bab ii. landasan teori a. tinjauan pustaka · 1 bab ii. landasan teori a. tinjauan pustaka 1....
TRANSCRIPT
1
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kerusakan Lingkungan dan Degradasi Kesuburan Tanah
a. Kerusakan lingkungan
Fenomena kemerosotan lingkungan tanah sebagian besar disebabkan
oleh semakin menipisnya lapisan tanah sehingga kemampuan fungsi tanah
sebagai media tumbuh tanaman dan media pengatur daur air menjadi terbatas
yang pada akhirnya berakibat pada kemunduran kemampuan lingkungan
(Nursa’ban, 2006). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumberdaya alam
yang tepat untuk melestarikan kemampuan lingkungan.
Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam yang utama memegang posisi
penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang
diindikasi oleh peningkatan laju erosi akan menurunkan kemampuan fungsi
lingkungan (Nursa’ban, 2006). Perpindahan hara melalui sedimen dan aliran
permukaan akan menurunkan kesuburan tanah serta menyebabkan permasalahan
lingkungan apabila hara tersebut terangkut ke perairan atau badan sungai dan
mempengaruhi kualitas air sungai (Mandal et al., 2012).
Indonesia mempunyai intensitas curah hujan yang relatif tinggi serta
topografi yang berbukit-bukit di sebagian daerah yang menjadi faktor pemicu
terjadinya proses erosi (Nursa’ban, 2006). Potensi erosi akan semakin besar
apabila pengelolaan sumberdaya alam tanpa memperhatikan kaidah konservasi
sumberdaya alam khususnya sumberdaya tanah sehingga secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi kelestarian kemampuan fungsi lingkungan.
b. Degradasi Kesuburan Tanah
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan degradasi tanah
antara lain pembalakan liar, pemadatan tanah, erosi, pemasaman, salinisasi dan
sodifikasi serta akumulasi logam berat dan kontaminan anorganik lainnya.
Diantara faktor penyebab tersebut, erosi merupakan faktor utama yang dapat
menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan penipisan hara (Wild, 1995).
2
Praktek pertanian yang benar seharusnya memperhatikan daya
dukung lingkungan. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya akan
menyebabkan serangkaian permasalahan lingkungan. Salah satu
permasalahan lingkungan yang penting adalah degradasi kesuburan tanah
yang dipicu adanya penggunaan pupuk anorganik dan pestisida secara
berlebihan serta erosi.
Menurut Ogeh dan Ipinmoroti (2013), penggunaan agrokimia
(pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional dapat menyebabkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan berupa pencemaran air, tanah, hasil
pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman hayati,
ketidakberdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk kimia dan dalam
menentukan komoditas yang akan ditanam. Penggunaan pupuk kimia yang
berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu yang
panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena
terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin
merosotnya kandungan bahan organik tanah.
Ogeh dan Ipinmoroti (2013) telah melakukan pengukuran unsur
hara mikro pada perkebunan kakao di Uhonmora, Nigeria yang dipupuk
secara intensif dengan pupuk anorganik. Hasil penelitian ditunjukkan dalam
tabel berikut ini:
Tabel 1. Unsur Hara Mikro pada Tanah dan Tanaman
KomponenUnsur hara mikro (mg/kg )
Cu Mn Zn FeTanah 1,38 2,94 32,4 124Daun 1,22 0,29 47,07 32,89
Sumber: Ogeh dan Ipinmoroti (2013)
Berdasarkan Tabel 1 diatas, unsur Cu pada tanah perkebunan kakao
relatif rendah karena di bawah nilai kritis Cu yaitu 2,5 mg/kg (Ogeh dan
Ipinmoroti, 2013; McKenzie, 2001). Nilai kritis unsur hara Mn adalah 1
mg/kg sedangkan nilai kritis Zn dan Fe berturut-turut adalah > 1 mg/kg dan
>4,5 mg/kg. Untuk kandungan unsur hara mikro pada daun mempunyai nilai
kritis masing-masing untuk Cu, Mn, dan Zn adalah 8, 25 dan 20 mg/kg berat
kering. Unsur hara Fe pada umumnya berada pada kandungan yang cukup
3
dan di atas nilai kritis untuk sampel daun. Hal ini menunjukkan bahwa unsur
hara yang terdapat pada lahan kakao cukup rendah dan banyak terserap
untuk pertumbuhan tanaman.
Unsur hara tanah juga dapat terbawa melalui runoff dan akan
dipercepat dengan adanya alih guna lahan. Menurut Asdak (2002), semakin
besar perubahan tataguna lahan misalnya perubahan dari hutan menjadi
lahan pertanian akan menyebabkan aliran permukaan semakin besar. Aliran
permukaan akan lebih besar pada wilayah dengan solum tanah yang dalam
dan curah hujan tahunan tinggi.
Degradasi kesuburan tanah akibat erosi dan aliran permukaan
terjadi apabila unsur hara yang terkandung dalam top soil ikut hanyut
beserta sedimen yang terangkut dalam proses erosi. Semakin banyak unsur
hara yang terangkut, maka kesuburan tanah akan semakin menurun. Hal ini
akan berdampak pada penurunan produktivitas tanaman yang dibudidayakan
(Nursa’ban, 2006).
Tabel 2. Areal, Produksi dan Produktivitas Kakao 2008-2012
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014
Berdasarkan Tabel 2 diatas, laju pertumbuhan produktivitas
tanaman kakao selama 5 tahun terakhir dari tahun 2008-2012 mengalami
penurunan sebesar -0,16%. Hal ini menunjukkanmulai terjadi degradasi
kesuburan tanah di lahan kakao. Upaya konservasi diperlukan untuk
menanggulangi hal ini agar dampak erosi dapat diminimalkan.
Tanaman kakao pada umumnya ditanam pada wilayah datar hingga
berlereng. Pada wilayah berlereng, teras dapat menurunkan erosi dan runoff
serta meningkatkan infiltrasi (Bernas, 2011). Sedangkan pada wilayah yang
relatif datar dapat digunakan rorak sebagai salah satu upaya konservasi
Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 LajuPertumbuhanper tahun (%)
Luas Areal(ha)
1.425.216 1.587.136 1.650.621 1.732.641 1.732.954 5,09
Produksi(ton)
803.593 809.583 837.918 712.231 936.266 5,18
Produktivitas(kg/ha)
832 822 898 821 820 -0,16
4
tanah dan air. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke
dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah (Direktur
pengelolaan lahan, 2006).
2. Hujan dan Kehilangan Hara
Hujan merupakan suatu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari uap
air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Hujan dengan intensitas
besar atau hujan lebat, kurang baik bagi tanaman dan dapat menimbulkan erosi
(Kartasapoetra, 2010).
Bagi wilayah tropis seperti Indonesia, hujan merupakan siklus tahunan.
Jika hujan mengenai suatu tanah yang terbuka tanpa adanya vegetasi ataupun
pada kondisi tanah yang sedang diolah untuk persiapan tanam, maka erosi dapat
terjadi. Pada hujan yang normal, ukuran diameter butir hujan berkisar antara 1-7
mm dan mengenai permukaan tanah pada kecepatan 20 mil per jam. Dampak
dari berjuta butiran hujan yang memukul permukaan tanah yang terbuka adalah
hancurnya partikel tanah dan terpercik hingga sejauh 3-5 kaki. Pada hujan yang
lebat, partikel tanah dapat terpercik sebanyak 90 ton tanah per acre. Namun
demikian, percikan tanah tidak secara cepat hilang dari suatu lahan. Kebanyakan
partikel tanah yang terpercik tidak meninggalkan lahan tersebut, namun
menutup permukaan tanah yang lebih rendah (Al Kaisi, 2008).
Dalam budidaya tanaman kakao, curah hujan tidak dapat seluruhnya
masuk ke dalam tanah. Sebagian dari curah hujan akan mengalir di atas
permukaan tanah berupa limpasan permukaan yang berpotensi menyebabkan
erosi dan kehilangan hara. Pembangunan teras pada lahan yang miring
dikombinasi dengan rorak dapat mengurangi kecepatan air limpasan. Selain itu,
aplikasi mulsa utamanya pada saat menjelang akhir musim hujan juga
merupakan cara yang tepat untuk mengurangi hilangnya air selama musim
kemarau (Direktur Pengelolaan Lahan, 2006).
Proses erosi terdiri dari tiga bagian yaitu yang pertama terjadi adalah
penghancuran struktur tanah dan pengelupasan (detachment), pengangkutan oleh
aliran air (transportation) dan kemudian pengendapan (sedimentation) (Asdak,
2002). Penghancuran partikel tanah sangat tergantung pada kanopi tanaman.
Semakin cepat suatu tanaman tumbuh, maka kanopi juga semakin berkembang.
5
Kanopi tanaman sangat membantu dalam melindungi partikel tanah dari butiran
merusak air hujan. Kanopi tanaman yang hanya sebagian menutup tanah lebih
baik daripada tidak ada sama sekali (Al Kaisi, 2008).
Air merupakan media transpor unsur hara di dalam sistem ekologi. Hujan
yang lebat dapat mengakibatkan hilangnya unsur hara melalui proses pelindian
(leaching) dan hilangnya sedimen melalui aliran permukaan. Berdasarkan studi
jangka panjang di Iowa, konsentrasi nitratdi dasar drainase pada umumnya dapat
mencapai 20 mg/L dimana sebanyak 2-4 inchi air dapat melewati drainase ini.
Penelitian selama enam tahun (1993-1998) pada sistem drainase dan kualitas air
drainase di sebelah timur laut Iowa menunjukkan konsentrasi nitrat lebih rendah
pada praktek tanpa pengolahan tanah dibandingkan pada tanah yang dibajak.
Namun demikian, sistem tanpa olah tanah mempunyai rata-rata volume aliran
drainase yang lebih besar (Kartasapoetra, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan terhadap erosi dari
sistem agroforestry (kombinasi tanaman pertanian dan kehutanan) terhadap
besarnya erosi bukan disebabkan unsur pohon, melainkan tumbuhan bawah dan
seresah. Arah dan jarak terkelupasnya partikel-partikel tanah ditentukan oleh
kemiringan lereng, kecepatan dan arah angin, kekasaran permukaan tanah dan
penutupan tanah. Loncatan partikel tanah pada wilayah berlereng akan mengarah
ke tempat yang lebih rendah. Apabila air hujan jatuh diatas seresah atau
tumbuhan bawah, energi kinetik air hujan akan tertahan oleh penutup tanah
sehingga menurunkan jumlah partikel tanah yang terkelupas.
Tanah yang mengalami erosi akan membawa serta unsur hara yang vital
seperti N, P, K dan Ca di dalam sedimennya. Jumlah unsur hara yang terdapat
pada tanah yang tererosi bernilai tiga kali lebih banyak dari unsur hara pada
tanah yang masih tersisa (Pimentel, 2006). Satu ton top soil yang subur rata-rata
mengandung 1-6 kg N, 1-3 kg P dan 2-30 kg K, sedangkan tanah yang tererosi
mengandung rata-rata N sebanyak 0,1-0,5 kg per ton (Pimentel. 2006; Troch et
al., 1991).
Ketika unsur hara dipindahkan oleh erosi, pertumbuhan tanaman akan
menjadi kerdil dan produktivitasnya menurun. Penurunan unsur hara dalam
tanah dapat menyebabkan penurunan hasil panen sebesar 15-30%. Untuk
6
menyeimbangkan kehilangan hara melalui erosi, maka sejumlah pupuk perlu
diaplikasikan untuk meningkatkan produksi tanaman. Namun pupuk kimia atau
pupuk anorganik relatif mahal bagi petani kecil dengan skala usaha kecil dan
seringkali menyebabkan ketergantungan. Selain itu, pupuk kimia dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan (Pimentel, 2006).
3. Klasifikasi Iklim
Iklim merupakan rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang
cukup lama, minimal 30 tahun dan sifatnya tetap. Cuaca adalah keadaan
atmosfer pada waktu tertentu yang sifatnya berubah dari waktu ke waktu. Iklim
mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman
(Kartasapoetra, 2010).
Tujuan klasifikasi iklim adalah untuk menetapkan pembagian ringkas
jenis iklim sesuai tujuan penggunaannya. Klasifikasi iklim yang pernah
digunakan di Indonesia adalah menurut Koppen, Mohr, Schmidt ‐ Ferguson dan
Oldeman. Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan
untuk iklim hutan dan perkebunan.
Klasifikasi iklim Schmidt – Ferguson didasarkan kepada perbandingan
antara Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB) dengan kriteria sebagai berikut
:
a) Bulan Kering : bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 60 mm
b) Bulan Basah : bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100 mm
c) Bulan Lembab : bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm
Bulan Lembab (BL) tidak dimasukkan dalam rumus penentuan tipe curah hujan
yang dinyatakan dalam Q, yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
= − ℎ− ℎ 100%Rata-rata jumlah bulan basah adalah banyaknya bulan basah dari
seluruh data pengamatan dibagi jumlah tahun data pengamatan, demikian pula
untuk bulan kering. Berdasarkan besarnya nilai Q, selanjutnya ditentukan tipe
curah hujan suatu tempat atau daerah dengan menggunakan tabel berikut ini:
7
Tabel 3. Kriteria Pembagian Tipe Iklim Menurut Schmidth – Ferguson
Zona Iklim Kriteria KeteranganA Q < 0,143 Wilayah sangat basah, vegetasi hutan hujan tropikaB 0,143 < Q < 0,333 Wilayah basah, hutan hujan tropikaC 0,333 < Q < 0,600 Wilayah agak basah, vegetasi hutan rimbaD 0,600 < Q < 1,000 Wilayah sedang, vegetasi hutan musimE 1.000 < Q < 1,670 Wilayah agak kering, vegetasi hutan sabanaF 1,670 < Q < 3,000 Wilayah kering, vegetasi hutan sabanaG 3,000 < Q < 7,000 Wilayah sangat kering, vegetasi padang ilalangH 7,000 < Q Wilayah luar biasa kering, vegetasi padang ilalang
4. Konservasi Tanah, Rorak dan Mulsa
Pada dasarnya pembangunan pertanian harus berwawasan lingkungan.
Pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah merupakan upaya
sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumberdaya secara arif dan
bijaksana untuk meningkatkan hasil produksi dan sekaligus menjaga kelestarian
lahan dan air. Hal ini didasari karena kebutuhan manusia akan tanah dan air
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Bukan saja diakibatkan karena
pertambahan penduduk, tetapi juga karena meningkatnya intensitas (jumlah) dan
ragam kebutuhannya, padahal ketersediaan tanah dan air sangat terbatas
(Nursa’ban, 2006).
Usaha peningkatan produksi hasil pertanian selalu tidak dapat
mengimbangi kecepatan pertumbuhan penduduk. Hal ini antara lain disebabkan
karena menurunnya produktivitas tanah dan air sebagai sumber daya alam
sehingga memerlukan upaya konservasi. Undang-undang nomor 37 tahun 2014
pasal 2 tentang Konservasi Tanah dan Air menyatakan bahwa “penyelenggaraan
konservasi tanah dan air harus berdasarkan pada azas partisipatif, keterpaduan,
keseimbangan, keadilan, kemanfaatan, kearifan lokal dan kelestarian” (Menteri
Hukum dan HAM, 2014).
a. Konservasi tanah
Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi
pada suatu lahan. Konservasi tanah berarti juga penyesuaian macam
penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan tanah dan memberikan
8
perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tanah dapat
berfungsi secara lestari (Arsyad, 1989; Pratiwi 2013). Tujuan
penyelenggaraan konservasi tanah dan air menurut Undang-undang nomor
37 tahun 2014 pasal 3 tentang Konservasi Tanah dan Air adalah:
1. Melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan yang jatuh,
meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah dan mencegah terjadinya
konsentrasi aliran permukaan;
2. Menjamin fungsi tanah pada lahan agar mendukung kehidupan
masyarakat;
3. Mengoptimalkan fungsi tanah pada lahan untuk mewujudkan manfaat
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup secara seimbang dan lestari;
4. Meningkatkan daya dukung DAS (Daerah Aliran Sungai)
5. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
memberdayakan keikutsertaan masyarakat secara partisipatif; dan
6. Menjamin kemanfaatan konservasi tanah dan air secara adil dan merata
untuk kepentingan masyarakat.
Konservasi tanah secara luas mencakup pengendalian erosi dan
memelihara kesuburan tanah. Untuk mencapai tujuan ini, pengendalian erosi
sangat penting disamping pemeliharaan sifat fisik, kimia dan biologi tanah
termasuk status hara dan menghindari keracunan (Pratiwi, 2013).
Penyelenggaraan konservasi tanah dan air meliputi pelindungan, pemulihan,
peningkatan dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan (Menteri Hukum dan
HAM RI, 2014).
Berdasarkan Undang-undang nomor 37 tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa
“penyelenggaraan konservasi tanah dan air dilaksanakan pada lahan di
kawasan lindung dan budidaya”. Pada ayat 2, disebutkan bahwa
“penyelenggaraan konservasi tanah dan air dilakukan dengan metode
vegetatif, agronomi, sipil teknis pembuatan bangunan konservasi tanah dan
air, manajemen dan atau metode lain yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi” (Menteri Hukum dan HAM, 2014).
1. Metode Vegetatif
9
Metode ini mempergunakan tumbuhan atau tanaman dan sisa-sisanya
untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, jumlah dan daya rusak
aliran permukaan. Fungsi tumbuhan dalam metode ini untuk:
a) melindungi tanah dari daya perusak butir-butir hujan,
b) melindungi tanah dari aliran permukaan, dan
c) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang akan
mempengaruhi besarnya aliran permukaan.
Termasuk dalam metode vegetatif ini diantaranya adalah budidaya
tanaman semusim (jagung, kacang tanah, dan lain-lain) atau tanaman
permanen (kayu-kayuan), menanam perdu, rumput-rumputan atau
tanaman penutup tanah lainnya.
2. Metode Agronomi
Metode ini menggunakan teknik yang berhubungan dengan aspek
budidaya tanaman. Metode yang dapat digunakan antara lain:
pemanfaatan sisa tanaman untuk pemberian mulsa, pengaturan pola
tanam, pemberian amelioran, pengayaan tanaman, pengolahan tanah
konservasi, penanaman mengikuti kontur, penanaman dalam strip
cropping, pergiliran tanaman, sistem pertanian hutan (agroforestry),
pemupukan, pemanenan dan atau kegiatan lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Metode Sipil Teknis
Metode sipil teknis adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi, serta meningkatkan kemampuan penggunaan tanah.
Metode mekanik dalam pengendalian erosi berfungsi: a) memperlambat
aliran permukaan, b) menampung dan menyalurkan aliran permukaan
dengan kekuatan yang tidak merusak, c) memperbaiki atau memperbesar
infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, serta d)
menyediakan air bagi tanaman. Termasuk dalam metode mekanik adalah
pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut kontur (contour
cultivation), guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, teras (teras
10
bangku sawah, teras di lahan berlereng, teras batu), dam penghambat
(check dam, waduk, rorak, tanggul), dan perbaikan drainase.
Pengolahan lahan dengan pembajakan dan pemberian pupuk
organik dapat meningkatkan permeabilitas tanah. Tanah yang dibajak dan
diberi pupuk organik bersifat lebih gembur sehingga hujan mudah
meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, aliran permukaan dapat
dikurangi.
4. Metode Kimiawi
Metode kimia dalam pengendalian erosi menggunakan preparat
kimia sintetis atau alami. Metode ini sering dikenal dengan sebutan soil
conditioner, yang bertujuan memperbaiki struktur tanah. Beberapa
contoh soil conditioner yaitu; PVA (Polyvinyl alcohol), PAA (Poly
acrylic acid), VAMA (Vinyl acetate malcic acidcopolymer), DAEMA
(Dimethyl amino ethyl metacrylate), dan Emulsi Bitumen.
Sering pula dilakukan pengendalian erosi dengan
mengkombinasikan dari dua metode pengendalian erosi atau bahkan
ketiga metode tersebut di atas digunakan secara bersamaan dalam usaha
mengendalikan erosi.
b. Rorak
Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat
pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur (Ditjen Pengelolaan
Lahan, 2006). Sistem rorak merupakan salah satu teknik konservasi tanah
dan air secara sipil teknis yang berfungsi sebagai perangkap sedimen dan
menampung top soil yang hanyut terbawa aliran permukaan. Berdasarkan
Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kakao, rorak dibuat pada saat bibit
kakao ditanam di kebun. Rorak dibuat berselang-seling dengan jumlah yang
disesuaikan keadaan lapangan. Bahan organik atau limbah organik dari
kebun dapat diisikan ke dalam rorak hingga penuh kemudian ditutup dan
dibuat rorak baru di sekitarnya (Ditjen Perkebunan, 2007).
Rorak adalah galian yang dibuat di sebelah pokok tanaman untuk
menempatkan pupuk organik dan dapat berfungsi sebagai lubang drainase.
Rorak merupakan salah satu praktik baku lahan yang bertujuan untuk
11
mengelola lahan. Rorak dapat diisi seresah tanaman kakao atau sisa hasil
pangkasan dan gulma hingga penuh dan ditutupi dengan tanah. Setelah
rorak ini penuh, kita harus membuat rorak baru di sebelah lain pokok
tanaman. Kompos yang dihasilkan dari rorak pertama ditaburkan ke
piringan tanaman. Piringan tanaman merupakan lingkaran area berjarak
sekitar 1 meter di sekitar pokok tanaman yang selalu dipertahankan bersih
dari gulma.
Gambar 1. Ilustrasi Penampang Melintang Rorak (Got Buntu)Sumber: BPDAS Surakarta (2011)
Ketika hujan deras, rorak dapat berfungsi sebagai lubang drainase
untuk mempercepat penyusutan air hujan yang menggenang di atas
permukaan tanah. Air yang menggenang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Stagnasi air dapat berakibat fatal pada pertanaman kakao.
Biasanya saluran drainase dibuat di pinggir blok lahan. Di blok lahan yang
terlalu luas, air yang menggenang di atas hamparan lahan pertanaman
membutuhkan waktu cukup lama untuk keluar melalui saluran drainase ini.
Rorak yang dibuat di sekitar pertanaman dapat membantu mempercepat
keluarnya air dari hamparan pertanaman, khususnya di lahan yang tekstur
tanahnya berat dan beriklim sangat basah dengan curah hujan bulanan relatif
tinggi.
Menurut Kartasapoetra (2010), beberapa fungsi rorak adalah: a)
mengurangi kelebihan air limpasan permukaan, b) mengurangi kecepatan
lajunya aliran air permukaan, c) mengurangi evaporasi, memperbaiki tata
11
mengelola lahan. Rorak dapat diisi seresah tanaman kakao atau sisa hasil
pangkasan dan gulma hingga penuh dan ditutupi dengan tanah. Setelah
rorak ini penuh, kita harus membuat rorak baru di sebelah lain pokok
tanaman. Kompos yang dihasilkan dari rorak pertama ditaburkan ke
piringan tanaman. Piringan tanaman merupakan lingkaran area berjarak
sekitar 1 meter di sekitar pokok tanaman yang selalu dipertahankan bersih
dari gulma.
Gambar 1. Ilustrasi Penampang Melintang Rorak (Got Buntu)Sumber: BPDAS Surakarta (2011)
Ketika hujan deras, rorak dapat berfungsi sebagai lubang drainase
untuk mempercepat penyusutan air hujan yang menggenang di atas
permukaan tanah. Air yang menggenang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Stagnasi air dapat berakibat fatal pada pertanaman kakao.
Biasanya saluran drainase dibuat di pinggir blok lahan. Di blok lahan yang
terlalu luas, air yang menggenang di atas hamparan lahan pertanaman
membutuhkan waktu cukup lama untuk keluar melalui saluran drainase ini.
Rorak yang dibuat di sekitar pertanaman dapat membantu mempercepat
keluarnya air dari hamparan pertanaman, khususnya di lahan yang tekstur
tanahnya berat dan beriklim sangat basah dengan curah hujan bulanan relatif
tinggi.
Menurut Kartasapoetra (2010), beberapa fungsi rorak adalah: a)
mengurangi kelebihan air limpasan permukaan, b) mengurangi kecepatan
lajunya aliran air permukaan, c) mengurangi evaporasi, memperbaiki tata
11
mengelola lahan. Rorak dapat diisi seresah tanaman kakao atau sisa hasil
pangkasan dan gulma hingga penuh dan ditutupi dengan tanah. Setelah
rorak ini penuh, kita harus membuat rorak baru di sebelah lain pokok
tanaman. Kompos yang dihasilkan dari rorak pertama ditaburkan ke
piringan tanaman. Piringan tanaman merupakan lingkaran area berjarak
sekitar 1 meter di sekitar pokok tanaman yang selalu dipertahankan bersih
dari gulma.
Gambar 1. Ilustrasi Penampang Melintang Rorak (Got Buntu)Sumber: BPDAS Surakarta (2011)
Ketika hujan deras, rorak dapat berfungsi sebagai lubang drainase
untuk mempercepat penyusutan air hujan yang menggenang di atas
permukaan tanah. Air yang menggenang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Stagnasi air dapat berakibat fatal pada pertanaman kakao.
Biasanya saluran drainase dibuat di pinggir blok lahan. Di blok lahan yang
terlalu luas, air yang menggenang di atas hamparan lahan pertanaman
membutuhkan waktu cukup lama untuk keluar melalui saluran drainase ini.
Rorak yang dibuat di sekitar pertanaman dapat membantu mempercepat
keluarnya air dari hamparan pertanaman, khususnya di lahan yang tekstur
tanahnya berat dan beriklim sangat basah dengan curah hujan bulanan relatif
tinggi.
Menurut Kartasapoetra (2010), beberapa fungsi rorak adalah: a)
mengurangi kelebihan air limpasan permukaan, b) mengurangi kecepatan
lajunya aliran air permukaan, c) mengurangi evaporasi, memperbaiki tata
12
udara, d) terjadinya konservasi air dimana air yang tertampung pada rorak
dapat digunakan untuk penyinaran tanah, e) pemupukan bahan organik yang
terangkut air masuk rorak.
Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam.
Arsyad (2006) merekomendasikan kedalaman rorak 60 cm, lebar 50 cm dan
panjang 1- 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang
rorak dan penempatannya dilakukan secara berselang-seling (Gambar 2)
agar penutupan arealnya merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10-15
meter pada lahan landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai
3 meter untuk lereng yang miring (15% – 30%).
Gambar 2. Penempatan Rorak Secara Berselang-seling(Sumber: Direktur Pengelolaan Lahan, 2006)
Rorak yang umum dibuat di perkebunan kakao berukuran panjang
100 cm, lebar 30 cm, dan kedalaman 30 cm. Jika volume bahan organik
yang tersedia cukup besar ukuran rorak dapat diperbesar. Rorak dibuat pada
jarak 75 – 100 cm dari pokok tanaman tergantung dari lebar teras yang
tersedia di areal pertanaman. Pemanfaatan rorak dapat dikaitkan dengan
pengelolaan sumber bahan organik di lingkungan perkebunan, seperti daun
penaung, kulit kakao, dan tanaman penutup tanah. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan kompos daun penaung, kulit kakao, dan limbah pertanian
berpengaruh baik terhadap tanaman kakao dan dapat meningkatkan
produksi tanaman (Direktur Pengelolaan Lahan, 2006).
c. Mulsa
Mulsa merupakan salah satu upaya konservasi tanah yang dapat
menahan pukulan air hujan agar tidak langsung mengenai permukaan tanah.
Mulsa juga bermanfaat dapat mengurangi evaporasi permukaan sehingga
Arah lerengRorak
13
membantu dalam mempertahankan kadar air dalam tanah. Mulsa yang
berasal dari bahan organik selain meningkatkan efisiensi penggunaan air
juga mampu mengalami dekomposisi sehingga menambah kadar humus
dalam tanah yang berdampak pada peningkatan kesuburan tanah dan
meningkatkan kapasitas menahan air (McMillen, 2013). Mulsa juga mampu
merangsang agregasi tanah, memperbaiki struktur tanah, mempertahankan
kapasitas tanah memegang air serta menekan aliran permukaan (Triyono,
2005).
Pengaruh pemberian mulsa yang terpenting adalah sebagai
penyumbang bahan organik tanah. Menurut Dermiyati (1997) bahan organik
tanah dapat berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme tanah
sehingga mamacu perubahan sifat biologi tanah. Sumbangan bahan organik
tanah hasil perombakan akan berbeda untuk setiap jenis seresah tanaman
yang berbeda.
Bahan mulsa yang baik untuk konservasi tanah adalah sisa-sisa
tanaman yang sukar terdekomposisi seperti jerami padi. Aplikasi mulsa
terbaik adalah dengan memotong sepanjang 25-30 cm dan menebarkannya
secara merata di permukaan tanah (Triyono, 2005).
Menurut Danga dan Wakindiki (2009), mulsa dapat mempengaruhi
dinamika unsur hara dan hasil panen. Pada percobaan mulsa jerami, jumlah
kehilangan NH4-N, NO3-N, PO4-P dan K yang terangkut runoff dan terbawa
sedimen lebih kecil daripada kontrol (tanpa mulsa) dengan nilai terkecil
kehilangan hara sebesar 5 Mg/ha pada aplikasi mulsa di permukaan tanah.
5. Bahan Organik dan Unsur Hara Tanah
a. Bahan Organik Tanah
Sistem pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika
kandungan bahan organik tanah lebih dari 2%. Bahan organik tanah
disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan
memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun
jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang
kesuburan fisiknya akan semakin menurun (Alamprabu, 2013).
14
Bahan organik merupakan bahan penting dalam pasokan hara tanah
dan meningkatkan kesuburan tanah secara fisik, kimia dan biologi. Sekitar
setengah dari kapasitas tukar kation (KTK) berasal dari bahan organik yang
merupakan sumber hara tanaman (Maharany , 2013; Hakim dkk, 1986).
Bahan organik ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya hanya sekitar 3-
5%, tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Keadaan fisik
tanah yang dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman, aerasi dan lengas
tanah selalu berkaitan dengan peran bahan organik (Maharany, 2013).
Penambahan bahan organik pada suatu tanah akan meningkatkan
muatan negatif sehingga akan meningkatkan KTK. Bahan organik
memberikan kontribusi pada kapasitas tukar kation sebesar 20-70% yang
bersumber dari koloid humus. KTK menunjukkan kemampuan tanah untuk
menahan dan mempertukarkan kation-kation termasuk kation hara (Sibuak,
2015).
Penetapan kandungan bahan organik biasanya merujuk pada nilai C
organik. Menurut Immanuel (2014), C-organik merupakan bagian dari tanah
yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis yang bersumber dari
sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus
menerus mengalami perubahan bentuk karena pengaruh faktor biologi,
fisika dan kimia. C organik juga merupakan bahan organik yang terkandung
di dalam maupun di permukaan tanah yang berasal dari senyawa karbon di
alam dan semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah
termasuk seresah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut dalam air dan bahan organik yang stabil atau humus.
Bahan organik bukan merupakan komponen utama tanah, namun
berpengaruh pada strukur tanah yaitu sebagai granulator atau pembentuk
butir-butir mineral yang menyebabkan terjadinya keadaan gembur pada
tanah produktif. Bahan organik merupakan sumber pokok unsur N, P dan S
(Triyono, 2005).
Bahan organik tanah (BOT) merupakan salah satu komponen
penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah yaitu sebagai
sumber (source) dan pengikat (sink) hara dan sebagai substrat bagi mikroba
15
tanah (Hairiah et al., 2002). Peranan BOT terhadap perbaikan lingkungan
pertumbuhan tanaman disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 3. Skematis Peranan Bahan Organik Tanah dalam PerbaikanKesuburan Tanah (Hairiah et al., 2002).
Gambar 3 menunjukkan bahwa bahan organik tanah dapat
diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis dan
sifat-sifat kimianya. Mikroba dan fauna yang terdapat dalam tanah dapat
membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan
ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas.
Hasil mineralisasi bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan hara
tanah dan nilai kapasitas tukar kation (KTK), sehingga kehilangan hara
melalui proses pelindian dapat dikurangi (Hairiah et al., 2002).
Kandungan bahan organik tanah sangat bervariasi, dari yang
rendah, tinggi hingga sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
besarnya kandungan bahan organik tanah antara lain adalah:
a. iklim
b. tipe penggunaan lahan
c. bentuk lahan
d. kegiatan manusia.
Iklim berpengaruh pada bahan organik tanah dalam hal memacu
atau menghambat laju dekomposisi. Tipe penggunaan lahan berpengaruh
dalam penyediaan sumber bahan organik, misalnya daerah persawahan akan
15
tanah (Hairiah et al., 2002). Peranan BOT terhadap perbaikan lingkungan
pertumbuhan tanaman disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 3. Skematis Peranan Bahan Organik Tanah dalam PerbaikanKesuburan Tanah (Hairiah et al., 2002).
Gambar 3 menunjukkan bahwa bahan organik tanah dapat
diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis dan
sifat-sifat kimianya. Mikroba dan fauna yang terdapat dalam tanah dapat
membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan
ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas.
Hasil mineralisasi bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan hara
tanah dan nilai kapasitas tukar kation (KTK), sehingga kehilangan hara
melalui proses pelindian dapat dikurangi (Hairiah et al., 2002).
Kandungan bahan organik tanah sangat bervariasi, dari yang
rendah, tinggi hingga sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
besarnya kandungan bahan organik tanah antara lain adalah:
a. iklim
b. tipe penggunaan lahan
c. bentuk lahan
d. kegiatan manusia.
Iklim berpengaruh pada bahan organik tanah dalam hal memacu
atau menghambat laju dekomposisi. Tipe penggunaan lahan berpengaruh
dalam penyediaan sumber bahan organik, misalnya daerah persawahan akan
15
tanah (Hairiah et al., 2002). Peranan BOT terhadap perbaikan lingkungan
pertumbuhan tanaman disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 3. Skematis Peranan Bahan Organik Tanah dalam PerbaikanKesuburan Tanah (Hairiah et al., 2002).
Gambar 3 menunjukkan bahwa bahan organik tanah dapat
diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis dan
sifat-sifat kimianya. Mikroba dan fauna yang terdapat dalam tanah dapat
membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan
ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas.
Hasil mineralisasi bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan hara
tanah dan nilai kapasitas tukar kation (KTK), sehingga kehilangan hara
melalui proses pelindian dapat dikurangi (Hairiah et al., 2002).
Kandungan bahan organik tanah sangat bervariasi, dari yang
rendah, tinggi hingga sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
besarnya kandungan bahan organik tanah antara lain adalah:
a. iklim
b. tipe penggunaan lahan
c. bentuk lahan
d. kegiatan manusia.
Iklim berpengaruh pada bahan organik tanah dalam hal memacu
atau menghambat laju dekomposisi. Tipe penggunaan lahan berpengaruh
dalam penyediaan sumber bahan organik, misalnya daerah persawahan akan
16
berbeda kandungan bahan organiknya dibanding daerah hutan. Faktor
bentuk lahan mempengaruhi pada proses pengumpulan atau pelindian bahan
organik. Kegiatan manusia akan menentukan kandungan organik tanah
misalnya dengan pemberian pupuk atau drainase yang akan berpengaruh
pada kandungan bahan organik tanah.
Indikasi penurunan BOT biasanya diukur dari kadar C-total dan N-
total sehingga diperoleh nilai nisbah C/N yang selanjutnya dapat digunakan
untuk menaksir ketersediaan hara dari mineralisasi bahan organik. Namun
penelitian terakhir membuktikan bahwa kadar C-total bukan merupakan
tolak ukur yang akurat karena hasil dari pengukuran tersebut diperoleh
berbagai macam BOT (Hairiah et al., 2002).
b. Unsur hara tanah
Aliran atau sirkulasi unsur-unsur mineral dan organik lainnya di
dalam dan melalui sistem biosfer (tanah, air permukaan, air tanah) disebut
daur unsur hara. Berdasarkan hasil penelitian, hutan merupakan suatu
komunitas vegetasi yang mempunyai kapasitas besar dalam penyimpanan
unsur hara karena hutan memiliki biomassa (kering) yang besar. Daun,
cabang dan batang pohon merupakan cadangan unsur hara yang dapat
dimanfaatkan oleh flora dan fauna lain ketika pohon tersebut tumbang dan
mengalami proses dekomposisi (Asdak, 2002).
Dipandang dari segi kebutuhan dan fungsi unsur hara, unsur
nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) menduduki peran yang penting.
Unsur N merupakan unsur yang paling mobile diantara ketiga unsur
tersebut. Dinamika unsur nitrogen dalam tanah melibatkan reaksi
amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Menurut Baon (2012) denitrifikasi
pada ekosistem kakao relatif kecil, karena tanaman tersebut sebagian besar
ditanam pada tanah dengan drainase yang baik.
Nitrogen (N) merupakan unsur hara yang sifatnya sangat dinamik
dan mobile sehingga selalu mengalami alih rupa (transformation) dan alih
tempat (translocation) dalam bentuk gas, anorganik maupun organik.
Ketersediaan N dalam tanah secara alami relatif kecil sedangkan jumlah
yang dibutuhkan tanaman relatif besar. Apabila dilakukan pemupukan
17
sehingga ketersediaan N dalam tanah relatif besar, maka N akan mudah
hilang melalui limpasan permukaan (runoff) pelindian (leaching), dan
berpotensi mencemari lingkungan perairan apabila berada pada bentuk nitrat
(NOз ̄).
Gambar 4. Siklus Nitrogen (Yudipriyanto, 2010).
Gambar 4 menunjukkan bahwa siklus nitrogen merupakan proses
berantai yang sangat kompleks. Nitrogen di udara ditambat secara fisik
(loncatan bunga api listrik) secara kimia di pabrik pupuk dan secara biologi
melalui proses fiksasi kemudian jatuh ke dalam tanah dan dimanfaatkan
oleh tanaman. Tumbuhan legum seperti semanggi, kacang-kacangan dan
kedelai membentuk bintil pada akar di mana bakteri pengikat nitrogen
mengambil nitrogen dari udara dan mengubahnya menjadi amonia (NH4⁺).Amonia selanjutnya diubah oleh bakteri lain terlebih dahulu menjadi ion
nitrit (NO₂¯ ), dan kemudian menjadi ion nitrat (NOз¯ ). Tanaman
memanfaatkan ion amonia dan nitrat sebagai nutrisi atau pupuk untuk
pertumbuhannya. Namun demikian, nitrat juga akan mengalami proses
denitrifikasi yang melepaskan gas N₂O dan N₂ di udara. Nitrat juga dapat
mengalami pelindian (leaching) sehingga dapat mencemari badan perairan
(Yudipriyanto, 2010).
tumbuhan
seresah
humusmikroorganisme
ammonium
(NH4+)
nitrat
(NO3-)
Pupukorganik
erosi
leaching
denitrifikasi
N2Fiksasi N2
biologik
Pupukbuatan
Fiksasi N2
industri
18
Fosfor (P) dibutuhkan oleh semua organisme dan semua sel hidup.
Tumbuhan dan hewan tidak dapat hidup tanpa fosfor karena merupakan
rantai penting dalam pemecahan karbohidrat dan nutrisi lain dalam
fotosintesis. Kekurangan unsur fosfor akan menekan terbentuknya asam-
asam amino dan protein dalam membangun sel-sel baru (Triyono, 2005).
Unsur P berperan dalam pembelahan sel, merangsang pertumbuhan awal
akar, pemasakan tanaman, pengangkutan energi dalam sel, pembentukan
buah dan produksi biji (Yulipriyanto, 2010).
Tanaman menggunakan unsur P kira-kira seper sepuluh dari unsur
N, namun hingga sekarang kebutuhan P khususnya pada sektor pertanian
selalu mengalami kekurangan. Hal ini dikarenakan sifat kelarutan P yang
rendah. Persediaan unsur P dalam tanah juga rendah sehingga tidak selalu
tersedia bagi tanaman. Sumber P anorganik dari alam adalah apatite
(Ca5(PO4)3F) atau batuan fosfat dapat digunakan sebagai pupuk langsung.
Fosfat dalam tanaman dapat memisahkan diri sebagai H2PO4 dari organik
fosfat. Beberapa H2PO4 merupakan eksudat akar-akar tanaman. Unsur P
juga diproduksi oleh bakteri dan organisme lain (Yudipriyanto, 2010).
Proporsi P dalam tubuh organisme relatif kecil, namun merupakan
unsur terpenting dari materi genetik DNA (Deoksiribo Nucleic Acid)
sebagai bahan yang menyimpan dan mentranslasikan sandi genetik
(Budiastuti, 2010).
tumbuhan
panen
Larutan tanahion-ion fosfat
Fosfat tanahterabsorbsi(anorganik) erosi
abu
seresah
Pupuk organikP – pupuk anorganik
+ plapukan mineral
mikroorganismeerosi
19
Gambar 5. Siklus Fosfor (Yudipriyanto, 2010)
Kalium sangat penting dalam proses metabolisme tanaman yaitu
dalam sintesis asam amino dan protein dari ion-ion alumunium. Kalium juga
penting dalam proses fotosintesis karena kekurangan kalium dapat
menyebabkan kecepatan asimilasi karbondioksida menurun. Oleh karena
itu, kalium berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat
(Triyono, 2005).
Kalium dalam tanah pada umumnya terdapat dalam bentuk: 1)
relatif tidak tersedia, 2) lambat tersedia dan 3) cepat tersedia. Kalium
tersedia berada dalam bentuk kation terlarut. K dalam bentuk relatif tidak
tersedia adalah K dalam struktur mineral kristal yang belum lapuk atau yang
sedikit melapuk. K dalam bentuk lambat tersedia adalah K dalam reaksi
mineral misalnya mineral illite yang dapat melepaskan ion K serta mengikat
atau menfiksasi K. Sedangkan bentuk K yang cepat tersedia adalah K yang
terdapat dalam larutan kation yang dapat dipertukarkan (Triyono, 2005).
Hujan lebat
Larutan tanahK (0,1-0,2%)
langsung
runoff
leaching
Mineral utama;90-98%
Tidak dapatditukar; 1-10%
Dapat ditukar;1-2
erosi
diserapakar
Pupuk Residu
tumbuhanHewan
Manusiadipanen
terlindiOrgainsme
tanah
20
Gambar 6. Siklus Kalium (Yulipriyanto, 2010)
Jumlah kalium dalam tanah cukup besar, namun ketersediaannya
bagi tanaman terbatas (Gambar 6). Sebagian besar kalium ditahan oleh
struktur mineral atau di dalam lapisan mineral liat dan ketersediaannya
sangat lambat. Unsur K tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pH, namun
serapan oleh tanaman dapat dibatasi apabila kelembaban tidak cukup.
Pengelolaan unsur K meliputi pemeliharaan kadar K dan pemberian air yang
cukup bagi tanaman (Yulipriyanto, 2010).
6. Perkebunan Kakao
a. Keragaan tanaman kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao L;) merupakan salah satu
komoditas utama dan unggulan perkebunan yang pengembangannya cukup
pesat. Luas areal kakao nasional mulai berkembang pesat setelah tahun 1980
dan selama 5 tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebesar 4,16% per
tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Gambar 7. Grafik Perbandingan Luas Areal Perkebunan Rakyat,Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Luas Areal Kakao NasionalSelama 30 Tahun (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa peningkatan luas areal
kakao nasional didominasi oleh peningkatan areal perkebunan rakyat. Pada
0
500000
1000000
1500000
2000000
Luas
Are
al (h
a)
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta Nasional
21
tahun 1997, areal kakao sempat mengalami penurunan namun tidak berapa
lama mengalami peningkatan kembali.
Produksi kakao rakyat juga sejalan dengan produksi nasional,
namun mulai tahun 1990-an produksi kakao rakyat jauh berada di bawah
produksi nasional. Hal ini dikarenakan tanaman kakao rakyat yang mulai
diusahakan tahun 1970 telah berumur 20 tahun pada umur 1990 dan
produktivitasnya mulai menurun.
Gambar 8. Produksi Kakao dari Perkebunan Rakyat, PerkebunanNegara, Perkebunan Swasta dan Produksi Kakao Nasional Tahun1983- 2013 (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Gambar 8 menunjukkan bahwa produksi kakao nasional terdiri dari
produksi perkebunan kakao rakyat, perkebunan besar negara dan
perkebunan besar swasta. Kontribusi perkebunan rakyat terhadap produksi
nasional pada tahun 2012 mencapai 92,3%, sedangkan perkebunan negara
3,6% dan perkebunan swasta 4,1%.
Potensi produksi suatu tanaman akan terekspresi dengan baik
apabila faktor lingkungan yang diperlukan sesuai. Produksi kakao sangat
ditentukan oleh kondisi lahan. Potensi produksi kakao yang dibudidayakan
pada lahan yang sesuai akan memberikan tingkat produksi yang maksimal
dibandingkan pada lahan yang kurang sesuai sebagaimana tercantum pada
Tabel 4 (Balittri, 2012).
Tabel 4. Tingkat Produksi Kakao pada Berbagai Kesesuaian Lahan
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
900000
Prod
uksi
(ton
)
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta Nasional
22
Umur (tahun)Produksi biji kering (ton ha-1 tahun-1)
S1 S2 S3
4 0,5 0,3 0,2
5-10 1,5 1 0,75
11-20 2 1,5 1
>25 1 0,75 0,5
Keterangan:S1 : sangat sesuaiS2 : cukup sesuaiS3 : sesuai marjinal
b. Budidaya Kakao
Lahan yang sesuai untuk tanaman kakao adalah pada kemiringan <
45%, kedalaman tanah efektif > 150 cm, drainase dan aerasi yang baik
sehingga tidak membatasi pertumbuhan akar dan tanaman (Ditjen
Perkebunan, 2007). Tanaman kakao sangat cocok ditanam pada tanah
dengan kandungan hara sedang hingga sangat tinggi (Darmawijaya, 1997;
Maharany et al., 2011) dengan kadar bahan organik > 3,5% atau kadar C >
2%, nisbah C/N 10-12, kapasitas tukar kation (KTK) > 15 me/100 g tanah,
Kejenuhan basa (KB) >35%, pH (H2O) 4,0-8,5 (pH optimum 6-7) seperti
ditampilkan pada Tabel 5 (Ditjen Perkebunan, 2007).
Tabel 5. Kriteria Teknis Kesesuaian Lahan Kakao
UraianKelas kesesuaian
S1 S2 S3 N CH tahunan (mm) 1500-2500 1250-1500
2500-30001100-12503000-4000
<11004000
lama bulan kering(<60mm/bln)
0-1 1-3 3-5 >5
Kakao mulia (mdpl) 0-600 600-700 700-800 >800
Kakao lindak(mdpl)
0-300 300-450 450-600 >600
Lereng (%) 0-8 8-15 15-45 >45 Ked. efektif (cm) >150 100-150 60-100 <60
Tekstur Sandy loam; clayloam; silt loam;silty clay; loam
Loamy sand;sandy clay;siltyclay
Structured clay Gravel; sand;massive clay
Batu permukaan - 0-3 3-15 >15
23
(%)
Drainase Baik Agak baik Agak buruk;buruk; terhambat
Sangat buruk;berlebihan
pH 6-7 5-6 / 7-7,5 4-5 / 7,5-8 <4/ >8 Corganik (%) 2-5 1-2 / 5-10 0,5-1 / 10-15 <0,5 / >15 KTK (me/100 g) >15 10-15 5-10 <5 KB (%) >35 20-35 <20 - N Sedang-sangat
tinggirendah Sangat rendah -
P Sedang-sangattinggi
rendah Sangat rendah -
K Sedang-sangattinggi
- Sangat rendah -
Salinitas (mmhos/cm)
<1 1-3 3-6 >6
Kejenuhan Al (%) <5 5-20 20-60 >60Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, (2007)
Penambahan bahan organik pada tanaman kakao dalam jangka
panjang dapat memperbaiki pH tanah, porositas tanah, nilai KTK, P-tersedia
dan air tersedia yang berperan penting dalam pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan penelitian Maharany et al., (2011) perlakuan penempatan
seresah kakao yang dibenamkan dalam tanah berpengaruh nyata terhadap
perbaikan sifat tanah di lahan kakao. Pembenaman seresah kakao atau bahan
organik lainnya dapat dilakukan di dalam lubang rorak. Setelah rorak penuh
dengan bahan organik, maka rorak ditutup dan dibuat rorak yang baru
(Ditjen Perkebunan, 2007).
Tanaman kakao memerlukan pohon pelindung untuk tumbuh dan
berproduksi dengan baik. Pohon pelindung sementara seperti pisang, jagung
dan pepaya digunakan pada saat kakao masih muda dan sekaligus sebagai
tanaman penutup tanah. Pohon pelindung tetap digunakan ketika tajuk
kakao mulai rapat. Contoh pohon pelindung tetap adalah Kelapa (Cocos
nucifera), Lamtoro (Leucaena), Dadap (Erithrina sp) dan Gamal (Gliricidia
sepium). Syarat-syarat tanaman pelindung yang baik adalah tumbuh tegak
dengan sistem percabangan teratur, perakaran dalam sehingga ruang tumbuh
tanaman pelindung tidak overlap dengan tanaman kakao, tajuknya dapat
meneruskan cahaya 40-60% ke bawah kanopi, tajuk tanaman pelindung
dapat dipangkas sesuai kebutuhan fisiologis tanaman kakao, tahan terhadap
24
hama dan penyakit, tajuk terendah minimal 1,5-2 m dari tajuk atas tanaman
kakao dan jumlah daun sedang tanpa periode gugur daun (Ditjen
Perkebunan, 2007).
c. Kakao dan Kekeringan
Tanaman kakao sangat rentan terhadap kekeringan yang panjang
(lebih dari 3 bulan). Pada tanaman kakao muda yang mengalami
kekeringan, daunnya menjadi kuning yang diikuti dengan kerontokan dan
cabang-cabangnya mengering. Pada kasus yang parah dapat mengakibatkan
kematian tanaman. Pada tanaman menghasilkan (TM) atau produktif, dapat
terjadi penurunan produksi yang terjadi pada tahun berlangsungnya
kekeringan dan berlanjut ke tahun berikutnya. Pada daerah yang kering,
penurunan produksi dapat mencapai 40% sedangkan pada daerah yang
basah mencapai 20-26% (Setyolaksono, 2013; Soedarsono, 1992).
Beberapa cara untuk menanggulangi kekeringan pada tanaman
perkebunan khususnya perkebunan kakao (Setyolaksono, 2013; Soedarsono,
1992), diantaranya adalah :
1) Pembuatan Rorak
Pembuatan rorak atau lubang penampungan atau lubang parit dengan
ukuran 0,8 x 0,4 x 0,4 m di sekitar pertanaman kakao dapat
dikombinasikan dengan penambahan bahan organik. Rorak yang diberi
bahan organik akan efektif dalam memperbaiki struktur tanah. Rorak
diisi dengan bahan organik berupa sisa daun kering yang ada pada kebun
kakao. Lubang parit ini dibuat sebanyak lebih kurang 50% dari jumlah
pohon/ha.
2) Pemberian bahan organik
Bahan organik yang diberikan pada tanaman dapat berupa pupuk
kandang atau kompos yang berasal dari limbah organik perkebunan.
3) Pemberian mulsa
Mulsa yang digunakan berupa sisa-sisa pangkasan pohon penaung dan
seresah daun kakao. Sebaiknya mulsa diberikan pada akhir musim
penghujan untuk mengurangi pengguapan pada tanah atau untuk menjaga
25
kelembaban tanah. Mulsa ditebarkan disekitar piringan tanaman. Mulsa
ini akan terdekomposisi sehingga menambah ketersediaan unsur hara dan
bahan organik tanah.
4) Penanaman naungan
Penanaman naungan berkisar antara 200-300 pohon/ha, tanaman naungan
dapat berupa lamtoro, gamal, pisang atau petai. Penjarangan pohon
naungan dilakukan awal musim hujan, tetapi bila musim kemarau cukup
panjang, penjarangan tidak perlu dilakukan.
d. Potensi limbah kakao
Lahan perkebunan kakao mempunyai potensi limbah yang dapat
berasal dari tanaman kakao berupa sisa pangkasan daun maupun seresah
daun tua yang berguguran serta cangkang kulit kakao yang jumlahnya
mencapai 4 kali dari jumlah produksi biji kakao. Menurut Efendi (2012)
dari 15 kg buah kakao, akan dihasilkan ± 12 kg kulit buah kakao basah dan
± 3 kg biji kakao basah (setara 1 kg biji kakao kering). Selain itu pada lahan
kakao juga sering dijumpai pohon penaung yang memiliki potensi limbah
dari sisa pangkasan daun dan seresahnya. Limbah tersebut dapat digunakan
sebagai mulsa in situ ataupun pupuk hijau dengan menggunakannya secara
langsung maupun dikomposkan.
Limbah dari kebun kakao berupa seresah, sisa pangkasan maupun
kulit kakao dapat digunakan untuk meningkatkan kadar bahan organik.
Kulit kakao bahkan sangat potensial sebagai sumber hara karena dalam
setiap 900 kg kulit buah kakao dapat menghasilkan unsur hara setara 29 kg
urea, 9 kg RP, 56,6 kg KCl dan 8 kg Kieserit (Maharany, 2013; Bintaran,
2007).
7. Azas-azas Ilmu Lingkungan
Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang serius dan
menjadi perhatian banyak pihak. Erosi dan runoff dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain penggunaan lahan, penutupan lahan, pengolahan lahan, upaya
konservasi yang dilakukan, sifat tanah, kelembaban tanah dan tipe hujan (James
et al., 2006 cit Jijun et al., 2010). Rorak merupakan salah satu upaya konservasi
26
yang bertujuan untuk menampung sedimen dan runoff, sedangkan mulsa sebagai
penutup tanah berfungsi untuk melindungi permukaan tanah dari energi kinetik
air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah sehingga mudah hanyut oleh
air limpasan permukaan.
Penelitian dengan judul “Kajian Efektivitas Rorak dan Mulsa sebagai
Upaya Konservasi Kesuburan Tanah Pada Lahan Kakao” sesuai dengan azas
ilmu lingkungan yaitu:
a. Asas 1. Semua Energi Yang Memasuki Sebuah Organisma (Hidup) Populasi
Atau Ekosistem Dapat Dianggap Sebagai Energi Yang Tersimpan Atau
Terlepaskan. Energi Dapat Diubah Dari Bentuk Satu Ke Bentuk Yang Lain,
Tetapi Tidak Dapat Hilang, Dihancurkan, Atau Diciptakan.
Tanah berkaitan erat dengan lingkungan dalam pengaliran energi dan
pendauran bahan yang berlangsung di permukaan bumi. Tanah secara
independen dapat berlaku sebagai suatu ekosistem atau sistem energi dan
dapat bekerja sama dengan subsistem lahan lainnya yang berasosiasi dengan
tanah terutama biosfer (Notohadiprawiro, 2000). Unsur hara dan bahan
organik tanah merupakan kandungan dalam tanah yang mudah hilang salah
satunya akibat proses erosi dan limpasan permukaan. Unsur hara dan bahan
organik ini yang semula terdapat dalam top soil akan dipindahkan beserta
proses erosi menjadi kandungan dalam sedimen yang terangkut dalam aliran
permukaan.
b. Asas ke 2 : Tidak ada sistem pengubahan energi yang benar-benar efisien.
Pada saat hujan mengenai permukaan tanah, maka energi kinetik hujan akan
memukul agregat tanah sehingga menjadi butiran partikel yang lebih kecil.
Sebagian air hujan yang jatuh akan mengalami infiltrasi ke dalam tanah
hingga pada kondisi jenuh. Energi kinetik hujan ini kemudian berubah
menjadi aliran permukaan yang membawa serta lapisan tanah atas (top soil)
yang kaya unsur hara dan bahan organik. Aplikasi rorak mampu meresapkan
air limpasan permukaan serta mengurangi kecepatan aliran yang membawa
sedimen terlarut. Peresapan air dan sedimen ke dalam rorak akan
menyebabkan kehilangan air serta unsur hara dan bahan organik dapat
27
diminimalkan sehingga terjadi efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 16 ayat (d)
yang berbunyi “efisiensi pemanfaatan sumber daya alam”.
c. Asas ke 3 : Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman adalah
kategori sumber alam.
Perubahan energi oleh sistem biologi harus berlangsung pada kecepatan
yang sebanding dengan adanya materi dan energi di lingkungannya.
Perubahan energi kinetik air hujan yang jatuh mengenai permukaan tanah
akan menghancurkan struktur tanah pada lapisan atas (top soil) yang kaya
unsur hara. Partikel tanah yang hancur akan mudah terbawa oleh aliran
permukaan pada saat terjadi hujan. Jika kejadian ini berlangsung dalam
waktu lama, maka unsur hara yang ikut terhanyut beserta aliran permukaan
juga semakin besar hingga pada suatu ruang atau tempat tertentu energi ini
akan melambat dan materi sedimen tersebut ikut terendapkan.
d. Asas 4. Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah
mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan
penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum.
Faktor utama pendorong kejadian erosi di daerah tropis adalah curah hujan
(Asdak, 2002). Apabila hujan menimpa suatu lahan atau hamparan tanah,
maka beberapa diantara air hujan akan terinfiltrasi masuk ke dalam tanah.
Apabila kapasitas menyimpan air tanah telah jenuh, maka air hujan tidak
dapat masuk lagi ke dalam tanah dan mengalir sebagai aliran permukaan
yang membawa serta sedimen dan unsur hara.
e. Asas 10. Pada Lingkungan Yang Stabil Perbandingan Antara Biomassa Dan
Produktivitas Dalam Perjalanan Waktu Naik Mencapai Sebuah Asimtot
Pada sistem budidaya kakao, produktivitas tanaman akan meningkat
seiring dengan penambahan biomassa dan umur tanaman (Hairiah et al.,
2002). Peningkatan ini akan mencapai nilai optimum pada umur tertentu dan
perlahan-lahan produktivitas kakao juga akan mulai menurun. Walaupun
dengan fluktuasi iklim atau cuaca yang tidak teratur atau dengan
28
pemungutan hasil panen sepanjang tahun, nilai produktivitas ini akan
menurun setelah mencapai klimaks atau umur optimum.
B. Penelitian yang Relevan
1. Monde A, et al., 2008. Dinamika Kualitas tanah, Erosi dan Pendapatan Petani
Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Kakao di DAS Nopu, Sulawesi
Tengah. Disertasi. Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) menganalisis dampak alih guna
lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap kualitas tanah, 2) mengkaji dinamika
erosi yang terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri
kakao, dan 3) mengoptimalisasi pengelolaan usaha tani kakao agar dapat
berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan mulai Juni 2005 hingga Maret 2006
berlokasi di DAS Nopu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.
Kajian dinamika komponen kualitas tanah dilakukan melalui cek
lapangan dan analisis laboratorium. Untuk melihat dinamika erosi dan aliran
permukaan dibuat petak erosi berukuran panjang 5-10 m dan lebar 2-4 m.
Pengukuran dilakukan pada lahan kakao umur <3, 6-7 dan > 10 tahun serta
agroforestri kakao umur 6-7 tahun dan >10 tahun. Sedangkan analisis usaha tani
diketahui melalui kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih guna
lahan hutan menjadi lahan kakao dapat menurunkan kualitas tanah serta
meningkatkan erosi dan aliran permukaan. Sistem pengelolaan usaha tani
agroforestri kakao yang berkelanjutan di DAS Nopu harus menerapkan
pemupukan yang tepat dan berimbang disertai penerapan konservasi tanah dan
air yang memadai mulai dari penggunaan mulsa sampai rorak dan sengkedan.
2. Monde A. 2010. Pengembangan aliran permukaan dan erosi pada lahan berbasis
kakao di DAS Gumbasa, Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulawesi Tengah.
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Tengah, Palu.
Penelitian dilakukan di DAS Gumbasa, Desa Sejahtera Kabupaten Sigi
dari Mei hingga November 2009. Penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas
penerapan teknik konservasi tanah dan air berupa pemberian mulsa dan rorak
29
yang diberi mulsa vertikal terhadap aliran permukaan dan erosi pada lahan
kakao rakyat. Penelitian ini dilakukan di lahan kakao pada berbagai tingkatan
umur. Plot pengamanan dibuat pada lahan kakao masing-masing urnur kakao
kurang dari sama dengan 3 tahun dan 5 tahun, 8 tahun dan 12 tahun. Mulsa
sebanyak 6 t/ha disebar merata pada permukaan tanah pada lahan kakao umur
kurang dari sama dengan 3 tahun. Teras gulud bersaluran dibuat searah kontur di
antara baris tanaman dengan interval vertikal 3-4 m (tergantung jarak tanam).
Rorak dengan panjang 200 cm, lebar dan dalam masing-masing 40 cm dibangun
di antara barisan tanaman kakao sejajar kontur dengan pola zig-zag. Jarak antar
rorak dalam satu garis kontur sejauh 10 m dan jarak vertika1 20 m. Pada setiap
rorak dibuat 2 lubang resapan sama dengan pada saluran guludan. Rorak dan
lubang resapan diisi sisa-sisa tanaman sebagai mulsa vertikal. Mulsa 6 t/ha
disebar rata dipermukaan tanah pada lahan kakao umur S5 tahun. Penelitian ini
ditata dengan rancangan acak kelompok, dimana pengelompokan dilakukan
pada tiga lereng yang berbeda yakni 8%, 20% dan 35%. Selain itu dibangun
plot-plot kontrol pada masing-masing kemiringan lereng. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rorak yang diberi mulsa secara verikal efektif menekan
aliran permukaan hingga 73% dibandingkan dengan kontrol. Teknik konservasi
dengan rorak dapat menekan jumlah tanah yang tererosi yakni mencapai 76%
dibandingkan dengan kontrol. Pemberian mulsa 6 t/ha pada lahan kakao urnur
53 tahun dapat menurunkan jumlah aliran permukaan hingga 71% dan erosi
87%.
C. Kerangka Berpikir
Upaya konservasi perlu dilakukan pada lahan pertanian yang intensif
sebagai salah satu upaya meningkatkan kesuburan tanah. Jika lahan pertanian terus
dipicu untuk berproduksi tanpa ada upaya perbaikan atau konservasi maka secara
pelan namun pasti dapat terjadi kerusakan lingkungan. Salah satu teknik konservasi
yang cukup efektif dalam mengurangi limpasan permukaan dan erosi sekaligus
mempertahankan kesuburan tanah adalah rorak dan mulsa.
Lingkungan
BiotikKakao
AbiotikTanah
CulturePengelolaan lahan
30
Keterangan:
: Input (masukan) dan Output (keluaran)
: Process (proses)
: Decision (keputusan)
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Penelitian
D. Hipotesis
1. Jumlah rorak dan jenis mulsa yang paling berperan dalam mengendalikan aliran
permukaan dan akumulasi sedimen pada lahan kakao diperoleh pada perlakuan
16 rorak per 16 pohon dikombinasikan dengan mulsa daun kakao dan jerami
padi.
16 rorak per 16 pohon dan mulsa daun kakao ditambah jerami padi merupakankombinasi yang paling efektif dalam mengurangi penurunan kehilangan hara (N, P, K)dan bahan organik.