bab ii kajian pustaka 2.1 remaja...sampai 0,9 mg fe per hari. remaja putri memerlukan zat besi...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.
2.
2.1 Remaja
Pengertian remaja menurut WHO adalah kelompok penduduk yang
berusia antara 10-19 tahun yang memiliki ciri-ciri sedang mengalami transisi
biologis (fisik), psikologis (jiwa) maupun sosial ekonomi. Desmita dan Idhami
(2006), menyebutkan bahwa rentang remaja bisa dibagi menjadi empat kelompok
yaitu:
a. Masa pra remaja : usia 10-12 tahun
b. Masa remaja awal : usia 12-15 tahun
c. Masa remaja pertengahan : usia 15-18 tahun
d. Masa remaja akhir : usia 18-21 tahun
Pada remaja putri, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan
sebelum mengalami menstruasi pertama yaitu sekitar usia 10-14 tahun (Briawan,
2007). Selama masa remaja, kebutuhan zat besi akan meningkat drastis sebagai
hasil dari ekspansi total volume darah, peningkatan massa lemak tubuh dan
terjadinya menstruasi. Pada wanita, kebutuhan akan zat besi yang tinggi
disebabkan oleh kehilangan darah pada saat menstruasi. Secara keseluruhan,
kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan sebelum masa remaja sebesar 0,7
sampai 0,9 mg Fe per hari. Remaja putri memerlukan zat besi sebesar 2,2 mg per
hari dan kebutuhan ini akan meningkat pada saat menstruasi (Wiseman, 2002).
Siswa SMP dengan batasan usia sekitar 12-15 tahun, termasuk dalam
tahap perkembangan pubertas atau remaja awal sampai remaja pertengahan
15
16
dengan proses perkembangan biopsikososial yang perlu mendapat perhatian dari
orang tua (keluarga), guru (sekolah), dan masyarakat. Berdasarkan data Riskesdas
2010, rata-rata usia menarche (menstruasi pertama kali) di Indonesia adalah usia
12-15 tahun, namum rata-rata usia menarche pada remaja putri di Bali adalah usia
13-14 tahun yang mencapai 40,5%. Selain pertumbuhan fisik yang cepat,
pengeluaran darah melalui menstruasi juga meningkatkan kebutuhan remaja akan
zat besi. Idealnya remaja putri sudah diperkenalkan dengan tablet besi sebelum
mereka memasuki tahap menarche sehingga mereka akan terbiasa secara mandiri
untuk mengonsumsi tablet besi.
Wanita cenderung memiliki simpanan zat besi yang lebih rendah
dibandingkan dengan pria. Hal ini yang mengakibatkan wanita lebih rentan
mengalami anemia defisiensi zat besi. Jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit
atau jika bioavailabilitasnya rendah, maka cadangan zat besi dalam tubuh yang
akan digunakan dan hal tersebut dapat menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason
dan Sharmanov, 2002).
Sekitar 19% dari total remaja di dunia mengalami permasalahan gizi yang
cukup serius yang akan berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja
serta kehidupan saat dewasa nanti. Masa remaja merupakan masa yang penting
dalam daur hidup manusia, karena remaja mengalami perkembangan fisik,
psikologis dan kognitif yang sangat cepat. Peningkatan kebutuhan zat gizi pada
masa remaja berkaitan dengan pertumbuhan yang dialaminya (WHO, 2001).
Remaja putri memiliki risiko yang lebih tinggi mengidap ADB daripada
remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulannya mengalami menstruasi
17
sehingga membutuhkan lebih banyak zat besi pengganti. Alasan kedua adalah
karena remaja putri seringkali menjaga penampilan (body image), berkeinginan
untuk tetap langsing atau kurus sehingga melakukan diet dan pengurangan
makanan yang ekstrim. Diet yang tidak seimbang akan menyebabkan tubuh
kekurangan zat gizi yang penting termasuk zat besi (Gleason, 2007).
Remaja putri yang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP)
merupakan kelompok remaja awal yang memiliki rentang usia antara 12-15 tahun.
Pada tahap ini, remaja putri akan mengalami menarche yang merupakan salah satu
cara kehilangan zat besi dari dalam tubuh manusia. Pada tahap ini pula remaja
putri akan lebih memperhatikan body image sebagai alasan agar dapat diterima
oleh kelompok sebayanya yang mengharuskan remaja tidak memenuhi kebutuhan
nutrisi dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Oleh karena itu remaja putri SMP
perlu diberikan promosi kesehatan mengenai anemia sedini mungkin agar angka
kejadian anemia pada remaja putri dapat ditanggulangi.
2.2 Anemia Defisiensi Besi (ADB)
2.2.1 Definisi anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
dibawah normal akibat kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial yang
diperlukan dalam pembentukan serta produksi sel-sel darah merah tersebut.
Anemia defisiensi besi adalah jenis anemia yang paling sering terjadi. Menurut
WHO, ambang batas kadar hemoglobin normal pada wanita usia 11 tahun keatas
adalah 12 gr/dl. WHO mengklasifikasikan anemia berdasarkan kadar hemoglobin
seseorang, yakni :
18
Tabel 2.1 Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Kadar Hemoglobin
Normal
Ringan
Sedang
Berat
12 gr/dl – 14 gr/dl
11 gr/dl – 11,9 gr/dl
8 gr/dl – 10,9 gr/dl
< 8 gr/dl
Sumber: Trivedi and Palta (2007) & WHO (2011)
2.2.2 Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis (Handayani dan
Haribowo, 2008; Bakta, 2013)
a. Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
a). Besi : anemia defisiensi besi
b). Vitamin B12 dan asam folat : anemia megaloblastik
2. Gangguan utilisasi besi
a). Anemia akibat penyakit kronik : hemoroid, infeksi cacing tambang,
menorrhagia, metrorhagia, hematuria, hemoptoe, dll
b). Anemia sideroblastik
3. Kerusakan jaringan sumsum tulang
b. Kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia pasca perdarahan kronik
c. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
1. Faktor ekstrakorpuskuler
2. Faktor intrakorpuskuler : gangguan membran, gangguan enzim dan
gangguan hemoglobin
19
2.2.3 Penyebab Anemia Defisiensi Besi (ADB)
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya ADB menurut Depkes
(2001), yaitu :
a. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi dan infeksi penyakit.
Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan karena kurangnya asupan
makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup, namun bioavailabilitas
rendah, serta makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorpsi
besi. Infeksi penyakit yang umumnya memperbesar resiko anemia adalah
cacing dan malaria.
b. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadap wanita,
aktivitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu
dan anak wanita tidak menjadi prioritas.
c. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain rendahnya pendidikan,
rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang
sulit.
Menurut Depkes (2003), penyebab ADB pada remaja putri adalah :
1. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri tinggi, dibanding
makanan hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi.
2. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan
mempertahankan berat badannya.
3. Remaja putri mengalami menstruasi tiap bulan yang membutuhkan zat besi
tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki.
20
ADB dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) kandungan zat
besi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi
kebutuhan, 2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan 3) meningkatnya
pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama ADB yang paling umum
diketahui adalah 1) kurangnya kandungan zat besi dalam makanan yang
dikonsumsi, 2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, 3) adanya
zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan 4) adanya parasit dalam tubuh
seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan darah yang banyak
seperti pada kasus kecelakaan dan operasi (Biesalski and Erhardt, 2007).
Kebutuhan zat gizi sangat berhubungan dengan besarnya tubuh, sehingga
kebutuhan zat gizi yang tinggi terdapat pada periode pertumbuhan cepat (growth
spurt). Oleh karena itu kebutuhan zat gizi juga meningkat pada remaja. Selain itu,
peningkatan kebutuhan zat gizi ini juga didasarkan pada aktivitas fisik remaja
yang meningkat. Growth spurt pada perempuan terjadi pada usia 10-12 tahun.
Kebutuhan gizi seimbang pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kemampuan keluarga untuk membeli makanan, pengetahuan tentang gizi,
pekerjaan, kebiasaan atau gaya hidup (diet, makanan siap saji, obat-obatan, rokok
atau alkohol). Pengaruh status gizi ini erat kaitannya dengan anemia defisiensi
besi (ADB) (Lailiyana, dkk., 2010).
Pada dasarnya kekurangan zat besi disebabkan karena keseimbangan
negatif antara pemasukan dan pengeluaran zat besi ke dalam tubuh. Sebagian
besar penderita defisiensi besi di negara berkembang termasuk Indonesia
disebabkan oleh minimnya makanan yang mengandung zat besi dan rendahnya
21
konsumsi makanan yang dapat memberikan kontribusi terhadap penyerapan zat
besi dan metabolisme zat besi seperti vitamin C, asam folat dan vitamin A.
Disamping itu, tingginya frekuensi pengeluaran darah kronis seperti pada
investasi cacing dan malaria juga memberikan dampak yang besar kepada
kejadian anemia. Pada gambar di bawah ini akan dijelaskan mengenai penyebab
langsung dan tidak langsung dari ADB.
Sumber : Florentino, 1984
Gambar 2.1 Penyebab langsung dan tidak langsung ADB
(Sumber : Florentino & Guiriec, 1984)
Faktor tidak langsung Faktor langsung Status gizi
a. Ketersediaan Fe dalam
makanan kurang
b. Praktek pemberian
makanan kurang baik
c. Sosial ekonomi rendah
a. Komposisi makanan
kurang beragam
b. Terdapat zat-zat
penghambat absorbsi Fe
a. Pertumbuhan fisik yang
cepat
b. Kehamilan dan
menyusui
a. Perdarahan akut dan
kronis
b. Sanitasi yang buruk
c. Parasit
a. Pelayanan kesehatan
rendah
Jumlah Fe dalam
makanan tidak
mencukupi
Absorbsi Fe yang
rendah
Kebutuhan Fe
meningkat
Kehilangan darah
Penyakit infeksi
ADB
22
Berdasarkan faktor-faktor penyebab ADB pada gambar di atas, maka
faktor-faktor yang terkait dengan kejadian ADB pada remaja putri, adalah sebagai
berikut:
a. Status gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Pada periode remaja, 50% tinggi
badan dan 20% berat badan saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan
zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro
dan mikro akan berdampak pada pertumbuhan dan akan menghambat pematangan
seksual. Wanita dengan status gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan
fisik dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang
memiliki status gizi buruk, maka pertumbuhan fisik akan lambat dan akan
terlambat mengalami menstruasi (Kurz and Galloway, 2000; Briawan, 2007).
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara yang sederhana untuk
memantau status gizi. IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam
hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi berat badan
dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi dalam satuan meter kuadrat.
Thompson (2007) dalam Arumsari (2008)mengemukakan bahwaIMT memiliki
korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin. Hal tersebut juga sejalan dengan
hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja
yang memiliki IMT kurang atau kurus, akan memiliki risiko 1,5 kali untuk
23
menjadi anemia.Berdasarkan hasil uji statistik penelitian Gunatmaningsih (2007)
menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada
remaja putri di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes (p=
0,002). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan status gizi tidak normal
mempunyai risiko 2,175 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.
b. Menstruasi
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi
adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai dengan pelepasan
endometrium. Lamanya menstruasi biasanya antara 3-5 hari. Dari hasil penelitian
Adriana (2010) didapatkan hubungan yang bermakna antara perdarahan pada saat
menstruasi (lama haid, banyak darah dan siklus menstruasi) dengan kejadian
anemia pada remaja putri. Remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya,
dimana kehilangan zat besi ± 1,3 mg per hari, sehingga kebutuhan zat besi lebih
banyak dari pada pria. Selain itu, setiap hari manusia kehilangan zat besi 0,6 mg
yang akan diekskresikan khususnya melalui feses (tinja).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa persentase ADB lebih tinggi
(53,8%) pada remaja putri yang memiliki lama haid lebih dari 6 hari dibandingkan
dengan remaja putri dengan lama haid yang normal (31,1%) dan menunjukkan
hubungan yang bermakna.Hasil penelitian Herman (2006) juga mendapatkan
persentaseADB lebih tinggi (65,7%) pada kelompok remaja dengan pola haid
yang tidak normal, sedangkan pada remaja dengan pola haid yang normal (3-6
hari) didapatkan kejadian anemia yaitu sebesar 16%.
24
c. Riwayat penyakit
Penyebab langsung terjadinya ADB adalah penyakit infeksi, yaitu
cacingan, TBC, dan malaria. ADB dapat diperberat oleh investasi cacing tambang.
Cacing tambang yang menempel pada dinding usus akan menghisap darah. Darah
penderita sebagian akan hilang karena gigitan dan hisapan cacing tambang. Setiap
hari 1 ekor cacing dapat memakan darah 0,03 ml sampai 0,15 ml, sehingga untuk
menyebabkan anemia diperkirakan harus ada 2000 ekor cacing. Disamping cacing
tambang, cacing gelang secara langsung maupun tidak langsung juga dapat
menimbulkan kekurangan zat besi, karena berkurangnya nafsu makan dan
gangguan penyerapan.
Di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit infeksi cacing tambang
masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia gizi, karena
diperkirakan cacing dapat menghisap darah 2-100 cc setiap harinya(Masrizal,
2007).Berdasarkan penelitian Lestari& Dwi (2006), remaja putri dengan investasi
cacing memiliki resiko 4,47 kali lebih besar menjadi anemia dibandingkan
responden yang tidak terinvestasi cacing. Pada tahun 2006, penelitian Wijiastuti
pada remaja putri di Tsnawiyah Negeri Cipondoh-Tangerang mendapatkan
hubungan yang bermakna antara investasi cacing dengan kejadian anemia. Hal
yang sama juga didapatkan dari hasil penelitian oleh Kaur, dkk di pedesaan
Wardha, India tahun 2006, remaja putri dengan investasi cacing memiliki risiko
menderita anemia 4,11 kali dibandingkan dengan remaja putri yang tidak
memiliki investasi cacing.
25
d. Konsumsi pangan
Sumber zat besi terutama zat besi heme yang biovailabilitasnya tinggi
sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang termasuk
Indonesia. Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola
konsumsi makanan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, bahan pangan hewani sebagai
sumber zat besi yang baik (heme) sangat jarang dikonsumsi terutama oleh
masyarakat pedesaan (Beard, 2008).
Menurut Almatsier (2002), diperkirakan hanya 5-15% zat besi dari
makanan diabsorbsi oleh seseorang yang berada dalam status besi yang baik dan
jika dalam keadaan defisiensi besi, maka absrobsi dapat mencapai 50%. Besi
heme yang terdapat dalam sumber makanan hewani dapat diserap dua kali lipat
dari pada besi non heme yang terdapat pada makanan nabati.
Hasil survei menunjukkan bahwa remaja gemar mengonsumsi minuman
ringan (soft drink), teh dan kopi. Kebiasaan mengonsumsi teh dan kopi pada
masyarakat di Indonesia mempengaruhi penyerapan zat besi. Mengonsumsi teh
atau kopi satu jam setelah makan akan menurunkan absorbsi besi hingga 40%
untuk kopi dan 85% untuk teh (Chairiah, 2012).
Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok dalam
memilih pangan dan konsumsinya sebagai reaksi terhadap fisiologis, psikologis,
psikososial dan budaya. Kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk.
Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan makan yang dapat mendorong
terpenuhinya kecukupan zat gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah
26
kebiasaan makan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi.
Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang sebagai akibat dari proses yang
diperoleh dari lingkungan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Bahan makanan penunjang kebutuhan zat besi adalah daging, ayam, ikan, bahan
makanan dari laut dan vitamin C. Sedangkan zat-zat yang menghambat adalah
teh, kopi dan susu. Diperkirakan zat besi yang dapat diabsorpsi oleh tubuh dari
makanan antara 1-40% (Gleason, 2007).
2.2.4 Tanda-tanda anemia
Gejala anemia biasanya Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lunglai (5L), sering
mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang. Gejala lebih lanjut adalah kelopak
mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi pucat. Penderita anemia selain
ditandai dengan mudah lemah, letih, lesu, nafas pendek, muka pucat juga ditandai
dengan susah berkonsentrasi serta fatique atau rasa lelah yang berlebihan
(UNICEF, 2002).
2.2.5 Dampak ADB
Penelitian immunologi menunjukkan bahwa kekurangan zat besi dalam
tubuh dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi. Dimana seseorang
yang menderita defisiensi besi lebih mudah terserang penyakit infeksi, karena
defisiensi besi erat hubungannya dengan kerusakan kemampuan fungsional dari
mekanisme kekebalan tubuh yang sangat diperlukan untuk mencegah masuknya
kuman penyakit ke dalam tubuh.
27
ADB pada remaja juga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
menurunnya tingkat kecerdasan. Remaja yang menderita ADB akan mengalami
gangguan pertumbuhan, penurunan daya konsentrasi belajar serta kurang
bersemangat dalam beraktivitas karena mudah merasa lelah. Selain itu, defisiensi
besi juga mempengaruhi pemusatan perhatian (konsentrasi), kecerdasan dan
prestasi belajar di sekolah (Masrizal, 2007). Performa aktivitas akan menurun
sehubungan dengan terjadinya penurunan kadar hemoglobin dalam tubuh. Ketika
jumlah hemoglobin berkurang secara ekstrim, maka dapat mengubah aktivitas
kerja sebagai akibat dari menurunnya tansportasi oksigen dalam tubuh.
Akibat jangka panjang dari ADB pada remaja putri adalah apabila remaja
tersebut memasuki masa kehamilannya, maka ia tidak akan mampu memenuhi
kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga bagi janin yang dikandungnya.
Keguguran, kematian bayi dalam kandungan, kelahiran prematur, bayi dengan
berat badan lahir rendah dan perdarahan dalam proses persalinan sering dikaitkan
dengan adanya anemia dalam kehamilan (Lynch, 2000).
Remaja putri yang duduk di bangku sekolah menengah pertama
merupakan kelompok yang sangat potensial untuk menderita ADB. Hal ini
disebabkan oleh remaja putri pada tahap ini akan mengalami menstruasi pertama
mereka yang merupakan salah satu penyebab hilangnya zat besi dari dalam tubuh.
Selain hal tersebut, aktivitas fisik yang tinggi, kebutuhan akan zat besi yang
meningkat dan pola nutrisi yang kurang baik pada remaja putri juga akan sangat
mempengaruhi status anemia pada kelompok ini. Remaja putri diharapkan
mendapatkan pemahaman yang baik mengenai anemia sedini mungkin melalui
28
pemberian promosi kesehatan untuk dapat meningkatkan kemandirian remaja
untuk mencegah terjadinya anemia karena dampak anemia pada remaja putri akan
dirasakan saat ini dan juga di masa yang akan datang ketika remaja tersebut
memasuki masa kehamilan.
2.2.6 Metode penentuan anemia
Hemoglobin (Hb) telah digunakan secara luas sebagai parameter status
anemia seseorang. Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen yang
terdapat dalam sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan
jumlah hemoglobin per 100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas
pembawa oksigen dalam darah. Kandungan hemoglobin yang rendah akan
mengindikasikan bahwa orang tersebut menderita anemia (Supariasa, dkk., 2013).
Pengukuran kadar hemoglobin dapat diukur dengan berbagai macam
metode, diantaranya :
a. Metode Sahli
Metode ini memiliki kesalahan yang paling besar dibandingkan dengan
metode yang lain, namum paling mudah dilakukan. Pada metode ini, hemoglobin
akan diubah menjadi hematin asam. Kemudian warna yang akan terjadi
dibandingkan secara visual dengan standar yang terdapat dalam alat tersebut.
Metode sahli ini bukanlah metode yang teliti. Sahli tidak dianjurkan karena
memiliki kesalahan yang tinggi (Gandasoebrata, 2001).
b. Metode Cyanmethemoglobin
Metode ini dijadikan sebagai Gold Standart yang dianjurkan oleh
International Committee for Standarization in Hematology (ICSH). Dalam metode
29
ini hemoglobin akan dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin
yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) yang akan membentuk
sianmethemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna akan dibaca dengan
menggunakan fotometer dan akan dibandingkan dengan standar. Karena yang
membandingkan adalah alat elektronik, maka hasilnya akan lebih objektif
(Briawan, 2007).
Penentuan kadar hemoglobin dengan metode ini memerlukan
spektrofotometer dengan harga yang relatif mahal. Maka metode ini belum dapat
digunakan secara luas di Indonesia. Metode ini baik digunakan untuk mengukur
kadar hemoglobin di dalam laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika
digunakan untuk pengukuran di lapangan.
c. Metode Hemoque
Metode hemoque merupakan pengembangan metode penentuan kadar
hemoglobin secara spektrofotometer dan telah mendapatkan rekomendasi dari
badan dunia seperti UNICEF dan WHO. Tingkat akurasi alat ini mencapai 99,9%.
Hemoque berukuran sebesar buku agenda dan bersifat fortable (dapat dengan
mudah dibawa dan dipindahkan), dioperasikan dengan tenaga baterai. Alat ini
terdiri atas dua komponen yaitu fotometer untuk membaca hasil pemeriksaan dan
microcuvette sebagai pipet (Ray, 2004).
2.2.7 Metode penanggulangan anemia defisiensi besi (ADB)
Secara umum terdapat empat pendekatan dasar pencegahan anemia
defisiensi besi. Keempat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
30
a. Peningkatan asupan zat besi melalui makanan
Hal ini sangat terkait dengan kuantitas dan kualitas makanan yang
dikonsumsi oleh seseorang. Hal ini sangat terkait dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat dimana daya beli masyarakat yang rendah akan memperburuk kondisi
kesehatan khususnya kekurangan zat besi.
b. Suplementasi tablet besi
Pemberian tablet besi digunakan untuk memperbaiki status zat besi
seseorang secara cepat. Sesuai dengan rekomendasi WHO, bahwa tablet besi yang
diberikan mengandung 60 mg besi elemental dan 400 µg asam folat. Ikatan
Dokter Anak Indonesia (2011) merekomendasikan suplementasi besi pada remaja
usia 12 – 18 tahun diberikan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut setiap tahunnya
dengan dosis 60 mg besi elemental ditambah dengan 400 µg asam folat sebanyak
2 (dua) kali per minggu. Menurut Sandra, dkk. (2011), pemberian suplementasi
besi 2 kali per minggu selama 11 minggu dapat meningkatkan kadar hemoglobin
dalam darah sebanyak 2,28 gr/dl, menurut Tee, dkk. (1999), pemberian
suplementasi mingguan selama 12 minggu dapat meningkatkan kadar hemoglobin
dalam darah sebanyak 1,82 gr/dl sedangkan menurut hasil penelitian Respicio,
dkk. (2000), pemberian suplementasi besi pada remaja putri yang anemia dapat
meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah sebanyak 1,11 gr/dl dibandingkan
jika suplementasi besi diberikan pada remaja putri yang tidak anemia, kenaikan
kadar hemoglobin hanya sebesar 0,4 gr/dl.
Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua
waktu makan, namun preparat besi dapat menimbulkan efek samping pada saluran
31
cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat
makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat
sekitar 40-50%. Peningkatan rata-rata hemoglobin dalam sehari adalah sekitar
0,25-0,4 mg/dl selama 7-10 hari pertama. Kadar hemoglobin kemudian akan
meningkat 0,1 mg/dl/hari dalam 3-4 minggu (Kanani and Poojara, 2000; Gunadi,
dkk., 2009).
Kebutuhan akan zat besi akan meningkat selama masa pertumbuhan. Jika
tidak terdapat cukup zat besi untuk memenuhi kebutuhan tubuh, maka jumlah
hemoglobin dalam sel darah merah (eritrosit) juga menurun. Zat besi merupakan
komponen yang sangat penting dari hemoglobin. Hemoglobin merupakan alat
transportasi bagi oksigen. Pada proses pematangan sel eritrosit, sumsum tulang
belakang memerlukan banyak prekursor yang salah satunya adalah zat besi (Fe).
Oleh sebab itulah pada penderita anemia sangat diperlukan asupan zat besi yang
cukup yang diperlukan untuk proses pematangan sel eritrosit.
c. Pengawasan penyakit infeksi
Pengobatan penyakit infeksi banyak membantu dalam mengurangi
defisiensi besi. Dengan pengobatan yang tepat dapat mengurangi lama dan
beratnya infeksi sehingga tidak memperparah kondisi kekurangan zat besi (Nantel
dan Tontisirin, 2006).
d. Fortifikasi makanan dengan zat besi
Fortifikasi zat atau penambahan zat besi ke dalam makanan yang
dikonsumsi secara umum oleh masyarakat merupakan tulang punggung pada
beberapa negara. Hal ini sangat efektif untuk membantu mengatasi kekurangan zat
32
besi yang banyak terjadi di masyarakat (Winichaggon, 2002; Gleason dan
Sharmanov, 2002).
2.2.8 Strategi penanggulangan anemia defisiensi besi (ADB)
Strategi yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan anemia
defisiensi besi pada remaja yaitu:
a. Pemberian informasi
Pengetahuan yang kurang mengenai anemia merupakan determinan yang
paling berpengaruh terhadap tingginya angka anemia pada remaja. Oleh sebab
itulah sangat perlu dilakukan pemberian informasi yang lebih intensif kepada
remaja mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan anemia, antara lain:
definisi, penyebab, dampak, cara pencegahan dan termasuk di dalamnya yaitu
informasi mengenai gizi (pemilihan asupan makanan yang adekuat).
Dengan pemberian informasi mengenai anemia kepada remaja, akan
merubah persepsi remaja terhadap anemia. Dari perubahan persepsi tersebut
diharapkan perubahan perilaku remaja akan terbentuk, sehingga remaja dapat
secara mandiri untuk melakukan pencegaham dan penanggulangan anemia pada
dirinya dan orang-orang disekitarnya.
b. Dukungan sosial
Pemberian informasi tidaklah cukup hanya menyasar remaja, namun orang
tua dan guru juga memberikan andil yang besar terhadap perubahan perilaku
remaja. Orang tua dan guru merupakan kontrol sosial yang dapat mengawasi
perilaku remaja dalam hal pencegahan anemia. Pemberian informasi kepada orang
tua lebih ditekankan kepada informasi gizi sehingga orang tua dapat menyiapkan
33
asupan makanan yang adekuat untuk menunjang terpenuhinya asupan besi bagi
remaja.
Pengetahuan orang tua khususnya ibu akan mempengaruhi pemilihan
makanan yang dikonsumsi. Tingkat pengetahuan ibu banyak berpengaruh
terhadap pembentukan kebiasaan makan anak karena ibulah yang mempersiapkan
makanan mulai dari mengatur menu, memasak, menyiapkan makanan dan
mendistribusikannya kepada anggota keluarga, sehingga pengetahuan ibu sangat
berpengaruh terhadap kualitas hidangan yang disajikan. Hal ini perlu dilakukan
karena dalam beberapa penelitian menerangkan bahwa semakin baik pengetahuan
ibu mengenai gizi, maka semakin positif sikap ibu terhadap kualitas gizi makanan,
sehingga berdampak pada membaiknya asupan gizi keluarga (Gunatmaningsih,
2007).
Dukungan sosial juga diperlukan melalui dukungan teman sebaya (peer
group), karena dengan adanya dukungan teman sebaya maka lebih mudah untuk
mempengaruhi remaja lainnya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
anemia.
c. Dukungan professional kesehatan
Dukungan professional kesehatan juga sangat diperlukan untuk
memberikan contoh dan penjelasan yang benar mengenai anemia sehingga mitos-
mitos yang berkembang di masyarakat contohnya mengenai tablet besi yang
menyebabkan kegemukan pada remaja dapat diluruskan. Dukungan professional
kesehatan juga dapat dituangkan dalam suatu program penanggulangan anemia
pada remaja yang mengikutsertakan remaja secara langsung dalam pelaksanaan
34
program tersebut. Misalnya dengan menggerakkan osis, memilih duta anemia
dikalangan sekolah, melakukan screening anemia dan pemberian suplementasi
besi yang diadakan setiap tahun.
d. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku remaja sangat penting dilakukan, karena tidak dapat
dipungkiri zaman telah merubah perilaku remaja khususnya dalam hal pemenuhan
gizi. Remaja khususnya remaja putri lebih banyak mengonsumsi makanan nabati
yang bersifat non heme dimana penyerapan besi yang berasal dari sumber
makanan yang bersifat non heme sangat rendah dibandingkan dengan makanan
yang bersifat heme. Selain itu, kebiasaan melakukan diet agar memiliki tubuh
yang langsing juga mempengaruhi asupan gizi bagi remaja. Body image yang
terbentuk dikalangan remaja memaksa remaja untuk tidak mengonsumsi makanan
dalam kuantitas dan kualitas yang layak. Bahkan remaja hanya cukup
mengonsumsi kudapan atau makanan ringan saja untuk dapat “mengganjal perut”
sehari-hari. Kebiasaan remaja untuk minum kopi, teh dan susu yang bersamaan
dengan waktu makan juga memperkecil asupan besi dari makanan yang
dikonsumsi.
Perubahan perilaku sehat dapat dilakukan dengan cara menganjurkan
remaja untuk banyak mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi dan
makanan yang dapat membantu penyerapan zat besi contohnya vitamin C serta
mengurangi konsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi
contohnya teh, kopi dan susu (Rosario, dkk., 2007; Wahyuningsih, dkk., 2009;
Griffiths, 2010).
35
2.3 Promosi Kesehatan
2.3.1 Pengertian promosi kesehatan
Secara konseptual, definisi promosi kesehatan dapat kita pahami dari
beberapa rangkaian sesuai perkembangan dari promosi kesehatan itu sendiri.
Adapun beberapa definisi promosi kesehatan adalah sebagai berikut:
Menurut WHO (1984) dalam Notoatmodjo (2012), merevitalisasi
pendidikan kesehatan dengan istilah promosi kesehatan, kalau pendidikan
kesehatan diartikan sebagai upaya perubahan perilaku, maka promosi kesehatan
tidak hanya untuk perubahan perilaku tetapi juga perubahan lingkungan yang
memfasilitasi perubahan perilaku tersebut.
Menurut Lawrence Green (1984) dalam Mubarak (2012), promosi
kesehatan didefinisikan sebagai segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan
dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik dan organisasi, yang
dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang kondusif
bagi kesehatan.
Promosi kesehatan juga berarti sebagai upaya yang bersifat promotif
(peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif
(pemulihan) dalam rangkaian upaya kesehatan yang komprehensif. Promosi
kesehatan menurut Departemen Kesehatan RI (2003) adalah upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan
bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
36
Menolong diri sendiri artinya bahwa masyarakat mampu berperilaku mencegah
timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan, serta mampu pula berperilaku mengatasi apabila
masalah gangguan kesehatan tersebut terlanjur terjadi di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.
Di sisi lain promosi kesehatan juga dapat diartikan sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat. Memberdayakan adalah upaya untuk membangun
daya atau mengembangkan kemandirian yang dilakukan dengan menimbulkan
kesadaran, kemampuan, serta dengan mengembangkan iklim yang mendukung
kemandirian. Dengan demikian, promosi kesehatan merupakan upaya
mempengaruhi masyarakat agar menghentikan perilaku berisiko tinggi dan
menggantikannya dengan perilaku yang aman atau paling tidak berisiko rendah.
Agar promosi kesehatan dapat efektif, maka program harus dirancang berdasarkan
realitas kehidupan sehari-hari masyarakat sasaran setempat (Kholid, 2012).
2.3.2 Prinsip-prinsip promosi kesehatan
Promosi kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat atau
pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi
juga disertai dengan upaya-upaya memfasilitasi perubahan perilaku. Beberapa
prinsip dalam promosi kesehatan yang sangat perlu dipahami adalah sebagai
berikut:
a. Promosi kesehatan (health promotion) adalah proses pemberdayaan
masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya
37
(the process of enabling people to control over and improve their health),
lebih luas dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan.
b. Promosi kesehatan adalah upaya perubahan atau perbaikan perilaku di bidang
kesehatan disertai dengan upaya mempengaruhi lingkungan atau hal-hal lain
yang sangat berpengaruh terhadap perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan.
c. Promosi kesehatan juga berarti upaya yang bersifat promotif (peningkatan)
sebagai perpaduan dari upaya preventif (pencegahan), kuratif(pengobatan) dan
rehabilitatif (pemulihan) dalam rangkaian upaya kesehatan yang
komprehensif.
d. Promosi kesehatan, selain tetap menekankan pentingnya pendekatan edukatif
yang selanjutnya disebut gerakan pemberdayaan masyarakat, juga perlu
dibarengi dengan upaya advokasi dan bina suasana (social support).
e. Promosi kesehatan dikembangkan dalam lima tatanan yaitu di rumah atau
tempat tinggal (where we live), di sekolah (where we learn), di tempat kerja
(where we work), di tempat-tempat umum (where we play and do everything)
dan di sarana kesehatan (where we get health services).
f. Promosi kesehatan menekankan pada peran kemitraan yang dilandasi oleh
kesamaan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi manfaat
(mutual benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah dengan
masyarakat termasuk swasta dan lembaga swadaya masyarakat, juga secara
lintas program dan lintas sektor (Hartono, 2011; Kholid, 2012).
38
2.3.3 Pendekatan promosi kesehatan
Ewles, dkk. (1994) dalam Suryani dan Machfud (2007) mengemukakan
bahwa terdapat lima pendekatan bagi promosi kesehatan, yaitu:
a. Pendekatan medik
Tujuan dari pendekatan ini adalah kebebasan dari penyakit dan kecacatan
yang didefinisikan secara medik.
b. Pendekatan perubahan perilaku
Tujuan dari pendekatan ini adalah mengubah sikap dan perilaku individu
atau masyarakat sehingga mereka dapat bergaya hidup sehat.
c. Pendekatan edukasional
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberikan informasi dan memastikan
pengetahuan dan pemahaman tentang perihal kesehatan dan diharapkan keputusan
dapat diambil berdasarkan informasi yang diterima.
d. Pendekatan berpusat pada klien
Tujuan dari pendekatan ini adalah bekerja dengan klien agar dapat
membantu mereka mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan,
sehingga mereka dapat mengambil keputusan dan pilihan mereka sendiri.
e. Pendekatan perubahan sosietal
Tujuan dari pendekatan ini adalah melakukan perubahan-perubahan pada
lingkungan fisik, sosial dan ekonomi, agar dapat memberikan dukungan sehingga
individu atau masyarakat dapat bergaya hidup sehat (Suryani dan Machfoedz,
2007).
39
2.3.4 Ruang lingkup promosi kesehatan
Cakupan promosi kesehatan, baik sebagai ilmu maupun seni memiliki arti
yang sangat luas. Cakupan tersebut dapat dilihat dari dua dimensi yakni: a)
dimensi aspek pelayanan kesehatan dan b) dimensi tatanan (setting) atau tempat
pelaksanaan promosi kesehatan.
a. Ruang lingkup berdasarkan aspek kesehatan
1) Promosi kesehatan pada aspek preventif dan promotif
Sasaran promosi kesehatan pada aspek promotif adalah kelompok orang
sehat. Selama ini kelompok orang sehat kurang mendapatkan perhatian dalam
upaya kesehatan masyarakat. Padahal kelompok orang sehat di suatu komunitas
adalah sekitar 80-85% dari populasi. Apabila jumlah ini tidak dibina
kesehatannya, maka jumlah ini akan terus menurun. Oleh sebab itu pendidikan
kesehatan pada kelompok ini perlu ditingkatkan atau dibina agar tetap sehat
Hartono (2011).
2) Promosi kesehatan pada aspek penyembuhan dan pemulihan (kuratif –
rehabilitatif)
Pada aspek ini upaya promosi kesehatan mencakup tiga upaya atau kegiatan,
yakni:
a) Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)
Sasaran promosi kesehatan pada aspek ini adalah kelompok masyarakat yang
berisiko tinggi (high risk). Tujuan upaya promosi kesehatan pada kelompok ini
adalah agar mereka tidak jatuh sakit atau terkena penyakit.
40
b) Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)
Sasaran promosi kesehatan pada aspek ini adalah para penderita penyakit.
Tujuan upaya promosi kesehatan pada kelompok ini adalah agar penderita mampu
menyembuhkan penyakitnya atau mencegah penyakitnya menjadi lebih parah.
c) Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)
Sasaran promosi kesehatan pada aspek ini adalah kelompok pasien yang
baru sembuh (recovery) dari suatu penyakit. Tujuannya adalah agar mereka segera
pulih kembali. Dengan kata lain menolong par penderita yang baru sembuh dari
penyakitnya agar tidak menjadi cacat atau mengurangi kecacatan seminimal
mungkin (rehabilitasi).
b. Ruang lingkup berdasarkan tatanan pelaksanaan
Berdasarkan tatanan (setting) atau tempat pelaksanaan promosi atau
pendidikan kesehatan, maka ruang lingkup promosi kesehatan ini dapat
dikelompokkan menjadi:
1) Promosi kesehatan pada tatanan keluarga (rumah tangga)
Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab
itu untuk mencapai perilaku masyarakat yang sehat harus dimulai di masing-
masing keluarga. Di dalam keluargalah mulai terbentuk perilaku-perilaku
masyarakat. Orang tua merupakan sasaran utama dalam promosi kesehatan pada
tatanan ini. Karena orang tua terutama ibu, merupakan peletak dasar perilaku dan
terutama perilaku kesehatan bagi anak-anak mereka.
41
2) Promosi kesehatan pada tatanan sekolah
Sekolah merupakan perpanjangan tangan pendidikian kesehatan bagi
keluarga. Sekolah, terutama guru pada umumnya lebih dipatuhi oleh murid-
muridnya. Oleh sebab itu lingkungan sekolah, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial yang sehat, akan sangat berpengaruh terhadap perilaku sehat
anak-anak (murid). Kunci pendidikan kesehatan di sekolah adalah guru, oleh
sebab itu perilaku guru harus dikondisikan, melalui pelatihan-pelatihan kesehatan.
Promosi kesehatan di sekolah adalah upaya meningkatkan kemauan dan
kemampuan murid, guru, orang tua dan masyarakat sekitar sekolah untuk mandiri
dalam mencegah penyakit, memelihara kesehatan, serta menciptakan dan
memelihara lingkungan sehat. Adapun strategi untuk mengembangkan promosi
kesehatan di sekolah adalah pengembangan kebijakan sekolah sehat,
penggalangan kemitraan, pemberdayaan warga sekolah dan masyarakat sekitar
serta melakukan pengkajian dan penelitian (Hartono, 2011).
3) Promosi kesehatan di tempat kerja
Tempat kerja merupakan tempat orang dewasa memperoleh nafkah untuk
keluarga. Lingkungan kerja yang sehat akan mendukung kesehatan pekerja.
Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak sehat serta rawan kecelakaan kerja akan
menurunkan derajat kesehatan pekerjanya.
4) Promosi di tempat-tempat umum
Tempat umum mencakup pasar, terminal, bandar udara, tempat
perbelanjaan, tempat olah raga, taman kota dan sebagainya. Para pengelola
tempat-tempat umum merupakan sasaran promosi kesehatan agar mereka
42
melengkapi tempat-tempat umum dengan fasilitas kesehatan disamping
memberikan himbauan kebersihan dan kesehatan bagi pengguna tempat umum.
5) Fasilitas pelayanan kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan mencakup rumah sakit, puskesmas,
poliklinik, rumah bersalin dan sebagainya. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
merupakan sasaran utama promosi kesehatan. Mereka bertanggung jawab atas
terlaksananya pendidikan atau promosi kesehatan di institusinya (Notoatmodjo,
2012).
2.3.5 Sasaran promosi kesehatan
a. Sasaran primer (primary target)
Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung segala upaya
pendidikan atau promosi kesehatan. Sesuai dengan permasalahan kesehatan, maka
sasaran ini dapat dikelompokkan menjadi: kepala keluarga untuk masalah
kesehatan umum, ibu untuk masalah kesehatan ibu dan anak (KIA), anak sekolah
untuk kesehatan remaja dan sebagainya. Upaya promosi yang dilakukan terhadap
sasaran primer ini sejalan dengan strategi pemberdayaan masyarakat
(empowerment).
b. Sasaran sekunder (secondary target)
Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan sebagainya disebut
sebagai sasaran sekunder. Hal ini dikarenakan dengan memberikan pendidikan
kesehatan kepada kelompok ini diharapkan untuk selanjutnya kelompok ini akan
memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat di sekitarnya. Disamping
itu dengan perilaku sehat para tokoh masyarakat sebagai hasil pendidikan
43
kesehatan yang diterima, maka para tokoh masyarakat ini akan memberikan
contoh atau acuan perilaku sehat bagi masyarakat sekitarnya. Upaya promosi
kesehatan yang ditujukan kepada sasaran sekunder ini sejalan dengan strategi
dukungan sosial (social support).
c. Sasaran tertier (tertiary target)
Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik tingkat pusat,
maupun daerah adalah sasaran tertier promosi kesehatan. Dengan kebijakan-
kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh kelompok ini akan berdampak
terhadap perilaku para tokoh masyarakat (sasaran sekunder) dan juga kepada
masyarakat umum (sasaran primer). Upaya promosi kesehatan yang ditujukan
kepada sasaran tertier ini sejalan dengan strategi advokasi (advocacy)
(Notoatmodjo, 2012).
2.3.6 Strategi promosi kesehatan berdasarkan Piagam Ottawa (Ottawa
Charter)
Konferensi International Promosi Kesehatan di Ottawa-Canada pada tahun
1986 menghasilkan Piagam Ottawa (Ottawa Charter) dan salah satunya
merumuskan strategi promosi kesehatan yang dikelompokkan mejadi 5 (lima)
butir yakni:
a. Kebijakan berwawasan kesehatan (healthy public policy)
Kegiatan ini ditujukan kepada para pembuat keputusan atau penentu
kebijakan, sehingga dikeluarkan atau dikembangkannya kebijakan-kebijakan
pembangunan yang berwawasan kesehatan. Hal ini berarti bahwa setiap kebijakan
44
pembangunan di bidang apa saja harus mempertimbangkan dampak kesehatannya
bagi masyarakat.
b. Lingkungan yang mendukung (supportive environment)
Kegiatan untuk mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang
mendukung. Kegiatan ini ditujukan kepada para pemimpin organisasi masyarakat
serta pengelola tempat-tempat umum (public places).
c. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health service)
Kesehatan masyarakat bukan hanya masalah pihak pemberi pelayanan
(provider), baik pemerintah maupun swasta saja, melainkan juga masalah
masyarakat sendiri (konsumer). Oleh sebab itu penyelenggaraan pelayanan
kesehatan juga merupakan tanggung jawab bersama antara pihak pemberi
pelayanan (provider) dan pihak penerima pelayanan (konsumer). Melibatkan
masyarakat dalam pelayanan kesehatan berarti memberdayakan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya sendiri.
d. Keterampilan individu (personal skill)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat, yang terdiri dari
kelompok, keluarga dan individu. Oleh sebab itu kesehatan masyarakat terwujud
apabila kesehatan kelompok, kesehatan masing-masing keluarga dan kesehatan
individu terwujud. Oleh sebab itu meningkatkan keterampilan setiap anggota
masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri
(personal skill) sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berarti bahwa masing-
masing individu di dalam masyarakat seyogianya mempunyai pengetahuan dan
kemampuan yang baik terhadap cara-cara memelihara kesehatannya, mengenal
45
penyakit-penyakit dan penyebabnya, mampu mencegah penyakit, mampu
meningkatkan kesehatannya dan mampu mencari pengobatan yang layak
bilamana mereka sakit.
e. Gerakan masyarakat (community action)
Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat akan efektif apabila unsur-
unsur yang ada di masyarakat tersebut bergerak bersama-sama. Dengan kata lain
bahwa meningkatkan kegiatan-kegiatan masyarakat dalam mengupayakan
peningkatan kesehatan mereka sendiri adalah wujud dari gerakan masyarakat
(community action) (Notoatmodjo, 2012).
Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pelaksanaan
promosi kesehatan yang berada pada lingkup upaya promotif yang dilakukan pada
tatanan sekolah sebagai upaya meningkatkan kemauan dan kemampuan siswa,
guru dan orang tua untuk mandiri dalam mencegah penyakit dan memelihara
kesehatan. Promosi kesehatan yang dilakukan memiliki dua sasaran yaitu remaja
putri sebagai sasaran primer dan orang tua serta guru sebagai sasaran sekunder
yang diikutsertakan dalam rangka untuk menciptakan dukungan sosial (social
support) bagi remaja untuk berperilaku sehat.
2.4 Perilaku
2.4.1 Pengertian perilaku
Perilaku jika dilihat dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan
atau aktivitas organisme atau mahluk hidup. Aktivitas tersebut ada yang dapat
diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut Ensiklopedia, perilaku
diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Robert
46
Kwick (1974) dalam Kholid (2012) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan
atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Perilaku manusia pada dasarnya terdiri atas komponen pengetahuan (kognitif),
sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor). Setiap perbuatan seseorang dalam
merespons sesuatu pastilah terkonseptualisasikan dari ketiga ranah ini. Perbuatan
seseorang atau respon seseorang didasari oleh seberapa jauh pengetahuannya
terhadap rangsangan tersebut, bagaimana perasaan dan penerimaannya, dan
seberapa besar keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan
yang diharapkan (Mubarak, 2012).
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) mendefinisikan perilaku
sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui sebuah proses, sehingga
terbentuklah sebuah teori yang disebut dengan teori Stimulus Organisme Respons
“S-O-R”. Selanjutnya Skinner menjelaskan terdapat dua jenis respon yaitu:
a. Respondent respons atau refleksif, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut dengan elicting
stimuli, karena menimbulkan reaksi-reaksi yang relatif tetap.
b. Operant respons atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan yang lain.
Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer,
karena berfungsi untuk memperkuat respon.
47
2.4.2 Strategi perubahan perilaku
Dalam program-program kesehatan, agar diperoleh perubahan perilaku
yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha
konkret dan positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku
tersebut oleh WHO dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Menggunakan kekuatan (enforcement)
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau
masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan.
Cara ini dapat ditempuh menggunakan cara-cara kekuatan baik fisik maupun
psikis, misalnya dengan cara mengintimidasi atau ancaman-ancaman agar
masyarakat atau orang mematuhinya. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang
cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena
perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
b. Menggunakan kekuatan peraturan atau hukum (regulation)
Perubahan perilaku masyarakat melalui peraturan, perundangan atau
peraturan-peraturan tertulis ini sering juga disebut “law enforcement” atau
“regulation”. Artinya masyarakat diharapkan berperilaku, diatur melalui peraturan
atau undang-undang secara tertulis.
c. Pendidikan (education)
Perubahan perilaku kesehatan melalui cara pendidikan atau promosi
kesehatan ini diawali dengan cara pemberian informasi-informasi kesehatan.
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat,
cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan
48
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan
pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya
akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu
lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh
kesadaran mereka sendiri dan bukan karena paksaan (Notoatmodjo, 2010).
2.4.3 Domain perilaku
Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Faktor internal
Adalah karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan,
misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
b. Faktor eksternal
Adalah lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik
dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan
yang mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2012).
2.4.4 Faktor internal perilaku
a. Pengenalan (kognisi)
Kognisi adalah gejala kejiwaan untuk mengenal objek atau stimulus di luar
subjek. Pengenalan objek oleh manusia pada prinsipnya melalui dua cara, yakni
melalui indra dan melalui akal.
49
b. Emosi (gejala-gejala perasaan)
Emosi adalah keadaan atau peristiwa kejiwaan yang dirasakan. Emosi
sangat bersifat subjektif.
c. Konasi (gejala-gejala kehendak)
Konasi adalah suatu tenaga atau kekuatan yang mendorong seseorang
untuk bertindak, bergerak, atau berbuat sesuatu sebagai reaksi atau respon
terhadap stimulus yang berupa lingkungan baik fisik maupun non fisik
(Notoatmodjo, 2012).
2.4.5 Determinan perubahan perilaku
Beberapa teori telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku
dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green. Green mencoba
menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya menurut
Notoatmodjo (2012), perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga
faktor, yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan.
50
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
2.4.6 Cara dan proses perubahan perilaku manusia
Pembentukan perilaku merupakan bagian yang sangat penting dari usaha
mengubah perilaku seseorang. Berikut beberapa langkah mengubah perilaku,
yaitu:
a. Individu tersebut menyadari
Menyadari merupakan proses identifikasi tentang apa dan bagian mana
yang ingin diubah dan mengapa perubahan tersebut diinginkan.
b. Individu tersebut mau mengganti
Setelah orang menyadari untuk mengubah perilakunya, maka proses
selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengganti. Mengganti merupakan proses
melawan bentuk keyakinan, pemikiran dan perasaan yang diyakini salah.
c. Individu tersebut mau mengintrospeksi
Introspeksi merupakan proses penilaian mengenai apa yang sudah diraih
dan apalagi yang perlu dilakukan.
d. Kesungguhan
Dalam merubah perilaku diperlukan kesungguhan dari berbagai komponen
masyarakat untuk ikut andil dalam mengubah perilaku.
e. Diawali dari lingkungan keluarga
Peran orang tua sangat membantu untuk menjelaskan serta memberikan
contoh mengenai apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak.
51
f. Melalui pemberian penyuluhan
Penyuluhan yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
dan budaya (Mubarak, 2012).
2.4.7 Dasar-dasar perubahan perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Kholid (2012), pengetahuan adalah
merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga.
Pengetahuan juga diperoleh dari pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun
pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain terpenting bagi terbentuknya tindakan seseorang.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan
psikis dalam menumbuhkan sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat
dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara tertentu. Bentuk reaksi tersebut dapat positif dan dapat pula negatif meliputi
rasa suka dan tidak suka, mendekati dan menghindari dan sebagainya. Sekalipun
diasumsikan bahwa sikap merupakan predisposisi evaluasi yang banyak
menentukan cara individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan sering kali
jauh berbeda. Hal ini karena tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap,
akan tetapi oleh berbagai faktor eksternal lainnya. Sikap tidaklah sama dengan
perilaku, dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang.
52
Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses
belajar. Belajar diartikan sebagai proses perubahan perilaku yang didasari oleh
perilaku terdahulu. Dalam proses belajar ada tiga unsur pokok yang saling
berkaitan, yaitu masukan (input), proses dan keluaran (output). Alur perubahan
perilaku dapat digambarkan seperti gambar di bawah ini.
2.4.8 Pengukuran perilaku kesehatan
Domain atau ranah utama perilaku manusia adalah kognitif, afektif (emosi)
dan konasi, yang dalam bentuk operasionalnya adalah ranah pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan tindakan atau praktek (practice).
a. Pengetahuan
Adalah hal apa yang diketahui oleh orang atau responden terkait dengan
sehat dan sakit atau kesehatan, misal: tentang penyakit (penyebab, cara penularan,
cara pencegahan), gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan,
keluarga dan sebagainya.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif memiliki enam
tingkatan, yakni:
Gambar 2.2. Alur Perubahan Perilaku
Sumber: Kholid (2012)
Pengetahuan
Perubahan Perilaku
Perilaku
Sikap
53
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutksn contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real.
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
54
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2012).
b. Sikap
Adalah bagaimana pendapat atau penilaian orang atau responden terhadap
hal yang terkait dengan kesehatan, sehat-sakit dan faktor yang terkait dengan
faktor risiko kesehatan. Misalnya: bagaimana pendapat atau penilaian responden
terhadap penyakit demam berdarah, anak dengan gizi buruk, tentang lingkungan,
tentang gizi makanan dan seterusnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap memiliki tiga komponen pokok, yakni:
Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; Kehidupan
emosional atau evaluasi terhadap suatu objek; Kecenderungan untuk bertindak
(tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap
yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri bari berbagai tingkatan
yaitu:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek).
55
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari merespon. Karena dengan memberikan
respon, berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi dari menghargai.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
c. Praktek (tindakan)
Adalah hal apa yang dilakukan oleh responden terkait dengan kesehatan
(pencegahan penyakit), cara peningkatan kesehatan, cara memperoleh pengobatan
yang tepat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support)
dari pihak lain. Praktik atau tindakan memiliki beberapa tingkatan, antara lain:
1) Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama.
56
2) Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktik tingkat kedua.
3) Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran dari
tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2012).
2.4.9 Metode pengukuran perilaku kesehatan
a. Pengukuran pengetahuan
Dalam penelitian kuantitatif, pengetahuan tentang kesehatan dapat diukur
menggunakan metode wawancara dan angket.
1) Wawancara
Wawancara tertutup atau wawancara terbuka, dengan menggunakan
instrument (alat pengukur atau pengumpul data) kuesioner. Wawancara tertutup
adalah suatu wawancara dimana jawaban responden atas pertanyaan yang
diajukan telah tersedia dalam opsi jawaban, responden tinggal memilih jawaban
mana yang mereka anggap paling benar atau paling tepat. Sedangkan wawancara
terbuka adalah dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka,
sedangkan responden boleh menjawab apa saja sesuai dengan pendapat atau
pengetahuan responden sendiri.
57
2) Angket
Seperti halnya wawancara, angket juga dalam bentuk tertutup atau
terbuka. Instrument atau alat ukurnya sama dengan wawancara yaitu kuesioner.
Metode pengukuran melalui angket ini sering disebut “self administered” atau
metode mengisi sendiri.
b. Pengukuran sikap
Pengukuran sikap dalam penelitian kuantitatif juga dapat menggunakan
dua cara seperti pengukuran pengetahuan, yakni:
1) Wawancara
Metode wawancara untuk pengukuran sikap sama dengan wawancara
untuk mengukur pengetahuan. Bedanya hanya pada substansi pertanyaan yang
diajukan. Apabila pada pengukuran pengetahuan pertanyaan-pertanyaan menggali
jawaban mengetahui apa yang diketahui oleh responden. Tetapi pada pengukuran
sikap, pertanyaan-pertanyaan lebih menggali pendapat atau penilaian responden
terhadap suatu objek.
2) Angket
Demikian juga pengukuran sikap menggunakan metode angket, juga
menggali pendapat atau penilaian responden terhadap objek kesehatan, melalui
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tertulis.
c. Pengukuran praktek (tindakan)
Mengukur perilaku terbuka, praktek atau tindakan, relatif lebih mudah bila
dibandingkan dengan mengukur perilaku tertutup (pengetahuan dan sikap). Sebab
praktek atau tindakan mudah diamati secara konkret dan langsung maupun
58
melalui pihak ketiga. Secara garis besar mengukur perilaku terbuka atau praktek
dapat dilakukan melalui dua metode, yakni:
1) Langsung
Mengukur perilaku terbuka secara langsung, berarti peneliti langsung
mengamati atau mengobservasi perilaku subjek yang diteliti. Untuk memudahkan
pengamatan, maka hal-hal yang akan diamati dituangkan dalam lembar tilik atau
check list.
2) Tidak langsung
Pengukuran perilaku secara tidak langsung berarti peneliti tidak secara
langsung mengamati perilaku orang yang diteliti (responden). Oleh sebab itu
metode pengukuran secara tidak langsung ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yakni:
a) Metode mengingat kembali atau recall
Metode “recall” ini dilakukan dengan cara responden atau subjek
penelitian diminta untuk mengingat kembali (recall) terhadap perilaku atau
tindakan beberapa waktu yang lalu. Lamanya waktu yang diminta untuk diingat
oleh responden berbeda-beda. Untuk perilaku makan atau asupan nutrisi, oleh
para ahli gizi telah ditetapkan 24 jam, maka disebut “24 hours recall”. Penetapan
24 jam untuk metode pengukuran perilaku makan atau asupan nutrisi ini
didasarkan penelitian para ahli gizi. Bahwa kecermatan mengingat jumlah dan
jenis makanan yang dimakan atau dikonsumsi adalah 24 jam.
59
b) Melalui orang ketiga atau orang lain yang “dekat” dengan subjek atau
responden
Pengukuran perilaku terhadap seseorang atau responden dilakukan oleh
orang terdekat dengan responden yang diteliti. Misalnya untuk mengamati
perilaku kepatuhan minum obat seorang penderita penyakit tertentu dapat melalui
anggota keluarga pasien yang paling dekat.
c) Melalui “indikator” (hasil perilaku) responden
Pengukuran perilaku ini dilakukan melalui indikator hasil perilaku orang
yang diamati. Misalnya peneliti akan mengamati atau mengukur perilaku
kebersihan diri pada murid sekolah. Maka yang diamati adalah hasil dari perilaku
kebersihan diri tersebut, antara lain: kebersihan kuku, telinga, kulit, gigi dan
seterusnya (Notoatmodjo, 2010).
2.5 Promosi Kesehatan Berbasis PER Factor
Menurut Blum, terdapat empat faktor yang mempengaruhi kesehatan,
antara lain: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Diantara
keempat faktor tersebut, faktor lingkungan memiliki andil yang paling besar
terhadap status kesehatan seseorang, kemudian berturut-turut disusul oleh
perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (Notoatmodjo, 2010).
Selanjutnya Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku individu
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni faktor predisposisi (predisposing factor),
faktor pendukung (enabling factor) dan faktor penguat atau pendorong
(reinforcing factor). Oleh karena itu promosi kesehatan sebagai suatu intervensi
terhadap perilaku seseorang harus diarahkan pada tiga faktor tersebut.
60
Pada prinsipnya, promosi kesehatan adalah upaya perubahan atau
perbaikan perilaku di bidang kesehatan yang disertai dengan upaya
mempengaruhi lingkungan atau hal-hal lain yang sangat berpengaruh terhadap
perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
promosi kesehatan yang optimal, perlu disusun suatu pendekatan pelaksanaan
promosi kesehatan yang menggabungkan seluruh aspek yang mempengaruhi
perubahan perilaku. Promosi kesehatan berbasis PER factor dapat diartikan
sebagai pelaksanaan promosi kesehatan secara berkesinambungan dan
menyeluruh. Promosi kesehatan ini memadukan beberapa faktor yang menunjang
terjadinya perubahan perilaku, diantaranya :
2.5.1 Faktor predisposisi (predisposing factor)
Tujuan pendidikan kesehatan antara lain adalah agar terjadinya perubahan
perilaku ke arah yang lebih baik, yaitu perilaku yang sesuai dengan norma-norma
kesehatan. Menurut Ewles, dkk. (1994) dalam Suryani & Machfoedz (2007), salah
satu pendekatan yang digunakan dalam promosi kesehatan adalah pendekatan
edukasional. Tujuan dari pendekatan ini adalah memberikan informasi dan
memastikan pengetahuan dan pemahaman tentang perihal kesehatan dan
diharapkan keputusan dapat diambil berdasarkan informasi yang diterima.
Terdapat 3 (tiga) strategi untuk memperoleh perubahan perilaku, yaitu : 1)
menggunakan kekuatan (enforcement), 2) menggunakan kekuatan peraturan atau
hukum (regulation), dan 3) pendidikan (education). Perubahan perilaku kesehatan
melalui cara pendidikan diawali dengan cara pemberian informasi-informasi
kesehatan. Dengan memberikan informasi, akan meningkatkan pengetahuan
61
seseorang. Selanjutnya dengan pengetahuan yang dimiliki, akan menimbulkan
kesadaran dan akhirnya akan menyebabkan orang tersebut berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam proses pemberian informasi, perlu diperhatikan mengenai media
yang digunakan. Salah satu faktor internal perilaku adalah pengenalan (kognisi).
Kognisi adalah gejala kejiwaan untuk mengenal objek atau stimulus di luar
subjek. Pengenalan objek ini dapat melalui dua cara yakni melalui indra dan
melalui akal. Dalam pemilihan media promosi kesehatan harus memperhatikan
penggunaan panca indra sasaran promosi kesehatan. Hal ini dikarenakan semakin
banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak pula
pengetahuan yang akan diperoleh. Penggunaan media harus didasari pengetahuan
tentang sasaran pendidikan diantaranya karakteristik sasaran, bahasa, adat istiadat,
minat dan perhatian (Ircham dan Suryani, 2007).
Komunikator sebagai sumber komunikasi juga perlu diperhatikan,
penelitian menunjukkan bahwa efektivitas komunikator dalam menyampaikan
pesan akan tergantung pada beberapa hal yang telah diteliti secara ekstensif,
diantaranya adalah kredibilitas (credibility), daya tarik (attractiveness), dan
kekuatan (power) komunikator itu sendiri (Azwar, 2013).
Penting juga untuk dilakukan pengulangan dalam penyampaian informasi
yang dilakukan secara periodik. Pengulangan diperlukan karena keberhasilan
proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh memori atau ingatan dari peserta didik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa memori adalah kemampuan untuk memasukkan
(learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali (remembering) hal-
62
hal yang telah lampau. Decay theory memandang bahwa kekuatan sebuah
rekaman akan bertambah lemah sejalan dengan waktu jika tidak dilatih lebih jauh
atau tidak diaktivasi untuk masa yang lama. Dengan demikian, jika informasi
yang telah tersimpan dalam jangka waktu yang lama tidak diulang-ulang, maka
akan terjadi kelupaan. Disinilah diperlukan pengulangan-pengulangan agar apa
yang telah dipelajari tidak terlupakan. Semakin sering diulang, maka semakin
terhindar dari lupa akan apa yang sudah dipelajari. Salah satu strategi untuk
mengaktifkan kembali memori adalah rehearsal. Rehearsal adalah strategi
memori dengan cara mengulang-ulang informasi sesering mungkin sehingga dapat
disimpan dalam memori (Khodijah, 2014). Salah satu metode belajar yang
dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan adalah
dengan cara mengulangi. Mengulangi besar pengaruhnya dalam belajar, karena
dengan adanya pengulangan (review), bahan yang telah dikuasai akan tetap
tertanam dalam otak seseorang (Slameto, 2013).
Pengulangan sangat perlu dilakukan untuk mecegah terjadinya kelupaan.
Akan tetapi pengulangan pesan yang terlalu sering justru dapat mendatangkan
penolakan dari individu yang dijadikan target. Banyaknya pengulangan yang
optimal adalah 3 (tiga) kali, sedangkan kalau lebih dari tiga kali individu akan
mengalami kebosanan dan dapat menolak pesan yang disampaikan (Watson, dkk.,
1984 dalam Azwar, 2013).
Perubahan perilaku dengan cara pemberian informasi (education) ini akan
memakan waktu yang relatif lama, namun perubahan yang dicapai akan bersifat
langgeng karena didasari oleh kesadaran dan bukan karena paksaan
63
(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan yang kurang mengenai anemia merupakan
determinan yang paling berpengaruh terhadap tingginya angka anemia pada
remaja. Oleh sebab itulah sangat perlu dilakukan pemberian informasi yang lebih
intensif kepada remaja mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan anemia,
antara lain mengenai definisi, penyebab, dampak, cara pencegahan dan termasuk
di dalamnya yaitu informasi mengenai gizi (pemilihan asupan makanan yang
adekuat).
Dengan pemberian informasi mengenai anemia kepada remaja, akan
mengubah persepsi remaja terhadap anemia. Dari perubahan persepsi tersebut
diharapkan perubahan perilaku remaja akan terbentuk, sehingga remaja dapat
secara mandiri untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan anemia pada
dirinya dan orang-orang disekitarnya.
2.5.2 Faktor pendukung (enabling factor)
Perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu
lingkungan. Faktor lingkungan sering kali merupakan faktor yang dominan yang
mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2012). Penyediaan sarana dan
prasarana yang dibutuhkan sangat diperlukan sebagai pendorong terjadinya
perubahan perilaku. Salah satu pendekatan dalam promosi kesehatan adalah
pendekatan perubahan sosial. Tujuan dari pendekatan ini adalah melakukan
perubahan-perubahan pada lingkungan fisik diantaranya dengan penyediaan
sarana dan prasarana yang menunjang sehingga masyarakat mampu berperilaku
sesuai dengan apa yang diharapkan (Suryani dan Machfoedz, 2007).
64
Salah satu program penanggulangan ADB adalah dengan suplementasi
tablet besi. Pemberian tablet besi dapat memperbaiki status zat besi seseorang
secara cepat. Sesuai dengan rekomendasi WHO, bahwa dosis tablet besi yang
diberikan untuk remaja putri mengandung 60 mg besi dan 400 µg asam folat.
Penyediaan tablet besi di sekolah diharapkan mampu mendorong remaja putri
untuk berperilaku sehat dengan mengonsumsi tablet besi sesuai dengan anjuran.
Disamping penyediaan tablet besi, ketersediaan kartu kendali juga harus
mendapatkan perhatian. Kartu kendali ditujukan untuk memantau atau
memonitoring kemandirian remaja dalam mengakses dan mengonsumsi tablet besi
yang telah disediakan. Hasil penelitian Griffiths (2010), menunjukkan bahwa
penggunaan kartu kendali sangat efektif untuk dijadikan sebagai media
monitoring dalam pengkonsumsian tablet besi.
2.5.3 Faktor pendorong (reinforcing factor)
Reinforcing factor terwujud dalam sikap dan perilaku pihak lain yang
berperan sebagai referensi. Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat akan
efektif apabila unsur-unsur yang ada di masyarakat dapat bergerak bersama-sama
(community action). Pemberian informasi tidaklah cukup hanya menyasar remaja,
namun orang tua dan guru juga memberikan andil yang besar terhadap perubahan
perilaku remaja. Orang tua dan guru merupakan kontrol sosial yang dapat
mengawasi perilaku remaja.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Oleh sebab itu, untuk
mencapai perilaku masyarakat yang sehat harus dimulai pada masing-masing
keluarga. Dalam keluargalah mulai terbentuk perilaku-perilaku masyarakat. Orang
65
tua terutama ibu merupakan sasaran utama dalam promosi kesehatan. Karena ibu
merupakan peletak dasar perilaku, terutama perilaku kesehatan bagi anak-anak
mereka. Pemberian informasi kepada orang tua khususnya ibu lebih ditekankan
kepada informasi gizi, sehingga akan mempengaruhi pemilihan makanan yang
dikonsumsi. Dalam beberapa penelitian menerangkan bahwa semakin baik
pengetahuan ibu mengenai gizi, maka semakin positif sikap ibu terhadap kualitas
gizi makanan, sehingga berdampak pada membaiknya asupan gizi keluarga.
Selain keluarga, sekolah merupakan perpanjangan tangan pendidikan
kesehatan bagi keluarga. Sekolah, terutama guru pada umumnya lebih dipatuhi
oleh para siswa. Oleh sebab itu pemberian informasi kesehatan bagi para guru
sangat diperlukan. Lingkungan sekolah, baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial akan sangat berpengaruh terhadap perilaku siswa. Kunci pendidikan
kesehatan di sekolah adalah guru, oleh sebab itu perilaku guru harus dikondisikan
melalui pelatihan-pelatihan kesehatan.
Promosi kesehatan di sekolah adalah upaya meningkatkan kemauan dan
kemampuan murid, guru, orang tua dan masyarakat sekitar sekolah untuk mandiri
dalam mencegah penyakit, memelihara kesehatan, serta menciptakan dan
memelihara lingkungan sehat. Pemberdayaan warga sekolah yaitu murid, guru
dan orang tua adalah salah satu strategi pengembangan promosi kesehatan di
sekolah (Hartono, 2011). Pemberdayaan warga sekolah ini juga merupakan
bentuk dukungan sosial (social support) untuk mencapai hasil yang optimal dalam
pelaksanaan promosi kesehatan.
Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu.
Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu
satu dengan yang lain. Interaksi sosial meliputi hubungan antara individu dengan
66
lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis disekelilingnya. Diantara
berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, peran orang lain yang
dianggap penting dan peran lembaga pendidikan adalah faktor yang dominan.
Orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang
status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, guru, dan lain-lain. Pada umumnya
individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan
sikap orang yang dianggapnya penting. Pada masa remaja, orang tua biasanya
menjadi figur yang paling berarti bagi anak. Interaksi antara anak dan orang tua
merupakan determinan utama sikap anak. Lembaga pendidikan sebagai suatu
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap. Ini dikarenakan lembaga
pendidikan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu
(Azwar, 2013).
67
Pelaksanaan promosi kesehatan secara konvensional lebih menitikberatkan
pada pemberian penyuluhan kesehatan yang berpusat kepada klien tanpa
melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar klien. Selain itu, sangat jarang
dilakukan pengulangan secara periodik serta tidak pernah dilakukan monitoring
dan evaluasi. Sehingga keberhasilan promosi kesehatan yang telah dilaksanakan
sulit diukur. Berikut akan dijabarkan perbedaan antara promosi kesehatan berbasis
PER factor dengan promosi kesehatan secara konvensional.
Keturunan
Lingkungan Status Kesehatan Pelayanan
Kesehatan
Perilaku
Predisposing factor
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Persepsi
4. Kepercayaan
5. Trasidi
Enabling factor
1. Ketersediaan
sarana dan
prasarana
2. Fasilitas
kesehatan
Reinforcing factor
1. Sikap dan
perilaku tokoh
panutan
2. Kebijakan dan
peraturan
Edukasi
Pemberdayaan
masyarakat
Trainning
Promosi Kesehatan
Gambar 2.3 Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Promosi
Kesehatan (Blum dan Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2010)
68
Tabel 2.2
Perbedaan Promosi Kesehatan Berbasis PER Factor dan Konvensional
Promosi Kesehatan Berbasis PER
Factor
Promosi Kesehatan Konvensional
1. Tidak hanya berpusat pada klien
(remaja) tetapi menjangkau
masyarakat di sekitar klien (guru
dan orang tua)
2. Penggunaan media pembelajaran
yang mengaktifkan lebih banyak
indra (audio visual)
3. Pemberian informasi kesehatan
dilakukan berulang kali (secara
periodik yaitu 3 kali dalam 3 bulan)
4. Memfasilitasi penyediaan sarana
dan prasarana berupa tablet besi di
sekolah
5. Melaksanakan monitoring dan
evaluasi
1. Berpusat pada klien (remaja)
2. Tanpa media pembelajaran
3. Tidak dilakukan pengulangan
secara periodik terhadap
pemberian informasi kesehatan
4. Disediakan sarana dan prasarana
berupa tablet besi di sekolah
5. Tidak dilakukan monitoring dan
evaluasi
Pemilihan media pembelajaran berupa media audio visual dengan
mempertimbangkan kelebihan media tersebut dalam pembelajaran. Adapun
kelebihan media audio visual jika dibandingkan dengan media lain adalah media
audio visual dapat menggambarkan suatu proses yang menimbulkan kesan ruang
dan waktu serta penggambaran yang bersifat 3 dimensional, suara dan warna yang
dihasilkan dapat menimbulkan kesan realita. Jika dibandingkan dengan media
audio, media audio hanya akan mampu melayani secara baik mereka yang
memiliki kemampuan yang baik dalam berpikir abstrak karena media ini tidak
didukung dengan penggambaran yang bersifat nyata. Oleh sebab itu media audio
visual sangat baik jika digunakan sebagai media promosi kesehatan agar audience
tidak memiliki penerimaan yang abstrak tentang materi promosi kesehatan yang
diberikan (Trianto,2009; Munadi, 2013; Djamarah dan Zain, 2013; Sanjaya,
2013).