bab ii landasan teori a. perlindungan hukum

16
BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan hukum Perlindungan hukum secara etimologi berasal dari 2 kata dasar yaitu perlindungan dan hukum. Tidak mudah memberikan pengertian perlindungan hukum dengan spesifik karena dalam kepustakaan hukum tidak memberikan pengertian secara khusus dan tersendiri untuk perlindungan hukum. Namun untuk menemukan pengertian yang relevan dapat di telaah dari beberapa pengertian dari 2 ( dua ) kata tersebut. Kata perlindungan dalam tata bahasa Indonesia adalah ; tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungkan 1 . Sedangkan dalam hukum materiil juga ditemukan kata perlindungan yang tertuang dalam dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Selain itu perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Sementara itu banyak pengertian mengenai hukum, namun yang cukup relevan dengan penelitian ini salah satunya yaitu hukum adalah peraturan- 1 Kamus besar Bahasa Indonesia, Cetakan keempat, Balai Pustaka, 1993, Hal 252

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan hukum

Perlindungan hukum secara etimologi berasal dari 2 kata dasar yaitu

perlindungan dan hukum. Tidak mudah memberikan pengertian perlindungan

hukum dengan spesifik karena dalam kepustakaan hukum tidak memberikan

pengertian secara khusus dan tersendiri untuk perlindungan hukum. Namun

untuk menemukan pengertian yang relevan dapat di telaah dari beberapa

pengertian dari 2 ( dua ) kata tersebut.

Kata perlindungan dalam tata bahasa Indonesia adalah ; tempat berlindung,

hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungkan1. Sedangkan dalam hukum

materiil juga ditemukan kata perlindungan yang tertuang dalam dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah segala upaya yang ditujukan

untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak

keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau

pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Selain itu perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah

suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,

kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari

pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sementara itu banyak pengertian mengenai hukum, namun yang cukup

relevan dengan penelitian ini salah satunya yaitu hukum adalah peraturan-

1 Kamus besar Bahasa Indonesia, Cetakan keempat, Balai Pustaka, 1993, Hal 252

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan - badan resmi yang

berwajib. Hukum adalah himpunan peraturan yang di buat oleh yang

berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang

mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa

dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.2

Pengertian hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono

Sastropranoto, SH adalah :

Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan

tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-

badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, Hukum adalah

himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk

mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah

dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi

hukuman bagi yang melanggarnya.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja,

Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum

itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan

manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan

proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataannya.3.

Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan dan hukum dapat

ditarik suatu pengertian lebih jelas bahwa perlindungan hukum merupakan

2 Makalah “Pengkajian Hukum Perlindungan Hukum Bagi Upaya Menjamin Kerukunan Umat

Beragama, Kementrian hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 2011, Jakarta,

Hal. 44. 3 Putra, 2009, Definisi Hukum Menurut Para Ahli, www. putracenter.net, Download 21 Agustus

2012, 22.00 WIB.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman, adil, manfaat,

damai kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang berisi asas-

asas atau kaidah dibuat oleh badan-badan resmi ( institusi otorita ) yang

berwajib bekerja secara preventif maupun represif dalam tata kehidupan

masyarakat yang dengan ciri adanya perintah dan larangan serta mempunyai

sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Dengan itu dapat dapat di artikan bahwa di dalam perlindungan hukum

terdapat jalinan pokok yang erat antar komponen di dalamnya yaitu asas –

asas atau kaidah ( agar ada kepastian hukum ), otoritas pelaksana ( lembaga/

institusi ), mekanisme pemberlakuan ( preventif maupun represif ) dan ada

sanksi ( pidana maupun administrative ) pada tiap peratura perlindungan

hukum, sehingga kekuatan mengikat hukumnya dapat dipaksakan dan

dipertangungjawabkan secara hukum.

2. Konsep Perlindungan Hukum

Konsep perlindungan hukum adalah implementasi eksistensi hukum

dalam masyarakat untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

kepentingan-kepentingan seluruh anggota masyarakat. Pengaturan

kepentingan-kepentingan ini seharusnya didasarkan pada keseimbangan

antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi kepentingan

masyarakat. Tatanan yang diciptakan hukum baru menjadi kenyataan

manakala subyek hukum diberi hak dan kewajiban.

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hak dan kewajiban bukanlah

merupakan kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan perimbangan

kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin dalam

kewajiban pada pihak lawan, hak dan kewajiban inilah yang diberikan oleh

hukum. Secara leksikal, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal

atau perbuatan, memperlindungi. Perlindungan diartikan sebagai perbuatan

memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian

dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau resiko yang

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

mengancamnya.4 Terdapat dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat yaitu

pertama ; perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan

mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk

yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, kedua ;

perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan sengketa.5

Konsep perlindungan hukum dalam pola kerjanya merupakan subsistem

di dalam suatu sistem hukum dimana sistem hukum adalah suatu susunan atau

tatanan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang

berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari

suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan 6.

Dalam setiap konteks sistem hukum maka di dalamnya terdapat tiga

komponen yang sangat saling keterkaitan menurut Lawrwnce M Fredmen

(Ahmad Ali) yaitu 7:

1. Struktur, yaitu keseluruhan institusi hukum yang menyangkut aparat

penegak hukumnya yang antara lain polisinya, kejaksaan dengan

para jaksa dan pengadilan dengan para hakimnya.

2. Substansi yaitu keseluruhan aturan hukum dan asas hukum, baik

yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan

pengadilan.

3. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, baik dari

para penegak hukum maupun warga masyarakat hukum dan

berkaitan dengan hukum.

Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat berjalan pada fungsinya masing

– masing akan menimbulkan penyakit hukum dan penyakit hukum itu dapat

menimpa ketiga komponen tersebut dan juga dapat menimpa satu persatu

4 http://ilmupengertian.blogspot.com/2013/02/konsep-perlindungan-hukum.html

5 Ibid, Hal. 45.

6 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986, hal 27

7 Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Vol. I, Jakarta: Kencana, 2009, hal 58

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

komponen dari ketiganya. Demikian juga dalam konsep perlindungan hukum

harus bekerja secara keseluruhan baik kaidah, institusi maupun kultur

hukumnya.

B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SPESIES LANGKA FLORA

DAN FAUNA LIAR DALAM RANAH HUKUM INTERNASIONAL

1. Dasar Terbentuknya Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar

secara internasional diawali dari adanya perdagangan berbagai spesies flora

dan fauna untuk dijadikan berbagai kebutuhan hidup seperti : makanan,

pakaian, hiasan, obat-obatan dll. Dalam kurun waktu yang lama hewan-hewan

tertentu yang sangat diminati seperti harimau, singa, badak, beruang, ikan

paus, ikan duyung, burung elang serta masih banyak lagi, semakin lama

semakin sedikit bahkan beberapa hewan telah dinyatakan punah. Sudah diakui

oleh manusia bahwa banyak dari spesies -spesies tersebut memiliki nilai yang

sangat mahal dari berbagai segi. Perdagangan tersebut dilakukan di berbagai

Negara. Beberapa catatan kasus perdaangan flora dan fauna liar terjadi di

Afrika 19 cula badak yang dengan sengaja diberi label “suku cadangan’

dengan tujuan Eropa pada bulan November 1986, kemudian adanya “ impor

gelap” kulit buaya dalam jumlah yang amat besar oleh Jepang sebanyak 50

ton kulit “caiman” , dan perburuan anjing laut belahan utara di laut bebas yang

melibatkan Paraguay, Jepang, Sovet Rusia, dan Amerika Serikat pada tahun

1911 8. Dengan perdagangan spesies tersebut meyebabkan kelangkaan spesies

tertentu.

8 Koesnadi Hardjasoemantri, 1991, “Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya”, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, Hal. 268-270.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

Indikasi terhadap penurunan populasi berbagai spesies langka akibat

perdagangan internasional tersebut mendorong masyarakat internasional untuk

mengatur perdagangan dan pemanenan spesies langka.9

Keinginan utuk memberikan perlindungan satwa liar dan fauna liar diawali

dengan berbagai perjanjian internasional yang mengatur masalah hewan (

khususnya ikan paus ) sejak tahun 1597 namun terbatas pada perjanjian

bilateral.10

Perjanjian multilateral baru ditandatangani di tahun 1885 yaitu

Convention Concerning the Regulation of Salmon Fishing in the Rhine River

Basin di kota Berlin tanggal 30 Juni 1885. Walaupun perjanjian internasional

awal hanya mengatur mengenai masalah hewan, tetapi pada dasarnya konsep

filosofi dasar dari perjanjian tersebut adalah perlindungan terhadap satwa liar

dan fauna liar. namun perjanjian tersebut perjanjian internasional yang masih

bersifat sektoral, bilateral dan regional.

Dibawah ini akan disebutkan data beberapa perjanjian yang ditandatangani

antar negara antara tahun 1946 – 1972 :

Tabel 1

Perjanjian Internasional terhadap Satwa dan Fauna

NO

NAMA PERJANJIAN

TEMPAT

PENANDA-

TANGANAN

WAKTU

PENANDA-

TANGANAN

1. International Convention for the Regulation of

Whaling

Washington 2 - 12 - 1946

9 Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia (Jakarta: Japan

International Cooperation Agency, 2003), hal 9 10

Birnie, Patricia W & Alan E Boyle. 1992. International Law and the Environment, Oxford University Press, New York, Hal 421.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

2. International Convention for the Northwest

Atlantic Fisheries

Washington 8 - 2 - 1949

3. International Convention for the Protection of

Birds

Paris 18- 10- 1950

4. Agreement Concerning Measures for the

Protection of the Stocks of Deep-Sea Prawns,

European Lobsters, Norway Lobsters and

Crabs

Oslo 7- 3 - 1952

5. Interim Convention on Conservation of North

Pasific Fur seals

Washington 9 - 2 - 1957

6. Agreement Between Hungary and Yugoslavia

Concerning Fishing in Frontier Waters

Beograd 25 - 5 - 1957

7. Agreement Between Norway and the USSR on

Measures for Regulating the Chatch and

Conserving Stocks of seals in the North

Eastern Part of the Atlantic Ocean

Oslo 22-11-1957

8. Convention Concerning Fishing in the Waters

of the Danube

Bucharest 29- 1 - 1958

9. Convention on Fishing and Conservation of the

Living Resources of the High Seas

Geneva 29- 4 - 1958

10. Convention Between Cuba and the USA for the

Conservation of Shrimp

Havana 1 - 12 - 1959

11. Agreement Between Norway and Finland

Regarding New Fishing Regulations of the

Fishing Area of the Tana River

Oslo 15- 11- 1960

12. Agreement on the Protection of the Salmon in

the Baltic Sea

Stockhlom 20-12 - 1962

13. Agreement Between Japan and the USA on Washington 25-11 - 1964

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

King Crab Fishing off Alaska

14. European Convention for the Protection of

Animals During International Transport

Paris 13 -12- 1968

15. Benelux Convention on the Hunting and

Protection of Birds

Brusels 10- 6 - 1970

16. Convention on Wetlands of International

Importance, Especially as Waterfowl Habitats

Ramsar 2 - 2 - 1971

17. Agreement Between Canada and Norway on

Sealing and the Conservation of the Seal Stock

in the North-West Atlantic

Ottawa 15-7 - 1971

18. Convention for the Conservation of Antartic

Seals

London 2 - 6 - 1972

19. Convention Between Japan and the USA for

the Protection of Migratory Birds in Danger of

Extinction and Their Environment

Tokyo 4- 3 - 1972

Sumber Data : Kiss (1976) & Bernie (1994)

Selain perjanjian, perlindungan terhadap hewan pada mulanya juga sangat

dipengaruhi oleh beberapa publikasi yang memunculkan tumbuhnya gerakan

lingkungan hidup. Pada waktu itu studi-studi mengenai kehidupan alam mulai

tumbuh kembali oleh para penulis naturalis dan menumbuhkan berbagai

gerakan lingkungan yang mempengaruhi lahirnya berbagai Taman Nasional

ini kelak akan juga mempengaruhi lahirnya organisasi internasional untuk

perlindungan dan pelestarian alam.

Seiring dengan itu tahun 1960-an muncul dorongan internasional

untuk lebih memperhatikan masalah perdaganga satwa ini dengan

mengeluarkan seruan yang mengatakan bahwa perdagangan internasional

satwa adalah perbuatan illegal. Seruan lembaga pemerhati konservasi

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

International Union for Conservation of Nature ( IUCN ) ini secara tidak

langsung mengarah kepada adanya permintaan untuk menciptakan mekanisme

kontrol impor untuk mencegah perdagangan yang ilegal, dimana perdagangan

ilegal diartikan sebagai perdagangan satwa yang dilakukan di dalam/di sektor

dari negara asal suatu spesies merupakan suatu tindakan pelanggaran dari

hukum suatu negara. Berdasarkan tekanan IUCN dan Konferensi Stockholm

dengan didasari premis bahwa perdagangan satwa harus dikontrol atau

dilarang berdasarkan daftar spesies terancam yang bersifat global, IUCN

meresponnya dalam General Assembly ke-11 pada September 1972 dengan

mengajukan rekomendasi dan resolusi yang mendorong semua negara untuk

berpartisipasi dalam pertemuan di Washington DC pada Februari 1973.

Akhirnya pada pertemuan delegasi yang jumlahnya sekitar 80 negara di

Washington D.C. Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, terbentuklah

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild

Fauna and Flora), dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1975. Jika dilihat dari 80

negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu

langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara yang menghadiri

tersebut tersebut diantaranya adalah Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika,

Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia,

Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand,

Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.

CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional

dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah.

Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan

memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang

akan datang.

Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan

memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

satwa dari kepunahan.11

Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat

internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional12

.

CITES merupakan suatu bentuk perjanjian atau traktat antar dua negara atau

lebih ( ilateral atau multilateral ) memiliki kekuatan mengikat apabila telah

diratifikasi oleh Negara pesertanya, dan setelah diratifikasi traktat memiliki

kekuatan hukum sama dengan undang – undang.13

Traktat atau perjanjian

internasional termasuk dalam kategori sumber formal yang diartikan sebagai

tempat dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum14

. Konvensi

CITES sudah diratifikasi oleh 173 negara15

, sejak Oman meratifikasinya pada

tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife. Hampir

semua negara pengimpor dan pengekspor utama bergabung di dalamnya.

Konvensi ini menerima lebih banyak dukungan administratif serta perhatian

akan penegakannya dibanding dengan konvensi lainnya tentang konservasi.

Di bawah CITES, beban pengendalian perdagangan dengan tegas diletakkan

pada negara anggota. Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian

internasional, CITES hanya mempunyai beberapa ketentuan penegakannya,

meskipun lembaga administrasinya, yaitu Sekretariat CITES, bertanggung

jawab untuk memonitor pelaksanaannya dan dapat membenkan tekanan

Internasional kepada pelanggar-pelanggar dengan meninjau pelanggarannya

dan menyoroti masalah pemenuhan kewajiban lainnya. Negara-negara

bertanggung jawab atas penegakan CITES dalam batas negaranya. Mereka

diharapkan untuk menjaga pelabuhan masuk dan kehuar, melaporkan tentang

perdagangan, dan menghukum pelanggar. CITES tidak berkaitan dengan

perburuan, perburuan gelap, atau perdagangan yang berlaku di dalam negara

itu sendiri. Peraturan perundang-undangan nasional serta kegiatan

11 CITES, Artikel III, Washington DC, 3 Maret 1973

12 Ibid,

13 R. Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum ( PIH ) , UKSW, 2000. Hal 83

14 Ridwan H. R, Hukum Administrasi Neara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006. Hal 61

15 Parties of the Convention , <http://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.shtml>,

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

penegakannya adalah amat penting bagi berhasilnya CITES dan bagi

konservasi spesies yang langka dan dalam bahaya kepunahan, yang

mempunyai nilai komersial16

.

CITES adalah salah satu dari perjanjian Internasional yang dapat

dibantu oleh semua warganegara. Setiap orang membantu suksesnya CITES

dengan menolak membeli barang yang dibuat dari spesies yang dibahayakan.

Disamping itu seruan dari konsep perlindungan yang ada dalam CITES

adalah pernyataan keperdulian/keperhatian masyarakat adalah sangat kuat

pula dalam mempengaruhi pengusaha industri satwa liar dan penyusun

kebijaksanaan perdagangan di semua tingkat. Dukungan surat pembaca di

mass media yang mempersoalkan masalah perdagangan gelap satwa liar serta

komunikasi langsung dengan perusahaan yang mengiklankan produksinya

yang dibuat dari spesies yang dilindungi dan dengan para penjual produk

tersebut lebih memperkuat perlindungan terhadap spesies satwa dan fauna di

dunia. Pada akhir bukunya, Fitzgerald menyatakan bahwa ada alasan untuk

optimisme, meskipun banyak masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan

CITES.

Di negara berkembang, pengendalian perdagangan satwa liar dan

kegiatan konservasi, untuk sebagian besar, perlu meliputi pemberian insentif

ekonomi dalam menghadapi tekanan bagi penduduk guna mengeksploitasi

sumber daya satwa liar. Kegiatan peternakan untuk masyarakat setempat dan

penyelenggaraan taman nasional dengan daya tarik kuat untuk wisatawan

merupakan suatu kelengkapan yang memperkuat guna membenarkan adanya

perlindungan spesies, dihadapkan pada peningkatan kebutuhan manusia,

sehingga dengan demikian perlindungan spesies dapat berjalan serentak

dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang meningkat

16 William C. Burns, “CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species ofFlora: A

Critical Appraisal”, 8 Dick. J. Int'l L. 203, 208-10 (1990).

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan

ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan

Nasional.

Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama melalui koordinasi

internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk

menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari

eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional.17

2. Pengklasifikasian Spesies

Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah

suatu spesies terancam punah (ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara

umum menurut CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :18

1. Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat

perdagangan yang dilakukan (Annex I)

2. Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran

akan mengalami kepunahan (Annex II)

3. Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah

kepunahan akibat perdagangan (Annex III)

3. Pengaturan dan Klasifikasi perdagangan CITES

Secara keseluruhan, CITES merupakan konvensi yang berlaku sebagai

panduan umum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan

segala jenis tumbuhan dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES

mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan

oleh Negara anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota,

konferensi Negara peserta, hubungan antara hukum internasional dan

peraturan domestik, dan amandemen terhadap konvensi itu sendiri. Konvensi

ini membagi perlindungan ke dalam tiga bagian yang termasuk di dalam

17

Butir 4 konsiderans CITES 18

Pasal 2 CITES

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

appendiks I, II, dan III yang setiap appendiks menunjukan status spesies

tersebut. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies

yang terancam yang mungkin diakibatkan oleh perdagangan internasional.

Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh

kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan

terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks III adalah kategori

spesies yang diatur dalam regulasi atau peraturan nasional negara anggota

untuk menghindari ancaman terhadap kepunahan.

C. DASAR HUKUM PERLINDUNGAN FLORA DAN FAUNA DI

INDONESIA.

Sejak adanya CITES, Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan

Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978 yang kemudian memberikan

penguatan lahirnya perlindungan flora dan fauna di indonesia melalui

seperangkat peraturan yang satu dengan lainnya saling berkaitan, diantaranya

adalah :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) dasar hukum yang

dipakai dalam perlindunngan perlindungan satwa dan fauna liar tertuang

dalam tiap klausula Pyang meliputi pengambilan/penangkapan Tumbuhan

dan Satwa Liar (TSL) baik komersial maupun non komersial dari habitat

alam hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam (Taman

Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya), kawasan suaka alam

(Cagar Alam, Suaka Marga Satwa) atau taman buru, yang semua tercakup

dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 UUKH.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UUPLH )

Peraturan UUPLH ini memberikan daya dukung yang mengatur

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga satwa dan

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

fauna liar yang merupakan bagian dari ekosistem lingkungan hidup

mendapatkan regulasi yang kuat dalam kelestariannya.

3. Undang - undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Hutan merupakan media tinggal dan lingkungan sebagian besar satwa

liar dan fauna. Untuk memperkuat perlindungan terhadap satwa dan fauna

liar agar tidak punah harus memperhatikan keseimbangan lingkungan

ekosistem dalam hutan. Undang – undang kehutanan ini mengatur

perlindungan kawasan hutan mulai dari pemanfaatan, pengendalian,

konservasi, produksi, pengawasan dan sanksi dalam pemanfaatan hutan.

4. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Peraturan pemerintah ini juga berkontribusi dalam memperkuat

landasan hukum bagi perlindungan satwa dan fauna liar dengan cara

mengatur dalam pengelolaan kawasan suaka alam, pengelolaan pelestarian

alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Satwa liar, Peran serta

masyarakat, Badan usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha

milik daerah, badan usaha milik swasta dan koperasi yang terkait

dengan pelestarian alam.

5. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai pengawetan,

pengelolaan, budidaya satwa dan fauna liar.

6. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan

Satwa Liar.

Dalam peraturan pemerintah ini mengatur pengkajian, penelitian,

pengembangan, penangkapan, perburuan, perdagangan,

peragaanpertukaran, budidaya, pengangkutan dan sanksi administratif

terhadap perburuan satwa buru

7. PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

Peraturan pemerintah ini mengatur perlindungan satwa dan fauna liar

yang meliputi ; Satwa Buru, Taman Buru, Kebun Buru, Pengusahaan

kebun buru dan taman buru, Areal buru Musim buru Akta Buru adalah

akta otentik yang menyatakan bahwa seseorang telah memiliki/ menguasai

kemampuan dan ketrampilan berburu satwa buru, perijinan, Pungutan izin

usaha kebun buru dan Iuran hasil usaha perburuan

8. Peraturan Menteri Kehutanan No : P. 57/Menhut-II/2008

Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional tahun 2008 – 2018

Peraturan menteri ini memberikan delegasi untuk membentuk dan atau

menunjuk institusi baik dari unsur pemerintahan ataupun swadaya yang

mendukung terhadap upaya perlindungan satwa dan fauna liar.

D. HUBUNGAN NORMA PERLINDUNGAN FLORA DAN FAUNA

INTERNASIONAL DAN NASIONAL

Dalam konsep perlindungan hukum terhadap flora dan fauna ada keterkaitan dan

korelasi antara norma perlindungan hukum internasional dan nasional dimana

kesemuanya terbentuk dalam suatu sistem hukum yang menyiratkan adanya suatu

susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian

yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari

suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan yaitu perlindungan hukum terhadap

flora dan fauna liar . 19

Hubungan antara norma internasional dan nasional dalam

perlindungan hukum terhadap flora dan fauna liar tersebut dapa t diambarkan sebagai

berikut :

Skema 1 Hubungan antara norma internasional dan nasional dalam perlindungan

hukum terhadap flora dan fauna

19 Loc. Cit Satjipto Raharjo

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

Dari skema diatas dapat digambarkan bahwa ada korelasi antara norma Hubungan

antara norma internasional dan nasional dalam perlindungan hukum terhadap flora

dan fauna liar yaitu ahwa norma internasional CITES merupakan pioner atau perintis

adanya peraturan perlindungan hukum terhadap satwa dan sauna liar nasional yang

ada di tingkat nasional. Norma internasional tidak akan mempunyai kekuatan

mengikat dan tidak dapat dipaksakan kalautidak diratifikasi dalam bentuk peraturan

nasional oleh negara peserta atau pengikut konvensi internasional CITES.

CITES

RATIFIKASI :

- peraturan organik ( UU )

- peraturan pelaksanaan

( PP, Peraturan presiden,

Peraturan menteri, dll )

IMPLEMENTASI