bab ii kajian pustaka -...

15
5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pendekatan Interaktif a. Pengertian Pendekatan Interaktif Menurut Suardi dalam Warningsih (2006) bahwa interaktif berasal dari kata interaksi sedangkan kata interaksi secara harafiah berasal dari kata “inter” yang berarti antar dan “aksi” yang berarti kegiatan, dengan demikian interaksi adalah kegiatan timbal balik dimana kegiatan yang satu menumbuhkan kegiatan yang lain. Menurut Faire dan Cosgrove sebagai mana dikutip dalam Hilda & Margaretha (2004) mendefinisikan model pembelajaran interaktif sebagai satu pendekatan pembelajaran yang merujuk pada pandangan konstruktivisme. Pendekatan ini dikenal sebagai model pendekatan pertanyaan siswa dimana guru berusaha menggali pertanyaan siswa, sehingga dalam kegiatan pembelajaran guru berusaha untuk membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap materi yang sedang dipelajari dengan cara siswa mengajukan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang ada, kemudian mengadakan penelitian atas pertanyaan siswa. Pendekatan interaktif ini guru dilarang menjawab pertanyaan siswa, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul mencerminkan rasa ingin tahu siswa setelah melakukan kegiatan eksplorasi. Sesuai dengan karakteristik pendekatan interaktif, maka pertanyaan-pertanyaan siswa perlu digali. Kegiatan bertanya dapat membantu siswa untuk memperoleh umpan balik. Siswa yang mengajukan pertanyaan membuat guru dapat mengetahui pengetahuan awal siswa dengan pertanyaan yang diajukannya. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengundang rasa ingin tahu siswa agar termotivasi atau muncul minatnya untuk meneliti atau berinvestigasi (Car dalam Yuhasriati, 2004). Menurut Bell, White dan Gustone dalam Widodo (2006) salah satu bentuk rasa ingin tahu anak adalah mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan siswa merupakan kunci bagi guru untuk mengetahui tentang diri siswa sebab pertanyaan merupakan indikator tentang pengetahuan awal siswa. Menurut Costa dalam Suartini (2007), menyatakan bahwa pertanyaan merupakan alat intelektual yang sering digunakan oleh guru untuk menimbulkan perilaku keingintahuan siswanya, sehingga dapat digunakan untuk memperoleh tujuan kognitif atau memperoleh keterampilan- keterampilan berpikir tertentu. Louisel dan Descamps dalam Suartini (2006), mengemukakan bahwa pertanyaan dalam proses pembelajaran memiliki tiga tujuan pokok, yaitu meningkatkam tingkat berpikir siswa, mengecek pemahan siswa, meningkatkan parsipasi belajar siswa. Menurut Saidiman dalam

Upload: hoangkhanh

Post on 19-Aug-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pendekatan Interaktif a. Pengertian Pendekatan Interaktif

Menurut Suardi dalam Warningsih (2006) bahwa interaktif berasal dari kata interaksi sedangkan kata interaksi secara harafiah berasal dari kata “inter” yang berarti antar dan “aksi” yang berarti kegiatan, dengan demikian interaksi adalah kegiatan timbal balik dimana kegiatan yang satu menumbuhkan kegiatan yang lain. Menurut Faire dan Cosgrove sebagai mana dikutip dalam Hilda & Margaretha (2004) mendefinisikan model pembelajaran interaktif sebagai satu pendekatan pembelajaran yang merujuk pada pandangan konstruktivisme. Pendekatan ini dikenal sebagai model pendekatan pertanyaan siswa dimana guru berusaha menggali pertanyaan siswa, sehingga dalam kegiatan pembelajaran guru berusaha untuk membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap materi yang sedang dipelajari dengan cara siswa mengajukan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang ada, kemudian mengadakan penelitian atas pertanyaan siswa. Pendekatan interaktif ini guru dilarang menjawab pertanyaan siswa, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang menjawabnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul mencerminkan rasa ingin tahu siswa setelah melakukan kegiatan eksplorasi. Sesuai dengan karakteristik pendekatan interaktif, maka pertanyaan-pertanyaan siswa perlu digali. Kegiatan bertanya dapat membantu siswa untuk memperoleh umpan balik. Siswa yang mengajukan pertanyaan membuat guru dapat mengetahui pengetahuan awal siswa dengan pertanyaan yang diajukannya. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengundang rasa ingin tahu siswa agar termotivasi atau muncul minatnya untuk meneliti atau berinvestigasi (Car dalam Yuhasriati, 2004). Menurut Bell, White dan Gustone dalam Widodo (2006) salah satu bentuk rasa ingin tahu anak adalah mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan siswa merupakan kunci bagi guru untuk mengetahui tentang diri siswa sebab pertanyaan merupakan indikator tentang pengetahuan awal siswa. Menurut Costa dalam Suartini (2007), menyatakan bahwa pertanyaan merupakan alat intelektual yang sering digunakan oleh guru untuk menimbulkan perilaku keingintahuan siswanya, sehingga dapat digunakan untuk memperoleh tujuan kognitif atau memperoleh keterampilan-keterampilan berpikir tertentu.

Louisel dan Descamps dalam Suartini (2006), mengemukakan bahwa pertanyaan dalam proses pembelajaran memiliki tiga tujuan pokok, yaitu meningkatkam tingkat berpikir siswa, mengecek pemahan siswa, meningkatkan parsipasi belajar siswa. Menurut Saidiman dalam

6

Hamzah (2005), bertanya merupakan ucapan verbal yang meminta respon dari seseorang yang dikenali. Respon yang diberikan dapat berupa pengetahuan sampai dengan hal-hal yang merupakan hasil pertimbangan. Jadi bertanya, merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan berpikir. Keterampilan bertanya bertujuan untuk merangsang berpikir siswa, membantu siswa dalam belajar, mengarahkan siswa pada tingkat interaksi belajar yang mandiri, meningkatkan kemampuan berpikir tingkat rendah ketingkat tinggi, dan membantu siswa dalam mencapai tujuan pelajaran yang dirumuskan. Sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk menggali informasi, baik administrasi maupun akademis; mengecek pemahan; membangkitkan respon pada siswa; mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; memfokuskan perhatian siswa; untuk membangkitkan lagi pertanyaan dari siswa; untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Syaiful, 2005).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan interaktif yaitu belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukan beberapa kebaikan, yaitu pengetahuan itu bertahan lama diingat, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik, dan secara menyeluruh belajar dengan penemuan sendiri meningkatkan penalaran siswa akan kemampuan berpikirnya secara bebas.

b. Langkah-langkah Pendekatan Interaktif

Menurut Faire dan Cosgrove dalam Margareth (2004), pendekatan interaktif memiliki langkah-langkah yang meliputi tahap persiapan, guru mempelajari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari; tahap pengetahuan awal, guru berusaha menggali apa yang telah diketahui oleh siswa tentang topik yang telah dipelajari; tahap kegiatan eksplorasi, guru menjelaskan topik yang akan dieksplorasi, kemudian baru melakukan eksplorasi; tahap pertanyaan siswa, seluruh siswa menanyakan topik yang akan dipelajari; tahap penyelidikan, guru dan siswa memilih pertanyaan untuk diselidiki; tahap pengetahuan akhir, pengetahuan masing-masing siswa oleh kelompok dikumpulkan dan dibandingkan dengan pengetahuan awal; tahap refleksi, guru dan siswa memberkan komentar tentang hal-hal yang telah dilakukan, kemudian juga menetapkan hal-hal yang perlu dimantapkan.

7

Gambar 2.1 Langkah-langkah Pendekatan Interaktif (Yuliariatiningsih, 2004)

Penerapan pendekatan interaktif pada dasarnya memberikan kesempatan pada siswa untuk melontarkan pertanyaan, menjawab pertanyaan serta mengemukakan pendapat, mengembangkan pola pikir dan daya pikir pada siswa dapat dilatih untuk berpikir kritis. Siswa yang berpikir kritis dapat menjadi aktif, tanggap terhadap perubahan, mudah beradaptasi mandiri dan mempunyai percaya diri yang kuat. Mortimore et al (1988) menemukan efek-efek positif dari seringnya tanya jawab, komunikasi dengan kelas, den menggunakan pertanyaan dan pernyataan “tingkat tinggi”. Studi mutahir lainnya di Englend dan Wales (1993) juga menunjukan pentingnya interaksi bagi pengajaran efektif, dan sekali lagi faktor-faktor seperti sering menggunakan pertanyaan, memberikan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang meminta siswa untuk menjelaskan jawabannya, dan pertanyaan-pertanyaan akadamis yang berhubungan secara signifikan dengan hasil belajar siswa. Berdasarkan studi ini, secara keseluruhan, pengajaran interaktif merupakan salah satu faktor yang berhubungan paling kuat dengan hasil belajar siswa (Muijs dan Reynolds, 1999). Serupa dengan itu, di dalam penelitiannya di Belanda, Venman (1992) menemukan hal ini sebagai sumber elemen krusil pengajaran langsung.

Salah satu kebaikan pendekatan interaktif adalah bahwa “siswa belajar mengajukan pertanyaan, mencoba merumuskan dan mencoba mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaannya sendiri dengan melakukan kegiatan observasi dan penyelidikan” (Sutarno, 2003). Siswa yang seperti itu dapat menjadi kritis dan aktif belajar.

Pengetahuan Awal

Penyelidik

Pengetahuan Akhir

Pertanyaan

persiapan

Kegiatan

Refleksi

perbandingan

Pertanyaan

Susulan

8

c. Kelebihan Pendekatan Interaktif Salah satu kelebihan dari model pendekatan interaktif adalah

bahwa siswa belajar mengajukan pertanyaan secara bebas, mencoba merumuskan pertanyaan, dan mencoba menemukan jawaban terhadap pertanyaan sendiri dengan melakukan kegiatan (observasi, penyelidikan). Cara seperti itu membuat siswa menjadi kritis dan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dilatih untuk dapat bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain, serta tidak memerlukan alat dan tenaga (Sudjana, 2001).

2. Kepercayaan Diri

a. Pengertian Kepercayaan Diri Setiap orang memiliki kepercayaan diri mulai anak-anak, remaja,

maupun orang dewasa semua memiliki kepercayaan diri. Jika kita berbicara tentang kepercayaan diri maka tidak lepas dari kepribadian dan diri (self), karena diri merupakan inti dari kepribadian manusia itu sendiri. Diri (self) meliputi beberapa bagian dan secara umum, oleh Gallahue dan Ozmun (2005), diri dinyatakan sebagai sebuah konsep yang terdiri dari beberapa bagian penyusunan, yaitu: konsep diri (self concept), harga diri (self esteem), citra diri (self image), da percaya diri (self confident). Percaya diri (self confident) dapat berkembang menjadi kepercayaan diri (self confinence) seiring dengan perilaku dan sikap yang menunjukan rasa percaya diri siswa tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa kepercayaan diri merupakan aktualisasi dari rasa percaya diri yang dimiliki oleh siswa. Neill dalam Alias (2009) memberikan pernyataan bahwa “self-esteem and self-efficacy in combination is what constitute self-confidence”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa kepercayaan diri (self-confidence) merupakan hasil kombinasi antar harga diri (self-esteem) dengan kemampuan diri (self-efficacy). Hal ini dapat diartikan bahwa kepercayaan diri dapat berkembang karena adanya sikap atau perilaku serta penilaian yang positif pada siswa tersebut. Kepercayaan diri merupakan penyebab munculnya kekuatan, keterampilan, serta energi yang diperlukan untuk berhasil (Schwartz, 1996).

Kepercayaan diri secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk dapat mencapai tujuan di dalam kehidupannya. Hal ini dapat dipahami karena dengan percaya diri yang tinggi siswa akan dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya dengan yakin dan mantab. Kenyataan sesungguhnya menunjukan hal yang berbeda, banyak orang yang tidak percaya diri dan sebagian besarnya adalah remaja (Afiatin, dkk, 1994). Menurut Lauster (dalam Purnamaningsih, dkk, 2003) menyatakan bahwa

9

percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan (bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan dalam pendidikan. Berbeda dengan Waterman (dalam Nurul, 2005) menyatakan bahwa siswa yang mempunyai rasa percaya diri adalah siswa yang mampu bekerja secara efektif, dapat melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab.

Kepercayaan diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan siswa untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Pervin memberikan pandangan yang memperkuat pernyataan Bandura di atas. Pervin menyatakan bahwa keyakinan diri adalah kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus (Pervin, 1984 dikutip oleh Smet, 1994).

Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah perasaan siswa mengenai kemampuan dirinya untuk membentuk perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang mungkin tidak dapat diramalkan dan mungkin menimbulkan stres.

b. Dimensi Kepercayaan Diri

Bandura (1997) mengemukakan bahwa kepercayaan diri siswa dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu : 1. Tingkat (level)

Kepercayaan diri siswa dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Siswa memiliki kepercayaan diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Siswa yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

2. Keluasan (generality) Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan siswa terhadap

bidang atau tugas pekerjaan. Siswa dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Siswa dengan kepercayaan diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Siswa yang memiliki kepercayaan diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

3. Kekuatan (strength) Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat

kekuatan atau kemantapan siswa terhadap kepercayaannya. Kepercayaan diri bahwa tindakan yang dilakukan akan memberikan

10

hasil sesuai yang diharapkan siswa menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

c. Sumber-Sumber Kepercayaan Diri

Bandura (1986) menjelaskan bahwa kepercayaan diri siswa didasarkan pada empat hal, yaitu: 1. Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar

pengaruhnya terhadap keyakinan diri siswa karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan kepercayaan diri siswa meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya kepercayaan diri, khususnya jika kegagalan terjadi ketika kepercayaan diri siswa belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan kepercayaan diri siswa jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.

2. Pengalaman siswa lain Siswa tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber kepercayaan dirinya. Kepercayaan diri juga dipengaruhi oleh pengalaman siswa lain. Pengamatan siswa akan keberhasilan siswa lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan kepercayaan diri siswa tersebut pada bidang yang sama. Siswa melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika siswa lain dapat melakukannya dengan sukses, maka siswa tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan siswa terhadap kegagalan yang dialami siswa lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian siswa terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha siswa untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan kepercayaan diri siswa mudah dipengaruhi oleh pengalaman siswa lain, yaitu kurangnya pemahaman siswa tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman siswa akan kemampuannya sendiri.

3. Persuasi verbal Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan siswa bahwa siswa memiliki kemampuan yang memungkinkan siswa untuk meraih apa yang diinginkan.

4. Keadaan fisiologis Penilaian siswa akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami siswa memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat

11

bagi siswa bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.

d. Karakteristik Kepercayaan Diri

Lauster dalam Fondra (2006) dan didukung oleh Rini (2002), Guilfrod dalam Saptaningrum (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kepercayaan diri positif dapat digambarkan dari 4 aspek antara lain: a. Cinta diri

Seseorang yang memiliki percaya diri yang positif akan mencintai dirinya sendiri. Cinta diri sendiri diartikan sebagai perilaku seseorang untuk memelihara dirinya sendiri misalnya dengan memperhatikan penampilan dan kebersihan diri.

b. Pemahaman diri Aspek pemahaman diri, individu tidak hanya merenungi,

memikirkan perasaan dan perilaku diri sendiri. Namun seseorang yang memiliki percaya diri positif selalu berusaha ingin tahu bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya sendiri, merasa yakin terhadap apa yang individu lakukan, percaya akan kompetensi atau kemempuan diri sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat dari orang lain, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain yang berarti bahwa berani menjadi dirinya sendiri, serta memiliki ketenangan sikap (misalnya tidak gugup dalam melakukan dan menghadapi sesuatu).

c. Tujuan hidup yang jelas Orang yang percaya dirinya positif selalu memiliki arah dan

tujuan yang akan dicapai dalam hidupnya, hal itu disebabkan karena individu tersebut memiliki pemikiran yang jelas serta alasan mengapa melakukan tindakan-tindakan dan mengetahui hasil yang dapat diharapkan dari tindakan-tindakan tersebut, tidak terdorong untuk menunjukan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok, serta memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri sehingga ketika harapan itu terwujud individu tetap mampu melihat sisi positif dari dirinya dan situasi yang terjadi.

d. Berpikir positif Berpikir positif merupakan cara berpikir yang menekankan

pada segi positif dari suatu keadaan atau diri sendiri. Efek lain dari kecenderungan seseorang memusatkan perhatian pada aspek positif adalah pada penyesuaian siswa terhadap situasi yang dihadapi, punya pengendalian diri yang baik (emosi stabil dan tidak moody), memiliki internal locus of control yaitu memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah

12

menyarah pada nasib dan keadaan, serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain.

Menurut Hakim (2002), ciri-ciri orang yang percaya diri positif dapat dilihat dari beberapa hal antara lain mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai; memiliki kemampuan bersosialisasi yaitu mampu menyasuaikan diri dan berkominikasi diberbagai situasi; memiliki kondisi mental dan fisik yang cukup menuju penampilan; memiliki kecardasan yang cukup; memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup; memiliki keahlian atau keterampilan lain yang menunjang kehidupannya, misalnya keterampilan berbahasa asing; memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik; memiliki pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat; dan tahan di dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

Ciri-ciri kepercayaan diri yang positif tersebut dapat diringkas dalam 4 hal secara garis besar yaitu orang yang memiliki kepercayaan diri yang positif adalah orang yang cinta diri, memiliki pemahaman diri, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan berpikir positif.

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

Kepercayan diri juga membutuhkan hubungan dengan orang lain di sekitar lingkungannya. Banyak hal yang mempengaruhi kepercayaan diri yang dimiliki individu. Dapat dikatakan bahwa kepercayaan diri yang baik dan positif tidak terbentuk dengan sendirinya melainkan berkaitan dengan seluruh kepribadian seorang secara keseluruhan.

Faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada kepercayaan diri siswa adalah: a. Keadaan fisik

Anthony dalam Rini (2002), menyatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Keadaan fisik siswa akan berpengaruh terhadap kepercayaan diri. Individu yang memiliki fisik yang kurang sempurna akan menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada dirinya sendiri, karena individu merasa ada yang kurang dalam dirinya yang membuatnya berbeda dengan individu yang lain. Keadaan tersebut menimbulkan perasaan kurang percaya diri dan merasa dirinya kurang berharga.

b. Konsep diri Menurut Centi dalam Rini (2002), konsep diri merupakan

gagasan tentang dirinya sendiri. Terbentuknya kepercayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai kepercayaan diri akan memiliki konsep diri

13

yang positif. Antara laiki-laki dan perempuan pun memiliki konsep diri yang berbeda. Perempuan memiliki sifat feminim yang membuat perempuan cenderung pasif, tidak terus terang, tidak percaya diri dan cenderung lemah lembut. Sedangkan laki-laki memiliki sifat maskulin yang membuat laki-laki agresif, sangat bebas, sangat dominan, sering menggunakan logika, dan sangat percaya diri (Dagun dalam Saptaningrum, 2005).

c. Harga diri Menurut Nur Hayati dalam Persada (2009), salah satu aspek

yang berpengaruh dalam kepribadian remaja dalah harga diri; semakain tinggi harga dirinya, diharapkan semakin matang pribadinya, makan akan timbul rasa percaya diri yang tinggi sehingga mampu menghasilkan hasil yang tinggi pula. Harga diri yang tinggi seseorang akan dapat mengaktualisasikan potensi dirinya. Umpan balik yang diperoleh dari pengaktualisasian potensi ini adalah bila positif akan meningkatkan kepercayaan diri individu dan mempunyai fungsi mendorong individu meraih kesuksesan.

d. Usia Kepercayaan diri terbentuk dan berkembang sejalan

dengan berjalannya waktu. Penolakan atau kegagalan bagi remaja merupakan suatu yang sangat menyakitkan sehingga kepercayaan diri pada remaja begitu rapuh untuk menghadapi penolakan dan kegagalan tersebut.

e. Lingkungan keluarga Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama

dan utama dalam kehidupan setiap manusia, lingkungan sangat berpengaruh pembentuk awal percaya diri pada individu. Percaya diri dapat tumbuh dan berkembang baik sejak kecil, jika seseorang berada di dalam lingkungan keluarga yang baik, namun sebaliknya jika lingkungan tidak memadai menjadikan individu tersebut untuk percaya diri, maka individu tersebut akan kehilangan proses pembelajaran untuk percaya pada dirinya sendiri.

f. Pendidikan Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Anthony

dalam Rini (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa di bawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Monk (2005), menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai pengaruh dalam menentukan kepercayaan diri. Semakin tinggi pendidikan semakin banyak yang telah dipelajari dan hal ini berarti bahwa individu dapat semakin

14

mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya dan individu dapat menentukan standar keberhasilannya.

f. Proses Pembentukan Kepercayaan Diri

Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instan, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi diusia dini merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan kepercayaan diri. Sikap orangtua akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu (Rini, 2002).

Menurut para psikologi, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan stendar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak tersebut. Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga masa kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Orangtua yang kurang memberi perhatian pada anak, sering memarahi anak, kemudian jika anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah-olah orangtua menunjukan ketidakpercayaan mereka pada kemauan dan kemandirian anak dengan sikap yang overprotecktive yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi masalah dan tantangannya sendiri, segala sesuatu disediakan dan dibantu oleh orangtua. Anak akan merasa bahwa dirinya lemah, buruk, tidak dicintai, tidak dibutukkan, selalu gagal, tidak pernah membanggakan orangtua.

Lain halnya dengan orang tua yang menunjukan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan kepercayaan diri pada anak tersebut. Pada saat ia melakukan kesalahan pun anak akan melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi oleh orangtuanya. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai dimata orangtuanya. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksistensinya, yang dikemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri, seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya (Rini dalam Fondra, 2010).

Hakim (2010) memberikan pernyataannya tentang proses membentuk sikap kepercayaan diri yang positif, yaitu terbentuknya

15

kepribadian sesuai dengan proses perkembangan individu yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu dalam diri individu, pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya akan melahirkan keyakinan yang kuat dalam diri untuk dapat berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan tersebut, pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya diperlukan agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau sulit untuk dapat menyesuaikan diri, pengalaman dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya. Senada dengan yang dikemukakan oleh Hakim dan Neill dalam Alias (2005), terhadap beberapa hal yang berkaitan erat dengan pembentukan kepercayaan diri antara lain self-concept (konsep diri), yaitu bagaimana kita menyimpulkan diri secara keseluruhan, bagaimana kita melihat potret diri secara keseluruhan, bagaimana kita mengkonsepsikan diri secara keseluruhan; self-esteem (harga diri), yaitu sejauh mana kita mempunyai perasaan positif terhadap diri kita, sejauh mana kita memiliki sesuatu yang kita rasakan bernilai atau berharga dari diri kita, sejauh mana kita meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga di dalam diri kita; self-efficacy (keyakinan diri), yaitu sejauh mana kita mempunyai keyakinan atas kepastian yang kita miliki untuk dapat menjalankan tugas atau menangasi persoalan dengan hasil yang baik (ini yang disebut dengan general self-efficacy), atau juga sejauh mana keyakinan dan kapasitas kita dalam menangani urusan tertentu (inilah yang disebut dengan specific self-efficacy).

3. Hasil Belajar Matematika

a. Pengertian Hasil Belajar Matematika Hasil belajar adalah proses perubahan tingkah laku seseorang

dalam bertindak atau beraktifitas menuju pembenaran, dari belum mampu kearah sudah mampu. Perubahan tingkah laku seseorang dalam pengertian belajar memiliki ciri-ciri perubahan yang terjadi secara sadar, perubahan dalam belajar dalam arti kontinyu, perubahan dalam belajar bertujuan satu arah, dan pembahasan mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2010).

Menurut Sudjana (1990), hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya, berbeda dengan teori Bloom (dalam Sudjana, 2007) yang membagi tiga hasil belajar mejadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintesis, dan evaluasi. Ranah afaktif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu penerimaan,

16

jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enem aspek ranah psikomotoris, yakni gerakan refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerak keterampilan kompleks, dan gerak ekspresif dan interpretatif.

Menurut Gagne (2001), hasil belajar berupa Informasi verbal, kapabilitas mengungkapkan pengetehuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis; Keterampilan intelektual, kemempuan mempresentasikan konsep dan lambang; Strategi kognitif, kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri; Keterampilan motorik, kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujut otomatisme gerak jasmani; Sikap, kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas tentang hasil belajar, penelitian ini mengacu pada pendapat Abidin (2004) bahwa hasil belajar adalah penggunaan angka pada hasil tes atau prosedur penilaian sesuai dengan aturan tertentu atau dengan kata lain untuk mengetahui daya serap siswa setelah menguasai mata pelajaran yang telah diberikan. Jadi hasil belajar matematika adalah kemampuan-kemampuan/pengalaman baik kognitif, ajektif maupun psikomotorik yang diperoleh dari proses belajar mengajar tentang matematika yaitu suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan simbil-simbol yang kemudian diterapkan pada situasi nyata.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Azwar (2002) dan Slameto (2003) menyatakan bahwa keberhasilan dalam belajar dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) dari siswa. Faktor internal dibedakan menjadi dua, pertama adalah fisik yaitu panca indra dan kondisi fisik umum. Kedua adalah psikologis yaitu variabel nonkognitif seperti minat, motivasi, dan variabel-variabel kepribadian; serta kemampuan kognitif seperti kemampuan khusus (bakat) serta kemampuan umum (intelegensi). Faktor eksternal juga dibedakan menjadi dua, pertama adalah fisik yaitu kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran, serta kondisi lingkungan belajar; kedua adalah sosial yaitu dukungan sosila dan pengaruh budaya.

Tu’u (2004) mendefinisikan faktor-faltor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain kecerdasan, tingkat kecerdasan sangat penting dan dominan dalam menentukan nilai yang dicapai siswa sebagai hasil belajar; usaha diri, pelajaran yang didapat di sekolah kadang-kadang dirasakan kurang sehingga perlu ditambah lagi dengan belajar di rumah; les private,

17

salah satu wujud dari usaha diri adalah menambah pelajaran yang diterima di sekolah dengan ikut bimbingan belajar; teman gaul, dapat berdampak baik juga dapat berdampak buruk, oleh sebab itu orang tua dan siswa bertanggung jawab menentukan pilihan teman gaulnya; dan waktu yang cukup untuk belajar.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpukan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah bersumber dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal).

c. Manfaat Hasil Belajar

Douglas Bentos dalam Kustiani (2006) menyatakan bahwa hasil belajar harus menunjukkan perubahan keadaan menjadi lebih baik, sehingga dapat bermanfaat untuk menumbuhkan pengetahuan; lebih mengetahui sesuatu yang belum dipahami sebelumnya; lebih mengembangkan keterampilannya; memiliki pandangan yang baru atas sesuatu hal; lebih menghargai sesuatu daripada sebelumnya. Mengacu pada kutipan dari Douglas Bentos dapat disimpulkan bahwa istilah hasil belajar merupakan perubahan dari siswa sehingga terdapat perubahan dari segi pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Menurut Syamsudin (2002), menyatakan bahwa akhir proses belajar siswa akan mendapat manfaat hasil belajar sebagai makna manifestasi perbuatan belajar. makna tersebut meliputi belajar memberikan perubahan fungsional sehingga hasil belajar dapat ditafsirkan ke bidang-bidang lain; belajar dapat memperkaya pengatahuan; dan belajar mampu merubah perilaku merubah pribadi seseorang secara keseluruhan. ketiga makna manfaat hasil belajar tersebut akan didapat oleh setiap manusia baik belajar secara formal maupun informal.

B. Penelitian yang Relevan

Ika (2009) melakukan penelitian dengan judul “Usaha Peningkatan Kepercayaan Diri Siswa Mengerjakan Soal Matematika Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Interaktif Terhadap Siswa SD Negeri Muncar 1 kelas IV” mengatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan interaktif memiliki pengaruh terhadap kepercayaan diri dan hasil belajar pada Mata Pelajaran Matematika.

Dwi Apriyani (2008) melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Biologi Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Interaktif Pada Konsep Sistem Pernapasan Pada Manusia”. Penelitian ini dilakukan di MTsN Jakarta jurusan Biologi yang menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan interaktif membuat 94% siswa merasa senang dan termotivasi dalam mengikuti pembelajaran Sains. Siswa lebih mudah dalam

18

memahami meteri yang disampaikan oleh guru, sehingga hasil belajar siswa mencapai target yang diinginkan.

Penelitian serupa telah dilakukan oleh Suprayekti (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Interaktif Pada Mata Pelajaran IPA di SD” dan menghasilkan kesimpulan bahwa kinerja belajar siswa meningkat setelah pembelajaran IPA menggunakan model pendekatan interaktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja belajar siswa meningkat, siswa sangat antusias membahas topik dan berusaha menjawab dan menemukan informasi tentang topik tersebut. Hasil belajar siswa meningkat pada siklus pertama nilai rata-rata siswa 5,889%, pada siklus kedua nilai rata-rata siswa 6,512%, dan pada siklus ketiga nilai rata-rata siswa 7,948%. Berdasarkan nilai yang diperoleh siswa dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran interaktif dapat digunakan pada penelitian tindakan kelas dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Mariyati (2012) melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Interaktif Terhadap Hasil Belajar Pada Materi Matematika Geometri Kelas III SD Negeri Tonjong 1”. Berdasarkan analisis data penelitian tersebut diperoleh peningkatan hasil belajar pada pratindakan rata-rata nilainya 63,33%, pada siklus I nilai rata-ratanya 75,00%, dan pada siklus II nilai rata-ratanya adalah 91,80%.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas, penelitian ini menunjukan bahwa kepercayaan diri dan hasil belajar siswa dapat meningkat dengan pembelajaran menggunakan pendekatan interaktif. Pendekatan interaktif menumbuhkan keberanian siswa, kemempuan bertanya siswa, serta siswa menjadi aktif dalam mengikuti pembelajaran. Pembelajaran ini membuat kinerja siswa meningkat sehingga siswa dapat mengungkap gagasan serta dapat meningkatkan hasil belajarnya, selain itu siswa dilatih untuk bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain, kemudian siswa yang diberikan stimulus secara positif, akan meningkatkan kepercayaan diri dan kemempuan bidang kognitifnya yang secara otomatis akan meningkatkan hasil belajar. Pendekatan interaktif ini yang paling tepat untuk digunakan sebagai pembelajaran di kelas agar kepercayaan diri hasil belajar siswa meningkat.

C. Kerangka Berpikir

Matematika adalah salah satu pelajaran yang diajarkan di sekolah. Matematika adalah fakta-fakta objektif, sebuah studi tentang alasan dan logika, sebuah sistem di sekitar kita yang murni dan cantik, bebas dari pengaruh sosial, berdiri sendiri, dan mempunyai struktur yang saling berhubungan. Selain itu, matematika adalah studi tentang pola-pola abstrak di sekitar kita, sehingga apapun yang kita pelajari di dalam matematika dapat diaplikasikan secara luas. Matematika dikarakteristikkan sebagai sebuah alat untuk menyelesaikan masalah.

19

Individu akan dapat berhasil dalam kehidupannya terutama dalam bidang akademik dapat dikarenakan adanya beberapa faktor yang terkait paling mendasar dalam praktek kehidupannya. Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana individu memperjuangkan keinginanya untuk meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan individu dalam menghadapi masalah yang menghambat usaha dan perjuanganya dalam mencapai keinginananya. Oleh karena itu dalam proses belajar matematika diperlukan penerapan suatu strategi, model dan pendekatan dalam pembelajaran. Hal itu sangat penting dalam meningkatkan kemampuan siswa secara konstruktif dan mengarah kepada hasil belajar.

Proses dalam belajar mengajar guru harus memiliki strategi dan pendekatan pembelajaran yang tepat, efektif, efisien dan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu dalam proses belajar matematika diperlukan kepercayaan diri yang nantinya kepercayaan diri tersebut akan menumbuhkan motivasi dalam belajar sehingga kepercayaan diri dapat memberikan kontribusi yang positif dalam pencapaian hasil belajar yang diharapkan.

Pendekatan pembelajaran yang memusatkan pembelajaran pada siswa yaitu dengan menggunaan pendekatan interaktif. Pendekatan interaktif memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan dapat merangasang siswa untuk memperoleh umapan balik dan mengundang rasa ingin tahu siswa agar termotivasi untuk menyelidiki jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, maka secara mental menemukan pengetahuan yang berupa konsep, prinsip maupun keterampilan pengetahuan yang dapat bertahan lama, dan mempunyai efek yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan hasil belajar siswa. Penelitian ini akan meneliti seberapa besar peningkatan hasil belajar, dan mengetahui seberapa besat tingkat kepercayaan diri siswa di SMA Negeri 1 Getasan.