desentralisasi legitimasi eksploitasi kekayaan alam di daerah

30
DESENTRALISASI : LEGITIMASI EKSPLOITASI KEKAYAAN ALAM DI DAERAH ? Paramita Iswari 1 Anta tuo melo, masakke mairi’ marudindin sola nasang do te kuli’na padang tiampa’ seleng padang tumbu-tumbukan anna Sali papan te tondok 2 artinya: Hidup yang layak dan aman Di atas tanah yang bergunung-gunung dengan perlindungan terhadap rakyat, menuju kedamaian dan kesejahteraan. 1 Koordinator pada Sekretariat Antar Wilayah KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria). KARSA adalah adalah suatu perkumpulan terbatas yang beranggotakan orang-orang yang memiliki konsen ke isu pembaruan desa dan agraria. Sampai saat ini KARSA memfasilitasi proses belajar bersama di Sanggau, Garut dan Toraja. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi kami di Dusun Jambon,RT 05 RW 23, Desa Trihanggo, Gamping, Sleman 55291, Yogyakarta, telp 0274 7484045, [email protected] atau di http://www.karsa.or.id 2 Ungkapan dalam bahasa Gora Tongkon.

Upload: arif-munzir

Post on 28-Oct-2015

50 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kuliah

TRANSCRIPT

DESENTRALISASI :

LEGITIMASI EKSPLOITASI KEKAYAAN ALAM DI

DAERAH ?

Paramita Iswari1

Anta tuo melo, masakke mairi’marudindin sola nasang

do te kuli’na padang tiampa’ selengpadang tumbu-tumbukan anna Sali

papan te tondok2

artinya:Hidup yang layak dan aman

Di atas tanah yang bergunung-gunungdengan perlindungan terhadap rakyat,menuju kedamaian dan kesejahteraan.

Sebagaimana diketahui, dalam kurun waktu empat tahun

belakangan ini Negara Kesatuan Republik Indonesia

melakukan reorganisasi hubungan kekuasaan antara

Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah. 1 Koordinator pada Sekretariat Antar Wilayah KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria). KARSA

adalah adalah suatu perkumpulan terbatas yang beranggotakan orang-orang yang memiliki konsen ke isu pembaruan desa dan agraria. Sampai saat ini KARSA memfasilitasi proses belajar bersama di Sanggau, Garut dan Toraja. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi kami di Dusun Jambon,RT 05 RW 23, Desa Trihanggo, Gamping, Sleman 55291, Yogyakarta, telp 0274 – 7484045, [email protected] atau di http://www.karsa.or.id

2 Ungkapan dalam bahasa Gora Tongkon.

Munculnya agenda reorganisasi ini dipicu oleh lahirnya

Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan

Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan

Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian dilanjutkan

dengan pemberlakuan UU No.22/1999 tentang Pemerintah

Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Satu hubungan kekuasaan yang direorganisasi melalui kedua

UU tersebut adalah desentralisasi3, yang berarti penyerahan

kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan

daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan ‘jarak’ antara

rakyat dengan pembuat kebijakan menjadi lebih dekat baik

3 Dari sudut konsep desentralisasi adalah konsep yang mengakomodir pandangan Dunia Ketiga. Karena politik desentralisasi dalam konteks isu-isu global merupakan bagian dari paket dukungan terhadap proses-proses demokratisasi di negara-negara Dunia Ketiga. Jadi politik desentralisasi tidak dapat dibaca sebagai munculnya kesadaran baru dari pemerintah pusat atas ‘sesat pikir’nya di masa lalu. Namun, pelaksanaan desentralisasi lebih dipahami sebagai tanggapan atas desakan eksternal akibat bangkrutnya perekonomian nasional dan beban utang luar negeri yang melambung tinggi. Sumber : Kertas Posisi YAPPIKA. Prasyarat Pelaksanaan Otonomi Daerah bagi Keselamatan Rakyat dan Keadilan Lingkungan Hidup. Dalam Fauzi, Noer dkk. Hal 19-20.

secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan

kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan

hajat hidup rakyat. Berkaitan dengan pengelolaan kekayaan

alam4, dengan desentralisasi diharapkan kesalahan-kesalahan

yang terjadi di masa lalu5 tidak akan terulang karena

kebijakan pemerintah daerah akan semakin mudah dikontrol

bahkan dicegah karena dekatnya jarak antara rakyat dengan

pembuat kebijakan.

Bagaimana realisasinya di lapangan ? Apakah reorganisasi

hubungan kekuasaan ini dapat memulihkan kerusakan-

kerusakan sosial dan ekologis6 yang diderita oleh berbagai

4 Penulis sengaja menggunakan istilah ‘kekayaan alam’ dan menghindari penggunaan kata ‘sumberdaya alam’, dengan alasan bahwa istilah ‘sumberdaya’ atau resources berkonotasi bahwa alam didudukan sederajat dengan alat-alat produksi lainnya seperti uang, buruh dan teknologi. Konsep ini.merupakan cerminan paradigma kapitalis karena mengandung makna eksploitasi yang bertujuan memaksimalkan keuntungan.

5 Rejim orde baru dengan konsep ‘pembangunan’-nya telah menimbulkan masalah yang sangat genting bagi komunitas, yakni menurunnya kemampuan lokal untuk menjaga keselamatan rakyat, kesinambungan layanan alam dan produktivitas rakyat. Dengan demikian yang menjadi masalah adalah bagaimana agar arah perubahan benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat. Persyaratan sosial dan ekologis dapat dikemukakan sebagai keadaan kehidupan masyarakat dan keadaan ekosistem setempat yang harus terpenuhi atau terjadi/berlangsung di sepanjang proses perubahan. Persyaratan yang dimaksud di sini mencakup tiga urusan utama, yakni keselamatan rakyat, kelangsungan pelayanan alam dan peningkatan produktivitas rakyat. Lebih lengkapnya lihat Sangkoyo, Hendro. Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah dalam Fauzi, Noer, dkk.

6 Pada saat ini tidak ada satu pun wilayah yang bisa menyatakan bebas dari kerusakan sosial atau ekologis setelah ditimpa proses pembangunan selama lebih dari 30 tahun. Contoh kerusakan sosial misalnya adalah penyitaan tanah garapan rakyat dengan alas an lemahnya status hokum dari hak atau

rakyat? Meski tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan

ini secara langsung, tulisan berikut coba mengemukakan

pengalaman empat tahun belakangan ini sebagai penunjuk

arah pada jawab-jawaban yang sebenarnya.

Substansi yang Terkandung Dalam Kebijakan yang Menjadi

Acuan Dasar

Kewenangan pengelolaan kekayaan alam oleh Pemerintah

Pusat dan Daerah diatur dalam Pasal 7 – 13 UU No.22 Th.1999

dan Pasal 6 UU No.25 Th.1999. Secara implisit yang dipilih

sebagai daerah otonom oleh kedua UU tersebut adalah daerah

kabupaten/kota.

Pasal 7 UU No.22 Th.1999, menyebutkan :

Ayat 1 :

kuasa atas tanah ; hilangnya pengetahuan tentang fungsi-fungsi ekologis dari tempat-tempat penting di wilayah desa seperti mata air dan hutan larangan dari ingatan rakyat desa ; hilangnya ruang politik rakyat desa untuk menentukan tata kuasa dan tata guna sumber-sumber penghidupan di desanya sendiri. Contoh kerusakan ekologis misalnya adalah terancam punahnya sumber air utama dari perbukitan dan mengeringnya sungai karena habis tandasnya penutup tanah alami di wilayah hulu ; peracunan tanah karena perluasan pasar insdustri racun pertanian di pusat-pusat produksi tani. Sumber : ibid. hal 79

Kewenangan daerah mencakup kewenangan

dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali

dalam kewenangan bidang politik luar negeri,

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan

fiskal, agama dan kewenangan bidang lain

Ayat 2 :

Kewenangan di bidang lain, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan

tentang perencanaan nasional dan

pengendalian pembangunan nasional secara

makro, dana pertimbangan keuangan, sistem

administrasi negara, dan lembaga

pendayagunaan sumber daya alam serta

teknologi yang strategis, konservasi dan

standarisasi nasional

Dalam Pasal 7 ayat 1 ini, jelas ditunjukkan bahwa Pemerintah

Pusat hanya mengatur 5 hal utama yaitu politik luar negeri,

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta

agama. Namun, pada ayat 2, kewenangan ini diperluas ke

bidang lain, tanpa ada kejelasan sehingga dapat ditafsirkan

seluas mungkin.

Sementara, pasal 10 UU No.22 Th.1999, ayat 1 menyebutkan :

Daerah berwenang mengelola sumber daya

alam nasional yang tersedia di wilayahnya dan

bertanggungjawab memelihara kelestarian

lingkungan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Ditegaskan kembali dalam pasal ini bahwa daerah juga

berwenang mengelola kekayaan alam dan bertanggungjawab

memelihara kelestarian lingkungan. Hal ini diperkuat dengan

adanya pasal 11 UU No.22 Th.1999 yang menyebutkan 10

(sepuluh) kewenangan wajib bagi daerah kabupaten/kota

untuk dapat melaksanakan : bidang pekerjaan umum,

kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,

perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,

lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Namun, UU No 25 Th.1999 yang berperan sebagai pilar

institusional utama bagi desentralisasi tidak tegas mengatur

kewenangan daerah untuk mengelola kekayaan alamnya.

Seperti halnya untuk persoalan konflik agraria. Meskipun era

desentralisasi berarti penyerahan kewenangan kepada

pemerintahan daerah, namun khusus untuk konflik agraria,

pemerintahan daerah tidak memiliki kewenangan

memutuskan perizinan yang telah diberikan oleh pemerintah

pusat sampai berakhirnya perizinan tersebut. Seperti

disebutkan pada pasal 8 UU No.25 Th.1999 yang berbunyi :

Perizinan dan perjanjian kerja sama

Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan

kewenangan Pemerintah sebelum

Tabel 1Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah

Pusat Propinsi1. Pertanian 1. Pertanian2. Kelautan 2. Kelautan3. Pertambangan dan Energi 3. Pertambangan dan Energi4. Kehutanan dan Perkebunan 4. Kehutanan dan Perkebunan5. Perindustrian dan Perdagangan 5. Perindustrian dan Perdagangan6. Perkoperasian 6. Perkoperasian7. Penanaman Modal 7. Penanaman Modal8. Kepariwisataan9. Ketenagakerjaan 8. Ketenagakerjaan10. Kesehatan 9. Kesehatan11. Pendidikan dan Kebudayaan 10. Pendidikan dan Kebudayaan12. Sosial 11. Sosial13. Penataan Ruang 12. Penataan Ruang14. Pertanahan15. Permukiman 13. Permukiman16. Pekerjaan Umum 14. Pekerjaan Umum17. perhubungan 15. perhubungan18. Lingkungan Hidup 16. Lingkungan Hidup19. Politik Dalam Negeri dan Adm Publik 17. Politik Dalam Negeri dan Adm Publik20. Pengembangan Otonomi Daerah 18. Pengembangan Otonomi Daerah21. Perimbangan Keuangan 19. Perimbangan Keuangan22. Kependudukan23. Olahrags24. Hukum dan perundang-undangan 20. Hukum dan perundang-undangan25 PeneranganSumber : Pasal 2 ayat 3 dan Pasal 3 ayat 5 PP No. 25 Th. 2000

ditetapkannyaPeraturan Pemerintah ini,

dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya

perizinan dan perjanjian kerja sama

Bahkan, dalam PP No.25 Th.2000 yang pada awalnya

ditujukan untuk memperinci kewenangan Pusat dan Daerah

ini, justru

membuat Pasal

7 ayat 1 UU

No.22 Th.1999

menjadi rancu.

Karena dalam

pasal 7 ayat 1,

seperti dapat

dilihat di atas,

wewenang Pemerintah Pusat dialokasikan hanya pada lima

areal utama. Ironisnya, dalam PP 25 wewenang ini merambah

hampir ke seluruh sektor kehidupan. seperti tergambar dalam

tabel 1. Dalam PP ini diatur wewenang pemerintah pusat dan

propinsi sebagai daerah otonom. Dari sini kabupaten/kota

terpaksa menerjemahkan sendiri batas-batas kewenangannya

Jadi ketidakkonsistenan telah tergambarkan sejak tingkat UU.

Kemudian tampak lebih nyata lagi ketidak sesuaiannya

dengan ‘roh’ desentralisasi ketika melihat peraturan

perundangan di bawahnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa

pada level implementasi akan menimbulkan kebingungan yang

pada akhirnya berakibat pada kerancuan.

Seharusnya agenda desentralisasi yang dimaksudkan

menyerahkan sejumlah kewenangan dari pemerintahan pusat

ke pemerintahan daerah, harus disertai dengan pengaturan

yang jelas mengenai kewenangan yang berhubungan dengan

pengelolaan kekayaan alam ini. Supaya tidak terjadi tarik-

ulur antara Daerah dan Pusat, karena perbedaan persepsi

terhadap wewenangnya masing-masing. Ketidakjelasan

pengaturan itu membuat pemerintahan dinilai tidak mampu

memperbaiki kondisi sosial dan ekologis rakyat kebanyakan.

Struktur dan Perilaku Politik di Daerah

Tidak hanya sekedar pembagian ‘jatah’ mana wewenang

pemerintah pusat dan daerah, masalah lain yang dahulu juga

sudah diperkirakan pada awal pelaksanaan otonomi daerah,

adalah kesiapan dan kemampuan pemerintah daerah untuk

mengelola ‘jatah’-nya demi pemulihan kondisi sosial dan

ekologis rakyat.

Berdasarkan pengalaman lima tahun terakhir ini tergambar

masih belum ada ‘niat’ yang sungguh-sungguh baik dari

badan eksekutif maupun legislatif di daerah untuk mengelola

kekayaan alam demi kemakmuran hajat hidup rakyat7. Dalam

hal ini political will di daerah, patut dipertanyakan. Karena

7 Bagaimana memiliki ‘niat’ baik, jika secara personal anggota badan eksekutif dan legislatif memiliki kepentingan dalam industri ekstraktif di daerahnya. Contoh kasus di Taman Nasional Tanjung Puting - Kalimantan Tengah, tokoh yang menjadi dalang illegal logging adalah anggota legislatife. Atau masih di wilayah yang sama, dimana Bupati memiliki saham besar dalam industri ekstraktif yang mengeksploitasi kekayaan alam di wilayahnya.

Tabel 2 Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan Sumber Daya Alam

BidangPusat(%)

Daerah(%)

Minyak 85 15PropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain

366

Gas Alam 70 30PropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain

61212

Pertambangan Umum

20 80Iuran TetapPropinsiKab/Kota Penghasil

1664

Iuran eksplorasi & eksploitasi (royalti)PropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain

633232

Hutan 20 80IHPHPropinsiKab/Kota Penghasil

1664

Provisi SDHPropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain

163232

Alokasi Umum 75 25ProvinsiDaerah Kab/Kota

2.522.5

ReboisasiPerikananPBBBPHTB

60201020

40809080

Sumber : Pasal 6 UU No.25 Th 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

dengan desentralisasi, peluang daerah untuk mengelola dan

mendapatkan keuntungan dari hasil eksploitasi kekayaan

alamnya lebih besar dari

sebelumnya (lihat tabel 2).

Seharusnya dibayangkan

bahwa dengan pelimpahan

wewenang ke daerah, maka

daerah akan mengelola

potensi kekayaan alamnya

dengan sebaik-baiknya demi

rakyat di daerah yang

bersangkutan. Namun, yang

terjadi adalah “segala

penyakit yang tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke

pemerintahan daerah”. Sama seperti masa sewaktu

sentralisasi, semangat terbesarnya adalah semangat meng-

eksploitasi8. Kekayaan alam dipandang sebagai sumber untuk

8 Sebagai ilustrasi, kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton, kemudian tahun 2000 meningkat tajam menjadi 8.575.970 ton. Pada akhir tahun 2003 kapasitas produksi industri

meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) setinggi-

tingginya demi jalannya roda pemerintahan dan

pembangunan di daerahnya. Contoh kasus di Kabupaten

Sanggau – Kalimantan Barat, konteks umum Sanggau

memang diisi oleh berbagai krisis sosial-ekologis sebagai

konsekuensi dari perluasan praktek ekstraksi dan eksploitasi

sumber daya alam9 yang difasilitasi oleh pemerintah pusat dan

daerah dan dijalankan oleh badan usaha skala raksasa sejak

rejim orde baru sampai saat ini. Jadi, jangan pernah

membayangkan bahwa kekayaan alam akan dikelola sebaik-

baiknya demi rakyat. Karena untuk mendiskusikan petani

atau masyarakat adat ternyata dianggap tidak terlalu penting

bagi penguasa dan pejabat negara --kecuali untuk kampanye

dalam rangka memperebutkan kekuasaan-- di republik ini.

kertas meningkat menjadi 11.064.915 ton. Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 4.972.100 ton. Pada akhir tahun 2003 kapasitas produksi industri pulp mencapai 7.102.900 ton. Ditinjau dari perspektif ekonomi, pesatnya pertumbuhan kapasitas produksi industri pulp dan kertas ini merupakan hal strategis, karena di samping menciptakan lapangan kerja baru juga mendatangkan devisa bagi negara. Namun yang sering dilupakan orang, asal-usul dari bahan baku pembuat kertas ini diantaranya adalah kayu bulat yang 85% berasal dari hutan alam. Akibatnya, terjadi over eksploitasi untuk hutan alam. Sumber : Industri Pulp dan Kertas : Ancaman terhadap Hutan Alam Indonesia dalam Lembar Informasi Forest Watch Indonesia

9 Berdasarkan catatan dari LBBT dan PPSHK ditemukan lebih dari 20 kasus yang terkait dengan HPH dan perkebunan besar terutama kelapa sawit yang mengakibatkan konflik dan marginalisasi masyarakat adat di Kabupaten Sanggau.

Selain itu, struktur dan perilaku politik di daerah juga

menyebabkan berbagai penguasaan, pemanfaatan dan

pengelolaan kekayaan alam di daerah tidak dapat

terselesaikan karena belum memiliki dasar hukum dan

mekanisme penyelesaian konflik. Hal ini membahayakan,

karena dampaknya selain akan mempercepat pengurasan

kekayaan alam juga akan menimbulkan konflik baik vertikal

(antara industri ekstraktif dengan rakyat) maupun horisontal

(antara sesama rakyat). Misalnya kasus Pertambangan Emas

Tanpa Ijin (PETI) di DAS Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Karena ketiadaan instrumen hukum untuk menyelesaikannya,

maka saat ini kasus tersebut berkembang menjadi konflik

antara suku Dayak Punan Oheng Kereho dengan penambang

yang merupakan pendatang (berasal dari suku lain di luar

Ketemenggungan mereka dan etnis lain).

Kasus mengenai ketidakmampuan dan ketidaksiapan

Pemerintah Daerah juga tercermin pada Kasus Peraturan

Daerah mengenai Cendana di Nusa Tenggara Timur. Perda ini

--konon-- dilahirkan untuk melindungi kelestarian Kayu

Cendana. Namun, implikasi dari penerapan Perda ini justru

bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Karena, di dalam

Perda ini terkandung aturan dimana setiap warga yang

memiliki Cendana wajib melaporkan keberadaannya,

sehingga Pemda setempat dapat menarik pajak atas

kepemilikan cendana tersebut (tanpa peduli apakah cendana

tersebut memang sengaja ditanam maupun tumbuh dengan

sendirinya di lahan milik warga). Sehingga, yang terjadi

adalah banyak warga yang kemudian merasa keberatan dan

kemudian memusnahkan cendana yang tumbuh di lahan

miliknya, untuk menghindari kewajiban membayar pajak.10

10 Hoeroepoetri, Arimbi. 2001. Tak Ada Tempat Bagi Rakyat. YLBHI, E-LAW Indonesia, RACA Institute dan Kreasi Wacana, Jakarta. Hal 15.

Cerita di atas muncul karena kebijakan dilahirkan tanpa

partisipasi rakyat sama sekali. Padahal, menurut UU No. 22

Th.1999, seluruh kebijakan seharusnya disusun berdasarkan

aspirasi dan partisipasi masyarakat luas (Penjelasan Angka 9,

butir 1). Ini sudah umum terjadi. Dalam beberapa kasus-kasus

legislasi perda tentang desa misalnya. Perda yang dikawal oleh

ornop tersebut pada akhirnya berakhir dengan kekecewaan

bahkan kemarahan rakyat. Di Sanggau, masyarakat dan

ornop merasa dikhianati, karena kesepakatan-kesepakatan

yang telah dicapai sebelumnya terwujud lain dalam Perda

yang kemudian diundangkan, sehingga pemerintah daerah

dan DPRD setempat dituntut mendapat sangsi adat11. Bahkan

di Toraja, masukan untuk revisi Perda dari masyarakat adat

yang mengorganisir dirinya melalui Aliansi Masyarakat Adat

Toraya, dimintakan 1 hari setelah revisi Perda tersebut

disahkan. Ini kenyataan yang benar-benar memprihatinkan!

11 Lihat Harian Umum Kompas, 26 Agustus 2003.

Peran Rakyat dan Organisasi-organisasi Non Pemerintah di

Daerah

Desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk

mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Dari sini ruang

partisipasi rakyat demi demokratisasi terbuka. Dengan

dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat

dengan pembuat kebijakan seharusnya, kontrol terhadap

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah

semakin besar.

Namun, pengalaman empat tahun belakangan ini

menunjukkan bahwa kontrol baik dari rakyat maupun

organisasi non pemerintah di daerah terhadap perangkat

perundang-undangan yang muncul sebagai penjabaran UU

diatasnya sangat lemah. Sehingga sangat mungkin, peraturan-

peraturan perundangan ini justru malah bertolak belakang

dari jiwa UU di atasnya tersebut.

Hal-hal di atas terjadi walaupun advokasi kebijakan dan

pengorganisasian serta pendampingan rakyat telah dilakukan

baik bersama ornop maupun oleh rakyat sendiri. Refleksi

beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kapasitas

dan kualitas pengawalan oleh rakyat beserta ornop dalam

memulihkan kerusakan sosial dan ekologis ini masih relatif

lemah12. Pemahaman tentang pokok permasalahan relatif

masih tidak lengkap. Dalam banyak kasus, metode yang

digunakan juga tidak dipahami secara kritis. Akibatnya,

seringkali, alih-alih menyelesaikan masalah, justru telah

menimbulkan masalah baru. Bahkan di beberapa wilayah

ornop masih sibuk membenahi permasalahan internal

organisasinya. Hal ini diakui memang terjadi, selain faktor

tidak seimbangnya jumlah ornop yang ada (terlalu sedikit)

dengan kerusakan-kerusakan yang harus dipulihkan.

12 Zakaria, Yando. 2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Seharusnya, ornop bersama rakyat memperkuat dirinya

dengan mendalami substansi permasalahan juga metode untuk

resolusi konflik. Selain itu pengorganisasian harus diperkuat

dan sikap kritis dipertajam sehingga kebijakan-kebijakan

yang keluar dari pemerintah daerah dapat mencerminkan

aspirasi rakyat dan ditujukan untuk memulihkan kerusakan

sosial dan ekologis yang selama ini terjadi. Sehingga cerita

Perda tentang Cendana di Nusa Tenggara Timur tidak

berulang.

Penutup

Kekayaan alam memang tidak pernah lepas dari berbagai

kepentingan, yaitu kepentingan negara, kepentingan modal

dan kepentingan rakyat. Konflik antar kepentingan ini selalu

memposisikan rakyat sebagai pihak yang kalah. Agenda

desentralisasi yang dimaksudkan menyerahkan sejumlah

kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah

seharusnya memposisikan rakyat sebagai pelaku utama

pengelolaan kekayaan alam. Namun, pengalaman empat tahun

terakhir ini menunjukkan bahwa “segala penyakit yang

tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke pemerintahan

daerah”. Selain landasan undang-undangnya sendiri yang

harus direvisi13, political will dari eksekutif dan legislatif di

daerah yang belum muncul serta struktur politik yang ada

juga tidak memungkinkan perubahan. Di samping itu,

kapasitas pihak yang terkalahkan selama ini beserta

‘pembela’nya juga masih relatif lemah. Apakah ini akan

dibiarkan terus-menerus berlangsung? Apakah kita akan

berdiam diri melihat kerusakan sosial dan ekologis yang

bertambah parah? Semoga TIDAK!

Sumber Bacaan :

Fauzi, Noer. 2001. Otonomi Daerah Sumber Daya Alam – Lingkungan. LAPPERA Pustaka Utama, Yogyakarta.

13 Peluang desentralisasi tidak hanya perihal tata pemerintahan--seperti yang revisi UU 22 yang saat ini sedang berlangsung, dimana fokus revisi hanya pada pemilihan kepala daerah secara langsung-- namun ketidakadilan yang selama ini terjadi yang mengakibatkan kerusakan sosial dan ekologis pada rakyat

Heroepoetri, Arimbi.2001. Seri Otonomi : Tak Ada Tempat Bagi Rakyat. YLBHI, E-LAW Indonesia, RACA Institute dan Kreasi Wacana, Jakarta.

Iswari, Paramita.2003. Dinamika Pembaruan Desa dan Agraria : Pengalaman Belajar di Sanggau, Garut dan Toraja. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Marut, Donatus K.2001. Desentralisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Daerah dalam Otonomi dan Lingkungan Hidup : Prospek Pengelolaan Lingkungan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah, Semakin Buruk atau Baik?. Konphalindo, Jakarta.

Zakaria, Yando.2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.