bab iv pengaruh pemikiran politik imam khomeini …
TRANSCRIPT
73
BAB IV
PENGARUH PEMIKIRAN POLITIK IMAM
KHOMEINI TERHADAP REVOLUSI IRAN
A. Perspektif Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini Tentang
Negara
Salah satu gagasan yang paling menonjol dalam pemikiran
politik Khomeini adalah idenya tentang wilayatul faqih yang pada
dasarnya menghendaki agar kepemimpinan pada umumnya,
termasuk kepemimpinan politik, harus berada ditangan terpercaya.
Pemikiran Imam Khomeini Wilayatul al-Faqih yang menjadi
bagian terpenting dalam sisitem politik Republik Islam Iran ini
memberikan tekanan pada Imamah yang diartikan sebagai
kepemimpinan agama dan politik dan sekaligus disandang oleh
faqih (seseorang yang menguasai prinsip-prinsip dan aturan-aturan
hukum Islam serta seluruh aspek keimanan).
Dalam bahasa Arab, kata "wilayah” berakar dari kata
“wali”. Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk
kata “wali”: (1) teman, (2) setia, (3) pendukung/penyokong. Di
samping ketiga arti ini, dua arti lain disebutkan untuk kata
74
“wilayah”: (1) kekuasaan (tertinggi) dan penguasaan, (2)
kepemipinan dan pemerintahan. Kata “wilayah” dalam wilayah al-
faqih berarti pemerintahan dan administrasi/pengelolaan. Sebagian
orang meletakkan makna ini untuk “hakim”, dan kekuasaan
tertinggi yang menunjukkan otoritas “wali”(sang pembawa
wilayah) atas “mawla ‘alayh” orang yang begantung pada atau
menjadi objek wilayah). Namun demikian, wilayah yang bermakna
pengawasan dan pelaksanaan urusan-urusan “mawa alayh”
sebagaimana dikatakan bahwa pemimpin adalah pelayan
masyarakat adalah member pelayanan kepada “mawla alayh” bukan
melakukan pembebana ataupemaksaan atasnya.1
Sebagaian pihak menganggap bahwa ide “wilayah al-faqih”,
dalam arti seorang mujtahid (seorang yang telah mencapai tingkat
ijtihad) memikul tanggung jawab atas kehidupan masyarakat Islam.
Imam Khomeini meyakini bahwa faqih menerima wilayah absolut
(mutlaqah). Yakni, bahwa faqih yang memenuhi persyaratan penuh
(jami’ syariat) diberi semua kekuasaan dan tanggung jawab Imam
ke-12 pada masa kegaibannya kecuali bila ada alasan tertentu yang
1 Mahdi Hadavi Tehrani, Negara Ilahiah Suara Tuhan, Suara Rakyat,
terjemahan The Theory of The Governance of Jurist (Wilayah al-Faqih), (Jakarta: Al-
Huda, 2004), h.38
75
pasti bahwa kekuatan dan tanggung jawab itu masih berada di
tangan Imam. Karena itu, ia menulis, “dari apa yang dikatakan kita
menyimpulkan bahwa Imam maksum telah mempercayakan atas
apapun kepada para fukaha di mana mereka memiliki kewenangan,
wilayah. Mengecualikan satu kasus tertentu berhadapan dengan
bukti aturan umum ini harus ditunjukkan sebagai semata-mata
bahwa masalah itu tergantung pada Imam as. Riwayat-riwayat
seperti itu „kalau tidak karena sesuatu yang bersemayam dalam
kekuatan Imam atau Imam mempunyai perintah sedemikian dan
tidak dapat melaksanakan tanggung jawab untuk masalah-masalah
ini, dikarenakan alasan-alasan yang sudah dinyatakan, menjadi
tanggung jawab faqih adil. Kami sebutkan sebelumnya bahwa faqih
mnerima semua kekuasaan Nabi saw. dan Imam ke-12 dalam
aturan dan pemerintahan.”2
Setelah wafatnya Nabi saw. tak ada seorang Muslim pun
yang meragukan kebutuhan akan pemerintahan. Tak satu pun yang
berkata, “Kita tidak lagi membutuhkan pemerintahan”. Tidak
pernah terdengar seseorang mengatakan hal semacam ini. Semua
sepakat secara bulat mengenai perlunya pembentukan
2 Mahdi Hadavi Tehrani, Negara Ilahiah… t , h.54
76
pemerintahan. Ketidaksepakatan yang terjadi hanyalah pada siapa
yang layak memikul tanggung jawab atas pemerintahan itu dan
mengepalainya. Pemerintahan yang terbentuk setelah wafatnya
Rasulullah saw. baik aparat pemerintahan-pemerintahan tersebut
memberlakukan organ-organ eksekutif dan administratif. Asas dan
karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (syariat)
memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya
pemerintahan, karena hukum-hukum itu memberikan indikasi
bahwa mereka diterapkan untuk tujuan menciptakan sebuah negara
dan menangani permasalahan politik, ekonomi, dan budaya dalam
masyarakat.3
Hukum-hukum syar‟i mencakup bermacam-macam badan
hukum dan peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial yang
lengkap. Pada sistem hukum ini, semua kebutuhan manusia
terpenihi. Kebutuhan ini berupa nmenjalin hubungan dengan para
tetangganya, sesame warga negara, anak-anak, dan keluarganya dan
yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan pernikahannya.
Kebutuhan ini juga meliputi peraturan tentang perang dan damai,
3 Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan… , h. 39.
77
hubungan dengan negara-negara lain, hukum komersial dan hukum
tentang perdagangan dan pertanian.
Hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang
berhubungan dengan persiapan pernikahan dan bagaimana
melakukan ijab dalam pernikahan. Hukum ini juga meliputi hal-hal
yang berhubungan perkembangan janin dalam kandungan, serta apa
yang harus dimakan orang tua saat merencanakan kehamilan. Lebih
jauh, hukum ini juga menetapkan kewajiban-kewajiban atas para
ibu selama mereka menyusui bayi, bagaimana mengasuh anak, dan
mengatur hubungan suami-istri serta atas anak-anak mereka. Islam
memberikan hukum-hukum dan aturan-aturan untuk semua hal
tersebut debgan tujuan untuk membentuk penganutnya menjadi
manusia seutuhnya dan juga saleh serta menerapkan hukum-
hukumnya dan secara alami (tanpa pemaksaan) melaksanakannya.
Jelaslah, bagaimana besarnya perhatian Islam akan sebuah
pemerintahan dan hubungan sosial-politik dalam masyarakat,
dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pembentukan manusia yang tulus dan saleh.
1. Bentuk Pemerintahan Islam
78
Pemerintahan Islam tidak bersifat tirani dan juga tidak
absolut kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional.
Namun bukan bersifat konstitusional sebagaimana pengertian
saat ini, yaitu berdasarkan suara mayoritas. Pengertian
konstitusional yang sesungguhnya adalah bahwa pemimpin
adalah suatu subjek dari kondisi-kondisi tertentu yang berlaku
di dalam kegiatan memerintah dan mengatur negara yang
dijalankan oleh pemimpin tersebut, yaiut kondisi-kondisi yang
telah dinyatakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi saw.
kondisi-kondisi tersebut menurut pakar hukum-hukum dan
atursn-aturan Islam yang juga terdiri dari kondisi-kondisi yang
harus diperhatikan dan dipraktikan. Pemerintahan Islam
karenanya dapat didefinisikan sebagai pemerintahan yang
berdasarkan hukum-hukum Ilahi (Tuhan) atas nama manusia
(makhluk). Terdapat perbedaan yang mendasar antara
pemerintahan Islam dengan pemerintahan monarki dan
republik.
Karakteristik pemerintahan Islam, kekuasaan legislatif
dan wewenang untuk menegakkan hukum secara eksklusif
adalah milik Allah SWT. Pembuat undang-undang suci ini
79
dalam Islam adalah satu-satunya kekuasaan legislatif. Tidak ada
seorang pun yang berhak untuk membuat undang-undang lain
dan tidak ada hukum yang harus dilaksanakan kecuali hukum
dari Pembuat undang-undang. Atas dasar inilah dalam sebuah
pemerintahan Islam, badan Majelis Perencanaan mengambil
peran sebagai Majelis Legislatif, yang merupakan salah satu
dari tiga cabang dalam pemerintahan yang ada saat ini
(legislatif, eksekutif, yudikatif). Majelis ini menyusun program-
program bagi departemen kementrian di dalam kerangka aturan-
aturan Islam dan dengan cara demikian majelis ini akan
menentukan bagaimana kuantitas dan kualitas pelayanan publik
yang akan diberikan oleh negara kepada masyarakatnya.
Hukum-hukum Islam yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah telah diterima oleh kaum Muslim dan ditaati.
Penerimaan mereka ini akan memudahkan tugas pemerintah
dalam menerapkan hukum-hukum tersebut dan membuatnya
agar benar-benar menjadi milik rakyat dengan
mensosialisasikannya. Semua manusia, termasuk Nabi saw. dan
para Imam, adalah subjek hukum Islam dan akan tetap demikian
80
selamanya subjek dari hukum sebagimana yang telah
diwahyukan.
2. Syarat-syarat Hakim (Pemutus Permasalahan)
Telah diutarakan bahwa pemerintahan Islam adalah
pemerintahan yang berdasarkan hukum, oleh karena itu
pengetahuan akan hukum-hukum Islam perlu dimiliki oleh
hakim, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat hadits.
Sesungguhnya pengetahuan tersebut perlu diketahui bukan saja
hanya oleh para hakim, namun juga bagi siapa saja yang
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.
Pengetahuan akan hukum dan keadilan adalah dua syarat
yang mendasar bagi kaum muslim dalam permasalahan
imamah. Prinsip yang ditegakan adalah bahwa fuqaha (bentuk
jamak dari faqih) memiliki kewenangan yang lebih atas
penyelenggaraan pemerintahan. Jika seorang penyelenggara
pemerintahan taat kepada ajaran Islam, maka ia wajib taat
kepada fuqaha dan harus bertanya mengenai hukum-hukum dan
aturan-aturan Islam yang akan dijalankan kepada fuqaha.
Tentunya tidak semua pejabat, gubernur, dan pegawai
administrasi mengetahui seluruh hukum-hukum Islam dan
81
menjadi fuqaha, cukuplah mereka mengetahui hukum-hukum
Islam yang berkaitan dengan fungsi dan tugas mereka.
3. Wilayatul Faqih
Keberadaan wilayah al-faqih atau kekuasaan politik
ulama dalam pandangan Imam Khomeini adalah atas dasar
penunjukan. Tidak ada beda anatara wilayah al-faqih ini dengan
wilayah pada Nabi Muhammad saw. dan para Imam. Semuanya
sama-sama menegakkan pemerintahan yang telah disyariatkan
Allah SWT. Menurut Imam Khomeini, tugas wilayah al-faqih
ini bisa jadi dilaksanakan secara individu maupun kolektif.
Kalau salah seorang di antara ulama tersebut ada yang memiliki
kemampuan yang paling menonjol dari seluruh ulama, maka ia
sendiri wajib ain melaksanakannya. Sebaliknya, kalau tidak ada
yang bisa sendirian, maka secara bersama-sama mereka wajib
mendirikan kekuasaan wilayah al-faqih.4
Wilayah yang ditetapkan bagi Nabi saw. dan para Imam
dalam menegakkan pemerintahan, melaksanakan hukum dan
mengatur urusan-urusan juga diperuntukan bagi seorang faqih.
Tetapi seorang faqih tidak memiliki wilayah mutlak atas
4 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik… , h. 245.
82
fuqahalain di masa hidupnya, seperti menunjuk atau
nmemberhentikan mereka. Tidak ada suatu tingkatan heirarkis
yang menunjukkan bahwa faqih yang satu lebih tinggi
kedudukannya dari yang lainnya atau yang satu memiliki
wilayah yang lebih dari yang lain. Jika tidak menjadi tanggung
jawab seseorang, maka tugas ini jatuh pada seluruh fuqaha dan
menjadi wajib kifai (kewajiban yang jika telah dilaksanakan
oleh satu orang, maka yang lain gurgur kewajibannya). Bahkan
jika tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan tugas itu,
wilayah para fuqaha tetap tidak menjadi batal atau tetap berlaku
karena wilayah mereka merupakan ketetapan dari Allah SWT.
Ketika revolusi Iran telah berhasil, maka dengan
berdasarkan konsep Velayat-e-Faqih itu, kita mendapati bahwa
di Iran telah berdiri sebuah republik Islam yang mengadakan
pemilihan umum, memiliki sebuah parlemen, seorang presiden,
perdana menteri serta menteri-menteri dalam kabinet itu.
Melihat konstitusi yang berlaku di Iran di bawah Khomeini ini,
83
orang mengatakan bahwa banyak sekali terdapat pengaruh
konstitusi Perancis di dalamnya.5
B. Pengaruh Pemikiran Politik Imam Ayatullah Ruhullah
Khomeini Terhadap Revolusi Iran
Pemikiran Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Syi‟ah. Negara Iran atau Persia mulai
berganti menjadi Islam Syi‟ah pada zaman Safawi, pada tahun
1501. Dinasti Safawi kemudian menjadi salah satu penguasa dunia
yang utama dan mulai mempromosikan industri pariwisata di Iran.
Di bawah pemerintahannya, arsitektur Persia berkembang kembali
dan menyelesaikan pembangunan monumen monumen yang indah.
Runtuhnya Safawi disusul dengan Persia yang menjadi sebuah
medan persaingan antara kekuasaan Kekaisaran Rusia dan
Kekaisaran Britania (yang menggunakan pengaruh Dinasti Qajar).
Namun begitu Iran tetap melestarikan kemerdekaan dan wilayah-
wilayahnya, menjadikannya unik. Modernitas Iran yang bermula
pada lewat abad ke-19, membangkitkan keinginan untuk berubah
dari orang-orang Persia. Ini menyebabkan terjadinya Revolusi
5 A.R Zainuddin, Pemikiran Politik Islam Islam, Timur Tengah dan
Benturan Ideologi, (Jakarta: Pensil), h.. 235.
84
Konstitusi Persia pada tahun 1905 hingga 1911. Pada tahun 1921,
Reza Khan (juga dikenal sebagai Reza Shah) mengambil alih tahta
melalui perebutan kekuasaan dari Qajar yang semakin lemah.
Sebagai penyokong modernitas, Shah Reza memulai pembangunan
industri modern, jalan kereta api, dan pendirian sistem pendidikan
tinggi di Iran. Malangnya sikap aristokratik dari ketidakseimbangan
pemulihan kemasyarakatan menyebabkan banyak rakyat Iran tidak
puas.6
Dapat dikatakan bahwa Iran adalah “Negeri Raja-Raja”
yang melambangi monarki. Raja-rajalah yang menjadi faktor utama
bagi kebangsaan Iran yang melanjut terus. Iran mempunyai suatu
rahasia yang unik, kesanggupannya untuk mempertahan diri dari
kekuatan yang bisa meruntuhkan selama 2.500 tahun sebagaimana
terbukti dalam sejarahnya, terletak dalam pimpinan kemahkotaan.
Itulah kebudayaan Persia yang berada di bawah lindungan
dan naungan monarki yang selamanya menjadi faktor utama dalam
asimilasi dan peninggalan pengaruh yang mendasar. “Negeri Raja-
Raja” adalah kemantapan kejayaan-kejayaan Persia kuno dan
kemajuan-kemajuan Iran modern. Hal itu dapat dicapai di bawah
6 Amirullah Kandu, Ensiklopedia Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), h. 410.
85
pimpinan yang berpemandangan jauh dari Seri Baginda
Kemaharajaan Shahanshah Aryamehr.7
Beberapa dinasti silih berganti menguasai Persia. Dalam
tahun 633-651 Masehi, Persia diduduki oleh bangsa Arab atau
tentara Muslim. Dan dalam tahun 1220-1256 diduduki pula oleh
bangsa Mongol, menyusul pula dinasti-dinasti yang lain. Iran
modern dimulai semenjak setengah abad yang lalu.Pada saat itu
Iran berada dalam pasang surut yang rendah. Negeri itu dirobek
oleh serbuan-serbuan perang dari luar. Keadaan dalam negeri kacau
balau sehingga nyaris rubuh sebagai bangsa yang merdeka. Maka
tampilah seorang panglima perang dengan kesanggupan dan
kecerdasan yang luar biasa. Dialah yang kemudian dikenal dengan
nama Reza Shah Agung. Dialah yang membawa negerinya dengan
wibawa dan perkasa memasuki abad modern.
Dalam tiga puluh tahun pertama Iran mengalami kemajuan-
kemajuan, baik di bawah pemerintahan Reza Shah Agung, maupun
semasa pemerintahan puteranya Reza Pahlavi Shahanshah
Aryamehr. Shah Reza Pahlavi yakin bahwa Iran akan kembali lagi
7 Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan Ayatullah Khomeini, (Jakarta: Pustaka
Antara, 1979), h. 27.
86
memainkan peranann penting dalam kemasyarakatan bangsa-
bangsa seimbang dengan sejarah kejayaan yang panjang.
Shah Reza Pahlavi menjalankan Revolusi Putih semenjak
tahun 1963 dengan maksud memebawa perubahan-perubahan
ekonomi dan sosial secara mendasar dalam setiap aspek kehidupan
nasional terutama di daerah-daerah pedalaman.Kemakmuran Iran
disandarkan kepada sumber-sumber minyak yang melimpah
bersamaan dengan kemajuan dalam pertanian, industri dan
pertambangan.Tetapi dalam bidang-bidnag itu ditemui salah urus,
korupsi dan ketidakadilan. Shah Iran, keluarganya dan orang-orang
kepercayaannya terlibat di dalamnya. Rencana menjadikan Iran
negara progresif yang paling makmur di dunia membawa akibat-
akibat yang membaik.
Reza Shah mengumbar janji-janji manis bagi Islam pada
tahun-tahun awal kekuasaannya dan mendapatkan dukungan dari
para pimpinan Syi‟ah. Namun, setumpuk kebijakan yang
bertentangan dengan keyakinan dan identitas Islam serta
melangkahi wewenang dan kedudukan para ulama semakin
mengasingkan banyak ulama dan kelompok-kelompok tradisional.
Pemerintah memilih nama pra-Islam (Pahlevi) dan lambang-
87
lambang pra-Islam (singa dan matahari), dan melakukan langkah-
langkah pembaruan hukum dan pendidikan dengan landasan Barat.
Aturan busana membatasi dikenakannya pakaian keagamaan, dan
mewajibkan pakaian Barat untuk kaum pria (1928), dan melarang
cadar (1935).Pemerintah mengontrol sumbangan-sumbangan
keagamaan (1934). Seperti di Mesir dan negara-negara Muslim lain
yang beranjak modern, para ulama kehilangan sumber-sumber
utama kekuasaan dan kekayaan karena posisi mereka digantikan
oleh pengadilan, pengacara, hakim, notaris, dan guru sekular
modern. Langkah pembaruan yang dilakukan Pahlevi banyak
menguntungkan kelas atas dan kelas menengah baru serta
memperlebar kesenjangan sosial ekonomi dan budaya antara
kelompok-kelompok yang berkiblat ke Barat tersebut dan mayoritas
bangsa Iran, terutama elite tradisioanal.8
Pemerintahan Reza Shah dimulai pada 1941, ketika Inggris
memecat Reza Khan dan menempatkan putranya itu di atas
Mahkota Merak. Namun, baru pada 1953 setelah kembali dari
pengasingannya di Italia, atas campur tangan Amerika dan Inggris,
Shah mulai secara efektif mengkonsolidasikan kekuasaannya
8 John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi… , h. .69.
88
dengan dukungan kuat dari sejumlah pemerintah Barat (terutama
Amerika Serikat dan Inggris) dan perusahaan-perusahaan
multinasional Barat.
Karena semakin bergantung pada Barat, Shah
mengandalkan perlindungan militer dan polisi yang dilatih di Barat
dan Israel ketika dia mulai menjalankan program modernisasi sosial
ekonomi model Barat yang ambisius, Revolusi Putih (1963-1977).
Namun dalam pelaksanaannya dia tidak membuka partisipasi
politik rakyat secara signifikan, tetapi menerapkan tidakan
penindasan untuk mengontrol pihak oposisi. Ketika
pemerintahannya semakin otokkratis pada 1970-an, Shah
mengandalkan SAVAK, polisi rahasia yang dilatih oleh CIA dan
Mossad, untuk menindas kalangan oposisi: yakni kaum nasionalis
liberal-sekular, kaum nasionalis religious, dan kaum Marxis.
Sebagimana dikatakan James Bill, Shah “meninggalkan kebijakan
lama yang berupa menyeimbangkan pemaksaan dan kerja sama,
penekanan dan pembaruan dia tidak lagi menerima perbedaan
89
pendapat di dalam negeri atau oposisi politik kebijakan baru itu
melahirkan pemerintahan terror.”9
Seperti yang telah disebutkan di paragrap sebelumnya
Mohammad Shah Reza memang mendapatkan dukungan dari para
ulama di tahun-tahun pertamanya berkuasa. Pada waktu itu, banyak
orang yang beranggapan bahwa monarki adalah pelindung terhadap
sekularisme total dan ancaman komunisme. Meskipun oposisi yang
efektif belum terbentuk hingga 1970-an, telah muncul beberapa
kritikus terhadap ekses-ekses rezim tersebut sebab lembaga-
lembaga keagamaan pada 1960-an mulai menadapat serangan dari
pemerintah. Kebijakan-kebijakan Pahlevi semakin meluaskan
control negara atas banyak bidang yang sebelumnya merupakan
wilayah kekuasaan para ulama. Pembaruan yang pernah dilakukan
pemerintahan ayah Shah di bidang pendidikan, hukum, dan
sumbangan-sumbangan keagamaan pada 1930-an, kini disertai pula
dengan pembaruan di bidang pertahanan pada 1960-an yang
membatasi lebih lanjut kekayaan, penghasilan dan kekuasaan para
ulama. Lagi pula, sebagai sebuah kelompok yang kedudukan dan
9 James. A. Bill, The Eagle and the Lion: The Tragedy of American-Iranian
Relations, (New Haven: Yale University Press, 1988), hlm. 186-192., dikutip oleh
John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi… , h. 70.
90
kekuasaannya telah lama diperkuat melalui hubungan erat dengan
elite politik, pemisahan antara pendidikan dan masyarakat
mengakibatkan perbedaan identitas dan pemikiran yang mencolok
antara kelompok leite dan cendikiawan secular modern dengan para
ulama yang religius. Ketika kekuasaan semakin terpusat di tangan
Shah dan kelompom elite secular yang berkiblat ke Barat,
hubungan ulama dan negara pun semakin memburuk. Akibatnya,
kaum agama bersekutu dengan kelompom pedagang tradisional
(bazaari) dan melibatkan diri dalam isu-isu sosial, ekonomi dan
politik rakyat.
Pada 1962-1963, Ayatullah Khomeini tampil sebagai suara
anti pemerintah di antara minoritas ulama vokal yang menganggap
Islam dan Iran tengah terancam bahaya dan kekuasaan mereka
melemah, dan yang mendukung keterlibatan politik kaum ulama.
Program modernisasi Barat yang dijalankan Shah (terutama
pembaruan hukum pertanahan dan hak suara bagi kaum
perempuan) dan ikatan erat Iran dengan Amerika Serikat, Israel,
dan perusahaan-perusahaan multinasional dipandang sebagai
ancaman bagi Islam, kehidupan Muslim, dan kemerdekaan nasional
Iran.
91
Iran di bawah Mohammad Reza Shah adalah monarki
konstitusional yang semu. Dalam teori, Iran modern diperintah di
bawah konstitusi 1906 versi baru, yang dibuat untuk menetapkan
pembatasan konstitusional bagi monarki dan cirri-ciri islami dari
negara tersebut. Meskipun memiliki konstitusi modern, Iran
bukanlah sebuah negara sekuler dalam arti memisahkan agama dari
negara. Raja haruslah menjadi pengikut mazhab Ja‟fari dari Syi‟ah
Dua Belas (Itsna Asyariyah) dan menjadi pelindung keyakinan itu;
parlemen harus memasukan lima ulama terkemuka dalam
keanggotaannya untuk menjamin bahwa tidak ada perundang-
undangan yang bertentangan dengan hukum Islam. Ketentuan
konstitusional itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan raja
dan membuatnya bertanggung jawab terhadap majelis perwakilan.10
Meskipun demikian, kedua Pahlevi itu, Reza Khan dan Mohammad
Reza Shah, setelah kembali dari pengasingan pada 1953,
mengabaikan konstitusi tersebut. Mereka malah membangun suatu
negara berdasarkan otoritas pribadi mereka, mengindentifikasikan
nasionalisme Iran dengan Dinasti Pahlevi, dan membatasi ruang
gerak dan menindas para ulama. Hubungan pemerintahan Dinasti
10
Shireen T. Hunter, Iran After Khomeini, (Washington, D.C: CSIS, 1922),
hlm.7., dikutip oleh L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi… , h.73
92
Shah Pahlevi dengan partisipasi politik rakyat berubah dari kerja
sama dengan kesepakatan yang disepakati oleh pimpinan yang
dipilih untuk menjalani suatu kelompok (kooptasi) menjadi oposisi
dan penindasan. Reza Khan, seperti rekan sezamannya, Ataturk,
membuka sedikit celah untuk oposisi. Namun, penduduk kembali
Sekutu atas Iran pada 1941 dan diturunkannya Reza Shah secara
paksa dari tahta kekuasaan
Suatu pergolakan sengit dan lama mulai dengan goncangan-
goncangan yang bersifat nasional maupun internasional. Suatu
ketika nampaknya Shah telah kehilangan segalanya. Kekacauan itu
mencapai puncaknya bulan Agustus 1953.Kaum demonstran yang
memenuhi jalanan-jalanan Kota Teheran merampok took-toko,
membakar potret-potret Shah, menggulingkan patung-patung dan
juga patung ayahnya Reza Khan.11
Tanggal 16 Agustus tahun itu Shah terpaksa melarikan diri
untuk mengasingkan dirinya sementara di Italia. Tapi di bawah
tekanan militer kaum demonstran kini berubah haluan dan mulai
melakukan demonstrasi mendukung Shah.
11
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan… , h. 37.
93
Dalam bulan Juni tahun itu masalah-masalah agama dan
pembaharuan di bidang agrarian mencetuskan suatu krisis lainnya.
Ayatullah Khomeini, pemimpin Muslim Syi‟ah, ditahan di Kota
suci Qum di barat daya Teheran. Dia kemudian diasingkan mula-
mula ke Turki, dan belakangan ke Iraq.
Pembaharuan agrarian yang merupakan salah satu segi dari
“revolusi putih” itu menimbulkan suatu pergolakan yang
dikobarkan oleh tuan-tuan tanah dan para pemimpin agama.
Kerusuhan-kerusuhan meledak di berbagai daerah, terutama di ibu
kota Teheran. Shah yang kini mempunyai watak semakin keras,
berhasil mengatasinya.
Namun korupsi yang merajalela bahkan di kalangan
anggota-anggota kerajaan, kegiatan tercela polisi rahasia, keinginan
akan demokrasi yang sejati digabungkan dengan penentangan baru
dari unsure-unsur agama meledakan suatu babak baru kerusuhan
tahun 1978. Kerusuhan-kerusuhan ini berkembang menjadi
bentrokan berdarah yang semakin meningkat. Sekitar 700 orang
tewas dalam kerusuhan Jumat hitam 8 September 1978.
Sedemikian jauh belum terlihat apa-apa. Pihak militer
menjadi semacam penengah.Nasib dinasti Pahlevi dan
94
kelangsungan hidup kerajaan Darius dinilai sampai pertengahan
Januari 1979 tergantung atas keputusan akhir militer.
Pada saat itulah Imam Khomeini tampil berkampanye
menentang kekuasaan Reza Pahlevi. Ia berkali-kali dengan yakin
menyatakan mampu menggulingkan pemerintahan Shah Reza
Pahlevi. Aktivitas politik Khomeini ini mendapat sambutan dari
rakyat Iran. Wibawa Khomeini semakin besar di kalangan rakyat
Iran Syi‟ah. Dari pengasingannya, Khomeini mengeluarkan
pernyataan bahwa kejahatan dan kekejaman alat-alat pemerintah
harus segera diakhiri dan mengajak tentara Iran serta para
pemimpin untuk membebaskan Iran dari kehancuran total.
Pernyataan ini mengangkat Khomeini sebagai pemimpin revolusi.
Dari pengasingan, ia secara berkesinambungan melancarkan protes
dan kecaman terhadap kesewenangan-wenangan Reza Pahlevi dan
rencana menggantikan pemerintahan Iran dengan demokrasi Islam.
Pada tahun 1978, Khomeini pindah ke Paris, Perancis. Shah
Iran tidak menganggap bahaya kepergian Khomeini ke Paris.
Ternyata dari sinilah secara lebih intensif Khomeini
mengemukakan gagasan revolusinya menentang Shah Iran. Pidato-
pidatonya yang direkam dalam bentuk kaset diselundupkan ke Iran
95
untuk disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Islam Iran.
Gelombang demonstrasi terjadi dimana-mana di Iran. Tahun 1978,
praktis Shah Iran tidak dapat menguasai keadaan. Gerakan ulama
sudah terlalu jauh masuk menggerakan revolusi terhadap Shah Iran.
Sementara para mahasiswa di kampus bergerak menuntut turunnya
Shah, para buruh melakukan mogok missal sehingga melumpuhkan
pengahasilan minyak bumi Iran yang merupakan sektor dasar
ekonomi negara tersebut.12
Pada tanggal 16 Januari 1979, Shah Reza Pahlevi
mengungsi ke luar negeri (mulanya ke Mesir). Lima belas hari
kemudian, Khomeini yang sebelumnya dilarang masuk ke Iran,
pulang dari Paris ke Teheran mengambil alih kepemimpinan
revolusi langsung. Akhirnya, pada tanggal 11 Februari1979
angkatan bersenjata Iran mengundurkan diri dari jalan-jalan yang
dikuasai demonstran.Pendukung Khomeini akhirnya pun dapat
menguasai keadaan. Tanggal tersebut kemudian diakui secara resmi
sebagai Hari Revolusi Islam Iran.
Jadi, pemikiran politik Imam Khomeini sangatlah
berpengaruh terhadap Revolusi di Iran. Khomeini memiliki karisma
12
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik… , h.234.
96
yang amat kuat sehingga mudah membuat para pengikutnya pun
juga memiliki kesetiaan terhadapnya. Tujuan gerakan Khomeini
hanyalah untuk menuntut keadilan sosial, pembagian kekayaan
yang adil, ekonomi yang produktif yang berdasarkan pada
kebutuhan nasional dan gaya hidup sederhana, serta pemberantasan
korupsi. Karena apa yang dilakukan selama ini oleh Shah Iran
digambarkannya tidak sesuai dan sejalan dengan ajaran-ajaran
Islam sebab banyak hal-hal yang dilaksanakannya itu bertentangan
dengan tradisi Islam.
C. Aplikasi Negara Menurut Imam Ayatullah Ruhullah dalam
Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran
Perlu diadakan sebuah analisa terhadap kandungan kelas
dalam revolusi yang sebenarnya dan tendensi-tendensi yang terlibat
di dalamnya. Khomeini dan kaum fundamentalis mustahil akan
pernah mendapatkan kekuasaan jika tidak berkat adanya gerakan
kaum buruh. Secara khusus bisa dikatakan bahwa beberapa ablation
penuh kelas pekerja di sektor-sektor ekonomi kuncilah yang
memainkan peran penting dalam meruntuhkan kekuatan penyokong
negara ini. Ini adalah tragedy dari revolusi Iran tahun 1979.
Kekuasaan sesungguhnya ada di tangan kelas pekerja Iran, tetapi
97
dalam ketiadaan sebuah partai dan pemimpin revolisioner sejati,
mereka tidak mengetahui hal itu, dan tak seorang pun yang
menjelaskan kepada mereka.13
Setelah Imam Khomeini meninggal dan digantikan oleh
Ayatullah Ali Khameini (Juni 1989), kekuasaan Pemimpin
dalam prakteknya cenderung menurun. Berbeda dengan
Ayatullah Khomeini, Ali Khameini tidak mendapat sebutan
sebagai imam, melainkan “Pemimoin Revolusi Islam”. Hal ini
tampaknya untuk membedakan antara Ayatullah Khomineini
yang dipilih secara aklamasi oleh rakyat Iran dan Ali Khameini
yang dipilih oleh Majless Ahli (Majelis-e Khubregan), di
samping tentu saja karena Ayatullah Khomeini jauh lebih
kharismatik daripada penggantinya.
Setelah imam atau pemimpin Revolusi Islam atau Dewan
Pimpinan, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan presiden.
Dalam pasal 113 disebutkan, presiden bertanggung jawab dalam
penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara,
dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang
secara langsung menjadi tanggung jawab imam. Presiden,
13
Zayar, Revolusi Iran Sejarah dan Hari Depannya, (Yogyakarta: Sumbu,
2002), h. 79.
98
berdasarkan pasal 114 dipilih untuk masa jabatan empat tahun,
dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden
hanya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan lagi secara
berurutan.14
Jadi dalam sistem Pemerintahan Republik Islam Iran ini
sejak kejatuhan dinasti Syah Iran, sebagai kepala negara adalah
Imam keduabelas yaitu turunan Rasulullah Muhammad SAW
yang selama masih gaib diwakili oleh Faqih atau Dewan Faqih
(Dewan Keimanan).
Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden
yang walaupun dipilih oleh rakyat tetapi diangkat, dilantik, dan
diberhentikan oleh Faqih atau Dewan Faqih (penentuan seorang
untuk menjadi Faqih dan Ayatullah adalah berdasarkan
kemampuan yang bersangkutan mengenal Al-Qur‟an dan Al-
Hadits, tetapi hadits dalam kajian Syi‟ah adalah yang
diriwayatkan oleh keluarga Nabi Muhammad SAW).15
Pemegang kekuasaan eksekutif lain di samping presiden
adalah, perdana menteri. Menurut pasal 124, PM diusulkan oleh
14
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Perbandingan Pemerintahan,
Cetakan Ke-2, (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 67 15
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Perbandingan… , h. 54.
99
presiden, dan setelah disetujui Majles, baru kemudian secara
resmi presiden mengesahkan PM yang bersangkutan. PM
memiliki wewenang membentuk kabinet. Ketua kabinet (dewan
mentri-mentri) dipegang oleh perdana mentri (PM) yang dipilih,
diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah mendapat
persetujuan dari badan legislatif (Dewan Pertimbangan
nasional Iran). Dengan demikian kabinet bertanggung jawab
kepada badan legislatif ini. Namun, setelah referendum
amandemen konstitusi yang diadakan bersama dengan
pemilihan presiden 28 Juli 1989, jabatan PM dihapuskan.
Sebagai gantinya, jabatan wakil presiden diadakan.
Pengahapusan jabatan PM dimaksudkan untuk menghindari
dualism kekuasaan eksekutif.
Di Republik Islam Iran, kekuasaan legislatif ditangani
oleh tiga lembaga: Majles-e-Shura-e-Islami (majelis Konsultatif
Islam, selanjutnya disebut majles), Shuraye Nigahban (Dewan
Perwalian), dan Majles-e Khubregan (Majelis Ahli). Sudah
barang tentu, ketiga lembaga tersebut manjalankan fungsi
legislatif yang berbeda satu sama lain. Badan legislatif ini
memang bertugas mengawasi pihak eksekutif. Selain tugasnya
100
membuat undang-undang, tetapi badan ini tidak bebas begitu
saja membuat peraturan perundang-undangan karena harus
disesuaikan dengan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Yang dimaksud
dengan Al-Hadits dalam Mazhab Syi‟ah adalah yang
diriwayatkan oleh para turunan Nabi Muhammad SAW,
sehingga mereka mengenal wasiat yang ditinggalkan Nabi
adalah dua yaitu Al-Qur‟an dan keluarga Nabi, pengikut
keluarga Nabi ini diberi istilah Syi‟ah. Dalam pemilu yang
dilakukan setiap 4 tahun sekali untuk memilih 290 anggota
mejelis legislatif. Pada tahun 2000 ini, Iran memasuki babak
baru dengan sistem multipartai, sebelumnya pemilu Iran hanya
diikuti tiga kontestan; Majma‟e Rouhaniyoun Mobarez, Jame‟e
Rouhaniyat Mobarez, dan Partai Pelaksana Pembangunan.16
Kemudian dikenal pula Dewan Pelindung Konstitusi,
yang kemudian dewan ini disebut juga sebagai Dewan
Perwalian atau The Guardian Council of Constitution (Syura
Gahdan) yang bertugas mengawasi agar undang-undang yang
yang dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan Kostitusi Iran
16
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan
Geo-Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 192.
101
Anggota-anggota Dewan Perwalian terdiri dari para
pakar sebagai berikut:
1. Para anggota yang diambil dari ahli hukum Islam
yang terkenal soleh dalam beribadah menjalankan
syariat Islam dan ditunjuk langsung oleh Dewan
Keimaman.
2. Para anggota yang diambil dari ahli hukum umum
(lawyers) dari berbagai cabang ilmu hukum, tetapi
bagaimana juga dipilih dari hakim-hakim Islam,
mereka juga harus mendapat izin dari Hight Council
of the Judiciary (Mahkamah Agung Iran) beserta
pengesahan dari Dewan Pertimbangan Nasional Iran.
Dengan dinamikanya sendiri, perubahan-perubahan
signifikan sebenarnya terus berlangsung di Iran pada masa psca
revolusi. Perubahan-perubahan itu sering disebut para pengkaji
dan pengamat Iran sebagai reformasi dan bahkan demokratisasi.
Dan dalam perubahan-perubahan itu, muncul dua kubu besar,
kelompok reformis pada satu pihak, dan kelompok konservatif
pada pihak lain. Pada dasarnya, kelompok reformis adalah kubu
Presiden Muhammad Khatami dan parlemen (majles) pada satu
102
pihak yang berhadapan dengan otoritas kaum Ayatullah dan
Mullah dalam lembaga Wilayat al Fakih yang menganggap diri
mereka sebagai pewaris Ayatullah Khomeini, founding father
revolusi Islam Iran.17
Tarik tambang dan pergumulan di antara kedua kubu
terkait dengan beberapa hal. Kubu reformis misalnya
menekankan “kedaulatan rakyat”, sementara kubu konservatif
menekankan otoritas Wilayat Al-Fakih. Presiden Muhammad
Khatami yang terpilih berturut-turut dua kali dua kali pemilu
(1997 dan 2001) dengan mutlak, 69.1% dan 77% menyatakan,
misalnya “pemerintah ditentukan mejles (parlemen). Cabang
eksekutif mestilah bertanggung jawab kepada majles, majles
adalah kepala dari segala urusan, dan majles adalah manifestasi
kedaulatan rakyat. Tugas terbesar majles adalah membahas dan
memecahkan masalah nasional, dan maslah-masalah agama.
Keragaman mestilah diterima, sehingga berbagai masalah dapat
dipecahkan melalui pembahasan dan diskusi, dan suara
terbanyak. Inilah dasar kemerdekaan.18
17
Musthafa Abd. Rahman, Iran Pasca Revolusi Fenomena Pertarungan
Kubu Reformis dan Konservatif, (Jakarta: Kompas, 2003), h. xx. 18
Musthafa Abd. Rahman, Iran Pasca… , h. xxi.
103
Imam Khomeini terjun ke medan perjuangaan tanpa
bekal senjata, hanya berbekalkan iman nan tulus. Beliau terus
berupaaya menanamkan tonggak-tonggak pemikiran dan
ideologi atau Revolusi Islam. Berbagai hal buruk telah beliau
rasakan dalam perjalanan itu demi mewujudkan perubahan di
hauzah serta meletakkan landasar-landasan yang benar. Di
samping itu, beliau juga terus berupaya menyelamatkan para
pelajar ilmu agama yang telah memiliki kesiapan dan
kemampuan dalam bidang keilmuan dan perjuangan, dalam
situasi kebekuan pemikiran yang tengah merajaalela itu.
Namun, di sisi lain beliau harus mencurahkan tenaga, pikiran,
dan waktunya untuk memimpin jalannya perjuangan rakyat Iran
dalam melawan pemerintah Syah dan para pendukungnya yang
berada di bawah kepemimpinan Amerika. Oleh sebab itu, dasar-
dasar pemikiran hauzah dibangun untuk mengembangkan
pemikiran Islam dan revolusi yang hakiki.19
Rezim Iran sepertinya dilahirkan untuk menjadi
penantang dinominasi dan kepentingan AS dikawasan Timur
Tengah. Betapa tidak, kelahirannya saja pada tahun 1979 sudah
19
Ahmad Khomeini, Imam Khomeini, (Bogor: Cahaya, 2004), h. 129-130.
104
merupakan sebuah petaka bagi kepentingan AS terutama di
Teluk. Rezim ini lahir dengan menjatuhkan salah satu aliansi
paling strategis negara ini yaitu rezim Syah Pahlevi. Rezim ini
juga merupakan sekutu dekat Israel baik dalam hubungan
ekonomi maupun militer. Konon, ketergantungan Israel
terhadap minyak Iran saat itu mencapai angka 70%.20
Paska
pendudukan kedutaan AS di Tehran oleh para aktivis gerakan
paska revolusi 1979, rezim baru Iran membalik arah orientasi
politik luar negerinya terhadap AS 180 derajat. Iran baru
menjadi musuh AS hampir di segala bidang. Sekalipun pada
awal gerakan, AS beupaya mendekat kepada rezim itu termasuk
dengan menolak kedatangan Reza Pahlevi untuk bertobat,
negara itu pada akhirnya memutus hubungan diplomatiknya
dengan Tehran. Hingga saat ini, hubungan itu belum dipulihkan,
tidak ada perwakilan Iran di Washington dan tidak ada
perwakilan AS di Teheran.
Perilaku Iran pascarevolusi pun tidak banyak
memperbaiki situasi, apalagi dengan upayanya
20
Ibnu Burdah, Islam Kontemporer, Revolusi & Demokrasi Sejarah Revolusi
Politik Dunia Islam dan Gerakan Arab dalam Arus Demokrasi Global, (Malang:
Intrans Publishing, 2014), h. 150.
105
menyebarluaskan revolusi ke luar negeri dan bantuannya bagi
kelompok-kelompok radikal Islam di Lebanon, Sudan, Aljazair,
serta tepi Barat dan Gaza. Antipasti Teheran terhadap
Washington, tegas Shahram Chubin, berakak pada
kedudukannya di dalam sistem regionalnya, dan pada ambisinya
untuk menjadi pemegang mandat atas Islam.
Tetapi, diagnosis AS tentang ancaman Iran tidak
memperhitungkan kelemahan revolusi Islam itu di dalam
maupun luar negeri. Revolusi Iran sama sekali bukan sebuah
contoh yang bisa ditiru. Seperti dikatakan seorang analis Iran,
“Revolusi ini hanya sebuah kulit kosong yang tidak memberi
inspirasi dan juga tak mampu menggerakan para
pendukungnya.” Iran tidak lagi merupakan ancaman ideologis
ataupun budaya bagi AS dan sekutu-sekutunya di kawasan
Timur Tengah.21
Hal ini bisa jadi contoh klasik adalah
kegagalan Ayatullah Khomeini dalam mendorong sesama kaum
Syi‟ah di Irak untuk bangkit melawan rezim Saddam Hussein
selama perang Iran-Irak pada dasawarsa 1980-an. Sekali kaum
Islamis dari berbagai negara bangkit berkuasa, mereka akan
21
Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik Benturan Peradaban atau
Benturan Kepentingan?, (Jakarta: AlvaBet, 2002), h. 167.
106
menghabiskan energi revolusionernya untuk mengurusi lawan-
lawan ideologis dan politis di dalam negeri. Celah antara kaum
Sunni dan Syiah dalam Islam, ditambah dengan perbenturan ego
antara para pemimpin patriarkisnya, akan menghambat
kebangkitan serta konsolidasi sebuah gerakan Islamis
internasional yang homogen.
Ketidakmampuan Republik Islam ini mengekspor
revolusinya terkait langsung dengan kegagalan politik dalam
negerinya yang begitu jelas dengan kegagalan politik dalam
negerinya yang begitu jelas serta kinerja ekonominya yang
menyedihkan, walaupun ada selapis tipis demokratisasi yang
dijalankan para ulama, Iran dikuasai oleh rezim totaliter yang
makin sering mengandalkan tindakan represif untuk
melumpuhkan pemberontak dan mempertahankan kontrol.
Pasca revolusi Iran, implemetasi pemikiran Imam
Khomeini memang dituangkan dalam sebuah bentuk negara
Republik Islam, namun dari beberapa keunggulan teori
kenegaraannya tersebut terdapat beberapa celah kesalahan yang
menimbulkan dampak buruk bagi negara Iran itu sendiri.