bab ii kajiapn pustaka 2.1 peran 2.1.1 definisi...
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAPN PUSTAKA
2.1 Peran
2.1.1 Definisi Peran
Teori peran klasik mengatakan bahwa ada cara-cara yang dapat
dilakukan yang dapat dilakukan bagaimana masyarakat diperintah dan
bagaimana perintah-perintah ini mempengaruhi perilaku individu dalam
masyarakat. Karena teori peran menggap bahwa struktur sosial
menghambat anggota masyarakat, yang memberinya hak dan
kewajiban. Maka ini akan mendukung secara langsung terhadap bentuk
interaksi dan sifat komunikasi mereka.11
Arti penting sosiologi dari peran ialah bahwa peran memaparkan
apa yang diharapkan dari orang. Ketika individu di seluruh masyarakat
menjalankan peran mereka, peran tersebut saling bertaut untuk
membentuk sesuatu yang dinamakan masyarakat. Sebagaimana telah
dikemukan oleh Shakespear, peran orang menyediakan mereka “jalan
masuk” dan “jalan keluar” dipentas kehidupan. Singkatnya, peran
sangat efektif untuk mengekang orang mengatakan kepada mereka
kapan mereka harus “masuk” dan kapan mereka harus “keluar”,
maupun apa yang harus dilakukan di antaranya.12
11 Nina W. Syam. Sosiologi Komunikasi, (Bandung : 2009), hal. 135.
12 M. James Henslin. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, (Jakarta: 2007), hal. 95.
14
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah
seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat13
Pengertian lain peran menurut Soeryono Soenkanto, peran dapat
dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.14
Dalam teorinya Biddle dan Thomas di kutip dari buku Sarlito
Wirawan Sarwono, membagi peristilahan dalam teori peran empat
golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut:15
a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial.
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut.
c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku.
d. Kaitan antara orang dan perilaku.
2.1.2 Macam-macam peran
a. Macam-macam peran (atas dasar pelaksanaannya):
1) Peran yang diharapkan
Contoh : hakim, diplomatik, protokoler, dan lain-lain.
2) Peran yang disesuaikan
Peran yang disesuaikan mungkin tidak cocok dengan situasi
setempat. Peran ini sifatnya lebih luwes.
13
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1996), hal. 667. 14
Suryono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: 1988), hal. 667. 15
Sarlito Wirawan Sarwono. Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: 1984), hal. 234.
15
b. Macam-macam peran (atas dasar cara memperolehnya):
1) Peran bawaan (ascribed roles)
Peran yang diperoleh secara otomatis tanpa melalui usaha.
Contoh : peran ayah, peran ibu.
2) Peran pilihan (achieved roles)
Peran yang diperoleh atas dasar keputusan sendiri.
Contoh : seseorang yang memutuskan untuk kuliah.
3) Penyebab terjadinya Stratifikasi Sosial.
Pembahasan perihal aneka macam peranan yang melekat pada
individu-individu dalam masyarakat penting bagi hal-hal sebagai
berikut:
a) Peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur
masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.
b) Peranan tersebut seyogyanya diletakan pada individu-individu
yang oleh masyarakat dianggap mampu melaksanakannya.
Mereka harus terlebih dahulu berlatih dan mempunyai hasrat
untuk melaksanakannya.
c) Dalam masyarakat kadangkala dijumpai individu-individu
yang tidak mampu melaksanakan peranannya sebagaimana
diharapkan oleh masyarakat karena mungkin pelaksanaannya
memerlukan pengorbanan arti kepentingan-kepentingsn pribadi
yang terlalu banyak.
16
d) Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan
peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan
peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat
betapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang
tersebut.16
2.2 Sekilas Tentang Aisyiyah
Berdirinya Aisyiyah tidak lepas dari peran Siti Walidah. Beliau telah
merintis sejak masa gadis dengan mengadakan kegiatan pengajian yang
diawali dari ayah beliau, K.H. Muhammad Fadhil. Sejak kecil ia melihat
ayahnya sangat memperhatikan anaknya meskipun perempuan, sehingga
tertanam dalam dirinya ajaran Islam yang diamalkan orang tuanya.
Setelah beliau menikah dengan Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan),
pandangannya ternyata sejalan dengan suaminya. Diadakanlah upaya
mendidik laki-laki dan perempuan kemudian mendirikan sekolah-sekolah
yang terus berkembang. Hingga saat ini jumlah sekolah yang khusus
dikelola Aisyiyah mencapai 2500 lebih dari seluruh Indonesia. Sekalipun
sekolah yang dikelolah Aisyiyah lebih kepada perpanjangan tugas dan peran
domestic seorang perempuan.
Oraganisasi yang didirikan semula bernama Sopo Tresno, kemudian
diganti dengan nama Aisyiyah. Aisyiyah semula merupakan bagian dari
Muhammadiyah dengan pengurus yang dipilih oleh beberapa tokoh
16
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : 2012), hal. 216.
17
Muhammadiyah di samping Nyi Ahmad Dahlan sendiri. Aisyiyah
diresmikan menjadi sebuah organisasi tahun 1917 dan Siti Walidah tidak
menjadi pengurus namun menjadi penasehat dan guru bagi anggota-
anggotanya.
Pemahaman Siti Walidah tentang ajaran Islam yang meletakkan
posisi istri sebagai manusia yang dinilai Allah swt. Sama dengan laki-laki,
menimbulkan ketidak-sepakatan terhadap ungkapan yang menyatakan
bahwa perempuan dipandang sebagai “konco wingking” atau teman di
belakang, karena itu dia tetap berkeyakinan bahwa perempuan perlu
ditingkatkan ilmu pengetahuannya dan perlu dibekali keterampilan berperan
sebagai ibu, sebagai istri dan sebagai warga negara dengan cara mendorong
para perempuan untuk terus maju dan menyadari akan hak-hak mereka
sebagai manusia, baik sebagai perempuan, istri dan sebagai warga negara.
Menurut Siti Walidah, masyarakat Indonesia pada saat itu, termasuk
musliam, berada dalam kondisi hidup yang sangat menyedihkan, seperti
terbelakang dalam ilmu pengetahuan, serta terbelenggu kemiskinan dan
kebodohan sebagai akibat penjajahan Belanda. Upaya yang telah dirintis
sejak masa gadisnya yaitu mendidik teman-teman sebaya dan tetangga
mendapat dukungan suaminya, K.H. Ahmad Dahlan.
Nama Aisyiyah dipandang lebih tepat bagi gerakan wanita ini karena
didasari pertimbangan bahawa perjuangan wanita yang akan digulirkan ini
diharapkan dapat meniru perjuangan Aisyiyah, isteri Nabi Muhammad,
yang selalu membantu Rusulullah dalam berdakwah. Peresmian Aisyiyah
18
dilaksanakan bersamaan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad pada
tanggal 27 rajab 1335 H, bertepatan 19 Mei 1917 M. Peringatan Isra’ Mi’raj
tersebut merupakan peringatan yang diadakan Muhammadiyah untuk
pertama kalinya. Selanjutnya, K.H. Mukhtar memberi bimbingan
administrasi dan organisasi, sedang untuk bimbingan jiwa keagamaannya
dibimbing langsung oleh KHA. Dahlan.
Gerakan pemberantasan kebodohan yang menjadi salah satu pilar
perjuangan Aisyiyah dicanangkan dengan mengadakan pemberantasan buta
huruf pertama kali, baik buta huruf arab maupun latin pada tahun 1923.
Dalam kegiatan ini para peserta yang terdiri dari para gadis dan ibu-ibu
rumah tangga belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan
dan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia publik.
Dalam hal pergerakan kebangsaan, Aisyiyah juga termasuk
organisasi yang turut memprakarsai dan membidani terbentuknya organisasi
wanita pada tahun 1928. Dalam hal ini, Aisyiyah bersama dengan organisasi
wanita lain bangkit berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi nama
Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres
Wanita Indonesia). Lewat federasi ini berbagai usaha dan bentuk perjuangan
bangsa dapat dilakukan secara terpadu.
Aisyiyah berkembang semakin pesat dan menemukan bentuknya
sebagai organisasi wanita modern. Aisyiyah mengembangkan berbagai
program untuk pembinaan dan pendidikan wanita. Diantara aktivitas
19
Aisyiyah ialah Siswa Praja Wanita bertugas membina dan mengembangkan
puteri-puteri di luar sekolah sebagai kader Aisyiyah. Pada Kongres
Muhammadiyah ke-20 tahun 1931 Siswa Praja Wanita diubah menjadi
Nasyi’atul Aisyiyah (NA). Di samping itu, Aisyiyah juga mendirikan
Urusan Madrasah bertugas mengurusi sekolah/ madrasah khusus puteri,
Urusan Tabligh yang mengurusi penyiaran agama lewat pengajian, khusus
dan asrama, serta Urusan Wal’asri yang mengusahakan beasiswa untuk
siswa yang kurang mampu. Selain itu, Aisyiyah pada tahun 1935 juga
mendirikan Urusan Adz-Dzakirat yang bertugas mencari dana untuk
membangun gedung Aisyiyah dan modal mendirikan koperasi.
Perkembangan Aisyiyah selanjutnya pada tahun 1939 mengalami
titik kemajuan yang sangat pesat. Aisyiyah menambah Urusan Pertolongan
(PKU) yang bertugas menolong kesengsaraan umum. Oleh karena sekolah-
sekolah puteri yang didirikan sudah semakin banyak, maka Urusan
Pengajaran pun didikan di Aisyiyah. Di samping itu, Aisyiyah juga
mendirikan Biro Konsultasi Keluarga dan advokasi.
Aisyiyah, organisasi prempuan persyarikatan Muhammadiyah,
merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, yang
berazaskan Islam serta bersumber pada Al-Quran dan Assunnah.17
17 Mu’adalah, “Studi Gender dan Anak,” Jurnal, Volume 1 No. 2, (Juli-Desember 2013). hal. 109.
20
2.3 Keluarga
2.3.1 Pengertian Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga”
adalah : ibu bapak dengan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang
sangat mendasar di masyarakat.18 Keluarga adalah satauan terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada tiga
bentuk keluarga yaitu: Nuclear Family (terdiri dari ayah, ibu, dan
anak), Extended Family (terdiri dari ayah, ibu, anak, nenek, kakek,
paman, atau bibi), dan Blended Family (keluarga inti ditambah dengan
anak dari pernikahan suami/istri sebelumnya).19 Keluarga pada
hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem
sosial yang ada dalam masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga
merupakan miniatur dan embrio berbagai unsur sistem sosial manusia.
Suasana yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang
baik karena didalam keluargalah seluruh anggota keluarga belajar
berbagai dasar kehidupan bermasyarakat.20
2.3.2 Fungsi-fungsi Keluarga
Berdasarkan pendekatan budaya-budaya fungsi keluarga dapat
diklasifikasi sebagai berikaut:21
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1996), hal. 25. 19
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: 2011), hal. 220. 20
Novi Hendri, Psikologi dan Konseling Keluarga, (Medan: 2012), hal. 11. 21
A Subino Hadisubroto, MA, dkk, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, (Bandung :1994), hal. 21.
21
a. Fungsi biologis
Bagi pasangan suami-istri ini untuk memenuhi kebutuhan
seksual dan mendapatkan keturunan.
b. Fungsi edukatif
Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orangtua
menkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan,
sehingga terdapat proses saling belajar diantara anggota
keluarga, dalam situasi ini orangtua menjadi pemegang peran
utama dalam proses pembelajaran anak-anaknya, terutama
dikala mereka belum dewasa kegiatannya bisa melalui asuhan
bimbingan, teladan tujuan kegiatan ini adalah untuk membantu
perkembangan kepribadian anak yang mencakup ranah, kognisi
dan psikomotorik dan skill.
c. Fungsi Religius
Fungsi religius berkaitan dengan kewajiban orang tua
untuk mengenalkan, membimbing, memberi; teladan melibatkan
anak serta anggota keluarga lainnya mengenahi kaidah-kaidah
agama dan perilaku keagamaan, fungsi ini mengharuskan
orangtua sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga
untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan
keluarganya.
22
d. Fungsi protektif
Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga ialah
untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota keluarga
lainnya dari tindakan negatif yang bisa timbul baik dari dalam
maupun dari luar kehidupan keluarga fungsi inipun adalah untuk
menangkal pengaruh kehidupan yang sesat pada saat sekarang
dan masa yang akan datang.
e. Fungsi sosialisasi anak
Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan
anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, dalam
melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung
antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial.
Sehingga kehidupan disekitarnya dapat dimengerti dan
pada gilirannya anak dapat berpikir dan berbuat positif terhadap
lingkungannya, lingkungan yang mendukung sosialisasi anak
antara lain tersedianya lembaga-lembaga dan sarana pendidikan
serta keagamaan.
f. Fungsi rekreatif
Fungsi ini tidak harus berbentuk kemewahan, serba
ada, pesta pora, melainkan melalui penciptaaan suasana
kehidupan yang tenang dan harmonis didalam keluarga, suasana
rekratif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya
apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai.
23
Jauh dari ketegangan batin, pada saat-saat tertentu memberikan
perasaan bebas dari kesibukan sehari-hari, disamping itu, fungsi
rekeatif dapat diciptakan pula didalam rumah tangga, seperti
mengadakan kunjungan sewaktu-waktu ke tempat yang
bermakna bagi keluarga.
g. Fungsi ekonomis
Fungsi ekonomis ini menunjukkan bahwa keluarga
merupakan kesatuan ekonomis, aktivitas dalam fungsi ekonomis
berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinan usaha dan
perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun
pengeluaran biaya keluarga, pelaksanaan fungsi ini dapat
meningkatkan anggota keluarga bersama para anggota keluarga
dalam kegiatan ekonomi, dan gilirannya akan memenuhi
harapan orang tua dan harapan anak.
2.3.3 Hak dan Kewajiban Suami Istri
Islam menjadikan hubungan suami-istri sebagai suatu jalan
yang paling suci dan mulia diantara dua insan, oleh karena itu Islam
banyak sekali memberikan pengarahan dengan menyatakan hak dan
kewajiban masing-masing yang didalamnya diharapkan ialah patuh
suami dan istri maka akan tercapai suatu kehidupan yang harmonis,
tenang rukun dan abadi.
24
Kewajiban dalam suatu rumah tangga meliputi tiap-tiap
anggota keluarga serta mempunyai kewajiban sendiri-sendiri, namun
hal ini yang menjadi penanggung jawab adalah suami istri, mereka
lebih mempunyai tanggungan yang benar daripada keluarga yang lain.
Hak istri antra lain, keseimbangan didalam hak-hak dan kewajiban-
kewajiban, hak untuk mendapatkan perlakuan yang patut meskipun
suami dalam keadaan tidak senang, berhiasnya suami demi istrinya
dan berbuat baik terhadapnya, hak untuk mendapatkannya bantuan
dalam perkerjaan sehari-hari, hak untuk diperhatikan kritiknya dengan
lapang dada, memejamkan mata atas sebagaian kekurangan istri.22
Seorang istri harus bisa menjaga kehormatan perkawinannya.
Ia harus bisa menjaga suaminya dari hal-hal yang menyebabkan
perasaannya terusik dari wanita lain. Selain itu keduanya juga harus
bisa menjaga kehormatannya dengan orang lain. Dan tidak akan
menceritakan hubungan yang mereka lakukan di kamar tidur baik dari
istri maupun suami. Rasulullah sangat melarang dan membenci keras,
jika ada suami atau istri menceritakan hubungan seks yang mereka
lakukan kepada orang lain, karena itu masalah pribadi dan perbuatan
yang dilakukan oleh suami atau istri tersebut merupakan perbuatan
syetan yang terkutuk yang tidak pantas untuk diperbincangkan dengan
orang lain.23
22
Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung :1994), hal. 128. 23
Fauzi Adhim, Mohammad. Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta: 2000), hal. 324-326.
25
Kewajiban seorang suami adalah mencari nafkah dan istri
dapat menerimanya atas pemberian nafkah dari suaminya. Merasa
puas pemberian dari Allah merupakan sifat yang mulia yang menjiwai
setiap insan yang sholeh-sholehah. Suami melakukan tugasnya
mencari nafkah untuk anak dan istrinya karena istri yang penurut dan
periwayat Allah itu adalah ibadah, istri berusaha secara keras
mengatur rumah tangganya dengan sempurna. Maka istri itu telah
melakukan ibadah di situlah titik kebahagiaan rumah tangga, yang
masing-masing mempunyai tugas dan kewajiban sendiri bukan secara
paksa.24
Kewajiban suami antara lain, menggauli istri dengan baik,
menjaga, membina dan mengusahakan bertambahnya iman istri,
berlaku adil terhadap istri-istrinya jika istri lebih dari seorang.
Kewajiban istri antara lain, wajib dan taat kepada suami, memelihara
diri, terutama jika suami tidak ada, memimpin rumah tangga.
Kewajiban suami:
a) Memberi nafkah kepada istri, anak dan keluarga yang lainya
b) Mengurus istri dengan baik
c) Menjadi pemimpin keluarga dengan baik
d) Membina dan mendidik istri dan anggota yang lainnya
e) Menyediakan tempat tinggal untuk istrinya
f) Memberi nafkah batin dan menjaga rahasia istri
24
Hadiyah Salim, H.Rumahku Nerakaku, (Bandung : 1993), hal. 71-72.
26
Kewajiban istri:
a) Membelajakan harta suaminya dengan baik
b) Mengatur rumah tangga dengan baik
c) Mentaati perintah suami
d) Mendidikan dan mengarjari anak-anak dengan baik
e) Bersedia tinggal di tempat yang disiapakan oleh suami
f) Melayani suami dengan baik serta menjaga rahasia suami
Hak dan kewajiban suami istri ibarat sebuah mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, saling
keterkaitan, dan saling mempengaruhi, sehingga disinilah dibutuhkan
ketulusannya, keikhlasan, pengertian dan kesabaran dalam
menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing.
2.4 Perceraian
2.4.1 Pengertian Perceraian
Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti putus
hubungan sebagai suami dan istri. Menurut bahasa perceraian adalah
perpisahan antara suami dan istrinya. Perceraian menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia berasal dari kata cerai, yang berarti pisah, putus
hubungan sebagai suami istri.25 Menurut pokok-pokok hukum perdata
bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan
25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1996), hal. 164.
27
Hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.26 Menurut
Ensiklopedi Islam Indonesia talak diartikan sebagai pemutusan ikatan
perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap istri secara sepihak
dengan menggunakan lafal talak atau seumpamanya.27
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Oleh karena itu
perceraian diartikan, berakhirnya ikatan atau status sebagai suami istri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah melakukan
ijab kabul (perkawinan) berdasarkan putusan pengadilan.28
Dalam hukum Belanda, perceraian dikenal sebagai salah satu
penyebab bubarnya perkawinan. Hal ini sebagaimana tercancum dalam
pasal 199 BW (Burgerlijk Wetbook) Dalam pasal 199 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook) disebutkan perkawinan
dapat bubar karena:
a. Kematian salah satu pihak,
b. Keadaan tidak hadirnya suami atau istri selama 10 tahun diikuti
perkawinan baru si istri atau suami setelah mendapat izin dari
Hakim,
c. Karena Putusan Hakim setelah adanya perpisahan meja dan
ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register
catatan sipil,
26
Subekti, pokok-pokok Hukum Perdata,( Jakarta: 1987), hal. 42. 27
Dapartemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: 1987), hal. 940. 28 Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: 2003), hal. 149.
28
d. Perceraian.29
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum
Islam Indonesia sebagai bentuk mempositifkan Hukum Islam
mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian:
a. Kematian salah satu pihak,
b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,
c. Keputusan Pengadilan.30
Agama Islam adalah agama yang sangat toleran dalam
menentukan suatu permasalahan yaitu berupa permasalahan dalam
perkawinan. Setiap pasangan memilki hak yang sama dalam
menentukan keharmonisan rumah tangganya. Apabila terjadi
perselisihan terus menerus dan tidak ada kecocokan lagi dalam
mengarungibahtera rumah tangga baik yang dirasakan oleh suami atau
istri dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.
Kata perceraian adalah terjemah dari bahasa arab “Thalaqa-
Yathlaqu-Thalaaqan” yang yang artinya lepas dari ikatan, berpisah,
menceraikan, pembebasan.31Secara garis besar, talak adalah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk memutuskan atau
menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan. Talak merupakan
29Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), pasal 199. 30
Kompilasi Hukum Islam. 31
Ahmad Warsono Munawir, Almunawir Kamus Besar Indonesia, (Surabaya: 1997), hal. 681.
29
hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat dilakukan apabila suami
maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi mempertahankan
perkawinannya tersebut. Sebaliknya, gugatan cearai dapat pula
diajukan oleh istri kepada suaminya dengan alasan-alasan yang telah
diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.32
Pada masa silam, memang talak merupakan hak preogatif
(hak luar biasa tentang hukum) bagi suami. Namun, kini istri juga
mempunyai hak yang serupa dengan suami. Dalam hal ini, bukan
hanya suami yang mempunyai hak untuk memutuskan tali perkawinan.
Namun islam juga memberikan hak kepada istri untuk memutus tali
perkawinan dengan mengajukan gugatan cerai kepada suami dan istri
memberikan semacam ganti rugi untuk menebus dirinya agar suami
bersedia menjatuhkan talak kepadanya. Dalam Islam, perceraian
semacam ini disebut dengan khulu‟.
Perceraian dalam Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang
mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadist Nabi
Muhammad SAW, sebagai berikut:
32
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116.
30
عمر.٨٩٠١ ابن مهنعالليرضعن قال:قالا صلى���
وسل�م عليو ابىداود )رواه ال�ط�ق إلى�� ل الح� :أبغض
و ماجو صوابن 33(والسرام اتحىباحج�رو،الحاكموحح
Artinya: 1098. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu „anhu dia berkata:
Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallam Bersabda: “Perkara
halal yang dibenci oleh Allah ialah cerai”. (Riwayat Abu
Dawud, dan Ibn Majah, Hadis sahih menurut Hakim. Hadis
mursal menurut tarjih Abu Hatim)
Berdasarkan hadist tersebut, bisa diketahui bahwa perceraian
merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh
suami istri bila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan ke utuhan
dan kelanjutannya. Sifat alternatif tersebut dimaksud, berarti sudah
ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencapai kedamaian di
antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua
belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh
al-Quran dan al-Hadist.34
2.4.2 Alasan Perceraian
Setiap perceraian yang terjadi tentu didasari atau
dilatarbelakangi dengan berbagai permasalahan yang terjadi dalam 33Al Hafid Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, Terj. M. Ali (Surabaya : 2012), hal.490. 34
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: 2006), hal.73.
31
perkawinan. Perceraian yang tanpa alasan adalah perceraian yang
hukumnya haram. Dalam fikih tidak disebutkan terperinci tentang
alasan-alasan yang menyebabkan perceraian, akan tetapi dijelaskan
tentang beberapa tindakan yang bisa menyebabkan perceraian seperti
syiqaq, nusyuz, zhihar, li‟an, dan ila‟. Pengajuan gugatan perceraian
kepengadilan harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai
dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam Undang-undang
Perkawinan.35 Alasan perceraian menurut Hukum Perdata, hanya
dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-
undang dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan.36 Alasan
terjadinya perceraian berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 adalah:37
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
b. Salah satu pihak (suami istri) menggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun yang sah terkait dengan kewajiban memberikan
nafkah lahir dan batin.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 (lima) tahun
atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
35
Kompilasi Hukum Islam, hal. 15. 36
Yahya harahap, Beberapa permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, (Jakarta: 1975), hal.133. 37
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 , Pasal 19, hal.40.
32
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang dapat membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
Dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebut, bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi
karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan
karena adanya putusan pengadilan. Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2)
ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan
yaitu antara suami istri tidak akan hidup sebagai suami istri.38
Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Maka dapat disimpulkan bahwa
perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka hati.
Dengan demekian perceraian hanya dapat dilakukan apabila
telah memenuhi rumusan yang ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dengan kata lain Pengaturan
tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang mempersulit
adanya perceraian.
38
Undang-undang, No1, Tahun 1974, tentang Perkawinan, pasal 38, hal. 15.
33
Dengan melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian
seperti tersebut di atas, di samping itu adanya kententuan bahwa
perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka
dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pada asasnya walaupun
perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang. Namun seseorang
tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa
alasan yang kuat. Jadi pada dasarnya, Undang-Undang Perkawinan
mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini sesuai dengan tujuan
perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan itu pada dasarnya
adalah untuk selama-lamanya.39
2.4.3 Akibat Perceraian
Apabila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri
dalam segala bentuk, maka akibat hukum yang berlaku sesudahnya
adalah:40
a) Hubungan antara keduanya harus berpisah dan tidak boleh
bergaul sebagai suami istri sebagaimana yang berlaku selama
menjadi pasangan suami istri. Putusnya perkawinan diantara
keduanya mengambalikan status halal menjadi haram
berhubungan suami istri.
b) Keharusan memberi mut‟ah, yaitu pemberian suami kepada
istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini
39
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, pasal 19, hal.40. 40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: 2009), hal.301.
34
berbeda dengan mut‟ah sebagai pengganti mahar bila istri
dicerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak
ditentukan. Dalam hal ini suami tidak wajib memberi mahar,
namun diimbangi dengan suatu pemberian yang bernama
Pmut‟ah.
c) Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suami baik
karena ditalak atau karena ditinggal mati oleh suaminya,
mempunyai akibat hukum yaitu masalah iddah. Kewajiban ber-
iddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada
bekas istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang
merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya
sebagai manifestasi ketaatan kepada-Nya. Sehingga dapat
dipahami bahwa iddah merupakan kewajiban seorang istri
setelah ditalak oleh suaminya.
d) Pemeliharaan terhadap anak atau hadanah. Keharusan untuk
memelihara anak ini berlaku meskipun suami istri sudah putus
hubungan perkawinnya. Adapun pemeliharan anak erat
kaitannya dengan pemberian nafkah anak. Dalam sebuah
keluarga yang berkewajiban memberi nafkah adalah seorang
suami. Pemberian nafkah dari seorang suami tak hanya
sewaktu dia menjadi istri sahnya dan terhadap anak-anak dari
istri itu, suami wajib menafkahinya bahkan setelah perceraian.
Bahkan dalam hukum positif yang berlaku di indonesia telah
35
dimuat pula Undang-Undang yang menjelaskan tentang
diharuskannya suami menanggung nafkah dan biaya hidup istri
dan anak-anaknya pasca perceraian. Ketentuan tersebut
termuat dalam pasal 41 UU No.1 Tahun 1974, yaitu:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memmelihra
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselihan mengenai
penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberi biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.41
2.5 Mediasi
2.5.1 Pengertian Mediasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi diartikan
sebagai proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
41
Undang-undang, No1, Tahun 1974, tentang Perkawinan, pasal 41, hal. 15
36
perselisihan sebagai penasehat.42 Secara etimologi istilah mediasi
berasal dari bahasa latin mediare yang berarti berada di tengah. Makna
ini menujukan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai
mediator dalam menjalankan tugasnya mencegahi dan menyelesaikan
sengketa antara pihak. Berada di tengah juga bermakna mediator harus
berada pada posisi netral dan tidak meminak dalam menyelasikan
sengketa. Ia harus mampu mengaja kepentingan para pihak yang
bersengketa secara adil dan sama, sehingga menimbulkan kepercayaan
(trust) dari para pihak yang bersengketa.43
2.5.2 Pengertian Mediator
Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian
sengketa para pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi
terhadap pengambilan keputusan. Mediator menjembatani pertemuan
para pihak, melakukan negoisasi, mengaja dan mengontrol proses
negoisasi, menawarkan alternatif solusi dan secara bersama-sama para
pihak merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa.44
Pengertian mediator, disebutkan dalam pasal 1 butir 5,
yaitu:”mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak,
42
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1996), hal. 174. 43
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta:2009), hal .8. 44
Ibid, hal. 59.
37
yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa”.45
fungsi-fungsi mediator dalam sebuah proses perundingan
sebagai berikut:46
1. Memperbaiki komunikasi di antara pihak.
2. Memperbaiki sikap para pihak atau kuasa hukumnya tentang
proses perundingan.
3. Menanamkan sikap realistis kepada pihak yang merasa situasi
atau kedudukannya tidak menguntungkan.
4. Mengajukan usulan-usulan yang belum diidentifikasi oleh para
pihak.
2.5.3 Jenis-jenis Mediasi
Terdapat dua jenis mediasi, yaitu mediasi yang dilakukan di
luar pengadilan (non litigasi) dan mediasi yang dilakukan didalam
pengadilan (litigasi) atau yang dikenal dengan court connected
mediation.47
1) Mediasi di luar Pengadilan
Mediasi di luar pengadilan Masyarkat Indonesia
sebenarnya telah mempraktikkan penyelesaian sengketa melalui
45
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: 2006), hal. 120. 46
Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: 2011), hal. 65. 47
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan, (Bandung : 2013), hal.119.
38
mediasi. Mediatornya adalah para tokoh adat, ulama, dan tokoh
masyarkat yang berwibawa dan dipercaya.
2) Mediasi yang dilakukan didalam Pengadilan
Mediasi pengadilan di banyak negara merupakan
bagian dari proses litigasi. Hakim meminta para pihak untuk
mengusahakan penyelesaian sengketa mereka dengan
menggunakan proses mediasi sebelum proses pengadilan
berlanjut. Inilah yang disebut dengan mediasi di pengadilan.
Dalam mediasi ini, seorang hakim atau seorang ahli yang
ditunjuk oleh para pihak untuk bertindak sebagai mediator.
Dari segi kekuatan hukumnya, mediasi di pengadilan
dan diluar pengadilan berbeda. Pada mediasi pengadilan, jika
para pihak telah terjadi kesepakatan perdamaian maka para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani oleh para
pihak dan mediator. Kesepakatan tersebut kemudian dapat
dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Akta perdamaian
yang telah disepakati oleh para pihak dalam mediasi pengadilan,
disamakan kedudukannya dengan putusan Hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkract van gewijsde) dan juga tidak
diizinkan para pihak menggunakan upaya hukum. Sebaliknya
pada mediasi di luar pengadilan, jika para pihak telah terjadi
kesepakatan, maka hasilnya hanya berupa kontrak (perjanjian)
39
namun belum berkekuatan hukum tetap. Apabila salah satu
pihak tersebut melanggar maka pihak lain harus melakukan
gugatan hukum untuk pelaksanaan kontrak tersebut sehingga
pihak yang dirugikan boleh mengajukan gugatan di pengadilan
terkait pelanggaran kontrak yang telah disetujui.
Adapun hasil kesepakatan yang dilakukan diluar
pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, maka para pihak
boleh mengajukan ke pengadilan agar mengeuatkan kesepakatan
tersebut dalam bentuk akta perdamaian. Namun perlu dicatat
bahwa perkara yang boleh diajukan adalah perkara yang belum
diajukan gugatan ke pengadilan namun telah berhasil
menyelesaikan masalah melalui mediator diluar pengadilan.
Berikut adalah caranya yakni salah satu pihak diantara mereka
terlebih dahulu mengajukan gugatan terhadap pihak lainnya.
Dan dalam berkas gugatan tersebut disertakan pula kesepakatan
perdamaian, disamping dilampiri dokumen-dokumen yang
membuktikan adanya hubungan hukum para pihak dengan
obyek sengketa. Selanjutnya hakim memeriksa perkara
dihadapan para pihak akan menguatakan kesepakatan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, apabila kesepakatan
tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sesuai kehendak para pihak
b. Tidak bertentangan dengan hukum
40
c. Tidak merugikan pihak ketiga
d. Dapat dieksekusi
e. Dengan iktikad baik
Apabila syarat-syarat diatas dipenuhi maka akta
perdamaian tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan
memiliki kekuatan eksekutorial.48
2.5.4 Manfaat Mediasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan
manfaatnya, karena pihak telah mencapai kesepakatan yang
mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan saling
menguntungkan. Mediasi dapat memberikan sejumalah keuntungan
antara lain:
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat
relatif murah di bandingkan dengan membawa perselisihan
tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase.
b. Mediasi akan memfokuskan perhatikan para pihak pada
kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi
atau psikologi mereka, sehingga mediasi bukan hanya bertuju
pada ahak-hak hukumnya.
48
Henny Mono, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Mediasi, (Malang : 2014), hal. 98.
41
c. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk
berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam
menyelesaikan perselisihan mereka.
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan
kontrol terhadap proses dan hasilnya.
e. Mediasi dapat mengubah hasil yang dalam litigasi dan
arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu
konsensus.
f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu
menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara pihak
yang bersengketa karena karena mereka sendiri yang
memutuskan.
g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang
hampir selalu mengiringi setaiap putusan yang bersifat
memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau
arbiter pada lembaga arbitrase.49
2.5.5 Tahapan Mediasi
Ada beberapa tahapan mediasi secara umum, yaitu:
a. Tahap pendahuluan (preliminary)
49
Ibid, hal. 25.
42
1) Di butuhkan satu proses “pemahaman” yang cukup sebelum
suatu proses mediasi dimulai, misalnya: apa yang menjadi
sengketa?
2) Konsultasi dengan para pihak tentang tempat dan waktu
mediasi identik pihak yanghadir, aturan tempat duduk, dan
sebagainya.
b. Sambutan Mediator
1) Menerangkan urutan kejadian.
2) Menyakinkan para pihak yang masih ragu.
3) Menerangkan peran mediator dan para pihak.
4) Menegaskan bahwa para pihak yang bersengketalah yang
“berwenang” untuk mengambil keputusan.
5) Menyusun aturan dasar dalam menjalankan tahapan.
6) Memberi kesempatan mediator untuk membangun
kepercayaan dan menunjukkan kendali atas proses.
7) Mengonfirmasi komitmen para pihak terhadap proses.
c. Presentasi para pihak
1) Setiap pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan
permasalahannya kepada mediator secara bergantian.
2) Tujuan dari persentasi ini adalah untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk mendengar sejak dini,
dan juga memberi kesempatan setiap pihak mendengarkan
permasalahan dari pihak lainnya secara langsung.
43
3) Who first? Who decides?
d. Identifikasi Hal-Hal yang Sudah Disepakati
Salah satu peran yang penting bagi mediator adalah
mengidentifikasi maslah yang telah disepakati anatara para pihak
sebagai landasan untuk melanjutkan proses negoisasi.
e. Mengidentifikasi dan Mengurutkan Permasalahan
Mediator perlu membuat suatu “stuktur” dalam pertemuan
mediasi yang meliputi masalah-masalah yang sedang
diperselisihkan dan sedang berkembang. Dikonsultasikan dengan
para pihak, sehingga tersusun “daftar permasalahan” menjadi
suatu agenda.
f. Negosiasi dan Pembuatan keputusan
1) Tahap negoisasi yang biasanya merupakan waktu alokasi
terbesar.
2) Dalam model klasik (Directing the traffic), mediator berperan
untuk menjaga urutan, struktur, mencatat kesepahaman,
reframe dan meringkas, dan sekali-kali mengintervensikan
membantu proses komunikasi.
3) Pada model yang lain (Driving the bus), mediator mengatur
arah pembicaraan, terlibat dengan mengajukan pertanyaan
kepada para pihak dan wakilnya.
g. Pertemuan Terpisah
44
1) Untuk menggali permasalahan yang belum terungkap dan
dianggap penting guna tercapainya kesepakatan.
2) Untuk memberikan suasana dinamis pada proses negoisasi
bilamana ditemui jalan buntu.
3) Menjalankan tes realitas terhadap para pihak.
4) Untuk menghindarkan kecenderungan mempertahankan
pendapat para pihak pada join sessions.
5) Untuk mengingkan kembali atas hal-hal yang telah dicapai
dalam proses ini dan mempertimbangkan akibat bila tidak
tercapai kesepakatan.
h. Pembuatan Keputusan Akhir
1) Para pihak dikumpulkan kembali guna mengadakan negoisasi
akhir, dan menyelesaikan beberapa hal dengan lebih rinci.
2) Mediator berparan untuk memastikan bahwa seluruh
permasalahan telah dibahas, di mana para pihak merasa puas
dengan hasil akhir.
i. Mencatat Keputusan
1) Pada kebanyakan mediasi, perjanjian akan dituangkan ke
dalam tulisan, dan ini bahkan menjadi suatu persyaratan
dalam kontrak mediasi.
2) Pada kebanyakan kasus, cukup pokok-pokok kesepakatan
yang ditulis dan ditandatangani, untuk kemudian
45
disempurnakan oleh pihak pengacara hingga menjadi suatu
kesepakatan akhir.
3) Pada kasus lainnya yang tidak terlalu kompleks, perjanjian
final dapat langsung.
j. Kata Penutup
1) Mediator biasanya memberikan ucapan penutup sebelum
mengakhiri mediasi.
2) Ini dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada para
pihak atas apa yang telah mereka capai, menyakinkan mereka
bahwa hasil tersebut merupakan keputusan mereka sendiri,
serta mengingatkan tentang hal apa yang perlu dilakukan di
masa mendatanng.
3) Mengakhiri mediasi secara “formal”.50
50
Ibid, hal. 69.