bab ii kerangka teori 1. kebudayaan sebagai sistem

31
BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan, dan perbuatan/ tindakan yang dibagikan diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat. Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh keseluruhan sistem sosialkarena keintiman hubungan timbal balik, kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi, dan bahkan oleh seluruh masyarakat. Kebudayaan sebagai suatu konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa “keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu sendiritidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling berhubungan. Kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk memenuhi anggota kebutuhan kelompokyang diwujudkan dalam proses yang

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

BAB II

KERANGKA TEORI

1. Kebudayaan sebagai Sistem

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,

penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi

dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan, dan perbuatan/ tindakan

yang dibagikan diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial

dalam suatu masyarakat.

Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh

keseluruhan sistem sosialkarena keintiman hubungan timbal balik, kesejawatan

dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari kelompok kecil,

kelompok etnik, organisasi, dan bahkan oleh seluruh masyarakat.

Kebudayaan sebagai suatu konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa

“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti dan

makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti

dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur

aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu

sendiritidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling

berhubungan.

Kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil

ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk

memenuhi anggota kebutuhan kelompokyang diwujudkan dalam proses yang

Page 2: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

disebut “adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok

menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran

atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka. (Aloliliweri, 2001: 4-5)

2. Pengertian dan Sifat Komunikasi

Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran

informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem

kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi

itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang

dipahami bersama.

Ada dua bentuk simbol yakni verbal dan nonverbal. Manusia melahirkan

pikiran, perasaan dan perbuatan melalui ungkapan kata-kata yang kita sebut

verbal. Kalau kata-kata itu diucapkan disebut verbal vokal, kalau dengan tulisan

disebut verbal-visual. Selain itu, ada juga simbol nonverbal untuk

mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perbuatan yang disampaikan bukan

dengan kata-kata, melainkan dengan memakai gerakan-gerakan anggota tubuh,

ekspresi wajah, pakaian, waktu dan ruang/jarak fisik dan lain-lain. Tindakan

komunikasi seperti itu yang merupakan sifat utama dari komunikasi antarpribadi,

yakni: 1) komunikasi antarpribadi merupakan proses yang bersifat dinamis; 2)

menampilkan perilaku simbolis; 3) mendatangkan tanggapan; 4) menampilkan

gejala tentang adanya penerima; dan 5) komunikasi antarpribadi bersifat

kompleks. (Aloliliweri, 2001: 5-6).

Page 3: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

2.1. Komunikasi Antarpribadi sebagai Proses Dinamis

Komunikasi antarpribadi disebut proses dinamis karena setiap

peristiwa komunikasi diwarnai oleh tindakan aktif dari para pelaku

komunikasi selama proses tersebut berlangsung. Aktivitas itu ditandai oleh

berbagai perilaku yang berkesinambungan, ada aksi dan reaksi, ada respon

timbal balik.

Sebagai contoh, Tuhan telah memberikan kepada setiap orang

kemampuan untuk bercakap-cakap dalam kegiatan berkomunikasi tatap

muka. Tuhan pun memberi kemampuan lain bagi manusia, misalnya

kemampuan indrawi sehingga pada saat bercakap-cakap manusia pun bisa

saling memandang, mendengarkan, memikirkan sesuatu, serta

menggerakkan badan.

Komunikasi selalu menggambarkan keberadaan setiap manusia

yang memiliki “kehidupan bersama” dalam suatu arena sosial. Arena

sosial itu terbentuk karena hubungan sosial budaya antarmanusia yang

diwujudkan melalui bentuk komunikasi antarpribadi, komunikasi

kelompok atau komunikasi massa. Itulah dinamika komunikasi

antarpribadi.

2.2. Komunikasi Antarpribadi Berwujud Perilaku Simbolis

Komunikasi antarpribadi berwujud perilaku simbolis karena pesan-

pesan komunikasi dinyatakan dalam simbol-simbol verbal dan nonverbal

yang mewakili gagasan tertentu. Proses menghasilkan kode-kode simbolis

yang biasa dilakukan manusia itu dinamakan encoding yang berwujud

Page 4: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

perilaku. Setiap perilaku manusia yang ditampilkan secara sadar maupun

tidak sadar selalu berkaitan dengan fungsi simbol yakni memindahkan dan

menukar simbol agar dapat diberi makna bersama.

Perilaku simbolis merupakan satu unsur yang pentingdalam

komunikasi apalagi kalau komunikasi itu terjadi diantara komunikator dan

komunikan yang berbeda kebudayaan. Berhubung setiap kebudayaan

mengajarkan kepada para anggotanya prinsip, bentuk, jenis dan fungsi

simbol maka dapat diduga seberapa jauh efektivitas komunikasi di antara

komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan.

2.3. Komunikasi Antarpribadi menghasilkan Tanggapan dan

Penerima

Manusia bisa mengirim simbol-simbolverbal dan nonverbal namun

harus ada manusia yang bersedia menerima simbol-simbol itu, kalau tidak

ada penerima maka komunikasi antarpribadi tidak ada yang berhasil.

Sebagaimana proses komunikasi yang dimulai dari penerjemahan simbol,

encoding, maka si penerima pun akan menerjemahkan pesan itu ke dalam

kode tertentu yang prosesnya disebut decoding. Jadi, decoding

menunjukkkan suatu dampak komunikasi antarpribadi yaitu menghasilkan

tanggapan. Komunikasi antarbudaya pun demikian.

Dia harus bersumber dari seorang komunikator dari satu

kebudayaan tertentu dan pesan simbolis itu diterima oleh komunikan dari

kebudayaan yang lain.

Page 5: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

2.4. Komunikasi Antarpribadi Bersifat Kompleks

Komunikasi antarpribadi bersifat kompleks karena proses

komunikasi dipengaruhi oleh banyak variabel. Contoh, setiap perilaku

komunikator dan komunikan dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis,

psikologis, sosiologis, dan antropologis. Demikian pula dengan faktor-

faktor lain yang menentukan pemilihan media, penyusunan pesan,

mengeliminasi hambatan, serta faktor konteks yang merupakan situasi

lahir dan batin tempat terselenggaranya komunikasi. Dalam proses

komunikasi antarbudaya keadaan kompleksitas semakin tinggi mengingat

jumlah perbedaan faktor-faktor pembentuk budaya lebih banyak dan lebih

bervariasi.

Kita bisa menarik kesimpulan bahwa kebudayaan dan komunikasi

mempunyai hubungan timbal balik. Hubungan pertama menunjukkan

kebudayaan menentukan perilaku komunikasi, dan kedua, tanpa

komunikasi maka setiap kebudayaan menjadi tidak berarti. Karena seluruh

proses pertukaran, pengalihan norma, dan nilai budaya hanya dapat

dilakukan melalui kebudayaan yang menghasilkan suatu pewarisan nilai,

perluasan, pemahaman atas nilai oleh para anggota kebudayaan.

3. Globalisasi Budaya

Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang

bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses

manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi

mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh

Page 6: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan

permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan

globalisasi untuk kepentingan kehidupan.

Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-

orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi,

komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan

budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah

dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah

menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa���

Marshall McLuhan pelopor jargon desa global dalam bukunya

Understanding Media, 1964 mengatakan:

“Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned.”

Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologikomunikasi

di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Konsep ini

berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat

terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa

tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari

satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan

teknologi media massa.

McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari

penyebaran informasi yang sangat cepat dan massive di masyarakat. Penyebaran

Page 7: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

��

yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi

(media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi

budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi

komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi di bidang

tayangan televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional

program-program televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak

terbendung.

Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya

teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui

kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak

mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal.

Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini

tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh

akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan

menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu

kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara

maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki

dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju.

Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan

tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi,

sosial, budaya, termasuk kesenian kita.

Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan

menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh.

Page 8: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

��

Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk

yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam

proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka

dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan

menghindari kehancuran. Tetapimenurut Simon Kemoni, dalam proses ini negara-

negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan

memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.

Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi

ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.

Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala

lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture

dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi

hingga ke taraf dunia atau lingkup global (Hutagalung,2007:4). Global pop

culture ( film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai ideologi dari

negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas

budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawari.

Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera

terhadap budaya pop tertentu yang dapat mengancam eksistensi budaya dan

identitas masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop

tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan

identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian

kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi

Page 9: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga

menyebabkan kita kehilangan karakteristik.

Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batas-

batas geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak

boleh semena-mena men-judge negatif kehadiran globalisasi di tengah arus

modernitas. Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai

pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk

dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh

sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika

kehadirannya menimbulkan bermacam-macam kesempatan yang baik bagi

individu dan masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas,

kesempatan untuk keluar dari feodalisme, dan membukan diri terhadap nilai-nilai

modernitas. Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang

toleran dan bertanggung jawab.

Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular

Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga

muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular

Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia.Munculnya budaya global

alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya

seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu.

Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur

makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya

mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari

Page 10: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat

counter flow eksporter program televisi dari berbagai belahan dunia

(Badruddin,2006:77).

4. Identitas

Identitas sangatlah penting. identitas membantu masyarakat luas untuk

bisa mengenal individu atau kelompok baik dari segi budaya, agama, ataupun

politik dan berbagai aspek kehidupan yang lain. Identitas juga bisa memandu

seseorang dalam memilah perjalanan dari tujuan hidupnya, mislanya

seseorang yang ingin masuk di sebuah komunitas, maka orang tersebut harus

mengenal identitas komunitas itu, dengan demikian maka untuk selanjutnya

apabila sudah mengenal dan mengerti tentang karakteristik komunitas tersebut

dia bisa akan tetap masuk apabila komunitas tersebut poistif, sebaliknya akan

meninggalkan apabila komunitas tersebut negatif.

4.1.Pengertian Identitas Individual

Identitas individual adalah identitas atau jati diri yang dimiliki seseorang yang

ia dapat sejak ia lahir maupun dari proses interaksi yang dialami mulai dari lahir.

Contoh : seorang gadis desa tidak berani membangkang perintah ibu atau bapakna

sehingga ia dijuluki sebagai gadis penurut. Penurut adalah identitas individual dari

gadis desa itu, sebab tidak semua gadis desa adalah seorang anak yang penurut

terhadap orang tua.

Page 11: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

Identitas komunal adalah jati diri atau suatu karakteristik yang

menggambarkan ciri-ciri dari suatu kelompok atau koloni yang menunjukkan

secara utuh tentang kepribadian koloni itu. contoh: anak punk dengan gayanya

yang serba hitam dan identitas dengan alkohol, jalanan dan pergaulan bebas

merupakan identitas dari koloni anak punk tersebut. Hal-hal itu adalah pembeda

antara koloni anak punk dengan koloni atau kelompok lain.

4.2. Pengertian identitas budaya

Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki

pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang,

kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga

merupakan keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri-ciri atau keadaan

khusus seseorang atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan

sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.

Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang

atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi

Budaya atau kebudayaan berasaldari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang

merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal

yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Dalam bahasa Inggris, kebudayaan

disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau

mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata

culturejuga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Jadi, pengertian dari identitas budaya adalah suatu karakter yang melekat dalam

Page 12: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

suatu kebudayaan sehingga bisa dibedakan antara satu kebudayaan dengan

kebudayaan yang lain.

5. Budaya Populer

Sebelum membahasmengenaiartibudayapop,penulismerasaperluuntuk

mendefinisikanistilahbudayasecaraumum terlebihdahulu.Penulismengutipdari

pendapatRaymondWilliamsyangterdapatdalam bukukaryaJohnStorey

(1993:3),yang menyebutkanbahwabudayasecaraumum

memilikitigaarti.Artiyangpertamaadalah

suatuprosesumumperkembanganintelektual, spiritualdanestetis. Kedua,budaya

merupakan pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok

tertentu. Sedangkan artiketigadaribudayamenurutWilliamsadalahkaryadanpraktek-

praktek intelektual, terutama aktivitas artistik.

Budaya pop seringkali dikontraskan dengan budaya tinggi. Batas-batas

kultural tinggi-rendah akhirnya mereproduksi budaya populer yang dianggap

sebagai ”inferioritas”. Argumen tersebut cenderung memandang budaya yang

berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif. Dasar

pemikirannya adalah budaya massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik

karena tidak diproduksi oleh orang kebanyakan, dan bersifat manipulatif karena

tujuan utamanya adalah supaya laku dijual. Budaya pop juga akhirnya

memunculkan istilah ”Industri Budaya” untuk menunjukkan bahwa budaya

tersebut tidak bisa lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan oleh

perusahaan-perusahaan kapitalis.

Page 13: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

Menurut Storey, apabila berbicara mengenai budaya pop, berarti

menggabungkan makna kedua dan maknaketiga di atas. Dalambukunya Storey

mengemukakan bahwa makna kedua pandangan hidup tertentu memungkinkan

kita untuk berbicara denganpraktek-praktek,sepertiliburankepantai,perayaan

Natal,danaktivitas pemudastrukturalsebagaicontoh-contoh budayanya. Semua hal

ini biasanya disebutsebagaibudaya-budayayanghidup (livedcultures)

ataubisadisebutjuga sebagai praktek-praktek budaya. Makna ketigapraktek

kebermaknaanmemungkinkan kita membahas tentang opera sabun, musik pop

dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-

teks budaya. (Storey, 1993: 3).

Budaya populer, atau budaya pop, adalah budaya rakyat yang berlaku di

masyarakat manapun. Isi dari budaya pop ditentukan oleh interaksi sehari-hari,

kebutuhan dan keinginan, dan waktu kebudayaan yang membentuk patokandalam

kehidupansehari-hari.Halinibisatermasukbeberapakegiatan, termasuk yang

berhubungan dengan memasak, media masa dan bidang-bidang hiburan seperti

olahragadankesusastraan.Hampirsamadengandefinisibudayapopdiatas,dalam

bukuyangdisusunStorey juga disebutkanBudaya pop adalah budaya yang berasal

dari “rakyat”. Budaya pop adalah budaya

otentik“rakyat”.Budayapopsepertihalnyabudayadaerahmerupakanbudaya dari

rakyat untuk rakyat. (Storey, 1993: 17-18)

6. Gaya hidup

Gaya hidup menurut Kotler (2002:21) adalah pola hidup seseorang di

dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup

Page 14: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan

lingkungannya. Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang

mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut

dalam masyarakat disekitarnya. Atau juga, gaya hidup adalah suatu seni yang

dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan

perkembangan zaman dan teknologi. Cara berpakaian, konsumsi makanan

(kuliner), berperilaku, cara bekerja, dan bagaimana individu mengisi

kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Semakin

bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin

berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan

sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau

negatif bagi yang menjalankannya. Chaney (2009: 15) memberikan definisi gaya

hidup sebagai ”pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan

orang lain. Gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia

modern. Gaya hidup adalah seperangkat praktek dan sikap yang masuk akal dalam

konteks waktu”. Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena

memang, gaya hidup seseorang hanya dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya,

baik konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian

komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Konsumsi tidak hanya

mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televisi hingga mobil,

tetapi juga mengkonsumsi jasa, seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai

pengalaman sosial.

Page 15: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

Gaya hidup dapat dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap

kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan

bersosialisasi dengan orang lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya

hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup pun unik.

Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap

dan nilai dari seseorang. Namun, ketika satu gaya hidup menyebar kepada banyak

orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai

suatu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata-

mata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi suatu

identitas yang diadopsi oleh sekelompok orang. Sebuah gaya hidup bisa menjadi

populer dan diikuti oleh banyak orang. Mereka tak segan-segan mengikutinya jika

dianggap baik oleh banyak orang (Hujatnikajennong,2006:37).

7. Remaja

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa. Batasan usia Remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya

setempat. Remaja menurut BKKBN adalah penduduk laki-laki atau perempuan

yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut WHO adalah

penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 15- 24 tahun ( BKKBN, 2003).

Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi

pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi

perubahan-perubahan psikologik serta kognitif (Soetjiningsih, 2004:85). Batasan

remaja menurut WHO: Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan

Page 16: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati sebagai

berikut:

a. Masa remaja awal /dini (Early adolescence) umur 11 – 13 tahun.

b. Masa remaja pertengahan (Middle adolescence) umur 14 -16 tahun.

c. Masa remaja lanjut (Late adolescence) umur 17 – 20 tahun.

(Soetjiningsih, 2004:85)

Tabel 1 Tahapan perkembangan remaja. Sumber : Dikutip dari PPFA,

Adolescence Sexuality, 2001.

Tahapan Remaja Laki-laki Perempuan Umur (tahun) Umur (tahun)

Pra remaja

Remaja Awal

Remaja Menangah

Remaja Akhir

<11

9-13

13-16

> 16

< 11

11-14

14-17

> 17

Dalam lingkungan sosial tertentu, masa remaja bagi pria merupakan saat

diperolehnya kebebasan. Sementara untuk remaja wanita merupakan saat

mulainya segala bentuk pembatasan. Menurut ciri perkembangannya masa remaja

dibagi menjadi tiga periode:

1) Masa Remaja Awal ( 10-12 tahun), Ciri khasnya :

a) Lebih dekat dengan teman sebaya.

b) Ingin Bebas

c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.

2) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun), ciri khasnya :

Page 17: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

��

a) Mencari identitas diri.

b) Timbulnya keinginan untuk kencan.

c) Punya rasa cinta yang mendalam

d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak.

e) Berkhayal tentang aktivitas seks.

3) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun), ciri khasnya :

a) Pengungkapan kebebasan diri.

b) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya.

c) Punya citra jasmani diri.

d) Dapat mewujudkan rasa cinta.

e) Mampu berfikir abstrak.

(BKKBN, 2003)

8. Komunitas

Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain

lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi

yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest

atau values (Kertajaya Hermawan, 2008:28). Proses pembentukannya bersifat

horisontal karena dilakukan oleh individu-individu yang kedudukannya setara.

Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun

dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002:18). Kekuatan

pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam

memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas

kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara

Page 18: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

��

fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis.

Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang

berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta

mengembangkan kemampuan kelompoknya.

9. Interpretivisme Simbolik

9.1.Interpretasi dan Simbol

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai:

(1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan

makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka,

mengekspresikan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2)

suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung

dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut

manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan

mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik

bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4)

oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan

harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Bahasa simbolik dari

kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu peneliti tidak boleh berpura-pura

telah memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai sudut-sudut gelam

dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat

memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di

Page 19: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

sepanjang kode genetik itu sendiri (Geertz 1973). Jadi, menjadi manusia berarti

berkebudayaan.

9.2.Bermula dari Antropologi Simbolik

Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan interpretive sering kali

dihubungkan dengan konsep simbol, terlebih setelah Geertz mengembangkan

versi pendekatan interpretifnya sendiri. Pada mulanya pendekatan ini disebut

antropologi simbolik, yang kelak disebut saling mengganti dengan interpretivisme

simbolik karena penekanan yang berbeda. Simbol adalah objek, kejadian, bunyi

bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk

primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga

berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian,

musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian,

ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak

lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan,

atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi. Persepsi tentang

penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran

kajian yang penting dalam antropologi dan disiplin-disiplin lain. Susanne Langer

(1951) misalnya, melihatnya sebagai tren yang berubah dalam aktivitas intelektual

manusia modern.

Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik

secara eksplisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19, misalnya menulis

: “kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan

pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung

Page 20: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat

kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya

mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial.

Leslie White (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies

yang mampu menggunakan simbol-simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam

makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks

simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki

kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya

dalam makna abstrak. Cassier menunjuk geometric sebagai suatu contoh klasik.

Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang

ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Namun, sistem

abstrak ini bisa diterapkan untuk membangun masalah-masalah. Cassier

mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut :

“manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam

semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari

semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang

terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia

dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini.

Tatkala antropolog mulai mengembangkan suatu perspektif kebudayaan sebagai

suatu sistem simbol, makna dan nilai-nilai, berbagai subdisiplin antropologi yang

menggunakan orientasi ini bermunculan. Dua diantaranya adalah antropologi

semiotic (kajian tentang tanda) dan antropologi simbolik. Seringkali, kajian

Page 21: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

semiotik dikelompokkan bersama dengan antropologi simbolik, dimana tanda dan

simbol dibicarakan bersama-sama.

Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh

manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-

kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta.

Simbol pohon Mudyi pada orang Ndembu, Zambia, Afrika, dari Viktor Turner

(1967) adalah salah satu contoh yang penting. Suatu simbol menstimulasi atau

membawa sutau pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Charles Pierce,

peletak dasar disiplin semiotik modern, mengidentifikasi tiga tipe tanda : (1) tanda

ikonik yang mencerminkan objeknya dalam hal tertentu (palang salib adalah tanda

ikonik, yang menyampaikan gagasan dan makna kekristenan); (2) tanda indeks

yang secara fisik terkait dengan objeknya (misalnya bendera dipasang setengah

tiang berarti ada orang penting meninggal) ; dan (3) simbol-simbol seperti bahasa

yang berarti bagi objeknya karena ditafsirkan sedemikian melalui kesepakatan dan

penggunaan. Sebagian kajian sistem simbol dan tanda memusatkan perhatian

kepada logika internal. Yang lain, biasanya yang tidak terkait dengan linguistik,

menekankan tindakan sosial dan konteks sosial dari tanda dan simbol tersebut

ketika mereka menghubungkannya dengan sistem perilaku dan nilai-nilai suatu

kebudayaan suatu masyarakat.

Antropologi simbolik memandang manusia sebagai pembawa dan produk,

sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku

sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan.

Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan perilaku selain gagasan dan nilai-

Page 22: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

nilai. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu model dari manusia

sebagai spesies yang menggunakan simbol, berbeda misalnya dengan teori

materialisme kebudayaan yang berlandaskan pandangan bahwa manusia adalah

spesies yang memproduksi. Kedua model ini mengakui eksistensi aspek materi

maupun aspek mental dari keberadaan manusia, tetapi masing-masing model

memandang satu sama lain dari perspektifnya sendiri. defenisi simbolik dari

kebudayaan adalah kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang memandang

kebudayaan sebagai ilmu mengenai makna-makna. Antropolog simbolik mengkaji

sistem kode dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka

dengan manusia lain dan dengan dunia alamiah. Seluruh semesta dipenuhi tanda-

tanda. Apabila benar bahwa semua makhluk berkomunikasi dengan bentuk tanda

dan simbol, maka antropologi simbolik sesungguhnya melakukan kajian yang

universal dalam ruang lingkupnya.

Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia

terkandung dalam bahasa, suatu sistem simbol. Kata-kata mengandung makna

atau nama yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Kata-kata adalah

persepsi konseptual mengenai dunia, dunia yang terkandung dalam simbol-

simbol. Simbol-simbol kata, bahasa sesuai bagi suatu masyarakat pada waktu dan

tempat tertentu. Kata planet berarti sesuatu yang berbeda pada abad pertama

daripada maknanya pada abad kini. Linguistik, kajian mengenai bahasa, telah

memberikan kepada antropolog simbolik teknik-teknik untuk mengungkapkan

dan memahami kode-kode yang merepresentasikan kompleks motif, pengalaman

dan pengetahuan yang membentuk dan mengekspresikan keyakinan dan tindakan.

Page 23: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

Jadi linguistik adalah pendahulu histories bagi antropologi simbolik.

Victor Turner (1975) mengelompokkan antropolog simbolik menjadi dua: (1)

kelompok yang memusatkan perhatian pada sistem abstrak yang meliputi ahli

linguistik, strukturalis, dan antropolog kognitif (mereka memusatkan perhatian

perhatian pada analisis formal dan kurang memperhatikan isi ketimbang metode

dan logika), dan (2) kelompok yang memusatkan perhatian pada simbol dan

kelompok dinamika sosial, yang meliputi antropolog semiotik dan simbolik,

sosiolinguistik, fokloris, dan kritikus sastra (mereka memperpadukan analisis

formal dengan isi, dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial.

Clifford Geertz menekankan bahwa antropolog seharusnya bergeser dari

upaya melakukan eksplanasi menjadi upaya menemukan makan dan memandang

penting simbol dalam penelitian antropologi. Ia menekankan signifikansi konteks

sosial sebagai unsur yang amat penting dalam memahami makna simbol. Ia

mengusulkan agar antropolog mengalihkan perhatian dari meneliti tanda dan

simbol dalam abstraksi “kepenelitian tentang tanda dan simbol dalam habitat

alamiahnya-dunia alamiah dimana manusia melihat, memberi nama, mendengar

dan membuat” (1983;119)

9.3.Interpretivisme Simbolik sebagai Paradigma

Antropologi simbolik berlaku atas dasar konsep bahwa manusia adalah hewan

pertama pencari makna yang menggunakan simbol. Interpretivisme simbolik

adalah “kajian mengenai istilah-istilah dasar yang dengannya kita memandang diri

kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan mengenai

bagaimana istilah-istilah dasar ini digunakan oleh manusia untuk membangun

Page 24: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

suatu metode kehidupan bagi diri mereka sendiri . Interpretivisme simbolik

memandang penting emik demi kepentingan data itu sendiri. Menurut Dolgin,

Kemnitzer, dan Schneider (1997:34) “yang mendasar bagi kajian antropologi

simbolik adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.

Membandingkan realitas emik dan etik bukanlah misi antropologi simbolik. Yang

kita perhatikan bukanlah apakah pandangan yang dimiliki orang-orang yang kita

teliti akurat atau tidak akurat dalam pengertian ilmiah. Dalam tindakan sosial,

yang nyata harus dipandang sebagai nyata.

Sasaran pokok dari Interpretivisme simbolik adalah untuk mengungkap

jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari keberadaan manusia termasuk

hakekat dan makna kehidupan selain cara-cara bagaimana identitas manusia

didefinisikan dan diperlihara dan kemudian menerjemahkan jawaban-jawaban itu

menjadi konsep-konsep yang dapat dipahami bagi peneliti. Jadi menurut Geertz

“sasaran antropologi adalah perluasan universe dari wacana manusia. Geertz

menyatakan bahwa “analisis kebudayaan adalah menduga-duga makna, menilai

dugaan-dugaan itu, dan menggambarkan kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris

dari dugaan-dugaan yang lebih baik”. Namun dengan pengecualian beberapa

konsep yang sangat umum antropologi simbolik tidak menentukan secara spesifik

prinsip-prinsip apa yang mereka gunakan ketika berusaha membangun

kesimpulan-kesimpulan eksplanatorois (1973:20).

Selain itu ada asumsi-asumsi dan konsep-konsep lain yang juga diasosiasikan

dengan antropologi simbolik. Pertama adalah konsep Victor Turner (1969)

mengenai karakter simbol “multivokalik”, atau kemampuan simbol untuk

Page 25: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

mempresentasi beberapa makna yang berbeda-beda sekaligus. Yang lain adalah

konsep yang juga terkenal dari Turner, yakni karakter prosesual dari sistem sosial.

Antropologi simbolik berasumsi bahwa simbol memainkan peranan penting dalam

proses sosial budaya. Turner misalnya berpendapat bahwa “bahkan pada

masyarakat yang paling sederhana, perbedaan antara struktur (keteraturan hierarki

dari status dan peranan sosial, politik dan ekonomi) dan komunitas (komunion

orang-orang individual yang langsung, tanpa perantara dan tidak berstruktur) ada

dan memperoleh ekspresi simbolik dalam atribut-atribut kebudayaan dari

liminalitas, marginalitas dan inferioritas dan bahwa jika dilihat bersama-sama,

struktur dan komunitas menunjukkan kondisi manusia yang memandang

hubungan manusia dengan manusia lainnya (1969 : 30).

Eksplanasi yang ditawarkan oleh antropolog simbolik jelas interpretif. Bagi

Geertz (1973:5), analisis kebudayaan bukanlah ilmu eksperimental dalam mencari

hukum, melainkan interpretif dalam mencari makna. Mengetahui dan memahami

realitas emik diperlukan dalam pendekatan interpretif. Menurut Geertz

“memahami bentuk dan isi kehidupan internal masyarakat yang kita teliti mirip

seperti mengetahui dan memahami peribahasa, menangkap ilusi, atau

mendengarkan lelucon. Dalam hal itu, antropolog simbolik mirip dengan

strukturalisme, yang juga menawarkan eksplanasi interpretif, namun jelas berbeda

dari materialisme kebudayaan, yang menawarkan eksplanasi kausal.

9.4.Gelombang Kritik

Banyak kritik bahkan banyak diantaranya dari kalangan antropologi simbolik

sendiri dilontarkan terhadap keyakinan bahwa pendekatan ilmiah dan interpretif

Page 26: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

secara mutual eksklusif. Paul Shankman (1984:261), misalnya mengklaim bahwa

sisi pragmatik karya Geertz adalah upaya untuk memfokuskan kembali

antropologi yang juga bisa berarti semua ilmu sosial lain jauh dari pengaruh ilmu-

ilmu alamiah dan menuju re-integrasi dengan bidang-bidang humanitas. Memang

benar bahwa antropologi simbolik memperoleh lebih banyak inspirasi dari seni

dan humanitas daripada ilmu-ilmu alamiah, sebagaimana dikatakan Scholte

(1984:542), tetapi meskipun validitas dari eksplanasi interpretif pada umumnya

dipandang agak lemah, tidak ada alasan yang mendasar bahwa eksplanasi

interpretif tidak dapat memenuhi standar ilmiah dari verifikasi. Selama eksplanasi

interpretif itu sistematik, konsisten, koheren, bisa direplikasi, dapat dibuktikan,

maka eksplanasi ini ilmiah.

Kelemahan esensial dari antropologi simbolik bukanlah karena ia tidak

berhasil memperhitungkan sebab musabab pikiran dan perilaku manusia, seperti

yang dilakukan materialisme kebudayaan. Melainkan, kurangnya pedoman teoritis

dan metodologis yang eksplesit. Ada tiga masalah kelemahan teoritis dan

metodologis antropologi simbolik. Pertama, ada masalah replikabilitas. Jika orang

kurang memahami pandangan imajinatif Clifford Geertz, bagaimana mungkin ia

melakukan penelitian di bawah paradigma antropologi simbolik? Dalam

kenyataan Geertz (1983:11) mengemukakan bahwa orang-orang yang ingin

melakukan analisis simbolik sebenarnya hanya perlu mempelajari metodologinya

sendiri karena praktek yang sukses dari pendekatan interpretif adalah seperti naik

sepeda yang lebih mudah dilakukan daripada hanya dikatakan. Dalam kritiknya

terhadap antropologi simbolik, Ranner mengatakan bahwa “tak adanya teori dan

Page 27: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

��

metodologi yang meyakinkan secara empiris mengandung konsekuensi bahwa

fakta tak ada program yang memberikan arah bagaimana penelitian seharusnya

dilakukan.

Kedua, ada masalah verifikasi, suatu hal yang diakui oleh antropolog

simbolik. Geertz dengan cermat mengamati bahwa “suatu kelemahan pendekatan

interpretif adalah bahwa pendekatan ini cenderung resistan, atau memiliki peluang

untuk resistan, terhadap artikulasi konseptual dan oleh sebab itu dari mode-mode

sistematik penilaian”. Malahan para kritikus Geertz yang simpatik mengakui

adanya kekuarangan paradigma interpretif ini. Richardson (1984;275), misalnya

menulis bahwa “patut kita ketahu, ilmu sosial interpretif itu memiliki resiko

sendiri menjadi terlalu cermat, jelimet, menyebabkan interpretasi tebal menjadi

padat. Maka isu verifikasi menjadi penting.

Aspek ketiga dari masalah kekurangan teoritis ini adalah kecenderungan

archinductivism dalam antropologi simbolik. Antropologi simbolik kerap kali

keliru dalam berasumsi bahwa akumulasi semata-mata data emik akan

menunjukkan prinsip-prinsip teoritis yang signifikan yang mengeksplanasi

kesamaan lintas budaya.”Tugas rangkap antropologi simbolik, yakni menganalisis

unsur-unsur simbolik dari ranah semantic emik dan mengonstruksi prinsip-prinsip

analitis untuk menjelaskan proses-proses etik kebudayaan. Antropologi simbolik

tidak menyempurnakan tugas tersebut, tetapi cukup adil kalau dikatakan bahwa

antropologi simboliklah yang telah memulai dengan baik, meski sebahagian kritik

menuduh bahwa antropolog interpretif akhir-akhir ini telah menyimpang dari

tugas tersebut (Shankman, 1984:269). Suatu masalah yang juga sering kali

Page 28: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

��

diperdebatkan adalah konsep konteks dalam pendekatan Geertz. Barbara Frankel

(1986), misalnya mengemukakan bahwa konteks adalah konsep yang sukar dan

longgar, dan berakhir. Sebagaimana ilmuwan sosial yang lain lebih suka

menempuh jalan moderat. Mereka mengemukakan bahwa satu-satunya cara untuk

mencapai ketepatan maksimum dalam menginterpretasi tindakan sosial adalah

membatasi satuan pengamatan menjadi ranah yang sempit, pengkajian berskala

kecil, dan mengkajinya semaksimum mungkin. Akan tetapi, tampaknya

antropolog interpretif masih berhadapan dengan suatu masalah lain yang serius,

yakni generalisasi, suatu tingkatan kesimpulan yang diidam-idamkan oleh semua

ilmu pengetahuan. Dalam upaya mencapai generalisasi ini, sebagian disiplin ilmu

sosial yang lain menempuh jalan mereduksi fenomena-fenomena sosial menjadi

angka statistik. Mereka mengemukakan bahwa cara statistic dan numeric

menawarkan ruang lingkup yang lebih luas dan memungkinkan untuk

membangun generalisasi. Tapi, sebagaimana dikemukakan Frankel (1986),

reduksionisme cenderung hanya menggambarkan pola-pola dan struktur-struktur

fenomena sosial daripada mengungkapkan sebab-musabab dan proses.

Interpretivisme simbolik memperoleh tempat yang penting dalam pemikiran

postmodernisme ilmu-ilmu sosial semenjak akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21

ini. Gagasan tentang kebudayaan sebagai simbol, dan simbol adalah bersifat

public, memberikan alternatif yang penting bagi memahami kebudayaan dan

masyarakat melalui tindakan sosial, praktik sosial dan makna. Di Amerika

Serikat, Clifford Geertz mulai mengembangkan gaya interpretivismenya sendiri.

Antropologi di tangannya membuat analogi linguistik dikesampingkan.

Page 29: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

Kebudayaan tidak lagi merupakan “tata bahasa” metaforis yang digambarkan dan

ditulis, kebudayaan adalah bahasa-bahasa yang diterjemahkan menjadi konsep-

konsep yang masuk akal bagi anggota-anggota kebudayaan-kebudayaan lain atau

lebih kerap dari tidak, kebudayaan antropolog sendiri (Barnard, 2000:158).

Beberapa karakteristik paradigma interpretivisme simbolik, atau hingga tahun

1980-an sering kali disebut juga antropologi simbolik, diuraikan sebagai berikut :

1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia.

2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paling mempu

menggunakan dan memaknai simbol.

3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar : a) apa makna (signifikansi)

identitas manusia b) apa signifikansi makna dari operasional sistem sosial

manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki

bersama yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut manusia

mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai, dan

bersikap terhadap kehidupan.

4. Paradigma ini didorong oleh suatu isu sentral : masalah universal yang

konkret. Paradigma (berupaya) mencerminkan yang universal seolah-olah keluar

dari yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi

ilustrasi dari yang universal.

5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk

memandang diri kita sendiri sebagaimana manusia dan sebagai anggota

masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia

untuk membangun diri mereka sendiri sebagi mode kehidupan.

Page 30: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

6. Mengacu kepada konteks perceptual dari pengalaman yakni cara-cara

manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara

yang digunakan manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan

nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri dan dunia mereka. Pada analisis terakhir,

paradigma ini mempresentasi upaya untuk mengungkapkan diversitas cara-cara

manusia mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan.

7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini

adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.

8. Membandingkan “realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma

ini. Perhatian kita bukanlah pada, apakah pandangan suatu masyarakat akurat

secara “ilmiah”. Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang

kita ajukan dalam penelitian, melainkan mempersiapkan diri kita untuk menjawab

pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga

masyarakat yang dikaji yang berarti melibatkan mereka, pandangan mereka

tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral dalam jawaban

kita.

9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami

bagaimana kita memahami pemahaman yang bukan pemahaman kita.

10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban

mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia termasuk hakikat

dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia

didefinisikan dan dipelihara.

Page 31: BAB II KERANGKA TEORI 1. Kebudayaan sebagai Sistem

���

10. Kerangka Pikir

GLOBALISASI

MEDIA MASSA

PECINTA K-POP

(BUDAYA POPULER)

KOMUNITAS WCC KOREA

LOVERS SALATIGA

GAYA HIDUP

- Bahasa - Fashion - Musik - Nilai-nilai

moral

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

KOMUNIKASI BUDAYA

REMAJA (KOREA LOVERS)

IDENTITAS

K-POP

K-DRAMA

K-FILM