kerusakan biologi

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua bahan pangan mengalami kerusakan pada beberapa tingkatan setelah dipanen atau disembelih. Kerusakan pangan ini dapat menyebabkan kehilangan nilai gizi, unsur organoleptik, dan perubahan warna, serta yang lebih penting, keamanan bahan pangan tidak terjamin. 1 Hal ini menyebabkan bahan pangan tidak dapat dikonsumsi lagi oleh manusia atau kualitas edibilitasnya menjadi berkurang. Bahan pangan akan mengalami penyimpangan konsistensi atau tekstur dari keadaan normal. Beberapa contoh kerusakan yang terjadi pada bahan makanan adalah kentang, ubi jalar, dan wortel menjadi lunak; sawo, aple, dan mangga menjadi memar; sayur asin berlendir dan bau busuk; makanan kaleng bau busuk atau kalengnya menggembung; gorengan gosong; tepung menggumpal atau mengeras; minyak goring tengik; ikan busuk; kacang-kacangan berkapang; dan sebagainya. Berbagai kerusakan pangan ini diakibatkan oleh berbagai macam penyebab. Kerusakan pangan sendiri dibagi menjdai empat berdasarkan penyebabnya, yaitu 1

Upload: ayu-puspita-febrindari

Post on 02-Aug-2015

538 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kerusakan Biologi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua bahan pangan mengalami kerusakan pada beberapa

tingkatan setelah dipanen atau disembelih. Kerusakan pangan ini dapat

menyebabkan kehilangan nilai gizi, unsur organoleptik, dan perubahan

warna, serta yang lebih penting, keamanan bahan pangan tidak terjamin.1

Hal ini menyebabkan bahan pangan tidak dapat dikonsumsi lagi oleh

manusia atau kualitas edibilitasnya menjadi berkurang. Bahan pangan

akan mengalami penyimpangan konsistensi atau tekstur dari keadaan

normal.

Beberapa contoh kerusakan yang terjadi pada bahan makanan

adalah kentang, ubi jalar, dan wortel menjadi lunak; sawo, aple, dan

mangga menjadi memar; sayur asin berlendir dan bau busuk; makanan

kaleng bau busuk atau kalengnya menggembung; gorengan gosong;

tepung menggumpal atau mengeras; minyak goring tengik; ikan busuk;

kacang-kacangan berkapang; dan sebagainya.

Berbagai kerusakan pangan ini diakibatkan oleh berbagai

macam penyebab. Kerusakan pangan sendiri dibagi menjdai empat

berdasarkan penyebabnya, yaitu kerusakan pangan mikrobiologis,

kerusakan mekanis atau fisik, kerusakan kimiawi dan kerusakan biologis.

Kerusakan pangan ini merupakan suatu tantangan bagi industri

makanan untuk mengendalikan kerusakan ini dan mempertahankan

keamanan makanan, selain meyakinkan bahwa makanan tersebut baik,

bernutrisi, dan sedapat mungkin ada.1

1

Page 2: Kerusakan Biologi

1.2 Tinjauan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan kerusakan pangan secara biologi?

1.2.2 Apa saja penyebab kerusakan pangan secara biologi?

1.2.3 Bagaimana pencegahan dan cara mengatasinya?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian kerusakan pangan secara biologi.

1.3.2 Untuk mengetahui penyebab kerusakan pangan secara biologi.

1.3.3 Untuk mengetahui pencegahan dan cara mengatasi kerusakan

pangan secara biologi.

1.4 Manfaat Penulisan

Makalah ini dapat digunakan sebagai referensi mengenai kerusakan

pangan secara biologi.

2

Page 3: Kerusakan Biologi

BAB II

ISI

2.1 Pengertian Kerusakan Biologi

Kerusakan biologi didefinisikan perubahan karakteristik dari

suatu bahan yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan vital

suatu organisme. Kerusakan ini dapat terjadi pada banyak bahan seperti

makanan, kayu, kertas, kulit, bahan bakar, kosmetik, bahan bangunan,

dan struktur bangunan. Kerusakan biologi merupakan hasil dari proses

metabolik salah satu dari banyaknya mikroorganisme atau dapat

disebabkan oleh serangga, hewan pengerat, atau burung.1

Kerusakan biologi dapat juga diartikan sebagai kerusakan

yang disebabkan karena mahluk hidup. Misalnya pada buah-buahan yang

di pohon dapat dimakan kalong, buah-buahan yang masih kecil sudah

dihinggapi serangga yang dapat membuat lubang pada buah tersebut

kemudian buah menjadi besar akhirnya ada ulat di dalamnya. Contoh

yang lain adalah bahan pangan yang disimpan dimakan oleh binatang

pengerat misalnya tikus, kecoa dan sebagainya, tupai juga bisa merusak

kelapa, nangka dan sebagainya.2

Sisi yang penting dari kerusakan biologi ini adalah bahwa

kerusakan diakibatkan oleh organisme. Menurut pengertiannya,

kerusakan ini bukan degradasi yang terjadi secara alami pada beberapa

material organik atau bahan pangan yang diakibatkan oleh enzim intrinsik

seperti enzim-enzim yang muncul pada suatu produk yang mengakibatkan

degradasi atau kebusukan setelah mati. Sebagai contohnya, kehilangan

kualitas makanan oleh enzim intrinsik adalah hal yang penting karena hal

tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas makanan dan membuat

makanan tidak diterima. Reaksi karena enzim-enzim ini tidak dibahas

3

Page 4: Kerusakan Biologi

dalam makalah ini, tapi hal ini penting untuk diingat karena aktivitas

enzim-enzim ini dapat membuat kandungan gizi produk pangan tersedia

dan mudah diakses sehingga reaksi kerusakan biologi dapat terjadi

berikutnya.1

Kerusakan karena serangga, tikus, dan burung lebih banyak

menyebabkan penyusutan kuantitatif. Serangga dan binatang pengerat

dapat menyerang bahan pangan baik di lapangan maupun di gudang.

Masuknya ulat dari serangga ke buah dan sayur dapat merusak struktur

bagian dalam, sehingga merupakan jalan masuk bagi mikroba pembusuk

untuk tumbuh dan merusak bahan hasil pertanian tersebut. Hama tikus

dapat menyebabkan penyusutan kualitatif, karena kotoran, rambut, dan

urine tikus merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba serta

menimbulkan bau yang tidak enak.3

Berbagai jenis kutu banyak menyerang produk bahan pangan

tepung-tepungan, seperti tepung beras, tepung terigu, dan sebagainya.

Proses fisiologis dari berbagai hasil pertanian dapat menyebabkan

kerusakan kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif, kerusakan fisiologis

karena respirasi dapat dinyatakan dengan susut bahan kering. Kerusakan

jenis ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan seperti

suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Komposisi atmosfer pun akan

mempengaruhi kerusakan bahan pangan.3

2.2 Macam-macam Penyebab Kerusakan Biologi

Makhluk hidup yang dapat mengakibatkan terjadinya

kerusakan biologi disebut sebagai biodeteriogen. Hewan-hewan, para

serangga, dan tanaman tingkat tinggi dapat dengan mudah diidentifikasi

dengan observasi penglihatan dan diperiksa ciri-ciri morfologi dan

fisiologinya.1

4

Page 5: Kerusakan Biologi

2.2.1 Tanaman tingkat tinggi

Tanaman tingkat tinggi adalah organisme fotoautotrof

dengan jaringan khusus dan organ yang mempunyai spesialisasi

fungsional.1

2.2.2 Serangga

Serangga termasuk ke kelompok besar organisme

heterotrof aerobik. Mereka memakan bahan organik, tetapi

sebagai kelompok yang beragam dalam apa yang mereka dapat

konsumsi. Mereka dapat memakan semua makanan mereka baik

yang diproses maupun tidak terproses, seperti halnya bahan

bukan makanan seperti bahan pengikat dan perekat. Karena

beberapa serangga tertarik pada tempat penyimpanan yang

biasanya sempit dan gelap, sedangkan makanan dan bahan

pangan yang disimpan tidak sering terurus, serangga

berkemungkinan dapat melakukan kerusakan yang signifikan

sebelum serangga tesebut diketahui keberadaanya.1

Beberapa contoh hama serangga adalah kegat, kecoak,

kumbang penggerek, kumbang, dan ngengat.1

Serangga dapat diinfeksi dengan organisme-organisme

penyebab penyakit seperti bakteri, virus, dan jamur. Selain

mengakibatkan kerusakan biologi yang signifikan, serangga juga

dapat mengontaminasi makanan atau bahan organik lainnya.1

Daya rusak atau kemampuan merusak serangga pada

tanaman pangan umumnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu:4

a. Menggerigiti bagian-bagian tanaman dari akar sampai kepada

kuntum bunga tanaman;

b. Menggerek dan merusak titik tumbuh tanaman (pucuk);

c. Menghisap bagian-bagian tanaman yang masih sangat muda.

5

Page 6: Kerusakan Biologi

Perkembangan serangga menurut siklus hidupnya ada

yang melalui proses metamorphosa dan siklus hidupnya tidak

mengalami metamorphosa. Pada proses metamorphosa terdapat

fase peletakkan telur, penetasan telur dan menjadi sejenis ulat,

selanjutnya menampakkan pembentukan kepompong, dan

terakhir perwujudan sebagai kupu-kupu atau sejenis kumbang.

Sedangkan pada yang tidak mengalami proses metamorphosa

mengalami fase peletakkan telur, yang selanjutnua melahirkan

larva (serangga/sejenis kumbang yang belum sempurna),

kemudian larva yang telah mengalami pergantian kulit berarti telah

menunjukkan kedewasaannya.4

Ada berbagai macam jenis hama untuk tanaman pangan

tertentu. Pada tanaman padi ada Scirpophaga innonatata (ulat

penggerek), Schunobius bipunctifer (ulat penggerek), ulat/kupu-

kupu Nyimphula depunctalis, homoptera jenis Nilapervata lugens,

Nephotettix virescens (wereng hijau), Leptocorixa acuta (walang

sangit), Nezara viridula (lembing hijau), Pachydiplosis oryzae

(hama ganjur), dan lain-lain.

Sebuah jurnal5 mengadakan analisis warp relatif dari

variasi bentuk kepala pada serangga Nephotettix virescens

(Distant) (Homoptera: Cicadellidae) yang memangsa jenis padi

dengan gen yang berbeda untuk ketahanan.

6

Page 7: Kerusakan Biologi

Gambar 1. Wereng hijau6

Perbedaan bentuk kepala diperiksa pada kedua jenis

kelamin dari wereng hijau Nephotettix virescens (Distant) yang

menerang jenis rentan TN1, dan beras varietas dengan gen

tertentu untuk ketahanan TAPL (Glh6), Ptb8 (Glh4), MK (Glh7),

dan IR8 (Glh3). Perbedaan dalam bentuk kepala dikualifikasi

menggunakan kemajuan dalam analisis citra dan analisis

morfometrik geometris. Sebanyak 18 penunjuk homolog dan 2

penunjuk tidak nyata didigitalkan dari gambar bagian kepala yang

telah dibedah dari sampel yang ada menggunakan perangkat

lunak ScionImage. Kemudian, koordinat x dan y dari penunjuk

telah diuji dengan menggunakan analisis warp relatif dan analisis

komponen utama. Hasil dari uji Kruskal-Wallis (non-parametrik

ANOVA) dari deskriptor bentuk kepala menunjukkan dengan jelas

perbedaan pada bentuk kepala beberapa wereng hijau yang

menyerang jenis padi yang bersifat tahan (P <0,001). Dalam

konteks evolusi, observasi tersebut menunjukkan bahwa

perbedaan ekologi mengikuti pergeseran tanaman inang juga

dapat menjadi faktor penting dalam diversifikasi garis keturunan

serangga herbivora. Sehingga ras tanaman inang juga dapat

menjadi model untuk mengetes hipotesis tentang spesialisasi lokal

7

Page 8: Kerusakan Biologi

faktor yang kemudian dapat mengarah pada isolasi reproduktif

dan spesiasi.

Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa hasil analisis

citra kepala wereng hijau N. virescens yang beragam baik di

dalam maupun antarpopulasi dapat dideskripsikan. Morfometrik

geometris adalah alat yang efektif dalam menggambarkan variasi

bentuk pada wereng hijau. Demikian juga, penjelasan lebih detail

pada penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman inang adalah

salah satu faktor penting yang mempengaruhi perbedaan

morfologis pada populasi ini hama serangga.

2.2.3 Burung, mamalia, dan reptil

Burung, mamalia, dan bangsa reptil adalah organisme

heterotrof aerobik yang mempunyai kebutuhan makanan yang

cukup besar. Mereka dapat bersifat sangat memaksa dalam

usaha memperoleh makanan dan dapat mengakibatkan

kerusakan fisik yang fatal. Hasil buangan mereka juga dapat

sebagai sumber nutrisi bagi biodeteriogen yang lain dan dapat

bersifat korosif.1

Untuk golongan mamalia, biasanya kelompok tikus. Di

Indonesia terdapat beberapa jenis tikus, yaitu:4

a. Rattus-rattus brevicaudatus atau tikus sawah;

b. Rattus-rattus diardii atau tikus rumah;

c. Rattus-rattus concolor ephipium atau tikus huma; dan

d. Bandicota indica atau tikus wirok.

Yang dimaksud dengan Bandicota indica atau tikus wirok

adalah sejenis tikus yang besar (besarnya dapat sebanding

dengan anak kucing atau kucing), banyak terdapat di daerah

pelabuhan. Tikus ini berwarna hitam, berbulu kasar, sedangkan

suaranya seperti suara kalku. Umumnya tikus jenis ini tidak takut

8

Page 9: Kerusakan Biologi

pada kucing atau anjing, mereka bahkan sering menyerang anak

ayam.4

Gambar 2. Bandicota indica atau tikus wirok7

R.r. diardii atau tikus rumah merupakan tikus yang

banyak melakukan perusakan pada baik barang-barang dan

bahan pangan yang ada di rumah maupun bahan pangan yang

ada di gudang.4

Gambar 3. R.r. diardii atau tikus rumah8

R.r. concolor ephipium (tikus huma) dan R.r.

brevicaudatus (tikus sawah) adalah jenis tikus yang sering

merusak tanaman pangan sejak baik di huma maupun di sawah.

Tikus-tikus ini membuat gua atau terowongan di dalam tanah.

Mereka menyenangi lapangan terbuka yang basah (sawah),

semak-semak di sekitar paya-paya, pematang, tanggul sungai dan

lain sebagainya. Mereka hidup bergerombol dalam jarak yang

tidak berjauhan sehingga pada waktu melakukan serangan semua

tikus dewasa melakukan serangan sekaligus yang mampu

menghabiskan berhektar-hektar tanaman padi sejak bunting

hingga yang butir-butir padinya hampir matang.4

9

Page 10: Kerusakan Biologi

Gambar 4. R.r. concolor ephipium (tikus huma)9

Gambar 5. R.r. brevicaudatus (tikus sawah)10

Burung juga dapat menjadi penyebab kerusakan biologi

pada pangan. Burung dapat merusak tanaman tebu, padi, jagung,

dan sorghum. Berikut adalah beberapa contoh burung yang

biasanya merusak tanaman pangan.4

a. Burung manyar dapat merusak daun tebu dan juga merusak

tanaman padi yang sedang menguning. Daun tebu ternyata

sangat disukai burung ini untuk membuat sarang.

10

Page 11: Kerusakan Biologi

Gambar 6. Burung manyar11

b. Burung manyar, burung gelatik, dan burung bondol hidupnya

bergerombol dalam jumlah besar. Mereka menyerang secara

bergelombang terhadap tanaman padi yang menguning dan

dapat meninggalkan sawah tanpa hasil bagi para petani.

Gambar 7. Burung gelatik12

c. Serangan burung betet juga secara bergelmbang terhadap

tanaman jagung dan sorghum yang tengah berbuah. Sama

seperti serangan burung-burung di atas, para petani mungkin

hanya mendapatkan sisa-sisa tanaman tanpa buah lagi.

11

Page 12: Kerusakan Biologi

Gambar 8. Burung betet13

d. Jenis kalong dan kelelawar banyak merusak buah pada

pohon-pohonan, terutama pada buah yang matang.

Gambar 9. Kelelawar14

e. Passer montanus malaccensis Dubois atau burung-burung

gereja dan merpati. Burung-burung gereja dalam jumlah

banyak dapat memekan sebagian besar gabah, padi, jagung,

dan sebagainya baik yang sedang dijemur maupun disimpan

dalam gudang, terutama apabila gudang tidak dilengkapi

kawat kassa. Sedangkan burung merpati sebenarnya burung

peliharaan, tetapi pada batas-batas tertentu dapat menjadi

hama. Misalnya ila burung merpati dalam jumlah besar

menyerang sawah yang tengah menguning di dekat

12

Page 13: Kerusakan Biologi

perkampungan atau memakan sejumlah gabah, padi, jagung,

atau sorghum yang sedang dijemur.

Gambar 10. Burung gereja15

Gambar 11. Burung merpati16

2.3 Pencegahan dan Cara Mengatasi Penyebab Kerusakan Biologi

Karena hama tanaman itu ternyata sangat merugikan

manusia, yang kadang-kadang sangat menggangu kehidupan manusia,

terjadinya kekurangan pangan, kelaparan, timbulnya berbagai penyakit,

kerusakan pangan, dan lain sebagainya, maka dapat dikatakan bahwa

13

Page 14: Kerusakan Biologi

hama itu merupakan musuh manusia. Berbagai cara sudah dilakukan

manusia, terutama para petani dan pemerintah dalam menggalakkan

usaha untuk membasmi hama tanamam menggunakan cara-cara berikut.4

2.3.1 Cara mekanis

Cara ini merupakan cara yang paling sederhana, tapi tetap

membutuhkan ketelitian dan ketekunan dari yang

menggunakannya.

a. Memeriksa atau mengawasi tanaman yang sedang tumbuh

dengan aktif, melakukan usaha pencarian hama penyebab,

melakukan pembunuhan terhadap berbagai ulat, larva

serangga, telur serangga, kumbang, dan kupu-kupu yang

menjadi hama penyebab.

b. Apabila hama penyebabnya tikus, lakukan cara preventif

dengan menjaga agar serangan lebih lanjut tidak terjadi,

member umpan dan melakukan pembunuhan di tempat.

Selanjutnya lakukan cara kuratif dengan cara pembasmian

missal tikus.

c. Jika diperlukan, lakukan pengeringan atau penggenangan

petakan-petakan sawah atau lahan-lahan lainnya.

2.3.2 Mengatur dan memperbaiki pengolahan tanah danpengelolaan

tanaman.

2.3.3 Cara biologis

Cara ini dilakukan dengan mengembangbiakkan musuh-musuh

dari hama (parasit atau predator). Pengembangbiakan predator

dapat dilakukan di laboratorium yang selanjutnya disebarkan di

daerah yang terserang hama atau dengan cara menjaga predator

yang berkembangbiak secara alami untuk tidak ikut terbunuh pada

waktu penyemprotan insektisida.

2.3.4 Penggunaan bahan kimia

2.3.5 Melalui karantina

14

Page 15: Kerusakan Biologi

Sebuah jurnal juga mempublikasikan tentang mengatasi hama

dengan cara biologi. Jurnal tersebut17 meneliti tentang aktivitas insektisida

dari minyak daun Aegle marmelos untuk mengontrol penyerangan

serangga pada biji gandum yang disimpan dari jenis Callosobruchus

chinensis (L.) (Bruchidae) dan serangga tepung dari Rhyzopertha

dominica (F.) (Bostrychidae), Sitophilus oryzae (L.) (Curculionidae) serta

Tribolium castaneum (Herbst) (Tenebrionidae). Setelah melakukan uji

serangga, sampel biji gandum dan tepung gandum difumigasi dengan

minyak esensial dari Aegle marmelos pada 500 ug/mL (ppm). Minyak ini

secara signifikan meningkatkan pencegahan makan pada serangga dan

mengurangi kerusakan biji serta penurunan berat badan dalam gram pada

sampel biji gandum dan tepung gandum yang difumigasi kecuali pada

serangga T. castaneum. Minyak esensial pada dosis yang berbeda secara

signifikan mengurangi oviposisi dan kemunculan dari dewasa C. chinensis

dalam biji kacang tunggak. Minyak dilindungi disimpan gram dari C.

chinensis dan gandum dari R. dominica dan S. oryzae selama dua tahun.

Limonene (88%) ditemukan sebagai komponen utama dalam minyak

melalui analisis GC-MS. Regresi analisis data pada individu dalam kacang

tunggak diperlakukan menegaskan bahwa penurunan yang signifikan dari

oviposisi dan kemunculan dewasa C. chinensis menurun dengan

peningkatan dosis. Hasil temuan menekankan efektivitas minyak A.

marmelos sebagai fumigan terhadap infestasi serangga biji-bijian

disimpan dan memperkuat kemungkinan menggunakannya sebagai

alternatif untuk bahan kimia sintetis untuk melestarikan biji-bijian disimpan.

Analisis GC-MS minyak A. marmelos menunjukkan adanya

senyawa berikut. α pinene (0,28%), sabinene (0,14%), limonene (88,57%),

ocimene (2,29%) dan p kariofilen (0,06%). Limonene ditemukan menjadi

komponen utama dalam minyak Aegle. Minyak secara signifikan

melindungi biji gandum yang disimpan dari C. chinensis dan sampel

gandum dari R. dominica dan S. oryzae untuk dua tahun pertama. Ada

100% gandum kerusakan pada T. castaneum sementara 7,0, 3,67 dan

1,67% kerusakan gabah ditemukan di chinensis C.. R. oryzae dan S.

15

Page 16: Kerusakan Biologi

dominica biji-bijian penuh masing-masing. Namun, penurunan yang

signifikan dalam penurunan berat badan ditemukan dalam biji gandum

yang difumigasi dan tepung terhadap tes serangga kecuali tes T.

castaneum.

Efek minyak Aegle pada kematian lebih lanjut dan oviposisi

dewasa C. chinensis dalam sampel kacang tunggak. C. chinensis

menunjukkan mortalitas 71,41% pada dosis 100 ml minyak. Oviposisi jera

aktivitas minyak untuk chinensis C. ditingkatkan dengan dosis. Oviposisi

berkurang menjadi 56,25% pada dosis 100 ml minyak. Pengurangan

menetas juga berbanding lurus dengan dosis minyak. Minyak Aegle

diperiksa lebih dari 70% dari munculnya dewasa chinensis C pada dosis

yang berbeda.

Jurnal lain menunjukkan penggunaan tanaman tingkat tinggi

sebagai pestisida biologi.18 Perhatian yang meningkat atas tingkat residu

pestisida dalam makanan telah mendorong peneliti untuk mencari

alternatif pestisida sintetis. Mereka penggunaan sembarangan telah

menyebabkan perkembangan strain resisten hama serta berbagai

masalah kesehatan lingkungan dan manusia. Baru-baru ini di berbagai

belahan dunia, perhatian telah dibayarkan terhadap eksploitasi produk

tanaman yang lebih tinggi sebagai chemotherapeutants novel dalam

perlindungan tanaman. Karena rokok, systemicity biodegradabilitas

fitotoksisitas, mudah dan sifat stimulasi metabolisme host, produk

tanaman memiliki potensi dalam pengelolaan hama. Digunakan secara

luas sampai 1940-an, pestisida alami ini terlantar akibat pestisida sintetis

modern yang pada saat itu tampaknya lebih murah, lebih mudah dan

tahan lama. Popularitas pestisida botani sekali lagi meningkatkan dan

beberapa produk tanaman yang digunakan secara global sebagai

pestisida hijau. Tubuh literatur ilmiah mendokumentasikan bioaktivitas

derivatif tanaman terhadap hama yang berbeda terus berkembang, namun

hanya beberapa tumbuhan yang saat ini digunakan dalam pertanian.

Piretroid dan produk nimba mapan secara komersial sebagai pestisida

16

Page 17: Kerusakan Biologi

botani dan baru-baru beberapa minyak esensial dari tumbuhan tingkat

tinggi juga telah digunakan sebagai antimikroba terhadap hama

penyimpanan karena status mereka relatif aman dan diterima secara luas

oleh konsumen. Beberapa minyak atsiri, yang sering mengandung

aromatik pokok dan komponen bumbu bumbu dan rempah-rempah, telah

direkomendasikan sebagai antimikroba nabati untuk menghambat

kontaminasi mikroba dan pengurangan pembusukan komoditas pangan.

Selain itu, beberapa produk tanaman antimikroba juga memiliki aktivitas

antioksidan yang kuat yang sifat yang menguntungkan untuk memerangi

dimediasi organoleptik kerusakan radikal bebas komoditas tanaman dan

meningkatkan kehidupan rak mereka. Dalam konteks pengelolaan hama

pertanian, pestisida botani yang paling cocok untuk digunakan dalam

produksi pangan organik di negara-negara industri tetapi dapat

memainkan peran lebih besar dalam produksi dan perlindungan pasca

panen produk makanan di negara berkembang.

Memburuknya dalam komoditas pangan yang disimpan

terutama disebabkan oleh lembaga yaitu tiga. jamur, serangga dan tikus di

bawah kondisi yang berbeda dari penyimpanan. Kacang-kacangan

merupakan sumber penting protein bagi populasi vegetarian. Buncis

(Cicer arietinum L.), umumnya dikenal sebagai gram, merupakan tanaman

pulsa penting. Di India, ia tumbuh dalam 7,29 m ha dengan produktivitas

rata-rata 792 kg ha-1 meliputi 75% dari areal dunia (Anonim, 2004). Ini

adalah tanaman daerah tropis dan beriklim sedang. Secara umum,

perkiraan kehilangan hasil oleh serangga dan berbagai penyakit dari 5

sampai 10% di daerah beriklim sedang dan 50-100% di daerah tropis (Van

Emden et al, 1988.). Hama serangga menyebabkan kerugian besar untuk

biji-bijian yang disimpan termasuk pulsa, terutama di daerah lembab dan

hangat dunia. Produksi mikotoksin oleh beberapa jamur telah

menambahkan dimensi baru pada gravitasi dari masalah. Jamur adalah

kapal perusak signifikan bahan makanan selama penyimpanan, membuat

mereka tidak layak untuk dikonsumsi manusia dengan memperlambat nilai

gizi mereka dan kadang-kadang dengan produksi mikotoksin. Menurut

17

Page 18: Kerusakan Biologi

perkiraan FAO, 25% dari tanaman pangan dunia dipengaruhi oleh

mikotoksin setiap tahun. Mereka menimbulkan risiko kesehatan kronis:

kontak yang terlalu lama melalui diet telah dikaitkan dengan kanker dan

ginjal, hati, dan sistem kekebalan penyakit. Mikotoksin terjadi lebih sering

dalam kondisi tropis dan diet di banyak negara berkembang yang lebih

terkonsentrasi pada tanaman rentan terhadap mikotoksin. Umumnya,

kondisi tropis seperti suhu tinggi dan kelembaban, musim hujan, hujan

pada musimnya pada saat panen, dan flash memimpin banjir proliferasi

jamur dan mikotoksin. Praktek pemanenan yang buruk, penyimpanan

yang tidak tepat, dan kondisi yang optimal sub selama transportasi dan

pemasaran juga dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan

jamur dan proliferasi mikotoksin.

Selain itu jurnal lain juga tetap membahas mengenai

penggunaan pestisida biologi.19 Penggunaan tumbuhan sekarang muncul

sebagai salah satu sarana penting untuk digunakan dalam perlindungan

hasil tanaman dan lingkungan dari pencemaran pestisida, yang

merupakan masalah global. Dalam bab ini, dfokus pada masa depan

pestisida botani dengan referensi khusus untuk pertanian. Dua aspek

utama pestisida botani, satu pencarian dan eksploitasi tumbuhan baru

sebagai pestisida termasuk isolasi, identifikasi dan evaluasi komponen

aktif dan lain penggunaan tumbuhan dalam bidang pertanian dalam

berbagai bentuk seperti aplikasi semprot langsung dari berbagai bahan

tanaman, perubahan tanah untuk berbagai bagian tanaman, tumpang sari

tanaman biologis aktif dengan tanaman utama, protectants gandum

botani, penggunaan pestisida botani formulasi berbasis sintetis dan juga

penggunaan tumbuhan sebagai synergists/pengikat untuk pestisida

sintetis.

Dalam jurnal ini membhasa berbagai macam pestisida biologi

yang dapat digunakan unutk membasmi berbagai hama.

Sedang jurnal yang satu ini membahas tentang penggunaan

racun dari suatu bakteri unutk membunuh hama serangga pada padi.20

Tanaman transgenik untuk mengendalikan hama penggerek batang

18

Page 19: Kerusakan Biologi

kerusakan sedang dalam pengembangan di Cina. Untuk menilai potensi

Bacillus thuringiensis (Bt) transgen dalam pengendalian penggerek

batang, toksisitas lima protoxins Bt (Cry1Aa, Cry1Ab, Cry1Ac, Cry1Ba dan

Cry1Ca) terhadap dua penggerek batang padi, Sesamia inferens (pink

penggerek batang) dan Chilo suppressalis (penggerek batang bergaris),

dievaluasi di laboratorium dengan memberi makan larva neonates pada

pakan buatan yang mengandung protoxins Bt. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Cry1Ca dipamerkan tingkat tertinggi toksisitas baik

penggerek batang, dengan LC50 0,24 dan 0,30 lg / g untuk C.

suppressalis dan S. inferens, masing-masing. Namun, S. inferens adalah

4 kali lipat lebih rendah dalam kerentanan terhadap Cry1Aa, dan 6 - dan

47-kali lipat kurang rentan untuk Cry1Ab dan Cry1Ba, masing-masing,

dibandingkan dengan C. suppressalis. Untuk mengevaluasi interaksi

antara Bt protoxins pada larva penggerek batang, tes toksisitas dilakukan

dengan campuran Cry1Aa/Cry1Ab, Cry1Aa / Cry1Ca, Cry1Ac/Cry1Ca,

Cry1Ac/Cry1Ba, Cry1Ab/Cry1Ac, Cry1Ab/Cry1Ba, dan Cry1Ab/Cry1Ca di

1:1 (b / b) rasio. Semua campuran protoxin menunjukkan aktivitas

toksisitas yang signifikan sinergis terhadap C. suppressalis, dengan nilai

1.6 sampai 11 kali lipat toksisitas lebih tinggi dari efek aditif teoritis.

Anehnya, semua kecuali salah satu campuran protoxin Bt adalah

antagonis dalam toksisitas pada inferens S.. Dalam kematian-waktu

respon percobaan, S. inferens menunjukkan toleransi meningkat menjadi

Cry1Ab dan Cry1Ac dibandingkan dengan C. suppressalis ketika diobati

dengan konsentrasi protoxin rendah atau tinggi. Data menunjukkan

kegunaan protoxin Cry1Ca dan campuran Cry1Ac/Cry1Ca untuk

mengendalikan populasi hama penggerek batang kedua.

19

Page 20: Kerusakan Biologi

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Kerusakan biologi pada pangan merupakan kerusakan yang

diakibatkan oleh organisme tingkat tinggi yang menyebabkan pangan

menjadi kekurangan atau bahkan kehilangan kualitas dan kuantitasnya

sebagai bahan pangan.

Penyebab dari kerusakan biologi ini dapat diakibatkan

tanaman tingkat tinggi, serangga, mamalia (biasanya tikus), burung, dan

reptil.

Pencegahan akan kerusakan biologi ini dapat dilakukan pada

saat penanaman, panen, atau penyimpanan bahan pangan.

3.2 Saran

Untuk menjaga bahan pangan, kita dapat melakukan berbagai

upaya yang telah dijelaskan di atas. Dengan menjaga bahan pangan kita

secara langsung mengurangi kelaparan dan menjaga ketersediaan

pangan unutk masa depan.

20

Page 21: Kerusakan Biologi

DAFTAR ISI

1. Tucker, S. Gary, editor. 2008. Food Biodeterioration and Preservation.

London: Blackwell Publishing.

2. Winarni, Kusumastuti, E. 2010. Bahan Ajar Kimia Bahan Pangan.

Semarang: Universitas Negeri Semarang.

3. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan.

4. Kartasapoetra, A.G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan.

Jakarta: Radar Jaya Offset.

5. Ascaño C P, Torres M A J. Relative warp analysis of head shape variations

in Nephotettix virescens (Distant) (Homoptera: Cicadellidae) infesting rice

types with different genes for resistance. Journal of Biological Science.

2010 June 29; 3(1): 199-206.

6. Wereng Hijau Green Leafhopper. Tersedia dari

http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/wereng-hijau-green-leafhopper

(diakses pada 26 Juni 2012)

7. Greater bandicoot rat (Bandicota indica). Tersedia dari

http://www.plantwise.org/?

dsid=8439&loadmodule=plantwisedatasheet&page=4270&site=234

(diakses pada 26 Juni 2012)

8. Malaysian house rat (Rattus rattus diardii). Tersedia dari

http://www.plantwise.org/?

dsid=46828&loadmodule=plantwisedatasheet&page=4270&site=234

(diakses pada 26 Juni 2012)

9. Tikus yang sering dijumpai di kebun sawit. Tersedia dari

http://science.lintas.me/article/duniakebun.blogspot.com/tikus-yang-sering-

di-jumpai-di-kebun-sawit/ (diakses pada 26 Juni 2012)

10. Pengendalian Tikus Sawah Dengan Sistem Bubu Perangkap. Tersedia dari

http://www.penyuluhpertanian.com/pengendalian-tikus-pada-padi-sawah

(diakses pada 26 Juni 2012)

21

Page 22: Kerusakan Biologi

11. Gambar Burung. Tersedia dari http://smartmastering.com/gambar-

burung.html (diakses pada 26 Juni 2012)

12. Pleci, Cucak Jenggot, Kolibri, dan Gelatik. Tersedia dari

http://www.infoburung.com/2010/06/pleci-cucak-jenggot-kolibri-dan-

gelatik_6023.html (diakses pada 26 Juni 2012)

13. Bayan. Tersedia dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bayan_(burung) (diakses

pada 26 Juni 2012)

14. Tersedia dari http://www.caves.org/WNS/ (diakses pada 26 Juni 2012)

15. Burung Gereja Erasia. Tersedia dari

http://www.bio.undip.ac.id/sbw/spesies/sp_burung_gereja_erasia.htm

(diakses pada 26 Juni 2012)

16. Domestic Pigeons (Rock Doves). Tersedia dari

http://wdfw.wa.gov/living/pigeons.html (diakses pada 26 Juni 2012)

17. Kumar, Rajesh et al. Insecticidal Activity Aegle marmelos (L.) Correa

Essential Oil Against Four Stored Grain Insect Pests. Internet Journal of

Food Safety. 2008. Vol.10, p.39-49

18. N. K. Dubey, et al. Current Status of Plant Products as Botanical Pesticides

in storage pest management. Journal of Biopesticides. 2008. 1(2):182–186

19. Anand Prakash, et al. Future of Botanical Pesticides in rice, wheat, pulses

and vegetables pest management. Journal of Biopesticides. 2008. 1(2):154-

169

20. Yulin Gao, et al. Screen of Bacillus thuringiensis toxins for transgenic rice to

control Sesamia inferens and Chilo suppressalis. Journal of Invertebrate

Pathology. 2010. 105; 11–15

22