bab ii kajian pustaka 2.1 2.1.1 pengertian model...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Kemp (dalam Rusman, 2010:132), model pembelajaran
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa
agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Menurut
Kemp, Dick and Carey (dalam Rusman, 2010:132), strategi pembelajaran
itu adalah suatu perangkat materi dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar peserta
didik atau siswa. Sedangkan menurut Joyce & Weil (dalam Rusman,
2010:133), model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat
digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka
panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing
pembelajaran di kelas atau yang lain.
Dari pendapat di atas dapat sisimpulkan bahwa model pembelajaran
adalah suatu rencana yang digunakan untuk membentuk kurikulum berisi
perangkat materi dan prosedur yang harus dilaksanakan oleh guru aagar
tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif
2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Hamruni (2012:162) menyatakan pembelajaran kooperatif
merupakan strategi pembelajaran yang menerapkan sistem
pengelompokan/ tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang
mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau
suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap
kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika
kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan
demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan
positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan
8
8
memunculkan tanggungjawab individu terhadap kelompok dan
ketrampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu
akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk
keberhasilan kelompok sehingga setiap individu akan memiliki
kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan
kelompok. Melalui pembelajaran kooperatif siswa dapat lebih menemukan
sendiri memahami konsep- konsep yang sulit dengan cara diskusi. Apabila
dibandingkan dengan pembelajaran individu, pembelajaran dengan model
kooperatif lebih dapat mencapai keberhasilan akademik, tanggungjawab
individu maupun kelompok dan sosial siswa.
Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang
melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling
berinteraksi (Nurulhayati dalam Rusman, 2010:203). Dalam sistem belajar
yang kooperatif, siswa belajar bekerja sama dengan anggota lainnya.
Dalam model ini siswa memiliki dua tanggungjawab, yaitu mereka belajar
untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk
belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka
dapat melakukannya seorang diri.
Tom V. Savage (dalam Rusman, 2010:203) mengemukakan bahwa
cooperative learning adalah suatu pendekatan yang menekankan kerja
sama dalam kelompok.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang menekankan pada sistem kelompok
kecil untuk bekerjasama menyelesaikan tugas antara 4-6 orang yang
mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau
suku yang berbeda (heterogen) yang disertai dengan pemberian
penghargaan kelompok. Melalui model ini melibatkan partisipasi siwa
untuk berinteraksi dan bekerjasama dengan dua tanggungjawab yaitu
tanggungjawab individu dan tanggungjawab kelompok.
9
9
2.1.2.2 Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional
yang menerapkan sistem kompetisi, dimana sistem keberhasilan individu
diorentasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan pembelajaran
kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu
ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya, Slavin
(Taniredja, Faridli,dkk. 2011:60).
Menurut Depdiknas (Taniredja, Faridli,dkk. 2011:60) tujuan pertama
pembelajaran kooperatif adalah untuk menigkatkan hasil belajar akademik,
dengan meningkatkan kenerja siswa. Sedangkan tujuan kedua untuk
memberi peluang kepada siswa untuk menerima teman-temannya yang
mempunyai berbagai perbedaan dan latar belajar. Tujuan yang ketiga
untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Berikut ada beberapa poin yang termasuk dalam Tujuan pembelajaran:
1. Hasil belajar akademik, yaitu untuk meningkatkan kinerja siswa dalm
tugas-tugas akademik. Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam
membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit.
2. Penerimaan terhadap keragaman, yaitu agar siswa menerima teman-
temannya yang mempunyai berbagai macam latar belakang.
3. Pengembangan keterampilan sosial, yaitu untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya,
menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya,
mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam kelompok.
2.1.2.3 Unsur – unsur Model Pembelajaran Kooperatif
Roger dan David Johnson (dalam Anita Lie, 2005:31) mengatakan
bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning.
Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran
gotong royong harus diterapkan, antara lain: saling ketergantungan positif,
tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan
evaluasi proses kelompok.
10
10
a. Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan suatu tim kelompok sangat bergantung pada usaha setiap
anggotanya. Semua anggota kelompok bekerja sama demi tercapainya
satu tujuan yang sama yaitu menjadi tim super. Untuk menciptakan
kelompok kerja yang efektif, guru perlu menyusun tugas sedemikian
rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya
sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. Penilaian juga
dilakukan dengan cara yang unik yaitu masing-masing anggota
memperoleh nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai anggota
menentukka kelompok tersebut berada di tim yang mana. Sehingga,
anggota yang memperoleh nilai rendah dapat dibantu oleh anggota yang
lain agar nilainya meningkat dan dapat memperbaiki posisi tim mereka.
b. Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan dampak langsung dari unsur pertama. Jika tugas
dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab
untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan model kerja
kelompok adalah persiapan guru dalam penyusunan tugasnya
sedemikian rupa, sehingga masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam
kelompok dapat dilaksanakan. Dengan cara demikian, siswa yang tidak
melaksanakan tugasnya akan diketahui dengan jelas dan mudah.
Anggota-anggota dalam kelompoknya akan menuntutnya untuk
melaksanakan tugas supaya tidak menghambat yang lainnya.
c. Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi.kegiatan interaksi ini akan memberikan para guru untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari
sinergi adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan
mengisi kekurangan masing-masing. setiap anggota kelompok
mempunyai latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial ekonomi
11
11
yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal
utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok.
d. Komunikasi Antar Anggota
Unsur ini juga menghendaki agar para guru dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan para siswa dalam
kelompok, guru perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak
setiap siswa memiliki keahlian mendengarkan dan berbicara.
Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para
anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
saling mengutarakan pendapat mereka.
e. Evaluasi Proses Kelompok
Guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini
tidak perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, tetapi bisa
diadakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali guru terlibat
dalam kegiatan pembelajaran Cooperative Learning..
2.1.2.4 Prosedur Model Pembelajaran Kooperatif
Rusman (2010:212-213), prosedur atau langkah-langkah pembelajaran
kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut.
a. Penjelasan Materi, tahap ini merupakan tahapan penyampaian pokok-
pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan
utama tahapan ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi
pelajaran.
b. Belajar Kelompok, tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan
penjelasan materi, siswa bekerja dalam kelompok yang telah dibentuk
sebelumnya.
c. Penilaian. Penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan
melalui tes atau kuis, yang dilakukan secara individu atau kelompok.
Tes individu akan memberikan penilaian kemampuan individu
12
12
sedangkan kelompok akan memberikan penilaian pada kemampuan
kelompoknya.
d. Pengakuan Tim, adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol
atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau
hadiah dengan harapan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi
lebih baik lagi.
2.1.2.5 Keunggulan Dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Hamruni (2012:170) menyebutkan adanya keunggulan dan kelemahan
pembelajara kooperatif. Adapun keunggulan pembelajaran kooperatif
antara lain:
a. Siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat
menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan
informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa lain.
b. Mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan
dengan kata-kata (verbal) dan membandingkannya dengan ide-ide
orang lain.
c. Menumbuhkan sikap respek pada orang lain, menyadari akan segala
keterbatasannya, dan bersedia menerima segala perbedaan.
d. Membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggungjawab
dalam belajar.
e. Meningkatkan prestasi akademik dan kemampuan sosial, termasuk
mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal, ketrampilan
mengelola waktu, dan sikap positif terhadap sekolah.
f. Mengembangkan kemampuan untuk menguji ide dan pemahaman siswa
sendiri serta menerima umpan balik. Siswa dapat menerapkan teknik
pemecahan masalah tanpa takut membuat kesalahan karena keputusan
yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.
g. Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan
mengubah belajar abstrak menjadi nyata (riil).
h. Meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir dan
ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.
13
13
Adapun kelemahan pembelajaran kooperatif antara lain:
a. Untuk memahami dan mengerti filosofis SPK memang butuh waktu.
Sangat tidak rasional kalau kita mengharapkan secara otomatis siswa
dapat mengerti dan memahami filsafat cooperative learning. Untuk
siswa yang dianggap memilki kelebihan, mereka akan merasa
terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki kemampuan.
Akibatnya, keadaan semacam ini dapat menggangu iklim kerja sama
kelompok.
b. Ciri utama dari SPK adalah bahwa siswa saling membelajarkan. Oleh
karena itu, tanpa adanya peer teaching yang efektif, maka dibandingkan
dengan pembelajaran langsung dari guru, bisa jadi cara belajar yang
demikian siswa tidak bisa memahami apa yang seharusnya dipahami.
c. Penilaian yang diberikan dalam SPK didasarkan kepada hasil kerja
kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari bahwa sebenarnya
hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu sama.
d. Keberhasilan SPK dalam mengembangkan kesadaran berkelompok
memerlukan periode waktu yang cukup panjang. Hal ini tidak mungkin
dapat tercapai hanya dengan satu kali atau beberapa kali penerapannya.
e. Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan merupakan
kemampuan yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak
aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan pada kemampuan
individual. Oleh karena itu, idealnya melalui SPK selain siswa belajar
bekerja sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun
kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu dalam SPK memang
bukan pekerjaan mudah.
2.1.2.6 Jenis-jenis Model Pembelajaran Kooperatif
a. Model Student Team Achevement Division (STAD)
Dalam STAD siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat
orang yang beragam kemampuan, jenis kelamin, dan sukunya. Guru
memberikan suatu pelajaran dan siswa-siswa di dalam kelompok
memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa menguasai
14
14
pelajaran tersebut, dan pada saat itu mereka tidak boleh saling
membantu satu sama lain. Nialai-nilai dari kuis siswa diperbandingkan
dengan nilai rata-rata mereka sendiri yang diperoleh sebelumnya, dan
nilai-nilai itu diberi hadiah berdasarkan pada seberapa tinggi nilai itu
melampaui nilai mereka sbelelumnya. Nilai-nilai ini kemudian dijumlah
untuk mendapat nilai kelompok, dan kelompok yang dapat mencapai
kriteria tertentu bisa mendapatkan sertifikat atau hadiah-hadiah yang
lainnya (Rusman, 2010:213-214).
b. Model Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif model Jigsawa dalah sebuah model
belajar kooperatif yang menitikberatkan pada kerja kelompok siswa
dalam bentuk kelompok kecil (Rusman, 2010:218). Lie (dalam
Rusman, 2010:218) mengungkapkan bahwa “pembelajaran kooperatif
model Jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara
siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai
enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling
ketergantungan positif dan bertanggungjawab secara mandiri”.
c. Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Strategi belajar kooperatif DI dikembangkan oleh Shlomo Sharan dan
Yael Sharan di Universitas Tel Aviv, Israel. Secara umumperencanaan
pengorganisasian kelas dengan menggunakan teknik kooperatif GI
adalah kelompok dibentuk oleh siswa itu sendiri dengan beranggotakan
2-6 orang, tiap kelompok bebas memilih subtopik dari keseluruhan unit
materi (pokok bahasan) yang akan diajarkan dan kemudian membuat
atau menghasilkan laporan kelompok. Selanjutnya, setiap kelompok
mempresentasikan atau memamerkan laporannya kepada seluruh kelas,
untuk untuk berbagi dan saling tukar informasitemuan mereka. (Burn et
al. dalam Rusman, 2010:220).
d. Model Make a Match (Membuat Pasangan)
Penerapan metode ini dimulai dengan teknik, yaitu siswa disuruh
mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas
15
15
waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin
(Rusman, 2010:223).
e. Model TGT (Team Games Tournaments)
Menurut Rusman (2010:224-225), TGT adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-
kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki
kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Guru
menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing-
masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap
kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan
anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak
mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang
lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau
menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
Model yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT.
2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament)
2.1.3.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Team Games Tournament, pada mulanya dikembangkan oleh David
Devries dan Keith Edwards, ini merupakan metode pembelajaran pertama
dari John Hopkins. Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang
disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam STAD, tetapi
menggantikan kuis dengan turnamen mingguan, dimana siswa memainkan
game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi
skor timnya (Slavin, 2005:13).
Menurut Saco (dalam Rusman, 2010:224), dalam TGT siswa
memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk
memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat
disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan materi pelajaran. Kadang-kadang dapat juga diselingi
16
16
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok (identitas kelompok
mereka).
Permainan dalam TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang
ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap siswa, misalnya akan
mengambil sebuah kartu yang diberi angka dan berusaha untuk menjawab
pertanyaan yang sesuai dengan angka tersebut. Turnamen harus
memungkinkan semua siswa dari semua tingkat kemampuan (kepandaian)
untuk menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Prinsipnya, soal sulit
untuk anak pintar dan soal yang lebih mudah untuk anak yang kurang
pintar. Hal ini dimaksudkan agar semua anak mempunyai kemungkinan
memberi skor bagi kelompoknya. Permainan yang dikemas dalam bentuk
turnamen ini dapat berperan sebagai penilaian alternatif atau dapat pula
sebagai review materi pelajaran (Rusman, 2010:224).
Menurut Rusman (2010:224-225), TGT adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-
kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki
kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Guru
menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing-
masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap
kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan
anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak
mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain
bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya,
sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan pembelajaran kooperatif tipe
TGT adalah pembelajaran kooperatif yang membagi siswa dalam
kelompok kecil 5-6 orang orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis
kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda dalam sebuah permainan
turnamen dimana setiap siswa memberi skor bagi kelompoknya.
17
17
2.1.3.2 Komponen Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Menurut Slavin (2005:163-167) komponen (langkah-langkah)
pembelajaran Kooperatif Tipe TGT antara lain:
a. Presentasi Kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam
penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau
dengan ceramah, dan diskusi yang dipimpin guru. Di samping itu, guru
juga menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan
siswa, dan memberikan motivasi. Pada saat penyajian kelas ini siswa
harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang
disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik
pada saat kerja kelompok dan pada saat game/turnamen karena skor
game/turnamen akan menentukan skor kelompok.
b. Tim
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Siswa
bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 4-5 orang yang anggotanya
heterogen dilihat dari kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras
atau etnik yang berbeda.
Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat
memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang
berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam
menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa
kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif model TGT
sangat menyenangkan. Pada saat pembelajaran, fungsi kelompok adalah
untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih
khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan
baik dan optimal pada saat game/turnamen.
Setelah guru menginformasikan materi dan tujuan pembelajaran,
masing-masing kelompok berdiskusi dengan menggunakan modul.
Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama,
saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok
18
18
yang salah dalam menjawab. Penataan ruang kelas diatur sedemikian
rupa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
c. Game
Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang
dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari
presentasi di kelas, dan pelaksanaan kerja tim. Game tersebut
dimainkan di atas meja dengan tiga orang siswa yang masing-masing
mewakili tim yang berbeda. Kebanyakan game hanya berupa nomor-
nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa
mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan
sesuai sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan
tentang penantang memperbolehkan para pemain saling menantang
jawaban masing-masing.
d. Turnamen
Turnamen merupakan struktur game yang dimainkan. Biasanya
diselenggarakan pada akhir pekan atau unit, setelah guru memberikan
presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap
lembar kegiatan. Turnamen 1, guru menempatkan siswa ke meja
turnamen, tiga siswa terbaik pada hasil belajar yang lalu pada meja 1,
tiga siswa berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang
seimbang ini, seperti halnya sistem skor kemajuan individual dalam
STAD, memungkinkan para siswa dari semua tingkat kinerja
sebelumnya berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka
jika mereka melakukan yang terbaik.
19
19
Tabel 2.1
Skor Kemajuan Individual
Skor Poin Kemajuan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5
10-1 poin di bawah skor awal 10
Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30
Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor awal) 30
Sumber (Slavin, 2005 : 159)
Tabel 2.2
Perhitungan Poin- Turnamen
Untuk Permainan Dengan Empat Pemain Pemain Tidak
ada
yang
seri
Seri
nilai
tertinggi
Seri
nilai
tengah
Seri
nilai
rendah
Seri
nilai
tertinggi
3macam
Seri
nilai
terenda
3macam
Seri 4
macam
Seri
nilai
tertinggi
dan
terendah
Peraih
skor
tertinggi
60 50 60 60 50 60 40 50
Peraih
skor
tengah
atas
40 50 40 40 50 30 40 50
Peraih
skor
tengah
bawah
30 30 20 30 50 30 40 30
Peraih
skor
rendah
20 20 20 30 20 30 40 30
20
20
Tabel 2.3
Perhitungan Poin- Turnamen
Untuk Permainan Dengan Tiga Pemain
Pemain Tidak ada
yang seri
Seri nilai
tertinggi
Seri nilai
terendah
Seri 3macam
Peraih skor
tertinggi
60 50 60 40
Peraih skor
tengah
40 50 30 40
Peraih skor
terendah
20 20 30 40
Tabel 2.4
Perhitungan Poin- Turnamen
Untuk Permainan Dengan Dua Pemain
Pemain Tidak seri Seri
Peraih skor tertinggi 60 40
Peraih Skor Terendah 20 40
(Slavin, 2005:175)
Setelah turnamen pertama, para siswa akan bertukar meja tergantung
pada kinerja mereka pada turnamen terakhir. Pemenang pada tiap pada
tiap meja “naik tingkat” ke meja berikutnya yang lebih tinggi
(misalnya, dari meja 6 ke meja 5): skor tertinggi kedua tetap tinggal
pada meja yang sama, dan yang skornya paling rendah “diturunkan”.
Dengan cara ini, jika pada awalnya siswa sudah salah ditempatkan ,
untuk seterusnya mereka akan terus dinaikkan satu diturunkan sampai
mereka mencapai tingkat kinerja mereka yang sesungguhnya.
Secara skematis model pembelajaran TGT untuk turnamen tampak
seperti gambar berikut:
21
21
Gambar 2.1 Penempatan Meja Turnamen TGT (Slavin, 2005:168).
e. Rekognisi Tim
Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain
apabila skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu.
Menurut Slavin (2005:175) penghargaan yang diberikan
kepada kelompok adalah dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 2.5
Kriteria Penghargaan Kelompok
Kriteria (Rata-rata Tim) Penghargaan
40 Tim Baik
45 Tim Sangat Baik
50 Tim Super
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) adalah model
pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran kelompok dimana
siswa dibagi ke dalam kelompok – kelompok kecil untuk memperdalam
materi dan bekerjasama mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan
baik. Pada pembelajaran ini siswa akan menjadi lebih aktif karena dituntut
oleh tanggungjawab individu dalam kelompok untuk mencapai
keberhasilan pembelajaran yang optimal. Pada akhir pembelajaran
diadakan turnamen yang memberikan suasana kompetitif dalam
pembelajaran untuk memperoleh hasil terbaik.
Meja
Turnam
en
4
Meja
Turnam
en
3
Meja
Turnam
en
1
Meja
Turnam
en
2
C1 C2 C3 C4 Tinggi Sedang Sedang Rendah
B1 B2 B3 B4 Tinggi Sedang Sedang Rendah
A1 A2 A3 A4
Tinggi Sedang Sedang Rendah
22
22
2.1.3.3 Pelaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Menurut Slavin (2005:170) pelaksanaan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) adalah sebagai berikut.
a. Pengajaran
Menyampaikan pelajaran.
b. Belajar Tim
Para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk
mnguasai materi.
c. Turnamen
Para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang
homogen, dengan meja turnamen tiga peserta.
d. Rekognisi Tim
Skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim dan tim
tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.1.3.4 Aturan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Menurut Slavin (2005:172-173), untuk memulai permainan, para siswa
menarik kartu untuk menentukan pembaca yang pertama yaitu siswa yang
menarik nomor tertinggi. Permainan berlangsung sesuai waktu dimulai
dari pembaca pertama. Berikut aturan permainannya.
Gambar 2.2 aturan permaian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Keterangan:
Pembaca
1. Ambil kartu bernomor dan carilah soal yang berhubungan dengan
nomor tersebut pada lembar permainan.
Pembaca
Penantang I
Penantang II
23
23
2. Bacalah pertanyaannya dengan jelas.
3. Cobalah untuk menjawab.
Penantang I
Menantang jika memang dia mau (dan memberikan jawaban berbeda) atau
boleh melewatinya
Penantang II
Boleh menantang jika penantang I melewati dan jika dia memang mau.
Apabila semua penantang sudah menantang atau melewati, penantang II
memeriksa lembar jawaban. Siapapun yang jawabannya benar berhak
menyimpan kartunya. Jika si pembaca salah, tidak ada sanksi, tetapi jika
kedua penantangnya yang salah, maka dia harus mengembalikan kartu
yang dimenangkan ke dalam kotak, jika ada.
2.1.3.5 Keunggulan Dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Menurut Taniredja, Faridli, dkk. (2011:72-73) pembelajaran Kooperatif
Tipe TGT memilki keunggulan dan kelemahan, sebagai berikut.
Keunggulan pembelajaran Kooperatif Tipe TGT adalah:
a. Dalam kelas kooperatif siswa memiliki kebebasan untuk berinteraksi
dan menggunakan pendapatnya.
b. Rasa percaya diri siswa menjadi lebih tinggi.
c. Perilaku mengganggu terhadap siswa lain menjadi lebih kecil.
d. Motivasi belajar siswa bertambah.
e. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap pokok bahasan pembelaan
negara.
f. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, toleransi antara siswa dengan
siswa dan siswa dengan guru.
g. Siswa dapat menelaah sebuah mata pelajaran atau pokok bahasan
bebas mengaktualisasikan diri dengan seluruh potensi yang ada dalam
diri siswa tersebut dapat keluar, selain itu kerjasama antarsiswa juga
siswa dengan guru akan membuat interaksi belajar dalam kelas
menjadi hidup dan tidak membosankan.
24
24
Kelemahan pembelajaran Kooperatif Tipe TGT adalah:
a. Sering terjadi dalam kegiatan pembelajaran tidak semua siswa ikut
serta menyumbangkan pendapatnya.
b. Kekurangan waktu untuk proses pembelajaran.
c. Kemungkinan terjadinya kegaduhan kalau guru tidak dapat mengelola
kelas.
2.1.4 Matematika
2.1.4.1 Hakikat Pembelajaran Matematika
Hakikat pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan belajar
mengajar matematika yang melibatkan guru dengan siswa didalamnya.
Belajar matematika sangat penting untuk kehidupan sahari-hari, karena
setiap harinya kita tidak terlepas dari penggunaan matematika. Matematika
merupakan suatu mata pelajaran di sekolah yang diajarkan dari tingkat
sekolah dasar hingga menengah. Setiap siswa yang bersekolah harus
mempelajari matematika
2.1.4.2 Pengertian Matematika
Menurut Ruseffendi (dalam Heruman, 2007:1), matematika adalah
bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara
induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi,
mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan
akhirnya ke dalil. matematika merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada
didalamnya, Subarinah (dalam Wahyudi, 2010:9). Menurut James (dalam
Ismunamto, 2011:6), Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai
bentuk, susunan, besaran, dan konsep yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari logika tentang konsep,
komponen dan hubungan antarkonsep yang saling berkaitan.
25
25
2.1.4.3 Tujuan Matematika
Menurut Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi,
mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut ini.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
2.1.4.4 Pengertian Pembelajaran
Menurut Hamalik (2010:57), pembelajaran adalah suatu kombinasi
yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan
pembelajaran. Menurut Isjoni (2007:11), pembelajaran adalah sesuatu
yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada
dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik
melakukan kegiatan belajar. Menurut Rusman (2010:134), pembelajaran
adalah suatu proses interaksi antara guru dengan siswa, baik interaksi
secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak
langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media pembelajaran.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
suatu proses interaksi antara guru dengan siswa baik langsung maupun
26
26
tidak langsung dengan menggunakan berbagai media untuk mencapai
tujuan tertentu.
2.1.4.5 Pengertian Pembelajaran Matematika
Menurut Muhsetyo (2011:1.26), pembelajaran matematika adalah
proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian
kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang
bahan matematika yang dipelajari. Sedangkan menurut Wahyudi
(2010:13), pembelajaran matematika adalah proses yang dirancang dengan
tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan memungkinkan seseorang
(si pelajar) melaksanakan kegiatan belajar matematika, dan proses tersebut
pada guru mengajar matematika.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika adalah proses yang dirancang untuk memberikan pengalaman
belajar kepada siswa dengan melaksanakan kegiatan belajar matematika
dan pada guru matematika sehingga memperoleh kompetensi matematika
yang dipelajari.
2.1.5 Hakikat Minat Belajar
Dalam hakikat minat belajar ini akan diuraikan mengenai pengertian
minat menurut beberapa ahli, kemudian pengertian dari belajar dan faktor
yang mempengaruhinya, selain itu akan dijelaskan mengenai cara
membangkitkan minat, kemudian akan dijelaskan indikator yang
digunakan sebagai acuan penilaian untuk mengukur minat siswa.
2.1.5.1 Pengertian Minat
Menurut Slameto (2010:180), minat adalah suatu rasa lebih suka dan
rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh.
Selain itu Menurut Mursal (dalam Djamarah, 2011:94), minat adalah
kesadaran seseorang, bahwa suatu objek, seseorang atau suatu soal atau
suatu situasi mengandung sangkut paut dengan dirinya. Selanjutnya
menurut Djamarah (2011:166), minat adalah kecenderungan yang menetap
untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas.
27
27
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa minat adalah suatu
ketertarikan dan keinginan siswa terhadap suatu aktivitas atau hal yang
disenangi tanpa ada yang menyuruh.
2.1.5.2 Cara Membangkitkan Minat Belajar
Menurut Djamarah (2011:167) Ada beberapa macam cara yang dapat
guru lakukan untuk membangkitkan minat anak didik sebagai berikut ini.
1. Membandingkan adanya suatu kebutuhan pada diri anak didik,
sehingga dia rela belajar tanpa paksaan.
2. Menghubungkan bahan pelajaran yang deberikan dengan persoalan
pengalaman yang dimiliki anak didik, sehingga anak didik mudah
menerima bahan pelajaran.
3. Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mendapatkan hasil
belajar yang baik dengan cara menyediakan lingkungan belajar yang
kreatif dan kondusif.
4. Menggunakan berbagai macam bentuk dan teknik mengajar dalam
konteks perbedaan individual anak didik.
Menurut Sanjaya (2010:261), cara yang dapat dilakukan untuk
membangkitkan minat belajar siswa di antaranya.
1. Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan
siswa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa
materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian,
guru perlu menjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan
kebutuhan siswa.
2. Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan
kemampuan siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit untuk dipelajari
atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak
diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan
dapat diikuti dengan baik, yang dapat menimbulkan siswa akan gagal
mencapai hasil yang optimal; dan kegagalan itu dapat membunuh
minat siswa untuk belajar. Biasanya minat siswa akan tumbuh kalau ia
mendapat kesuksesan dalam belajar.
28
28
3. Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi
misalnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi dan lain
sebagainya.
Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan minat siswa dalam belajar
adalah guru harus mampu menghubungkan bahan pelajaran dengan
kebutuhan siswa, menyediakan lingkungan belajar yang kreatif dan
kondusif, menyesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman
siswa, serta menggunakan berbagai macam model dan strategi
pembelajaran.
2.1.5.3 Indikator Minat Belajar
Dilihat dari strategi belajar mengajar, proses pembinaan nilai dalam
kawasan afektif (Kratwahl dalam Gulo, 2002:155-156) melalui lima
tahapan secara hierarkis, sebagai berikut.
Tabel 2.6
Indikator Minat
Tingkat Unsur
1. Menerima
(receiving)
1.1 Kesadaran (awareness)
1.2 Kemauan menerima (willingness to
receive)
1.3 Pemusatan perhatian
(controled/selected attention)
2. Menanggapi
(responding)
2.1 Kesediaan menanggapi
(acquiescence in responding)
2.2 Kemauan menanggapi (willingness
to respons)
2.3 Kepuasan dalam menanggapi
(satisfaction in response)
3. Penilaian
(valuing)
3.1 Penerimaan suatu nilai (acceptance
of value)
29
29
3.2 Pemilihan suatu nilai (preference
for value)
Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa minat belajar
siswa dapat dilihat dari 3 tingkatan yaitu menerima, menanggapi dan
penilaian. Dari ketiga tingkat tersebut memiliki unsur-unsur yang
mendasarinya. Untuk tingkat menerima memiliki unsur kesadaran,
kemauan menerima dan pemusatan perhatian. Pada tingkat menanggapi
memiliki unsur kesediaan memanggapi, kemauan menanggapi, dan
kepuasan dalam menanggapi. Sedangkan pada tingkat penilaian terdapat
unsur penerimaan suatu nilai dan pemilihan suatu nilai. Minat yang
diungkap melalui penelitian ini adalah minat belajar siswa terhadap mata
pelajaran Matematika.
2.1.5.4 Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya
Menurut Aunurrahman (2011:33), belajar merupakan aktivitas
yang kita lakukan sehari-hari baik yang kita lakukan sendiri maupun yang
kita lakukan secara kelompok tertentu, dan tidak ada ruang dan waktu
dimana manusia dapat melepaskan dirinya dari kegiatan belajar sehingga
belajar tidak pernah dibatasi usia, tempat maupun waktu, karena
perubahan yang membuat terjadinya aktivitas belajar itu juga tidak pernah
berhenti. Menurut teori behavioristik dalam Budiningsih (2005:20), belajar
adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara
stimulus dan respon. Selain itu menurut Rusman (2010:134), belajar
adalah proses perubahan tingkah laku individu sebagai hasil dari
pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Belajar bukan
hanya sekedar menghafal, melainkan suatu proses mental yang terjadi
dalam diri seseorang.
Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa belajar adalah
perubahan tingkah laku seseorang dalam melakukan aktivitas dalam
30
30
interaksi individu maupun kelompok untuk memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baru guna mencapai tujuan tertentu.
Menurut Slameto (2003:54-72) faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar yaitu:
1. faktor intern
1) Faktor jasmaniah yang meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.
2) Faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat,
motif, kematangan, dan kesiapan.
3) Faktor kelelahan yang meliputi kelelahan jasmani dan rohani.
2. faktor ekstern
1) Faktor keluarga yang meliputi cara orang tua mendidik, relasi
antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga,
pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.
2) Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat
pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan
gedung, metode belajar, dan tugas rumah.
3) Faktor masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat,
media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.
Apabila minat dikaitkan dengan belajar, minat sangat besar pengaruhnya
terhadap aktivitas belajar. Misalnya siswa yang berminat terhadap suatu
mata pelajaran matematika, maka siswa tersebut akan mempelajari
matematika dengan sungguh-sungguh, hal ini dikarenakan ada daya tarik
baginya. Sehingga proses belajar akan berjalan lancar bila disertai minat
(Djamarah, 2011:167).
2.1.6 Pengertian Hasil Belajar
Menurut Sukmadinata (2009:102-103), hasil belajar (achievement)
merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial
atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Sedangkan menurut Suprijono
(2011:5), hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-
pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Selain itu menurut
31
31
Aunurrahman (2011:37), hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku
yang diperoleh dari aktivitas belajar. Walapun tidak semua perubahan
tingkah laku merupakan hasil belajar, akan tetapi aktivitas umumnya
disertai perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku pada kebanyakan
hal merupakan suatu perubahan yang dapat diamati (observable). Akan
tetapi juga tidak selalu perubahan tingkah laku yang dimaksudkan sebagai
hasil belajar tersebut dapat diamati. Perubahan-perubahan yang dapat
diamati kebanyakan berkenaan dengan perubahan aspek-aspek motorik.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
hasil kecakapan manusia yang berupa angka melalui proses pemahaman
materi pembelajaran sehingga menghasilkan perubahan perilaku yang
baik.
2.2 Kajian Penelitian yang relevan
Yuliana (2012), dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan TGT
Terhadap Hasil Belajar Pada Pembelajaran Matematika Kelas IV SDN 11
Pontianak Kota”.
Hasil analisisnya: berdasarkan perhitungan statistik dari rata-rata hasil post-
test kelas kontrol sebesar 66,94 dan rata-rata hasil post-test kelas eksperimen
sebesar 83,42 diperoleh thitung sebesar 3,63 dan ttabel (α = 5% dan dk = 53)
sebesar 1,6755, yang berarti thitung (3,63) > ttabel (1,6755), dengan
demikian maka Ha diterima. Dan dari perhitungan effect size, diperoleh effect
size sebesar 0,86 (kriteria tinggi). Hal ini berarti pembelajaran dengan
penerapan model kooperatif tipe Team games tournament memberi pengaruh
yang besar terhadap tingginya hasil belajar siswa kelas IV SDN 11 Pontianak
Kota”.
Saryantono, Buang (2011), dengan judul penelitian “Pengaruh
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament )Dalam
Pembelajaran Matematika”.
Hasil analisisnya: dari perhitungan diperoleh ttes = 10,47. Pada tabel untuk
= 5% maupun untuk = 1% berturut-turut adalah ttabel = t(0,95) = 1,68 dan ttabel
= t (0,99) = 2,42. Hal ini menunjukkan bahwa thitung > ttabel baik pada taraf nyata
32
32
5% maupun 1%. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif tipe TGT
(Team Games Tournament) berpengaruh terhadap hasil belajar matematika.
Milati, Nuril (2009), dengan judul penelitian “ Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Berbantuan Kartu Domino Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV”.
Hasil analisisnya: penerapan model pembelajaran TGT berbantuan media
kartu domino ternyata dapat meningkatkan hasil belajar sebesar 9,7%.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus I hasil belajar siswa yaitu
70,5% yang berada pada kategori sedang, ternyata mengalami peningkatan
pada siklus II menjadi 80,20% yang berada pada kategori tinggi.
Nuha, Atik Liulin (2009), dengan judul penelitian “ Penerapan model
Penerapan Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) dalam Materi
Pokok Logaritma guna Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar
Peserta didik Kelas X A MAN Semarang 2 Semester Gasal Tahun Pelajaran
2009-2010”.
Hasil analisisnya: Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap
prasiklus, siklus I dan siklus II. Pada tahap prasiklus, motivasi belajar peserta
didik mempunyai prosentase 47% dan rata-rata hasil belajar 59.23 dengan
ketuntasan klasikal 48,5%. Pada siklus I setelah dilaksanakan tindakan
motivasi belajar peserta didik meningkat menjadi 62.96% dan rata-rata hasil
belajar 74.29 dengan ketuntasan klasikal 71.1%. Sedangkan pada siklus II
motivasi belajar peserta didik mengalami peningkatan yaitu dapat
diprosentasekan menjadi 77, 77% dan rata-rata hasil belajar peserta didik
adalah 79.64 dengan ketuntasan klasikal 93.3%. Dari tiga tahap tersebut jelas
bahwa ada peningkatan setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif
tipe TGT (Team Games Tournament) dengan sebelumnya.
Cahyaningrum, Mega (2013), dengan judul penelitian “Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) Terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri Gabus 01 Kabupaten
Pati”.
33
33
Hasil analisisnya: berdasarkan analisis data penelitian stelah mendapatkan
perlakuan, menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan. Data
instrumen tes dianalisis menggunakan analisis statistik yaitu uji-t.
Berdasarkan perhitungan menggunakan uji-t pada taraf signifikansi (α) = 0,05
didapatkan thitung > ttabel yaitu 2,..3 > 2,00, sehingga hipotesis nol (H0) ditolak
dan hipotesis alternative diterima, maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh
Model pembelajaran Kooperatif tipe TGT terhadap hasil belajar Matematika.
Santoso, Malkan (2011), dengan judul penelitian “ Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Team-Games-Tournament (TGT) Terhadap
Pemahaman Konsep Matematika Siswa”.
Hasil analisisnya: dari hasil analisis uji statistik thitung < ttabel (1,499 <1,66),
maka Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf signifikan α 0,05 dengan derajat
kebebasan (db) 77. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan
model pembelajaran konvensional. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat pengaruh pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap tingkat pemahaman matematika
siswa.
2.3 Kerangka Berpikir
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament). Model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) adalah model pembelajaran
yang menekankan pada pembelajaran kelompok dimana siswa dibagi ke
dalam kelompok – kelompok kecil untuk memperdalam materi dan
bekerjasama mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan baik. Pada
pembelajaran ini siswa akan menjadi lebih aktif karena dituntut oleh
tanggungjawab individu dalam kelompok untuk mencapai keberhasilan
pembelajaran yang optimal. Pada akhir pembelajaran diadakan turnamen yang
memberikan suasana kompetitif dalam pembelajaran untuk memperoleh hasil
terbaik.
34
34
Alur kerangka berpikir yang ditunjukkan untuk mengarahkan jalannya
penelitian agar tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan.alur
kerangka berpikir digambarkan dilukiskan dalam bentuk gambar skema agar
penelitian memiliki alur yang jelas dalam melaksanakan penelitian.
Berdasarkan hasil pengamatan di kelas IV SD Negeri 06 Sendangharjo
Kecamatan Karangrayung Kabupaten Grobogan, sebagian besar siswa masih
kurang berminat untuk belajar matematika. Hal ini dibuktikan saat
melaksanakan kegiatan belajar mengajar guru sudah melaksanakan kegiatan
belajar mengajar dengan menggunakan diskusi kelompok. Akan tetapi,
pelaksanaan diskusi kelompok didominasi oleh siswa yang pandai, sedangkan
siswa yang lain asik bermain sendiri, mengobrol dan mengganggu teman yang
lain bahkan siswa jarang memiliki keberanian untuk bertanya atau
mengungkapkan pendapatnya di kelas. Dengan kata lain, hanya siswa yang
pandai yang dapat menguasai materi pembelajaran. Dari hasil wawancara,
hasil belajar siswa rendah dikarenakan siswa enggan untuk mengerjakan soal
latihan, tugas atau PR, anggapan siswa terhadap sulitnya Matematika masih
mendominasi siswa sehingga minat belajar mereka masih sangat rendah.
Selain itu, siswa juga kurang mandiri dalam mengerjakan tugas ataupun
ulangan, hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara dengan siswa yang
menyatakan bahwa mereka terkadang menyontek tugas ataupun ulangan
Matematika siswa yang lain. Bahkan beberapa siswa mengatakan bahwa
mereka tidak menyukai pelajaran Matematika dan Matematika merupakan
mata pelajaran yang sulit.
Peneliti mengambil model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team
Games Tournament) untuk dijadikan bahan penelitian dan untuk mengetahui
apakah model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap minat
dan hasil belajar siswa. Pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games
Tournament) pada mulanya dikembangkan oleh Davied Devries dan Keith
Edward. Model pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Model
pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan salah satu model pembelajaran
kooperatif dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang
35
35
terdiri dari 4-5 siswa yang heterogen, baik prestasi akademik, jenis kelamin,
ras ataupun etnis. Dalam model pembelajaran TGT digunakan turnamen
akademik dimana siswa berkompetisi sebagai wakil dari timnya melawan
anggota tim yang lain yang mencapai hasil atau prestasi serupa pada akhir
pekan atau akhir unit.
Gambar 2.3 Alur Kerangka Berpikir
2.4 Hipotesis
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap suatu permasalahan penelitian sampai terbukti data
yang terkumpul (Arikunto, 2010:110). Berdasarkan tinjauan teori dan
kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1) Ada pengaruh positif dan signifikan penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) terhadap minat belajar
Matematika siswa Kelas IV SD Negeri 06 Sendangharjo.
2) Ada pengaruh positif dan signifikan penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) terhadap hasil belajar
Matematika siswa Kelas IV SD Negeri 06 Sendangharjo.
Posttest
Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan pembelajaran kooperatif model TGT di mana minat hasil belajar kelas eksperimen lebih
tinggi dari kelas kontrol
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Posttest
Pembelajaran Diskusi Kelompok
Hasil pretest dan angket minat tidak ada perbedaan yang signifikan
Kelas Eksperimen Pretest
Kelas Kontrol Pretest Angket minat
Angket minat
Angket minat
Angket minat