metodologi pemikiran hukum islam imam syafi

46
METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM SYAFI’I Abstrak. Hampir setiap kehidupan selalu ditandai dengan gerak dan dinamika. Berawal dari gerak dan dinamika tersebut perubahan dan perkembangan pemikiran dengan beragam variannya, selalu terjadi secara terus-menerus tanpa mengenal batas. Demikian halnya dalam agama, keberadaan suatu agama akan dinilai memiliki fungsi bagi sebuah kehidupan, jika agama dalam praktiknya terbuka ruang lebar bagi tuntutan gerak dan dinamika kehidupan sebagaimana yang dimaksud. Hal yang sama terjadi juga dalam agama Islam, pada satu sisi ia dianggap sebagai sistem nilai yang mampu memberikan pedoman dan arahan bagi kehidupan manusia, namun pada sisi lain ia meniscayakan adanya ruang dinamis yang dikonstruk dari dasar- dasar norma yang memiliki hakikat kebenaran universal, Sebab dalam kehidupan senantiasa memerlukan gerakan dan perubahan terus-menerus dari situasi ke situasi lain dan dari kondisi ke kondisi lain. Kata Kunci: Imam Syafi’i, Sejarah dan Metodologinya. A. Muqadimah Agama pada hakikatnya memuat nilai-nilai normativitas dan historisitas yang saling berinterelasi. Hubungan antara keduanya, adalah hubungan yang saling tarik ulur, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam agama pasti terdapat pesan-pesan teks maupun konteksnya. Pola relasi antara keduanya adalah pola relasionalitas yang saling berdialektika. Kadang salah satu di antaranya melakukan peran-peran untuk menguatkan,

Upload: mohd-puaad

Post on 24-Jul-2015

147 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM SYAFI’I

Abstrak.

Hampir setiap kehidupan selalu ditandai dengan gerak dan dinamika. Berawal dari gerak dan

dinamika tersebut perubahan dan perkembangan pemikiran dengan beragam variannya, selalu

terjadi secara terus-menerus tanpa mengenal batas. Demikian halnya dalam agama, keberadaan

suatu agama akan dinilai memiliki fungsi bagi sebuah kehidupan, jika agama dalam praktiknya

terbuka ruang lebar bagi tuntutan gerak dan dinamika kehidupan sebagaimana yang dimaksud.

Hal yang sama terjadi juga dalam agama Islam,  pada satu sisi ia dianggap sebagai sistem nilai 

yang mampu memberikan pedoman dan arahan bagi kehidupan manusia, namun pada sisi lain ia

meniscayakan adanya ruang dinamis yang dikonstruk dari dasar-dasar norma yang memiliki

hakikat kebenaran universal, Sebab dalam kehidupan senantiasa memerlukan gerakan dan

perubahan terus-menerus dari situasi ke situasi lain dan dari kondisi ke kondisi lain. 

Kata Kunci: Imam Syafi’i, Sejarah dan Metodologinya.

A. Muqadimah Agama pada hakikatnya memuat nilai-nilai normativitas dan historisitas

yang saling berinterelasi. Hubungan antara keduanya, adalah hubungan yang saling tarik

ulur, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam agama pasti terdapat

pesan-pesan teks maupun konteksnya. Pola relasi antara keduanya adalah pola

relasionalitas yang saling berdialektika. Kadang salah satu di antaranya melakukan peran-

peran untuk menguatkan, menjustifikasi dan tidak jarang pula melakukan kritik dan

koreksi.

Oleh karena itu, upaya kontekstualisasi pemikiran hukum Islam senantiasa mengidealkan

adanya pola relasi dialektis, antara tataran normativitas nilai-nilai teks yang dianggap

memiliki kebenaran universal-transendental (teologis) dengan tataran historisitas nilai-

nilai keberagamaan Islam yang bersifat partikular-kultural (sosiologis). Lebih riil,

pengandaian pola relasionalitas antar keduanya bisa dirasakan ketika praktik

keberagamaan yang bersifat historisitas itu menyimpang, maka nilai-nilai normativitas

teks bisa dijadikan alat koreksi sekaligus dijadikan sebagai media untuk ditafsirkan dan

dipahami kembali bagaimana idealitas pola keberagamaan Islam dalam konteks ke-

Indonesiaan itu. Logika dialektika ini bisa diilustrasikan dalam nalar yang lebih

sederhana, yaitu “ jika nilai-nilai normativitas teks yang bersifat universal-transendental

Page 2: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

itu tidak secara efektif mampu membumi dalam tataran realitas, maka keberadaannya

bagaikan adagium-adagium tak bermakna, sebaliknya jika perilaku keberagamaan yang

bersifat partikular-kultural tidak mendapatkan sentuhan-sentuhan nilai fundamental teks,

maka bagaikan tindakan yang kehilangan arah. Kehilangan arah berarti telah kehilangan

relevansi yang selalu dituntut oleh perkembangan zaman untuk senantiasa melakukan

aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran-ajarannya. Dengan demikian ia menjadi sebuah

ajaran yang mampu merespon sekaligus memfilter beragam nilai sekuler yang datang dari

luar.

Tulisan ini secara sosiologis akan melihat pola dialektika agama dan kearifan budaya

lokal pada sosok Imam Syafi’i. Selain juga menelaah kerangka metodologinya, hingga

mengantarkannya sebagai  mujtahid mutlak, peletak dasar metodologi dalam Islam.

Sebelum mengupas secara mendalam dimensi metodologis Imam Syafi’i, sebagaimana

yang dimaksud di atas, tulisan ini akan diawali dengan kajian historis, yaitu kajian yang

ingin melihat bagaimana proses sosial dan karir sosial Imam Syafi’i, hingga melahirkan

sosok imam mujtahid tersebut.

B. B. Sejarah Kehidupan Imam Syafi’I telah dilahirkan.  Menyangkut tentang tahun

kelahirannya, di mata para ahli sejarah tidak ditemui adanya perselisihan  pendapat,

namun ketika mempersoalkan tempat di mana ia dilahirkan, di sana mulai tampak ada

perbedaan-perbedaan, meskipun tidak mendasar.  Sebagian ada yang mengatakan bahwa

Imam Syafi’i lahir di Ghazah, yaitu bagian selatan Palestina. Sebagian yang lain

mengatakan ia lahir di Asqalan (Libanon).asal Quraysi ituAbu Abdillah  Muhammad

bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Syaib bin Ubaid bin al-Yazid bin

Hasyim bin al-Muthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallibi  (anak paman Rasulullah) ,

adalah nama asli dari Imam Syafi’i. Dalam pandangan para ahli sejarah tepatnya pada

tahun 150 H (767 M), beliau Perbedaan ini dianggap tidak terlalu mendasar karena kedua

tempat tersebut sama-sama berada di wilayah Palestina. Hanya saja yang satu berada di

kota sedangkan satunya berada di desa. Ada dua peristiwa penting yang perlu dicatat

dalam sejarah seputar kelahiran Imam Syafi’i.

C. Pertama; tahun kelahiran Imam Syafi’i adalah tahun dimana  dua ulama besar dunia telah

pulang  ke rahmatullah. Seorang di Bagdad (Irak), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin

Tsabit sebagai pembangun madzhab Imam Hanafi. Seorang lainnya di Makkah, yaitu

Page 3: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

Imam Ibnu Jurej al-Makky, mufti Hijaz ketika itu.  Perkataan serupa juga muncul dari

Imam al-Nawawi dalam kitabnya “Tahdzibu al-Asma’ wa al-Lughat”,  diperkuat lagi

oleh Yaqut dalam kitabnya “Mu’jam al-Udaba”. Kedua; sewaktu masih berada dalam

kandungan, ibunya pernah bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya,

seraya naik membumbung tinggi, hingga bintang itu pecah bercerai dan berserak

menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Dua peristiwa penting di atas telah memunculkan

ragam prediksi dari sejumlah futurulog, yang mayoritas berkesimpulan bahwa al-Syafi’i

adalah sosok dimana kelak ia akan menjadi imam besar. Hanya saja berbagai prediksi

yang muncul di satu sisi secara rasional kurang memperoleh dukungan baik materiil

maupun moril. Hal demikian bisa kita lihat dalam suatu kondisi, dimana dalam rentang

waktu yang tidak terlalu lama, ayahnya telah meninggal. Selalnjutnya ia dibawa ibunya

untuk pergi ke Makkah dan ketika itu ia baru berusia 2 tahun, belum lagi ditambah

kondisi ekonomi ibunya yang sangat memprihatinkan. Kehidupan yang pahit ini ternyata

tidak membuat Imam Syafi’i patah semangat. Namun dibalik keprihatinannya ternyata

telah membuat dirinya gigih dalam berbagai hal. Bahkan kehidupannya mulai kecil,

dewasa hingga sepeninggalnya, telah difungsikan sebagai perjuangan dan pengorbanan

yang penuh terencana. Keseluruhan proses tersebut selalu diimbangi dengan sikap

kesabaran, keberanian, kesatriaan, keikhlasan dan ketaatan. Berjuang dalam ilmu dan

pengetahuan, berkorban untuk memperoleh kebenaran dan keadilan, sabar dalam

menghadapi musibah, berani menghadapi peristiwa dan krisis, ikhlas kepada Allah, rasul

dan kedua orang tuanya.  Karakteristik Imam Syafi’i yang telah terbangun sedemikan

baiknya ini, tidak lepas dari niat dan tekat bulat seorang ibu, yang telah membawanya ke

tanah kampung halamannya. Pertimbangan sepertinya didasarkan pada suatu keyakinan

bahwa Makkah disamping sebagai tanah peninggalan nenek moyangnya, Makkah juga

sebagai tanah yang banyak di domisili oleh para ulama, fuqaha, udaba dan lain-lainnya.

Melalui pertimbangan ini dimungkinkan Imam Syafi’i kelak akan mengalami

perkembangan, seiring dengan perkembangan bahasa Arab murni dan keilmuan mereka.

Melalui kemampuan bahasa ini pula berbagai ilmu keagamaan dan seni sastra yang ia

cita-citakan akan segera tercapai.  Inilah faktor yang cukup beralasan dari ibunda Imam

Syafi’i, mengapa beliau membawa kembali Imam Syafi’i ke kampung halamannya.

Telah kita maklumi bersama bahwa abad I dan II H adalah abad dimana umat Islam

Page 4: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

berada dalam puncak keemasannya. Islam sudah tersiar luas ke Barat sampai ke Maroko

dan Spanyol. Sementara ke Timur sampai ke Iran, Afganistan, India Selatan, Indonesia,

Tiongkok dan Afrika. Keadaan ini membuat para Khalifah yang berkuasa pada saatnya,

yaitu khalifah al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbas tidak saja menonjolkan sisi-sisi

keberanianya saja, melainkan juga upaya pengembangan keilmuan dan pengetahuan

menjadi fokusnya, utamanya pada masa khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H) dan al-

Makmun (198-219 H). 

D. C. Proses Pengembaraan Keilmuan Imam Syafi’i.

ia telah mampu menghafal al-Quran, sejumlah tiga puluh juz di luar kepala.berkat

ketekunannyaSuasana di atas secara tidak langsung mendorong idealitas Imam Syafi’i

menghabiskan usia mudanya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Adalah al-Quran ilmu

yang mula-mula dipelajari Imam Syafi’i.  Untuk mendalami al-Quran ini, ia berguru

kepada Ismail Qustanthein, salah seorang syaikh Makkah pada masanya. Disamping

menurut beberapa riwayat, Syafi’i juga banyak berguru kepada beberapa syaikh di

Makkah ketika itu, antara lain Ma’ruf bin Misykan, Yahya Abdullah, dan masih ada lagi

guru-guru al-Quran lainnya. Dalam usia kurang lebih 9 tahun 

Keberhasilannya menghafal al-Quran sejumlah 30 juz membuatnya tertarik terhadap

disiplin ilmu lain. Hal demikian bisa kita lihat bagaimana ketekunannya mempelajari

prosa dan puisi, syair-syair dan sajak bahasa Arab klasik. Hingga dalam kesehariannya ia

menyempatkan datang ke sebuah qabilah Badui di Padang Pasir, disamping juga qabilah

Hudzel. Lebih dari itu terkadang ia menyempatkan untuk tinggal beberapa minggu di

qabilah tersebut, guna mendalami sastra Arab. Inilah sebabnya mengapa ia mahir di

dalam kesusastraan Arab kuno, dengan menghafal di luar kepala syair-syair dari Imru’ul

Qais, Zuheir dan syair Jarir dll. Sejumlah ilmu kesusastraan Arab di atas secara tidak

langsung menjadi alat yang menopang/pisau analisis Imam Syafi’i untuk memahami al-

Quran yang diturunkan dengan bahasa Arab murni. Berbekalkan ilmu alat ini pula yang

membuatnya tertarik mempelajari ilmu-ilmu lain yang terkait dengan agama, seperti ilmu

hadits dan fiqh. Tersebut dalam sejarah yang diceritakan oleh Mush’ab bin Abdillah al-

Zabiri, bahwa suatu hari Imam Syafi’i mengendarai unta, tiba-tiba di belakangnya ada

orang lain yaitu juru tulis bapaknya Mush’ab. Kata Mush’ab, Imam Syafi’i ketika itu

sedang berdendang dan menyanyi menyuarakan sebuah syair, tiba-tiba jurutulis tersebut

Page 5: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

menegurnya. Wahai pemuda, kamu hanya menghabiskan masa mudamu untuk menyanyi

dan berdendang, alangkah baiknya jika waktu mudamu untuk mempelajari hadits dan

fiqh.

Teguran inilah kata Mush’ab yang tidak kalah pentingnya menjadi faktor lain yang ikut

menggerakkan niat Imam Syafi’i mempelajari hadits dan fiqh, disamping faktor

kemahiran bahasa di atas. Berkat teguran itu pula yang mendorongnya pergi ke salah

seorang mufti Makkah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji dan ulama hadits Sofyan bin

Uwaniah (198 H).  dalam waktu yang relatif singkat, kurang lebih satu tahun setelah ia

menghafal al-Quran, kitab hadits karangan Imam Malik yang berjudul al-Muwatha’ juga

telah ia hafal dan dikuasai di luar kepala. Dengan dasar-dasar keilmuan yang telah ia

miliki, telah membuka kemungkinan melebarnya cabang-cabang ilmu lain, termasuk

ilmu-ilmu tafsir, ushul fiqh, musthalah al-hadits, dll. Dengan demikian tepat berusia 18

tahun, ia telah dipercaya gurunya, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji untuk menjadi

pengajar di masjid al-Haram (masjid Makkah). Karena kapasitas keilmuannya yang

mumpuni, membuat sejumlah besar al-Hujjaj ketika itu terkagum-kagum.

Kekaguman para hujjaj pada masanya tidak berpengaruh sedikitpun pada diri Imam

Syafi’i, hingga membuatnya takabur dan tidak lagi mau meningkatkan keilmuannya.

Keadaan sepertinya justru dianggap telah banyak mendorong Imam Syafi’i untuk

meningkatkan kualitas keilmuannya. Kota Madinah, dalam hal ini yang menjadi obsesi

pertamanya untuk mendalami ilmu hadits. Karena Madinah pada masanya dianggap

sebagai tempat para tabi’in dan tabi’ tabi’in. belum lagi diantara ulama tabi’in tersebut

ada seorang ulama yang menjadi idolanya, yang terkenal dengan gelar “Imam Dar al-

Hijrah” (imam negeri tempat Nabi hijrah), yaitu Imam Malik bin Anas, sebagai

pembangun madzhab Maliki, yang lahir tahun 93 H, 57 tahun lebih tua dari umurnya. 

Daya tarik Imam Malik yang paling menonjol menurutnya, hingga ia berminat untuk

melakukan pengembaraan keilmuan, adalah karena Imam Malik sebagai huffad hadits

nomor satu pada masanya. Sehingga tak seorang pun yang mampu menandingi beliau

dalam soal hafalan hadits. Disamping itu, ia adalah seorang yang terkenal tekun dan

sungguh-sungguh dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi, bahkan ia telah

menghafalkannya sebanyak 100.000 hadits dalam usianya 40 tahun. Pengalaman beliau

yang tak kalah menariknya, adalah upaya-upaya untuk meneliti dan memilih sejumlah

Page 6: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

hadits yang telah dihafal, hingga tinggal 5000 hadits yang beliau anggap sangat shahih. 

Dari 5000 hadits inilah akhirnya ia kumpulkan ke dalam satu kitab fiqh yang bernama al-

Muwatha’, yang mengandung pengertian yang disepakati. Karena pada waktunya ia telah

memperlihatkan kitabnya kepada 70 orang ulama fiqh di Madinah, dimana kesemua

ulama tersebut ketika itu telah menyetujui. Atas dasar pengalaman Imam Malik inilah

yang membuatnya tertarik untuk mendatangi dan menjelajahi keilmuannya. 

Perjalanan kemudian, sesampainya di Madinah, ia langsung menemui Imam Malik dan

wali kota Madinah dengan membawa surat dari wali Makkah. Dari pertemuan singkat

tersebut berkesimpulan bahwa Imam Syafi’i telah diterima sebagai muridnya, meski

tanpa membawa surat sekalipun. Pada mulanya ia di sana dianggap sebagai lazimnya

para murid yang menimba ilmu pengetahuan. Sehingga wajar ketika itu jika Imam Malik

hendak menyuruh guru lain untuk membacakan kitabnya kepada murid barunya itu.

Mengingat niat dan tekatnya ingin berguru langsung pada Imam Malik, akhirnya Imam

Syafi’i menolak jika kitab tersebut dibacakan oleh guru lain. Dengan kemauannya yang

gigih ini, akhirnya ia diterima untuk berguru langsung kepada Imam Malik.

Kesehariannya ia selalu datang ke tempat halaqah, dimana Imam Malik membacakan

kitabnya.

Karena keseriusannya, ia memperoleh kepercayaan besar dari Imam Malik, lantas

diundang untuk selalu menginap di rumahnya, dan setiap hari datang ke masjid bersama-

sama, sebagai pembantu dalam mengajar kitab al-Muwatha’. Kegiatan seperti ini berjalan

kurang lebih satu tahun. Akhirnya tugas yang mulia ini membuatnya banyak kenalan dari

berbagai penjuru. Melalui perantaraan dan media itulah, ia mendengar informasi dari

beberapa ulama yang ikut dalam halaqah, bahwa Bagdad dan Kufah adalah tempat

ulama-ulama murid Abu Hanifah. Berawal dari sini selanjutnya ia berkunjung ke Irak dan

Mesir,  dengan bercita-cita selain memahirkan pengetahuan yang berkaitan dengan

bahasa, juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits dan fiqh ketika itu. Karena pada

masa al-Rasyid, Irak dianggap sebagai negeri tempat ilmu pengetahuan yang memancar

ke seluruh penjuru dunia.Tak lama kemudian sesampainya di Kufah ia menemui para

ulama, sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin

Hasan, sejak itulah ia sering bertukar pikiran dengan mereka. Dari hasil pergulatan

keilmuan yang ia alami secara intens, membuatnya mampu memahami karakteristik

Page 7: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

aliran-aliran atau model fiqh ala Hanafi. Tentu model aliran ini agaknya berbeda jauh jika

di dekatkan dengan fiqh ala Maliki. Dari dua perbedaan aliran dan model di atas, bisa

dipetakan secara jelas bahwa Imam Malik adalah ahlu al-hadits, sedangkan Imam Abu

Hanifah adalah aliran yang mengikuti paham ahlu al-ro’y. Selanjutnya ia meneruskan

perjalanan menuju ke Persi sampai ke Anadhali (Turki) hingga ke Ramallah (Palestina).

Selama perjalanannya ia banyak mengetahui berbagai adat-istiadat yang beragam di luar

bangsa Arab. Inilah pada gilirannya yang banyak menolong Imam Syafi’i dalam

membangun fatwanya ke dalam madzhab Syafi’i. Genap 2 tahun perjalannya meninjau ke

Bagdad, Persia, Turki dan Palestina, ia kembali ke Madinah, yaitu ke guru besarnya

Imam Malik. Dari sana tampak perkembangan ilmu Imam syafi’i yang begitu pesat,

bahkan ada pertanda dari Imam Malik bahwa ilmu Imam Syafi’i telah melebihi ilmunya.

Atas dasar inilah Imam Malik mengijinkan Imam Syafi’i untuk berfatwa sendiri dalam

ilmu fiqh. Ia tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik, demikian juga Hanafi. Namun

ia diijinkan atas dasar fatwa madzhab yang telah ia bangun sendiri, yaitu madzhab

Syafi’i. Meski secara otoritas keilmuan ia telah diakui oleh Imam Malik, namun dalam

kesehariannya ia masih hidup bersama-sama dengan Imam Malik sampai tahun 179 H,

yaitu hingga Imam Malik meninggal. Dengan demikian Imam Syafi’i berguru kepada

Imam Malik, berkisar 7 tahun, yaitu tahun 170-172 H dan dari 174-179  H.

Setelah gurunya berpulang ke rahmatullah, tak lama kemudian karena kecakapannya,

maka oleh wali negeri Yaman, ia diangkat menjadi sekretaris negara sambil mengajar dan

menjadi mufti di Yaman. Sementara itu ia masih menyempatkan untuk berguru kepada

syaikh Yahna bin Husein seorang ulama besar di kota Shan’a ketika itu.

Di kota ini pula ia akhirnya menikah dengan seorang putri keturunan Saidina Utsman bin

Affan, ketika itu ia berusia 30 tahun. Dari pernikahan ini telah melahirkan 3 anak, 2 anak

perempuan dan satu laki-laki, yaitu Muhammad bin Syafi’i, yang pada akhirnya anak

beliau pun juga menjadi ulama besar dan qadli di Jazirah.   D. Metodologi Pemikiran

Hukum Islam Imam Syafi’i Prestasi yang patut dicatat dalam diri Imam Syafi’i antara

lain karena a). sebagai perintis dasar-dasar konseptual tentang hadits, dan b). sebagai

peletak utama dasar metodologi (ushul fiqh) dalam hukum islam. Gejala-gejala itu mulai

tampak ketika Imam Syafi’i banyak belajar dan berguru tentang hadits/sunah kepada

Imam Malik. Sejak itulah Imam Syafi’i mulai berani memberi perumusan sistematik dan

Page 8: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

tegas, bahwa sunah yang harus diikuti bukanlah setiap bentuk sunah, melainkan sunah

yang hanya berasal langsung dari Nabi. Konsekuensi pemahaman sepertinya ialah bahwa

kritik terhadap sunah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi

terdahulu harus dilakukan. Dengan melakukan seleksi ketat, mana yang benar-benar

berasal dari Nabi dan mana yang diklaim sebagai dari Nabi. Sejak itu pula semua laporan

dan cerita tentang hadits harus diuji secara teliti menurut standart ilmiah tertentu yang

sangat kritis. Berawal dari sini ilmu Musthalah al-Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah

al-Hadits (ilmu kritik terhadap hadits) telah muncul. Kenyataan inilah yang membuatnya

dijuluki sebagai perintis kajian ilmiah hadits. Penelitian ilmiah terhadap laporan dan

cerita Nabi, yang ia rintis telah memperoleh bentuknya yang paling kuat setelah

munculnya sarjana hadits kelahiran Bukhara di kawasan Transoksania, yang dianggap

paling tinggi otoritas ilmiahnya, yaitu al-Bukhari.  Berkat kepeloporan Imam Syafi’i,

muncul pula secara berturut-turut beberapa tokoh hadits yang kritis, yang secara kolektif

karya-karya mereka dinamai dengan al-kutub al-sitah. Banyak hal yang melatarbelakangi

Imam Syafi’i bertindak kritis seperti ini, antara lain kegiatan pemikiran yang berkembang

dengan pesatnya ketika itu, hingga membuka kemungkinan untuk membawa ide-ide

dasar agama menjadi relevan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, disatu sisi.

Meskipun di sisi lain kemampuan intelektual pada ujung-ujungnya juga bermasalah, yaitu

pemikiran yang keluar dari teks selalu dianggap sebagai pendapat pribadi/al-ro’y.

Sehingga selalu rawan terhadap ancaman subjektivisme. Keadaan inilah yang mendorong

Imam Syafi’i untuk membuat penajaman batasan dan pemastian keabsahan antara sunah

dan atsar.Disadari atau tidak metodologi pemikiran Imam Syafi’i ini, ternyata menjadi

model yang paling khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan

menggali suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa metodologi

pemikiran Imam Syafi’i sejak diterbitkannya hingga kini belum ada tandingannya.

Disinilah urgensitas sebuah metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang sejarah,

suatu metodologi yang langsung mengadopsi logika al-Quran. Daya aktualitas dan

universalitas metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i tersebut, disatu sisi

memudahkan para ulama yang datang kemudian, namun di sisi lain membuat para ulama

modern enggan memaksimalkan pemikirannya, dan yang terjadi adalah pengulangan ide-

ide lama. Dengan demikian setiap ulama yang akan menetapkan suatu hukum atas suatu

Page 9: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

kejadian/fenomena, tentu mereka akan lebih dahulu menetapkan metode berpikir mana

yang akan dipilih dan diikuti. Dan bukan metodolgi yang dikreasi sendiri, yang selalu

memiliki relevansi dan signifikansi terhadap tuntutan budayanya. Meskipun dari berbagai

sisi kita ketahui bahwa metode berpikir akan sangat menentukan hasil keputusan akhir

dari suatu hukum. Indikasi ini bisa kita lihat dari ragamnya para ulama fiqh dalam

memilih dan menerapkan metode berpikirnya, hingga berakhir pada formulasi fiqh yang

berbeda pula. Sayang tidak banyak ulama kontemporer yang mampu memfungsikan

orisinalitas pemikirannya untuk melakukan istinbath  hukum. Karena mayoritas di antara

mereka masih banyak yang merujuk metodologi Imam madzhab yang dipandang

memiliki otoritas keagamaan yang memadai. Sementara metodologi Imam madzhab

dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi sosio kultural ketika itu. Tentu metodologi

pemikiran sepertinya kurang relevan dengan perkembangan budaya kekinian. Padahal

upaya para ahli fiqh dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya tidak akan

membuahkan hasil yang memadai, bila menggunakan cara-cara yang kurang tepat.

Dalam pandangan Ali Hasbullah, ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para

ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath hukum, yaitu a). melalui pendekatan kaidah-

kaidah kebahasaan (teks) dan b). dengan pendekatan makna atau maksud syari’ah

(konteks). 

Cara-cara pendekatan seperti ini, dari satu aspek memiliki kekurangan karena pendekatan

sepertinya masih bersifat umum. Dan metodologi model apapun, selama masih

bersinggungan dengan teks bahasa (al-Qur’an dan al-Hadits), tidak akan bisa lepas dari

trend seperti di atas. Dengan kata lain trend metodologi di atas bukanlah trend yang baru,

tetapi trend yang sudah wajar, di mana sejak orang islam berkeinginan menggali hukum

juga melewati model seperti ini. Berbeda dengan metodologi pemikiran hukum Imam

Syafi’i yang muncul beberapa abad yang lalu. Sebuah metodologi yang telah

mengenalkan kaidah-kaidah teoritik yang diilhami oleh logika al-Quran. Tentu

metodologi sepertinya adalah metodologi yang telah melalui proses panjang, antara lain

pertanyaan Syafi’i menyangkut esensi al-Quran. Apakah ia hanya makna semata atau

makna yang dibungkus dengan kata-kata.  Bagi Syafi’i suatu pendekatan yang jarang

dilakukan adalah pendekatan yang terinci menyangkut penggunaan dalil dan pemaknaan

atas dalil. Jika para ulama berbeda dalam wilayah penggunaan dalil berikut berbeda atas

Page 10: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

pemahaman dalil tersebut, maka formulasi fiqhnya pun juga akan jauh berbeda. Baginya

dua pokok pemikiran ini merupakan persoalan yang fundamental. Istilah dalil yang

digunakan Imam Syafi’i di atas agaknya identik dengan sumber hukum. Kata sumber

untuk hukum islam ini, merupakan terjemahan dari Arab, yaitu mashadir, dimana kata

tersebut hanya digunakan oleh sebagaian kecil para penulis kontemporer dalam hukum

islam, sebagai ganti dari sebutan al-‘Adillah al-Syari’iyah dan tidak ditemukan adanya

istilah mashadiru al-ahkam. Ini artinya kedua terma di atas secara umum, memiliki

makna konteks yang sama (dekat).  Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pengguanaan

dalil dan pemaknaan dalil sama artinya dengan penggunaan sumber hukum dan

pemaknaan atas sumber hukum. Disinilah para ulama banyak menemukan perbedaan-

perbedaan, mulai dari pembatasan sumber yang sah untuk digunakan dalil dan yang tidak

sah untuk digunakan dalil. Lebih-lebih menyangkut pemaknaan atas dalil atau sumber

hukum tersebut. Inilah sebabnya Imam Syafi’i segera menaruh perhatian yang besar

untuk menyusun metodologi pemikirn hukum (ushul fiqh), hingga muncullah karya

monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Sejak itu pula murid-murid dan pengikut

madzhabnya di kemudian hari tetap merujuk kepada kita al-Risalah tersebut.

D.1. Dasar-dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Penggunaan Dalil

Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, dalam beberapa kitab ushul fiqh selalu

berkisar di seputar dalil-dalil syara’ yang disepakati dan dalil-dalil syara’ yang

diperselisihkan. Beberapa istilah populer dari dalil syara’ atau sumber hukum itu antara

lain adalah ‘adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati),

mashadiru al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (sumber-sumber hukum yang disepakati), ‘adillah

al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan), mashadiru al-

ahkam al-mukhtalaf alaiha (sumber-sumber hukum yang diperselisihkan). Sedangkan

dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama ahl al-sunah ada

empat, yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara selebihnya seperti istihsan,

istishab, istishlah dan sebagainya, merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para

ulama. 

Ibrahim Ibnu Sayyar al-Nazdam (185-221 H), salah seorang tokoh mu’tazilah, berikut

para ulama khawarij tidak mengakui otoritas ijma’ sebagai dalil/sumber hukum. Menurut

mereka ijma’ tidak mungkin terjadi karena tidak mungkin menghadirkan segenap

Page 11: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam di suatu tempat untuk

sepakat pada kasus tertentu. Lebih-lebih berkaitan dengan perbedaan struktur sosial dan

budaya masing-masing daerah di wilayah dunia Islam.  Sementara itu Syi’ah Imamiyah

hanya mengakui kehujjahan ijma’ sejauh keterkaitan dengan sunah, bukan sebagai

dalil/sumber hukum yang berdiri sendiri.  Bahkan versi Syi’ah aliran Akhbari, mereka

mengatakan Qiyas tidak dapat diterima sebagai dalil/sumber hukum, dengan alasan Qiyas

baginya adalah dugaan murni. Hal ini akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan

madzhab Syafi’i, dimana kalangan Syafi’i membagi istilah dalil menjadi dua, yaitu dalil

yang sah yang wajib diamalkan dan dalil yang sah, tetapi sebenarnya tidak sah. Yang

dimaksud dalil yang sah menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-

Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishhab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang

dikelompokkan pada dalil yang diperselisihkan, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf,

madzhab shahabi, syar’u man qablana, adalah termasuk dalil-dalil yang tidak sah dan

tidak wajib diamalkan menurut al-Syafi’i.  Selanjutnya dalam pembahasan ini akan

dikemukakan maksud dan kedudukan al-Quran, al-Sunah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, yaitu

sebagai dalil yang sah dan memiliki kehujjahan. a. Al-Qur’an atau al-Kitab

Al-Kitab atau Kitabullah adalah terma yang terdapat dalam kitab al-Risalah, yang

memiliki makna serupa dengan al-Qur’an. Bagi Imam Syafi’i lafadz yang diturunkan

kepada Muhammad seluruhnya adalah berbahasa Arab meski diturunkan untuk seluruh

umat manusia di dunia ini. Menurutnya argumentasi di atas adalah sangat beralasan,

mengingat bahasa Arab adalah bahasa yang kaya dan sangat luas kosa katanya, jika

dibandingkan dengan bahasa lainnya. Aneka macam arti bisa hanya diwakili oleh satu

kata, sebagaimana beraneka kata bisa digunakan untuk satu maksud tertentu. Karena

panatis dan kuatnya keyakinan Imam Syafi’i tentang kearaban, sampai ia mewajibkan

orang-orang Islam untuk mengetahui bahasa Arab. Gagasan yang menyangkut keluasan

bahasa, yang tengah dilontarkan oleh Imam Syafi’i di atas, pada kenyataannya, ia ingin

mengatakan bahwa bahasa Arab tidak mungkin mampu dikuasai sepenuhnya, kecuali

oleh para Nabi. Dalam kitabnya, yaitu al-Risalah, ia mengatakan bahwa:

“Di dalam al-Quran terdapat kata-kata non Arab dan pendapat itu diterima, mungkin

karena ia melihat bahwa di dalam al-Quran terdapat kata-kata tertentu yang tidak dapat

diketahui oleh sebagian orang Arab. Lagi-lagi ia mengatakan bahwa bahasa Arab adalah

Page 12: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

bahasa yang paling luas polanya, paling kaya perbendaharaan katanya. Sejauh yang

Syafi’i ketahui tidak ada manusia, selain Nabi, yang menguasai seluruh cabang-

cabangnya. Namun tak ada sesuatu yang asing dari kata-kata Arab tersebut yang tidak

dapat diketahui. Pengetahuan tentang bahasa bagi orang Arab laksana pengetahuan

tentang sunah bagi para ahli hukum. Artinya kita belum mengetahui orang yang mampu

menguasai sunah secara keseluruhan tanpa satu bagian pun yang terlewat”. 

Telah kita ketahui bersama bahwa penukilan al-Quran telah dikenal adanya penukilan

mutawatir dan penukilan ahad, seperti halnya dalam mushhaf Ibnu Mas’ud. Dalam

penggunaannya, Imam Syafi’i hanya membenarkan penukilan yang mutawatir, kaitannya

untuk kehujjahan dan diamalkan,  sehubungan dengan itu Imam Syafi’i tidak

menggunakan penukilan Ibnu Mas’ud yang dinilai tidak mutawatir, dan karenanya tidak

bisa dijadikan hujjah.  jika apa yang perowi nukilkan tadi tidak disebut al-Quran,

mungkin yang demikian berasal dari Nabi atau bisa jadi pendapatnya sendiri. Oleh

karenanya tidak mempunyai daya hujjah.  Sedemikian telitinya Imam Syafi’i untuk

mencermati apakah yang demikian itu benar-benar al-Qur’an atau bukan (sekedar

pendapatnya sendiri).Sementara yang terkait dengan “basmalah” yang berada di setiap

permulaan surat al-Quran, selain surat al-Taubah dalam hubungannya dengan

pengkategorian sebagai al-Quran atau bukan, Imam Syafi’i mengatakan dengan tegas

bahwa semua “basmalah”, yang terdapat pada setiap permulaan al-Quran, selain surat al-

Taubah, adalah al-Quran. Oleh karenanya ia selalu dibaca dalam setiap shalat bersamaan

dengan membaca awal suratnya, baik dalam kedaan jahr atau sir.  Untuk memperkokoh

argumentasinya, ia mengemukakan alasan lain, bahwa basmalah dijumpai pada setiap

permulaan surat al-Quran, selain surat at-Taubah. Alasan lain yang ikut memperkokoh

argumentasinya adalah bahwa penulisan dan penyusunan al-Quran itu didasarkan atas

petunjuk Nabi. Sedangkan Nabi, kata Ibnu Abbas tidak mengetahui penutup dan

pembukaan surat lain hingga Jibril menurunkan kepadanya “basamalah”.  Inilah kiranya

menurut Imam Syafi’i sebagai dalil yang kuat yang menunjukkan bahwa basmalah adalah

al-Quaran.

b. Al-SunahArti sunnah yang biasa disebut dalam risalah dengan “khabar”, secara

lughawi berarti “jalan”. Jalan setiap orang adalah sesuatu yang biasa dilakukan dan

terpelihara, baik yang demikian adalah sesuatu yang terpuji atau tidak. Dalam artian

Page 13: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

istilah syara’ adalah jalan yang berasal dari Nabi dalam bentuk dalil syar’i. Termasuk di

dalamnya adalah ucapan, perbuatan dan pengakuannya. 

Rasulullah telah menetapkan suatu sunah mengenai hal-hal yang ada nashnya di dalam

kitab, dan juga yang tidak ada nashnya. Apa saja yang telah ia tetapkan sebagai sunah,

Allah mewajibkan kita untuk mengikutinya. Seperti yang telah ditegaskan bahwa

mengikuti sunah Rasul berarti telah mengikuti perintah Allah. Kata Syafi’i ini merupakan

prinsip fundamental yang tidak bisa diabaikan.  Tak ada alasan bagi siapapun untuk

menolak sunah Rasul, karena argumen-argumen yang telah Syafi’i kemukakan ini. 

Namun begitu sebagian Shahabat menolak sunah karena ternyata bertentangan dengan

teks al-Quran,  maka sejak itu pula Imam Syafi’i tampak sangat berantusias sekali untuk

mengatakan bahwa fungsi sunah tidak saja sebagai penjelas dan pengurai al-Quran,

melainkan juga memasukkannya ke dalam pola-pola semantik sebagai bagian substansial

dari struktur teks al-Quran. Pandangan di atas, sangat berpengaruh pada pola pemikiran

Imam Syafi’i, hingga ia membagi hubungan antara sunah dan al-Kitab menjadi tiga

aspek. Pertama, kemiripan semantik, yaitu kemiripan yang didasarkan kepada

pengulangan sunah terhadap wacana al-Quran. Kedua, hubungan tafsir dengan al-Bayan, 

sebagaimana dalam kasus spesifikasi kalimat umum (takhshisu al-‘am) dan perincian

kalimat ambigu (tafsil al-mujmal). Ketiga, sunah berdiri sendiri sebagai teks tasyri’,

meskipun kehujjahan tekstualnya bersumber pada pemaknaan yang terdapat dalam al-

Kitab itu sendiri.Berangkat dari kerangka pemikirannya ini pula, selanjutnya ia membagi

fungsi sunah menjadi dua bagian. Pertama, sebagai konfirmasi teks al-Quran, yaitu

Rasulullah mengikuti terhadap apa saja yang telah diturunkan oleh Allah. Kedua,

berfungsi menjelaskan makna yang dikehendaki Allah dalam perintah global (mujmal),

dan menerangkan bentuk perintah itu, apakah bersifat umum atau khusus, dan bagaimana

harus melaksanakannya. Pada masing-masing segi tersebut Rasulullah tetap berpedoman

pada ketentuan kitab Allah. Dari pembagian sunah menjadi dua fungsi ini, tidak

ditemukan di antara para shahabat dan pakar ketika itu, yang berselisih pandang, namun

begitu mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan sunah Rasulullah yang berkaitan

dengan persoalan yang tidak ada nash dan al-Kitab, maka mulailah muncul beberapa

kontradiksi/berselisih pendapat. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa Allah

membebaskan Nabi dengan tetap mewajibkan untuk mentaatinya. Sebagian lain

Page 14: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

mengatakan Rasul tidaklah mensunahkan apapun kecuali pasti terdapat dasarnya dalam

al-Kitab. Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa Rasulullah telah diberi risalah oleh

Allah, kemudian sunahnya ditetapkan dengan kewajiban dari Allah. Sementara yang

terakhir mengatakan bahwa semua yang Rasul sunahkan adalah ilham yang Allah berikan

melalui hatinya, dan sunahnya adalah hikmah yang diilhamkan oleh Allah ke dalam

jiwanya. 

Menyikapi beberapa sikap para ulama yang kontradiksi ini, Imam Syafi’i akhirnya

menanggapi ulang bahwa sunah Rasul baik yang berfungsi menjelaskan makan perintah

Allah, sebagaimana yang dinyatakan di dalam nash al-Kitab, atau yang berfungsi sebagai

legislasi yang tanpa nash al-Kitab, menurutnya kedua-duanya sama-sama mengikat dalam

segala keadaan. Demikianlah makna penegasan Rasul di dalam hadits Abu Rafi’ yang

dikutip oleh Imam Syafi’i. Lebih jauh sunah yang memiliki kehujjahan/kekuatan untuk

dijadikan dalil menurut Syafi’i hanya ada dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.

Mutawatir yang berarti khabar orang banyak yang jumlahnya mencapai pada satu batas

yang ucapan mereka menghasilkan  suatu ilmu (yakin).  Sementara hadits ahad adalah

hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang, dan demikian seterusnya,

sampai ke sumbernya, yaitu Nabi atau Shahabat. Hadits ini ungkap Syafi’i berikutnya,

tidak bisa menjadi hujjah atau pegangan, kecuali jika orang yang meriwayatkannya

terpercaya di dalam agamanya, jujur di dalam periwayatan, paham terhadap apa yang

telah diriwyaatkan, menyadari suatu lafad yang mungkin dapat merubah arti hadits, cakap

untuk meriwayatkan hadits dari kata demi kata dan hafal di luar kepala. Dalam

periwayatannya tidak terjadi tadlis (hanya mengandalkan kata orang).  Dalam literature

lain dinyatakan bahwa Imam Syafi’i baru memakai hadits ahad bila perawinya

berkesinambungan dan tidak terputus. 

E. c. al-Ijma’ Ijma’ dalam pandangan jumhur merupakan urutan ketiga setelah al-Quran dan

sunnah.  Demikian juga menurut Imam Syafi’i, bahwa sumber syari’ah setelah al-Quran

dan al-sunnah adalah ijma’.  Nampaknya Imam Syafi’i dalam hal ini yang telah banyak

berperan untuk menyamakan, lebih dari itu mendoktrinasikan konsep-konsep ijma’nya

terhadap ulama jumhur yang datang kemudian. Utamanya persamaan dalam memandang

urutan ijma’ sebagai sumber syari’ah. Perbedaan cara pandang dalam memaknai ijma’,

dalam konteks kesejarahan memang terus bermunculan, belum lagi perbedaan pandang

Page 15: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

dalam menempatkan urutan-urutannya. Banyaknya perbedaan pandang terkait dengan

hukum, memang telah muncul sejak masa keempat khalifah yang pertama.  Sehingga 

pada gilirannya pemerintah menyerahkan tugas pembuatan dan pemikiran hukum ini

kepada para pakar hukum yang datang dari daerah-daerah yang berbeda-beda, utamanya

kepada ulama Madinah yang konon memiliki keshalehan paling banyak dalam Islam.

Beberapa pakar di atas pada gilirannya, dengan menggunakan metode pendapat pribadi,

juga melalui proses pencerahan dan pengasahan pikirannya, mencoba mengolah bahan-

bahan dari al-Quran dan al-sunnah (baik tradisi yang hidup maupun tradisi yang verbal). 

Sayangnya bersamaan dengan tugas pemikiran yang bebas ini, belum dijumpai suatu

hasil yang memuaskan, dan yang terjadi adalah kumpulan pendapat yang tak terorganisir

dan kerkoordinir dengan baik. Berangkat dari sini muncullah gerakan koordinasi dan

unifikasi yang melengkapi dan mengembangkan kegiataan pertama. Perkembangan opini

individual (qiyas) telah berubah bentuknya menjadi penalaran analogis yang sistematis

dan terkoordinir (ijma’) dengan baik. Namun perlu dimaklumi bahwa pada generasi Islam

awal sebelum koktrin qiyas secara resmi digunakan, ternyata sejumlah praktek-praktek

yang disepakati bersama (ijma’) juga telah dicapai. Inilah sebabnya para ahli hokum dan

ahli hadits pada abad ke-2 H / 8 M memproyeksikan doktrin qiyas ke arah belakang, ke

generasi Islam awal,  yaitu selalu menempatkan qiyas sebagai urutan keempat setelah

ijma’.

Namun jika dilihat perspektif sejarah, urutan sumber syari’ah setelah al-Quran dan al-

sunnah adalah qiyas, baru kemudian ijma’. Hal demikian bisa kita saksikan pada hasil

kegiatan qiyas, yaitu dengan jalan konflik, kompromi dan penyesuaian, sedikit demi

sedikit akan mengkristal dalam ijma’, yaitu yang memiliki otoritas keputusan akhir.

, baginya konsep ijma’ seperti yang telah mentradisi dan berkembang di atas secara tidak

langsung telah merusak legitimitas ijma’, bahkan ia memandangnya sudah berada pada

tingkat yang meragukan keberadaan ijma’ tersebut dalam dataran umat. Giliran

berikutnya setelah ia memperhatikan beberapa perbedaan di atas, kemudian ia

memberikan komentar, antara lain:yaitu masyarakat MesirTradisi inilah yang membuat

Imam Syafi’i menjadi sangat bertolak belakang dalam memandang ijma’, belum lagi

ketika Imam Syafi’i dihadapkan pada masyarakat yang berbeda karakter

“Hal tersebut menunjukkan bahwa ulama salaf telah berpendapat dengan pendapatnya

Page 16: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

dan bertentangan dengan yang lainnya, dan yang lainnya juga berpendapat dengan

pendapatnya… Ini menunjukkan bahwa sebagian mereka berpendapat dengan

pendapatnya, bahwa pendapat sebagian bukan sebagai hujjah yang harus diikuti, apabila

ia melihat pendapat sebaliknya. Dan bahwa mereka tidak memandang wajib (diikuti),

kecuali al-Quran dan sunnah, dan bahwa mereka sama sekali tidak berpendapat kalau

seluruh hukum yang khas merupakan ijma’, sebagaimana kesepakatan mereka terhadap

al-Kitab dan al-Sunnah… Apabila mereka menta’wil, maka bisa jadi mereka berselisih.

Demikian pula apabila mereka mengatakan apa yang mereka ketahui tidak ada di dalam

sunah, mreka pasti berselisih pendapat… cukup sebagian ijma’ bila anggapan sebagai

ijma’ pada semua hukum tidaklah sama seperti orang yang mengaku aku… ringkasnya

bahwa selain jumlah kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat secara keseluruhan, tak

seorangpun diantara sahabat Rasulullah, tabi’in, ulama yang datang setelah tabi’in dan

yang datang kemudian, dan tak seorangpun yang pandai di atas dunia ini, serta tak

seorang pun yang dianggap memiliki pengetahuan oleh masyarakat, tak seorangpun dari

mereka yang mengaku terjadi ijma’ kecuali hanya sesaat saja”. 

Dalam pemikiran Imam Syafi’i di atas, telah menunjukkan bahwa ia melakukan serangan

besar-besaran, berikut mengkritisi metodologi yang berkembang saat itu. Dengan

semangat dan usahanya yang besar, ia menyerukan diterimanya materi hadits secara

besar-besaran di dalam hukum. Program semacam ini secara tidak langsung telang

menyerang keras doktrin ijma’ dari aliran-aliran hukum yang ada. Selanjutnya hanya

akan membolehkan wilayah ijma’ ketika itu pada praktek-praktek dan kewajiban agama

yang mendasar. Dengan tidakannya itu secara perlahan ia ingin menyingkirkan sunah

yang hidup (ijma’), dan kalau bisa menjadikannya benar-benar tak berdaya lagi, yaitu

dengan menekankan pada kewajiban-kewajiban agama yang umum dan esensial yang

terdapat pada sunah verbal hadits. Selanjutnya ia akan mengisi seluruh kekosongan ini

dengan hadits. Dengan kata lain hanya hadits sajalah yang akan mewakili sunah, dan

bukannya tradisi yang hidup (ijma’). Hasil yang penting dan diterapkan bagi usaha ini

berupa akan dilepaskannya qiyas atau unsur-unsur penalaran dari kedudukannya untuk

menjadi penengah antara al-Quran dan sunnah di satu pihak, dan ijma’ di pihak lain.  

Hanya dengan melalui upaya menentang ijma’ ini saja, ia mampu menarik kembali hadits

verbal yang sempat terisolir oleh metodologi yang berkembang ketika itu. Giliran

Page 17: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

berikutnya untuk menolak metodologi yang terlanjur menguat seperti ini, ia tidak segan-

segan untuk mengisukan pandangan-pandangannya dan tanpa mengenal lelah ia terus

menerus untuk mengulangnya. Akibat dari usaha serius Imam Syafi’i ini, tradisi verbal

atau hadits telah mampu untuk menggantikan tradisi yang hidup (ijma’), yaitu sebagai

media penyampaian sunnah Nabi. Sejak itulah menurutnya dasar hokum harus disusun

sebagai berikut:a). al-Quran, b). sunnah c). ijma’ masyarakat dan d). usaha pemikiran

yang orisinal yang dilaksanakan melalui metode qiyas.  Dengan demikian jelas sekali,

bahwa qiyas ditempatkan diluar kerangka ijma’, dan bukan dijadikan sebagai persiapan

bagi dan dalam kerangka ijma’. Sebagaimana aliran-aliran hukum lama. Klaim yang

muncul dari lawan debat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa mereka bisa mencapai

ijma’ adalah omong kosong. Namun pada segi yang lain usaha Syafi’i dengan

perkembangan hadits yang sangat pesat itu, telah menyumbat atau memperkecil pintu

ijtihad (qiyas). Tanpa terasa pula mulai momen ini qiyas telah berangsur-angsur

kehilangan daya vitalitasnya, hingga pada akhir abad ke-3 H atau 9 M dan awal abad ke-4

H/10 M, dimana dogma atau hukum telah mengambil bentuknya yang mapan (pasti).

Ijma’ yang dicapai waktu itu telah dinyatakan final, sementara pintu ijtihad dinyatakan

tertutup. Dengan kata lain begitu hadits telah diteguhkan kedudukannya oleh ijma’,

secara logis ia (hadits verbal) akan mengisolirkan ijma’ tersebut. Sejak itulah dogma atau

hokum tidak mengalami perkembangannya, ditambah lagi kreatifitas dan kecemerlangan

sejarah intelektual tiba-tiba saja berakhir dengan suram. 

Kumpulan hadits yang telah dikukuhkan oleh ijma’ telah menurunkan derajat qiyas

menjadi ban serep dan menjadi terpisah fungsinya dari ijma’. Ijma’ yang pada awalnya

merupakan fungsi dari tradisi yang hidup, yang muncul dari pemikiran baru yang segar,

kini tiba-tiba ia tak bias meneruskan fungsinya sebagai organisme yang diperlukan untuk

pertumbuhannya.  Belum lagi persyaratan ijtihad pada saatnya, telah dibuat sedemikian

rumit, sulit dan ketatnya. Ditetapkan demikian tingginya hingga berada diluar jangkauan

pemikiran manusia. Konsep ijma’ yang dibangun oleh Syafi’i ini, pada akhirnya

mengharuskan untuk disandarkan kepada dalil yang ada, yaitu al-Kitab, al-sunnah dan

yang memiliki hubungan kepada qiyas. Alasan mengapa ijma’ harus memiliki sandaran

itu adalah, pertama, bila ijma’ tidak memiliki dalil sandarannya, maka ijma’ akan sampai

pada kebenaran. Kedua, bahwa para sahabat keadaannya tidak akan lebih baik dari Nabi,

Page 18: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

sementara Nabi sendiri tidak pernah menetapkan hukum kecuali berdasarkan pada

wahyu. Ketiga, pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil, baik dalil itu kuat atau

lemah, adalah salah besar. Keempat, pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil, maka

ia tidak akan diketahui kaitannya dengan hukum syara’.  Demikianlan penggunaan ijma’

yang begitu terbatas menurut Imam Syafi’i. d. al-Qiyas Istilah qiyas, menurut para ahli

hukum Islam, berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan suatu kesimpulan dari

prinsip tertentu yang terkandung dalam suatu preseden, hingga sebuah kasus yang baru

dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau disamakan dengan preseden tersebut dengan

kekuatan sifat esensial umum yang disebut dengan alas an (‘illah). Argumen ini

nampaknya hampir identik dengan maksud ungkapan Imam Syafi’i dalam kitab al-

Risalahnya, yaitu bahwa semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim

tentu telah ada hukumnya yang jelas dan mengikat, atau sekurang-kurangnya ada

ketentuan umum yang menunjuk kepadanya.  Titik temu dari ungkapan yang pertama dan

kedua adalah sama-sama terikat oleh ketentuan umum/prinsip tertentu. Namun jika tidak

terdapat ketentuan umum yang menunjuk kepadanya, maka ketentuan hukum tersebut

harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tak lain adalah qiyas (analogi). 

Dalam perkembangan selanjutnya istilah yang menyerupai qiyas, juga dijumpai dalam

filsafat islam, dalam rangka untuk memasukkan sillogisme atau penalaran sillogistik.

Hanya saja bagi pendahulu Islam yang paling awal penalaran analogis ini disejajarkan

dengan penalaran pribadi (ro’y) yang mempunyai nada subjektif yang kuat. Jenis

pemikiran seperti ini, saat itu relatif bebas dan menghasilkan segudang pendapat hukum

dan keagamaan yang saling bertentangan. Masalah-masalah baru dalam lapangan hokum

memang muncul sejak dahulu hingga sekarang. Untuk menghadapi masalah-masalah

tersebut para ulama fiqh terpaksa harus menggunakan hukum akal, logika dan pendapat

(ijtihad). Berangkat dari pemikiran ini, qiyas memang deanggap sebagai unsure penting

dalam kaitannya dengan upaya pemecahan hokum yang tidak terdapat nashnya. Hanya

saja perbedaan penggunaan qiyas yang terdapat dalam konteks sejarah, nampak sangat

tajam sekali. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan pada masa prakehidupan

Syafi’i dan pascakehidupannya. Posisi qiyas di era prakehidupannya, lebih diposisikan

sebagai persiapan dan dalam kerangka ijma’, dengan prinsip maslahat, sebagaimana

tujuan diadakannya suatu hukum.  Sementara qiyas pada pascakehidupannya diletakkan

Page 19: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

pada posisi akhir setelah ijma’. Posisi qiyas yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan

tidak berperannya qiyas, lantaran ia harus selalu disandarkan kepada teks yang ada.

Karena menurutnya qiyas akan digunakan, hanya apabila di dalam al-Quran dan sunnah,

tidak membicarakan sama sekali tentang persoalan yang dipertanyakan hukumnya.

Lebih dari itu menurut Imam Syafi’i, jika dalam al-Quran dan sunah sudah jelas maksud

kandungan pesan hukumnya, lebih-lebih sudah diamalkan oleh Nabi dan sahabatnya,

maka sudah tidak perlu lagi untuk mempersoalkan kemungkinannya mentakwilkan teks

tersebut. Indikator di atas menunjukkan bahwa Imam Syafi’i memang tidak berpikir

bebas sebagaimana yang ditemuh oleh ulama yang hidup sebelumnya, utamanya adalah

Imam Abu Hanifah yang sangat rasionalistik itu.Sejalan dengan itu, Syafi’i juga

berpendapat bahwa ilmu itu adalah al-Kitab, al-sunnah, al-ijma’, al-atsar baru kemudian

al-qiyas. Belum lagi ketentuan Syafi’i menyangkut tentang persyaratan qiyas yang sangat

rumit dan sulit itu, bahwa qiyas baru boleh dilakukan oleh seseorang yang memiliki

kemampuan untuk menguasai hukum-hukum yang terdapat dalam al-Kitab,al-sunnah,

pendapat kaum salaf, ijma’ dan akhtilaf serta bahasa Arab yang baik dan benar. 

Dari pada pemikirannya ini, dapat diketahui bahwa penyikapan Imam Syafi’i terhadap

persoalan-persoalan keagamaan adalah ekstra hati-hati, di satu sisi. Di sisi lain ia ingin

mencoba mengambil jalan tengah, di antara pemikiran Imam Abu Hanifah yang bebas

rasionalistik dan pemikiran Maliki yang tekstual normatif. Ada masanya orang

menggunakan akal dengan jalan qiyas, demikian juga menggunakan akal yang tunduk

pada penggunaan teks wahyu. Bagi Imam Syafi’i, ijtihad itu hanya dengan metode qiyas,

dan tidak dengan cara yang lain. Terakhir, ia menegaskan bahwa ijtihad dan qiyas adalah

dua kata untuk makna yang sama. Imam Syafi’i nampaknya memang telah dikenal

sebagai ahli hokum pertama yang menuliskan dasar-dasar hukum secara umum, telah

dianggap berjasa untuk meneguhkan qiyas sebagai sebuah prinsip, namun pola

pemikirannya ternyata juga telah diilhami oleh aliran hukum kecil yang menamakan

dirinya sebagai aliran literalis (zhahiri) yang dikomandani oleh Daud. 

Meski demikian hati-hatinya, Imam Syafi’i tidak berarti tidak beranjak sama sekali dari

nash dan qiyas. Indikasi ini bisa kita lihat, bahwa dalam beberapa aspek, ternyata ia juga

melakukan penelitian berbagai persoalan yang nyata-nyata tidak dijelaskan sama sekali

oleh al-Qur’an. Sebut saja misalnya, ketika ia ditanya tentang batasan darah haid.

Page 20: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

Kesimpulan hasil penelitiannya mengatakan bahwa haid itu batas minimalnya adalah

sehari semalam. Sementara batas maksimalnya adalah lima belas hari.  Ia melakukan

penelitian seperti ini karena persoalan-persoalannya tidak dimuat dalam nash. Dalam

konteks seperti ini tidak menutup kemungkinan akan diperoleh pandangan yang berbeda-

beda dari masing-masing ulama yang juga melakukan aktifitas yang sama.

Berangkat dari pola pemikirannya, ia membagi hukum syara’ menjadi dua. Pertama :

pengetahuan hukum syara’ yang didasarkan pada al-Quran dan hadits akan menghasilkan

kebenaran hukum secara lahir dan batin. Oleh karenanya harus dipatuhi oleh seluruh

umat muslim dan tidak seorangpun yang boleh meragukannya. Kedua : pengetahuan

hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad, yaitu dengan menggunakan indikasi yang

ada. Hal ini akan sampai pada kebenaran hukum yang lahir saja, dan belum tentu benar

menurut bathinnya, yaitu menurut ulama lainnya. Sebab tidak ada yang mengetahui yang

gaib selain Allah. Disanalah menurutnya akan terjadi keragaman pandangan di antara

ulama yang satu dengan yang lainnya.Namun demikian tidak semua qiyas akan

menghasilkan pendapat yang berbeda. Karena menurutnya qiyas masih dibagi lagi

menjadi dua bagian. Pertama, qiyas yang furu’nya sama arti dan merupakan bagian dari

pada asalnya. Qiyas seperti ini memiliki tingkat kebenaran yang tinggi, hingga para

ulama tidak diperkenankan untuk berselisih paham tentangnya. Kedua, qiyas yang

furu’nya mempunyai kesamaan dengan beberapa asal, karenanya dihubungkan dengan

asal yang paling tepat dan paling banyak segi kesamaannya. Qiyas model yang kedua ini

tidak kuat tingkat kebenarannya, hingga para ulama banyak berbeda pendapat padanya. 

D.2. Dasar-dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Pemahaman Dalil

Pada prinsipnya Imam Syafi’i selalu menggunakan dalil nash dalam memahami dan

menetapkan hukum, baik secara langsung, yaitu al-Quran dan sunnah atau tak langsung,

yaitu dengan ijma’ dan qiyas. Menurut Imam Syafi’i kemampuan seseorang tentang

hukum syara’ tergantung kepada pemahamannya terhadap nash. Sementara itu al-Quran

dan sunnah, adalah teks yang menggunakan bahasa Arab, maka pemahaman terhadap

dalil hukum syara’ berarti pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab itu.

Pola pemikiran Imam Syafi’i di atas akhirnya berkesimpulan bahwa semakin seseorang

memahami bahasa Arab, maka semakin baik pula pemahamannya terhadap dalil dan

hukum yang terkandung dalam dalil itu. Dengan demikian mereka yang sebahasa dengan

Page 21: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

Nabi adalah mereka yang mempunyai kemampuan terbaik dalam memahami dalil.

a. Pemahaman terhadap Nash al-QuranDalam memahami al-Quran ini, Imam Syafi’i

telah berusaha untuk memetakan secara rinci menjadi beberapa kaidah, yaitu; kaidah

umum, zhahir, mujmal, bayan dan takhsis. Memperhatikan perincian ini, sepertinya

wajar, jika Imam Syafi’i mempersyaratkan dengan mutlak kepada mujtahid atas

kemampuan berbahasa Arab. Karena tanpa memiliki kemampuan itu, mustahil mereka

akan mampu untuk memilih, memilah dan mengkategorikannya ke dalam kaidah-kaidah

umum, khusus, zhahir, mujmal, bayan dan takhsis. Belum lagi ketika mereka dihadapkan

pada masalah-masalah teks yang gharib (aneh), pada sebagaian kata atau kalimat dalam

nash tersebut. Seakan-akan hubungan pertalian antara “pemuatan seluruh fakta dalam a-

kitab” dengan “keluasan” bahasa Arab menjadikan upaya penafsiran dan pemahaman al-

Quran sebagi tugas berat yang tidak dapat dijalankan, kecuali oleh orang-orang Arab.

Sebab telah diduga bahwa orang-orang selain Arab, tidak akan dapat mencapai tingkat

seperti orang Arab dalam hal penguasaan bahasanya.  Kekhawatiran Imam Syafi’i seperti

ini ada benarnya, mengingat ia sendiri pernah mengungkapkan persoalan tentang

pentingnya kemampuan berbahasa Arab dalam sebuah kitabnya (al-Risalah), yaitu:

“Saya memulai dengan diskripsi, bahwa al-Quran telah diturunkan dengan bahasa Arab

dan bukan dengan bahasa lain, hal ini disebabkan karena penjelasan mengenai

keseluruhan ilmu al-kitab tidak akan diketahui oleh seorangpun yang tidak mengenal

bahasa Arab, kemajemukan aspek-aspeknya, serta kepadatan dan penyebaran maknanya.

Hanya orang yang ahli dalam bahasa Arab saja yang akan terhindar dari kekaburan dan

keraguan dalam memahami al-Quran”. Karena kematangan Imam Syafi’i dalam

penguasaan bahasa Arabnya, ia akhirnya mampu menemukan lafadz-lafadz umum dalam

al-Quran dalam berbagai sighat dan bentuknya. Dan sebab bekal pisau analisa

kebahasaan yang ia miliki, ia mampu menemukan maksud yang berbeda dari lafadz-

lafadz umum itu. Pertama;  Pernyataan umum dengan maksud umum.  Dengan kata lain

kata-kata umum yang tetap dalam kerangka makna yang umum, baik dalam struktur

maupun konteks. Contoh-contoh ayat yang ditampilkan Imam Syafi’i dalam pola ini,

antara lain surat  al-Zumar ayat 62, yang mengatakan “Allah pencipta segala sesuatu”,

surat Hud ayat 6, surat Ibrahim ayat 32. contoh-contoh ini semua dalam pandangan Imam

Syafi’i adalah pernyataan umum yang tidak mengandung kekhususan. Setiap sesuatu,

Page 22: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

termasuk langit dan bumi, segala sesuatu yang punya ruh, pepohonan dan lain-lainnya,

Allahlah yang menciptakannya. Dan setiap makhluk yang bergerak pada Allah juga

rizkinya. 

Kedua, pola di atas akan sangat berbeda jika didekatkan dengan pola berikut, yaitu ayat

yang memiliki pernyataan umum yang bagian-bagiannya di spesifikasikan (takhsis),

namun tidak berarti menggugurkan keumumannya. Contoh yang ditampilkan oleh Imam

Syafi’i dalam pola ini adalah surat al-Taubah ayat 120. Secara khusus ayat ini hanya akan

menunjuk kepada lelaki yang mampu berijtihad, namun secara umum menunjuk kepada

semua pihak yang sanggup berijtihad. Dengan demikian ayat tersebut mengandung

konotasi (dilalah) khusus dan konotasi umum. Dua ayat senada yang juga ditampilkan

Imam Syafi’i untuk memperjelas dan memperkuat argumentasinya adalah surat al-Nisa’

ayat 75 dan surat al-Kahfi ayat 77. Di dalam ayat ini terdapat pengertian bahwa tidak

semua penduduk kota diminta makanan. Maksudnya, ayat ini punya arti yang sama

dengan ayat sebelumnya. Namun dalam ayat pertama dan kedua yang menyangkut

tentang pernyataan kota yang penduduknya berbuat dzalim terdapat konotasi khusus,

karena memang tidak semua penduduk kota berbuat dzalim. Diantara mereka ada orang

muslim namun jumlahnya sangat kecil. Ketiga; Pernyataan umum tetapi mempunyai arti

khusus, yang tidak seperti bentuk eksplisitnya. Contoh yang paling jelas bagi pola arti ini

adalah surat Ali Imran ayat 173.  Perlu dipahami bahwa ayat di atas hanya untuk maksud

tertentu, masa tertentu, keadaan tertentu dan untuk lingkungan tertentu.

Meskipun kata “manusia” yang disebut dua kali dalam ayat tersebut bersifat umum,

namun dapat dipahami secara pasti bahwa manusia yang menyampaikan berita kepada

orang tersebut bukanlah semua manusia. Karena hanya beberapa orang saja yang

menyampaikan berita. Manusia yang berhimpun menurut apa yang dikatakan itu sudah

pasti pula tidak semuanya. Karena yang pasti hanya sebagian orang saja yang

berkumpul. 

Keempat; Pernyataan umum dan dapat dipahami dari padanya maksud umum dan

maksud khusus, sebut saja misalnya firman Allah surat al-Hujurat ayat 13. Ayat ini

menggunakan kata-kata yang semuanya dari lafadz umum. Namun jika diamati secara jeli

ternyata di samping yang berarti umum, ada pula yang berlaku secara khusus. Potongan

ayat pertama menjelaskan bahwa semua manusia tanpa kecuali diciptakan oleh Allah

Page 23: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

dalam berkelompok. Sementara potongan yang kedua tidak mengandung makna umum,

melainkan khusus. Artinya, tidak semua orang yang bertaqwa yang dimaksud Allah

dalam ayat ini memperoleh kemuliaan, karena yang tidak berakal, tentu tidak masuk

dalam kategori ini. Kelima; menurut Imam Syafi’i, bahwa dalam al-Quran terdapat

pernyataan umum yang secara spesifik telah ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya

adalah khusus. Al-Quran yang dimaksud Imam Syafi’i adalah surat al-Nisa’ ayat 11 dan

12.  Dalam ayat ini dijumpai kata-kata , bahwa ayah, ibu dan istri memperoleh bagian

tertentu, dimana kata tertentu ini sangat bersifat umum. Namun sunnah Rasul

menunjukkan bahwa ketentuan itu tidak berlaku untuk semua yang lazim disebut ayah,

ibu dan istri. Kesamaan agama antara pihak yang mewaris dan diwaris adalah faktor yang

menentukan. 

b. Pemahaman terhadap SunnahSunnah yang telah disampaikan Nabi kepada umatnya,

pada prinsipnya dalah sebagai pelengkap nash al-Quran. Namun ketika dilihat dari

kedudukannya sebagai bayan, maka sunnah dapat dipahami sebagai penjelasan.

Sementara itu menurut Imam Syafi’i bahwa pemahaman sunnah sebagai penjelasan juga

masih memiliki makna yang ganda. Pertama;  penjelasan yang diberikan oleh Nabi hanya

semata-mata sebagai al-tashdiq (pembenar) atau al-ta’kid (penguat) terhadap apa yang

terdapat dalam al-Quran. Dalam konteks seperti ini kehadiran sunnah bias dikatakan tidak

berarti sebagai penjelas al-Quran, karena pada hakekatnya penjelasan al-Quran sudah

cukup. Dengan kata lain karena sunnah datang sesudahnya, maka yang demikian itu

menurut Imam Syafi’i isi dan maksudnya pun adalah dalam bentuk yang sama dengan al-

Quran. Contoh yang tepat menurutnya adalah terdapat dalam surat al-Maidah ayat 8 dan

9, yaitu yang menyangkut penjelasan Allah tentang wudlu secara terperinci.

Sesudah turunnya ayat ini, Nabi sengaja menetapkan sunnah yang sama maksud dan

isinya dengan yang telah diwahyukan oleh Allah dalam kitabnya. Misalkan Nabi

membasuh muka, tangan, sampai siku dan kemudian menyapu kepala dan seterusnya

sampai mata kaki. Dari contoh tersebut bisa dipahami bahwa penjelasan yang diberikan

oleh Nabi, sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap al-Quran, kecuali hanya

berada pada wilayah pembenar dan penguat.Kedua; sunnah dipahami sebagai penjelasan

al-Quran, yaitu dengan cara membatasi maksud penggunaan kata atau ungkapan dalam

al-Quran. Keadaan seperti ini bisa kita lihat misalnya, ketika bentuk lahir/teks al-Quran in

Page 24: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

dianggap memiliki maksud tertentu, sementara sunnah menetapkan lain. Diman aposisi

sunnah terhadap ayat di atas disebut “takhsis”. Contoh ini menurut Imam Syafi’i bias

dilihat dalam firman Allah surat al-Nisa’ ayat 7, yaitu yang menyatakan bahwa laki-laki

menerima bagian dari peninggalan orang tua dan karib kerabatnya. Dalam konteks yang

sama perempuan pun juga menerima bagian dari peninggalan orang tua dan karib

kerabatnya.

Giliran berikutnya, datanglah sunnah dengan kesan membawa pesan yang berseberangan

dengan ayat di atas. Contoh sunnah yang dimaksud Imam Syafi’i adalah “orang muslim

tidak akan menerima waris dari non muslim”. Contoh yang lain “pembunuh tidak akan

menerima waris dari yang dibunuh”. Penjelasan Allah yang menyatakan “mewaris”

sebenarnya tidak berseberangan dengan sunnah Nabi yang menyatakan tidak “mewaris”.

Hanya saja sunnah Nabi dimaksudkan untuk memberikan penjelasan pengertian bagi

orang-orang yang berhak menerima waris dan yang tidak berhak menerimanya dari orang

tuanya yang muslim.Oleh karenanya sunnah yang datang kemudian, yang berbeda

hukumnya dengan apa yang dimaksud dalam al-Quran, tidak berarti ia bertentangan

dengan al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain pemahaman seperti ini tanpa disadari

mampu menepis suatu anggapan berlakunya hukum nasakh dan mansukh antara al-Quran

dan sunnah. Padahal sunnah dalam keadaannya seperti ini, tidak lebih hanya semata

berfungsi sebagai penjelasan terhadap al-Quran. Lebih jauh, Imam Syafi’i mengatakan

bahwa sunnah dalam hubungannya dengan sunnah yang lain juga telah terlihat bentuk

dan perannya. Pertama; sunnah menjelaskan suatu larangan terhadap suatu perbuatan

dalam suatu riwayat. Dalam riwayat yang lain ditemukan pula larangan tersebut dalam

bentuk yang berbeda tetapi dalam hukum yang sama. Dalam hal ini Imam Syafi’i telah

memahami secara logis bahwa sunnah yang datang kemudian hanya sekedar menegaskan

terhadap penjelasan sunnah yang datang sebelumnya. Sebut saja misalnya hadits dari

Malik, dari Yahya, dari A’raj dan dari Abu Hurairah berbunyi, bahwa Nabi telah

melarang kita shalat ashar hingga matahari terbenam dan shalat subuh hingga matahari

terbit.

Selanjutnya hadits ini diikuti oleh hadits dari Malik, dari Nafi’ dan Ibnu Umar yang

berbunyi, “Janganlah seseorang sengaja melaksanakan shalat pada waktu matahari terbit

dan terbenam”.  Kedua; sunnah selalu datang secara bergantian, sedangkan sunnah yang

Page 25: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

datang kemudian, maka keadaannya akan lebih terang dari sebelumnya. Hal ini bisa kita

lihat dalam sebuah hadits yang berkenaan dengan hukum jual beli. Ketiga; penjelasan

maksud suatu hadits telah ditemukan dalam hadits lain, dimana arti dan fungsi hadits

dalam konteks seperti ini adalah menjelaskan hadits lain. Hal ini bisa kita lihat dalam

sebuah hadits yang berkaitan langsung dengan hukum meminang seorang perempuan

yang sudah dipinang. Keempat; menurut Imam Syafi’i ada dua hadits yang secara lahir

nampak bertentangan namun sebenarnya adalah tidak. Hal ini bisa kita lihat hadits dari

Rafi’ Ibnu Hudeij tentang ucapan Nabi, lakukan shalat sebelum waktu fajar, karena yang

demikian ini lebih besar pahalanya. Sementara itu ada hadits lain, yaitu hadits Aisyah

yang menyatakan “kami wanita muslimah biasa shalat subuh bersama Nabi, selanjutnya

wanita-wanita itu pergi sambil berselimut mantel hingga tidak dikenal oleh siapapun”.

Hadits yang terakhir ini menunjukkan pelaksanaan shalat subuh menjelang fajar. Bagi

Imam Syafi’i menanggapi hadits yang seakan-akan berkesan berseberangan tersebut,

ternyata tetap bisa menyelesaikan pemecahannya. Menurutnya hadits Aisyah lebih kuat

karena lebih sesuai dengan al-kitab.Berangkat dari kenyataan atas mungkinnya diambil

penyelesaian sunnah yang sangat kompleks ini, maka Imam Syafi’i akhirnya sampai pada

suatu kesimpulan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits.

Menurutnya hadits yang selalu dianggap bertentangan oleh sebagian orang, karena

mereka tidak memahami situasi dimana hadits itu digunakan. Di sisi yang lain karena

adanya ketidaktahuan orang-orang mengenai hadits-hadits tertentu yang hanya semata

menjelaskan hadits yang lain. 

F. c. Pemahaman Imam Syafi’i terhadap Naskh Dari aspek bahasa, naskh memiliki beberapa

arti, antara lain meniadakan, menghapuskan, membatalkan dan menggantikan. 

Sementara yang lain kadang diartikan mencabut, mengangkat  dan masih banyak lagi arti

di luar itu, yaitu menunda.  Dalam arti istilah juga banyak sekali yang telah ditemukan

oleh ulama ushul, yang masing-masing memiliki titik lemah yang dikritik oleh pihak lain.

Namun demikian definisi yang dianggap terpilih oleh ulama syafi’iyah ialah “kitab syari’

yang mencegah berlakunya hukum yang ditetapkan dengan kitab syar’i yang terdahulu”.

Imam Syafi’i sendiri telah mengakui berlakunya naskh dalam syari’at islam. Alasannya

karena adanya dalil yang jelas di dalam al-Quran, misalnya surat al-Baqarah ayat 106

yang maksudnya “Apa-apa yang kami naskhkan dari ayat-ayat, kami akan berikan yang

Page 26: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

lebih baik dari padanya atau yang semisalnya”. Demikian juga surat al-Nahl ayat 101

yang mengatakan “Apabila kami gantikan satu ayat di tempat suatu ayat, sesungguhnya

Allah mengetahui apa yang diturunkan”. Pandangan Imam Syafi’i tentang naskh tersebut

tidak cukup hanya sekedar mengakui berlakunya pemikiran naskh, lebih jauh dari itu ia

juga telah memberikan penjelasan tentang apa yang melatarbelakangi timbulnya

pemikiran tentang naskh. Menurutnya persoalan utama yang terkait dengan sebab apa dan

mengapa pemikiran tentang naskh tersebut muncul? Jawabannya, karena Allah telah

menurunkan al-Quran kepada manusia untuk memberikan penjelasan kepada sesuatu,

menjadi petunjuk dan rahmat bagi umat. Pertimbangan yang lain karena Allah dalam al-

Quran telah menetapkan kewajiban-kewajiban, dimana sebagian telah dinyatakan

berlakunya, sementara sebagian yang lain dinaskhkannya atau memberi kelapangan

baginya sebagai tambahan nikmat dari apa yang telah diberikan pertama dulu. Allah pun

juga memberikan ganjaran atas kemauan mereka untuk menghentikan apa-apa yang

pernah ditetapkan. Masih menurutnya, bahwa berlakunya naskh dalam ajaran islam,

adalah karena semata-mata kehendak Allah dan sama sekali tidak terdorong oleh

kemauan manusia atau oleh keadaan lainnya. Pandangan ini diperoleh setelah ia

memahami isi dari surat al-Ra’du ayat 39 yang maksudnya, “Allah menghapuskan apa-

apa yang ia kehendaki dan ia pula yang menetapkannya”. Bila dikatakan bahwa ayat al-

Quran bisa menaskhkan ayat al-Quran yang lain, maka persoalan yang sama juga terjadi

dan berlaku antara sesama sunnah. Dengan demikian al-Quran tidak akan mungkin

dinaskh oleh sunnah Nabi.  Contoh naskh yang berlaku antara sesama sunnah al-Quran,

antara lain terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 15 yang maksudnya kurang lebih

“Perempuan-perempuan yang melakukan perbuatan tercela (zina), kemukakanlah

terhadap mereka empat orang saksi. Bila mereka telah mengemukakan saksi maka

tahanlah perempuan-perempuan itu di rumah sampai mati, atau Allah menjanjikan

mereka itu jalan keluar”. Ayat tersebut telah dinasakh oleh surat al-Nur ayat 2, yaitu

“Bagi pezina perempuan dan laki-laki, deralah mereka sebanyak 100 kali dera”. Dengan

adanya ancaman dera 100 kali, maka ancaman kurungan terhadap pezina yang nyata-

nyata telah terbukti berlaku salah, otomatis tidak berlaku lagi. 

Lebih jauh Imam Syafi’i juga memaparkan secara detil contoh-contoh hadits/ sunnah

Nabi yang saling menasakh, antara lain hadits dari Muslim yang menyatakan bahwa

Page 27: Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi

kepada Nabi disampaikan berita tentang seseorang laki-laki yang menggauli istrinya

tetapi tidak sampai keluar mani, selanjutnya apa yang harus dilakukannya? Apakah ia

harus mandi? Nabi mengatakan “Sesungguhnya air (mandi) hanya diwajibkan karena

adanya air (mani)”. Hadits ini kemudian dinasakh oleh hadits shahihaini, yang

mengatakan “Bila seseorang telah berada di atas badan istrinya dan melakukan sesuatu

atau bergaul, maka wajib atasnya mandi”. Ditambahkan oleh Muslim (salah seorang

perawi) “meskipun belum keluar mani”. Dari selayang pandang pokok pemikiran Imam

Syafi’i tentang pemahaman atas dalil dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.Imam Syafi’i dalam memahami al-Quran dan al-Hadits yang biasa lahir dalam bentuk

umum, dengan cara kekhususannya, kecuali ada petunjuk berlakunya dalil umum itu

menurut apa adanya. 2.Fungsi sunnah Nabi pada dasarnya adalah untuk menjelaskan al-

Quran yang masih memerlukan penjelasan. Dengan demikian di antara keduanya tidak

mungkin dipahami bertentangan, oleh karenanya tidak mungkin saling menasakh.