bab ii biografi dan pemikiran hukum imam...
TRANSCRIPT
14
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN HUKUM IMAM SYAFI’I
A. Sejarah dan Metode Ijtihad yang dipergunakan Imam Syafi'i
1. Riwayat Hidup Imam Syafi'i
Imam Syafi'i nama sebenarnya adalah Muhammad Idris bin
Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sabit bin Abu Yazid bin Hakim
bin Muthalib bin Abdul Manaf, keturunan dari pihak bapak
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dari keturunan suku
Kuraisy, sedangkan dari ibunya dari golongan Al-Azz yang lahir
di Gazza, salah satu kota di daerah Palestina di pinggiran Laut
Merah pada tahun 150 Hijriyah atau bertepatan dengan 767
Masehi Imam Syafi'i lahir.1
Imam Syafi'i ketika lahir sudah dalam keadaan yatim,
karena sudah ditinggal wafat oleh ayahandanya. Kemudian setelah
berusia kurang lebih dua tahun, baru beliau dibawa pulang oleh
ibundanya ke kota Makkah. Di Makkah beliau tetap ditempat
kediaman ayahandanya yang semula, dan tetap dibawah asuhan
1 Departemen Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 1984), hlm. 76.
15
ibundanya dengan penghidupan dan kehidupan yang sangat
sederhana,dan kadang-kadang menderita kesulitan.2
Beliau meskipun dalam keadaan yatim dan miskin, namun
beliau pada masa sebelum dewasanya, baru berusia sembilan
tahun sudah dapat hafal Al-Qur'an diluar kepala dengan lancarnya,
kemudian beliau dengan tekad yang bulat pergi dari Makkah
menuju ke suatu dusun bangsa Badwy Banu Hudzail untuk
mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih, karena dusun Banu
Hudzail itulah satu-satunya dusun yang penduduknya terkenal
masih berbahasa arab yang fasih dan asli. Di dusun itulah beliau
dengan rajin mempelajari bahasa Arab dan kesusteraannya serta
sya’ir-sya’irnya kepada para pemuka orang di dusun itu. Beliau
mempelajari adat istiadat bangsa Arab yang asli, dan cara
pergaulan mereka yang masih baik budi serta jauh dari
percampuran adat istiadat bangsa lain yang telah biasa terjadi di
kota-kota yang besar.3
Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam
Muslim bin Khalid Az-Zanniy, seorang guru besar dan mufti di
٢ K.H. Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 152.
٣ Ibid., hlm. 152.
16
kota Makkah pada masa itu. Ayah lama beliau belajar kepada guru
itu, sehingga mendapat ijazah dan diberi hak boleh mengajar dan
memberi fatwa tentang hukum-hukum yang bersangkut paut
dengan agama. Tengang ilmu hadits, beliau belajar kepada Imam
Sufyan bin Uyainah, seorang alim besar ahli Qur’an di kota
Makkah di masa itu. Dan tentang ilmu Al-Qur'an, beliau belajar
kepada Imam Isma’il Qasthanthin, seorang alim besar ahli Qur’an
di kota Makkah di masa itu. Selanjutnya kepada para ulama
lainnya di masjid Al-Haram, beliau belajar berbagai ilmu
pengetahuan, sehingga ketika baru beusia 15 tahun, beliau telah
menduduki kursi mufti di kota Makkah. Menurut riwayat, ketika
beliau baru berusia 10 tahun sudah dapat mengerti tentang isi
kitab “Al-Muwaththa” yang disusun oleh Imam Maliky.4
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Imam Syafi'i adalah
sebagai berikut :
ثة اقسام ثلث للعلم وثلث وكان رضى اهللا عنه يقسم الليل على ثالللصالة وثلث للنوم وخيتم القران ىف كلّ يوم مرة وخيتم ىف رمضان
ستني مرة كل ذلك ىف الصالةArtinya : “Bahwasanya Imam Syafi'i membagi malam itu kepada
tiga bagian: sepertiganya untuk ilmu pengetahuan, sepertiganya lagi untuk sembahyang, dan sepertiganya lagi untuk istirahat atau tidur dan beliau setiap hari
٤ Ibid., hlm. 153.
17
membaca Al-Qur'an sampai enam puluh kali khataman yang kesemuannya itu beliau baca sewaktu dalam sembahyang”.5
Terhadap semua ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan Al-Qur'an, Sunnah, ucapan para sabahat, sejarah serta
pendapat-pendapat yang lawanan dari para ahli dan sebagainya
diaduk dengan sempurna dengan pengetahuan yang mendalam
tentang bahasa Arab dari gurun pasir itu baik dalam ilmu
bahasanya, nahwunya, sharafnya, dan sya’irnya. Oleh karena itu
Ahmad Ibnu Hambal dengan segenap kejujuran ia berkata: “Al-
Syafi’i bagi umat ini ibarat matahari bagi bumi dan laksana
kesehatan bagi tubuh, siapa yang akan dapat menggantikannya”.6
Dalam perjalanan hidupnya, setelah berpindah-pindah di
beberapa tempat yang pada akhirnya beliau berpindah ke negeri
Mesir kedatangannya disambut oleh ulama-ulama di sana,
ternyata beliau di sana (Mesir) dapat mengembangkan ilmu yang
sudah dipadatkannya dan di sanalah beliau menjadi ulama yang
besar dan terkenal pada waktu itu. Imam Syafi'i ketika di negeri
Mesir dan Baghdad banyak sekali perbedaannya dalam
menetapkan suatu permasalahan hukum, sehingga Mesir selama
5 Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Talibin, Juz I, Mustafa Al-Babi Al-Halabi, Mesir, 1942, hlm. 16.
6 Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1982), hlm. 259.
18
enam tahun akhirnya pada tahun 204 H, di Fushah beliau wafat
dan dimakamkan di kaki gunung Qatam di kota Mesir.7
2. Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi'i
Imam Syafi'i termasuk orang yang alim juga sebagai
seorang penya’ir, sehingga banyak sya’ir-sya’ir yang beliau tulis
dan yang terpenting beliau termasuk seorang yang banyak sekali
mengarang kitab, dan semua karangannya itu sampai sekarang
masih banyak kita jumpai.
Imam Syafi'i dalam mengarang kitabnya berada di dua
tempat yaitu di Mesir dan di Baghdad, di Mesir disusun semua
kitab-kitabnya itu menjadi satu kitab yang disebut dengan “Qaul
Jadid”, sedangkan di Baghdad kitab-kitab yang disusun disebut
dengan “Qaul Qadim”.8
Adapun karya beliau yang paling besar dan menjadi
pedoman bagi kaum muslimin sekarang, diantaranya adalah:
a. Kitab Ar-Risalah
b. Kitab Al-Umm
c. Kitab Ikhtikaf Al-Hadits
٧ K.H.E., Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-Madzhab, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1986), hlm. 31.
٨ Ibid.,
19
d. Kitab Al-Musnad.9
3. Sejarah Perkembangan Madzhab Syafi’i
Sejarah perjalanan kehidupan Imam Syafi'i adalah selalu
belajar dan mengajar ilmu agama. Ketika beliau masih menjadi
murid, Imam Syafi'i termasuk yang diistimewakan oleh Imam
Malik, terbukti beliau pernah diminta oleh Imam Malik (gurunya)
untuk bertempat tinggal serumah dengannya dan semua biaya baik
untuk hidup maupun untuk keperluan lainnya ditanggung dan
dicukupinya. Berkat ketekunan yang selalu dekat dengan gurunya,
maka beliau menjadi penganut madzhab Maliki yang setia. Hal ini
terbukti ketika di Makkah masih menganut madzhab Maliki dan
barulah belajar di Irak yang di sana menganut madzhab Hanafi.
Karena keadaan seperti itu Imam Syafi'i berubah menjadi
penganut madzhab Hanafi.
Setelah pulang dari negeri Irak, beliau menetap di Makkah
dan membawa fiqih Iraqi yang sudah sempurna kemudian
dikembangkannya melalui diskusi dalam majlis ta’lim yang
bertempat di Masjidil Haram, dan di sinilah memulai
٩ A. Hanafi, M.A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 155.
20
menumbuhkan fiqih baru yaitu fiqh ala Madinah dan fiqh ala
Iraqi, ini berarti fiqih yang bercampur antara naqli dan aqli.10
Kehidupan Imam Syafi'i senantiasa berpindah-pindah,
sehingga di setiap tempat banyak penganutnya, maka lambat laun
madzhab syafi’i dapat berkembang dengan pesatnya, terlebih lagi
murid-murid beliau angat giat dalam mengembangkan madzhab
gurunya tersebut.
Madzhab Syafi’i tersiar dan berkembang pula di negara-
negara Islam sebelah timur, kemudian berkembang sedikit demi
sedikit ke lain negeri. Adapun sekarang umumnya pengikut
Madzhab Syafi’i terdapat di Mesir, Palestina, Arminia, Ceylon,
sebagian penduduk Persia, tiongkok, Philipina, Indonesia,
Australia, Aden dan sebagian penduduk di Asia. Di India terdapat
banyak pengikut Madzhab Syafi’i juga di Syam, kira-kira
seperempat dari jumlah penduduknya mengikuti Madzhab
Syafi’i.11
B. Metode Istimbath Hukum Imam Syafi'i
Imam Syafi'i adalah seorang imam madzhab yang terkenal
dalam sejarah Islam, seorang pakar ilmu pengetahuan agama yang
10 Prof. Dr. T.M., Ash-Shiedieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam
Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 23.
21
luas dan memiliki kepandaian yang luar biasa, sehingga ia mampu
merumuskan kaidah-kaidah yang dapat dipakai sebagai metode
istimbath, sebagaimana yang termaktub dalam karyanya yang terkenal
yaitu “Ar-Risalah”.
Kitab Ar-Risalah merupakan sumbangan Imam Syafi'i yang
sangat besar dalam dunia intelektual muslim. Dengan kitab Al-Qur'an,
As-Sunah serta teori Imam Syafi'i tentang prinsip-prinsip
jurisprudensi (ushul fiqh) penjabaran hukum Islam dapat diawasi
keotentikannya secara obyektif sekaligus kreatif dikembangkan
dengan suatu penalaran yang rasional.
Imam Syafi'i apabila hendak memutuskan suatu hukum, beliau
pertama-pertama mendahulukan tingkatan yang lebih tinggi
sebagaimana diterangkan dalam kitab Ar-Risalah, bahwa dasar Imam
Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah :
1. Kitab Allah
2. Sunnah Rasul
3. Ijma’
4. Qiyas.12
11 K.H., Moenawir Chalil, Op.Cit., hlm. 244.
١٢ Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th., hlm. 17.
22
Imam Syafi'i sangat mengutamakan dan menyatukan Al-Hadits
sebagai pemberi penjelasan terhadap Al-Qur'an yang sifatnya masih
dzanni.13
Oleh karena itu jumhur membolehkan mentahsis Al-Qur'an
dengan Khabar Ahad. Adapun yang dimaksud dengan Hadits Ahad
adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang dan
demikian seterusnya sampai ke sumbernya, yakni Nabi atau sahabat.
Hadits seperti ini tidak dapat menjadi hujjah, kecuali jika orang yang
meriwayatkan terpercaya dalam agamanya, dikenal jujur dalam
periwayatan, memahami apa yang diriwayatkan, menyadari sesuatu
lafadz yang mungkin mengubah arti hadits, dan hendaknya cakap
meriwayatkan hadits kata demi kata sebagaimana yang ia dengar dan
bukan hanya mungkin dapat mengubah artinya, tidak diketahui jelas,
mungkin sebaliknya.14
Disamping itu, jumhur mengemukakan alasan bahwa perintah
Allah untuk mengikuti Nabi tidak terbatas karena itu apabila Nabi
mengeluarkan suatu ketentuan, umat Islam wajib menaantinya
andaikata ketentuan itu dari Nabi SAW itu menurut lahirnya
berlawanan dengan umumnya Al-Qur'an hendaknya diusahakan untuk
١٣ Ibid., hlm. 112.
١٤ Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1976, hlm. 170.
23
mengompromikannya, ialah mentahsiskan keumumannya, dan mereka
konsekuen dengan pendapat bahwa dalalah lafadz amm sebagian
satunya adalah dzanni. Oleh karena itu tidak ada halangan
mentahsiskan keumumannya Al-Qur'an dengan khabar Ahad yang
berdalalah dzanni itu.15
Selanjutnya Imam Syafi'i mempergunakan Ijma’ jika tidak
terdapat ketentuan hukum sesuatu, baik dalam Al-Qur'an maupun As-
Sunnah. Mengenai apa yang disepakati (ijma’) dan dikatakan ada
landasan riwayat dari Rasulullah, maka demikian itulah insya Allah.16
Mengenai ijma’ yang tidak terkait dengan riwayat dan Nabi,
Imam Syafi'i tidak dapat menjelaskan sebagai sumber dari riwayat itu,
sebab seorang hanya dapat meriwayatkan apa yang ia dengar. Tidak
dapat seseorang meriwayatkan sesuatu berdasarkan dugaan di mana
ada kemungkinan bahwa Nabi sendiri tidak pernah mengatakan atau
melakukannya. Maka kami menerima kesepakatan umat dan
mengikuti otoriter mereka dengan keyakinan bahwa setiap sunnah
١٥ Muhammad Khuzari Beik, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr, t.th., hlm. 186-187.
١٦ Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Op. Cit., hlm. 204.
24
Nabi pasti diketahui oleh sebagian lainnya. Kami yakin bahwa umat
tidak akan bersepakat atas sesuatu kesalahan.17
Menurut Imam Syafi'i, Ijma merupakan hujjah syar’iyah karena
ketika Umar bin Khattab berkunjung ke Al-Jabiyah, dia berpidato di
muka para sahabat, pada kesempatan itu beliau mengemukakan:
حدثنا عبد اهللا حدثىن اىب حدثنا على اىب اسحاق أنبانا عبد اهللا يعىن اىب بن سوقة عن عبد اهللا ابن دينار عن ابن عمران عمر املنارك أنبانا حممد
قام فينا رسول اهللا : بن اخلطاب رضى اهللا عنه خطب ب باجلابية فقالاستوصوا بأصحاىب خري مث : صلى اهللا عليه وسلم مقامى فيكمى فقال
حىت ان الرجل ليبتدى , الذين يلوهنم مث الذين يلوهنم مث يفشو الكذبفان , فمن اراد منكم حببحة اجلنة فليزم اجلماعةبالشهادة قبل ان يسئلها
) رواه أمحد (الشيطان ثالثهما ومن سرته حسنة سأته سيئته فهو مؤمن Artinya : “Diceritakan dari Abdullah berkata: Bapak saya
menceritakan padaku, diceritakan Jabir dari Abdul Malik ibn Umar, dari Jabir ibn Samurah berkata Umar bin Ktahhab telah berkhutbah dihadapan kaum muslimin di Jabiyah dengan perkataan; Sesungguhnya Rasulullah SAW berdiri seperti berdirinya aku di sini dan bersabda: “berbuat baiklah kepada sahabat-sabahatku kemudian penerus-penerusnya dan penerus yang selanjutnya, kemudian datang seorang sahabat yang bersumpah sebelum dimintai sumpah dan memberi kesaksian sebelum dimintai kesaksiannya. Barang siapa yang ingin memperoleh kelapangan di surga, maka ia
١٧ Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibid., hlm., 204.
25
harus mengikuti mayoritas umat, maka sesungguhnya syaitan besera orang yang menyendiri jika seorang bergabung dengan yang lainnya sehingga menjadi berbua dan seterusnya maka syaitan semakin menjauh. Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, sebab syaitan akan menjadi teman ketiga bagi mereka, dan barang siapa merasa bahagia dengan amal baiknya dan merasa susah dengan amal buruknya, maka dia adalah mukmin yang sesungguhnya”. (HR. Ahmad).18
Yang dimaksud dengan Ijma’ menurut Imam Syafi'i adalah :
اتفاق اجملتهدين من االمة االسالمة ىف عصر من العصور بعد النىب صلى اهللا عليه وسلم على أمر من األمور العملية
Artinya : “Kesepakatan para imam mujtahid diantara umat Islam pada
satu masa setelah Nabi SAW terhadap suatu persoalan”. 19
Kemudian jika tidak terdapat pula dalam ijma’ (kesepakatan
para ulama), maka Imam Syafi'i mempergunakan istimbath qiyas
(analogi).
Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi'i disebutkan bahwa semua
persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada
hukum yang jelas dan mengikat sekurang-kurangnya ada ketentuan
18 Muhammad Abdul As-Salam Adbul As-Sani, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, Juz
I, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut, t.th., hlm. 24.
١٩ Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 152.
26
umum yang menunjukkan kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan
hukum itu tidak lain adalah qiyas.20
Qiyas itu ada dua macam; Pertama, yaitu kasus yang
dipersoalkan tercakup dalam arti dasar yang terdapat dalam ketentuan
pokok. Dalam qiyas semacam ini, insya Allah tidak akan terjadi
perbedaan. Kedua, yaitu kasus yang dipersoalkan tercakup dalam
ketentuan yang lebih mendekati kemiripannya. Dalam qiyas semacam
ini perbedaan memang sering terjadi.21
Diantara firman Allah yang mendasari qiyas adalah :
والحييطون بشيئ من علمه اال مباشاء Artinya : “Mereka tiada tahu tentang ilmu-Nya, kecuali yang ia
kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah: 255)
٢٠ Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i, Op. Cit., hlm. 206.
٢١ Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Op.Cit., hlm. 207.