ak bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1. Landasan Teori
II.1.1.1. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)
Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka
mengembangkan perusahaan ke depan. Hal itu, dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengonstruksi strategi perusahaan terutama terkait dengan upaya memposisikan diri di
tengah lingkungan masyarakat yang semakin maju.
Legitimasi merupakan keadaan psikologi keberpihakan orang dan kelompok
orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik fisik maupun
nonfisik. O’Donovan (2002) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai
sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian,
legitimasi merupakan manfaat atau sumberdaya potensial bagi perusahaan untuk
bertahan hidup (going concern).
Dowling dan Pfeffer (1975) menyatakan bahwa aktivitas organisasi perusahaan
hendaknya sesuai dengan nilai sosial lingkungannya. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa
terdapat dua dimensi agar perusahaan memperoleh dukungan legitimasi, yaitu: (1)
aktivitas organisasi perusahaan harus sesuai (congruence) dengan sistem nilai di
masyarakat; (2) pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya mencerminkan nilai
sosial.
Hasil Survei “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh
Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales
Business Leader Forum (London) diantara 25.000 responden di 23 negara menunjukkan
10
bahwa dalam membentuk opini dan legitimasi perusahaan; 60% mengatakan bahwa
etika bisnis, praktik sehat karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR) paling berperan dalam meningkatkan legitimasi, 40%
responden menyatakan citra perusahaan & brand image mempengaruhi kesan mereka.
Hanya 1/3 yang mendasari opini bahwa faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor
finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan, atau manajemen mendasari legitimasi
stakeholder.
Barkemeyer (2007) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori
legitimasi organisasi dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di negara
berkembang terdapat dua hal; pertama, kapabilitas untuk menempatkan motif
maksimalisasi keuntungan membuat gambaran lebih jelas tentang motivasi perusahaan
memperbesar tanggung jawab sosialnya. Kedua, legitimasi organisasi dapat untuk
memasukkan faktor budaya yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam
konteks yang berbeda.
Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu teori
yang mendasari pengungkapan CSR. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat. Teori
legitimasi juga dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan mekanisme corporate
governance dan profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Mekanisme corporate governance dan profitabilitas memberikan keyakinan perusahaan
untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Artinya, dengan
mekanisme corporate governance dan profitabilitas yang mencukupi, perusahaan tetap
akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan legitimasi dari masyarakat
11
yang pada akhirnya akan berdampak meningkatnya keuntungan perusahaan di masa
yang akan datang.
II.1.1.2. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)
Perusahaan tidak hanya sekedar bertanggung jawab terhadap para pemilik
(shareholder) sebagaimana terjadi selama ini. Tanggung jawab perusahaan yang semula
hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) dalam laporan
keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social
dimentions) terhadap stakeholder, baik internal maupun eksternal.
Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki
hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun
tidak langsung oleh perusahaan. Stakeholder is a group or an individual who can affect,
or be affected by, the success or failure of an organization (Luk et. al. 2005). Dengan
demikian, stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti: pemerintah,
perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, para pekerja perusahaan, dan lain sebagainya
yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan.
Sementara itu, Hummels (1998) memberi definisi sebagai berikut:
“......(stakeholder are) individuals and groups who have legitimate claim on the
organization to participate in the decision making process simply because they are
affected by the organization’s practices, policies and actions.”
Batasan stakeholder tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perusahaan
hendaknya memperhatikan stakeholder, karena mereka adalah pihak yang
mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas
aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak
12
memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat
mengeliminasi legitimasi stakeholder.
Berdasar pada asumsi dasar stakeholder theory tersebut, perusahaan tidak dapat
melepaskan diri dengan lingkungan sosial (social setting) sekitarnya. Perusahaan perlu
menjaga legitimasi stakeholder serta mendukungnya dalam kerangka kebijakan dan
pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung dalam pencapaian tujuan
perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern.
Esensi teori stakeholder tersebut di atas jika ditarik interkoneksi dengan teori
legitimasi yang mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya mengurangi expectation
gap dengan masyarakat sekitar guna meningkatkan legitimasi (pengakuan) masyarakat,
ternyata terdapat benang merah. Untuk itu, perusahaan hendaknya menjaga reputasinya
yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula semata-mata diukur dengan
economic measurement yang cenderung shareholder orientation, ke arah
memperhitungkan faktor sosial sebagai wujud kepedulian dan berpihak terhadap
masalah sosial kemasyarakatan (stakeholder orientation).
II.1.1.3. Teori Keagenan (Agency Theory)
Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam
perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal (pemegang
saham) merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas
nama prinsipal, sedangkan agen (manajemen) merupakan pihak yang diberi amanat oleh
prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya
.
13
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan
kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang
mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun
risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal
bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen
yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen
dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen.
Teori agensi menjelaskan hubungan antara principal dengan agen. Praktik CSR
dan pengungkapannya juga dikaitkan dengan agency theory (Cowen dkk, 1987; Adams,
2002; dan Campbell, 2000 dalam Farook dan Lanis, 2005). Pengungkapan tanggung
jawab sosial merupakan salah satu komitmen manajemen untuk meningkatkan
kinerjanya terutama dalam kinerja sosial. Dengan demikian, manajemen akan
mendapatkan penilaian positif dari pemilik modal. Gray et. al. (1987) menyatakan
bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan perluasan tanggung jawab
organisasi di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada
pemilik modal, khususnya shareholders.
14
II.1.2. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
II.1.2.1. Konsep dan Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
CSR merupakan salah satu dari beberapa tanggung jawab perusahaan kepada
para pemegang kepentingan (stakeholder). Yang dimaksud dengan pemangku
kepentingan dalam hal ini adalah orang atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh berbagai keputusan, kebijakan, maupun operasi perusahaan (Post et al.,
2002: 8).
Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan menitikberatkan pada keseimbangan
antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Menurut ACCA (dalam
Anggraini, 2006), pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan
yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan
mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi
dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan
pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability report harus menjadi
dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang
Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor
industrinya.
Johnson and Johnson (2006) mendefinisikan sebagai berikut: “Corporate Social
Responsibility (CSR) is about how companies manage the business processes to produce
an overall positive impact on society”.
15
Definisi tersebut pada dasarnya berangkat dari filosofi bagaimana cara mengelola
perusahaan baik sebagian maupun secara keseluruhan memiliki dampak positif bagi
dirinya dan lingkungan. Untuk itu, perusahaan harus mampu mengelola bisnis
operasinya dengan menghasilkan produk yang berorientasi secara positif terhadap
masyarakat dan lingkungan.
Ghana (2006) mendefinisikan sebagai berikut: “CSR is about capacity building
for sustainable likelihoods. It respects cultural differences and finds the business
opportunities in building the skills of employees, the community and the
government,......Corporate Social Responsibility (CSR) is about business giving back to
society”.
Batasan yang diberikan Ghana tersebut memberikan penjelasan secara lebih
dalam, bahwa sesungguhnya tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) memberikan kapasitas dalam membangun corporate building menuju
terjaminnya going concern perusahaan. Di dalamnya, termasuk upaya peka (respect)
terhadap adopsi sistemik berbagai budaya (kearifan lokal) ke dalam strategi bisnis
perusahaan, termasuk keterampilan karyawan, masyarakat, dan pemerintah.
Post (2002) menyatakan bahwa ragam tanggung jawab perusahaan terdiri dari
tiga dimensi, yaitu: (1) economic responsibility; (2) legal responsibility; dan (3) social
responsibility.
Economic responsibility, keberadaan perusahaan ditujukan untuk meningkatkan
nilai bagi shareholder, seperti: meningkatkan keuntungan (laba), harga saham,
pembayaran dividen, dan jenis lainnya. Di samping itu, perusahaan juga perlu
meningkatkan nilai bagi para kreditur, yaitu kepastian perusahaan dapat mengembalikan
pinjaman berikut interest yang dikenakan.
16
Legal responsibility, sebagai bagian anggota masyarakat, perusahaan memiliki
tanggung jawab mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. Termasuk, ketika
perusahaan sedang menjalankan aktivitas operasi, maka harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan perundangan.
Social responsibility, merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap
lingkungan dan para pemangku kepentingan. Social responsibility menjadi satu tuntutan
ketika operasional perusahaan mempengaruhi pihak eksternal, terutama ketika terjadi
externalities dis-economic. Hal itu, memunculkan resistensi sosial dan dapat
memunculkan konflik sosial.
Kotler dan Lee (2005) memberikan definisi CSR sebagai berikut: “Corporate
social responsibility is a commitment to improve community well-being through
discretionary business practice and contributions of corporate resources”.
Dalam definisi tersebut, Kotler dan Lee memberikan penekanan pada kata
discretionary yang berarti kegiatan CSR semata-mata merupakan komitmen perusahaan
secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan
merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-undangan
seperti kewajiban untuk membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap undang-
undang ketenagakerjaan. Dengan demikian, social responsibility lebih ditekankan pada
motive approach bukan system approach. Social responsibility lebih dipicu oleh cara
pandang, hasil kreasi dan iktikad baik manajer perusahaan.
Terdapat tiga perspektif tanggung jawab perusahaan, yaitu: sosial, ekonomi, dan
legal. Pencapaian ketiga nilai perusahaan tersebut harus simultan dan
berkesinambungan. Pencapaian ekonomi tidak boleh melanggar aspek peraturan dan
perundangan serta ekonomi. Begitu juga pencapaian nilai sosial perusahaan juga tidak
17
boleh meniadakan orientasi ekonomi dan sosial. Hal yang sama juga diperhatikan,
bahwa pencapaian nilai lingkungan perusahaan juga tidak boleh mengorbankan
kepentingan pencapaian nilai sosial dan melanggar peraturan perundangan yang berlaku.
II.1.2.2. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk
memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola
perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) semakin memaksa
perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat
membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan
aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram,
kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh
karena itu, dalam perkembangan sekarang ini akuntansi konvensional telah banyak
dikritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga
kemudian muncul konsep akuntansi baru yang disebut sebagai Social Responsibility
Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial. Faktor yang
mempengaruhi implementasi dan pengungkapan CSR adalah diantaranya political
economy theory, legitimacy theory, dan stakeholder theory (Deegan 2002; Campbell,
Craven and Shrives 2002).
18
II.1.3. Corporate Governance
Corporate governance adalah sistem yang digunakan untuk mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan. Mendefinisikan tanggung jawab dan hak peserta perusahaan
kunci, prosedur pengambilan keputusan, dan cara dimana perusahaan akan menetapkan,
mencapai, dan memantau tujuannya.
Definisi corporate governance yang dikemukakan oleh OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) sebagai berikut: “Corporate governance is
the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate
governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among
different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders and
other stakeholders”.
Pelaksanaan dan pengendalian perusahaan akan melibatkan organ-organ di
dalam perusahaan yang akan berperan sebagai pelaksana dan pengawas. Menurut
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia tahun 2006, direksi sebagai
organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab dalam mengelola perusahaan. Fungsi
pengelolaan perusahaan oleh direksi mencakup lima tugas utama, yaitu sebagai berikut:
1. Kepengurusan, mencakup tugas penyusunan visi dan misi perusahaan; serta
penyusunan program jangka pendek dan jangka panjang.
2. Manajemen risiko, mencakup tugas penyusunan dan pelaksanaan sistem
manajemen risiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek kegiatan
perusahaan.
3. Pengendalian internal, mencakup penyusunan dan pelaksanaan sistem
pengendalian internal perusahaan dalam rangka menjaga kekayaan dan
kinerja perusahaan serta memenuhi peraturan perundang-undangan.
19
4. Komunikasi, mencakup tugas yang memastikan kelancaran komunikasi
antara perusahaan dengan pemangku kepentingan dengan memberdayakan
fungsi sekretaris perusahaan.
5. Tanggung jawab sosial, mencakup perencanaan tertulis yang jelas dan
terfokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Selain itu, pengelolaan perusahaan tersebut harus diawasi untuk menjamin
terjadinya optimalisasi nilai perusahaan bagi para pemegang saham dengan tetap
memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. Dewan komisaris sebagai organ
perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan
pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa
perusahaan melaksanakan corporate governance yang baik. Namun, dewan komisaris
tidak boleh turut serta dalam pengambilan keputusan operasional. Fungsi pengawasan
dan pemberian nasihat oleh dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan,
perbaikan, sampai dengan pemberhentian direksi secara sementara (KCKG, 2006). Jika
terjadi pemberian sanksi pemberhentian direksi secara sementara, maka tindakan
tersebut harus segera diikuti dengan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).
Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, dewan
komisaris beserta perangkatnya berkewajiban untuk mengawasi penerapan corporate
governance yang baik, termasuk di dalamnya masalah implementasi tanggung jawab
sosial perusahaan kepada berbagai pemangku kepentingan.
Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)
merupakan alat untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan akuntabilitas publik.
Corporate governance adalah suatu istilah relatif baru yang digunakan untuk suatu
20
konsep lama yakni kewajiban industri dari mereka yang mengontrol perusahaan untuk
bertindak bagi kepentingan seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham
minoritas, dimana diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan dan kepercayaan
investor.
Prinsip dasar corporate governance meliputi lima aspek, yaitu:
1. Transparency (transparansi) yaitu pengungkapan yang dilakukan tepat pada
waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja
perusahaan, kepemilikan, serta stakeholders. Prinsip ini dapat diwujudkan
antara lain dengan mengembangkan accounting system, information
technology, dan management information system.
2. Accountability (akuntabilitas) yaitu kejelasan fungsi dan
pertanggungjawaban manajemen kepada perusahaan dan para pemegang
saham. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan Laporan
Keuangan pada waktu dan cara yang tepat, mengembangkan Komite Audit,
mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit.
3. Responsibility (responsibilitas) yaitu tanggung jawab korporasi sebagai
anggota masyarakat yang tunduk kepada hukum dan bertindak dengan
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitarnya.
4. Independency (independensi) yaitu untuk melancarkan pelaksanaan GCG,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak
lain.
21
5. Fairness (kewajaran) yaitu perlakuan yang sama terhadap pemegang saham,
terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing.
Prinsip ini diwujudkan dengan corporate conduct (pedoman perilaku
perusahaan), kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk
orang dalam, self dealing, dan konflik kepentingan.
II.1.4. Profitabilitas
Brigham dan Houston (2001, p.197) menyatakan bahwa profitabilitas adalah
hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan. Sartono (2001, p.119)
berpendapat bahwa profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba
dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Dengan
demikian bagi investor jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisa
profitabilitas ini.
Elkington dalam Wibisono (2007) menyatakan bahwa profit, merupakan satu
bentuk tanggung jawab yang harus dicapai perusahaan, bahkan mainstream ekonomi
yang dijadikan pijakan filosofi operasional perusahaan, profit merupakan orientasi
utama perusahaan. Meskipun, dengan berjalannya waktu menuai protes banyak
kalangan, yang tidak relevan menjadi dasar strategi operasional perusahaan. Mana
mungkin perusahaan tanpa didukung oleh kemampuan mencetak keuntungan yang
memadai mampu menjamin dan mempertahankan going concern”. Peningkatan
kesejahteraan personil dalam perusahaan, meningkatkan tingkat kesejahteraan pemilik
(shareholder), yang hal itu bisa dilakukan manakala didukung kemampuan menciptakan
keuntungan (profit) perusahaan.
22
II.2. Pengembangan Hipotesis
II.2.1. Corporate Governance dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Implementasi program CSR oleh perusahaan pada hakikatnya bersifat orientasi
dari dalam ke luar. Hal tersebut berarti sebelum melaksanakan aktivitas CSR yang
bersifat discretionary/voluntary, perusahaan terlebih dahulu harus membenahi
kepatuhan perusahaan terhadap hukum. Perusahaan pun harus menjalankan bisnisnya
dengan baik sehingga dapat menjamin tercapainya maksimalisasi laba (economic
responsibilities). Selain itu, sebagaimana telah dijelaskan pada saat membahas corporate
social performance, perusahaan perlu mengembangkan sejumlah kebijakan untuk
menuntun pelaksanaan CSR. Semua hal tersebut tidak akan terlaksana dengan baik bila
perusahaan tidak menerapkan corporate governance yang baik (GCG).
Implementasi CSR juga menjadi salah satu prinsip pelaksanaan GCG, sehingga
perusahaan yang melaksanakan GCG sudah seharusnya melakukan pelaksanaan CSR.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia
khususnya prinsip responsibilitas, dimana dalam pedoman tersebut dinyatakan,
“Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
Faktor-faktor mekanisme corporate governance juga dikorelasikan dengan
tingkat pengungkapan CSR dalam laporan tahunan perusahaan. Ukuran dewan
komisaris, komisaris independen, dan ukuran komite audit berkorelasi positif dengan
pengungkapan CSR (Yuniasih dan Wirakusuma, 2007) menghubungkan kepemilikan
manajerial terhadap pengungkapan CSR. Hasilnya menunjukkan adanya korelasi positif.
Penelitian ini akan menggunakan kepemilikan manajerial dan komposisi dewan
23
komisaris independen sebagai proksi mekanisme corporate governance. Hal ini untuk
menguji kembali hasil penelitian sebelumnya.
Terdapat penelitian terdahulu oleh Novita dan Djakman (2008), Yuniasih dan
Wirakusuma (2007) dan Rustiarini (2006). Novita dan Djakman (2008) melakukan
penelitian mengenai struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan tanggung jawab
(CSR Disclosure) pada laporan tahunan perusahaan. Penelitian ini menemukan hasil
bahwa struktur kepemilikan asing tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan
tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia pada tahun 2006. Penelitian ini juga menemukan bahwa kepemilikan
institusional tidak mempengaruhi luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
daam laporan tahunan. Yuniasih dan Wirakusuma (2007) melakukan penelitian
mengenai pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan pengungkapan
corporate social responsibility dan good corporate governance sebagai variabel
pemoderasi. Penelitian ini hanya menggunakan 27 perusahaan manufaktur yang terdaftar
di Bursa Efek Jakarta tahun 2005-2006 sehingga tidak dapat digeneralisasi dan belum
dapat merepresentasikan semua perusahaan yang ada. Penelitian ini juga hanya
menggunakan ROA sebagai proksi kinerja keuangan dan kepemilikan manajerial,
ukuran dewan komisaris, komisaris independen, komite audit sebagai proksi GCG. Hasil
penelitian menunjukkan ROA terbukti berpengaruh positif secara statistik pada nilai
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ selama tahun 2005-2006. Pengungkapan
CSR sebagai variabel pemoderasi terbukti berpengaruh positif secara statistis pada
hubungan ROA dan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial sebagai variabel
pemoderasi tidak terbukti berpengaruh terhadap hubungan ROA dan nilai perusahaan.
Sedangkan Rustiarini (2006) melakukan penelitian mengenai pengaruh struktur
24
kepemilikan saham pada pengungkapan corporate social responsibility. Penelitian ini
menguji kembali pengaruh kepemilikan manajerial, institusional, dan asing terhadap
pengungkapan CSR. Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Pengujian hipotesis kedua
menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada pengungkapan
CSR. Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa kepemilikan asing
berpengaruh pada pengungkapan CSR.
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dikaitkan dengan
corporate governance. Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap
perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel
serta tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) memaksa
perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Mekanisme
corporate governance seperti struktur kepemilikan dan komposisi dewan komisaris
independen adalah mekanisme yang dapat memberikan arahan dan kontrol terhadap
perusahaan dalam pelaksanaan dan pengungkapan CSR.
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi
keuangan, seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan asset management (Koh,
2003; Veronica dan Bachtiar, 2005). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional
sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Perusahaan dengan
kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya
untuk memonitor manajemen (Arif, 2006). Hal senada juga dikemukakan oleh Shleifer
and Vishny (1986) dalam Barnae dan Rubin (2005) bahwa institutional shareholders,
25
dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan
keputusan perusahaan (Novita dan Djakman, 2008).
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab
secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi
serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate governance yang baik.
Namun, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam pengambilan keputusan
operasional. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat oleh dewan komisaris mencakup
tindakan pencegahan, perbaikan, sampai dengan pemberhentian direksi secara sementara
(KCKG, 2006). Jika terjadi pemberian sanksi pemberhentian direksi secara sementara,
maka tindakan tersebut harus segera diikuti dengan penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan
internal perusahaan, memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan. Komposisi dewan
komisaris akan menentukan kebijakan perusahaan termasuk praktek dan pengungkapan
CSR. Semakin besar jumlah anggota dewan komisaris maka akan semakin mudah untuk
mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Keberadaan
dewan komisaris independent (outside member board) akan semakin menambah
efektifitas pengawasan. Komposisi dewan komisaris independen juga dianggap sebagai
solusi untuk mengatasi masalah keagenan.
Penjelasan di atas, memberikan pemahaman bahwa dengan tingkat kepemilikan
institusional yang semakin tinggi akan meningkatkan tingkat pengawasan terhadap
manajemen. Pengungkapan CSR adalah salah satu aktivitas perusahaan yang dimonitor
oleh pemilik saham institusi. Sehingga hipotesis penelitian yang dikemukakan adalah
sebagai berikut;
26
H1a-0 : Kepemilikan institusional perusahaan berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab perusahaan.
H1a-1 : Kepemilikan institusional perusahaan tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab perusahaan.
H1b-0 : Komposisi dewan komisaris perusahaan berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
H1b-1 : Komposisi dewan komisaris perusahaan tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
II.2.2. Profitabilitas dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan
fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham,
hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan pertanggungjawaban sosial
adalah bahwa ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan
(manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu
informasi tentang sukses keuangan tersebut. Sebaliknya ketika tingkat profitabilitas
rendah perusahaan akan berharap pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja
perusahaan.
Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan
tanggung jawab sosial paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan
sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk
membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Bowman & Haire (1976) dan Preston
27
(1978) dalam Hackston & Milne (1996) menyatakan semakin tinggi tingkat profitabilitas
perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial (Anggraini, 2006).
Penelitian terdahulu oleh Mulyadi dan Anwar (2011) melakukan penelitian
mengenai investor’s perception on corporate responsibility of Indonesian listed
companies. Hasil menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap dampak stock’s return. Sehingga tidak mendukung hubungan
profitabilitas dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Anwar, Haerani,
Pagalung (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh pengungkapan corporate
social responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan dan harga saham. Hasil
penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh pengungkapan corporate social
responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan (ROA, ROE, dan EVA) dan harga
saham pada perusahaan manufaktur, komunikasi dan bank yang terdaftar di BEI. Kinerja
keuangan perusahaan yang diukur dengan ROA, ROE, dan EVA berpengaruh positif
pada pengungkapan CSR pada laporan keuangan perusahaan. Untari (2010) melakukan
penelitian mengenai effect on company characteristics corporate social responsibility
disclosures in corporate annual report of consumption listed in Indonesian Stock
Exchange. Dimana penelitian ini hanya menggunakan 18 perusahaan barang konsumsi
yang terdaftar di BEI pada tahun 2006-2008 yang mengungkapkan CSR di dalam
laporan tahunan. Penelitian ini menguji karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan size perusahaan,
profitabilitas dan umur perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan. Sedangkan tingkat leverage tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian yang dilakukan Pian KS
(2010) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh karakteristik perusahaan dan
28
regulasi pemerintah terhadap pengungkapan corporate social responsibility (CSR) pada
laporan tahunan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan kepemilikan saham
pemerintah, regulasi pemerintah, tipe industri, dan ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan
kepemilikan saham asing dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian yang dilakukan (Rosmasita,
2007) juga menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan profitabilitas dengan
pengungkapan tanggung jawab sosial. Begitu juga dengan hasil penelitian yang
dilakukan Anggraini (2006) tidak berhasil membuktikan profitabilitas terhadap
pengungkapan informasi sosial oleh perusahaan.
Lang dan Landholm (1993) menyatakan bahwa hubungan profitabilitas dan
pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan isu kontroversial untuk dipecahkan.
Argumentasinya adalah bahwa akan terdapat biaya tambahan dalam rangka
pengungkapan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, profitabilitas akan menjadi
turun.
Sehingga hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut :
H2-0 : Tingkat profitabilitas perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan.
H2-1 : Tingkat profitabilitas perusahaan tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
29
II.3. Kerangka Pemikiran Teoritis
Profitabilitas ( ROE )
Corporate Governance : - Kepemilikan Institusional
- Komposisi Dewan Komisaris
Independen
Pengungkapan Tanggung
jawab Sosial Perusahaan
Penelitian Terdahulu
Hipotesis Penelitian
Profitabilitas dan Pengungkapan
Tanggung jawab Sosial
Corporate Governance dan
Pengungkapan Tanggung jawab Sosial
Analisis Data
Analisis Deskriptif Analisis Statistik
Hasil Penelitian
Hasil pengujian
Profitabilitas terhadap
Pengungkapan Tanggung jawab
Sosial
Corporate Governance
terhadap Pengungkapan
Tanggung jawab Sosial
Simpulan dan Saran