bab ii landasan teori 2.1 maintenance)eprints.umm.ac.id/59670/3/bab ii.pdf · distribusi yang umum...
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Perawatan (Maintenance)
Perawatan adalah fungsi yang memonitor dan memelihara fasilitas pabrik,
peralatan, dan fasilitas kerja dengan merancang, mengatur, menangani, dan
memeriksa pekerjaan untuk menjamin fungsi dari unit selama waktu operasi
(uptime) dan meminimasi selang waktu berhenti (downtime) yang diakibatkan
oleh adanya kerusakan maupun perbaikan (Manzini, dkk. 2009).
Beberapa pengertian perawatan (maintenance) menurut ahli :
1. Menurut Corder (1992), perawatan merupakan suatu dari tindakan yang
dilakukan untuk menjaga suatu barang dalam, atau untuk memperbaikinya
sampai, suatu kondisi yang bisa diterima.
2. Menurut Assauri (1999), perawatan diartikan sebagai suatu kegiatan
pemeliharaan fasilitas pabrik serta mengadakan perbaikan, penyesuaian atau
penggantian yang diperlukan agar terdapat suatu keadaan operasi produksi
yang sesuai dengan yang direncanakan.
2.2 Tujuan Perawatan
Adapun berberapa tujuan dilakukan perawatan menurut Corder (1992) adalah
antara lain:
1. Memperpanjang kegunaan aset (yaitu setiap bagian dari suatu tempat kerja,
bangunan dan isinya).
2. Menjamin ketersediaan optimum peralatan yang dipasang untuk produksi
atau jasa untuk mendapatkan laba investasi semaksimal mungkin.
3. Menjamin kesiapan operasional dari seluruh peralatan yang diperlukan dalam
keadaan darurat setiap waktu.
4. Menjamin keselamatan orang yang menggunakan sarana tersebut.
2.3 Jenis-jenis perawatan
Bentuk atau jenis perawatan menurut Assauri (1999) dapat diklasifikasikan dalam
tiga jenis yaitu :
1. Berdasarkan tingkat perawatan :
6
a. Rendah : perawatan pencegahan (Preventive Maintenance) yaitu
perawatan yang dilakukan sebelum terjadinya kerusakan dengan tujuan
untuk menghindari terjadinya kerusakan yang lebih fatal.
b. Sedang : perawatan perbaikan (Corrective Maintenance) yaitu perawatan
yang dilakukan setelah kerusakan terjadi yang bertujuan untuk
memperbaiki kerusakan tersebut.
c. Berat : Restorative Maintenance yaitu perawatan yang dilakukan pada
sistem yang telah mengalami kerusakan fatal (Major Overhaul) perawatan
ini lebih bersifat perbaikan dari sistem yang telah rusak.
2. Berdasarkan waktu perawatan :
a. Terjadwal : perawatan yang telah memiliki jadwal dalam periode tertentu
untuk melakukan pemeriksaan terhadap mesin atau sistem, perawatan ini
tetap dilakukan baik ada ataupun tidak ada kerusakan pada mesin.
b. Tidak terjadwal : perawatan yang hanya dilakukan jika terjadi kerusakan
tak terduga, jika tidak terjadi kerusakan maka perawatan tidak dilakukan.
3. Berdasarkan dana yang tersedia :
a. Terprogram : perawatan yang telah memiliki program tersendiri, maka dari
itu perawatan ini memiliki teknisi, peralatan dan anggaran tersendiri untuk
melakukan perbaikan atau berdasarkan jadwal yang telah ditentukan.
b. Tidak terprogram : tidak memiliki anggaran tersendiri untuk melakukan
perawatan terhadap mesin atau sistem yang mengalami kerusakan, maka
biaya yang dikeluarkannya berasal dari anggaran biaya tak terduga.
2.4 Strategi Perawatan
Selama beberapa dekade terkahir, para peneliti akademis dan praktis dari
beberapa perusahaan industri mengembangkan beberapa aturan dan teknik dalam
merencanakan dan mengatur kegiatan perawatan di dalam sistem produksi.
Menurut (Manzini, dkk. 2009) metode dan model pendukung keputusan ini dalam
strategi perawatan dapat diklasifikasikan, antara lain :
1. Corrective Maintenance (perawatan perbaikan) yaitu perawatan yang
dilakukan setelah kerusakan terjadi yang bertujuan untuk memperbaiki
kerusakan tersebut. Tidak terdapat kegiatan perencanaan untuk
7
mengoptimumkan perawatan peralatan dan manajemen pendukung
keputusan. Strategi ini dipengaruhi oleh pemenuhan suku cadang dan biaya
kegiatan perawatan sangat bergantung pada tersedianya atau tidak tersedianya
kebutuhan suku cadang untuk melakukan kegiatan perbaikan.
2. Preventive Maintenance (perbaikan pencegahan) yaitu kegiatan perawatan
terencana yang dilakukan untuk menghadapi dan mencegah kegagalan
potensial pada suatu komponen atau sistem. Pemilihan waktu dan hasil dari
kegiatan perawatan pencegahan harus direncanakan dan dioptimalkan dengan
baik untuk memaksimalkan hasil produksi dan meminimumkan biaya
perawatan.
3. Replacement (penggantian)
Replacement (penggantian) dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Planned replacement (penggantian terencana) yaitu pemilihan waktu
terbaik penggantian berdasarkan penentuan interval waktu optimum
untuk meminimumkan biaya perawatan. Kegiatan perawatan ini disebut
juga preventive replacement atau penggantian pencegahan.
b. Replacement upon failure (penggantian saat kerusakan) yaitu
penggantian yang dilakukan jika komponen atau sistem rusak. Kegiatan
perawatan ini disebut juga corrective replacement atau penggantian
perbaikan.
2.5 Konsep Reliability (Keandalan)
2.5.1 Pengertian Keandalan
Pengertian keandalan menurut Kapur dan Lamberson (1977) adalah
“probabilitas dimana ketika operasi berada pada kondisi lingkungan tertentu,
sistem akan menunjukan kemampuannya sesuai dengan fungsi yang diharapkan
dalam selang waktu tertentu”. Keandalan adalah probailitas yang selalu dikaitkan
dengan akumulasi waktu dimana suatu alat beroperasi tanpa mengalami kerusakan
dalam kondisi lingkungan tertentu. Kerusakan terjadi ketika alat tidak berfungsi
sesuai yang diinginkan. Pengertian tentang keandalan tersebut merupakan kriteria
yang jelas untuk menentukan kerusakan suatu sistem yaitu bila sistem tidak lagi
berfungsi seperti seharusnya.
8
Variabel yang terpenting yang berkaitan dengan keandalan adalah waktu.
Dalam hal ini waktu yang berkaitan dengan laju kerusakan yang dapat
menerangkan secara lebih jelas fenomena keandalan suatu sistem.
2.5.2 Kurva Laju Kerusakan
Dalam bukunya Lewis (1987) laju kerusakan didefinisikan sebagai
banyaknya kerusakan persatuan waktu yang dinotasikan dengan (t), misalkan :
N = peralatan sejenis dioperasikan bersamaan dan dicatat berapa banyak
peralan tersebut masih beroperasi sampai saat t.
N(t) = jumlah peralatan yang masih beroperasi sampai saat t.
N(t+ ) = banyaknya peralatan yang masih masih beroperasi sampai pada saat
t+ t
Sehingga banyaknya peralatan yang masih dapat digunakan selama interval (t,t +
t) adalah N(t) – N(t + t) dan interval waktunya adalah (t + t) – t = t, maka
kerusakan persatuan waktunya adalah :
( ) ( )
( ) (1)
N = jumlah peralatan beroperasi
t = waktu
jika pengamatan dilakukan dari (t,t + t) ->0, persamaan (1) menjadi :
( ) ( )
( ) (2)
Persamaan diatas dapat dikatakan dengan laju kerusakan ( ( )) -
masing dibagi dengan N(0), maka di dapat :
( )
( )
( )
( )
( )
( )
(3)
Dimana :
( )
( ) = proporsi banyaknya peralatan yang masih beroperasi
Sampai saaat t= probabilitas peralatan masih beroperasi hingga t (merupakan R(t)
= laju kerusakan sasaat yang merupakan proporsi komponen yang rusak tiap
satuan waktu pada saat t.
9
Sehingga persamaan menjadi :
( ) ( )
( )
( )
( ) ( )
(4)
Dalam matematika, turunan dari f(x) didefinisikan sebagai f(x), sehingga didapat:
( )
( ) ( )
(5)
Analog persamaannya menjadi ( ) ( )
( )
Alat ditulis :
( ) ( )
( ) (6)
Jika masing-masing suku dikalikan dengan dt, maka akan didapatkan
persamaannya menjadi seperti berikut :
( ) ( )
( ) (7)
Dan jika diintegrasikan dari 0 sampai t, diperoleh :
∫ ( )
( )
= ∫ ( )
In R(t) – in R(0) = ∫ ( )
In = ( )
( ) = -∫ ( )
( )
( ) = ∫ ( )
(8)
R(0) merupakan alat dalam keadaan baru (t-0) maka R(0) = 1, sehingga
persamaan diatas menjadi :
R(t) = ∫ ( )
(9)
R(t) = keandalan peralatan/komponen.
Fungsi ( ) ini dikenal dengan Hazard Function (h)t)) dan ∫ ( )
dikenal dengan
integrated Hazard Function (H(t)), sehingga dapat ditulis :
H(t) = ∫ ( )
Kemudian didapat keandalannya sebagai berikut :
R(t) = ( ) (10)
10
Kemudian kurva laju kerusakan menurut Ben-Daya, dkk. (2009) Laju
kerusakan (Failure Rate) merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan
dalam menganalisa kerusakan dan merupakan salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dalam menganalisa kerusakan dan merupakan dasar dari teknik
perawatan (Maintenance) dan teknik keandalan (Reliability).
Karakteristik fungsi laju kerusakan suatu peralatan mengikuti pola dasar berikut :
Phase 1 : kerusakan awal (Early Failure)
Pada setiap awal operasi (t0), laju kerusakan yang terjadi pada phase ini
disebut kerusakan awal (infant mortality). Probabilitas rusak pada saat
ini akan lebih besar daripada saat yang akan datang.
Phase 2 : pengoprasian normal (Normal Operation)
Phase ini dimulai pada saat t1 sampai t2. Pada phase ini laju kerusakan
cenderung konstan dan merupakan phase dengan laju kerusakan rendah.
Phase ini biasa disebut phase umur berfaseedah (useful life).
Phase 3 : Pengoperasian melebihi umur produk (Wear Out).
Phase ini dimulai pada saat t2 dan seerusnya, yang mempunyai laju
kerusakan cenderung tajam, karena mulai memburuknya kondisi
peralatan sehingga pada phase ini disebut pemakaian yang melebihi
umur produk (wear out). Penggantian alat terjadi pada saat t2, tetapi
penentuan saat t1 dan t2 terasa sulit, sehingga sukar untuk mengadakan
penggantian peralatan pada saat yang tepat.
Gambar 2.1 Perawatan dan Siklus Hidup Komponen
Sumber : Jardine (1973)
11
2.5.3 Distribusi Kerusakan
Setiap mesin selalu mempunyai karakteristik kerusakan yang berbeda-
beda. Sejumlah mesin yang sama jika dioperasikan dalam kondisi yang berbeda
akan menunjukan karakteristik kerusakan yang berbeda. Bahkan mesin yang sama
juga kerika dioperasikan dalam kondisi yang sama akan memiliki karakteristik
kerusakan yang berbeda. Untuk menganalisa perawatan ada beberapa jenis
distribusi yang umum dipakai yaitu distribusi normal, lognormal, eksponensial
dan weibull.
Berikut distribusi dalam keandalan menurut Ben-Daya, dkk. (2009) :
1. Distribusi Normal
Distribusi normal merupakan distribusi probabilitas yang paling penting
baik dalam teori maupun aplikasi statistik. Distribusi ini digunakan jika
pengaruh suatu kerandoman diakibatkan oleh sejumlah besar variasi random
yang bergantungan (saling bebas/independent) yang kecil atau sedikit.
Distribusi ni cocok digunakan untuk model wear out mesin. Fungsi yang
terdapat dalam distribusi ini adalah :
a. Fungsi kepadatan probabilitas f(t)
f (t) =
√
{ ( )
} (11)
Dengan ketentuan : - ~ < t < ~
Dimana : µ = rata-rata dari distribusi
σ = Standar deviasi distribusi
b. Fungsi kumulatif kerusakan F(t)
F(t) = Ø(
) (12)
Dimana : µ = rata-rata
σ = Standar deviasi
Ø = nilai z yang diperoleh dari tabel distibusi normal
c. Fungsi keandalan R(t)
12
R(t) = 1 – Ø (
) (13)
d. Fungsi laju kerusakan r(t)
A(t) = ( )
( ) (14)
2. Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal merupakan distribusi yang berguna untuk
menggambarkan distribusi kerusakan untuk situasi yang bervariasi. Distribusi
lognormal banyak digunakan di bidang teknik, khususnya sebagai model untuk
jenis sifat material dan kelelahan material.
Fungsi-fungsi dalam distribusi lognormal adalah :
a. Fungsi kepadatan probabilitas
( )
√ (
[ ( ) ]
) (15)
b. Fungsi kumulatif kerusakan
F(t)= ( ( )
) (16)
c. Fungsi keandalan
R(t) = 1- ( ( )
) (17)
d. Fungsi laju kerusakan
A(t) = ( )
( ) (18)
3. Distribusi eksponensial
Menggambarkan suatu kerusakan dari mesin yang disebabkan oleh
kerusakan pada salah satu komponen dari mesin atau peralatan yang
menyebabkan mesin terhenti. Dalam hal ini kerusakan tidak dipengaruhi oleh
unsur pemakaian peralatan. Dengan kata lain distribusi ini memiliki kelajuan
yang konstan terhadap waktu. Distibusi eksponensial akan tergantung nilai λ,
yaitu laju kegagalan (konstan).
Fungsi-fungsi dalam distribusi eksponensial adalah:
a. Fungsi kepadatan kemungkinan
13
f(t) = λe – λt (19)
b. Fungsi kumulatif kerusakan
F(t) = 1 – λe – λt
(20)
c. Fungsi keandalan
R(t) = e – λt
(21)
d. Fungsi laju kerusakan
A(t) = ( )
( ) = λ (22)
2= 1/ λ untuk t
4. Distribusi weibull
Distribusi weibull pertama sekali diperkenalkan oleh ahli fisika dari
Swedia Wallodi Weibull pada tahun 1939. Dalam aplikasinya, distribusi ini
sering digunakan untuk memodelkan “waktu sampai kegagalan” (time to
failure) dari suatu sistem fisika. Ilustrasi yang khas, misalnya pada sistem
dimana jumlah kegagalan meningkat dengan berjalannya waktu (misalnya
keausan bantalan), berkurang dengan beralannya waktu (misalnya daya hantar
beberapa semi konduktor) atau kegagalan yang terjadi oleh suatu kejutan
(shok) pada sistem.
Distribusi weibull merupakan keluarga distribusi kerusakan yang paling
sering dipakai sebagai model distribusi masa hidup (life time). Distribusi
weibull merupakan distribusi empirik sederhana yang mewakili data yang
aktual. Distribusi ini bisa digunakan dalam menggambarkan karakteristik
kerusakan dan keandalan pada komponen (Harinaldi, 2005).
Fungsi-fungsi dari distribusi weibull:
1. Fungsi kepadatan probabilitas
f(t) =
(
) e
[-(
)] (23)
2. Fungsi distribusi kumulatif
f(t) = 1- exp [-(
) ] (24)
3. Fungsi keandalan
14
R(t) = [- (
)] (25)
4. Fungsi laju kerusakan
( )
(
) (26)
Parameter disebut dengan parameter bentuk atau kemiringan weibull
(weibull slope), sedangkan parameter disebut parameter skala atau
karakteristik hidup. Bentuk fungsi distribusi weibull bergantung pada
parameter bentuknya ( ), yaitu :
B < 1 : Distribusi weibull akan menyerupai distribusi hyper-exponential
dengan laju kerusakan cendenderung menurun.
B = 1 : Distribusi weibull akan menyerupai distribusi eksponensial dengan
laju kerusakan cenderung konstan.
B > 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi normal dengan laju
kerusakan cenderung meningkat.
2.6 Mean Time To Failure (MTTF)
Menurut Ansori dan Mustajib (2013) keandalan untuk suatu sistem seringkali
dinyatakan dalam bentuk angka yang menyatakan ekspektasi masa pakai system
atau alat tersebut, yang dinotasikan dengan E[T] dan sering disebut rata-rata
waktu kerusakan atau mean time to failure (MTTF), adalah nilai yang diharapkan
dari suatu distribusi kerusakan dengan didefinisikan oleh probability densit
function (pdf). Rata-rata waktu kerusakan dapat dirumuskan sebagai berikut :
MTTF = E (t) = ∫
(t)dt (27)
Perhitungan nilai MTTF untuk masing-masing distribusi adalah
1. Distribusi Normal : MTTF = (28)
2. Distribusi Lognormal : MTTF = tmedes2/2
(29)
3. Distribusi Eksponensial : MTTF =1/ λ (30)
4. Distribusi Weibull : MTTF = (
) (31)
: parameter distribusi
: parameter untuk menentukan karateristik life time
15
2.7 Pengujian Hipotesa Distribusi Data (Test Godness Of Fit)
Untuk pengujian hipotesa pola distribusi data, menurut Boediono dan Koster
(2001) ada dua macam test Goodness of Fit, yaitu Chi-Square dan uji Kolmogorov
Smirnov, sedangkan untuk distribusi yang bersifat diskrit digunakan uji Chi-
Squaer. Dalam pembahasan selanjutnya hanya akan diuraikan uji Kolmogorov
Smirnov, dimana Uji Kolmogorov-Smirnov termasuk uji kebaikan suai (Goodness
of Fit). Dalam hal ini yang diperhatikan adalah tingkat kesesuaian antara distribusi
nilai sampel (skor hasil observasi) dengan distribusi teoritis tertentu (normal,
seragam, atau poisson). Oleh karenanya uji ini dapat digunakan untuk uji
kenormalan. Dimana langkah-langkahnya meliputi:
2.7.1 Asumsi-Asumsi
Data yang terdiri aatas hasil pengamatan bebas X1, X2,.....,Xn yang
merupakan sebuah sample acak berukur n dari suatu distribusi yang belum
diketahui dan dinyatakan dengan F(x).
2.7.2 Hipotesa
Jika Fo(x) dimisalkan sebagai fungsi distribusi yang dihipotesiskan (fungsi
peluang kumulatif), maka hipotesa nol dan hipotesa tandingannya dapat
dinyatakan masing-masing sebagai berikut :
a. Dua sisi
Ho : F(x) = Fo(x) untuk semua nilai x
H1 : F(x) Fo(x) untuk sekurang-kurangnya sebuah nilai x
b. Satu sisi
Ho : F(x) Fo(x) untuk semua nilai x
H1 : F(x) < Fo(x) untuk sekurang-kurangnya sebuah nilai x
c. Satu sisi
Ho : F(x) Fo(x) untuk sebuah nilai x
H1 : F(x) > Fo(x) untuk sekurang-kurangnya sebuah nilai x
2.7.3 Signifikansi Uji Kolmogorov-Smirnov
Signifikansi Kolmogorov-Smirnov antara lain dijelaskan sebagai berikut :
a. Ho ditolak jika Dhitung > Dtabel
b. Ho diterima jika Dhitung < Dtabel
16
2.7.4 Statistik Uji
Tabel 2.1 Tabel uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov
No. ̅
1.
2.
dst.
Keterangan:
Xi = angka pada data
Z = tranfomasi dari angka ke notasi pada distribusi normal
Normalitas uji kolmogorov-smirnov Dhitung = maks |Fo(x) – SN(x)|
Keterangan:
Fo (x) : Distribusi frekuensi kumulatif teoritis
SN(x) : Distribusi kumulatif skor obervasi
Ho ditolak jika Dhitung > Dtabel
Langkah-langkah pengerjaan :
a. Mengurutkan data sampel dari terkecil sampe yang terbesar.
b. Menentukan nilai z dari tiap tiap data tersebut.
c. Menentukan besar peluang untuk masing-masing nilai z tabel dan diberi
nama FX = nilai tabel z+0,5.
d. Menghitunga frekuensi kumulatif relatif kurang dari masing-masing nilai
z, tiap-tiap frekuensi kumulaif dibagi dengan n sebut dengan Sx,
menggunakan Dhitung yang besar.
e. Menentukan nilai Dhitung = |Fx - Sx|, hitung selisihnya, kemudian
bandingkan dengan nilai Dtabel dari tabel Kolmogorov-Smirnov.
Tabel 2.2 Nilai Kritis Uji Kolmogorov Smirnov
n 0,2 0,1 0,05 0,02 0,01
1 0,9 0,95 0,975 0,99 0,995
2 0,684 0,776 0,842 0,9 0,929
3 0,565 0,636 0,708 0.785 0,829
17
n 0,2 0,1 0,05 0,02 0,01
4 0,493 0,565 0,624 0,689 0,734
5 0,447 0,509 0,563 0,627 0,669
6 0,41 0,468 0,519 0,577 0,617
7 0,381 0,436 0,483 0,538 0,576
8 0,359 0,41 0,454 0,507 0,542
9 0,339 0,387 0,430 0,48 0,513
10 0,323 0,369 0,409 0,457 0,486
11 0,308 0,352 0,391 0,437 0,468
12 0,296 0,338 0,375 0,419 0,449
13 0,285 0,325 0,361 0,404 0,432
14 0,275 0,314 0,349 0,39 0,418
15 0,266 0,304 0,338 0,377 0,404
16 0,285 0,295 0,327 0,366 0,392
17 0,25 0,286 0,318 0,355 0,381
18 0,244 0,279 0,309 0,346 0,371
19 0,237 0,271 0,301 0,337 0,361
20 0,232 0,265 0,294 0,329 0,352
21 0,226 0,259 0,287 0,321 0,344
22 0,221 0,253 0,281 0,314 0,337
23 0,216 0,247 0,275 0,307 0,33
24 0,212 0,242 0,269 0,301 0,323
25 0,208 0,238 0,264 0,295 0,317
26 0,204 0,233 0,359 0,29 0,311
27 0,2 0,229 0,254 0,284 0,305
28 0,197 0,225 0,25 0,279 0,3
29 0,193 0,221 0,246 0,275 0,295
30 0,19 0,218 0,242 0,27 0,29 Sumber : Miller (1956)
f. Jika Dhitung<Dtabel, maka sampel berasal populasi yang berdistribusi
normal.
2.8 Model Perawatan
2.8.1 Model Perawatan Pencegahan probabilistik
Dikarenakan strategi model ini adalah tindakan perawatan pencegahan
(preventive maintenance), dengan demikian timbul permasalahan yang diartikan
sebagai suatu model yang dibuat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi
dalam melakukan tindakan perawatan pencegahan, dimana keputusan yang
18
diambil mengandung resiko karena hasil yang didapat bersifat probabilistik
(kemungkinan).
Pada gambar 2.2 akan diperlihatkan model perawatan pencegahan
(preventive maintenance), dalam kasus ini dapat dijelaskan bahwa para operator
perawatan dengan keterampilan yang dimilikinya berusaha untuk melakukan
perawatan pencegahan dengan waktu rata-rata yang dihasilkan adalah diberi
simbol Tm, sedangkan dalam waktu tertentu kerusakan berat akan terjadi antara
dua pelaksanaan perawatan pencegahan. Para montir memperbaiki kerusakan ini
dengan waktu perbaikan kerusakan tanpa melakukan penyesuaian terlebih dahulu
(Tr).
Jadi dalam periode perawatan perencanaan ini terdapat dua jenis waktu
terhentinya mesin dalam berproduksi, yaitu penghentian untuk dilakukan
perawatan pencegahan (preventive maintenance) dan penghentian untuk dilakukan
perbaikan kerusakan (corrective maintenance).
Tm TmTr
L
Gambar 2.2 Model Perawatan Perencanaan dan Perbaikan Kerusakan
Sumber : Kulkarni, (1997)
L = Periode perawatan perencanaan.
Tm = Waktu rata-rata perawatan perencanaan.
Tr = Waktu yang diperoleh dari perbaikan kerusakan.
2.8.2 Model Penggantian kerusakan
Tindakan penggantian kerusakan yang saat ini dilakukan hanya ketika
terjadi kerusakan yang menyebabkan mesin berhenti, tindakan penggantian
kerusakan dengan mengacu pada interval waktu tersebut ternyata tidak
mengurangi frekuensi kerusakan komponen baru.
Berdasarkan kondisi ini, maka akan dilakukan penetapan kebijaksanaan
pengantian dengan cara mencari pilihan interval waktu penggatian baru yang
19
diharapkan akan dapat menciptakan kuantitas keluaran produk atau jasa yang
sebaik-baiknya yaitu sesuai dengan permintaan.
Pemecahan masalah diatas akan dilakukan dengan teknik kuantitatif melalui
pengambilan model. Terdapat konsep model pengembangan matematik yang
berkaitan dengan cara penggantian, yaiut model Age Replacement.
2.8.2.1 Model Age Replacement
Model Age Replacement menurut Jardine (1973) adalah suatu model
penggantian dimana interval waktu penggantian komponen dilakukan dengan
memperhatikan umur pemakaian dari komponen tersebut, sehingga dapat
menghindari terjadinya penggantian peralatan yang masih baru dipasang akan
diganti dalam waktu yang relatif singkat. Jika terjadi suatu kerusakan, model ini
akan menyesuaikan kembali jadwalnya setelah penggantian komponen dilakukan,
baik akibat terjadi kerusakan ataupun hanya bersifat sebagai perawatan
pencegahan.
Model ini cocok diterapkan terhadap komponen yang interval waktu
penggantiannya relatif tidak mempengaruhi umur komponen lainnya atau
komponen yang penggantiannya sekaligus artinya bahwa model ini berlaku jika
ada kerusakan komponen dalam satu set mesin maka hanya satu komponen yang
rusak saja yang mengalami penggantian.
Dalam model Age Replacement, intinya pada saat dilakukan penggantian
adalah tergantung pada umur komponen, jadi penggantian pencegahan akan
dilakukan dengan interval yang ditentukan.
Model Age Replacement ini mempunyai dua siklus penggantian
pencegahan, yaitu:
a. Siklus 1 atau siklus pencegahan yang diakhiri dengan kegiatan penggantian
pencegahan, ditentukan melalui komponen yang telah mencapai umur
penggantian sesuai rencana.
b. Siklus 2 atau siklus kerusakan yang diakhiri dengan kegiatan kerusakan,
ditentukan melalui komponen yang telah mengalami kerusakan sebelum
mencapai waktu penggantian yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kedua siklus model Age Replacement dapat diliat pada gambar 2.3
20
OperasiOperasi
Siklus 1 Siklus 2
Tp Tftp+Tp
Perawatan
perbaikan
Perawatan
pencegahan
Gambar 2.3 Model Age Replacement
Sumber : Jardine (1973)
Sedangkan kebijaksanaan perawatan penggantiannya dapat dilihat pada gambar
2.4
Penggantian
kerusakan
Penggantian
pencegahan
Penggantian
kerusakan
TfTf Tptp
t0
Gambar 2.4 kebijaksanaan perawatan penggantian pencegahan
Sumber : Jardine (1973)
tp = Interval waktu penggantian pencegahan per satuan waktu.
Tf = waktu yang diperlukan untuk penggantian karena kerusakan
Tp = Down time yang terjadi karena kegiatan penggantian.
f(t) = Fungsi distribusi interval waktu kerusakan
R(tp) = Probabilitas terjadinya siklus 1 pada saat tp
M(tp) = Waktu rata-rata terjadinya suatu kerusakan, jika penggantian
dilakukan saat tp.
Pembentukan model ongkos penggantian pencegahan :
C(tp) =
(32)
21
Ekspetasi ongkos perawatan penggantian per siklus
= {ekspetasi ongkos total pada siklus pencegahan x probabilitas terjadinya
siklus pencegahan}+{ekspetasi ongkos total pada siklus kerusakan x
probabilitas terjadinya siklus kerusakan}
= {Cp.R(tp)}+[Cf.{1-R(tp)}] (33)
Ekspetasi panjang siklus
={ekspetasi panjang siklus pencegahan x probabilitas terjadinya siklus
perencanaan} + {ekspetasi panjang siklus kerusakan x probabilitas
terjadinya siklus kerusakan}
= [{tp+Tp}.R(tp)] + [{M(tp) + Tf} .{1-R(tp)}] (34)
Sehingga model penentuan interval penggantian pencegahan dengan kriteria
meminimasi ongkos ini dapat ditulis sebagai berikut. Jardine (1973) :
C(tp) = ( ( ) ( ( )))
[( ) ( )] [( ( ) )( ( ))] (35)
Dimana :
tp = interval waktu penggantian pencegahan
Tp = waktu untuk melakukan penggantian pencegahan
Tf = waktu untuk melakukan penggantian kerusakan
Cp = biaya penggantian terencana (penggantian pencegahan)
Cf = biaya penggantian tidak terencana (penggantian kerusakan)
R(tp) = probabilitas terjadinya siklus pencegahan
Tp+tp = panjang siklus pencegahan
M(tp)+Tf = ekspektasi panjang siklus kerusakan’
Dari persamaan tersebut akan dicari harga tp yang memberikan nilai C(tp)
yang paling optimum
22
2.9 Penentuan Komponen Kritis
Pengertian komponen kritis adalah kondisi dimana suatu komponen ketika
mengalami kerusakan akan mempengaruhi keandalan operasional sistem. Untuk
mengetahui kondisi komponen kritis dapat digunakan pendekatan critical analysis
dengan empat kriteria (Susanto, 2017).
1. Frekuensi kerusakan tinggi
Frekuensi kerusakan yang tinggi pada suatu komponen jika tidak segera
dilakukan tindakan perbaikan akan menyebabkan kerusakan yang merambat ke
komponen lain yang berpotensi menimbulkan sistem tidak dapat beroperasi
(breakdown).
2. Dampak kerusakan pada sistem
Ketika komponen mengalami kerusakan akan mengakibatkan sistem terganggu
dan tidak berfungsi maksimal atau gagal melaksanakan fungsinya dalam
beroperasi.
3. Pembongkaran dan pemasangannya sulit.
Ketika penggantian terhadap komponen yang rusak harus dilakukan
pembongkaran, komponen diperbaiki atau diganti dengan komponen baru, lalu
dilalukan pemasangan ulang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kriteria
ini antara lain :
a. Posisi komponen
b. Alat yang digunakan untuk pembongkaran
c. Waktu yang dibutuhkan
d. Mekanik yang berkompeten dalam bidangnya.
4. Harga komponen maha
Harga komponen disebut mahal ketika harga komponen tersebut di atas harga
rata-rata seluruh komponen yang ada pada mesin tersebut.
2.10 Identifikasi Material Menggunakan Analisis Klasifikasi ABC
Pemilihan suku cadang yang akan ditentukan persediaannya dilakukan
dengan menggunakan metode ABC, yaitu penentuan berdasarkan tingkat harga
tertinggi dari biaya penggunaan material per periode waktu tertentu (harga per
23
unit material dikalikan volume penggunaan dari material itu sampai periode waktu
tertentu) (Assauri, 1999).
Klasifikasi ABC mengikuti prinsip 80-20, atau hukum pareto dimana sekitar
80% dari nilai inventori material dipresentasikan (diwakili) oleh 20% material
inventori.
Tujuan dari analisis ABC adalah untuk menentukan :
1. Frekuensi perhitungan inventori (cycle routing), dimana material kelas A harus
diuji lebih sering dalam hal akurasi catatan inventori dibandingkan material-
material kelas B dan C.
2. Prioritas rekayasa (engineering), dimana material-material kelas A dan B
memberikan petunjuk pada bagian rekayasa dalam peningkatan program
reduksi biaya ketika mencari material-material tertentu yang perlu difokuskan.
3. Prioritas pembelian, dimana aktifitas pembelian seharusnya difokuskan pada
bahan-bahan baku bernilai tinggi (high cost) dan pengunaan dalam jumlah
tinggi (high usage). Fokus pada material-material kelas A untuk pemasok
(sourching) dan negosiasi.
4. Keamanan: meskipun nilai biaya per unit merupakan indikator yang lebih baik
dibandingkan nilai penggunaan (usage value), namun analisis ABC boleh
digunakan sebagai indikator dari material-material (kelas A dan B) yang
seharusnya lebih aman disimpan dalam ruangan terkunci untuk mencegah
kehilangan, kerusakan, atau pencurian.
Prosedur pengelompokan material inventori ke dalam kelas A, B dan C, anatara
lain mengikuti prinsi 80-20:
1. Tentukan volume penggunaan per periode waktu dari material inventori yang
diklasifikasikan
2. Kalikan volume penggunaan per periode waktu dari setiap material inventori
dengan biaya per unitnya untuk memperoleh nilai total penggunaan biaya per
periode waktu untuk seetiap material itu.
3. Jumlahkan nilai total penggunaan biaya dari semua material inventori itu untuk
memperoleh nilai total penggunaan nilai keseluruhan.
24
4. Bagi nilai total penggunaan biaya dari setiap material inventori itu dengan nilai
total penggunaan biaya keseluruhan, untuk menentukan persentase nilai total
penggunaan biaya dari setiap material inventori.
5. Daftarkan material dalam rank persentase niali total pengunaan biaya dengan
urutan menurun dari terbesar ke terkecil.
6. Klasifikasikan material-material inventori itu ke dalam kelas A, B, dan C
dengan kriteria 20% ke dalam kelas A (komponen kritis), 30% kedalam kelas
B (komponen semi kritis), dan 50% kedalam kelas C (komponen non kritis).