bab ii definisi tindak pidana pencemaran nama baik...
TRANSCRIPT
23
BAB II
DEFINISI TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK
A. Pengertian Pencemaran Nama Baik menurut Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana
Adegium kuno berbunyi, neminem laedit qui suo iure yang terjemahan
bebasnya adalah ”tidak seorang pun dirugikan oleh penggunaan hak”.
Berdasarkan adegium itulah dikembangkan pemikiran bahwa penggunaan hak
atau kewenangan perdefinisi harus merupakan suatu tindakan menurut hukum
sehingga tidak dapat secara sekaligus juga menghasilkan suatu tindakan yang
melanggar hukum31 oleh karena itulah kerap kali dikatakan bahwa istilah
penyalahgunaan hak merupakan suatu contradictio in terminis atau setidaknya
suatu istilah yang mengandung kerancuan berpikir (dubious).32
Akan tetapi sudah sejak dahulu kala telah diterima bahwa tidak semua
penggunaan hak diperkenankan.
33 Suatu ungkapan dinyatakan oleh Gaius,
seorang ahli hukum Romawi kuno, yaitu male enim nostro iure uti non debimus,
yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya ”memang kita tidak boleh
menggunakan hak kita untuk tujuan tidak baik”. Hal itu berarti penggunaan suatu
hak dalam arti kewenangan semata-mata dengan tujuan untuk merugikan orang
lain merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima.34
31 P . Van Dijk et al, Van Apeldoorn’s Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht,
W.E.J Tjeenk- Willijnk, 1985, hlm. 48 32 Ibid 33 Ibid 34 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : Prenada Media Group,),
2008, hal.181
Universitas Sumatera Utara
24
Sebagai contoh klasik dalam perbincangan penyalahgunaan hak yang
selalu dikemukakan adalah putusan pengadilan di Colmar pada 2 Mei 1855.
Putusan itu mengenai perkara pembangunan cerobong asap palsu. Perkara itu
berawal dari A dan B yang bertetangga dalam suatu susun. A bertempat tinggal di
lantai yang lebih tinggi dari B dan mempunyai jendela yang memungkinkan A
menikmti pemandangan ,asap palsu hanya untuk menghalangi pemandangan A.
Pengadilan di Colmar yang memeriksa cerobong asap itu mendapati bahwa
cerobong asap itu palsu. Oleh karena itu atas dasar penyalahgunaan hak,
pengadilan memerintahkan agar cerobong asap itu dibongkar.35
Hammerstein mengemukakan bahwa menurut beberapa sarjana, ajaran
penyalahgunaan hak merupakan sesuatu yang berlebihan.
36 Bagi mereka masalah-
masalah dapat diselesaikan dalam kerangka perbuatan melanggar hukum.37
Akan tetapi pada akhirnya Hammerstein mengemukakan, bahwa saat ini
istilah peyalahgunaan hak telah diterima dan memperoleh pengertian yang jelas
bagi setiap orang.
38
35 Ibid 36 P . Van Dijk et al,Loc.Cit 37 Ibid 38 Ibid
Sejalan dengan pengertian penyalahgunaan dalam alam
pemikiran kontinental, dalam alam pikir Anglo – American, dikembangkan Law
of Niusance. Nuisance artinya aktivitas yang timbul dari penggunaan hak milik
yang tidak beralasan, tanpa maksud tertentu atau tanpa alas hak tidak beralasan,
tanpa maksud tertentu atau tanpa alas hak yang merugikan orang lain atau publik
dengan menimbulkan ketidaknyamanan atau terganggunya orang lain atau publik
tersebut. Di negara – negara dengan sistem commom law, perbuatan semacam itu
dilarang oleh undang- undang . Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikemukan
Universitas Sumatera Utara
25
oleh Hammerstein pada tahun 1985 tidak tepat, Amerika Serikat, Inggris,
Australia dan negara-negara lainnya yang non sosialis menetapkan Law of
Nuisance.39
Ancaman yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah
menyangkut pasal – pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur
penghinaan. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diancam oleh pasal
124, 136, dan 137. Penghinaan terhadap raja, kepala Negara sahabat, atau wakil
Negara asing diatur dalam pasal 142, 143, dan 144. Penghinaan terhadap institusi
Sebenarnya, sejak diundangkannya Sherman Act pada akhir abad
kesembilan belas yang kemudian dikenal dengan Antitrust Law, Amerika Serikat
tanpa perlu menjadi negara sosialis telah melakukan pembatasan hak para pebisnis
untuk melindungi pesaingnya dan konsumen. Menurut Penulis, penggunaan hak,
termasuk juga e-mail harus dilakukan dengan baik tidak dengan pencemaran atau
fitnah.
Pencemaran nama baik seseorang atau fitnah adalah ketentuan hukum
yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang
disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut
slander.
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama
baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan negeri sipil, dan jika
menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan
kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
39 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit , hal 183
Universitas Sumatera Utara
26
atau badan umum (seperti DPR, Menteri, MPR, Kejaksaan, Kepolisian, Gubernur,
Bupati, Camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika
penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi Negara) maka diatur
dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang
bias dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena
pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321
(pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Adapun pasal pasal yang merupakan penghinaan di dalam Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana yaitu:
a. Pasal 134, 136, 137
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum, diancam pidana 6 tahun
penjara.
b. Pasal 142
Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat, diancam pidana 5 tahun
penjara.
c. Pasal 143, 144
Penghinaan terhadap wakil Negara asing, diancam pidana 5 tahun penjara.
d. Pasal 207, 208, 209
Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Usaha Umum diancam pidana 6
tahun penjara.
e. Pasal 310, 311, 315, 316
Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan, diancam pidana 9 bulan, dan 16 bulan penjara.
Universitas Sumatera Utara
27
f. Pasal 317
Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu, diancam pidana 4 tahun
penjara.
g. Pasal 320, 321
Penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap orang mati, diancam
pidana 4 bulan penjara.
B. Pengertian Pencemaran Nama Baik menurut Undang – Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik
Tindak pidana, atau Moeljatno memberikan istilah ini dengan perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa pidana adalah
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
Anatara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh karena itu
antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungannya yang
erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat
dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam
pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.40
40 Djoko Prakoso, Hukum Penitentiere di Indonesia, ( Yogyakarta : liberty , 1988 ), hal 95
Universitas Sumatera Utara
28
Di dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ada beberapa larangan yang berupa pidana
menyatakan bahwa :
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentrasnmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
3) Setiap orang dengan senagaja dan tanpa mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
4) Setiap orang dengan senagaja dan tanpa mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
Sedangkan Pasal 28 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informaasi dan Transaksi Elektronik justru menegaskan dari Pasal 27 menyatakan
bahwa :
Universitas Sumatera Utara
29
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antar golongan (SARA).
Pasal 30 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
komputer dan/atau Sistem Elektronik orang lain dengan cara apa pun.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan
untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan
melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengamanan.
Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak dan tanpa hak melawan
hukum melakukan interpensi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem elektronik tertentu
milik orang lain.41
41 Pasal 31 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE
Universitas Sumatera Utara
30
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan
interpensi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat publik dari, ke, dan didalam suatu komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang dapat menyebabkan
perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan,
dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
sedang ditransmisikan.42
Kecuali intersepsi sebagaiman dimaksud pada ayat(1) dan ayat(2),
intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang – undang.
43
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.
Pasal 32 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak
berhak.
3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
42 Pasal 31 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE 43 Pasal 31 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE
Universitas Sumatera Utara
31
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 34 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, menggadaikan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki :
a. Perangkat keras atau perangkat lunak computer yang dirancang atau
secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan pasal 33;
b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu
ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai
dengan pasal 33.
2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika
ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem
Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan
tidak melawan hukum.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, pengilangan, perusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah – olah data yang otentik.44
44 Pasal 35 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE
Universitas Sumatera Utara
32
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal
34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.45
B. Pengertian Pencemaran Nama Baik Menurut Undang- Undang Nomor
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
mengatakan bahwa ”Pers wajib melayani Hak Jawab , selanjutnya ayat (3)
mengamanatkan ” Pers wajib melayani Hak Koreksi”. Di dalam Ketentuan
Umum, hak jawab diartikan ” hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya. ” Definisi ini lebih sumir dibandingkan dengan definisi
Hak Jawab yang diberikan Pasal 15a Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1984
tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pers, yaitu ( ayat 1 ) : ” Hak jawab
merupakan hak seseorang, organisasi atau badan hukum yang merasa dirugikan
oleh tulisan dalam sebuah atau beberapa penerbitan pers yang bersangkutan agar
penjelasan dan tanggapannya terhadap tulisan yang disiarkan atau diterbitkan,
dimuat di penerbitan pers tersebut.
Jawaban atau tanggapan masyarakat itu, menurut ketentuan ayat (2) Pasal
15a UU yang sama, dalam ” batas- batas yang pantas ” wajib dimuat oleh
penerbitan pers tersebut.
Pasal 5 ayat (3 ) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
mengatakan bahwa Hak Koreksi adalah ” hak setiap orang untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang
45 Pasal 36 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE
Universitas Sumatera Utara
33
dirinya maupun tentang orang lain. ” Kecuali hak koreksi ” UU tentang Pers juga
mengenal konsep yang bernama ”kewajiban koreks ” yang diartikan ” keharusan
melakukan koreksi atau ralat terhadap informasi, data fakta, opini atau gambar
yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan ”.
Bab I Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terlihat
pembedaan hak koreksi dan kewajiban koreksi. Terdapat kesan kuat bahwa dalam
hal kewajiban koreksi, inisiatif datang daripers sendiri. Segera setelah pers
menyadari adanya kekeliruan atas informasi, data atau gambar yang telah
dipublikasikannya yang mungkin akan merugikan pihak ketiga, pers melakukan
koreksi. Koreksi bisa dalam bentuk pembetulan, penyempurnaan atau pencabutan
berita/gambar yang bersangkutan.
C. Pengertian Pencemaran Nama Baik Menurut Undang- Undang Nomor
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai “authority in, or
rule by, the people.” kekuasaan di tangan rakyat, atau kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi mempunyai 2 (dua) aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek
substansif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab masalah
tentang bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah,
seperti memilih pemimpin nasional dan wakil-wakil rakyat dalam pemilihan
umum, proses pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme
pengawasan efektif terhadap pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya.
Demokrasi dalam aspek substansif menyentuh masalah apa saya yang bisa diatur
oleh pemerintah. Bolehlah pemerintah melakukan intervensi dalam urusan bisnis,
urusan agama, sejauh mana kebebasan berserikat dan kebebasan menyatakan
Universitas Sumatera Utara
34
pendapat bisa dijalankan penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam
urusan pernikahan antar warganya dan lain sebagainya.
Para penganut teori substantif demokrasi, umumnya, bersepakat bahwa
hak-hak dasar warganegara perlu mendapat jaminan penuh dari pemerintah.
Dalam konteks demokrasi di negara-negara barat, yang sangat ditekankan adalah
perlindungan terhadap civil liberties and civil rights46
Demokrasi sampai sekarang masih dipandang sebagai bentuk pemerintah
yang ideal, dibandingkan dengan pemerintah otokrasi (dengan derivatnya yang
disebut otoriter), monarki, aristokrasi, atau oligarki
. Termasuk dalam kategori
civil liberties, misalnya, kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan
pendapat secara terbuka, termasuk juga kebebasan pers. Dalam kelompok civil
rights antara lain perlindungan terhadap asas praduga tak bersalah,
memperlakukan setiap tersangka secara adil dan manusiawi, hapusnya segala
bentuk diskriminasi dalam kehidupan masyarakat, termasuk diskriminasi gender,
hak warganegara untuk mendapat kehidupan yang layak dansebagainya.
47
46 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Los Angeles : University of California, Press, 1978,
hal.6 47 Lippman, Walter, A Preface to Morals, New York, : The Macmilan Company,
1967,hal.278
Namun, hal ini tidak berarti
bahwa demokrasi dalam pelaksanaannya tidak lagi menghadapi masalah atau
hambatan. Pelaksanaan demokrasi di mana-mana termasuk di Amerika ternyata
juga menghadapi banyak tantangan dan dilema yang tidak mudah dipecahkan.
Soal kebebasan, misalnya, seberapa besar kebebasan bisa dinikmati oleh tiap-tiap
warganegara? Apakah seorang terpidana sudah kehilangan kebebasannya? Kalau
dikatakan masih dijamin, kebebasan mana yang masih bisa dinikmatinya dan
kebebasan yang mana yang untuk sementara “dirampas” oleh negara? Jika porsi
Universitas Sumatera Utara
35
kebebasan warganegara terlalu besar, apakah takkan bertabrakan dengan order
(tatanan sosial-politik) yang juga menjadi salah satu prinsip pokok dari
demokrasi, sehingga kepentingan masyarakat bisa terancam? Soal keadilan
(justice), keadilan yang bagaimana yang harus ditegakkan sendiri oleh penduduk
atau diserahkan kepada pemerintah? Apakah keadilan penduduk bisa kongruen
dengan keadilan versi pemerintah?
Pemerintah, secara teoritis, didirikan dengan tujuan pokok untuk
melindungi kehidupan dan harta benda penduduk, untuk memberikan rasa aman
kepada setiap penduduknya. Pemerintah (baca: Negara) dibentuk berdasarkan
pengalaman hidup umat manusia yang merasa tidak aman dan dihimpit rasa takut
karena selalu terancam agresi pihak luar dan kepunahan ketika mereka hidup
terpencar-pencar dan tidak teroganisir.48
Dalam perkembangan selanjutnya, kesejahteraan penduduk juga menjadi
tugas pokok pemerintah. Pemerintah yang tidak mampu mensejahterahkan
rakyatnya, apalagi membawa kesengsaraan bagi rakyat, dipandang tidak layak
untuk terus memerintah dan oleh sebab itu harus diganti. Dalam sistem
demokrasi, tiga motto selalu dijunjung tinggi, yakni freedom (kebebasan), order
(tertib sosial, tertib hukum), dan equality (persamaan). Tiga motto ini diyakini
harus terus menerus diperjuangkan oleh semua pihak, khususnya pemerintah.
. Di bawah organisasi yang disebut
Negara, orang merasa lebih aman, segala permasalahan tidak lagi dipecahkan
sendiri-sendiri, melainkan secara bersama. Maka, disusunlah sebuah pemerintah
di dalam Negara tadi dengan tugas pokok : to protect life and property milik
penduduk.
48 Dennis Wrong, The Problem of Order, What Unites and Divides Society, New York :
The Free Press, 1994, hal.3-4
Universitas Sumatera Utara
36
Namun, tiga motto ini pula yang kemudian melahirkan dilema dalam setiap
Negara demokrasi. Dilema pertama adalah konflik antara kebebasan dan order,
sedang dilema kedua berupa konflik antara kebebasan dan persamaan
Dalam konteks tema pokok buku kita, yaitu delik pencemaran nama, maka
pemahaman tentang konflik kebebasan dan order menjadi sangat relevan.
Order mengandung makna yang sangat luas. Talcott Parsons sebagaimana
dikut ip oleh Wong49 memberikan defenisi order “the absence if universal
conflict among individuals maintaining social relations with each other, as the
inversion or contrary, in effect, of the Hobbesian ‘war of all against all’”. Suatu
kondisi tiadanya konflik dalam relasi manusia, itulah intisari order. Konflik tidak
ada karena manusia satu sama lain terikat dan mengimplementasikan norma-
norma yang disepakatinya bersama. Tanpa order, manusia akan baku hantam
dengan sesama (war of all against all). Hanya dengan menegakkan dan
memelihara order, manusia dapat hidup tentram dan damai, tulis Marsiglio seperti
dikutip oleh Curtis50
49 Ibid, hal3-4 50 Michael Curtis, (editor ), The Great Political Theories, Vol.1 New York : Avon Books,
1962, hal 181
.
Dalam bahasa Indonesia, order bisa diartikan tertib sosial, keamanan
(tetapi bukan dalam arti security), bahkan stabilitas. Order bisa juga diidentikkan
dengan hukum, kalau hukum didefinisikan “A system of norms providing a
method of settling disputes authoritatively” , suatu sistem norma yang dipakai
untuk menyelesaikan perselisihan secara sah. Atau “...rules for the guidance of
official and citizens”. , aturan-aturan sebagai pedoman bagi pemerintah maupun
penduduk).
Universitas Sumatera Utara
37
Untuk mudahnya, dalam makalah ini, order diterjemahkan “tertib sosial”
sebab istilah “tertib sosial” mengandung nuansa hukum, atau lebih tepat, ketaatan
individu pada hukum yang berlaku. Istilah “law” berasal dari kata “lex” dalam
bahasa Latin. Istilah “Lex” sendiri berasal dari kata kerja “ligare” yang secara
harfiah bermakna “mengikat”. Maka, Thomas Aquinas seperti dikutip oleh
Mosmeyer51
Supaya tugas pokok pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik, mutlak
diperlukan seperangkat peraturan sebagai pedoman perilaku rakyat, sekaligus
pedoman bagi pemerintah untuk menegakkan hukum. Dengan norma hukum,
sesuai dengan asal-muasalnya, yaitu to bind (mengikat), kebebasan bertindak
individu mengalami ristriksi. Di sisi lain, demokrasi juga mensyaratkan kebebasan
yang mengandung makna “absence of constraints on behavior” (tindakan yang
bebas dari hambatan/halangan) atau “the liberty of being able to choose otherwise
than as we did
mendefenisikan hukum “A rule and measure of acts whereby man is
induced to act or is restrained from acting”. Hukum pada hakikatnya mengatur
atau membatasi tindakan individu; ada tindakan individu yang bisa dilakukan, ada
pula tindakan yang dilarang dilakukan.
52
51 (www.catholic-forum.com/churches/luxver/law1.htm) 52 Adler, Mortimer J. Six Great Ideas, New York : MacMilan Publishing Co,Inc,1981,
hal.141
. Maka sering timbul konflik antara kebebasan dan hukum.
Dalam proses demokrasi, keduanya saling tarik menarik. Individu menghendaki
kebebasan yang optimal dan hukum yang minimal. Sebaliknya, pemerintah,
terutama pemerintah di negara-negara berkembang seperti Indonesia – dalam
rangka pelaksanaan fungsi utamanya, yaitu melindungi jiwa dan harta-benda
rakyat cenderung memberikan porsi lebih besar pada hukum.
Universitas Sumatera Utara
38
Pada era reformasi ini, bangsa kita tampaknya terjebak dalam situasi
anomali. Di satu sisi tuntutan kebebasan di segala lapangan kehidupan sangat
menggebu-gebu, di sisi lain aturan main untuk mengakomodir kebebasan yang
optimal ini belum ada atau belum disepakati bersama. Sebagaimana masyarakat
pun sesungguhnya belum siap menerapkan kebebasan ala barat yang bernuansa
absolut, karena khawatir terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya.
Di satu sisi ideologi Pancasila nyaris menjadi “sampah” yang berfungsi sebagai
pemanis bibir semata; namun di sisi lain rakyat kita belum menyepakati suatu
“ideologi” baru seperti pengganti Pancasila. Dalam situasi anomali seperti itu,
Rule of Law menjadi mandul. Hukum tidak lagi berpihak pada keadilan, tapi lebih
sering takluk pada uang dan kekuasaan. Siapa yang mempunyai uang lebih
banyak, atau power lebih besar, proses hukum bisa dimenangkan53
53 Wolff, Robert Paul .The Rule of Law, New York : Simon and Schuster, 1971, hl15-36
Jika hukum berada pada status mandul, order pun menjadi kacau balau.
Indonesia pasca-Orde Baru menjadi panggung terbuka bagi tontonan runtuhnya
order. Konflik berdarah antar-etnis di berbagai daerah, tawuran massal antar
kampung, copet yang tertangkap basah dan digebuki massa sampai mati, “hiruk
pikuk” pemilihan Bupati atau Gubernur, banyaknya calon anggota legislatif
(caleg) yang menggunakan ijazah aspal (asli tapi palsu), praktek uang dalam
pemilihan umum, praktek KKN yang semakin merajalela, para petinggi
pemerintah yang ramai-ramai mencari gelar MBA dan Doktor tanpa sekolah,
Bupati yang melecehkan Gubernur, Walikota yang dipecat DPRD ketika baru
menjabat dua bulan, sampai situasi lalu lintas yang sangat semrawut, semua itu
jelas merupakan cermin dari order yang kacau, bahkan nyaris runtuh.
Universitas Sumatera Utara
39
Secara universal, pers diakui memainkan peran penting dalam proses
demokrasi ; Reilly, “World Press Freedom,54
Dalam teori pers libertarian
;. Dalam kancah politik, pers kerap
berfungsi sebagai filter komunikasi politik antara elite politik dan rakyat, atau
sebaliknya, sebab jarang sekali pemimpin negara berbicara langsung kepada
rakyat. Begitu juga sebaliknya, pers menjadi wahana penting untuk
menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Dalam era reformasi di negara kita, pers memiliki kedudukan sangat
terhormat. Institusi ini benar-benar menikmati statusnya sebagai The Forth Estate
(pilar kekuasaan keempat). Hal ini wajar. Di seantero dunia, pers selalu menjadi
korban pertama, sekaligus korban paling berat, dari kekuasaan otoriter. Tapi, jika
kekuasaan, otoriter jatuh, pers-lah yang pertama kali menikmati kebebasan.
Semakin besar cekikan yang dialami pers dalam era otoritarian, semakin besar
pula kebebasan yang dituntutnya setelah pergantian regime.
55
Pasal 2 Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan
bahwa “Kebebasan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” . Dengan
klausal ini, jelas sekali bahwa pers memposisikan dirinya sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat, atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara ini milik
, terkesan bahwa pers sebagai pilar kekuasan
keempat berada pada posisi tertingi. Pers menjadi watchdog dari kekuasaan
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kecuali itu, pers juga m engawasi roda
kehidupan masyarakat secara keseluruhan .
54 www.cs.unb.ca 55 Bill Kovach, Tom Resenstiel, The Elements of Journalism, New York : The Rivers
Press, 2001, hal.17-18
Universitas Sumatera Utara
40
rakyat, maka pers perlu diberi kebebasan seluasnya untuk melaksanakan amanat
rakyat tadi.
Namun, di mana-mana diakui bahwa kebebasan pers tidaklah absolut
sifatnya. Kebebasan pers harus diimbangi dengan pertanggungjawaban sosial.
Kebebasan pers tidak layak mendapat jaminan hukum, manakala pelaksanaannya
menyimpang dari prinsip-prinsip yang berlaku. Lebih dari setengah abad yang
silam Commission on Freedom of the Press (Amerika) sudah mengingatkan kita
semua bahwa: “The abuse of right does not ipso facto forfeit the protection of the
legal right”. Komisi mengecam para pejuang kebebasan pers yang memboyong
prinsip “semau gue”, yaitu yang diutarakan dengan kata-kata: “Freedom of the
press means the right to be just or unjust, partisan or non-partisan, true or false
in new column or editorial column.” Menurut Komisi, pers harus menyadari
bahwa kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan dalam pemberitaannya bukan
lagi menjadi urusannya sendiri, tapi sudah menjadi “public dangers”. Oleh sebab
itu, masyarakat berhak mengawasi pers dan menjatuhkan sanksi kepada pers
apabila kebebasannya disalahgunakan.
Ketika House of Lords (Inggris) menyidangkan perkara “Reynolds lawan
Times Newspaper” pada 28 Oktober 1999, Lord Nicholls mengingatkan para
jurnalis bahwa kebebasan pers tidak absolut sifatnya. Pelaksanaan kebebasan pers
bisa dibatasi oleh undang-undang dan memang perlu dibatasi terutama “for the
protection of the reputation of others” (untuk melindungi martabat orang lain).
Perlindungan terhadap martabat orang lain tidaklah kalah penting dibandingkan
dengan perlindungan terhadap kebebasan pers. Menurut Lord Nicholls, demi
kepentingan publik juga, reputasi pejabat publik sekali-sekali tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
41
direndahkan dengan pernyataan atau laporan pers yang menyesatkan. “Freedom of
speech does not embrace freedom to make defamatory statements out of personal
spite or without having a positive belief in their truth”, ucap Lord Nicholls 56
Situasi kebebasan pers di Indonesia saat ini, bedanya seperti langit dan
bumi jika dibandingkan dengan kebebasan pers era Orde Baru
.
Terjemahan bebas: Bahwa kebebasan pers tidak berarti kebebasan membuat
pernyataan yang sifatnya menghina hanya karena sentimen atau dendam pribadi
atau tanpa memperdulikan kebenaran dari pernyataan tersebut.
57
Pada era reformasi ini, tidak ada obyek apakah itu perorangan, instansi
pemerintah, pejabat Negara atau Presiden sekali pun yang tidak bisa disentuh atau
dikecam oleh pers. Bahkan dalam kasus kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid
. Dulu, ketika
Tommy Soeharto mengalami kecelakaan di Sirkuit Sentul (Waktu latihan), pers
tidak boleh mempublikasikannya karena berita seperti itu dikhawatirkan dapat
menjelekkan martabat keluarga Kepala Negara. Pembajakan pesawat Garuda
Wyola saja dilarang disiarkan oleh pers. Belakangan pers diizinkan menyiarkan,
tapi harus bersumber dari pemerintah. Sebuah pos polisi di Cicendo, Jawa Barat,
suatu hari diserang dan diobrak-abrik oleh sekelompok “orang bersenjata”.
Sementara pers mencium berita ini, tapi segera diancam oleh aparat keamanan
untuk tidak mempublikasikannya. Berita semacam ini, pada masa Orde Baru,
amatlah sensitif, karena menyangkut persoalan “stabilitas nasional”. Jangankan
bisnis anak-anak Pak Harto, bisnis petinggi pemerintah pun ketika itu untouchable
oleh pers. Dan pers yang bandel tidak mengindahkan “himbauan” pemerintah
untuk tidak menyiarkan satu berita, dia terancam bredel.
56 (www.HouseofLords-ReynoldsvTimesNewspapers.htm) 57 Tjipta Lesmana, 20 Tahun Kompas, Profile Kebebasan Pers Indonesia Dewasa Ini,
Jakarta, : Erwin – Rika Press, 1985, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
42
pada pertengahan 2001 pun, pers diyakini memainkan kontribusi tidak kecil.
Betapa banyak kasus KKN yang dibongkar oleh pers, baik yang dilakukan pejabat
eksekutif, apalagi anggota legislatif. Betapa banyak perilaku buruk wakil rakyat
yang ditelanjangi pers, ketika konflik etnis di Sampit pecah, pers mengeksposnya
habis-habisan. Sebuah penerbitan pers daerah pernah mempublikasikan foto
kepala seorang korban yang sudah lepas dari badannya tatkala banyaknya santri
NU yang dibunuh oleh “ninja-ninja” misterius. Kasus dugaan korupsi Gubernur
Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, sudah marak diungkap pers
sebelum aparat hukum melakukan penyidikan.
Para era reformasi, tiga “tembok pers” berhasil dirobohkan: kini tidak ada
lagi lembaga izin terbut, sensor dan bredel. Bahkan instansi pemerintah yang
mengurus ketiga “tembok pers” ini, yaitu Departemen Penerangan RI sudah
lenyap dibubarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Kini siapa pun,
termasuk Presiden RI, tidak bisa menutup sebuah penerbitan pers.
Pelaksanaan kebebasan pers Indonesia dewasa ini mirip dengan kebebasan
pers era tahun 1950-1959 yang dikenal dengan sebutan era demokrasi liberal yang
bercorak libertarian58
58 Tjipta Lesmana, “ Wartawan Bukan Profesi Eksklusif : .Kompas , 23-10-2003, hal36
. Pers libertarian mempropagandakan konsep “the open
market place of ideas”. Substansi dari konsep ini adalah sebagai berikut:
Biarkanlah pers bebas memberitakan apa pun yang dinilainya perlu diberitakan.
Pemerintah atau masyarakat sekali-sekali tidak boleh menginterupsi, apalagi
menghambatnya. Pendapat yang benar, pada akhirnya, akan menang; sedang yang
salah akan tersingkirkan, karena pembaca memiliki kemampuan nalar untuk
menentukannya.
Universitas Sumatera Utara
43
Kebebasan pers Indonesia yang begitu besar di era reformasi juga
tercermin dari substansi Undang-Undang tentang Pers (UU No. 40 Tahun 1999).
Dalam Undang-Undang tersebut, hanya 3 delik pers yang diatur (Pasal 5 ayat 1),
yakni delik pelanggaran norma agama, norma susila dan norma asas praduga tak
bersalah. Padahal di Swedia, negara yang oleh Freedom House dikategorikan
paling bebas persnya di seluruh dunia59, UU Persnya (The Freedom of The Press
Act) mengatur tidak kurang 14 kejahatan yang dilakukan oleh pers, antara lain
pengkhianatan terhadap Negara instigasi terhadap peperangan, espionase,
memperdagangkan informasi rahasia, membocorkan rahasia Negara,
pemberontakan dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintah yang
konstitusional, provokasi untuk melakukan tindak kejahatan dan pencemaran
nama baik orang lain60
1. Pelanggaran atas prinsip check-and-balance. Dalam masalah kontroversial
atau melibatkan tokoh kontroversial, pers sering kurang memperhatikan
prinsip check-and-balance sehingga berita yang dihasilkan tidak obyektif,
bahkankadang bersifat amatiran. Laksamana Sukardi, mantan Menteri
Pembinaan BUMN, oleh beberapa surat kabar Ibukota diberitakan “lari ke
.
Memang harus diakui Undang-Undang Pers Indonesia dibuat dalam
suasana penuh euphoria demokrasi; disahkan hanya 1,5 tahun setelah Orde Baru
jatuh. Maka, Undang-Undang tersebut jauh dari sempurna.
Kebebasan pers yang sedemikian besar, bahkan cenderung bebablasan,
telah menimbulkan berbagai ekses yang merugikan masyarakat maupun pers,
antara lain berupa:
59 (www.worldaudit.org/press.htm) 60 (www.oefre.unibe.ch)
Universitas Sumatera Utara
44
luar negeri” menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati. Pemberitaan
tersebut memberikan konotasi kepada masyarakat bahwa (a) Laksamana
Sukardi seorang menteri korup dan (b) ia takut ditangkap aparat penegak
hukum setelah Presiden Megawati Soekarnoputri kalah dalam pemilihan
presiden pada 20 September 2004. Dalam kasus Djadja Suparman, betapa
cerobohnya sikap sementara pers kita yang begitu mudah “termakan” oleh
sumber berita yang tidak bertanggung jawab.
2. Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah. Seorang purnawirawan
petinggi Kepolisian RI dan seorang Letnan Jenderal TNI-AD, misalnya,
diberitakan terlibat dalam kasus bom Bali karena berada di Bali pada saat
tragedi itu terjadi. Salah satu korban malah menyebutkan identitas sang
Jenderal secara lengkap
3. Pencemaran nama baik. Karena kurang teliti atau tidak melakukan penelitian
yang saksama, wartawan adakalanya terperosok dalam perangkap libel
(pencemaran nama baik). Akibatnya, harian Sriwijaya Post dihukum oleh
Pengadilan Negeri Palembang karena terbukti mencemarkan nama baik dan
kehormatan Z.A. Maulani, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen
Negara (BAKIN); Koran Tempo dan Majalah Tempo diadili karnea
diadukan oleh Tommy Winata; Harian Rakyat Merdeka pada waktu yang
hampir bersamaan diganjar dua hukuman oleh pengadilan (tingkat pertama),
masing-masing karena terbukti mencemarkan nama baik mantan Presiden
Megawati dan mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung.
4. Dipengaruhi mind-set yang negatif. Memberitakan kinerja suatu instansi
atau seseorang secara apriori, didorong oleh mind-set negatif yang sudah ada
Universitas Sumatera Utara
45
di kepala wartawan yang bersangkutan. Mind-set negatif ini mungkin timbul
akibat pengalaman buruk pers dengan instansi atau petinggi pemerintah
tersebut di masa silam. Kita mengetahui bahwa persepsi memainkan peran
sentral dalam perilaku individu . Pilihan komunikasi seseorang terhadap
suatu obyek amat dipengaruhi oleh persepsinya atas obyek tadi. Contoh:
menjelang diterapkannya status Darurat Militer di Aceh pada Mei 2003,
menurunkan sebuah headline di halaman pertama dengan judul yang amat
provokatif: “TNI Siapkan Ladang Pembantaian GAM.” Istilah “ladang
pembantaian” dapat mengingatkan pembaca pada perang saudara di
Kampuchea pertengahan 1970-an tatkala tentara Pol Pot membantai secara
keji ratusan ribu rakyatnya sendiri (Kiernan, 1996). Tragedi kemanusiaan in
kemudian difilmkan dengan judul “Killing Field”. Seolah-olah melalui
Darurat Militer, tentara kita pun siap membantai habis anggota GAM di
Aceh. Berita seperti ini dikhawatirkan dapat memprovokasi masyarakat
untuk menentang kebijakan Darurat Militer di Aceh, sekaligus
membangkitkan kebencian mereka pada TNI.
5. Memelintir informasi yang sebenarnya. Wujud dengan menggiring
seseorang seolah-olah mengatakan apa yang sebenarnya menjadi pendapat
wartawan sendiri.
6. Salah kutip. Masih banyak wartawan kita yang berpendapat bahwa jika
mereka mengutip pernyataan seseorang apalagi sumbernya yang kredibel
dan kemudian pernyataan itu ternyata salah, wartawan tidak bisa disalahkan,
apalagi dijerat hukum. Pandangan ini, tentu, keliru. Jika isi kutipan terbukti
menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke pengadilan dan dihukum
Universitas Sumatera Utara
46
membayar ganti rugi pada pihak yang merasa tercemar nama baiknya. (The
Reporters’s Committee on Freedom of the Press)
Ekses kebebasan pers telah menimbulkan reaksi keras anggota atau
kelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan.
Pengrusakan kantor penerbitan pers menjadi fenomena yang cukup sering dalam
era reformasi. Intimidasi, bahkan penganiayaan fisik terhadap wartawan juga
terjadi. Tentu saja, tindakan-tindakan anarkis dan main hakim sendiri dari
masyarakat tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya sebab hukum tidak boleh
ditegakkan dengan tindakan anarkis. Tapi, semua itu merupakan penguat dari tesis
mandulnya hukum kita dewasa ini, sekaligus rapuhnya order di negeri kita seperti
telah dipaparkan di atas. Dalam negara yang berasaskan hukum, semua
perselisihan antar-warga, atau warga dengan pemerintah, mestinya diselesaikan
secara hukum, jika perdamaian menghadapi jalan buntu. Di pihak pers, tindakan
anarkis masyarakat seyogianya diterima sebagai cambuk untuk mawas diri dan
introspeksi, bahwa kebebasan dan tanggung jawab tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.
Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia yang diselenggarakan
dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2004
diwarnai oleh suasana keprihatian wartawan sehubungan dengan semakin
meningkatnya delik pers yang dibawa ke pengadilan dan berakhir dengan vonis
terhadap pers. Yang menarik, sekaligus yang diprotes keras oleh sejumlah
wartawan, adalah penggunaan pasal-pasal KUHP oleh hakim dalam proses
peradilan, sehingga timbul pertanyaan: Untuk apa kita memiliki UU Pers kalau
Universitas Sumatera Utara
47
hakim tetap menjerat wartawan dengan pasal-pasal KUHP? Kenapa UU No 40
Tahun 1999 tidak bisa diberikan status “Lex Specialis”? Kenapa ancaman penjara
masih menghantui wartawan?
Salah satu peserta konvensi mengemukakan bahwa pers Indonesia kini
menghadapi paradoks hukum61
61 (Kompas, 10-2-2004, hal 7).
Di satu sisi ada aturan hukum yang melindungi
kemerdekaan pers, tetapi di sisi lain lebih banyak aturan hukum yang justru
membunuh kemerdekaan pers. Yang dimaksud dengan aturan hukum yang
pertama, antara lain UUD 1945, TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang Hak
Azasi Manusia dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; sedang aturan hukum
kategori kedua disebutkan antara lain UU No 23/1959 tentang Keadaan Bahaya,
UU No 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, UU No 4/1999 tentang Kepailitan, UU
No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 32/2002 tentang
Penyiaran. Belum lagi sejumlah pasar yang terdapat di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain disebutkan apa yang disebut “pasal
karet” (haatzai artikelen), yaitu Pasal 154 dan 155 KUHP.
Peraturan perundang-undangan tersebut, di mata sementara wartawan kita,
mungkin dikategorikan sebagai “unjust law” atau hukum yang tidak adil ; setidak-
tidaknya dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Karena tidak adil, maka
peraturan perundang-undangan itu tidak perlu ditaati atau dilaksanakan. Mereka
pun berdalih bahwa kebebasan pers di Indonesia kini kembali terancam, seraya
menuduh bahwa ada upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu (siapa?) untuk
mengembalikan pers otoritarian di negara kita, sebab pers yang bebas dinilai
sebagai ancaman terhadap penguasa.
Universitas Sumatera Utara
48
Hukum, apa pun bentuknya, termasuk yang dikategorikan tidak adil, harus
dijalankan. Jika tidak, sistem hukum secara keseluruhan akan menjadi lemah.
Memang Finnis setuju bahwa terhadap peraturan perundang-undangan yang
dinilai tidak adil, seyogianya pemerintah mencabutnya.
Dengan demikian, kalangan pers tidak mempunyai alasan untuk tidak
tunduk pada peraturan perundang-undangan apa pun yang didalamnya terdapat
ketentuan-ketentuan ristriksi atas kebebasan pers, sepanjang peraturan perundang-
undangan itu masih berlaku, “sebagaimana warga negara Indonesia, wartawan
juga harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia,” tulis R.H. Siregar,
Wakil Ketua Dewan Pers62 Menurut Siregar, supremasi hukum harus menjadi
acuan bagi setiap wartawan dalam menjalankan profesi kewartawanannya.
Pandangan yang mengatakan bahwa pemidanaan pers merupakan tindak
pelanggaran HAM 63 atau wartawan tidak layak dikenakan pasal-pasal KUHP
karena mereka bertindak “atas nama kemaslahatan umum, melayani hak-hak
publik atas informasi”64
62(Majalah Rastra Sewakottama, edisi khusus HUT Bhayangkara ke-57, hal. 14 63 Uli Parulian Sihombing, “Pemidanaan Pers, Pelanggaran HAM, Kompas, 17-09-2004 64 Agus Sudibyo, “Hukum Tak Berpihak Kepada Pers, harian Kompas, 21-09-2004
adalah tidak benar; seolah-olah wartawan menuntut
diistimewakan di depan hukum. Sikap seperti itu oleh Prof. Dr. Astrid Susanto
digambarkan sebagai “arogansi pers” Maka, hakim tidak dapat disalahkan jika ia
menerapkan ketentuan hukum yang dikatakan “unjust” dalam pertimbangan
hukumnya. Sebab semua peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas
mengatur masalah-masalah spesifik (seperti penyiaran, keadaan bahaya, kepailitan
dan lain-lain); sedangkan jaminan perlindungan terhadap kemerdekaan pers yang
diatur dalam UU tentang Pers bersifat umum. Hal ini berarti, kemerdekaan pers di
Universitas Sumatera Utara
49
negeri kita memang dijamin oleh undang-undang; namun pada tingkat
pelaksanaannya, kemerdekaan itu tidaklah absolut sifatnya 65
Tentang tuntutan agar UU tentang Pers diperlakukan sebagai Lex
Specialis, pers tidak usah risih, apalagi marah, jika hakim menolaknya. Wartawan
Indonesia harus mengakui secara jujur bahwa UU No. 40 Tahun 1999 belum bisa
diberlakukan sebagai Lex Specialis, karena undang-undang tersebut menurut ahli
hukum Nono Anwar Makarim
.
66 tidak memenuhi syarat formal maupun material
tentang doktrin hukum khusus. Kecuali itu, masih begitu banyak delik pers yang
belum diatur di dalam undang-undang tersebut. UU No. 40 tahun 1999 hanya
mengatur 3 delik pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila dan
asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Bagaimana dengan delik kabar
bohong? Delik pencemaran nama? Delik membuka rahasia negara, dan
sebagainya? Karena delik-delik tersebut belum diatur dalam UU No. 40 tahun
1999, tepatlah kalau hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU
No. 40 tahun 1999, khususnya KUHP67
65 Op.Cit, Lesamana 66 Kompas, 6-5-2004, hal. 9 67 (Amir Syamsuddin, Kompas, 18-9-2004, hal. 4; Lesmana, Pilars, No. 11 Thn VII).
Dalam peradilan banding Tommy Winata
lawan Koran Tempo, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta
mengemukakan bahwa “selain Undang-Undang tentang Pers (Undang-Undang
No. 40 tahun 1999) tidak mengatur mekanisme atau hukum acara penyelesaian
sengketa pers, adalah hak setiap orang in casu Tergugat Rekonpensi/Penggugat
Konpensi/Terbanding untuk menuntu atau mempertahankan haknya dari orang
lain (in casu Penggugat Rekonpensi/Tergugat I Konpensi/Pembanding) dengan
mengajukan gugatan perdata di depan pengadilan”. (Putusan Pengadilan Tinggi
Universitas Sumatera Utara
50
Jakarta No. 358/Pdt/2004/PT.DKI, hal. 12). Pertimbangan Majelis Hakim banding
ini, secara implisit, sebetulnya merupakan pengakuan bahwa UU Pers belum
dapat menyelesaikan setiap sengketa hukum yang ditimbulkan oelh pemberitaan
pers dan oleh karena itu UU Pes belum bisa dikatakan sebuah Lex Specialis.
Zoeber Djajadi, S.H., Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang mengadili perkara Tommy Winata lawan Koran Tempo berpendapat
bahwa “Dalam masalah pencemaran nama baik, Undang-Undang Pers bukanlah
Lex Specialist. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu. Pengamat pun bilang
begitu!”68
(1) Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana,
maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika
pidana berlainan, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana
pokoknya.
Dalam Bab VI KUHP diatur ketentuan mengenai gabungan tindak pidana.
Pasal 63 Bab VI berbunyi (KUHPidana :
(2) Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana
umum, ada ketentuan khusus, maka ketentuan khusus itu sajalah yang
digunakan.
Kalangan pers, juga sementara praktisi hukum, tampaknya keliru dalam
menginterpretasikan ketentuan ayat 2 Pasal 63 KUHP di atas. Seolah-olah jika
suatu perbuatan pidana diatur dalam dua ketentuan hukum, maka ketentuan
hukum khusus yang otomatis diberlakukan. Karena UU No 4 tahun 1999
khususnya mengatur permasalahan seputar pers, maka semua delik pers yang
68 (Majalah Tempo, No. 48/XXXII/26 Januari – 01 Februari 2004).
Universitas Sumatera Utara
51
ditimbulkan oleh pemberitaan pers seharusnya diadili dengan Undang-Undang
tersebut.
“Undang-undang khusus ialah undang-undang yang berisikan unsur-unsur
dari undang-undang umum ditambah dengan sesuatu lagi yang lain. Misalnya
Pasal 363 berasal dari Pasal 362 yang dikhususkan. Kedua pasal ini memuat
semua unsur tindak kejahatan pencurian, tetapi pasal 363 ditambah dengan
beberapa unsur lainnya”. Maka, Pasal 363-lah yang seyogianya didahulukan
penggunaannya.
Jika kita membaca 69
Mengenai apa yang disebut “kriminalisasi pers” – pemberlakukan pasal-
pasal KUHP terhadap wartawan atau pers yang diajukan ke pengadilan, di
Amerika sekali pun masih terjadi, walaupun diakui sangat jarang. Tidak kurang 17
dari 50 negara bagian yang ada sampa saat ini masih memberlakukan criminal
libel statutes
lebih jelas lagi apa sesungguhnya makna prinsip
“Lex Specialis derogat legi generali”. Menurut Soesilo , “Sesuatu yang khusus
harus memuat semua unsur-unsur dari yang umum, ditambah dengan sesuatu lagi
yang lain, misalnya, pembunuhan dengan direncanakan (Pasal 340) adalah
pengkhususan dari pembunuhan (Pasal 339). Kedua pasal ini berisi semua unsur-
unsur dari pembunuhan, tetapi pasal 340 ditambah lagi dengan unsur “dengan
direncanakan lebih dahulu”. Pembunuhan anak (Pasal 341) adalah pengkhususan
dari pembunuhan (Pasal 339), ditambah lagi dengan unsur “seorang ibu bertindak
terhadap anaknya, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak”.
70
69 KUHP karangan R. Soesilo ,1990, hal.80-81 70 (www.1drc.com)
. Ke-17 negara bagian itu adalah Colorado, Florida, Idaho, Kansas,
Louisiana, Michigan, Minnesota, Montana, New Hampshire, New Mexico, North
Universitas Sumatera Utara
52
Carolina, North Dakota, Oklahoma, Utah, Virginia, Washington, dan Wisconsin.
Kecuali itu, dua negara yang menjadi territories Amerika, yakni Puerto Rico dan
Virgin Islands juga masih menggunakan pasal-pasal pidana untuk kasus
penghinaan. Di ke-33 negara bagian lainnya, ancaman pidana untuk delik pers
telah dicabut atau tidak lagi dipakai sejak Mahkamah Agung memutuskan perkara
“Garrison lawan Louisiana” pada tahun 1964
Di Kansas City, Harian New Observer, sebuah koran yang dibagikan gratis
kepada masyarakat diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan
kriminal, gara-gara pada 1999 membuat laporan bahwa walikota Kansas City,
Carol Marinovich dan suaminya tidak tinggal di rumah dinas yang sudah
disediakan71
Merasa dicemarkan namanya, Marinovich dan istrinya menggugat penerbit
Harian New Observer, David W. Carson dan seorang wartawannya, Edward H.
Powers ke pengadilan. Mereka sengaja tidak mengajukan gugatan perdata, karena
pertimbangan biaya (sangat mahal) dan problematik prosesnya. Jaksa setempat,
Tomasic langsung mengeluarkan perintah penangkapan terhadap kedua tersangka
karena tuduhan criminal libel. Tapi penangkapan ini kemudian dianulir oleh
Hakim Tracy Klinginsmith dari Distrik Jackson dengan alasan Tomasic bertindak
terlalu gegabah. Dewan juri dalam putusannya tanggal 17 Juli 2002 menyatakan
bahwa berdasarkan criminal defamation law di Kansas, penerbit New Observer
Menurut berita tersebut, Walikota dan suaminya, Hakim Ernest
Johnson, tinggal di Johnson County yang lebih mewah (“Had Marinovich actually
lived i the more affluent Johnson County, she would not have been eligible to be
mayor.”) Berita ini ternyata tidak benar.
71 (CNN.com, 9 Desember 2002).
Universitas Sumatera Utara
53
dan wartawannya, Edward H. Powers, terbukti telah mencemarkan reputas
Walikota Kansas City dan suaminya.
Kasus ini akhirnya sampai ke Mahkamah Agung Kansas. Mahkamah
menunjuk seorang jaksa khusus bernama David Farris. Farris menuduh Carson
dan Powers melakukan 7 lapis kejahatan penghinaan. Menurut hukum di negara
bagian Kansas, ketentuan pidana tentang perbuatan pencemaran nama dapat
diberlakukan jika tersangka terbukti secara meyakinkan telah melakukan tindakan
itu dengan actual malice. Itu berarti, ia sebetulnya tahu bahwa berita yang hendak
dipublikasikan tidak benar; tetapi ia tetap memberitakannya.
“You can’t print a lie,” kata David Farris kepada kedua tersangka. “That is
a crime in the state of Kansas and it’s a misdemeanor some of us wish it was a
flony.” (Itu merupakan tindakan kriminal di Negara Bagian Kansas, suatu
pelanggaran ringan, walaupun ada juga yang menganggapnya kejahatan berat.)
Atas kejahatan yang dilakukannya, Carson dan Powers diharuskan membayar
ganti rugi masing-masing US$ 700, disamping dikenakan hukuman percibaan
selama satu tahun.
Dalam kasus-kasus tertentu, apalagi jika terbukti ada unsur actual malice,
hakim dapat memerintahkan tergugat untuk membuka identitas sumber berita.
Penolakan atas perintah hakim ini dapat berakibat sanksi pidana, yaitu hukuman
masuk penjara.
Mahkamah Agung Negara Bagian Minnesota, misalnya, dalam putusannya
tanggal 11 September 2003 dengan suara 5 banding 2 – memerintahkan seorang
reporter Maplewood Review bernama Wally Wakefield untuk memberitahukan
Universitas Sumatera Utara
54
identitas sumber berita yang ditulisnya pada penerbitan tersebut edisi Januari 1997
72
Kasus serupa juga menimpa dua reporter harian Atlanta Journal-
Constitution di Negara Bagian Georgia, Kathy Scruggs dan Ron Martz. (Lihat
“Richard Jewell lawan Atlanta Journal, Bab IV). Dalam gugatan terpisah di Fulton
County State Court, Jewell menuntut agar koran tersebut mengungkap sumber
berita yang menyebutkan dirinya sebagai tersangka dalam ledakan di Centennal
Olympic Park. Hakim pada pengadilan itu, John Mather, pada 3 Juni 1999
memerintahkan penahanan atas kedua wartawan Atlanta Journal-Constitution
.
Tulisan yang dibuat Wakefield menyangkut cerita tentang pemecatan atas
diri Richard Weinberger, seorang pelatih football di Tartan High School (SMU
Tartan). Mengutip berbagai sumber yang kritikal terhadap Weinberger, Wakefield
menulis bahwa “the coach is known for his temper, inappropriate comments and
foul language.” (Pelatih itu dikenal dengan temperamennya yang buruk,
komentar-komentarnya yang tidak pantas serta bahasa kotor yang sering
dipakainya.) Atas berita itu, Weinberger menggugat Wakefield ke pengadilan.
Hakim yang mengadili perkara ini memerintahkan tergugat untuk
memberitahukan identitas sumber berita seperti diminta penggugat. Perkara ini
akhirnya sampai ke Mahkamah Agung Negara Bagian Minnesota. Suara
Mahkamah terpecah. Namun, Mahkamah akhirnya memerintahkan Wakefield
membuka identitas sumber berita. Tatkala ia bersikeras menolak, Mahkamah
menetapkan Wakefield telah melakukan contempt of court dan dikenakan denda
$200 per hari sampai ia membuka sumber beritanya.
72 (Pioneer Press, 12 September 2003, www.twincities.com)
Universitas Sumatera Utara
55
karena melakukan penghinaan atas pengadilan (contempt of court) setelah mereka
menolak membuka identitas sumber berita. Namun, perintah Hakim John Mather
hakim tidak dapat dieksekusi, karena pengacara kedua terdakwa, Peter Canfield,
segera mengajukan banding.
Kebebasan pers memang mutlak ada dalam sistem pemerintahan yang
demokratis. Namun, semua pelaku pers harus menjunjung tinggi hukum.
Kebebasan dan tanggung jawab perlu dilaksanakan secara berimbang, hak-hak
pribadi warganegara tidak boleh dikorbankan hanya untuk teganya kebebasan pers
(Putusan US Court of Appeals, Third Circuit, 1985 dalam perkara Coughlin lawan
Westinghouse Broadcasting).
Pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia dalam era reformasi, tampaknya,
telah terperangkap dalam benturan antara freedom and order. Sikap sementara
wartawan kita yang tidak senang, bahkan menolak, jika delik pers dibawa ke
pengadilan menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap order yang ada, yakni
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, ketentuan-ketentuan mengenai pers di dalam
KUHP dan semua peraturan perundang-undangan yang ada di dalamnya memang
mengandung ristriksi terhadap kemerdekaan pers. Tapi, pakar-pakar hukum
ratusan tahun lalu, umumnya sepakat bahwa hukum positif, sekali pun bersifa
unjust, harus dilaksanakan. Kalau tidak, sistem hukum menjadi goyah. Ketentuan-
ketentuan hukum yang dirasakan tidak adil itu boleh saja diperjuangkan untuk
secepatnya dicabut.
Pers Indonesia tidak perlu terjebak dalam dilema freedom versus order.
Semua pihak, termasuk pemerintah, perlu mengakui peran sentral yang dimainkan
pers dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Maka, semua pihak harus
Universitas Sumatera Utara
56
mendukung perlaksanaan freedom of the press dengan segala atributnya. Namun,
di lain pihak, setiap insan pers pun hendaknya sadar bahwa kebebasan yang
dinikmatinya tidak bisa lepas dari pertanggungjawabannya kepada masyarakat.
Dan masyarakat tidak mungkin mendelegasikan seluruh tanggungjawab untuk
eksistensi suatu free society kepada instansi mana pun, termasuk pers
Hal ini berarti wartawan harus selalu siap mengikuti proses hukum jika
tulisannya dinilai merugikan pihak ketiga, sebab wartawan bukan warganegara
eksklusif yang tidak bisa dijangkau hukum (Lesmana, Kompas, 23-10-2003).
Wartawan, menurut Prof. Astrid Susanto, bukanlah warga negara yang berada di
atas hukum. “Siapa pun sama di muka hukum, termasuk Presiden. Tidak ada yang
kebal Hukum”.73
73 (Sinar Harapan, 9-7-2001)
Universitas Sumatera Utara