bab ii definisi tindak pidana pencemaran nama baik...

34
23 BAB II DEFINISI TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK A. Pengertian Pencemaran Nama Baik menurut Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Adegium kuno berbunyi, neminem laedit qui suo iure yang terjemahan bebasnya adalah ”tidak seorang pun dirugikan oleh penggunaan hak”. Berdasarkan adegium itulah dikembangkan pemikiran bahwa penggunaan hak atau kewenangan perdefinisi harus merupakan suatu tindakan menurut hukum sehingga tidak dapat secara sekaligus juga menghasilkan suatu tindakan yang melanggar hukum 31 oleh karena itulah kerap kali dikatakan bahwa istilah penyalahgunaan hak merupakan suatu contradictio in terminis atau setidaknya suatu istilah yang mengandung kerancuan berpikir (dubious). 32 Akan tetapi sudah sejak dahulu kala telah diterima bahwa tidak semua penggunaan hak diperkenankan. 33 Suatu ungkapan dinyatakan oleh Gaius, seorang ahli hukum Romawi kuno, yaitu male enim nostro iure uti non debimus, yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya ”memang kita tidak boleh menggunakan hak kita untuk tujuan tidak baik”. Hal itu berarti penggunaan suatu hak dalam arti kewenangan semata-mata dengan tujuan untuk merugikan orang lain merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima. 34 31 P . Van Dijk et al, Van Apeldoorn’s Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, W.E.J Tjeenk- Willijnk, 1985, hlm. 48 32 Ibid 33 Ibid 34 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : Prenada Media Group,), 2008, hal.181 Universitas Sumatera Utara

Upload: duonganh

Post on 09-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

23

BAB II

DEFINISI TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK

A. Pengertian Pencemaran Nama Baik menurut Kitab Undang – Undang

Hukum Pidana

Adegium kuno berbunyi, neminem laedit qui suo iure yang terjemahan

bebasnya adalah ”tidak seorang pun dirugikan oleh penggunaan hak”.

Berdasarkan adegium itulah dikembangkan pemikiran bahwa penggunaan hak

atau kewenangan perdefinisi harus merupakan suatu tindakan menurut hukum

sehingga tidak dapat secara sekaligus juga menghasilkan suatu tindakan yang

melanggar hukum31 oleh karena itulah kerap kali dikatakan bahwa istilah

penyalahgunaan hak merupakan suatu contradictio in terminis atau setidaknya

suatu istilah yang mengandung kerancuan berpikir (dubious).32

Akan tetapi sudah sejak dahulu kala telah diterima bahwa tidak semua

penggunaan hak diperkenankan.

33 Suatu ungkapan dinyatakan oleh Gaius,

seorang ahli hukum Romawi kuno, yaitu male enim nostro iure uti non debimus,

yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya ”memang kita tidak boleh

menggunakan hak kita untuk tujuan tidak baik”. Hal itu berarti penggunaan suatu

hak dalam arti kewenangan semata-mata dengan tujuan untuk merugikan orang

lain merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima.34

31 P . Van Dijk et al, Van Apeldoorn’s Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht,

W.E.J Tjeenk- Willijnk, 1985, hlm. 48 32 Ibid 33 Ibid 34 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : Prenada Media Group,),

2008, hal.181

Universitas Sumatera Utara

24

Sebagai contoh klasik dalam perbincangan penyalahgunaan hak yang

selalu dikemukakan adalah putusan pengadilan di Colmar pada 2 Mei 1855.

Putusan itu mengenai perkara pembangunan cerobong asap palsu. Perkara itu

berawal dari A dan B yang bertetangga dalam suatu susun. A bertempat tinggal di

lantai yang lebih tinggi dari B dan mempunyai jendela yang memungkinkan A

menikmti pemandangan ,asap palsu hanya untuk menghalangi pemandangan A.

Pengadilan di Colmar yang memeriksa cerobong asap itu mendapati bahwa

cerobong asap itu palsu. Oleh karena itu atas dasar penyalahgunaan hak,

pengadilan memerintahkan agar cerobong asap itu dibongkar.35

Hammerstein mengemukakan bahwa menurut beberapa sarjana, ajaran

penyalahgunaan hak merupakan sesuatu yang berlebihan.

36 Bagi mereka masalah-

masalah dapat diselesaikan dalam kerangka perbuatan melanggar hukum.37

Akan tetapi pada akhirnya Hammerstein mengemukakan, bahwa saat ini

istilah peyalahgunaan hak telah diterima dan memperoleh pengertian yang jelas

bagi setiap orang.

38

35 Ibid 36 P . Van Dijk et al,Loc.Cit 37 Ibid 38 Ibid

Sejalan dengan pengertian penyalahgunaan dalam alam

pemikiran kontinental, dalam alam pikir Anglo – American, dikembangkan Law

of Niusance. Nuisance artinya aktivitas yang timbul dari penggunaan hak milik

yang tidak beralasan, tanpa maksud tertentu atau tanpa alas hak tidak beralasan,

tanpa maksud tertentu atau tanpa alas hak yang merugikan orang lain atau publik

dengan menimbulkan ketidaknyamanan atau terganggunya orang lain atau publik

tersebut. Di negara – negara dengan sistem commom law, perbuatan semacam itu

dilarang oleh undang- undang . Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikemukan

Universitas Sumatera Utara

25

oleh Hammerstein pada tahun 1985 tidak tepat, Amerika Serikat, Inggris,

Australia dan negara-negara lainnya yang non sosialis menetapkan Law of

Nuisance.39

Ancaman yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah

menyangkut pasal – pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur

penghinaan. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diancam oleh pasal

124, 136, dan 137. Penghinaan terhadap raja, kepala Negara sahabat, atau wakil

Negara asing diatur dalam pasal 142, 143, dan 144. Penghinaan terhadap institusi

Sebenarnya, sejak diundangkannya Sherman Act pada akhir abad

kesembilan belas yang kemudian dikenal dengan Antitrust Law, Amerika Serikat

tanpa perlu menjadi negara sosialis telah melakukan pembatasan hak para pebisnis

untuk melindungi pesaingnya dan konsumen. Menurut Penulis, penggunaan hak,

termasuk juga e-mail harus dilakukan dengan baik tidak dengan pencemaran atau

fitnah.

Pencemaran nama baik seseorang atau fitnah adalah ketentuan hukum

yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang

disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut

slander.

Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama

baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan negeri sipil, dan jika

menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan

kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.

39 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit , hal 183

Universitas Sumatera Utara

26

atau badan umum (seperti DPR, Menteri, MPR, Kejaksaan, Kepolisian, Gubernur,

Bupati, Camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika

penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi Negara) maka diatur

dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang

bias dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena

pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321

(pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).

Adapun pasal pasal yang merupakan penghinaan di dalam Kitab Undang –

Undang Hukum Pidana yaitu:

a. Pasal 134, 136, 137

Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,

menunjukkan, menempelkan di muka umum, diancam pidana 6 tahun

penjara.

b. Pasal 142

Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat, diancam pidana 5 tahun

penjara.

c. Pasal 143, 144

Penghinaan terhadap wakil Negara asing, diancam pidana 5 tahun penjara.

d. Pasal 207, 208, 209

Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Usaha Umum diancam pidana 6

tahun penjara.

e. Pasal 310, 311, 315, 316

Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan

dengan tulisan, diancam pidana 9 bulan, dan 16 bulan penjara.

Universitas Sumatera Utara

27

f. Pasal 317

Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu, diancam pidana 4 tahun

penjara.

g. Pasal 320, 321

Penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap orang mati, diancam

pidana 4 bulan penjara.

B. Pengertian Pencemaran Nama Baik menurut Undang – Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik

Tindak pidana, atau Moeljatno memberikan istilah ini dengan perbuatan

pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa

melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa pidana adalah

perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana, asal

saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan

ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

Anatara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh karena itu

antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungannya yang

erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat

dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam

pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.40

40 Djoko Prakoso, Hukum Penitentiere di Indonesia, ( Yogyakarta : liberty , 1988 ), hal 95

Universitas Sumatera Utara

28

Di dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik ada beberapa larangan yang berupa pidana

menyatakan bahwa :

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentrasnmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan.

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3) Setiap orang dengan senagaja dan tanpa mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.

4) Setiap orang dengan senagaja dan tanpa mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau

pengancaman.

Sedangkan Pasal 28 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informaasi dan Transaksi Elektronik justru menegaskan dari Pasal 27 menyatakan

bahwa :

Universitas Sumatera Utara

29

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan

menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi

Elektronik.

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,

dan antar golongan (SARA).

Pasal 30 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

komputer dan/atau Sistem Elektronik orang lain dengan cara apa pun.

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan

untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan

melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengamanan.

Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak dan tanpa hak melawan

hukum melakukan interpensi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem elektronik tertentu

milik orang lain.41

41 Pasal 31 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Universitas Sumatera Utara

30

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan

interpensi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang bersifat publik dari, ke, dan didalam suatu komputer dan/atau

Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang dapat menyebabkan

perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan,

dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

sedang ditransmisikan.42

Kecuali intersepsi sebagaiman dimaksud pada ayat(1) dan ayat(2),

intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan

kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan

berdasarkan undang – undang.

43

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan

cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,

merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.

Pasal 32 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan

cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak

berhak.

3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

42 Pasal 31 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE 43 Pasal 31 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Universitas Sumatera Utara

31

Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan

keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 34 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

memproduksi, menjual, menggadaikan untuk digunakan, mengimpor,

mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki :

a. Perangkat keras atau perangkat lunak computer yang dirancang atau

secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan pasal 33;

b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu

ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan

memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai

dengan pasal 33.

2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika

ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem

Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan

tidak melawan hukum.

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, pengilangan, perusakan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah – olah data yang otentik.44

44 Pasal 35 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Universitas Sumatera Utara

32

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal

34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.45

B. Pengertian Pencemaran Nama Baik Menurut Undang- Undang Nomor

Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

mengatakan bahwa ”Pers wajib melayani Hak Jawab , selanjutnya ayat (3)

mengamanatkan ” Pers wajib melayani Hak Koreksi”. Di dalam Ketentuan

Umum, hak jawab diartikan ” hak seseorang atau sekelompok orang untuk

memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang

merugikan nama baiknya. ” Definisi ini lebih sumir dibandingkan dengan definisi

Hak Jawab yang diberikan Pasal 15a Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1984

tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pers, yaitu ( ayat 1 ) : ” Hak jawab

merupakan hak seseorang, organisasi atau badan hukum yang merasa dirugikan

oleh tulisan dalam sebuah atau beberapa penerbitan pers yang bersangkutan agar

penjelasan dan tanggapannya terhadap tulisan yang disiarkan atau diterbitkan,

dimuat di penerbitan pers tersebut.

Jawaban atau tanggapan masyarakat itu, menurut ketentuan ayat (2) Pasal

15a UU yang sama, dalam ” batas- batas yang pantas ” wajib dimuat oleh

penerbitan pers tersebut.

Pasal 5 ayat (3 ) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

mengatakan bahwa Hak Koreksi adalah ” hak setiap orang untuk mengoreksi atau

membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang

45 Pasal 36 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Universitas Sumatera Utara

33

dirinya maupun tentang orang lain. ” Kecuali hak koreksi ” UU tentang Pers juga

mengenal konsep yang bernama ”kewajiban koreks ” yang diartikan ” keharusan

melakukan koreksi atau ralat terhadap informasi, data fakta, opini atau gambar

yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan ”.

Bab I Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terlihat

pembedaan hak koreksi dan kewajiban koreksi. Terdapat kesan kuat bahwa dalam

hal kewajiban koreksi, inisiatif datang daripers sendiri. Segera setelah pers

menyadari adanya kekeliruan atas informasi, data atau gambar yang telah

dipublikasikannya yang mungkin akan merugikan pihak ketiga, pers melakukan

koreksi. Koreksi bisa dalam bentuk pembetulan, penyempurnaan atau pencabutan

berita/gambar yang bersangkutan.

C. Pengertian Pencemaran Nama Baik Menurut Undang- Undang Nomor

Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai “authority in, or

rule by, the people.” kekuasaan di tangan rakyat, atau kekuasaan oleh rakyat.

Demokrasi mempunyai 2 (dua) aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek

substansif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab masalah

tentang bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah,

seperti memilih pemimpin nasional dan wakil-wakil rakyat dalam pemilihan

umum, proses pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme

pengawasan efektif terhadap pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya.

Demokrasi dalam aspek substansif menyentuh masalah apa saya yang bisa diatur

oleh pemerintah. Bolehlah pemerintah melakukan intervensi dalam urusan bisnis,

urusan agama, sejauh mana kebebasan berserikat dan kebebasan menyatakan

Universitas Sumatera Utara

34

pendapat bisa dijalankan penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam

urusan pernikahan antar warganya dan lain sebagainya.

Para penganut teori substantif demokrasi, umumnya, bersepakat bahwa

hak-hak dasar warganegara perlu mendapat jaminan penuh dari pemerintah.

Dalam konteks demokrasi di negara-negara barat, yang sangat ditekankan adalah

perlindungan terhadap civil liberties and civil rights46

Demokrasi sampai sekarang masih dipandang sebagai bentuk pemerintah

yang ideal, dibandingkan dengan pemerintah otokrasi (dengan derivatnya yang

disebut otoriter), monarki, aristokrasi, atau oligarki

. Termasuk dalam kategori

civil liberties, misalnya, kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan

pendapat secara terbuka, termasuk juga kebebasan pers. Dalam kelompok civil

rights antara lain perlindungan terhadap asas praduga tak bersalah,

memperlakukan setiap tersangka secara adil dan manusiawi, hapusnya segala

bentuk diskriminasi dalam kehidupan masyarakat, termasuk diskriminasi gender,

hak warganegara untuk mendapat kehidupan yang layak dansebagainya.

47

46 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Los Angeles : University of California, Press, 1978,

hal.6 47 Lippman, Walter, A Preface to Morals, New York, : The Macmilan Company,

1967,hal.278

Namun, hal ini tidak berarti

bahwa demokrasi dalam pelaksanaannya tidak lagi menghadapi masalah atau

hambatan. Pelaksanaan demokrasi di mana-mana termasuk di Amerika ternyata

juga menghadapi banyak tantangan dan dilema yang tidak mudah dipecahkan.

Soal kebebasan, misalnya, seberapa besar kebebasan bisa dinikmati oleh tiap-tiap

warganegara? Apakah seorang terpidana sudah kehilangan kebebasannya? Kalau

dikatakan masih dijamin, kebebasan mana yang masih bisa dinikmatinya dan

kebebasan yang mana yang untuk sementara “dirampas” oleh negara? Jika porsi

Universitas Sumatera Utara

35

kebebasan warganegara terlalu besar, apakah takkan bertabrakan dengan order

(tatanan sosial-politik) yang juga menjadi salah satu prinsip pokok dari

demokrasi, sehingga kepentingan masyarakat bisa terancam? Soal keadilan

(justice), keadilan yang bagaimana yang harus ditegakkan sendiri oleh penduduk

atau diserahkan kepada pemerintah? Apakah keadilan penduduk bisa kongruen

dengan keadilan versi pemerintah?

Pemerintah, secara teoritis, didirikan dengan tujuan pokok untuk

melindungi kehidupan dan harta benda penduduk, untuk memberikan rasa aman

kepada setiap penduduknya. Pemerintah (baca: Negara) dibentuk berdasarkan

pengalaman hidup umat manusia yang merasa tidak aman dan dihimpit rasa takut

karena selalu terancam agresi pihak luar dan kepunahan ketika mereka hidup

terpencar-pencar dan tidak teroganisir.48

Dalam perkembangan selanjutnya, kesejahteraan penduduk juga menjadi

tugas pokok pemerintah. Pemerintah yang tidak mampu mensejahterahkan

rakyatnya, apalagi membawa kesengsaraan bagi rakyat, dipandang tidak layak

untuk terus memerintah dan oleh sebab itu harus diganti. Dalam sistem

demokrasi, tiga motto selalu dijunjung tinggi, yakni freedom (kebebasan), order

(tertib sosial, tertib hukum), dan equality (persamaan). Tiga motto ini diyakini

harus terus menerus diperjuangkan oleh semua pihak, khususnya pemerintah.

. Di bawah organisasi yang disebut

Negara, orang merasa lebih aman, segala permasalahan tidak lagi dipecahkan

sendiri-sendiri, melainkan secara bersama. Maka, disusunlah sebuah pemerintah

di dalam Negara tadi dengan tugas pokok : to protect life and property milik

penduduk.

48 Dennis Wrong, The Problem of Order, What Unites and Divides Society, New York :

The Free Press, 1994, hal.3-4

Universitas Sumatera Utara

36

Namun, tiga motto ini pula yang kemudian melahirkan dilema dalam setiap

Negara demokrasi. Dilema pertama adalah konflik antara kebebasan dan order,

sedang dilema kedua berupa konflik antara kebebasan dan persamaan

Dalam konteks tema pokok buku kita, yaitu delik pencemaran nama, maka

pemahaman tentang konflik kebebasan dan order menjadi sangat relevan.

Order mengandung makna yang sangat luas. Talcott Parsons sebagaimana

dikut ip oleh Wong49 memberikan defenisi order “the absence if universal

conflict among individuals maintaining social relations with each other, as the

inversion or contrary, in effect, of the Hobbesian ‘war of all against all’”. Suatu

kondisi tiadanya konflik dalam relasi manusia, itulah intisari order. Konflik tidak

ada karena manusia satu sama lain terikat dan mengimplementasikan norma-

norma yang disepakatinya bersama. Tanpa order, manusia akan baku hantam

dengan sesama (war of all against all). Hanya dengan menegakkan dan

memelihara order, manusia dapat hidup tentram dan damai, tulis Marsiglio seperti

dikutip oleh Curtis50

49 Ibid, hal3-4 50 Michael Curtis, (editor ), The Great Political Theories, Vol.1 New York : Avon Books,

1962, hal 181

.

Dalam bahasa Indonesia, order bisa diartikan tertib sosial, keamanan

(tetapi bukan dalam arti security), bahkan stabilitas. Order bisa juga diidentikkan

dengan hukum, kalau hukum didefinisikan “A system of norms providing a

method of settling disputes authoritatively” , suatu sistem norma yang dipakai

untuk menyelesaikan perselisihan secara sah. Atau “...rules for the guidance of

official and citizens”. , aturan-aturan sebagai pedoman bagi pemerintah maupun

penduduk).

Universitas Sumatera Utara

37

Untuk mudahnya, dalam makalah ini, order diterjemahkan “tertib sosial”

sebab istilah “tertib sosial” mengandung nuansa hukum, atau lebih tepat, ketaatan

individu pada hukum yang berlaku. Istilah “law” berasal dari kata “lex” dalam

bahasa Latin. Istilah “Lex” sendiri berasal dari kata kerja “ligare” yang secara

harfiah bermakna “mengikat”. Maka, Thomas Aquinas seperti dikutip oleh

Mosmeyer51

Supaya tugas pokok pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik, mutlak

diperlukan seperangkat peraturan sebagai pedoman perilaku rakyat, sekaligus

pedoman bagi pemerintah untuk menegakkan hukum. Dengan norma hukum,

sesuai dengan asal-muasalnya, yaitu to bind (mengikat), kebebasan bertindak

individu mengalami ristriksi. Di sisi lain, demokrasi juga mensyaratkan kebebasan

yang mengandung makna “absence of constraints on behavior” (tindakan yang

bebas dari hambatan/halangan) atau “the liberty of being able to choose otherwise

than as we did

mendefenisikan hukum “A rule and measure of acts whereby man is

induced to act or is restrained from acting”. Hukum pada hakikatnya mengatur

atau membatasi tindakan individu; ada tindakan individu yang bisa dilakukan, ada

pula tindakan yang dilarang dilakukan.

52

51 (www.catholic-forum.com/churches/luxver/law1.htm) 52 Adler, Mortimer J. Six Great Ideas, New York : MacMilan Publishing Co,Inc,1981,

hal.141

. Maka sering timbul konflik antara kebebasan dan hukum.

Dalam proses demokrasi, keduanya saling tarik menarik. Individu menghendaki

kebebasan yang optimal dan hukum yang minimal. Sebaliknya, pemerintah,

terutama pemerintah di negara-negara berkembang seperti Indonesia – dalam

rangka pelaksanaan fungsi utamanya, yaitu melindungi jiwa dan harta-benda

rakyat cenderung memberikan porsi lebih besar pada hukum.

Universitas Sumatera Utara

38

Pada era reformasi ini, bangsa kita tampaknya terjebak dalam situasi

anomali. Di satu sisi tuntutan kebebasan di segala lapangan kehidupan sangat

menggebu-gebu, di sisi lain aturan main untuk mengakomodir kebebasan yang

optimal ini belum ada atau belum disepakati bersama. Sebagaimana masyarakat

pun sesungguhnya belum siap menerapkan kebebasan ala barat yang bernuansa

absolut, karena khawatir terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya.

Di satu sisi ideologi Pancasila nyaris menjadi “sampah” yang berfungsi sebagai

pemanis bibir semata; namun di sisi lain rakyat kita belum menyepakati suatu

“ideologi” baru seperti pengganti Pancasila. Dalam situasi anomali seperti itu,

Rule of Law menjadi mandul. Hukum tidak lagi berpihak pada keadilan, tapi lebih

sering takluk pada uang dan kekuasaan. Siapa yang mempunyai uang lebih

banyak, atau power lebih besar, proses hukum bisa dimenangkan53

53 Wolff, Robert Paul .The Rule of Law, New York : Simon and Schuster, 1971, hl15-36

Jika hukum berada pada status mandul, order pun menjadi kacau balau.

Indonesia pasca-Orde Baru menjadi panggung terbuka bagi tontonan runtuhnya

order. Konflik berdarah antar-etnis di berbagai daerah, tawuran massal antar

kampung, copet yang tertangkap basah dan digebuki massa sampai mati, “hiruk

pikuk” pemilihan Bupati atau Gubernur, banyaknya calon anggota legislatif

(caleg) yang menggunakan ijazah aspal (asli tapi palsu), praktek uang dalam

pemilihan umum, praktek KKN yang semakin merajalela, para petinggi

pemerintah yang ramai-ramai mencari gelar MBA dan Doktor tanpa sekolah,

Bupati yang melecehkan Gubernur, Walikota yang dipecat DPRD ketika baru

menjabat dua bulan, sampai situasi lalu lintas yang sangat semrawut, semua itu

jelas merupakan cermin dari order yang kacau, bahkan nyaris runtuh.

Universitas Sumatera Utara

39

Secara universal, pers diakui memainkan peran penting dalam proses

demokrasi ; Reilly, “World Press Freedom,54

Dalam teori pers libertarian

;. Dalam kancah politik, pers kerap

berfungsi sebagai filter komunikasi politik antara elite politik dan rakyat, atau

sebaliknya, sebab jarang sekali pemimpin negara berbicara langsung kepada

rakyat. Begitu juga sebaliknya, pers menjadi wahana penting untuk

menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

Dalam era reformasi di negara kita, pers memiliki kedudukan sangat

terhormat. Institusi ini benar-benar menikmati statusnya sebagai The Forth Estate

(pilar kekuasaan keempat). Hal ini wajar. Di seantero dunia, pers selalu menjadi

korban pertama, sekaligus korban paling berat, dari kekuasaan otoriter. Tapi, jika

kekuasaan, otoriter jatuh, pers-lah yang pertama kali menikmati kebebasan.

Semakin besar cekikan yang dialami pers dalam era otoritarian, semakin besar

pula kebebasan yang dituntutnya setelah pergantian regime.

55

Pasal 2 Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan

bahwa “Kebebasan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang

berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” . Dengan

klausal ini, jelas sekali bahwa pers memposisikan dirinya sebagai pelaksana

kedaulatan rakyat, atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara ini milik

, terkesan bahwa pers sebagai pilar kekuasan

keempat berada pada posisi tertingi. Pers menjadi watchdog dari kekuasaan

eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kecuali itu, pers juga m engawasi roda

kehidupan masyarakat secara keseluruhan .

54 www.cs.unb.ca 55 Bill Kovach, Tom Resenstiel, The Elements of Journalism, New York : The Rivers

Press, 2001, hal.17-18

Universitas Sumatera Utara

40

rakyat, maka pers perlu diberi kebebasan seluasnya untuk melaksanakan amanat

rakyat tadi.

Namun, di mana-mana diakui bahwa kebebasan pers tidaklah absolut

sifatnya. Kebebasan pers harus diimbangi dengan pertanggungjawaban sosial.

Kebebasan pers tidak layak mendapat jaminan hukum, manakala pelaksanaannya

menyimpang dari prinsip-prinsip yang berlaku. Lebih dari setengah abad yang

silam Commission on Freedom of the Press (Amerika) sudah mengingatkan kita

semua bahwa: “The abuse of right does not ipso facto forfeit the protection of the

legal right”. Komisi mengecam para pejuang kebebasan pers yang memboyong

prinsip “semau gue”, yaitu yang diutarakan dengan kata-kata: “Freedom of the

press means the right to be just or unjust, partisan or non-partisan, true or false

in new column or editorial column.” Menurut Komisi, pers harus menyadari

bahwa kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan dalam pemberitaannya bukan

lagi menjadi urusannya sendiri, tapi sudah menjadi “public dangers”. Oleh sebab

itu, masyarakat berhak mengawasi pers dan menjatuhkan sanksi kepada pers

apabila kebebasannya disalahgunakan.

Ketika House of Lords (Inggris) menyidangkan perkara “Reynolds lawan

Times Newspaper” pada 28 Oktober 1999, Lord Nicholls mengingatkan para

jurnalis bahwa kebebasan pers tidak absolut sifatnya. Pelaksanaan kebebasan pers

bisa dibatasi oleh undang-undang dan memang perlu dibatasi terutama “for the

protection of the reputation of others” (untuk melindungi martabat orang lain).

Perlindungan terhadap martabat orang lain tidaklah kalah penting dibandingkan

dengan perlindungan terhadap kebebasan pers. Menurut Lord Nicholls, demi

kepentingan publik juga, reputasi pejabat publik sekali-sekali tidak boleh

Universitas Sumatera Utara

41

direndahkan dengan pernyataan atau laporan pers yang menyesatkan. “Freedom of

speech does not embrace freedom to make defamatory statements out of personal

spite or without having a positive belief in their truth”, ucap Lord Nicholls 56

Situasi kebebasan pers di Indonesia saat ini, bedanya seperti langit dan

bumi jika dibandingkan dengan kebebasan pers era Orde Baru

.

Terjemahan bebas: Bahwa kebebasan pers tidak berarti kebebasan membuat

pernyataan yang sifatnya menghina hanya karena sentimen atau dendam pribadi

atau tanpa memperdulikan kebenaran dari pernyataan tersebut.

57

Pada era reformasi ini, tidak ada obyek apakah itu perorangan, instansi

pemerintah, pejabat Negara atau Presiden sekali pun yang tidak bisa disentuh atau

dikecam oleh pers. Bahkan dalam kasus kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid

. Dulu, ketika

Tommy Soeharto mengalami kecelakaan di Sirkuit Sentul (Waktu latihan), pers

tidak boleh mempublikasikannya karena berita seperti itu dikhawatirkan dapat

menjelekkan martabat keluarga Kepala Negara. Pembajakan pesawat Garuda

Wyola saja dilarang disiarkan oleh pers. Belakangan pers diizinkan menyiarkan,

tapi harus bersumber dari pemerintah. Sebuah pos polisi di Cicendo, Jawa Barat,

suatu hari diserang dan diobrak-abrik oleh sekelompok “orang bersenjata”.

Sementara pers mencium berita ini, tapi segera diancam oleh aparat keamanan

untuk tidak mempublikasikannya. Berita semacam ini, pada masa Orde Baru,

amatlah sensitif, karena menyangkut persoalan “stabilitas nasional”. Jangankan

bisnis anak-anak Pak Harto, bisnis petinggi pemerintah pun ketika itu untouchable

oleh pers. Dan pers yang bandel tidak mengindahkan “himbauan” pemerintah

untuk tidak menyiarkan satu berita, dia terancam bredel.

56 (www.HouseofLords-ReynoldsvTimesNewspapers.htm) 57 Tjipta Lesmana, 20 Tahun Kompas, Profile Kebebasan Pers Indonesia Dewasa Ini,

Jakarta, : Erwin – Rika Press, 1985, hal. 11

Universitas Sumatera Utara

42

pada pertengahan 2001 pun, pers diyakini memainkan kontribusi tidak kecil.

Betapa banyak kasus KKN yang dibongkar oleh pers, baik yang dilakukan pejabat

eksekutif, apalagi anggota legislatif. Betapa banyak perilaku buruk wakil rakyat

yang ditelanjangi pers, ketika konflik etnis di Sampit pecah, pers mengeksposnya

habis-habisan. Sebuah penerbitan pers daerah pernah mempublikasikan foto

kepala seorang korban yang sudah lepas dari badannya tatkala banyaknya santri

NU yang dibunuh oleh “ninja-ninja” misterius. Kasus dugaan korupsi Gubernur

Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, sudah marak diungkap pers

sebelum aparat hukum melakukan penyidikan.

Para era reformasi, tiga “tembok pers” berhasil dirobohkan: kini tidak ada

lagi lembaga izin terbut, sensor dan bredel. Bahkan instansi pemerintah yang

mengurus ketiga “tembok pers” ini, yaitu Departemen Penerangan RI sudah

lenyap dibubarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Kini siapa pun,

termasuk Presiden RI, tidak bisa menutup sebuah penerbitan pers.

Pelaksanaan kebebasan pers Indonesia dewasa ini mirip dengan kebebasan

pers era tahun 1950-1959 yang dikenal dengan sebutan era demokrasi liberal yang

bercorak libertarian58

58 Tjipta Lesmana, “ Wartawan Bukan Profesi Eksklusif : .Kompas , 23-10-2003, hal36

. Pers libertarian mempropagandakan konsep “the open

market place of ideas”. Substansi dari konsep ini adalah sebagai berikut:

Biarkanlah pers bebas memberitakan apa pun yang dinilainya perlu diberitakan.

Pemerintah atau masyarakat sekali-sekali tidak boleh menginterupsi, apalagi

menghambatnya. Pendapat yang benar, pada akhirnya, akan menang; sedang yang

salah akan tersingkirkan, karena pembaca memiliki kemampuan nalar untuk

menentukannya.

Universitas Sumatera Utara

43

Kebebasan pers Indonesia yang begitu besar di era reformasi juga

tercermin dari substansi Undang-Undang tentang Pers (UU No. 40 Tahun 1999).

Dalam Undang-Undang tersebut, hanya 3 delik pers yang diatur (Pasal 5 ayat 1),

yakni delik pelanggaran norma agama, norma susila dan norma asas praduga tak

bersalah. Padahal di Swedia, negara yang oleh Freedom House dikategorikan

paling bebas persnya di seluruh dunia59, UU Persnya (The Freedom of The Press

Act) mengatur tidak kurang 14 kejahatan yang dilakukan oleh pers, antara lain

pengkhianatan terhadap Negara instigasi terhadap peperangan, espionase,

memperdagangkan informasi rahasia, membocorkan rahasia Negara,

pemberontakan dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintah yang

konstitusional, provokasi untuk melakukan tindak kejahatan dan pencemaran

nama baik orang lain60

1. Pelanggaran atas prinsip check-and-balance. Dalam masalah kontroversial

atau melibatkan tokoh kontroversial, pers sering kurang memperhatikan

prinsip check-and-balance sehingga berita yang dihasilkan tidak obyektif,

bahkankadang bersifat amatiran. Laksamana Sukardi, mantan Menteri

Pembinaan BUMN, oleh beberapa surat kabar Ibukota diberitakan “lari ke

.

Memang harus diakui Undang-Undang Pers Indonesia dibuat dalam

suasana penuh euphoria demokrasi; disahkan hanya 1,5 tahun setelah Orde Baru

jatuh. Maka, Undang-Undang tersebut jauh dari sempurna.

Kebebasan pers yang sedemikian besar, bahkan cenderung bebablasan,

telah menimbulkan berbagai ekses yang merugikan masyarakat maupun pers,

antara lain berupa:

59 (www.worldaudit.org/press.htm) 60 (www.oefre.unibe.ch)

Universitas Sumatera Utara

44

luar negeri” menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati. Pemberitaan

tersebut memberikan konotasi kepada masyarakat bahwa (a) Laksamana

Sukardi seorang menteri korup dan (b) ia takut ditangkap aparat penegak

hukum setelah Presiden Megawati Soekarnoputri kalah dalam pemilihan

presiden pada 20 September 2004. Dalam kasus Djadja Suparman, betapa

cerobohnya sikap sementara pers kita yang begitu mudah “termakan” oleh

sumber berita yang tidak bertanggung jawab.

2. Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah. Seorang purnawirawan

petinggi Kepolisian RI dan seorang Letnan Jenderal TNI-AD, misalnya,

diberitakan terlibat dalam kasus bom Bali karena berada di Bali pada saat

tragedi itu terjadi. Salah satu korban malah menyebutkan identitas sang

Jenderal secara lengkap

3. Pencemaran nama baik. Karena kurang teliti atau tidak melakukan penelitian

yang saksama, wartawan adakalanya terperosok dalam perangkap libel

(pencemaran nama baik). Akibatnya, harian Sriwijaya Post dihukum oleh

Pengadilan Negeri Palembang karena terbukti mencemarkan nama baik dan

kehormatan Z.A. Maulani, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen

Negara (BAKIN); Koran Tempo dan Majalah Tempo diadili karnea

diadukan oleh Tommy Winata; Harian Rakyat Merdeka pada waktu yang

hampir bersamaan diganjar dua hukuman oleh pengadilan (tingkat pertama),

masing-masing karena terbukti mencemarkan nama baik mantan Presiden

Megawati dan mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung.

4. Dipengaruhi mind-set yang negatif. Memberitakan kinerja suatu instansi

atau seseorang secara apriori, didorong oleh mind-set negatif yang sudah ada

Universitas Sumatera Utara

45

di kepala wartawan yang bersangkutan. Mind-set negatif ini mungkin timbul

akibat pengalaman buruk pers dengan instansi atau petinggi pemerintah

tersebut di masa silam. Kita mengetahui bahwa persepsi memainkan peran

sentral dalam perilaku individu . Pilihan komunikasi seseorang terhadap

suatu obyek amat dipengaruhi oleh persepsinya atas obyek tadi. Contoh:

menjelang diterapkannya status Darurat Militer di Aceh pada Mei 2003,

menurunkan sebuah headline di halaman pertama dengan judul yang amat

provokatif: “TNI Siapkan Ladang Pembantaian GAM.” Istilah “ladang

pembantaian” dapat mengingatkan pembaca pada perang saudara di

Kampuchea pertengahan 1970-an tatkala tentara Pol Pot membantai secara

keji ratusan ribu rakyatnya sendiri (Kiernan, 1996). Tragedi kemanusiaan in

kemudian difilmkan dengan judul “Killing Field”. Seolah-olah melalui

Darurat Militer, tentara kita pun siap membantai habis anggota GAM di

Aceh. Berita seperti ini dikhawatirkan dapat memprovokasi masyarakat

untuk menentang kebijakan Darurat Militer di Aceh, sekaligus

membangkitkan kebencian mereka pada TNI.

5. Memelintir informasi yang sebenarnya. Wujud dengan menggiring

seseorang seolah-olah mengatakan apa yang sebenarnya menjadi pendapat

wartawan sendiri.

6. Salah kutip. Masih banyak wartawan kita yang berpendapat bahwa jika

mereka mengutip pernyataan seseorang apalagi sumbernya yang kredibel

dan kemudian pernyataan itu ternyata salah, wartawan tidak bisa disalahkan,

apalagi dijerat hukum. Pandangan ini, tentu, keliru. Jika isi kutipan terbukti

menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke pengadilan dan dihukum

Universitas Sumatera Utara

46

membayar ganti rugi pada pihak yang merasa tercemar nama baiknya. (The

Reporters’s Committee on Freedom of the Press)

Ekses kebebasan pers telah menimbulkan reaksi keras anggota atau

kelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan.

Pengrusakan kantor penerbitan pers menjadi fenomena yang cukup sering dalam

era reformasi. Intimidasi, bahkan penganiayaan fisik terhadap wartawan juga

terjadi. Tentu saja, tindakan-tindakan anarkis dan main hakim sendiri dari

masyarakat tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya sebab hukum tidak boleh

ditegakkan dengan tindakan anarkis. Tapi, semua itu merupakan penguat dari tesis

mandulnya hukum kita dewasa ini, sekaligus rapuhnya order di negeri kita seperti

telah dipaparkan di atas. Dalam negara yang berasaskan hukum, semua

perselisihan antar-warga, atau warga dengan pemerintah, mestinya diselesaikan

secara hukum, jika perdamaian menghadapi jalan buntu. Di pihak pers, tindakan

anarkis masyarakat seyogianya diterima sebagai cambuk untuk mawas diri dan

introspeksi, bahwa kebebasan dan tanggung jawab tidak bisa dipisahkan satu sama

lain.

Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia yang diselenggarakan

dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2004

diwarnai oleh suasana keprihatian wartawan sehubungan dengan semakin

meningkatnya delik pers yang dibawa ke pengadilan dan berakhir dengan vonis

terhadap pers. Yang menarik, sekaligus yang diprotes keras oleh sejumlah

wartawan, adalah penggunaan pasal-pasal KUHP oleh hakim dalam proses

peradilan, sehingga timbul pertanyaan: Untuk apa kita memiliki UU Pers kalau

Universitas Sumatera Utara

47

hakim tetap menjerat wartawan dengan pasal-pasal KUHP? Kenapa UU No 40

Tahun 1999 tidak bisa diberikan status “Lex Specialis”? Kenapa ancaman penjara

masih menghantui wartawan?

Salah satu peserta konvensi mengemukakan bahwa pers Indonesia kini

menghadapi paradoks hukum61

61 (Kompas, 10-2-2004, hal 7).

Di satu sisi ada aturan hukum yang melindungi

kemerdekaan pers, tetapi di sisi lain lebih banyak aturan hukum yang justru

membunuh kemerdekaan pers. Yang dimaksud dengan aturan hukum yang

pertama, antara lain UUD 1945, TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang Hak

Azasi Manusia dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; sedang aturan hukum

kategori kedua disebutkan antara lain UU No 23/1959 tentang Keadaan Bahaya,

UU No 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, UU No 4/1999 tentang Kepailitan, UU

No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 32/2002 tentang

Penyiaran. Belum lagi sejumlah pasar yang terdapat di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain disebutkan apa yang disebut “pasal

karet” (haatzai artikelen), yaitu Pasal 154 dan 155 KUHP.

Peraturan perundang-undangan tersebut, di mata sementara wartawan kita,

mungkin dikategorikan sebagai “unjust law” atau hukum yang tidak adil ; setidak-

tidaknya dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Karena tidak adil, maka

peraturan perundang-undangan itu tidak perlu ditaati atau dilaksanakan. Mereka

pun berdalih bahwa kebebasan pers di Indonesia kini kembali terancam, seraya

menuduh bahwa ada upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu (siapa?) untuk

mengembalikan pers otoritarian di negara kita, sebab pers yang bebas dinilai

sebagai ancaman terhadap penguasa.

Universitas Sumatera Utara

48

Hukum, apa pun bentuknya, termasuk yang dikategorikan tidak adil, harus

dijalankan. Jika tidak, sistem hukum secara keseluruhan akan menjadi lemah.

Memang Finnis setuju bahwa terhadap peraturan perundang-undangan yang

dinilai tidak adil, seyogianya pemerintah mencabutnya.

Dengan demikian, kalangan pers tidak mempunyai alasan untuk tidak

tunduk pada peraturan perundang-undangan apa pun yang didalamnya terdapat

ketentuan-ketentuan ristriksi atas kebebasan pers, sepanjang peraturan perundang-

undangan itu masih berlaku, “sebagaimana warga negara Indonesia, wartawan

juga harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia,” tulis R.H. Siregar,

Wakil Ketua Dewan Pers62 Menurut Siregar, supremasi hukum harus menjadi

acuan bagi setiap wartawan dalam menjalankan profesi kewartawanannya.

Pandangan yang mengatakan bahwa pemidanaan pers merupakan tindak

pelanggaran HAM 63 atau wartawan tidak layak dikenakan pasal-pasal KUHP

karena mereka bertindak “atas nama kemaslahatan umum, melayani hak-hak

publik atas informasi”64

62(Majalah Rastra Sewakottama, edisi khusus HUT Bhayangkara ke-57, hal. 14 63 Uli Parulian Sihombing, “Pemidanaan Pers, Pelanggaran HAM, Kompas, 17-09-2004 64 Agus Sudibyo, “Hukum Tak Berpihak Kepada Pers, harian Kompas, 21-09-2004

adalah tidak benar; seolah-olah wartawan menuntut

diistimewakan di depan hukum. Sikap seperti itu oleh Prof. Dr. Astrid Susanto

digambarkan sebagai “arogansi pers” Maka, hakim tidak dapat disalahkan jika ia

menerapkan ketentuan hukum yang dikatakan “unjust” dalam pertimbangan

hukumnya. Sebab semua peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas

mengatur masalah-masalah spesifik (seperti penyiaran, keadaan bahaya, kepailitan

dan lain-lain); sedangkan jaminan perlindungan terhadap kemerdekaan pers yang

diatur dalam UU tentang Pers bersifat umum. Hal ini berarti, kemerdekaan pers di

Universitas Sumatera Utara

49

negeri kita memang dijamin oleh undang-undang; namun pada tingkat

pelaksanaannya, kemerdekaan itu tidaklah absolut sifatnya 65

Tentang tuntutan agar UU tentang Pers diperlakukan sebagai Lex

Specialis, pers tidak usah risih, apalagi marah, jika hakim menolaknya. Wartawan

Indonesia harus mengakui secara jujur bahwa UU No. 40 Tahun 1999 belum bisa

diberlakukan sebagai Lex Specialis, karena undang-undang tersebut menurut ahli

hukum Nono Anwar Makarim

.

66 tidak memenuhi syarat formal maupun material

tentang doktrin hukum khusus. Kecuali itu, masih begitu banyak delik pers yang

belum diatur di dalam undang-undang tersebut. UU No. 40 tahun 1999 hanya

mengatur 3 delik pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila dan

asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Bagaimana dengan delik kabar

bohong? Delik pencemaran nama? Delik membuka rahasia negara, dan

sebagainya? Karena delik-delik tersebut belum diatur dalam UU No. 40 tahun

1999, tepatlah kalau hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU

No. 40 tahun 1999, khususnya KUHP67

65 Op.Cit, Lesamana 66 Kompas, 6-5-2004, hal. 9 67 (Amir Syamsuddin, Kompas, 18-9-2004, hal. 4; Lesmana, Pilars, No. 11 Thn VII).

Dalam peradilan banding Tommy Winata

lawan Koran Tempo, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta

mengemukakan bahwa “selain Undang-Undang tentang Pers (Undang-Undang

No. 40 tahun 1999) tidak mengatur mekanisme atau hukum acara penyelesaian

sengketa pers, adalah hak setiap orang in casu Tergugat Rekonpensi/Penggugat

Konpensi/Terbanding untuk menuntu atau mempertahankan haknya dari orang

lain (in casu Penggugat Rekonpensi/Tergugat I Konpensi/Pembanding) dengan

mengajukan gugatan perdata di depan pengadilan”. (Putusan Pengadilan Tinggi

Universitas Sumatera Utara

50

Jakarta No. 358/Pdt/2004/PT.DKI, hal. 12). Pertimbangan Majelis Hakim banding

ini, secara implisit, sebetulnya merupakan pengakuan bahwa UU Pers belum

dapat menyelesaikan setiap sengketa hukum yang ditimbulkan oelh pemberitaan

pers dan oleh karena itu UU Pes belum bisa dikatakan sebuah Lex Specialis.

Zoeber Djajadi, S.H., Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan yang mengadili perkara Tommy Winata lawan Koran Tempo berpendapat

bahwa “Dalam masalah pencemaran nama baik, Undang-Undang Pers bukanlah

Lex Specialist. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu. Pengamat pun bilang

begitu!”68

(1) Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana,

maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika

pidana berlainan, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana

pokoknya.

Dalam Bab VI KUHP diatur ketentuan mengenai gabungan tindak pidana.

Pasal 63 Bab VI berbunyi (KUHPidana :

(2) Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana

umum, ada ketentuan khusus, maka ketentuan khusus itu sajalah yang

digunakan.

Kalangan pers, juga sementara praktisi hukum, tampaknya keliru dalam

menginterpretasikan ketentuan ayat 2 Pasal 63 KUHP di atas. Seolah-olah jika

suatu perbuatan pidana diatur dalam dua ketentuan hukum, maka ketentuan

hukum khusus yang otomatis diberlakukan. Karena UU No 4 tahun 1999

khususnya mengatur permasalahan seputar pers, maka semua delik pers yang

68 (Majalah Tempo, No. 48/XXXII/26 Januari – 01 Februari 2004).

Universitas Sumatera Utara

51

ditimbulkan oleh pemberitaan pers seharusnya diadili dengan Undang-Undang

tersebut.

“Undang-undang khusus ialah undang-undang yang berisikan unsur-unsur

dari undang-undang umum ditambah dengan sesuatu lagi yang lain. Misalnya

Pasal 363 berasal dari Pasal 362 yang dikhususkan. Kedua pasal ini memuat

semua unsur tindak kejahatan pencurian, tetapi pasal 363 ditambah dengan

beberapa unsur lainnya”. Maka, Pasal 363-lah yang seyogianya didahulukan

penggunaannya.

Jika kita membaca 69

Mengenai apa yang disebut “kriminalisasi pers” – pemberlakukan pasal-

pasal KUHP terhadap wartawan atau pers yang diajukan ke pengadilan, di

Amerika sekali pun masih terjadi, walaupun diakui sangat jarang. Tidak kurang 17

dari 50 negara bagian yang ada sampa saat ini masih memberlakukan criminal

libel statutes

lebih jelas lagi apa sesungguhnya makna prinsip

“Lex Specialis derogat legi generali”. Menurut Soesilo , “Sesuatu yang khusus

harus memuat semua unsur-unsur dari yang umum, ditambah dengan sesuatu lagi

yang lain, misalnya, pembunuhan dengan direncanakan (Pasal 340) adalah

pengkhususan dari pembunuhan (Pasal 339). Kedua pasal ini berisi semua unsur-

unsur dari pembunuhan, tetapi pasal 340 ditambah lagi dengan unsur “dengan

direncanakan lebih dahulu”. Pembunuhan anak (Pasal 341) adalah pengkhususan

dari pembunuhan (Pasal 339), ditambah lagi dengan unsur “seorang ibu bertindak

terhadap anaknya, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak”.

70

69 KUHP karangan R. Soesilo ,1990, hal.80-81 70 (www.1drc.com)

. Ke-17 negara bagian itu adalah Colorado, Florida, Idaho, Kansas,

Louisiana, Michigan, Minnesota, Montana, New Hampshire, New Mexico, North

Universitas Sumatera Utara

52

Carolina, North Dakota, Oklahoma, Utah, Virginia, Washington, dan Wisconsin.

Kecuali itu, dua negara yang menjadi territories Amerika, yakni Puerto Rico dan

Virgin Islands juga masih menggunakan pasal-pasal pidana untuk kasus

penghinaan. Di ke-33 negara bagian lainnya, ancaman pidana untuk delik pers

telah dicabut atau tidak lagi dipakai sejak Mahkamah Agung memutuskan perkara

“Garrison lawan Louisiana” pada tahun 1964

Di Kansas City, Harian New Observer, sebuah koran yang dibagikan gratis

kepada masyarakat diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan

kriminal, gara-gara pada 1999 membuat laporan bahwa walikota Kansas City,

Carol Marinovich dan suaminya tidak tinggal di rumah dinas yang sudah

disediakan71

Merasa dicemarkan namanya, Marinovich dan istrinya menggugat penerbit

Harian New Observer, David W. Carson dan seorang wartawannya, Edward H.

Powers ke pengadilan. Mereka sengaja tidak mengajukan gugatan perdata, karena

pertimbangan biaya (sangat mahal) dan problematik prosesnya. Jaksa setempat,

Tomasic langsung mengeluarkan perintah penangkapan terhadap kedua tersangka

karena tuduhan criminal libel. Tapi penangkapan ini kemudian dianulir oleh

Hakim Tracy Klinginsmith dari Distrik Jackson dengan alasan Tomasic bertindak

terlalu gegabah. Dewan juri dalam putusannya tanggal 17 Juli 2002 menyatakan

bahwa berdasarkan criminal defamation law di Kansas, penerbit New Observer

Menurut berita tersebut, Walikota dan suaminya, Hakim Ernest

Johnson, tinggal di Johnson County yang lebih mewah (“Had Marinovich actually

lived i the more affluent Johnson County, she would not have been eligible to be

mayor.”) Berita ini ternyata tidak benar.

71 (CNN.com, 9 Desember 2002).

Universitas Sumatera Utara

53

dan wartawannya, Edward H. Powers, terbukti telah mencemarkan reputas

Walikota Kansas City dan suaminya.

Kasus ini akhirnya sampai ke Mahkamah Agung Kansas. Mahkamah

menunjuk seorang jaksa khusus bernama David Farris. Farris menuduh Carson

dan Powers melakukan 7 lapis kejahatan penghinaan. Menurut hukum di negara

bagian Kansas, ketentuan pidana tentang perbuatan pencemaran nama dapat

diberlakukan jika tersangka terbukti secara meyakinkan telah melakukan tindakan

itu dengan actual malice. Itu berarti, ia sebetulnya tahu bahwa berita yang hendak

dipublikasikan tidak benar; tetapi ia tetap memberitakannya.

“You can’t print a lie,” kata David Farris kepada kedua tersangka. “That is

a crime in the state of Kansas and it’s a misdemeanor some of us wish it was a

flony.” (Itu merupakan tindakan kriminal di Negara Bagian Kansas, suatu

pelanggaran ringan, walaupun ada juga yang menganggapnya kejahatan berat.)

Atas kejahatan yang dilakukannya, Carson dan Powers diharuskan membayar

ganti rugi masing-masing US$ 700, disamping dikenakan hukuman percibaan

selama satu tahun.

Dalam kasus-kasus tertentu, apalagi jika terbukti ada unsur actual malice,

hakim dapat memerintahkan tergugat untuk membuka identitas sumber berita.

Penolakan atas perintah hakim ini dapat berakibat sanksi pidana, yaitu hukuman

masuk penjara.

Mahkamah Agung Negara Bagian Minnesota, misalnya, dalam putusannya

tanggal 11 September 2003 dengan suara 5 banding 2 – memerintahkan seorang

reporter Maplewood Review bernama Wally Wakefield untuk memberitahukan

Universitas Sumatera Utara

54

identitas sumber berita yang ditulisnya pada penerbitan tersebut edisi Januari 1997

72

Kasus serupa juga menimpa dua reporter harian Atlanta Journal-

Constitution di Negara Bagian Georgia, Kathy Scruggs dan Ron Martz. (Lihat

“Richard Jewell lawan Atlanta Journal, Bab IV). Dalam gugatan terpisah di Fulton

County State Court, Jewell menuntut agar koran tersebut mengungkap sumber

berita yang menyebutkan dirinya sebagai tersangka dalam ledakan di Centennal

Olympic Park. Hakim pada pengadilan itu, John Mather, pada 3 Juni 1999

memerintahkan penahanan atas kedua wartawan Atlanta Journal-Constitution

.

Tulisan yang dibuat Wakefield menyangkut cerita tentang pemecatan atas

diri Richard Weinberger, seorang pelatih football di Tartan High School (SMU

Tartan). Mengutip berbagai sumber yang kritikal terhadap Weinberger, Wakefield

menulis bahwa “the coach is known for his temper, inappropriate comments and

foul language.” (Pelatih itu dikenal dengan temperamennya yang buruk,

komentar-komentarnya yang tidak pantas serta bahasa kotor yang sering

dipakainya.) Atas berita itu, Weinberger menggugat Wakefield ke pengadilan.

Hakim yang mengadili perkara ini memerintahkan tergugat untuk

memberitahukan identitas sumber berita seperti diminta penggugat. Perkara ini

akhirnya sampai ke Mahkamah Agung Negara Bagian Minnesota. Suara

Mahkamah terpecah. Namun, Mahkamah akhirnya memerintahkan Wakefield

membuka identitas sumber berita. Tatkala ia bersikeras menolak, Mahkamah

menetapkan Wakefield telah melakukan contempt of court dan dikenakan denda

$200 per hari sampai ia membuka sumber beritanya.

72 (Pioneer Press, 12 September 2003, www.twincities.com)

Universitas Sumatera Utara

55

karena melakukan penghinaan atas pengadilan (contempt of court) setelah mereka

menolak membuka identitas sumber berita. Namun, perintah Hakim John Mather

hakim tidak dapat dieksekusi, karena pengacara kedua terdakwa, Peter Canfield,

segera mengajukan banding.

Kebebasan pers memang mutlak ada dalam sistem pemerintahan yang

demokratis. Namun, semua pelaku pers harus menjunjung tinggi hukum.

Kebebasan dan tanggung jawab perlu dilaksanakan secara berimbang, hak-hak

pribadi warganegara tidak boleh dikorbankan hanya untuk teganya kebebasan pers

(Putusan US Court of Appeals, Third Circuit, 1985 dalam perkara Coughlin lawan

Westinghouse Broadcasting).

Pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia dalam era reformasi, tampaknya,

telah terperangkap dalam benturan antara freedom and order. Sikap sementara

wartawan kita yang tidak senang, bahkan menolak, jika delik pers dibawa ke

pengadilan menunjukkan ketidakpatuhan mereka terhadap order yang ada, yakni

UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, ketentuan-ketentuan mengenai pers di dalam

KUHP dan semua peraturan perundang-undangan yang ada di dalamnya memang

mengandung ristriksi terhadap kemerdekaan pers. Tapi, pakar-pakar hukum

ratusan tahun lalu, umumnya sepakat bahwa hukum positif, sekali pun bersifa

unjust, harus dilaksanakan. Kalau tidak, sistem hukum menjadi goyah. Ketentuan-

ketentuan hukum yang dirasakan tidak adil itu boleh saja diperjuangkan untuk

secepatnya dicabut.

Pers Indonesia tidak perlu terjebak dalam dilema freedom versus order.

Semua pihak, termasuk pemerintah, perlu mengakui peran sentral yang dimainkan

pers dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Maka, semua pihak harus

Universitas Sumatera Utara

56

mendukung perlaksanaan freedom of the press dengan segala atributnya. Namun,

di lain pihak, setiap insan pers pun hendaknya sadar bahwa kebebasan yang

dinikmatinya tidak bisa lepas dari pertanggungjawabannya kepada masyarakat.

Dan masyarakat tidak mungkin mendelegasikan seluruh tanggungjawab untuk

eksistensi suatu free society kepada instansi mana pun, termasuk pers

Hal ini berarti wartawan harus selalu siap mengikuti proses hukum jika

tulisannya dinilai merugikan pihak ketiga, sebab wartawan bukan warganegara

eksklusif yang tidak bisa dijangkau hukum (Lesmana, Kompas, 23-10-2003).

Wartawan, menurut Prof. Astrid Susanto, bukanlah warga negara yang berada di

atas hukum. “Siapa pun sama di muka hukum, termasuk Presiden. Tidak ada yang

kebal Hukum”.73

73 (Sinar Harapan, 9-7-2001)

Universitas Sumatera Utara