bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · buku dengan judul kartun yang disusun...
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Terkait dengan kajian pustaka, peneliti mengacu pada beberapa sumber
kepustakan di ataranya berbagai buku yang terkait, hasil penelitian maupun
jurnal mengenai kajian kartun. Buku-buku lokal yang dibutuhkan untuk meneliti
kartun Bog-Bog sebagai representasi sosial secara mendalam relatif sedikit.
Belum banyak dari kalangan akademis yang menaruh perhatian terhadap
eksistensi majalah kartun special yang disebut dengan Bog-Bog Bali Cartoon
Magazine. Pangsa pasar majalah ini cukup luas secara lokal, nasional, dan
global. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam. Untuk
menghindari plagiarisme, sekaligus mendukung kedalaman penelitian ini,
berikut diuraikan buku-buku kajian kartun yang menjadi rujukan penelitian.
Buku berjudul Animasi Kartun Dari Analog sampai Digital yang disusun
oleh Ranang A.S., Basnenda H, Asmoro N.P., penerbit Indeks 2010 meliputi
aspek teoretis maupun praktis. Aspek teoretis mencakup pembahasan tentang
sejarah, perkembangan, konsep, dan prinsip animasi yang menjadi dasar
penciptaan karakter kartun dan pergerakannya. Aspek praktis membahas tentang
proses digitalisasi gambar sampai pada menganimasikan gambar kartun secara
digitalisasi dengan perangkat komputer. Kaitannya dengan penelitian, buku ini
mendukung wawasan teoretis pengertian kartun dan karakternya sebagai upaya
memahami lebih dalam kajian kartun sebagai representasi sosial dalam Bog-Bog
Bali Cartoon Magazine edisi 2011 / 2012.
15
Buku yang berjudul Karikatur karya Pramono R. Pramoedjo penerbit
Creative Media Jakarta tahun 2008. Kajian buku ini meliputi pengertian bagian-
bagian kartun, seperti kartun strip, kartun gags (kartun kata), kartun komik dan
kartun animasi, teknik karikatur, ekspresi dan karakter wajah, mencari dan
mengembangkan ide, bagian kesimpulan dari buku ini bagaimana menjadi
karikaturis yang andal. Terkait dengan penelitian, buku ini membantu pengayaan
teori, terutama teori bagian-bagian kartun, seperti gags (kartun kata) karena
penelitian ini termasuk kajian kartun gags (kartun yang ditunjang sedikit kata-
kata), ekspresi dan karakter wajah. Ekspresi dan karakter wajah ini untuk
menunjang wawasan peneliti dalam memahami ekspresi dan karakter yang ada
di dalam kartun sebagai representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi
2011/ 2012.
Buku dengan judul Kartun yang disusun oleh I Dewa Putu Wijana tahun
2003 diterbitkan oleh penerbit Ombak, Yogjakarta. Buku ini menjelaskan
permainan bahasa kartun pada majalah, surat kabar, dan buku humor. Eksistensi
kartun dan permainan bahasa atau teks dibahas berdasarkan kaidah-kaidah ke
bahasaan yang ilmiah. Buku ini disajikan dalam format buku bacaan dari hasil
penelitian. Buku ini penting untuk dipahami karena memuat karakter-karakter
esensial bahasa dalam wacana kartun. Sehubungan dengan penelitian, buku ini
penting sebagai acuan membahas karakter teks bahasa maupun visual dalam
kartun sebagai representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi
2011/2012. Di samping sebagai pengayaan teori kartun dari aspek fungsi, bentuk
dan karakter ataupun dalam membaca makna.
16
Di dalam About the Trade International Jurnal Of Comic Art vol 4, No.2,
Fall 2002, Richard Ostrom dalam tulisannya berjudul Bali’s Transition froma
Traditional to a Modern Society: Some Op Art Warnings–offs, dijelaskan
bagaimana masyarakat Bali mengalami transisi dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern. Pergeseran nilai-nilai budaya Bali menuju nilai modern
akibat mega proyek pariwisata. Hal ini semua terekam dalam penyajian kartun
yang merupakan hasil karya kartunis Bali. Kajian ini menyoroti pergeseran nilai
sosial budaya orang Bali dari orientasi sosial menuju komersial. Hal ini menarik
dan relevan untuk mengungkap makna melalui pendekatan pragmatik mengenai
kartun sebagai representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/
2012.
Dalam International Jurnal Of Comic Art Vol 5, No.1, Spring 2003,
Ricard Ostrom dalam tulisannya berjudul The Changed Function of Political
Cartoonist in Indonesia: From Challenging a Repressive Regime to Promoting
Democratic Reforms. Hal yang diangkat adalah kartun sebagai agen komunikasi
perubahan politik Indonesia, menantang tekanan dari rezim untuk kemajuan
demokrasi. Dalam kartun politik, terungkap perseteruan makna di balik kartun
sebagai representasi perubahan politik, untuk menantang tekanan dari rezim
Soeharto pada era kekuasaanya. Kartun ini divisualisasikan oleh para kartunis
Bali, seperti: Jango Pramartha, Wayan Gunarta Pendet, dan Putu Suaria. Kajian
wacana teks kartun ini membantu dan merangsang strategi pemahaman untuk
membongkar perseteruan makna yang ada di dalam kartun sebagai representasi
sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012 terutaman dari sisi makna
politik.
17
Buku yang berjudul Panji Tengkorak, Kebudayaan dalam Perbincangan
diterbitkan oleh kepustakaan Populer Gramedia Jakarta. Karya Seno Gumira
Ajidarma ini merupakan disertasi doktoral di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia. Masalah yang dikedepankan adalah bagaimana kebudayaan
berlangsung mengacu kepada tahun penerbitan ketiga naratif Panji Tengkorak,
yakni: 1968, 1985 dan 1996. Ketiga gubahan naratif ini diperiksa dan dikaji
dengan ilmu kajian budaya dan dibandingkan dengan fokus pada persamaan dan
perbedaan, sehingga terbaca pertarungan idiologi di balik teks dalam penguasa
makna. Hubungan kajian Panji Tengkorak ini dengan penelitian adalah sebagai
motivasi untuk menghayati dan membongkar pertarungan makna di balik tema-
tema kartun sebagai representasi sosial dalam majalah Bog-Bog edisi 2011/2012.
Ditafsirkan juga adanya representasi perjuangan ideologi di balik terwujudnya
wacana kartun sebagai representasi sosial.
Dalam buku berjudul Menakar Panji Koming; Tafsiran Komik Karya
Dwi Koendoro Pada Masa Reformasi Tahun 1998, terbitan Kompas Jakarta
tahun 2002. Buku ini merupakan intisari dari penelitian S2 dari Muhamad
Nashir Setiawan pada program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Sarjana Universitas Gajah Mada.
Obyek kajian penelitian ini adalah komik strip yang tinjauannya meliputi
penggalian makna di balik komik strip tersebut dengan pendekatan intepretasi
dengan fokus signifikasi tanda-tanda serta konteksnya. Kajian Panji Koming
berdasarkan sejarah secara anakronistis tentang kisah-kisah metapora situasi
aktual di Indonesia terutama reformasi politik. Kaitannya dengan penelitian
adalah sebagai rujukan dalam strategi menggali konsep, ideologi, karakter, dan
18
makna politik secara intrinsik yang ada pada kartun sebagai representasi sosial
dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012.
Dalam jurnal Ekspresi Vol. 8, No.2, Oktober 2008, halaman 235-248,
tulisan Aznar Zacky berjudul Citra Diri Kartun Indonesia Kajian Aspek
Idiologi. Kajian permasalahan, meliputi idiologi dan estetika yakni bagaimana
perkartunan Indonesia harus mampu membentuk citra Indonesia melalui
sentuhan unsur, detail, atau pernik yang digali dari seni budaya Indonesia sendiri
yakni sebagai akar budaya Nusantara. Pijakan budaya sangat penting seperti
wayang kulit purwa yang merupakan suatu deformasi yang mengarah kepada
stilasi (penggayaan hias) dengan ungkapan simbol-simbol perwatakan serta isi
cerita penuh dengan kandungan pelajaran, pandangan hidup, petuah, kritikan,
sindiran, dan lelucon. Dalam konteks penelitian ini ada kesamaan dalam aspek
tujuan menggali makna, karakter di balik kartun maupun teks, memuat
kandungan ideologi dan seni, serta sebagai pengayaan teoretis.
Selanjutnya buku kartun opini karya Benny Rachmadi yang berjudul
Dari Presiden ke Presiden (2009) diterbitkan oleh Kepustakaan Populer
Gramedia Jakarta. Buku kartun opini jilid I ini merupakan kumpulan dari karya
Benny Rachmadi sendiri berupa mingguan dan harian surat kabar Kontan dari
tahun 1998-2008. Kartun opini ini merupakan representasi pesan-pesan ideologi,
politik menyangkut tingkah laku elite politik. Kebijakan politik, ekonomi, dan
sosial sampai dengan keputusan, semua terekam dalam kartun opini Benny
Rachmadi dari pemerintahan reformasi era Habibi, Gus Dur, Megawati sampai
era Susilo Bambang Yudoyono. Tampilan kartun opini Benny Rachmadi terkait
dengan penelitian adalah sebagai cerminan untuk membuka lebih luas wawasan
19
peneliti mengenai pemahaman kajian makna dari aspek sosial budaya, ekonomi,
dan politik, karena beberapa aspek ini juga tergantung di dalam kartun sebagai
representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012 yang di
dominasi oleh bahasa visual.
Buku berjudul 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa Dalam kartun Tahun
1967-2007, karya G.M. Sudarta diterbitkan oleh Buku Kompas Jakarta Juli 2007.
Isi buku ini merupakan rangkaian karikatur Oom Pasikom, ekspresi karya
Sudarta selama 40 tahun di Kompas. Buku ini bukan biografi kartunis,
melainkan representasi perjalanan hidup masyarakat, bangsa dan negara selama
empat dasa warsa dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.Tokoh Oom
Pasikom dalam kartun seakan lebih popular di Kompas dari pada tokoh yang
mencetuskannya yakni G.M. Sudarta. Sudarta telah berhasil menanamkan
pencitraan terhadap karya kartunnya kepada masyarakat, bahkan bangsa
Indonesia. Karya kartunnya di dalam Kompas merupakan representasi
kaleidoskop perjalanan bangsa selama empat dasa warsa terakhir dan sekaligus
menjadi sebagai pengetahuan rakyat. Sebagai masukan, buku ini membantu
penulis lebih tajam dalam menguak atau membaca makna-makna setiap tema
yang ada di majalah kartun Bog-Bog yang mengandung pesan kritis, sindiran,
yang dikemas dalam bentuk kartun yang “bohong”, tetapi humoris sehingga
orang yang merasa kena atau penikmat tidak merasa tersinggung.
Buku kartun lainnya karya Agustin Sibarani yang diterbitkan oleh Garba
Budaya tahun 2001. Buku ini berisi kisah kumpulan karya kartun dan karikatur
Sibarani, yakni mengenai karakternya sebagai seorang kartunis. Dengan tajam ia
melihat situasi politik dalam negeri, terutama tingkah laku tokoh-tokoh yang
20
menjadi sorotan dengan muatan kritik dan sindiran dalam citra visual yang
jenaka. Kaitannya dengan penelitian, tulisan Sibarani menjadi pembanding
sekaligus menambah wawasan penulis dalam membaca bentuk penampilan dan
makna kartun dalam penelitian.
Semua sumber kepustakaan di atas baik berupa buku, jurnal hasil
penelitian, dan karangan tidak ada kesamaannya dengan penelitian ini, tetapi ada
kedekatan obyek dengan kasus permasalahan penelitian. Apa yang dilakukan
dalam penelitian masing-masing berbeda. Kajian pustaka tersebut diajukan
sebagai referensi untuk mendukung, dan memperkuat penelitian yang berkaitan
dengan kartun sebagai representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi
2011/2012 sehingga apa yang diharapkan dari penelitian dapat dipertanggung
jawabkan sebagai karya tulis ilmiah.
2.2 Konsep
Untuk mengantisipasi kebingungan dalam penelitian selanjutnya, dalam
penelitian ini ada konsep-konsep yang penting untuk dirumuskan, yakni: kartun,
representasi sosial, dan Bog-Bog Bali Cartoon Magazine edisi 2011/2012.
2.2.1 Kartun
Kehadiran kartun dalam era globalisasi dan teknologi komunikasi yang
tidak terbatas dewasa ini semakin penting perannya, baik media elektronik dan
cetak, seperti: TV, majalah, surat kabar, buku bacaan, dan lain-lainnya. Selain
fungsinya sebagai hiburan, juga sebagai sumber informasi yang bersifat
mendidik dengan unsur-unsur kritik, sindiran dan sebagai media komersial.
Menurut Sobur (2006) kartun dipandang dari pengertiannya secara umun adalah
21
sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa yang hanya berisi humor
semata tanpa membawa beban kritik sosial. Berbeda dengan pendapat Sudarta,
kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu sendiri. Karikatur
adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang biasanya orang terkenal,
dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriah untuk tujuan
mengejek (Ranang A.S. dkk., 2010:3).
Pramoedjo (2008) berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah
sebagian dari kartun khususnya jenis kartun opini, tetapi menjadi salah kaprah.
Karikatur yang sudah diberi muatan pesan dan kritik, berarti telah menjadi
kartun opini. Kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang dimuat pada setiap
penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon, yakni
versi lain dari editorial atau tajuk rencana dalam bentuk gambar humor. Inilah
yang bisa disebut dengan karikatur (Ranang dkk, 2010:3).
Konsep kartun yang lebih memadai adalah gambar yang bersifat
representasi atau simbolik yang mengandung unsur sindiran, lelucon atau humor.
Kartun muncul dalam publikasi secara periode, dan paling sering menyoroti
masalah politik atau masalah publik. Namun, masalah-masalah sosial budaya
juga menjadi target dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa
olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang (Setiawan, 2002; 33).
Noerhadi di dalam artikelnya yang berjudul Kartun dan Karikatur
sebagai wahana kritik sosial (dalam Wijana, 2003:7) mendefinisikan kartun
sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dan citra visual. Dalam artikel ini konsep
kartun dipisahkan secara tegas dengan karikatur.Tokoh-tokoh kartun bersifat
fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi
22
jenaka. Tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan mealui pemiuhan
(distortion) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca sehingga
sering kali disebut portrait caricature.
Berkaitan dengan pengertian kartun dan karikatur di atas, yang menjadi
pengkajian dalam penelitian adalah kartun bukan karikatur karena karikatur
bagian dari kartun. Di samping itu, berdasarkan pengamatan, kartun lebih
banyak melancarkan kritik dan humor-humornya melalui sarana verbal, tidak
seperti karikatur. Speber dan Wilson dalam bukunya Relevance: Comunication
and Cognation bahwa humor-humor kartun yang diungkapkan secara verbal
tidak hanya mempermasalahkan persoalan politik, tetapi juga masalah-masalah
lain, seperti: ketimpangan moral, seks, ekonomi, perhubungan, lalu lintas, senda
gurau ringan, dan sebagainya (Wijana, 2008: 8).
Berdasarkan konsep-konsep kartun yang telah diuraikan sebelumnya dan
sesuai dengan kata kunci pemahaman kartun yang merupakan gambar bermuatan
humor atau satir dalam berbagai media massa dengan tokoh-tokoh yang bersifat
fiktif (Wijana, 2003:xx). Terkait dengan penelitian ini, kartun sebagai
representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog. Awalnya majalah kartun
Bog-Bog hanya memiliki nilai hiburan, tetapi seiring dengan perkembangan
zaman, majalah kartun Bog-Bog sarat dengan muatan politik, ekonomi, sosial
budaya dan penampilan visualnya yang unik dengan ciri khas nilai budaya Bali.
2.2.2 Representasi Sosial
Konsep representasi sosial dalam penelitian ini dijelaskan berdasarkan
dua suku kata, yaitu: ‘representasi’ dan ‘sosial’. Piliang mengartikan representasi
merupakan tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat
23
sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (2010: 26).
Selanjutnya, konsep representasi diuraikan oleh Graeme Burton (2008:114)
bahwa orang-orang dapat direpresentasikan dengan cara-cara tertentu lewat
perangkat-perangkat tertentu tanpa menjadi stereotif-stereotif yang
sesungguhnya. Stereotif-stereotif, artinya orang-orang, gejala-gejala atau kondisi
sosial masyarakat direpresentasikan tidak berupa bentuk tetap atau klise, tetapi
bisa direpresentasikan dalam bentuk sederhana atau distorsi tanpa kehilangan
makna yang sesungguhnya.
Lebih jauh Burton (2008:114-116) menjabarkan representasi ke dalam
tipe-tipe yaitu representasi berdasarkan tipe, representasi dan kontruksi,
representasi dan makna. Representasi berdasarkan tipe terdapat tiga level
katagorisasi di antaranya: tipe, stereotip dan archetype. Representasi tipe
maksudnya pada level yang paling umum, misalnya sebuah kisah di
representasikan dengan tokoh sesuai fungsi, tugas, bentuk dan karakternya.
Representasi stereotip sesungguhnya adalah representasi yang disederhanakan
dari penampilan manusia, karakter dan kepercayaan. Stereotip telah menjadi
mapan melalui representasi bertahun-tahun dalam media serta melalui pelbagai
asumsi dalam percakapan sehari-hari. Stereotip merupakan distorsi dari tipe
mula-mula karena stereotip melebih-lebihkan sekaligus menyederhanakan.
Stereotip dapat dikenali secara cepat melalui pelbagai rincian kunci dalam
penampilan. Dalam representasi ini ditanamkan pelbagai pertimbangan implisit
tentang karakter (pesan-pesan nilai secara terselubung). Archetype (tipe utama)
merupakan contoh-contoh tipe yang paling intensif juga ditanamkan secara
mendalam dalam budaya kita. Misalnya representasi tokoh para pahlawan,
24
superman dan tokoh perlawanan dalam pelbagai metodelogi adalah archetype.
Terkait dengan penelitian ini, kartun sebagai representasi sosial tergolong
representasi stereotip, karena kartun merupakan distorsi dari tipe mula-mula,
dilebih-lebihkan sekaligus disederhanakan.
Representasi dan konstruksi, maksudnya representasi yang
dikontruksikan lewat media yang digunakan. Artinya terdapat bahasa tertulis
atau visual yang menceritakan kisahnya dan dengan demikian membentuk tipe
dan sikap tertentu terhadap tipe tersebut (Graeme, 2008:119-120). Jika
dihubungkan dengan penelitian, tipe ini telah mewakili, karena kartun sebagai
representasi dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012 berdasarkan tema-
tema terdapat bahasa tertulis dan visual walaupun lebih dominan bahasa visual.
Representasi dan makna, apa yang direpresentasikan melalui tipe-tipe ini
juga melebihi dari sekadar pandangan tentang pelbagai kategori orang atau
tampak seperti orang-orang pada umumnya. Sikap-sikap tersebut
dikonstruksikan dengan karakteristik tertentu dan direpresentasikan dengan cara
tertentu dalam kisah tertentu (Graeme, 2008:120). Terkait dengan penelitian ini,
pemahaman tipe ini kartun sebagai representasi sosial yang tersirat di dalam
setiap tema pada majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012 diperlukan
interpretasi untuk mengetahui maknanya.
Istilah atau konsep representasi juga menunjukkan bagaimana seseorang
satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.
Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok,
atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Semestinya ini
mengacu kepada apakah seseorang atau kelompok diberitakan apa adanya,
25
ataukah diperburuk. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan dengan
kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto seseorang, kelompok, atau gagasan
tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak (Eriyanto, 2009: 13).
Ritzer (2004) berpendapat bahwa definisi sosial sebenarnya
berpandangan manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya
tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-
kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang tercakup dalam fakta sosial, yaitu
tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa eksistensi individu dalam dunia sosialnya menjadi “panglima”
dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Jadi, definisi
sosial realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi
sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya (Bungin, 2001:8).
Max Weber melihat realitas sosial sebagai prilaku sosial yang memiliki
makna subyektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku
sosial itu menjadi “sosial”, oleh Weber dikatakan, kalau yang dimaksud
subyektif dari perilaku sosial membuat individu menyerahkan dan
memperhitungkan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjek itu.
Perilaku memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku
pada umumnya dalam masyarakat (Bungin, 2001:9).
Barker (2008:418-419) menguraikan sosial adalah tentang atau di dalam
masyarakat. Masyarakat diyakini sebagai organisasi, asosiasi dalam hubungan
antar manusia melalui interaksi yang ditata berdasarkan aturan. Sosial diyakini
sebagai ruang otonomi aktivitas. Namun, kebanyakan teoretisi Cultural Studies
berkeyakinan bahwa kehidupan sosial tidak memiliki objek acuan yang jelas,
26
menjadi satu tanda yang dibangun melalui serangkaian perbedaan diskursif. Bagi
mereka, kehidupan sosial bukanlah suatu objek melainkan arena perebutan di
mana berbagai deskripsi diri dan orang lain bertarung untuk memperebutkan
pengaruh.
Mengacu kepada konsep sosial di atas, masing-masing memiliki
kesamaan dan perbedaan. Akan tetapi mempunyai makna yang sama di dalam
konteks memahami makna sosial yang ada di masyarakat. Dalam penelitian ini,
representasi sosial yang dimaksud adalah tindakan yang menghasilkan atau
mempresentasikan sesuatu melalui sesuatu di luar diri manusia. Dalam hal ini
mempresentasikan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sosial,
budaya, dan lain sebagianya lewat gambar kartun yang bernuansa karakter
budaya Bali dalam majalah kartun Bog-Bog.
2.2.3 Bog-Bog Bali Cartoon Magazine
Bog-Bog Bali Cartoon Magazine adalah nama sebuah majalah kartun
Bali yang terbit setiap bulan di Bali sejak tahun 2001 sampai sekarang. Alamat
redaksi di Jl. Veteran No. 39 A Denpasar. Kata Bog-Bog menurut Jengo
Paramartha selaku chief editor, artinya kebohongan. Terkait dengan bentuk
kartun, yang sesungguhnya bentuk atau gambaran tokoh-tokoh manusia secara
nyata, tidak ada seperti yang ditampilkan sebagai bentuk kartun sehingga
bentuk-bentuk pemiuhan yang diterapkan dalam bentuk manusia hanya untuk
mendapatkan kelucuan belaka. Isi atau pesan yang disampaikan melalui gambar
bohong (kartun) tetap mengandung fakta dan aktual menyangkut sosial budaya,
pendidikan, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Karakter kartun yang diterapkan
dalam majalah bernuansa budaya Bali dengan ekspresi kostum kartun adat Bali
27
yang sederhana, walaupun di dalam majalah tersebut ekspresi kartun dengan
karakter bebas juga diterapkan sebagai representasi sosial, tetapi tidak dominan.
2.3 Landasan Teori
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka diperlukan teori untuk memahami dan mempelajari objek yang diteliti
serta menafsirkan dan memahami setiap fenomena yang muncul dalam objek.
Harapannya dapat menghasilkan temuan untuk bahan renungan dan kajian
selanjutnya sehingga lebih bermanfaat bagi peneliti, dan masyarakat. Teori-teori
yang relevan dalam pengkajian ini adalah teori yang ekletik dalam kajian budaya
diantaranya teori estetika postmodern, teori ideologi, teori dekonstruksi, teori
semiotika, dan teori desain komunikasi visual.
2.3.1 Teori Estetika Posmodern
Sebelum diuraikan lebih jauh tentang teori estetika postmodern, terlebih
dahulu diuraikan estetika yang berkaitan dengan pemahamannya. Secara
etimologi estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta, yang diturunkan
dari aisthe (hal- hal yang dapat ditanggapi dengan indra, atau tanggapan indra).
Pada umumnya, aisthe dioposisikan dengan noeta, dari akar kata noein, nous,
yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran. Dalam pengertian yang lebih
luas berarti kepekaan untuk menanggapi suatu objek, kemampuan pencarapan
indra, sebagai sensitivitas. Dalam bahasa Inggris menjadi aesthetics atau
esthetics (studi tentang keindahan) orang yang sedang menikmati keindahan
disebut aesthete. Ahli keindahan disebut aesthetician. Dalam bahasa Indonesia
menjadi estetikus, estetis, dan estetika yang masing-masing berarti orang yang
28
ahli dalam bidang keindahan, bersifat indah dan ilmu atau filsafat tentang
keindahan atau keindahan itu sendiri (Ratna,2007: 3-4).
Baumgarten (dalam Sumardjo, 2000: 24-25) sebagai seorang filsuf minor
menemukan istilah estetika tahun 1750 yang diadopsi dari bahasa Yunani kuno,
aistheton yang berarti kemampuan melihat melalui pengindraan. Baumgarten
menamakan seni itu termasuk pengetahuan sensorik, yang dibedakan dengan
logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah
keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran. Sejak itu istilah estetika
dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni. Lebih jauh
Bumgarten menguraikan tentang hakikat keindahan bahwa seni tidak selalu
“indah” seperti dipersoalkan dalam estetika. Diperlukan suatu bidang khusus
yang menjawab tentang apa hakikat seni atau art itu, dan lahirlah apa yang
dinakan “filsafat seni”. Perbedaan estetika dengan filsafat seni hanya dalam
objek materialnya. Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya
seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni
atau artifak yang disebut seni (Sumardjo, 2000:25).
Karya seni mengekspresikan gagasan dan perasaan sedangkan alam tidak
mengandung makna ekspresi semacam itu. Dalam karya seni, orang dapat
bertanya “apa maksud karya ini?”, tetapi seseorang pernah bertanya ketika
menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai. Karya seni selalu
membawa makna tertentu dalam dirinya, ada usaha komunikasi seni dengan
orang lain. Dalam keindahan alamiah, hal itu tidak terjadi. Wanita cantik
dinikmati sebagai indah begitu saja, tetapi dalam karya seni wanita tua atau
buruk rupa dapat menjadi indah. Sedang wanita cantik tidak indah dalam karya
29
seni yang gagal. Seni dapat meniru alam tetapi alam tidak mungkin meniru
artifak seni. Dalam alam dapat diterima keindahan tanpa kepentingan praktis-
pragmatis keindahan tanpa pamrih (disinterestedness). Dalam karya seni, masih
dapat dijumpai karya-karya itu sebagai indah dan berguna sekaligus. Keindahan
alamiah itu gratis, tanpa pamrih kegunaan apapun. Keindahan dan seni karena
punya makna, dapat membawa nilai-nilai lain di samping nilai keindahan.
Dengan demikian, estetika merupakan pengetahuan keindahan alam dan seni.
Filsafat seni hanya merupakan bagian estetika khusus membahas karya seni
(Sumardjo, 2000; 25-26).
Kartun merupakan ekspresi, gagasan atau perasaan yang mengandung
nilai-nilai estetika seni/artifak. Di samping nilai estetika, juga mengandung nilai-
nilai komunikasi, atau tujuan tertentu yang memiliki makna yang dapat
diinterpretasikan secara bebas. Kartun dari segi visual dalam bentuk distorsi
bersifat parodi dapat menghibur pada saat orang-orang santai mengisi waktu
selesai aktivitas rutin untuk menyegarkan dan dapat pengetahuan/informasi dari
tujuan atau misi kartun. Dalam buku Art World dinyatakan bahwa estetika
adalah suatu studi mengenai premis dan alasan atau argumen yang digunakan
untuk membenarkan atau memberikan penilaian terhadap aktivitas-aktivitas
yang berkaitan dengan masalah keindahan, artistik, seni yang baik atau seni yang
buruk dan sebagainya (Becker, 1982:131).
Estetika postmodern menurut Baudrillard (2009) adalah lebih sebagai
sebuah wacana, realitas telah kehilangan dimensi rahasianya: sebatang tubuh
telah kehilangan dimensi seksualnya, sebuah informasi telah kehilangan dimensi
maknanya, dan sebuah karya seni telah kehilangan dimensi auranya. Segala
30
wacana termasuk wacana seni kini tengah berupaya mencari jalannya sendiri
untuk menghindarkan diri dari dialektika makna, dari dialektika komunikasi dan
proses sosialisasi. Wacana estetik seni kini masuk ke dalam hutan rimba citra-
citra dan tanda-tanda yang tanpa batas, dengan cara menghancurkan makna-
makna, mengikuti batas ekstrimnya atau dengan menyajikan dimensi-dimensi
yang selama ini tabu, cabul dan imoralitasnya.
Estetika dalam wacana postmodern tidak lagi membedakan mana yang
indah mana yang jelek, yang bermoral dan yang amoral. Secara ekstrim
dikatakan bahwa wacana estetika postmodern kini justru mencari yang terjelek
di antara yang jelek. Estetika postmodern juga tidak lagi membedakan mana
yang kelihatan dan yang tersembunyi. Estetika postmodern mencari yang lebih
tersembunyi di antara yang paling tersembunyi.
Estetika posmoderen mencoba menyusun sebuah peta idiom-idiom
estetika posmodernisme. Diharapkan dapat menjadi sebuah model dalam upaya
pemahaman dan pengembangan estetika posmodern sebagai sebuah diskursus
kebudayaan, sehingga bermanfaat pula bagi upaya pemahaman keserbaragaman
dan pluralisme bahasa estetika terutama sejauh dipandang sebagai sebuah
penandaan dan makna (Piliang, 2010:61). Sejak dekade 60-70-an telah terjadi
perubahan penting dalam cara memandang dan mendefinisikan seni, serta
perubahan fungsi seni dalam masyarakat kontemporer, terutama dalam statusnya
sebagai komoditi dan perubahan, sekaligus akan mempengaruhi proses
berkesenian serta idiom-idiom estetika yang dihasilkan (Piliang, 2010:62).
Berkaitan dengan pemahaman estetika postmodern, ada lima idiom
estetika yang akan dijelaskan lebih lanjut seperti pastiche, parodi, kitsch, camp,
31
dan skizofrenia, idiom ini merupakan sebagian saja dari kemungkinan
penjelalasan estetika dalam diskursus seni posmodernisme.
Pastiche adalah karya sastra yang disusun oleh elemen-elemen yang
dipinjam dari berbagai penulis lain atau dari penulis tertentu di masa lalu.
Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche mempunyai
konotasi negatif sebagai miskin kreatif, orisinalitas, keotentikan dan kebebasan.
Parodi adalah suatu bentuk dialog (menurut pengertian Bakhtin), yaitu
satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya. Tujuan parodi adalah untuk
mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman, berkenaan
dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Dalam kaitan ini
parodi menjadi bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai teks, karya atau
gaya. Satu teks karya atau gaya dihadapkan kepada teks, karya atau gaya lainnya
dengan maksud menyindir atau membuat lelucon. Maksudnya adalah kartun
sebagai representasi sosial dihadapkan dengan fenomena sosial atau membawa
pesan-pesan sosial berkaitan dengan tema-tema pada majalah kartun Bog-Bog.
Kitsch berasal dari bahasa Jerman Verkitschen (membuat murah) dan
Kitschen berarti memungut sampah dari jalan. Oleh sebab itu, kitschen sering
ditafsirkan sebagai sampah artistik atau selera rendah (bad taste) atau segala
jenis seni palsu (pseudo-art) yang murahan dan tanpa selera, selera rendah.
Camp adalah satu idiom estetik, yang meskipun sering diperbincangkan,
namun masih menimbulkan pengertian yang kontraditif. Di satu pihak sering
diasiosiasikan dengan pembentukan makna. Di pihak lain justru diasiosiasikan
dengan kemiskinan makna. Camp bukanlah suatu bentuk selera rendah (sampah
artistik) Camp menurut Sontag (1964) adalah satu model estetisisme satu cara
32
melihat dunia sebagai satu fenomena estetik. Namun estetik bukan dalam
pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian
keartifisialan dan pengayaan. Estetisme semacam ini dipandang positif dalam
hal peranannya dalam pengembangan gaya. Karena semacam pemberontakan
menentang gaya elit kebudayaan tinggi.
Skizofrenia adalah istilah pada awalnya digunakan untuk menjelaskan
fenomena psikis dalam diri manusia, kemudian fenomena lebih luas, yaitu
fenomena bahasa (Lacan), sosial, ekonomi, sosial politik dan estetik (Piliang,
2010:187-202). Lebih lanjut dikatakan Peliang skizofrenia adalah kekacauan
struktur bahasa dan psikis, yaitu putusnya rantai penandaan, di mana penanda
(bentuk) tidak dikaitkan dengan satu petanda (makna) dengan cara yang pasti,
sehingga menimbulkan kesimpangsiuran makna (Piliang, 2010-21).
Berkaitan dengan rumusan permasalahan, maka teori estetika
postmodern di atas dapat membantu memecahkan dan membedah masalah yang
terkait dengan rumusan masalah bentuk tampilan atau penyajian kartun sebagai
representasi sosial. Dari kajian ini diperolah pengetahuan gaya penampilan
karakter secara visual maupun penampilan teks, terutama dari pemahaman idiom
parodi, karena salah satu sifat kartun sebagai representasi sosial adalah parodi
atau humoris, dan estetika yang mengacu nilai-nilai postmodern.
Untuk mendukung teori utama yaitu estetika postmodern (dari idiom
parodi) sebagai pemecahan masalah yang pertama, teori simulasi adalah teori
yang relevan untuk masalah tersebut. Menurut Jean Baudrillard dalam buku
Simulations (1983), teori simulasi adalah menciptakan realitas lain di luar
realitas yang sesuai dengan kenyataan yang disebut Baudrillard sebagai
33
hiperrealitas. Dalam pengertian ini, menjelaskan simulasi yang dimaksudkan
Baudrillard adalah menciptakan realitas baru atau realitas imajiner yang
dianggap riil. Faktor yang paling berperan dalam menciptakan realitas baru
(hiperrealitas) adalah media massa dan teknologi informasi, seperti internet,
video kamera, hand phone, dan sebagainya (Suyanto dan Amal (ed) 2010:392).
Baudrillard menguraikan karakter khas masyarakat Barat dewasa ini
sebagai masyarakat simulasi. Menurutnya, kebudayaan Barat dewasa ini
merupakan sebuah representasi dari dunia simulasi. Dunia yang dibangun dari
hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi rasional yang
jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses
produksi serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.
Selanjutnya, Sutinah menjelaskan dalam kebudayaan simulasi kedua tanda
tersebut saling terkait membentuk satu kesatuan. Kesatuan ini oleh Baudrillard
disebut simulakra atau simulakrum, yaitu sebuah dunia yang terbangun dari
sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Masyarakat yang hidup dengan
silang sengkarut kode, tanda, dan model, diatur sebagai produksi dalam sebuah
simulakra. Simulakra yaitu ruang tempat mekanisme simulasi berlangsung.
Simulakrum adalah bentuk jamak dari simulakra merupakan duplikasi dari
duplikasi yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi
dan asli menjadi kabur (Suyanto dan Amal, 2010:391).
Mengacu kepada teori simulasi dalam konteks permasalahan yang
pertama bahwa kartun merupakan hasil ciptaan realitas lain di luar realitas yang
sesuai dengan kenyataan, atau hiperrealitas. Dalam hal ini, bentuk tampilan
kartun sebagai representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi
34
2011/2012 merupakan simulasi yang terbangun dari nilai-nilai fakta, tanda, citra,
dan kode yang disebut juga simulakra atau simulakrum dalam bentuk jamak.
Intinya, kartun sebagai representasi sosial bentuk tampilannya diciptakan oleh
kartunis berdasarkan fakta, deformasi dari bentuk manusia dan lain-lainnya
menjadi realitas lain yang semu dan menjadi bentuk kartun, yang disebut
simulasi. Dalam kartun (simulasi) terjalin hubungan tanda fakta atau real (bentuk
nyata seperti manusia) dengan tanda imajiner (citra) dalam hal ini kartun
menjadi satu kesatuan yang disebut simulakra. Jika bentuk tampilan kartun
sebagai representasi sosial diduplikasi secara terus menerus proses ini disebut
simulakrum.
2.3.2 Teori Ideologi
Gagasan atau ide ialah kawasan atau pemahaman tertentu, sedangkan
ideologi merupakan kristalisasi gagasan menjadi sistem yang bersifat universal
(Sobur, 2003:213). Piliang menguraikan ideologi adalah sistem kepercayaan dan
sistem nilai serta representasinya dalam berbagai media dan tindakan sosial
(2010:18). Franz Magnis Suseno merumuskan ideologi sebagai keseluruhan
sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok
sosial, atau kebudayaan (Sobur, 2003: 214).
Dalam analisis Gramsci, ideologi dipahami sebagai ide, makna dan
praktik yang kendati mengklaim sebagai kebenaran universal, merupakan peta
makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu. Ideologi
tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun merupakan
fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan
aturan prilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan agama yang
35
secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan
norma tindakan terkait (Barker, 2008: 63).
Jika disimak pemahaman ideologi tersebut di atas di antara pengertian-
pengertian yang ada baik uraian yang sederhana maupun lebih kompleks
semuanya mengandung kesamaan makna. Terkait dengan penelitian ini, teori
ideologi ini yang berkaitan dengan pengertiannya relevan untuk menganalisis
permasalahan yang kedua mengenai ideologi apa yang ada di dalam kartun
sebagai representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012. Di
balik proses terjadinya kartun yang didesain oleh para kartunis sebagai
representasi sosial, tidak lepas dari nilai-nilai ideologi yang tercermin di dalam
kartun tersebut. Untuk menemukan ideologi yang tercermin sebagai representasi
sosial dalam majalah kartun Bog-Bog diperlukan penghayatan dan pengkajian
secara seksama.
2.3.3 Teori Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi merupakan salah satu konsep kunci pada
posmodernisme (Lubis, 2006:121). Kalangan pengagum ilmu kritis banyak
menyorotinya sebagai ilmu untuk mengkritisi hal-hal yang dianggap tidak
memberi keadilan bagi kehidupan masyarakat. Jacques Derrida terkenal sebagai
tokoh teori dekonstruksi yang tergolong tokoh filsafat Prancis keturunan Yahudi,
lahir di Ei-Biar (Aljazair) tahun 1930. Derrida dikenal sebagai pemikir
postrukturalis yang bermula dari dekonstruksinya sendiri, yang sesungguhnya
merupakan pembongkaran terhadap pandangan strukturalisme yang
dikembangkan oleh Ferdinand de Sausure, Levi-Strauss, Noam Chomsky, dan
Ramon Jacobson. Dekontruksi dapat diartikan pengurangan atau penurunan
36
intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku.
Dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran pelucutan, penghancuran,
penolakan dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti
semula (Derrida, 1978).
Mendekonstruksi berarti memisahkan, melepaskan dalam rangka mencari
dan membeberkan asumsi suatu teks. Secara khusus, dekonstruksi melibatkan
pelucutan oposisi biner hierarkis semisal tuturan/ tulisan, realitas/penampakan,
alam/kebudayaan, kewarasan/kegilaan, dan lain-lainnya yang berfungsi
menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian
“inferior” oposisi biner tersebut (Barker, 2008: 81). Dekonstruksi juga dapat
diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas konstruksi. Dalam
mendekonstruksi strukturalisme misalnya, kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang
dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur yang lain (Ratna, 2005:250).
Ratna (2005:252), menjelaskan, dalam dekonstruksi dilakukan semacam
pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan
kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan
hahikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Dekonstruksi dalam hal ini bermaksud mendekonstruksi
fenomena sosial dan budaya masyarakat di lapangan melalui dekonstruksi
makna kartun yang visualisasinya bernuansa nilai-nilai budaya Bali yang
posmodern. Dekonstruksi tergolong teori postrukturalisme yang paling kritis
dalam memahami dinamika aspek-aspek kebudayaan ciri utama teori ini adalah
menolak mitos oposisi binner (Ratna, 2005:266).
37
Mengacu kepada deskripsi teori dekonstrusi di atas, teori ini digunakan
untuk menganalisis lebih detail dan mendalam masalah yang ke tiga, yang
berkaitan dengan makna kartun sebagai representasi sosial. Teori dekonstruksi
dapat menciptakan pemahaman dan pengetahuan mengenai makna fenomena
sosial, budaya masyarakat dan lain-lainnya melalui variasi/varian-varian bentuk
penyajian kartun sebagai representasi sosial yang diciptakan oleh para kartunis
yang terlibat di dalam majalah Bog-Bog edisi 2011/2012.
Untuk memperdalam kajian permasalahan yang ketiga selain teori
dekonstruksi digunakan juga teori semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang
tanda dan kode, kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat (Piliang:
2010:21). Semiotik sangat tepat untuk mengkaji permasalahan ke tiga. Semiotika
dari sudut pandang desain grafis adalah ilmu komunikasi yang berkenaan
dengan pengertian tanda-tanda/simbol/isyarat serta penerapannya. Semiotik
adalah studi tentang pemaknaan menyangkut aspek-aspek budaya, adat istiadat
atau kebiasaan di masyarakat (Kusrianto, 2007:58).
Semiotika menurut Peirce adalah “doktrin formal tentang tanda”. Dasar
semiotika adalah konsep tentang tanda: tidak hanya bahasa dan sistem
komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda. Dunia itu sendiri pun sejauh terkait
dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak
begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa
merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia. Sedangkan
tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta
beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis
38
bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan
berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2003:13).
Berdasarkan pengertian semiotika di atas jika dihubungkan mempunyai
kesamaan arti atau makna, yaitu tentang tanda, salah satu cara untuk membahas
makna yang lebih besar adalah dengan makna denotatif dan makna konotatif.
Spradley mengatakan makna denotatif meliputi hal- hal yang ditunjuk oleh kata-
kata (makna represensial). Piliang mengartikan makna denotatif adalah
hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan
tahap denotatif. Makna konotatif Spradley mengertikan makna meliputi semua
signifikasi sugesti dari simbol yang lebih dari arti reperensial. Menurut Piliang,
makna konotatif meliputi aspek mana yang terkait dengan perasaan dan emosi
serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi (Tinarbuko, 2008: 20).
Untuk lebih jelas tentang pemahaman makna denotatif dan makna
konotatif, Kusrianto (2007:61) menambahkan bahwa makna denotatif adalah
makna leksikal, arti yang pokok, pasti dan terhindar dari kesalahtafsiran. Sifat
langsung, konkret dan jelas, tersurat. Makna konotatif memiliki makna struktural
dan memiliki makna tambahan di samping makna sebenarnya dan memiliki sifat
tidak langsung, maya, abstrak, dan tersirat. Lebih lanjut, Danesi mengartikan
makna denotation artinya makna primer dan dimaksud dari sebuah tanda,
sedangkan makna connotation yaitu makna diperluas atau sekunder dari sebuah
tanda.
Dikaitkan pada permasalahan penelitian, teori semiotika baik denotatif
maupun konotatif merupakan teori makna yang relevan untuk memperdalam
kajian permasalahan yang ke tiga. Yakni mengenai makna kartun sebagai
39
representasi sosial dalam majalah kartun Bog-Bog edisi 2011/2012. Kartun yang
mengandung nilai budaya Bali dalam majalah kartun Bog-Bog memiliki makna
langsung dan tidak langsung. Pengertian langsung artinya kartun sebagai
representasi sosial mempunyai makna sesuai dengan fungsinya yakni
menyampaikan informasi atau mengkritisi masalah sosial masyarakat. Makna
tidak langsung adalah makna kartun di balik fungsi yang sebenarnya.
40
2.4. Model Penelitian
Sebagai kajian sosial budaya, penelitian ini menggunakan metode
deskriktif intepretatif terhadap objek material yakni kompleksitas sosial budaya
di sekitar isu-isu dalam media kartun, khususnya majalah kartun Bog-Bog edisi
2011/2012. Sebagai pendekatan, dalam penelitian ini disusun alur penalaran
dalam bentuk skema model penelitian.
Keterangan : = Hubungan langsung= Hubungan timbal balik
Berdasarkan skema model penelitian, maka dapat diuraikan
penjelasannya bahwa setiap individu atau manusia yang hidup bermasyarakat
melakukan hubungan satu dengan yang lain, saling berinteraksi dan mengenal,
bergaul, berkomunikasi antar individu ataupun kelompok sosial dengan tujuan
Kartunis Fenomena Sosial
Bog-Bog BaliCartoon Magazine
Kartun sebagaiRepresentasi Sosial dalam
Bog-Bog Bali CartoonMagazine Edisi 2011/2012
di Denpasar
Masyarakat/Lingkungan
Bentuk TampilanKartun sebagaiRepresentasi
Sosial
Ideologi Kartunsebagai
Representasi Sosial
Makna-maknaKartun sebagaiRepresentasi
Sosial
41
tertentu. Tujuan tertentu ini merupakan sasaran bagi setiap individu atau
kelompok masyarakat yang berinteraksi antarsesama dalam kehidupan
bermasyarakat, baik dari kalangan masyarakat menengah ke bawah maupun
kalangan masyarakat menengah ke atas. Interaksi sosial yang terbangun di
kalangan masyarakat sosial akan menimbulkan dampak positif maupun negatif.
Dampak positif akan memberikan kontribusi kepada masyarakat yang
melakukan kontak/komunikasi sosial antar sesama ataupun kelompok maupun
pemerintah. Dampak negatif akan menimbulkan ketimpangan. Hubungan
masyarakat individu, kelompok, maupun pemerintah dari aspek positif dan
negatif bisa menimbulkan fenomena sosial, budaya, dan lain-lainnya. Hal ini
dapat diterangkan secara ilmiah.
Situasi kondisi atau fenomena sosial muncul akibat interaksi sosial
antarindividu, kelompok masyarakat, maupun pemerintah. Bagi kartunis, hal ini
menjadi materi yang menarik dan aktual untuk digarap menjadi sebuah karya
grafis. Editor majalah kartun Bog-Bog bekerjasama dengan kartunis berkreasi
mendisain berita dengan bahasa visual yang dominan, yaitu kartun dengan
nuansa budaya Bali yang humoris dan aktual. Fungsi kartun dalam hal ini
membawa pesan fenomena sosial yang dikemas dalam tema tertentu. Hubungan
kartunis dengan fenomena sosial merupakan hubungan timbal balik sebagai
subjek dan objek. Kartunis sebagai pencipta kartun sedangkan fenomena sosial
sebagai pesan kartun.
Hubungan kartunis dengan majalah kartun Bog-Bog merupakan
hubungan timbal balik. Majalah kartun Bali tempat menyalurkan inspirasi para
kartunis Bali yang terlibat sebagai tim kreatif yang berkreasi terkait dengan
42
tema-tema yang ditentukan oleh pihak majalah kartun Bog-Bog. Hubungan
fenomena sosial dengan masyarakat merupakan dampak langsung yang diterima
oleh masyarakat, baik positif maupun negatif. Majalah kartun Bog-Bog juga
merupakan sumber munculnya judul penelitian, yaitu Kartun Sebagai
Representasi Sosial dalam Bog-Bog Bali Cartoon Magazine edisi 2011/2012.
Hubungan masyarakat dengan penelitian ini adalah masyarakat sebagai
konsumen atau penikmat diharapkan dapat memahami eksistensi kartun sebagai
representasi sosial di balik tampilannya yang lucu dan bersifat menghibur
tercermin makna sosial sebagai pengetahuan masyarakat atau penikmat.
Permasalahan penelitian dikembangkan ke dalam tiga bagian. Pertama,
bagaimana bentuk tampilan kartun sebagai representasi sosial dalam Bog-Bog
Bali Cartoon Magazine edisi 2011/2012? Untuk mengetahui persoalan secara
mendalam digunakan teori estetika postmodern, dan teori desain komunikasi
visual. Kedua adalah ideologi yang ada di dalam kartun sebagai representasi
sosial dalam Bog-Bog Bali Cartoon Magazine edisi 2011/2012? Untuk
menemukan ideologi yang ada di dalam permasalahan ini digunakan teori
ideologi. Ketiga yaitu mengenai makna yang tercermin pada kartun sebagai
representasi sosial dalam Bog-Bog Bali Cartoon Magazine edisi 2011/2012?
Terkait dengan masalah ini, maka makna kartun digali lebih mendalam dengan
menggunakan teori dekonstruksi di samping penggunaan teori yang lain,seperti:
teori semiotika dan simulakrum, dalam rangka memberikan penjelasan yang
lengkap.